Corrigendum: Model Process-Person-Context-Time (PPCT) Bronfenbrenner Pada Kesehatan Mental Konteks Kebencanaan
on
Jurnal Psikologi Udayana 2023, Vol.10, No.2, 343-353
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2023.v10.i02.p03
Corrigendum: Model Process-Person-Context-Time (PPCT) Bronfenbrenner Pada Kesehatan Mental Konteks Kebencanaan
Petrayuna Dian Omega
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Krida Wacana [email protected]
Abstrak
Petra Yuna Dian Omega menemukan kesalahan pada penulisan artikel yang telah terbit yakni ”Model Process-Person-Context-Time (PPCT) Bronfenbrenner Pada Kesehatan Mental Konteks Kebencanaan”, Dian Omega, Petrayuna (2023). Dalam catatan ini kami menerbitkan kembali naskah yang telah dikoreksi dalam versi terbaru.
Bencana alam dapat menyebabkan masalah kesehatan mental. Kesehatan mental merupakan hal penting untuk menghadapi situasi tak terduga. Teori kesehatan mental dari Bronfenbrenner khususnya teori proses proksimal Bronfenbrenner dengan model Process-Person-Context-Time (PPCT) dapat memprediksi kesehatan mental karena teori ini dapat mendeteksi hubungan antara faktor-faktor proksimal dan berbagai luaran kesehatan mental. Bronfenbrenner tidak banyak membahas mengenai objek-objek dan simbol-simbol dalam risetnya dimana hanya satu artikel yang mengupas hal tersebut. Jika dibandingkan dengan interaksi interpersonal, interaksi dengan objek dan simbol dapat terjadi tanpa melibatkan orang lain sehingga sumber daya dan kepemilikan seseorang berperan besar dalam memengaruhi kekuatan dan arah proses proksimal. Penelitian ini menggunakan Diskusi Kelompok Terarah dengan partisipan 10 orang wanita dewasa penyintas bencana alam di Palu Sulawesi Tengah tahun 2018. Hasil penelitian ini menunjukkan pada kondisi bencana banyak orang kehilangan objek dan simbol berharga dalam hidupnya sehingga perlu mengeksplorasi lebih lanjut kesesuaian model PPCT dalam kesehatan mental konteks kebencanaan. Penelitian ini membutuhkan studi lebih lanjut untuk memastikan kesesuaian penggunaan model PPCT dalam kesehatan mental konteks kebencanaan.
Kata kunci: bencana; kesehatan mental; model PPCT; simbol dan objek
Abstract
Natural disasters can cause mental health problems. Mental health is important for dealing with unexpected situations. Mental health theory from Bronfenbrenner especially Bronfenbrenner's proximal process theory with the Process-Person-Context-Time (PPCT) model can predict mental health because this theory can detect the relationship between proximal factors and various mental health outcomes. Bronfenbrenner doesn't talk much about objects and symbols in his research where only one article explores them. When compared with interpersonal interaction, interaction with objects and symbols can occur without involving others, so that one's resources and possessions play a big role in influencing the power and direction of proximal processes. This study used a Focus Group Discussion with participants of 10 adult women survivors of natural disasters in Palu, Central Sulawesi in 2018. The results of this study show that in catastrophic conditions many people lose valuable objects and symbols in their lives so it is necessary to further explore the suitability of the PPCT model in mental health in the context of disaster. This research requires further studies to ascertain the suitability of the use of the PPCT model in mental health disaster contexts.
Keywords: disaster; mental health; PPCT model; symbol and object
LATAR BELAKANG
Bencana berupa gempa bumi yang diikuti oleh tsunami dan juga likuifaksi melanda Sulawesi Tengah di Indonesia pada 28 September tahun 2018. Bencana alam seperti gempa bumi dapat menyebabkan rumah tangga terutama yang lebih miskin mengalami kehilangan asset dan kesejahteraan (Markhvida et al., 2020). Penyintas bencana seperti gempa bumi mengalami masalah yang berkaitan dengan kondisi fisik (Sherchan et al., 2018; Thoyibah et al., 2020) seperti penyakit fisik kronis (Maeda & Oe, 2017), cedera traumatis dan kondisi terkait (Barbour, 2014), tetapi juga masalah kesehatan mental (Hechanova & Waelde, 2017; Thoyibah dkk., 2020; Mutianingsih & Mustikasari, 2019; Zhang et al., 2014; Zuhri, 2009; Hugelius et al., 2017). Bencana menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental tetapi masalah kesehatan mental dilaporkan lebih sering daripada cedera fisik dan berlangsung lebih lama daripada masalah fisik (Hugelius et al., 2017). Akibatnya, masyarakat dapat mengalami stres dan trauma akibat bencana tersebut (Elita et al., 2017).
Bencana mempengaruhi kondisi kesehatan mental (Hechanova & Waelde, 2017; Bryant et al., 2017; North, 2016) pada individu (Makwana, 2019) dan masyarakat atau penduduk (Makwana, 2019; Gruebner et al., 2017; Bryant dkk., 2017), serta terkait dengan respon pascatrauma (Maeda & Oe, 2017). Prevalensi gangguan kesehatan mental pada penyintas pasca bencana, yaitu dua hingga tiga kali dibandingkan pada populasi umum (Math et al., 2015). Kesehatan mental merupakan hal yang penting bagi masyarakat dalam menghadapi situasi darurat yang tak terduga (Gray et al., 2021)5.
