PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

VOL. 23 NO. 1 • PEBRUARI 2023

Strategi Perpustakaan terhadap Peningkatan Minat Baca dan Budaya Baca

Siswa di Perpustakaan SMA Negeri 2 Sukoharjo

Clarissa Salsabila Ifany Sari, Zainal Arifin  1

Analisis Etnografi dalam Tradisi Kenduri Sko Masyarakat Adat Tarutung Kerinci Jambi

Priazki Hajri  7

Diplomasi Budaya Indonesia melalui Tari Kecak Bali

Adhistira Azka Kencana  11

Kajian Literatur: Kebudayaan dan Kearifan Lokal Suku Badui dalam Menghadapi Pandemi Covid-19

Anisatul Khanifah, Sugeng Harianto  15

Manusia yang Beradab Menurut Tri Kaya Parisudha

Felix Mahendra  20

Variation of Karonese Language in Tanah Karo

Jenheri Rejeki Tarigan, Siti Aisyah Ginting, Rahmad Husein  31

Kebudayaan Indis: Hasil Akulturasi Budaya antara Jawa dengan Kolonial Belanda

Wahyu Agil Permana, Andini Shira Putri, Rinaldo Adi Pratama  35

Pelestarian Nilai Kearifan Lokal Melalui Kesenian Reog Kendang di Tulungagung

Bina Andari Nurmaning, Nik Haryanti  42

Sejarah dan Profil Wisatawan Jepang

Ida Bagus Ketut Astina  49

Figurative Language Used in Bible Old Testament

Felisita Ronsmin, Ni Putu Cahyani Putri Utami  56

Pengaruh Adanya Gojek Terhadap Pengemudinya di Kota Denpasar pada

Tahun 2015-2020

Samuel Calvin Situmorang, Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo,

Anak Agung Inten Asmiriati  62

Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka

PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516

VOL. 23 NO. 1 • PEBRUARI 2023

Susunan Redaktur PUSTAKA :

Editorial Board

Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.

Editor in Chief

Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.

Editors

I Gusti Ngurah Parthama, SS., M.Hum.

Ni Putu Candra Lestari, S.S., M.Hum.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum.

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, S.S., M.Hum.

Aliffiati, S.S., M.Si.

Sri Junandi (Universitas Gadjah Mada)

Reviewers

Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA

Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt

Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A

I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.

Prof. Thomas Reuter (Melbourne University)

Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A (Universitas Pendidikan Ganesha)

Prof. Dr. Susantu Zuhdi (Universitas Indonesia)

Prof. Dr. lrwan Abdulah (Universitas Gadjah Mada)

Maharani Patria Ratna, M.Hum. (Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro)

Fitri Alfarisy, M.Hum. (Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro) Taqdir, S.Pd., M.Hum. (Universitas Hasanuddin)

Nunuk Endah Srimulyani, S.S., M.A., Ph.D. (Universitas Airlangga)

Lay Out Editor

I Komang Juniarta, S.T.

Site Technical Management l Gusti Ayu Puspawati, S.Sos., M.H.

Naskah dikirim ke alamat : [email protected] Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan

PUSTAKA VOL. 23, NO.1 • 49 – 55

Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022

Sejarah dan Profil Wisatawan Jepang

Ida Bagus Ketut Astina

Program Studi Sarjana Terapan Pengelolaan Perhotelan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang sejarah kebudayaan dan profil wisatawan Jepang secara ringkas baik dari masa kuna sampai restorasi meiji yang membawa pembaharuan dan kemajuan bangsa Jepang untuk bersaing dengan bangsa Eropa saat itu. Bahkan masa restorasi meiji juga dianggap sebagai titik balik kehancuran Jepang karena merasa besar dan kuat melakukan resistensi terhadap bangsa Eropa. Akibat dari tindakan tersebut bangsa Jepang mengalami kehancuran sesaat namun kemudian bangkit kembali mengejar kemajuan bersanding dengan bangsa yang pernah menghancurkannya. Mempelajari kebudayaan suatu negara merupakan hal yang sangat urgen dewasa ini, mengingat perkembangan pariwisata yang memungkinkan adanya perpindahan atau pergerakan atau beperginya orang-orang ke suatu negara (daerah tujuan wisata).

Jepang sebagai industri maju banyak warganya menggunakan waktu luang bepergian ke luar negeri untuk berekreasi ke berbagai tempat tujuan wisata (tourist destination). Sudah tentu Indonesia sebagai salah satu negara tujuan wisata akan memperoleh limpahan wisatawan Jepang. Melihat kecenderungan ini dalam mengantisipasi kedatangan wisatawan Jepang, perlu deketahui, dikaji, dipelajari dan dipahami tentang; Bagaimana sejarah kebudayaan dan profil wisatawan Jepang ? Dari pernyataan tersebut terdapat korelasi bahwa mampelajari kebudayaan dan profil suatu negara sangat penting artinya dalam mengantisipasi perkembangan pariwisata khususnya hubungan antar personal dengan penduduk di daerah tujuan wisata.

