PUSTAKA VOL. 24, NO.1 • 1 – 7

p-ISSN: 2528-7508

e-ISSN: 2528-7516


Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022

Identitas Budaya Masyarakat Pulau Laut dalam Makanan Tradisional Longlek

Destriyadi

Universitas Gadjah Mada Bulak Sumur, Yogyakarta, Indonesia [email protected]

ABSTRACT

Cultural identity shows cultural differences from one group to another. The difference can be shown through traditional food. Not many people recognize longlek as a traditional food from Pulau Laut, Natuna. The existence of longlek is also in an unstable condition. This research aims to describe and cultural identity in longlek. This research is descriptive qualitative. The material object of this research is traditional longlek food from Pulau Laut. The formal object of this research is cultural identity. The research data sources came from longlek makers, the people of Pulau Laut, documents, activities, and perceptions concerning longlek. Data were collected using observation, interview, and literature study techniques. Informants were selected using purposive sampling method. The data analysis steps of this research are data collection, classification, interpretation, and inference. Longlek is an identity of the Pulau Laut community that is not owned by other islands in Natuna. Longlek does not only belong to the people of Pulau Laut. It should have become a communal consumption of the Natuna community. But longlek still characterizes the cultural identity of the people of Pulau Laut. Longlek is more suitable for groups that are not too crowded. This is related to its difficult material requirements. It is more suitable to be served as a special dish.

ABSTRAK

Identitas budaya menunjukkan perbedaan budaya dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Perbedaan itu dapat ditunjukkan melalui makanan tradisional. Belum banyak yang mengenal makanan tradisional longlek sebagai makanan khas dari Pulau Laut, Natuna. Keberadaan longlek juga dalam kondisi yang tidak stabil. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan identitas budaya pada longlek. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif. Objek material penelitian ini adalah makanan tradisional longlek yang berasal dari Pulau Laut. Objek formal penelitian ini identitas budaya. Sumber data penelitian berasal dari pembuat longlek, masyarakat Pulau Laut, dokumen, aktivitas, dan persepsi yang menyangkut longlek. Pengambilan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi literatur. Untuk informan dipilih menggunakan metode purposive sampling. Langkah analisis data penelitian ini, yaitu pengumpulan, klasifikasi, interpretasi, dan inferensi data. Longlek merupakan identitas masyarakat Pulau Laut yang tidak dimiliki oleh pulau lain di Natuna. Longlek tidak hanya menjadi milik masyarakat Pulau Laut saja. Ia patut sudah menjadi konsumsi komunal masyakat Natuna. Tapi tetap longlek mencirikan identitas budaya masyarakat di Pulau Laut. Longlek lebih sesuai dihadirkan pada kelompok yang tidak terlalu ramai. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan bahannya yang sulit. Lebih cocok dihadirkan sebagai sajian khusus.

PENDAHULUAN

Makanan tradisional berasal dari masyarakatnya. Tidak hanya mengenai bentuk dan cita rasanya, makanan juga menunjukkan bagaimana pengetahuan tradisional masyarakatnya dalam mengolah bahan-bahan dari alam untuk menjadi makanan.

Masyarakat yang tinggal di daerah maritim, akan memanfaatkan kekayaan lautnya untuk kebutuhan makan. Begitu juga masyarakat komunal yang menetap di daerah agraris akan lebih terbiasa mengolah bahan dari hasil kebun. Bahkan dari masing-masing daerah agraris dan

maritim ini akan menunjukkan perbedaannya masing-masing. Hal ini didasari adanya perbedaan bahasa, ritus, sistem pikiran, dan lain-lain.

Bagian dari folklore yang menunjukkan kepemilikan itu adalah makanan. Identitas secara tidak langsung dikonstruksi oleh masyarakatnya. Makanan adalah medium dari masyarakat untuk menyatakan tentang dirinya (Utami, 2018, p. 37).

Sebagai bagian dari tradisi, makanan tidak hanya berfungsi primer tetapi juga sebagai alat pembeda dari budaya lain. Sebab makanan tradisional menunjukkan pengetahuan dan perilaku manusia dalam proses produksi makanan

itu sendiri. Makanan adalah salah satu cara paling mendasar dan umum yang membedakan seseorang dari orang atau budaya lain agar lebih menonjol dari yang lain (Riyadi et al., 2023). Seperti yang diungkapkan oleh Weichart (2004) makanan mengekspresikan identitas budaya. Ekspresi itu pula yang dapat membedakan sosial budayanya dengan yang lain.