Peneliti dalam memandang kesehatan mental mengacu pada teori Bronfenbrenner. Model bioekologis merupakan sistem teori untuk studi ilmiah tentang perkembangan manusia (Bronfenbrenner, 2005). Perkembangan merupakan perubahan karakteristik bioekologis dan fenomena berlanjut dari manusia (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Teori proses proksimal Bronfenbrenner dengan model Process-Person-Context-Time (PPCT) dapat menjadi prediktor yang paling kuat terhadap luaran kesehatan mental karena teori ini dapat mendeteksi hubungan antara faktor-faktor proksimal dan berbagai luaran kesehatan mental (Eriksson, Ghazinour, & Hammarström, 2018). Menurut proses proksimal Bronfenbrenner, perkembangan manusia terjadi melalui proses interaksi manusia dan orang-orang, simbol-simbol, dan objek-objek dalam lingkungan eksternal terdekatnya; proses proksimal mempengaruhi lingkungan dan orang yang berkembang; konteks melibatkan empat sistem yang berhubungan; dan waktu merupakan hal penting karena model PPCT dapat dilihat dari istilah yang relatif konstan maupun berubah (Rosa & Tudge, 2013). Model PPCT dianggap paling tepat dalam desain riset untuk teori Bronfenbrenner (Eriksson et al., 2018).
Teori bioekologis Bronfenbrenner telah memberikan sumbangan ilmiah, tetapi sepertinya menimbulkan kurangnya pengujian teori dan kebingungan konseptual dalam sebagian besar riset dalam kerangka teorinya (Tudge, Mokrova, Hatfield, & Karnik, 2009). Hal ini dapat terjadi karena sedikitnya penelitian yang berfokus pada PPCT. Temuan ini disampaikan oleh Tudge et al. (2009) yang menemukan hanya empat dari 25 artikel publikasi yang menggunakan PPCT sebagai dasar teorinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan dan dilema dalam penggunaan teori PPCT. Meskipun teori Bronfenbrenner dianggap alat konseptual yang tepat dalam mengarahkan intervensi di bidang kesehatan mental (Eriksson et al., 2018), tetapi Bronfenbrenner sendiri lebih banyak merujuk ke penelitian-penelitian lain untuk menunjukkan bagaimana model PPCT bekerja sehingga menimbulkan keraguan terhadap teorinya (Tudge et al., 2009). Bronfenbrenner seharusnya membuat penelitian-penelitian pribadi terkait model PPCT terlebih dahulu kemudian merujuk kepada penelitian-penelitian tersebut untuk meyakinkan bahwa teorinya dapat diterapkan. Selain itu, Bronfenbrenner kurang banyak membahas mengenai simbol-simbol dan objek-objek dalam risetnya dimana hanya satu artikel yang mengupas hal tersebut (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Bronfenbrenner belum sepenuhnya mengembangkan teori yang diusulkannya. Hal ini membuat Bronfenbrenner dikritik karena lebih menekankan pada interaksi proses proksimal antar orang, tetapi simbol-simbol dan objek-objek kurang mendapatkan penekanan (Rosa & Tudge, 2013). Berdasarkan kritik tersebut, pada dasarnya simbol dan objek dapat memiliki peran penting dalam kaitannya dengan proses proksimal. Model bioekologis mengenalkan konsep domain dalam struktur mikrosistem yang menggarisbawahi sumbangan terhadap perkembangan proses proksimal melalui interaksi objek dan simbol (Bronfenbrenner & Morris, 2006).
Jika dibandingkan dengan interaksi interpersonal, interaksi dengan simbol dan objek dapat dilakukan tanpa melibatkan orang lain sehingga sumber daya dan kepemilikan seseorang berperan besar dalam memengaruhi kekuatan dan arah proses proksimal (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Sumber daya dan kepemilikan seseorang bisa saja bersumber dari dukungan sosial orang lain. Dukungan sosial yang diberikan dalam bentuk pemberian langsung disebut dengan dukungan instrumental (Sarafino, 2011). Dukungan instrumental bisa berbentuk objek dan simbol seperti hunian sementara, dana untuk pengobatan, dan sebagainya. Selain dengan individu, proses proksimal melibatkan interaksi yang lebih kompleks dengan objek, dan hal tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk seperti bekerja sesuai hobi, bermain fantasi, membaca, dan bermain dengan mainan (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Dalam perspektif dukungan sosial (Sarafino, 2011), proses proksimal dengan objek dan simbol bisa terkait dengan dukungan sosial yang menyangkut aspek dukungan instrumental berupa pemberian atau penyediaan barang kebutuhan yang ada di rumah keluarga dengan status ekonomi rendah.
Fenomena kesehatan mental di Sulawesi Tengah menunjukkan beragam temuan. Penelitian terhadap 200 orang wanita penyintas bencana 2018 di kota Palu Indonesia menunjukkan bahwa dimensi personal growth dan positive relationship dari wellbeing yang diajukan Keyes merupakan faktor yang paling berkontribusi terhadap well-being wanita selama pemulihan pasca bencana, dan bersamaan dengan hal itu peran mereka sebagai tulang punggung keluarga dalam ekonomi dan sosial meningkat (Handayani & Nurdin, 2021). Selanjutnya, penyintas bencana alam di Pantoloan, Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah Sulawesi, Indonesia, sebagian besar mengalami stress berat (51.5%), kecemasan akut (90.9%), dan depresi ringan (66.7%)