Kata Kunci: Sejarah, Profil dan Wisatawan

PENDAHULUAN

Pentingnya mempelajari dan mengetahui budaya orang lain sudah dilakukan sejak jaman kolonialisme seperti Belanda mempelajari kebudayaan dan bahasa nusantara menjadi bagian penting sebagai akses mempermudah melakukan penjajahan. Kesadaran akan pentingnya mempelajari budaya asing atau warga negara asing dilakukan pula oleh Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat sebagai kajian komunikasi antar budaya (intercultural communication) untuk mendukung keberhasilan tugas-tugas para pejabat resmi, usahawan atau karyawan yang akan bekerja atau bertugas di lingkungan asing (Puwasito, 2003 : 12). MC.Luhan sebagai orang pertama yang memberi ulasan betapa pentingnya relasi atau komunikasi antar bangsa mengingat makin meningkatnya hubungan dan ketergantungan antar bangsa (Liliweri, 2001 : 3).

Mengingat Jepang merupakan bangsa yang memiliki suatu keunikan tersendiri dan pemahaman penting artinya bagi kita dalam rangka mempererat persahabatan sesama bangsa dengan pemahaman ini akan mengubah pandangan saling mencurigai

(salah paham). Dilain pihak mengkaji dan memahami budaya serta profil bangsa Jepang sangat bermanfaat bagi pengelola usaha pariwisata dalam menyediakan, menyiapkan pangsa pasar wisata yang menjadi keinginan wisatawan Jepang untuk meningkatkan jumlah kunjungan, lama tinggal dan pemasukan devisa.

Ada dugaan bahwa salah satu kelemahan usaha parisata Indonesia dalam menyaring dan menghadapi wisatawan Jepang disebabkan kurangnya kemampuan dalam memahami budaya dan profil mereka. Sebagai contoh bahwa kebanyakan wisatawan Jepang adalah pekerja dalam keseharian terlalu penat menghadapi rutinitas pekerjaan pabrik. Dalam kondisi ini mereka akan jauh lebih menyukai suasana atau panorama pantai yang bebas dan rileks dibandingkan suasana alam lainnya. Jadi di sini kita salah mengantisipasi dalam menjual paket wisata dengan menawarkan pada objek atau suasana jauh dari pantai. Pemahaman tentang profil merupakan faktor penting dan sangat menentukan.

Jepang jika dikaji dari sejarahnya cukup menarik perhatian manusia. Sebagai bangsa

kepulauan rakyat Jepang pada awal sejarahnya kurang sekali mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan bangsa lain di luar bangsanya sendiri. Mereka hidup bergaul, bekerja, dalam lingkungan sendiri, mengisolasi diri dari pergaulan dunia luar. Akibatnya segala sesuatu yang datang dari luar dianggap suatu ancaman yang membahayakan dirinya. Dilain pihak bangsa Jepang memiliki naluri yang sangat tajam dalam menjamin kelangsungan hidupnya. Untuk menghindari ancaman yang datang dari luar mereka terdorong untuk menerima bahkan meniru dan mengambil hal-hal baru dari luar baik dalam ilmu pengetahuan maupun bidang teknologi. Dari peniruan tersebut mereka olah dan dikembangkan sehingga menjadi jati diri atau kepribadian miliknya yang khas dan unik.

Demi menjaga kelangsungan hidupnya dan dalam hal mencegah dominasi Cina maka Jepang justru banyak belajar dari Cina agar dapat menjadikan dirinya kuat dan maju. Dari hasil peniruan dan penyerapan ini Jepang dapat menandingi kekuatan Cina bahkan berani mendahului menyerang dan bertempur melawan Cina yakni dengan merebut Korea, Taiwan, dan Manchuria. Demikian pula setelah perimbangan kekuatan beralih ke Eropa disaat sebagian dunia menjadi kekuasaan Eropa sekaligus merupakan tantangan dan ancaman, maka Jepang tidak segan-segan belajar dari Eropa agar kelangsungan hidupnya dapat terjamin. Merekalah yang dikenal sebagai bangsa Asia pertama yang mampu meniru terknologi Eropa. Dari hasil peniruan inilah Jepang mampu mengalahkan Rusia sekaligus telah menumbangkan mitos klasik yakni bangsa kulit putih merupakan bangsa unggul yang tidak mungkin dapat dikalahkan oleh bangsa kulit berwarna. Peristiwa kemenangan ini dianggap sebagai kebangkitan bangsa kulit berwarna. Pengaruh kemenangan tersebut dapat dirasakan oleh bangsa Asia sendiri dan bagi bangsa Indonesia dianggap sebagai faktor pendorong bangkitnya nasionalisme Indonesia (Kasil dan Yulianto, 1984: 16. Moedjanto, 1988: 26). Kemenangan yang diperoleh secara gambling oleh Jepang sebagai akibat peniruan pada bangsa Eropa telah membawa rasa bangga disertai keinginannya kembali guna mengulang kesuksesan tersebut. Jepang telah terjerumus ke dalam suatu kehancuran dengan menarik picu perang dunia kedua dalam rangka memperoleh dan memperluas daerah jajahannya. Setelah kekealahan dan kehancurannya lambat laun bangkit kembali dan menarik perhatian dunia