Identitas tidak bisa dibakukan atau ditemukan. Identitas selalu dikonstruksi, maka itu ia tidak bersifat stabil dan tunggal. Adanya pembentukan identitas yang dinamis dan terus berubah, tidak tetap (Alcoff & Mendieta, 2000).

Umumnya Natuna dikenal dengan wisata alamnya. Promosi wisata juga dibarengi dengan menghadirkan makanan tradisional sebagai kuliner khas masyarakat Natuna dan memiliki daya tarik (Tumpuan, 2022). Kabupaten Natuna memiliki banyak makanan tradisional, seperti kernas atau kasam, ketabal mando, mi sagu, nasi dagang, lakse, dan lain-lain. Padahal masih ada makanan tradisional lainnya yang mampu dan memiliki nilai jual kepada masyarakat yang lebih luas.

Salah satunya yang belum pernah diteliti dan kurang familiar di masyarakat adalah longlek, yaitu makanan tradisional dari Pulau Laut. Longlek saat ini masih dapat ditemukan, tetapi hanya pada acara-acara tertentu saja. Makanan tradisional Longlek masih belum banyak diketahui oleh masyarakat Natuna, baik dari segi bentuk maupun rasa. Terlebih lagi mengenai kajian makanan tradisional longlek ini.

Terakhir kali, longlek dipamerkan pada Natuna Expo tahun 2017 di stand bazar Kecamatan Pulau Laut sebagai makanan khas masyarakat Pulau Laut. Permintaan terhadap longlek pada acara tersebut terus berdatangan. Sayangnya ketidaksiapan petugas stand bazar pada acara tersebut, membuat mereka kalang kabut mencari bahan untuk membuat longlek yang cukup sulit.

Setelah itu, longlek tidak pernah tampil di muka umum. Pada warung-warung menjajakan kue tiap pagi, makanan ini pun tidak terlihat. Beberapa faktor lainnya, masih kurang dipresentasikan pada acara-acara formal dan nonformal.

Bisa dikatakan makanan tradisional longlek ini sudah hampir hilang. Padahal ini adalah makanan pada masa dulunya. Generasi saat ini sudah disibukkan dengan inovasi-inovasi produk makanan kekinian dengan mengadopsi

makanan dari negera-negara tetangga. Hal ini menyurutkan minat untuk mengenal, belajar, dan memproduksi makanan tradisional yang hampir sulit ditemukan keberadaannya ini. Keberadaan longlek ini harus dipertahankan dengan salah satunya kajian mengenai longlek itu sendiri.

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini sudah pernah dilakukan oleh Hardiansyah et al. (2020). Penelitian ini mendeskripsi dan menganalisis kebudayaan Massenrempulu dalam makanan khas Dangke. Penelitian ini menggunakan strategi penelitian etnografi dalam membangun identitas budaya masyarakat Massenrempulu.

Penelitian yang mengangkat longlek sebagai objek materialnya sampai saat ini belum ditemukan. Untuk itu penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan identitas budaya pada longlek.

METODE

Latar belakang di atas merujuk pada bentuk penelitian kualitatif deskriptif. Seperti yang diungkapkan oleh Sulistyorini & Andalas (2017, p. 15), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Objek material penelitian ini adalah makanan tradisional longlek yang berasal dari Pulau Laut. Objek formal penelitian ini identitas budaya Sumber data penelitian berasal dari pembuat longlek, masyarakat Pulau Laut, dokumen, aktivitas, dan persepsi yang menyangkut longlek. Pengambilan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi literatur. Untuk informan dipilih menggunakan metode purposive sampling. Peneliti juga akan melakukan probing, yaitu penggalian keterangan lebih dalam apabila adanya kurang sesuai atau ketidaksesuaian dengan pertanyaan yang diajukan.

Analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan (Faruk, 2020, p. 25). Langkah analisis data penelitian ini, yaitu

pengumpulan,   klasifikasi,   interpretasi, dan

inferensi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Makanan tradisional di setiap daerah memiliki nama dan bentuknya masing-masing. Seperti yang terjadi di Pulau Laut, makanan tradisional yang dimiliki oleh masyarakatnya tidak terdapat di pulau lain di Natuna. Artinya makanan ini memang menjadi ciri khas dan identitas masyarakatnya. Natuna Selatan, seperti Serasan, Midai, dan Subi tidak memiliki jenis makanan yang serupa, tetapi dari segi bentuk dan sajian seperti kue lepat. Bahannya saja yang berbeda. Begitu pula untuk pulau Bunguran dan sekitarnya.