(Iswari, 2020), sedangkan sebagian besar wanita (70.43%) dari daerah Sigi Biromaru, Sulawesi Tengah, mengalami PTSD berat (Amanda, Hidajah, & Wahyuni, 2021). Hasil riset lain, yaitu prevalensi kesehatan mental mahasiswa Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah, dalam bentuk gejala depresif dengan kategori tinggi sebanyak 22,67% (wanita 22,22%, pria 23,33%), gejala kecemasan dengan kategori tinggi sebanyak 51,75% (wanita 51,22%, pria 51,22%), dan gejala stress dengan kategori tinggi sebanyak 9,88% (wanita 9,62%, pria 10,34%) (Rasido & Patodo, 2020). Lebih lanjut, selama ini anak-anak yang mendapat manfaat pendampingan sedangkan orangtua dan mentor anak-anak di Palu, Sigi dan Donggala yang mayoritas wanita dewasa merasa juga membutuhkan pendampingan (Sokang et al., n.d). Hal ini jika tidak diteliti dan ditindaklanjuti maka dapat menimbulkan masalah kesehatan mental yang semakin serius di masa yang akan datang. Model PPCT Bronfenbrenner yang masih memiliki perdebatan teoretis akan diteliti kembali dalam kaitannya dengan kesehatan mental konteks kebencanaan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kesesuaian model PPCT Bronfenbrenner dalam kesehatan mental terutama berkaitan dengan objek dan simbol yang selama ini kurang mendapatkan penekanan. Selain itu, penelitian ini mengkaitkannya dengan teori mengenai PTSD terkait trauma (APA, 2013). Bencana alam merupakan kejadian traumatis dan dapat menimbulkan trauma bagi penyintasnya. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition (DSM-5); American Psychiatric Association, 2013) mendefinisikan kejadian traumatis sebagai paparan terhadap cedera serius, kekerasan seksual, ancaman kematian maupun kematian yang sebenarnya, baik melalui pengalaman langsung, belajar bahwa hal itu terjadi pada orang lain, melihat peristiwa, atau mengalami paparan berulang terkait detail peristiwa; dan bencana alam maupun bencana karena buatan manusia termasuk peristiwa traumatis. Penyintas bencana dapat mengalami trauma pasca bencana atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Selanjutnya, penelitian ini terkait dengan teori mengenai resiliensi terhadap bencana alam. Proses proksimal dengan objek dan simbol juga bisa dikaitkan dengan resiliensi seseorang. Connor dan Davidson (2003) menyampaikan bahwa resiliensi merupakan kapasitas untuk menghadapi situasi yang sulit dan kemampuan beradaptasi yang menunjukkan individu dapat bertumbuh dalam situasi sulit. Orang dengan sumber daya dan kepemilikan yang terbatas atau situasi sulit, akan dapat terlihat sisi resiliensinya. Proses proksimal dalam model PPCT dengan lingkungan yang terkena bencana memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap penyintas bencana. Untuk orang resilien yang tidak menunjukkan gejala pasca trauma dan dapat menghadapi peristiwa traumatis dengan baik, stres dapat mendorong pertumbuhan psikologis yang membangun dan adaptif (Bonanno, 2004). Connor dan Davidson (2003) menyampaikan bahwa resiliensi merupakan kapasitas untuk menghadapi situasi yang sulit dan kemampuan beradaptasi yang menunjukkan individu dapat bertumbuh dalam situasi sulit. Connor dan Davidson (2003) menjelaskan beberapa dimensi dalam resiliensi: 1) Kemampuan khusus, kualitas yang bagus, dan kemampuan melakukan sesuatu, 2) percaya kepada perasaannya, adaptif terhadap suasana hati yang buruk, dan memberdayakan dampak dari distres, 3) adaptasi yang baik dan hubungan interpersonal yang baik, 4) kontrol dan elemen, dan 5) dampak spiritual.
Selain resiliensi, proses proksimal model PPCT juga terkait dengan relasi interpersonal dan objek maupun simbol, yang semuanya bisa berkaitan dengan dukungan sosial. Sarafino (2011) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan dukungan yang memberikan rasa nyaman, merasa dipedulikan, merasa dihargai, merasa didukung oleh individu dan komunitas. Dukungan sosial merupakan sumber penting yang membantu orang dalam menghadapi bencana alam (Kaniasty, 2020). Sarafino (2011) selanjutnya menjelaskan beberapa aspek dari dukungan sosial: 1) dukungan emosional, 2) dukungan perhatian, 3) dukungan instrumental, 4) dukungan informatif, dan 5) dukungan jejaring.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan teori bioekologis dengan model PPCT dari Bronfenbrenner terkait kesehatan mental konteks kebencanaan. Selain itu, studi ini juga akan mengeksplorasi keterkaitan model PPCT Bronfenbrenner (Rosa dan Tudge, 2013) dengan teori PTSD (APA, 2013), resiliensi (Connor & Davidson, 2003), dan dukungan sosial (Sarafino, 2011) terkait kesehatan mental konteks bencana alam. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kesesuaian model PPCT Bronfenbrenner dalam kesehatan mental konteks kebencanaan?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma positivistik, yaitu pendekatan filosofi yang menekankan pendekatan ilmiah dan pendekatan lainnya yang berfokus pada pengukuran dan perhitungan dimana pendekatan ini memberi informasi pandangan tentang dunia, tetapi tidak sekedar apa yang dilihat (Biggerstaff, 2012). Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan deskriptif, hal ini berarti penelitian berfokus memberikan deskripsi garis besar secara presisi, otentik, dan terstruktur tentang kenyataan, karakteristik, dan relasi antarperistiwa yang dieksplorasi (Nazir, 2014).
Konsep yang Diteliti
Penelitian ini meneliti konsep model Process-Person-Context-Time (PPCT) dari Bronfenbrenner dalam kesehatan mental khususnya dikaitkan konteks kebencanaan. Konsep ini dikaitkan pula dengan teori kesehatan mental lainnya seperti PTSD, resiliensi, dan dukungan sosial.
Metode Sampling
Sampling purposeful dipilih karena sampel dipilih berdasarkan lokasi dan individu yang sesuai dengan tujuan penelitian (Creswell, 2014).
Partisipan Penelitian
Lokasi yang dipilih, yaitu kota Palu, Sulawesi Tengah, adalah salah satu daerah terdampak bencana alam terutama gempa bumi dan tsunami tahun 2018. Partisipan merupakan partisipan dewasa berumur 18-60 tahun dan mereka mendapatkan penjelasan
dari peneliti mengenai isu-isu etis rencana pelaksanaan penelitian. Peneliti setelah menjelaskan isu-isu etis dalam DKT memersilahkan para calon partisipan mengisi informed consent serta menandatanganinya untuk melakukan DKT pada tanggal 28 Oktober 2022.