karena menunjukkkan kehebatannya dalam bidang ekonomi. Bangsa Jepang bangkit kembali diatas puing-puing    kehancurannya. Kesejahteraan

rakyatnya meningkat dengan cepat mengunggulingi bangsa-bangsa yang telah mengalhkannya dalam perang. Jepang telah menjadi bangsa yang memiliki dan diakui sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia setara dengan Amerika Serikat. Bahkan produksi mobil dal elektroniknya telah mampu bersaing dengan bangsa Eropa lainnya yang telah lebih dahulu mengembangkan teknologinya.Apa yang mengjadi rahasia keberhasilannya, jawabannya adalah kerja keras dalam membangun kembali Jepang yang porak poranda sebagai salah satu bentuk patriotism dan semngaat bushido yakni kode etik samurai yang menekankan pada kejujuran, keberanian, kesopanan, murah hati, kesungguhan, kesetiaan dan harga diri (Mangandaralam;1987:28 – 31)

Tujuan penulisan artikel ini bersifat deskriptif karena berusaha menggambarkan sejarah kebudayaan bangsa Jepang dan karakteristik wisatawan Jepang. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, termasuk hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh pengamat dan penulis lain.

PEMBAHASAN

Keadaan Geografi Jepang

Jepang merupakan negara kepulauan terdiri dari pulau besar dan ribuan pulau kecil yang jaraknya berdekatan. Dari beberapa pulau yang paling utama ada empat yaituHokkaido, Honshu, Shikoku dan Kyushu. Kepulauan Jepang terletak membentang sepanjang 3.800 km (2360 mil) dan luasnya 377.619 km2 (145.799 mil persegi). Adapun luas pulau utama Hokkaido 83.514 km2, Honshu 230.948km2, Shikoku 18.798 km2 dan Kyushu 44.358 km2. Ini berarti luas Jepang keseluruhan sekitar 4% dari luas Amerika Serikat, satu setengah kali luas kerajaan Inggris, sepersembilan dari luas India. Jepang menempati krang dari 0,3% dari luas daratan dunia (Kementerian Luar Negeri Jepang;1976 dan Kedutaan Besar Jepang;1985).

Kepulauan Jepang 75% wilayahnya merupakan tanah pegunungan dan hanya 25% terdiri dari daratan. Luasnya daerah pegunungan dan sempitnya dataran dunia lahan pertanian disertai musim dingin dengan salju tebal maka rakyat Jepang sangat rajin bekerja. Sikap rajin

bekerja belakangan dikecam oleh bangsa Eropa dan Amerika Serikat yang tidak lagi sanggup bersaing dengan kemajuan Jepang. Orang Jepang diberi julukan sebagai workaholic (orang yang mabuk kerja). Jam kerja para pekerjanya melebihi jam kerja yang berlaku di negara – negara maju. Bangsa Eropa menuntut pemerintah Jepang mengurangi jam kerja bagi rakyatnya. Pada tahun 1987 Parlemen Jepang mengambil kebijakan dalam rangka menangkis serangan opini terhadap ekspansi ekonominya dengan menetapkan jam kerja secara resmi sebanyak 40 jam perminggu. Pengurangan jam kerja dimaksudkan untuk menekan sikap workaholic pekerja Jepang dalam satu tahun dapat mencapai 2168 jam kerja, melebihi jan kerja Amerika Serikat yang hanya 1942 jam dan jam kerja pekerja Jerman 1659 per tahun. Kebijakan ini kemudian ditindak lanjuti dengan memberi motivasi atau semangat kepada rakyatnya keluarnya keputusan pemerintah tentang lima hari kerja setiap minggu dan liburan musim panas diperpanjang selama seminggu. Kebijakan tersebut mendorong warganya untuk menggunakan waktu luang berekreasi keberbagai daerah tujuan wisata di manca negara (Pranoto, 1990; 25).