Longlek merupakan makanan tradisional dari Pulau Laut. Olahan makanan tradisional longlek ini menunjukkan bahwa masyarakatnya memiliki kemampuan pemanfaatan alam dan pengolahan makanan dalam situasi yang terbatas.

Gambar 1 Makanan tradisional Longlek

Asal-Usul Pulau Laut

Ada perbedaan asal-usul Pulau Laut. Keduanya berasal dari penulis yang sama, B.M. Syamsuddin. Namun, cerita yang lebih familiar apa yang terdapat dalam Cerita Rakyat dari Natuna (Syamsuddin, 2010).

Asal-usul Pulau Laut dikaitkan atau bermula saat Kerajaan Majapahit masih berdiri di Nusantara. Saat itu Batara Majapahit dan Permaisuri memiliki sepasang anak kembar bernama Indra Putera dan Dewi Peteri. Kehadiran keduanya membuat selir kerajaan dendam dan bermaksud jahat. Indera Putera dan Dewi Peteri dituduh berlaku sumbang oleh Dayang Tua dan selir kerajaan, yaitu menikah antara dua beradik yang dilarang adat agama. Baginda Batara murka setelah mendengar hal itu. Sebagai akibatnya, mereka diusir dari kerajaan Majapahit. Oleh

Permaisuri atas permintaan Indra Putera, keduanya dibekali tujuh buah ketupat, satu tempurung pasir Pulau Jawa, satu piala air tanah Jawa, dan dua biji kelapa benih asli Jawa.

Setelah tujuh hari tujuh malam, kedua anak buangan itu beserta angkatan diraja Majapahit tiba di pusar arus Laut Cina Selatan. Bekal pertama, satu tempurung pasir pulau Jawa dilemparkan ke tempat kapal berlabuh. Seketika berubah menjadi sebuah beting (timbunan pasir). Bekal kedua, dua biji kelapa berubah menjadi nyiur kelapa. Bekal ketiga, air tanah Jawa satu piala dilemparkan di atas karang menjadi air yang tak pernah surut. Begitu pula pada bekal ketupat tujuh buah.

Setelah itu tersebutlah empat puluh empat penduduk pertama pulau itu, dua puluh tiga perempuan dan dua puluh satu laki-laki.

Pada cerita kedua Asal-usul Pulau Laut, tokoh yang dituliskan adalah Pangeran Parna dan Putri Parni. Hanya saja dendam yang muncul adalah dari anak-anak raja yang ditolak pinangannya oleh Putri Parni. Balas dendam itu melalui selir kerajaan yang telah disuap. Setelah dilaporkan ke Sri Paduka Betara, mereka diusir dengan bekal tujuh buah ketupat, sepiala pergi Pulau Jawa, tiga buah kelapa, dan lima tempurung pasir pulau Jawa.

Waktu yang ditempuh mencapai empat puluh hari empat puluh malam untuk sampai ke pusar arus pauh jenggi. Ombak yang mengganas, menyebabkan tongkang mereka terdampar di atas karang. Lima tempurung pasir ditabur dan satu piala air pergi diletakkan. Tiga buah kelapa ditanam dan memakan ketupat tujuh buah dibagi sama rata.

Pada sumber sejarah yang ditemukan, asal-usul penduduk Pulau Laut disebutkan sama persis dengan penduduk Bunguran, yaitu pengungsi yang datang dari Malaka saat kotanya direbut Portugis pada 1511. Pada tahun 1929, penduduk di Pulau Laut sekitar 500 jiwa yang tersebar di dua kampung (1929). Pulau yang dikelilingi oleh laut ini memanfaatkan ikan sebagai produk yang ditukar untuk mendapatkan sejumlah beras impor. Makanan pokok masyarakat diperoleh dari pengolahan sagu dan buah-buahan dari pohon sukun (Tijl, 1938). Sebagai wilayah terluar, Pulau Laut juga dijadikan sebagai jalur lintas laut kapal-kapal asing sejak abad 10 M (Dillenia & Troa, 2017).