Desain Penelitian
Penelitian kualitatif dipilih karena dapat mengeksplorasi pengalaman komunitas secara mendalam dan peneliti menggunakan metode berupa proses induktif untuk mengorganisasi tema dan data (Bradshaw, Atkinson, & Doody, 2017) dari Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi Kelompok Terarah (DKT) karena hal ini dianggap efektif untuk mengamati interaksi dalam kelompok (Anderson, 2010). Kredibilitas data dari DKT yang dilakukan dapat dipercaya karena dilakukan perekaman video dan audio terhadap proses DKT sehingga dapat diperiksa berulang kali untuk keperluan analisis.
Prosedur Pengambilan Data
Data dikumpulkan melalui DKT. DKT adalah salah satu cara efektif untuk mengamati dinamika maupun interaksi dalam kelompok (Anderson, 2010). Pertanyaan terbuka diajukan selama DKT untuk mengidentifikasi dan memahami pengalaman dan sudut pandang anggota komunitas tanpa dipengaruhi perspektif peneliti (Harwell, 2011). DKT dilakukan dengan jumlah peserta 10 orang wanita dewasa penyintas bencana alam. DKT dilakukan di tempat yang aman dan nyaman, dilakukan dalam Bahasa Indonesia dan dilakukan secara daring. Pertanyaan dalam DKT disusun berdasarkan teori bioekologis dengan model PPCT dari Bronfenbrenner (Rosa dan Tudge, 2013), seperti hal apa saja yang sampai sekarang masih teringat kembali dari peristiwa bencana yang lalu dan berpengaruh terhadap keseharian Anda?; Apa saja yang Anda upayakan untuk menghadapi kondisi-kondisi tersebut?; Pihak-pihak mana saja yang merespon kondisi pasca bencana?; Bagaimana pandangan Anda terhadap mereka terkait pemenuhan kebutuhan Anda?
Teknik Analisis Data
Data DKT dianalisis dengan menggunakan analisis konten dengan pendekatan induktif. Data DKT akan dibuat dalam verbatim lebih dahulu dan peneliti melakukan koding terbuka untuk mencari kata yang memiliki arti yang sama. Peneliti membuat kategori-kategori dan tema-tema dengan mengelompokkan kata-kata yang memiliki kesamaan dalam satu kategori atau kelompok (Charmaz, 2012). Analisis akan divisualisasi dengan menggunakan perangkat lunak Social Network Visualizer v3.0.4 untuk menunjukkan korelasi respon-respon dalam bentuk gambar. Visualisasi dilakukan dengan menghubungkan koding dan verbatim dari tema yang bersinggungan dengan koding maupun verbatim dari tema lainnya melalui sebuah garis sehingga akan muncul hubungan antar tema; selain itu, tema yang tidak bersinggungan bisa berdiri sendiri tanpa garis yang menghubungkan dengan tema lain.
HASIL PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian berupa DKT dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2022 yang melibatkan sepuluh orang wanita dewasa penyintas bencana tahun 2018 di Palu, Sulawesi Tengah. Hasil visualisasi tema disajikan melalui aplikasi Social Network Visualizer v3.0.4 dalam Gambar 1.
Berdasarkan visualisasi pada Gambar 1, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa tema yang menonjol di antaranya trauma dan penanganannya, teringat masa bencana, evakuasi dan relokasi, ingat keluarga, rumah hancur, dan huntara tidak layak.
Gambar 1. Tema Diskusi Kelompok Terarah
PEMBAHASAN
Teringat Masa Bencana, Trauma dan Penanganannya
Salah satu partisipan berinisial JA (44 tahun, ibu rumah tangga) menunjukkan bagaimana dirinya mengalami dinamika trauma:
“Yang terjadi dengan kita, masih trauma Pak, ada suara ombak ke mari Pak, kaget kita Pak. Sempat lagi lari. Jadi ya, musim hujan, ada gangguan lagi Pak, mungkin ada banjir naik lagi. Tidak, senang kita tidur. Lihat-lihat lagi di pantai, gimana keadaannya di pantai itu. Naik air tidak”
JA yang mengalami trauma dapat disebabkan oleh dinamika dirinya dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Konstruk Process yang menekankan hubungan manusia dan lingkungannya disebut dengan proses proksimal, dan interaksi individu dengan lingkungannya dapat berdampak ke perkembangannya sebagai manusia (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Kondisi di atas menunjukkan perkembangan manusia dari JA sebagai Person yang mengalami trauma cukup lama meskipun dari segi Context bencana alam dan segi Time sudah empat tahun berlalu. Proses proksimal JA dengan potensi ancaman dari alam seperti suara ombak laut dan pasang surut air laut di pantai akibat hujan yang bisa menyebabkan banjir membuatnya senantiasa waspada dan siap melakukan evakuasi. Suara ombak laut dan air laut yang pasang surut karena hujan merupakan objek dan simbol dalam konstruk Process model PPCT yang berkaitan dengan tsunami. Proses proksimal JA dengan objek dan simbol yang terkait tsunami secara terus-menerus inilah yang membuatnya membutuhkan waktu untuk berproses dengan trauma dalam perkembangannya sebagai manusia dewasa. Respon JA yang mudah kaget mengindikasikan gejala hyperarousal dan reaktivitas dalam PTSD (APA, 2013) dan hal ini wajar dialami pasca bencana alam yang besar. Segi Time menunjukkan bahwa kejadian telah empat tahun berlalu, tetapi hal tersebut masih menimbulkan dampak psikologis pada Person, yaitu penyintas bencana alam seperti susah tidur saat mendengar suara ombak, teringat anak ketika meninggalkan rumah, kaget mendengar suara mobil yang kencang, sudah tidak mampu bercerita karena mau muntah, apabila mendengar suara angin kencang dan guntur menjadi teringat masa lalu, yaitu bencana sehingga membuat partisipan tidak sanggup bicara lagi dan menangis. Fenomena ini menunjukkan bahwa dari segi Time meskipun suatu peristiwa sudah berlalu beberapa tahun, tetapi tetap dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi Person dalam situasi pasca bencana. Pada sisi yang lain, JA sempat terseret ombak tsunami sejauh sekitar 500 meter melewati rumah-rumah, lapangan, hingga masjid yang kesemuanya itu sangat mengancam keselamatannya, tetapi JA dapat menerima hal ini dan dapat mengerjakan tugas sehari-hari. Selain itu, proses JA yang bertahan selama ini dalam situasi pasca bencana menunjukkan resiliensi JA saat menghadapi situasi yang sulit (Connor & Davidson, 2003). Selanjutnya, kondisi JA
membutuhkan dukungan sosial untuk menghadapi masa bencana (Kaniasty, 2020) terutama dalam aspek dukungan emosional untuk mengatasi emosi-emosi yang muncul sehari-hari saat teringat peristiwa bencana agar JA menjadi lebih stabil dalam mengelola emosi, selain itu, dukungan instrumental seperti terapi diperlukan bila kondisi JA belum membaik dan dukungan informasi misalnya pemahaman berkaitan dengan bencana agar siap menghadapi bencana alam yang akan datang (Sarafino, 2011).