Dari sikap dan rajininilah meskipun lahan pertaniannya kurang lebih 15 % dari seluruh dataran mereka mampu memproduksi beras sekitar sepuluh juta ton per tahun (Suryohadiprojo, 1982; 3). Hasil pertaniannya yang berbentuk beras merupakan simbul kemakmuran Jepang. Bahkan kaisar sendiri ikut terlibat langsung menanam padi setiap tahun guna memberi motivasi atau semangat kepada rakyatnya (Onghokham, 1989). Sifat rajin dan tekun diperlihatkan pula oleh para pelautnya, terutama setelah Jepang mengakhiri masa isolasinya (restorasi meiji). Dinamika rakyat Jepang di lautan juga turut menjadikan bangsa yang maju, kuat dan sejahtera. Merasa diri cukup kuat dan stabilitas perekonomian mantap Jepang tidak segan-segan mengadakan ekspansi (perluasan daerah jajahan) dan ikut terlibat dalam perang dunia kedua dengan menyerang Amerika Serikat, menggempur pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Pearlharbor. Meskipun pada akhirnya Jepang mengalami kekalahan dan kehancuran untuk beberapa saat mereka bangkit kembali diatas puing kehancuran dengan memantapkan diri dalam bidang ekonomi. Bahkan Jepang mampu bersaing dengan lawan yang pernah mengalahkannya.

Jepang termasuk ke dalam wilayah beriklim sedang, memeiliki empat musim yakni musim panas (natsu), musim dingin (puyu), musim

gugur (aki), dan musim semi (haru). Diantara keempat musim tersebut musism semi dan musim gugur merupakan musim terbaik di Jepang dengan memberikan suatu pancaran keindahan disertai semerbak bunga-bunga yang mekar khususnya bunga sakura suatu keindahan yang benar-benar fantastik. Ada lebih dari 300 macam bunga sakura dengan berbagai macam warna namun kebanyakan warna putih. Biasanya pada musim bunga sakura bermekaran disaat itu orang-orang Jepang mengadakan hanami yakni pertemuan untuk menikmati keindahan bunga sakura sambil makan dan minum di bawahnya. Hanami biasanya tidak dilakukan sendiri tetapi dengan mengajak seluruh anggota keluarga, teman akrab, pacar atau teman kerja dan lain-lain. Ada mitos unik ketika mereka minum-minum di bawah pohon bunga sakura pada saan cawan sake yang akan diminum kejatuhan daun bunga sakura maka sang peminum akan merasakan kebahagian luar biasa (Rosidi, 2003: 5758). Karena keindahan alam menyebabkan rakyat Jepang sangat mendambakan keindahan dan keharmonisan dalam hidupnya. Rasa keindahan dan keharmonisan ini tercermin dalam segala kehidupan rakyat Jepang.

Dua pencerminan kebudayaan Jepang adalah upacara minum the (chanoyu) dan merangkai bunga (ikebana). Upacara minum teh telah dirancang oleh Muratashuko dengan cara mencoba menemukan arti kebebasan yang sesungguhnya dalzm keserasian, keheningan, kesunyian lepas lepas dari keramaian duniawi.Ini penting sebagai pencarian makna dalam hidup manusia yang apa adanya, alamiah jauh dari kehidupan mewah ciptaan manusia. Jiwa seni minum the (sado) sering dilakukan para pemimpin militer, saudagar kaya untuk melepas kepenatan dan tekanan pekerjaan. Ruang minim the bagi mereka merupakan wadah pengendali kedamaian, kepercayaan, dan persahabatan. Sedang seni merangkai binga (ikebana) atau tradis merangkai bunga dalam vas bunga memeng telah ada namun bunga tersebut disusun untuk meningkatkan apresiasi terhadap vas. Ikenobo senkei adalah orang pertama yang membawa seni ikebana ke dalam ruang minum teh. Ruang minum the yang dihias dengan rangkaian bunga, dimaksudkan sebagai ungkapan kemurnian, kesederhanaan dalam uasaha menghayati keindahan alam mengingat alam Jepang selalu menyediakan bunga-bunga indah di setiap musim. Keindahan ini mempunyai arti spiritual dalam hal-hal tertentu dalam kehidupan bangsa Jepang. Dalam permulaan jaman Edo, seni

merangkai bunga dikenal dengan istilah kado (jalan bunga) memiliki konotasi ajaran spiritual. Sejak itu seni merangkai bunga bertahan dan berkembang sehingga muncul beberapa aliran merangkai bunga (Musachino, 1987: 81-82).

Kepulauan Jepang merupakan bagian dari wilayah gunung berapi yang masih aktif. Aktivitas vulkanik ini secara geologis merupakan petunjuk bahwa kepulauan Jepang relative masih muda umurnya dalam artian struktur tanahnya masih sedang terbentuk. Akibat keadaan geografi ini Jepang sering dilanda bermacam – macam bencana seperti serangan angina topan (taifu) adalah angin keras dengan kecepatan 30 meter per detik terjadi pada bulan September dan membawa curah hujan yang lebat. Angin topan sering menimbulkan kerusakan pada daerah pantai, banjir dan tanah longsor. Ancaman lainnya adalah gempa bumi yang sering menimpa Jepang baik gempa dengan kekuatan besar maupun kecil. Sebab itu seluruh rakyat Jepang secara dini sudah siap menghadapi kemungkinan kejadian tersebut. Salah satu cara yang diambil yakni mengadakan latihan secara berkala dan pembangunan gedung pencakar langit tahan gempa. Di sisi lain banyaknya gunung berapi membawa dampak positif berupa adanya sumber mata air panas, lebih dinikmati sebagai tempat rekreasi dari pada tempat pengobatan. Sumber mata air panas tersebut menjadi tempat rekreasi yang diserbu jutaan orang Jepang untuk berlibur, istirahat dan bersantai. Secara keseluruhan geografi Jepang memberikan pemandangan alam yang indah dan terkadang dramatis, pegunungan penuh salju (ingat keindahan gunung Fuji), celah – celah batu karang, air terjun merupakan ilham dan kenikmatan yang tidak kunjung habis baik bagi bangsa Jepang maupun pendatang asing.