Makanan Tradisional di Pulau Laut

Pulau Laut terletak paling utara Natuna, yang berbatasan langsung dengan negara Vietnam. Letak geografis yang jauh dari pulau Bunguran dan pulau-pulau lainnya, membentuk masyarakat yang memiliki kebudayaannya sendiri. Perbedaan dari segi pakaian, bahasa, tradisi, makanan, yang kemudian menjadi identitas masyarakatnya. Identitas ini berlaku karena masyarakat berada pada kesamaan situasi yang disepakati. Kesulitan mendapatkan pasokan dan distribusi dari pulau lain, mengharuskan masyarakatnya menemukan solusi tersebut. Kebutuhan utama bagi masyarakat adalah pemenuhan pangan. Bahan untuk pemenuhan ini diambil dari alam dan diolah menurut pengetahuan tradisional menjadi satu bentuk baru sebagai produk hasil masyarakatnya. Salah satu yang dapat kita lihat hasil produk warisan kebudayaan masyarakat Pulau Laut itu adalah makanan tradisional yang berasal dari sagu.

Makanan tradisional masyarakat Pulau Laut adalah Kelalit. Makanan berlemak ini lebih sering dibawa sebagai bekal pergi melaut atau sarapan pagi.

Kelindu berbentuk kental padat dan dimakan menggunakan tangan. Proses pembuatannya seperti dodol. Ini menggunakan santan, sagu, gula.

Talam sagu dibuat menggunakan sagu kering. Pakai santan dan kukus.

Di antara makanan tradisional tersebut di atas, longlek adalah makanan yang paling dikenal di masyarakat Pulau Laut.

Asal-usul dan Bahan

Asal kata longlek diambil dari bahan utama yang digunakan dalam makanan tradisional ini, yaitu nyuk longlek atau kelapa longlek. Istilah ini nampaknya hanya berlaku di Pulau Laut.

Kelapa yang digunakan bukan kelapa muda yang biasa dijual di pinggir jalan, bukan pula kelapa tua yang sudah mengeras isinya. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang masih muda dengan bagian isinya sudah mulai mengeras dan sudah bisa dikukur (diparut). Jika tidak sesuai maka hasilnya tidak akan sempurna. Memang pemilihan kelapa ini harus jadi perhatian utama. Karena akan berpengaruh pada hasil akhir. Kelapa terlalu muda, berpengaruh pada adonan akan menjadi encer, kebanyakan air, dan sulit untuk dibungkus. Kelapa yang terlalu tua, maka adonan akan menjadi terlalu mengeras. Ini akan berpengaruh pada proses pengukusan dan hasil

akhirnya. Memungkinkan sekali akan mentah ditengahnya.

Jika kelapa yang kita ambil sudah guncang (sudah terdengar suara air), berarti kelapanya sudah tua. Beda lagi jika kelapa yang kita ambil jatuh dan terbelah sedikit, artinya terlalu muda. Kelapa yang dipilih tidak sama untuk membuat inti kelapa, juga tidak sama dalam membuat ketabal mando. Seperti yang disampaikan di atas, untuk membuat longlek ini membutuhkan kelapa dengan ukuran dan usia yang tepat. Memang tidak mudah untuk menemukan kelapa yang dimaksud. Perlu orang yang sudah paham dan sering memanen kelapa untuk mengetahuinya. Sebab jika sembarang dan asal memilih, tentu akan banyak kelapa yang terbuang. Juga tidak banyak jumlahnya dalam satu batang kelapa.

Bahan sagu yang digunakan dalam membuat longlek, yaitu sagu basah. Sejak dulu, sagu sudah menjadi makanan utama masyarakat Pulau Laut. Hal itu dikarenakan di pulau tersebut banyak ditumbuhi batang sagu dan kondisi saat itu masyarakat kesulitan mendapatkan beras. Berangkat dari hal itu masyarakat, terutama perempuan, berusaha membuat makanan yang bahannya dari sagu. Pada masa dulu tepung memang sulit, jadi makanan pokok di pula laut saat itu kan sagu. Setiap rumah menyimpan sagu dalam sebuah wadah yang dikenal dengan nama bosong. Wadah tampung ini terbuat dari pelepah sagu. Ukurannya tinggi berbentuk kerucut yang diletakkan dalam rumah. Tepung sagu dapat disebutkan sebagai pangan fungsional sebagai pengganti beras karena memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 84,7% dan (Rananda et al., 2023)

Umumnya di Natuna, pengolahan sagu tidak jauh berbeda. Begitu pula di Pulau Laut. Tentu akan sulit untuk bertahan hidup jika masyarakatnya tidak mampu mengolah sagu.