Serupa dengan cerita JA, partisipan lain berinisial JC (51 tahun, wiraswasta/ibu rumah tangga) juga mengalami pengalaman yang sangat membekas dan menimbulkan trauma:
“Terima kasih Pak. Halo Pak. Pengalaman saya waktu gempa dan tsunami lalu itu memang betul-betul sangat membekas, dan sampai di kepala, semuanya Pak, membekas di dalam hati kami, terutama saya dan teman-teman semua ini. Pada saat kejadian itu Pak, kami kan ada kegiatan waktu itu rencana mau pergi menonton salah satu kegiatan, tetapi pada saat itu saya mendengar, kan kebetulan lokasi kejadian ini kami duga ada jembatan putus, itu seperti bom, jadi saya kaget, kaget, setelah itu lari, semua rumah kami lihat sudah hancur sudah dibawa air. Pada saat itu saya tidak sempat mengalami kejadian itu air air air masuk tetapi pada saat kejadian tsunami itu setelahnya baru rumah kami hancur, masuk air laut semua sampai sekarang itu rumah sebenarnya sudah tidak bisa layak ditinggali tapi apa boleh buat Pak. Mau tinggal di mana lagi. Sampai sekarang tinggal di bekas gempa juga. Rumah dua lantai, tidur di ruang tamu karena trauma. Kunci rumah tetap tersedia tapi kami tidak menguncinya lagi karena trauma Pak ”.
Pengalaman JC memiliki proses proksimal dengan lingkungan fisik khususnya objek dan simbol yang terkena gempa dan tsunami sehingga menimbulkan trauma di dalam pikirannya. Menurut Bronfenbrenner, ekologi perkembangan manusia merupakan bagaimana perubahan lingkungan dan implikasinya bagi individu yang tinggal di dalamnya (Rosa dan Tudge, 2013). Hal ini menunjukkan perubahan kondisi lingkungan akibat bencana yang berdampak dalam perkembangannya. Kondisi trauma tersebut membuat JC memilih tidur di ruang tamu dan pintu tidak dikunci. Kondisi tersebut menunjukkan gejala kecenderungan menghindar dari area selain ruang tamu maupun menghindari mengunci pintu, dan gejala intrusi berupa pikiran yang membekas (APA, 2013). Pada sisi yang lain, JC mengalami rumahnya hancur dan air laut masuk ke dalam rumahnya pada saat itu sehingga JC menganggap rumahnya tidak layak huni. Meskipun demikian JC tetap menempati rumahnya dan bertahan dalam situasi yang susah maupun tidak nyaman tersebut dalam jangka waktu beberapa tahun. Keberanian JC menempati area rumahnya yang dapat memicu trauma dan dapat beraktivitas dalam keseharian di rumah tersebut merupakan suatu kemajuan dalam menghadapi kondisi yang sulit. Hal-hal tersebut menunjukkan dinamika bahwa JC merupakan seorang yang resilien. Selain itu, kondisi JC membutuhkan dukungan sosial antara lain dukungan emosional dari orang-orang terdekat untuk menangani gejolak emosi akibat trauma yang muncul, dukungan instrumental seperti terapi maupun tempat tinggal yang aman, dan dukungan informasi seperti edukasi berkaitan dengan bencana (Sarafino, 2011).
Partisipan JE (43 tahun, honorer) juga menunjukkan adanya trauma pasca bencana 2018:
” Kadang kalau saya biasa ke luar rumah ya, ingat kejadian itu memang sempat saya ke luar rumah, saya dapat mereka sudah tidak ada lagi di rumah. Biasa kalau ke luar rumah sekarang ingat anak-anak, takut kalau kejadian lagi. Karena kejadian kemarin, sampai dua malam saya punya anak saya. Mungkin cukup begitu dulu Pak”
“…ada kencang angin, hujan deras, takut kita Pak. Karena ceritanya kan ada gempa dua koma, tiga koma, kita sudah rasa karena dahsyatnya gempa kemarin. Sampai kita ada gempa sedikit kita sudah bisa rasa karena kejadian gempa yang 2018 itu (sambil sesenggukan dan meneteskan air mata)”
“…masih terbayang terus sampai sekarang. Namanya orang trauma masih terbayang terus sampai sekarang”
Proses proksimal dengan lingkungannya, yaitu objek dan simbol berupa angin kencang dan hujan deras membuatnya takut. Selanjutnya, kondisi JE yang meneteskan air mata dan sesenggukan saat bercerita menunjukkan bahwa JE masih memiliki isu terkait bencana 2018. Selain itu, ia terus terbayang sampai sekarang terkait bencana 2018 dan merasa trauma. Kondisi tersebut menunjukkan gejala-gejala berupa hyperarousal dan reaktivitas berupa mudah takut, dan gejala intrusi berupa terbayang bencana sampai sekarang (APA, 2013). Namun demikian, kondisi tersebut merupakan hal yang wajar terjadi bagi penyintas bencana alam untuk menuju proses pemulihan. Hal ini juga memperlihatkan bahwa JE sebenarnya membutuhkan waktu lebih lama untuk perkembangannya berdasarkan perspektif model PPCT. JE sudah dapat merasakan proses proksimal dengan objek dan simbol berupa gempa skala kecil. Meskipun demikian, JE sejauh ini dapat bertahan menghadapi gempa-gempa ringan. JE sempat kehilangan anaknya pasca bencana 2018 selama dua hari dan setelah itu JE dapat merasa takut bila terjadi kembali. Namun, proses yang dijalani hingga saat ini bahwa JE tetap beraktivitas keluar rumah menunjukkan bagaimana JE berusaha menghadapi masa-masa yang susah, seperti meninggalkan anak di rumah. Hal ini menunjukkan dinamika JE berproses untuk menjadi orang yang resilien. Kondisi JE mengindikasikan proses resiliensinya untuk menghadapi situasi yang sulit pasca bencana (Connor dan Davidson, 2003). JE membutuhkan dukungan emosional untuk mengelola emosi seperti rasa takut dan gejala intrusi, membutuhkan dukungan instrumental, seperti terapi apabila kondisi menunjukkan gejala yang semakin berat dan dukungan informasi berkaitan dengan pendidikan kebencanaan (Sarafino, 2011).