Sejarah Bangsa Jepang

Bangsa jepang yang dikaji merupakan perpadan dari berbagai macam ras yang berimigrasi ke Jepang. Ras yang dimaksud di sini menggunakan ukuran standard seperti ciri – ciri muka, bentuk tengkorak, warna dan komposisi rambut, warna kulit dan ciri khas warna mata. Dengan adanya berbagai perpaduan ini sulit menentukan ras yang benar – benar asli Jepang. Dari ras yang berimigrasi ke Jepang paling awal masuk yakni (1) ras ainu termasuk ras Kaukasus, lebih mendekati bentuk fisik ras kulit putih dengan peradaban sangat terbelakang, (2) ras yang berasal dari Asia Tenggara yakni ras Polinesia dan Melanesia, (3) ras Cina yang berasal dari Cina, (4)

ras Mongol yang masuk ke Jepang melalui Korea dan (5) ras ang berasal dari Siberia.

Kelima ras tersebut boleh jadi merupakan asal bangsa dan orang Jepang sekarang. Dalam kehidupan sehari – hari Jepang cenderung mengaku berasal dari dua sumber yakni ras Cina dan ras Asia Tenggara (Mangandaralam;1987;11-12 dan Suryohadiprojo, 1982; 9-10). Walaupnun bangsa Jepang terdiri dari lima sumber, dalam perkembangan sejarahnya telah menjadi bangsa yang bersifat homogen. Rakyat Jepang dalam perkembangannya berbeda sama sekali dengan ras yang menjadi sumbernya baik yang berasal dari Asia Tenggara maupun dari dataran asia lainnya, yang nampak pengaruhnya sekarang hanyalah kemiripan pada bentuk jasmaniahnya saja.

Pada dasarnya orang Jepang merasa dirinya sebagai orang Asia. Namun dalam sejarah modern bangsa Jepang pernah menganggap dirinya sebagai bagian dari bangsa Eropa. Dengan menempatkan diri sebagai salah satu bangsa Eropa akan menimbulkan tambahan harga diri (honour). Sebab sebelum perang dinia kedua dunia menjadi kekuasaan bangsa-bangsa Eropa. Bangsa ASEAN pernah menuduh bahwa orang Jepang merasa dirinya bukan orang Asia tetapi sebagai bangsa barat. Alasan dari tuduhan ini bahwa setelah selesainya perang dunia ke dua Jepang sudah mulai bangkit, kaisar Tenno Heika mengadakan kunjungan ke negara-negara Eropa meskipun dia diterima dengan hati dingin. Kaisar menyatakan permohonan maaf kepada negara-negara Eropa. Namun bagi bangsa Asia yang merupakan korban keganasan perang pasifik dengan kerja romusa, dan jugun gianpu (perempuan dijadikan budak nafsu), kaisar tidak mengadakan lawatan atau minta maaf. Ketidakpekaan Jepang terhadap nasib saudaranya di Asia telah menyulut emosi bangsa Asia yang diwakili oleh Korea dengan meminta kepada pemerintah Jepang untuk meminta maaf atas perlakuan selama 35 tahun menjajah Korea. Pemerintah Korea meminta konpensasi ganti rugi 13 milyar dollar AS dan baru terealisasi 500juta dollar AS (Kompas, 2002). Sedangkan bangsa Asia lainnya seperti Indonesia dan Filipina masih terus berjuang menuntut konpensasi namun sampai sekarang belum ada hasilnya.

Bangsa Jepang pada jaman kuna belum mengenal stratifikasi sosial maupun kekkuasaan yang jelas dalam kehidupan masyarakat. Sering pula pada masa ini diistilahkan sebagai jaman primitive yang dibagi menjado 3 periode yakni (1) periode jomon (jaman neolitik), (2) jaman yayoi

(jaman perunggu) dan (3) jaman kofun (jaman kubur besar). Pada periode jomon (11.000 sm) norang Jepang primitive sudah menempati rumah yang dikenal dengan nama tateanajukya (tempat tinggal ceruk) beratap kasar ditunjang oleh tiang-tiang yang dibangun diatas lubang dangkal. Mata pencahariannya berburu dan menangkap ikan (ekonomi pengumpulan makanan) mereka belum mengenal stratifikasi sosial, kekeuasaan dan bermasyarakat. Hasil manusia jomon terlihat pada daya cipata bejana tembikar yang dikenal sebagai gerabah jomon. Dalam hal ini bentuk maupun hiasannya beraneka ragam membuktikan di jaman jomon sudah ada kerajinan tangan yang bermutu tinggi. Jika dibandingkan dengan Cina, Jepang pada masa kini jauh tertinggal sebsb orang Cina telah mengenal sistem pemeliharaan ternak, pertanian, dan penggunaan perkakas perunggu.