Bahan berikutnya adalah gula. Proses pembuatan longlek pada masa dulunya menggunakan gula kelapa. Hal itu dikarenakan belum adanya gula pasir seperti sekarang. Penggunaan gula kelapa di masyarakat Pulau Laut didukung komoditi kelapa yang masih diproduksi. Kelapa disadap lalu diolah menjadi gula. Kemudian gula itu yang digunakan sebagai bahan untuk membuat longlek. Bisa juga menggunakan gula ijuk, sedangkan gula pasir mengurangi cita rasa longlek.

Pembungkus Longlek

Bungkusan yang digunakan adalah bungkusan daun pisang. Penggunaan daun pisang sebagai pembungkus diakui karena aromanya dan wangi. Bisa juga diganti dengan daun pandan wangi. Berbeda bahan pembungkus juga berbeda bentuknya. Jika menggunakan bungkus daun pisang, bentuk bungkusannya yaitu tempelang (Jenis bungkus tradisional ini merupakan pembungkus daun dengan cara meletakkan makanan di tengah wadah dan melipat ujung kanan dan kiri daun pisang ke arah bawah hingga rapat tanpa harus dikunci menggunakan tali/lidi.). Jika menggunakan daun pandan wangi, maka bentuk bungkusannya takir (dibentuk dengan melipat kedua sisi daun pisang dengan menyeimbangkan dua sisinya membentuk cekungan kotak atau seperti mangkok, kemudian dikunci/ditusuk dengan lidi (biting). Daun pisang merupakan jenis bahan pembungkus makanan yang aman digunakan karena mengandung bahan alami (Nugrahani & Parela, 2022, p. 149).

Longlek juga bisa dikukus dalam loyang tanpa menggunakan pembungkus alami. Untuk memudahkannya, longlek yang sudah matang dipotong sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Hanya saja penggunaan loyang tidak menambahkan aroma seperti daun pisang dan daun pandan wangi. Sebab itu jarang dilakukan. Pengaruh bahan pembungkus yang digunakan mempengaruhi cita rasa dari makanan tradisional longlek itu sendiri.

Pada masa dulu sebelum ada tempat kukusan modern seperti saat ini, orang dulu menggunakan cipir atau talam air. Belum ada dandang. Dulu pakai kuali yang di dalamnya diisi air. Lalu pada bagian atasnya ditambahkan penyangga dari pelepah kelapa. Setelahnya di atas itu diletakkan talam. Sedangkan untuk pembakarannya masih menggunakan kayu bakar. Cita rasanya pun disebutkan berbeda. Untuk penutupnya menggunakan terindak yang terbuat dari daun nipah. Berbentuk kerucut seperti kukusan bambu. Misalnya, ketika nasi dimasak dengan kukusan dari bambu, maka semua toksin atau racun kimiawi akibat pestisida dan pupuk urea dimusnahkan (Cristiana & Yunaningsih, 2020).

Sukat atau Takaran

Terdapat takaran yang sifatnya tetap saat membuat longlek. Takaran ini tidak dapat dikurang dan dilebihkan, sebab nantinya juga akan

berpengaruh pada proses pembuatan. Kepatuhan terhadap sukat ini menjadi satu hal wajib dalam membuat longlek. Sukat ini berlaku untuk dua bahan saja, yaitu sagu dan kelapa. Porsi kelapa harus lebih banyak dari sagu.

Sukat membuat longlek ini adalah dua banding satu. Dua sukatan untuk kelapa dan satu sukatan untuk sagu. Hal itu sendiri yang membuat longlek cukup sulit dalam pemenuhan bahannya, sebab memerlukan kelapa yang tidak sedikit untuk jumlah longlek yang banyak. Untuk kebutuhan sagu tidak sulit, karena masih mudah ditemukan saat ini.

Bahan gula kelapa, tidak ada ketetapan mengenai sukatannya. Gula kelapa mempengaruhi tingkat kemanisan longlek, jadi kebutuhannya disesuaikan oleh pembuat longlek.