Evakuasi dan Relokasi
JD mengatakan bahwa ibu-ibu partisipan pada dasarnya tahu untuk evakuasi ke tempat aman:
”Menurut ibu-ibu di sini, kalau terjadi bencana lagi mereka bingung mau kemana, karena di gunung terjadi likuifaksi, di dekat laut terjadi tsunami, jadi antisipasinya pergi ke mana, pergi ke mana mereka melihat tempat aman di situ ya ini karena ke gunung juga yang diarahkan tapi ada longsor, begitu Pak. Itu sih pendapat Ibu-ibu”
Partisipan JD menegaskan bahwa meskipun ada unsur kebingungan dalam melakukan evakuasi saat bencana akibat adanya bahaya lain saat peristiwa tahun 2018, tetapi pada dasarnya para partisipan akan pergi ke tempat aman saat terjadi bencana. Proses proksimal ini terjadi karena partisipan telah belajar dari peristiwa sebelumnya sehingga memiliki perkembangan dalam evakuasi saat bencana sambil tetap waspada mengamati area yang aman untuk evakuasi. Selanjutnya, respon untuk melakukan evakuasi bencana dengan berlari ke gunung maupun tempat aman menunjukkan dorongan alamiah untuk menyelamatkan diri dari bencana alam. Selain itu, berdasarkan respon JD pada dasarnya mereka membutuhkan dukungan sosial, khususnya dukungan informasi (Sarafino, 2011) berkaitan dengan tempat evakuasi yang benar-benar aman.
Sementara itu, partisipan JF mengungkapkan pengalamannya saat menempati area relokasi sementara pasca bencana: ”Kita orang dari huntara Pak, huntaranya kita orang itu Pak, sudah dipakai yang punya tanah yang punya lahan. Jadi kita orang sudah diusir, kita orang sudah dipindah ke lokasi masing-masing. Untuk sementara saja itu” ” Lokasinya itu tidak terlalu luas Pak, sempit, anak saya banyak Pak. ” ” Anak empat laki-laki semua”
” Ukuran pondok 4 kali berapa… 4 x 6”
Partisipan JF yang menempati area relokasi sementara di tanah milik orang lain mendapatkan pengusiran dan hal ini menjadi proses proksimal dengan relasi interpersonal yang tidak baik. Proses proksimal dengan objek dan simbol berupa tempat relokasi sementara juga menjadi hilang. Partisipan bersama suami dan keempat anaknya akhirnya tinggal di pondok berukuran 4 x 6 meter yang dianggapnya tidak terlalu luas atau sempit sehingga aktivitas di rumah sementara ini menjadi terbatas. Orang yang mengalami situasi ini membutuhkan waktu berproses yang lebih banyak dalam perkembangannya menurut perspektif model PPCT. Kondisi sulit seperti tinggal di pondok yang sempit tetap dapat berkontribusi pada penyintas untuk berproses menjadi resilien karena resiliensi dapat terbentuk melalui adaptasi dalam kondisi yang penuh kesulitan (Connor & Davidson, 2003) meskipun di sisi lain dapat membutuhkan aspek time yang lebih lama untuk menurunkan kecenderungan gejala-gejala trauma pasca bencana. Para penyintas yang mengalami pengalaman sangat traumatis dapat membutuhkan proses pemulihan dengan aspek time dalam jangka yang relatif lama dan hal tersebut juga bergantung pada kapasitas resiliensi masing-masing individu. Para penyintas bencana yang melakukan evakuasi ke tempat relokasi karena kehilangan rumah sudah sepatutnya mendapat dukungan sosial. Dukungan sosial sangat penting untuk membantu orang dalam menghadapi bencana alam (Kaniasty, 2020). Sarafino (2011) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan dukungan yang memberikan rasa nyaman, rasa dipedulikan, rasa dihargai, rasa didukung oleh individu dan komunitas. Situasi yang dihadapi para penyintas di area relokasi akibat diusir pemilik tanah menunjukkan bahwa mereka kurang mendapat dukungan dari komunitas. Berdasarkan kondisi tersebut, JF kurang mendapat dukungan sosial (Sarafino, 2011) setidaknya dalam empat aspek: 1) dukungan emosional, yaitu bantuan yang dapat diberikan dalam bentuk dukungan perhatian, empati, perhatian dalam hal pribadi, 2) dukungan perhatian, yaitu dukungan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang memberikan dampak baik, 3) dukungan instrumental, yaitu dukungan yang diberikan dengan tindakan langsung kepada seseorang seperti menyediakan tempat relokasi, 4) dukungan jejaring, yaitu dukungan yang diberikan dalam pertemanan di masa sulit.