Pada periode yayoi (300sm) ditandai dengan kehadiran teknologi-teknologi baru seperti pertanian beras, pengairan dan pembuata besi serta perunggu yang dibawa para migran dari Korea, Cina dan bangsa Asia lainnya. Pengaru dan penyebaran budaya pertanian khususnya buday penananman padi di sawah telah membawa peningkatan kualitas hidup orang Jepang disertai dengan telah dikenalnya pola hidup menetap dan berkelompok. Dengan meningkatnya kualitasdan kwantitas tenaga kerja timbullah perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, adanya perbedaan sosial politis antara penguasa dan yang dikuasai mulailah terbentuk stratifikasi sosial. Ciri khas budayapada masa ini adalah terciptanya benda-benda tembikar dengan motif yang sederhana serta munculnya perkakas perunggu seperti gayung, palu, bajak dan alu. Perkakas perunggu seperti pedang, tombak dan dotaku yaitu benda berbentuk lonceng silinder dengan sisi rata berbingkai digunakan sebagai keperluan upacara ritual.

Sedangkan periode kofun (250 sm), ditandai dengan pendirian negara-negara militer yang kuat. Dari hasil penggalian para ahli arkeologi ditemukan sejumlah kuburan berbentu bukit di seluruh Jepang dengan bentuk yang khas. Kuburan penemuan itu disebut zenpo koenfun yang berarti bukit-bukit kubur dibagian tengah berbentuk persegi dan bundar dibelakang (seperti lubang kunci). Tiap kofun selalu dikelilingi parit dan ukurannya sangat besar. Dari hasil penggalian kubur tersebut ditemukan benda-benda seni yang mengagumkan seperti cermin, pedang, zirah, hiasan kepangkatan dan hiasan pribadi (anting-anting, gelang, mahkaota dan sepatu). Namun yang paling

khas dari penemuan tersebut adalah haniwa yakni arca kecil tersusun melingkari permukaan kubur merupakan sumber informasi terpenting dalam mengungkap kebudayaan dan cara hidup pada masa itu. Bentuk bangunan rumah pada masa itu berlantai tinggi dilengkapi dengan pintu masuk, jendela dan terdapat gudang dan lumbung berlantai tinggi. Jenis arsitektur yang khas ini sampai sekarang masih tetap dilestarikan pada kuil-kuil Shinto gaya taisha dan sumiyoshi. Kehidupan keagamaan sebagian besar bersifat animisme dan pemujaan alam. Tidak ada perbedaan yang jelas antara dewa engan manusia mereka tergantung dan takut pada alam (Musashino, 1987; 9-15).

Selama Beberapa abad Jepang berada dibawah kekuasaan kaisar yang memerintah seluruh negeri Jepang dan sangat ditaati oleh rakyatnya. Perjalanan sejarah pemerintahan keisar mulai berubah setelah timbulnya pertempuran – pertempuran antar suku yang terus menerus. Di sisi lain kaisar beserta keluarga hidup di ibu kota negara lebih memperhatikan kehidupan seni budaya dan kesenangan hidup serta kurang tanggap terhadap pergolakan di daerah – daerah. Kekuasaan dan kehidupan mewah kaisar beserta para angsawan istana telah melahirkan ketidak puasan para petani (Beasley;2003). Kekuasaan kaisar menjadi goyah karena terlepasnya pengawasan terhadap wilayah kekuasaan negara. Kesempatan ini dipergunakan oleh beberapa bangsawan untuk berebut pengaruh antara keluarga Minamoto dengan Taira. Keduanya terlibat pertempuran hebat dan sebagai pemenang keluarga Minamoto. Pada tahun 1192 keluarga Minamoto yakni Yuritomo membentuk Shogunat, suatu pemerintahan yang dipimpin kaum shogun (golongan kesatria). Dalam mengantisipasi pengalaman masa lalu shogunat mendorong agar rakyat dan para banngsawanakan mengalah, meskipun lampu jalan (Traffic light) berwarna hijau. Pengemudi mobil sedapat mungkin berusaha menghindari agar jangan sampai menabrak pejalan kaki sebab hukumannya sangat berat. Jika pejalan kaki itu tertabrak sampai meninggal maka si pengemudi atau keluarganya harus membayar ganti rugi yang besar. Jadi orang akan mengkalkulasi berapa lama si korban seharusnya hidup jika tidak tertabrak dan berapa pendapatannya sampai ia meninggal. Pengemudi yang menabrak harus membayar ganti rugi sama dengan jumlah uang yang mungkin diperoleh semasa hidupnya (Rosidi, 2003: 128).