Proses Pembuatan

Proses pembuatan longlek tidak sulit. Hanya saja untuk bahannya saja yang harus dipastikan ketersediaannya. Karena jika bahannya tidak sesuai, maka longlek tidak akan matang dengan sempurna.

Bahan-bahan harus disediakan terlebih dahulu, nyuk longlek, sagu basah, gule nyuk. Kelapa kemudian harus dikukur menggunakan alat kukur kelapa berbentuk bangku yang satu bagiannya dipasang besi berigi-rigi atau sering disebut sebagai kukur kuda. Jika dibandingkan menggunakan mesin parut, hasil dan rasanya kurang memuaskan.

Mengukur kelapa ini terlalu kuat tidak baik, mempengaruhi tekstur yang diinginkan. Kelapa dan sagu harus disukat berdasarkan ketetapannya terlebih dahulu. Setelah itu disatukan dalam adonan dan ditambahi gula kelapa sesuai kebutuhan.

Gambar 2 adonan longlek (dokumentasi pribadi)

Pada tahap ini, bisa ditambahkan air kelapa jika adonan kekurangan air. Bisa juga ditambahkan garam. Untuk rasa adalah kepiawaian dari pembuatnya sendiri. Adonan berikutnya dimasukkan dalam bungkusan daun pisang. Kemudian longlek dimasukkan ke dalam wadah pengukus. Ketika sudah matang, longlek sudah bisa dikonsumsi.

Longlek bisa bertahan sampai dua hari. Karena tidak menggunakan bahan pengawet, makanan ini juga tidak perlu dimasukkan ke ruang pendingin karena dikhawatirkan akan membuat tekstur longlek jadi mengeras. Lebih baik dibiarkan saja pada ruangan terbuka.

Proses pengukusan berpengaruh pada berapa lama longlek dapat bertahan. Untuk bisa hingga dua hari, ketika longlek yang sedang dikukus sudah mulai matang, penutup kukusan dibuka lalu ditutup. Berselang beberapa menit dilakukan kembali. Teknik ini dilakukan berulang-ulang. Tidak ada ketetapan mengenai jumlah pengulangan ini. Hal ini masih mengandalkan kemampuan dari pembuat longlek. Cara ini juga berpengaruh pada kualitas pembungkusnya. Longlek juga hanya bertahan satu hari jika longlek langsung diangkat dari kukusan setelah matang.

Makanan ini bisa langsung disantap selepas dibubuhkan, baik dalam kondisi hangat maupun dingin. Tetapi lebih enak jika disantap ketika sudah dingin. Pada waktu pagi, siang, dan malam longlek dapat dikonsumsi.

Longlek dan Tradisi

Makanan tradisional longlek lebih banyak ditemukan pada saat bulan Ramadan. Pada bulan ini lapak kue Ramadan di Pulau Laut banyak menjual longlek. Tidak sulit bagi masyarakat yang mengingingkan longlek pada bulan tersebut. Tapi berbeda pada hari-hari biasa, longlek sulit ditemukan di lapak kue setiap pagi. Hal ini dikarenakan bahan utamanya, yaitu nyuk longlek tidak mudah ditemukan untuk kebutuhan setiap harinya. Berbeda pada bulan Ramadan yang hanya satu bulan saja.

Makanan ini sebenarnya bisa hadir pada waktu kapan saja dan di mana saja. Jika salah satu keluarga sedang ingin memakan longlek, maka dibuatlah longlek.

Bulan puasa pada masa dulu, sebelum ramai orang berjualan takjil, masing-masing rumah di Pulau Laut membuat kue. Menjelang petang, kue-kue tersebut diantar ke rumah-rumah yang lain. Rumah yang dituju itu pun memberikan

kue yang ia buat. Bisa-bisa sampai 5 jenis kue yang tersaji. Penganan yang disiapkan tergantung dari kesanggupan pembuatnya. Tradisi ini bersifat sedekah, jadi tidak ada ketentuan bagi pemberi. Longlek dan penganan berbahan sagu lainnya lebih sering dibikin oleh masyarakat. Tradisi bertukar kue di bulan puasa ini sudah berlangsung lama. Sayangnya, saat ini tradisi berbagi kue di Pulau Laut sudah mulai berkurang dikarenakan kehadiran jajanan kue yang lebih variatif.