Ingat Keluarga
Partisipan lain berinisial JB (47 tahun, ibu rumah tangga) memiliki cerita dengan proses proksimal yang banyak berkaitan dengan relasi interpersonal, yaitu keluarga:
“Kebetulan waktu itu saya lari, bawa keponakan waktu itu, anak saya sudah duluan. Terus yang kena tsunami itu mama saya dan suami saya, sempat terseret ombak, apa te…, dibawa ombak, itu jauh dari rumah. Tersangkut pohon suami saya waktu itu, sampai patah kakinya, itu proses operasinya bolak-balik karena infeksi, sampai 4 kali operasi Pak. Jadi sampai sekarang kita masih banyak melihat kenangan terus”
JB memiliki proses proksimal dengan relasi interpersonal, yaitu keluarganya, yang ditunjukkan dengan membawa keponakan saat tsunami karena anaknya sudah melakukan evakuasi lebih dahulu. Hal ini diikuti proses proksimal interpersonal yang mengingat bahwa ibunya dan suaminya yang terseret ombak tsunami. JB memiliki proses proksimal dengan suaminya yang harus operasi kaki karena patah dan infeksi hingga empat kali sehingga ia masih banyak melihat kenangan. Jadi JB banyak melihat kenangan terkait bencana alam karena ada unsur proses proksimal dengan relasi keluarga. Partisipan banyak melihat kenangan peristiwa sampai sekarang karena mereka dapat melihat dan mengakses objek terdampak bencana alam tahun 2018. Hal tersebut mengindikasikan bahwa JB mengalami proses resiliensi yang panjang pasca bencana karena ia berusaha menghadapi dan beradaptasi dalam situasi yang sulit (Connor dan Davidson, 2003).
Cerita JE memiliki kemiripan dengan JB yang memiliki proses proksimal dengan relasi interpersonal:
“Kadang kalau saya biasa ke luar rumah ya, ingat kejadian itu memang sempat saya ke luar rumah, saya dapat mereka sudah tidak ada lagi di rumah. Biasa kalau ke luar rumah sekarang ingat anak-anak, takut kalau kejadian lagi. Karena kejadian kemarin, sampai dua malam saya punya anak saya. Mungkin cukup begitu dulu Pak”
“Iya lima tahun (usia anaknya). Sampai tangis-tangis sekali Pak…”
JE memiliki proses proksimal terkait relasi interpersonal dengan anaknya yang ditemukan setelah dua malam pasca bencana sehingga sekarang membuatnya ingat anak-anak apabila keluar rumah dan membatasinya untuk bercerita lebih banyak. Pengalaman JB dan JE terkait mikrosistem, yaitu keluarganya saat bencana alam tergolong tidak menyenangkan. Mikrosistem merupakan tempat yang paling menunjang proses proksimal (Rosa dan Tudge, 2013; Eriksson et al., 2018). Pengalaman dalam mikrosistem yang negatif tersebut menyebabkan JB dan JE membutuhkan waktu lama dalam proses perkembangannya berdasarkan perspektif model PPCT. JE yang sampai sekarang teringat anak-anak ketika pergi, menunjukkan memiliki resiliensi
karena mampu berproses dan beradaptasi dalam situasi sulit, yaitu meskipun selalu teringat anak di rumah pasca bencana karena takut terjadi bencana kembali, JE tetap melanjutkan beraktivitas ke luar rumah dan merelakan untuk meninggalkan anak di rumah. Hal tersebut setidaknya menunjukkan proses resiliensinya dalam dimensi adaptif terhadap suasana hati yang buruk (Connor dan Davidson, 2003).
Hal berbeda dari pengalaman JB dan JE diungkapkan oleh partisipan JJ dalam ceritanya:
”Saya waktu itu tidak berada di tempat yang terlalu apa, jauh dari pantai. Sebenarnya mau ke pantai cuman ada kendala, Allah tidak mengijinkan, saya ke sebrang bawa anak-anak mau belanja. Waktu guncangan itu yang saya ingat sekali keluarga sama suami karena suami kan di pinggir pantai”
JJ batal bepergian dengan anak-anaknya sehingga saat terjadi bencana berada di rumah dan tidak berpisah dengan anak-anaknya yang merupakan komponen penting dalam mikrosistemnya. Suaminya yang ada di pinggir pantai dalam kondisi selamat. Berdasarkan pengalaman keluarganya yang selamat, JJ memiliki mikrosistem keluarga yang berada dalam posisi aman saat itu. Proses proksimal dengan relasi interpersonal keluarganya membuatnya mengalami proses perkembangan yang baik sebagai manusia pasca bencana berdasarkan perspektif model PPCT. Kondisi keluarga JJ yang selamat dari bencana alam memudahkan mereka saling memberikan rasa nyaman dan dukungan dalam keluarga sehingga terjadi proses proksimal sejak awal bencana. JJ menunjukkan resiliensi dalam dimensi adaptif terhadap suasana hati yang buruk karena JJ sudah tidak mampu membayangkan peristiwa bencana tersebut yang dianggapnya dapat menghambat untuk berkembang dan JJ mampu menghadapi tekanan dalam peristiwa tersebut, selain itu JJ menunjukkan resiliensi dalam dimensi spiritual, yaitu JJ dalam menghadapi bencana yang akan datang maka JJ lebih menyerahkan hal tersebut kepada Tuhan (Connor dan Davidson, 2003). Pada sisi yang lain, pengalaman keluarga JB yang sempat terseret ombak tsunami dan menjalani operasi maupun keluarga JE yang sempat kehilangan anaknya selama dua malam menunjukkan proses proksimal dalam interpersonal berjalan lebih dinamis karena situasinya sangat sulit.