Profil Bangsa dan Wisatawan Jepang

Pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa dengan sistem isolasi selama kurang lebih 250 tahun telah membawa berbagai akibat pada bangsa Jepang. Salah satu diantaranya adalah semakin mantapnya pembentukan kepribadian bangsa Jepang. Mantapnya kepribadian yang dimiliki Jepang tidak membawa keraguan, kecemasan akan pengaruh asing. Hal ini terbukti ketika Jepang berusaha mengejar kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dari dunia Eropa. Jepang tidak merasa khawatir kehilangan kepribadian atas segala peniruan kebudayaan barat. Keyakinan akan kepercayaan kepribadian itu berakibat Jepang mampu melaksanakan westernisasi dengan sadar dan sungguh-sungguh tanpa takut bahwa hasil dari westernisasi akan menggoyahkan sendi-sendi kepribadian bangsa Jepang (Suryohadiprojo, 1982: 41). Mereka mengumpamakan bahwa proses westernisasi ibarat memakai baju untuk menutupi tubuh agar jangan kedinginan atau ibarat mencari senjata guna melindungi jiwanya. Jepang berani melakukan westernisasi karena yakin akan kepribadiannya, selama masa isolasi 250 tahun memiliki makna terhadap Jepang modern tentang adanya nilai-nilai struktur kemasyarakatan yang begitu kuat. Salah satu nilai ini adalah watak disiplin akibat penempaan militer yang berkelanjutan. Watak disiplin disertai loyalitas kepada atasan yang bersifat spiritual yakni Tenno sebagai lambang negara. Di samping itu masa Tokugawa merupakan periode dari proses pembinaan bangsa melalui penekanan pada tradisi, ketertiban, dan kestabilan serta kedamaian yang hampir sempurna. Inilah dasar dari keyakinan pemerintah sekarang (Muhaimin: 1982).

Bangsa Jepang dijuluki sebagai bangsa yang mabuk kerja (workaholic), hasil dari disiplin kerja keras mereka, menjadikannya sebagai sebagai negara kaya dan makmur. Namun disela kesibukannya mereka mulai menyadari dan menghayati arti waktu luang untuk berekreasi. Rekreasi dan waktu senggang dianggap sebagai salah satu tujuan hidup manusia. Sering pula diartikan waktu senggang sebagai pemanfaatan waktu kosong untuk belajar. Waktu senggang hendaknya digunakan meningkatkan wawasan budaya, minat untuk mengetahui masalah-masalah sosial, politik, dan menghasilkan semacam kebahagiaan yang mengarahkan seseorang untuk tidak mengejar kesenangan sesaat serta membuat hidup lebih berarti (Fukutake, 1988: 137-138).

Demikianlah rekreasi telah menjadi pola hidup manusia Jepang, dan disetiap daerah tujuan wisata akan kita jumpai serombongan wisatawan Jepang.

Dengan banyaknya wisatawan Jepang bepergian ke luar negeri khususnya ke negara-negara tujuan wisata sudah sepatutnya diperlukan peningkatan promosi penataaan objek-objek wisata serta mempelajari, mengevaluasi kesenangan atau profil wisatawan Jepang. Apalagi kita sudah menjadikan Jepang sebagai daerah pemasaran dan produksi pariwisata Indonesia. Melihat posisi Jepang sebagai negara industri dan pengirim wisatawan hendaknya kesempatan baik ini dipergunakan meningkatkan daya saing, promosi dengan negara lainnya. Profil atau ciri khas wisatawan Jepang berbeda dengan bangsa lainnya, tidak banyak omong dan berjalan serba cepat.

Dalam suatu seminar bersifar informal di Filipina, Malaysia, dan Singapura yang diprakarsai kedutaan Jepang diperoleh kesepakatan tentang persepsi negara-negara tujuan wisata terhadap profil wisatawan Jepang yakni; pergi ke negara-negara lain yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara membeli. Pemuda Bali banyak menjadi pasangan kencan kesukaan wanita Jepang bahkan ada yang sampai menikah (Rosidi, 2003: 23).