Pada acara pernikahan, longlek sulit untuk dihadirkan. Kebutuhan bahan terutama, kelapa longlek tidak mudah diperoleh. Begitu pula untuk hari besar islam tidak banyak yang membuatnya. Kecuali untuk kebutuhan pribadi di rumah, longlek bisa saja hadir.

SIMPULAN

Longlek tidak hanya menjadi milik masyarakat Pulau Laut saja. Ia patut sudah menjadi konsumsi komunal masyakat Natuna. Tapi tetap longlek mencirikan identitas budaya masyarakat di Pulau Laut.

Bahan untuk membuat longlek ini tidak selalu mudah didapatkan. Terutama kelapa. Walaupun Pulau Laut dan Natuna pada umumnya memiliki komoditi kelapa, untuk pembuatan longlek membutuhkan kelapa yang sesuai. Pengetahuan mengenai istilah kelapa longlek sejauh ini hanya ditemukan di Pulau Laut.

Longlek lebih sesuai dihadirkan pada kelompok yang tidak terlalu ramai. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan bahannya yang sulit. Lebih cocok dihadirkan sebagai sajian khusus. Longlek dapat dijadikan sebagai makanan sajian penutup mulut dan dipandang sebagai makanan yang spesial. Hal ini juga mampu mendorong produktivitas bagi pelaku pembuat longlek agar dapat hadir pada acara-acara demikian. Pada sektor pariwisata, sangat memungkinkan jika longlek menjadi salah satu menu yang selalu dihadirkan pada setiap kegiatan pariwisata.

DAFTAR PUSTAKA

Alcoff, L. M., & Mendieta, E. (2000). Identities: Race,Class, Gender, and Nationality.

Cristiana, D., & Yunaningsih, A. (2020). Edukasi Alat Dapur Tradisional Untuk Pelestarian Warisan Budaya. Altasia Jurnal Pariwisata Indonesia,         2(3),         311–316.

https://doi.org/10.37253/altasia.v2i3.843

Dillenia, I., & Troa, R. A. (2017). Identifikasi Situs Kapal Karam Bersejarah “Karang Panjang” di Perairan Pulau Laut Natuna. Jurnal Kelautan Nasional, 11(1), 11–20.

Erkenning en vorming van rechtsgemeenschappen in het gewest Riouw en onderhoorigheden. (1929). Landsdrukkerij; Weltevreden.

Faruk. (2020). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Pustaka Pelajar.

Hardiansyah, M. A., Hardiansyah, M. R., & Darwis, R. (2020). Kajian Identitas Budaya Kuliner Dangke Makanan Khas Massenrempulu. Lingue: Jurnal Bahasa, Budaya, Dan Sastra,   2(1),   38–51.

https://doi.org/10.33477/lingue.v2i1.1389

Nugrahani, A., & Parela, K. A. (2022). Leksikalisasi Pembungkus Tradisional Dari Daun Pisang (Kajian Etnosemantik). Alinea Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajaran, 02(02), 148–159.

Rananda, A., Jumsurizal, & Putri, R. M. S. (2023). Pengaruh Pengolahan Bahan Baku Terhadap Karakteristik Tabel Mando Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Marinade, 06(April), 87–96.

Riyadi, F. A., Putro, D. A., & Parantika, A. (2023). Identitas Budaya dan Kuliner Yogyakarta Sebagai Gastronomi dan Perspektif Pariwisata yang Berkelanjutan. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9(8), 152–161.

Syamsuddin, B. M. (2010). Cerita Rakyat dari Natuna. Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau.

Tijl, W. J. (1938). Van Kalme Stroomen En Verre Stranden:Levenservaring en   Pluizerij.

Utrecht Broekhoff N.V. v.h. Kemink En Zoon.

Tumpuan, A. (2022). Eksplorasi Potensi Wisata kuliner dalam Mendukung Perkembangan Pariwisata di Kabupaten Natuna. Journal of Tourismpreneurship, Culinary, Hospitality, Convention, and Event Management, 5(1), 41–50.

Utami, S. (2018). Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. CoverAge: Journal of Strategic Communication,       8(2),       36–44.

https://doi.org/10.35814/coverage.v8i2.588

Weichart, G. (2004). Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner. Antropologi Indonesia, 0(74),                              59–80.

https://doi.org/10.7454/ai.v0i74.3510

7