Berdasarkan pemaparan tersebut sudah sepatutnya kita siap mengambil sikap guna mengantisipasi wisatawan Jepang yang makin hari makin meningkat jumlahnya dengan tujuan beraneka ragam. Di akhir bahasan ini perlu diingat apa yang dikatakan Damore bahwa pariwisata berpotensi membantu menjembatani perbedaan budaya dan psikologi sebagai akibat perbedaan warna kulit, ras, agama serta tingkat sosial ekonomi (Bachri, 1993: 29)

SIMPULAN

Dari semua pembahasan tersebut dapat ditarik simpulan sebagai berikut, bahwa profil bangsa Jepang banyak terbentuk karena pengaruh geografisnya seperti sifat kerja keras, menghargai harmoni dan keindahan, cenderung melihat ke dalam, suka berkelompok, berdikari dan selalu siap menghadapi tantangan. Di samping pengaruh geografi, profil bangsa Jepang dipengaruhi oleh ajaran agamanya seperti etik bushido (pada aliran zen pada ajaran Buddha) dan loyalitas serta keharmonisan dari ajaran Shinto.

Jepang merupakan salah satu bangsa yang paling unik di dunia. Mereka bersifat elastis di satu

pihak takut dari ancaman luar dipihak lain mereka memiliki naluri untuk mengambil pengaruh luar guna menjaga dan menjamin kelangsungan hidupnya. Dalam mengambil alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar mereka tidak merasa khawatir akan berpengaruh atau merubah kepribadian dan budayanya. Ada wadah yang siap menerima segala macam kebudayaan yang diatur oleh alam serta keadaan Jepang yakni penyesuaian dan keberagaman. Inilah yang mewarnai nilai-nilai budaya Jepang itu sendiri. Sebagai bukti dalam masa teknologi canggih, rasionalisasi dalam pemikiran, sebagai pusat kemajuan materialisme di dunia rakyat Jepang masih tetap eksis mempertahankan kepribadian dan budayanya berlandaskan pada keindahan dan harmoni dalam segala aspek kehidupannya.

Dalam masa pembaharuan (restorasi meiji) sebagian besar golongan pembaharu (revolusioner) kelas bangsawan, samurai dengan berani melikuidasi diri sebagai kelas biasa. Mereka berani mengambil kebijakan secara fundamental menghapuskan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Penghapusan kelas atau kasta mungkin terasa berat dilakukan bagi bangsa lain, namun pemerintah Jepang tetap melakukannya. Memang aneh dan unik golongan bangsawan, samurai yang berkuasa sebagai kelas atas justru mau mensejajarkan diri dengan masyarakat kelas bawah. Demikian pula dalam proses mempercepat modernisasi pemerintah meiji menerapkan sitem wajib sekolah dan militer. Sedang dalam bidang ekonomi sistem wajib pajak yang dahulu dibayar dengan hasil panen (beras) diganti dengan uang tunai.

Mengkaji dan memahami masalah budaya dan profil bangsa Jepang, selain bermanfaat untuk mempererat hubungan persahabatan khususnya sesama bangsa Asia, juga untuk menghilangkan prasangka saling curiga mencurigai, mengingat bangsa Indonesia pernah di jajah Jepang. Namun setelah kemerdekaan pemerintah Jepang telah banyak membantu pinjaman dana guna mempercepat proses pembangunan di Indonesia. Untuk itu bagi pengusaha yang bergerak di sektor usaha pariwisata perlu memahami budaya dan profil wisatawan Jepang. Di bidang pariwisata kita berharap akan lebih banyak menarik kunjungan, lama tinggal dan pengeluaran devisa dari wisatawan Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Bachri, Thamrin B. 1993. “Dampak Sosial Budaya

Kegiatan Pariwisata”, dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, No.7 Triwulan I/Maret

Beasley, W.G., 2003. Pengalaman Jepang Sejarah Singkat Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Fukutake, Tadashi, 1988. Masyarakat Jepang Dewasa ini. Jakarta: PT Gramedia

Kansil, C.S.T. dan Julianto. 1984. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga

Kompas, 2002. “Jumlah Wisatawan Asal Jepang Anjok” Jumat 8 Nopember, no.14

Liliweri, Alo, 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mangandaralam, Syahbuddin, 1987. Mengenal Dari Dekat JepangNegara Matahari Terbit. Jakarta: Remaja Karya CV.

Moedjanto, G.1988. Indonesia Abad ke-20 I. Yogyakarta: Kanisius

Musashino,   Emiritus   (et.al).1987. Sejarah

Kebudayaan Jepang Sebuah Perspektif. Kementerian Luar Negeri Jepang

Onghokham,1989. “Jepang Suatu Kebudayaan Kepulauan”, dalam Kompas, No. 275 Tahun ke-24, Sabtu, 8 April

Pranoto, Toto, 1990. Strategi Memasarkan Pariwisata: Memahami Karakter Wisatawan Jepang”, dalam Management & Usahawan Indonesia, No. 12 Tahun XIX, Desember

Purwasita,    Andrik, 2003. Komunikasi

Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah

Rosidi, Ajip, 2003. Orang Dan Bambu Jepang Catatan Seorang Gaijin. Jakarta: PT. Dunia Puastaka Jaya.

Suryohadiprojo, Sayidiman, 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Pejoangan Hidup. Jakarta: Unuversitas Indonesia

55