Rumah Hancur dan Huntara Tidak Layak
Partisipan JC memiliki objek dan simbol berupa rumah yang hancur:
“Pada saat itu saya tidak sempat mengalami kejadian itu air air air masuk tetapi pada saat kejadian tsunami itu setelahnya baru rumah kami hancur, masuk air laut semua sampai sekarang itu rumah sebenarnya sudah tidak bisa layak ditinggali tapi apa boleh buat Pak. Mau tinggal dimana lagi. Sampai sekarang tinggal di bekas gempa juga. Rumah dua lantai…”
JC memiliki proses proksimal dengan objek dan simbol berupa rumahnya yang hancur akibat terkena tsunami sehingga tidak layak ditinggali. Rumah dua lantai dapat menjadi objek dan simbol status sosial ekonomi seseorang sehingga ketika rumah tersebut hancur dan pemilik rumah harus tinggal di rumah hancur yang tidak layak maka status sosial ekonomi orang tersebut juga terdampak. Proses proksimal pada partisipan JC dengan objek dan simbol rumahnya yang hancur membuatnya mengalami proses perkembangan yang dinamis sebagai manusia (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Pada bagian Process, perubahan status ekonomi yang terlihat menurun terutama dari rumah hancur yang dialami oleh JC tersebut merupakan hal yang wajar terjadi pada para penyintas bencana alam karena sebagian besar penyintas bencana di Sulawesi Tengah mengalami hal serupa. Pada bagian Context, situasi bencana alam berdampak besar terhadap terjadinya kerusakan bangunan-bangunan di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah dan dari segi Time bencana alam tahun 2018 sudah terjadi beberapa tahun lalu dan bencana ini tergolong parah kondisinya sehingga menyebabkan pemerintah membutuhkan waktu yang panjang untuk melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada sisi yang lain, masyarakat penyintas bencana termasuk JC menantikan bantuan pemerintah untuk membangun rumah mereka kembali sambil bekerja sesuai kondisi mesosistem yang tersedia. Pekerjaan yang tersedia sesuai mesosystem, yaitu seperti bekerja sebagai nelayan, tukang, dan penjual ikan di pasar. Kondisi ini menunjukkan JC membutuhkan dukungan sosial terutama dalam aspek dukungan instrumental (Sarafino, 2011) berupa hunian tetap yang layak.
Partisipan JF menyatakan pengalamannya yang kehilangan rumah dan membangun huntara sendiri:
“Iya, jadi bikin pondok sendiri, biaya sendiri, mulai dari nol. Kita kehabisan juga. Jadi bikin ulang dari nol. Tidak ada yang selamat, semua dibawa tsunami. Tapi kita bersyukur masih dipanjangkan umurnya kita Pak”
“rumah tidak terlalu layak”
Pengalaman tersebut menunjukkan objek dan simbol berupa rumah terbawa tsunami yang mengakibatkan JF membuat pondok sendiri mulai dari nol dengan biaya sendiri. Proses proksimal yang selama ini terbangun dengan rumahnya yang merupakan tempat berkumpul keluarga menjadi hilang. JF yang membangun pondok sendiri sebagai hunian sementara merasa bahwa kondisi rumahnya tidak terlalu layak. Kondisi ini membuat proses proksimal keluarganya dengan hunian sementara menjadi tidak mudah yang pada akhirnya berdampak terhadap proses perkembangannya sebagai manusia. Meskipun rumah terbawa tsunami, JF menunjukkan resiliensinya berupa kemampuan melakukan sesuatu, yaitu dimensi ini mengklarifikasi kemampuan khusus dimana individu merasa sebagai individu yang mampu meskipun dalam situasi sulit (Connor & Davidson, 2003) dengan membangun pondok sendiri menggunakan biaya pribadi. Pada sisi yang lain, JF menunjukkan resiliensi dalam dimensi spiritual dengan bersyukur karena umurnya masih panjang meskipun JF telah mengalami bencana alam dan kehilangan rumahnya. JF mengembangkan sudut pandang baru di tengah-tengah penderitaannya sebagai penyintas bencana alam dengan mensyukuri nyawanya yang selamat dari musibah.
Serupa dengan cerita JF, partisipan berinisial JB mengungkapkan pengalamannya yang terkait proses proksimal dengan objek dan simbol, yaitu huntara:
“…masih tinggal juga di huntara, belum dapat huntap. Belum ada huntap, masih terus dalam proses sekarang ini”
JB memiliki proses proksimal dengan objek dan simbol, yaitu masih tinggal di hunian sementara (huntara) karena belum mendapatkan hunian tetap (huntap). Huntara merupakan hunian yang bersifat sementara dan untuk kondisi darurat. JB menantikan
hunian tetap yang masih dalam proses pembangunan. Kondisi tersebut menunjukkan JB dan JC memiliki kemiripan kebutuhan dukungan sosial dalam aspek dukungan instrumental (Sarafino, 2011) berupa hunian tetap yang layak.
KESIMPULAN
Riset ini menemukan proses proksimal banyak terjadi pada individu dengan sumber daya dan aset yang mereka miliki, seperti rumah mereka, telah hancur akibat gempa maupun tsunami, dan proses proksimal berlanjut saat mereka tinggal di huntara di tanah orang lain selama sekitar enam bulan. Mereka mendapat pengusiran dari pemilik lahan dan kembali ke tanah mereka masing-masing dengan mendirikan huntara seadanya yang tidak layak. Hal ini menunjukkan objek dan simbol seperti rumah, benda-benda yang mereka miliki, dan huntara yang sangat berarti bagi mereka telah hilang dan membuat mereka mengalami penurunan status sosial ekonomi. Dengan demikian, model PPCT perlu mengedepankan bukan hanya interaksi antar individu, melainkan juga individu dengan objek-objek dan simbol-simbol yang ada sehingga proses proksimal menjadi komprehensif. Berdasarkan pembahasan di atas, model PPCT perlu dieksplorasi lebih lanjut untuk dapat digunakan dalam kesehatan mental terutama konteks kebencanaan, tetapi perlu menekankan evaluasi terhadap interaksi individu dengan objek-objek dan simbol-simbol yang ada dengan lebih mendalam (Bronfenbrenner & Morris, 2006; Bronfenbrenner, 1999). Bagi partisipan yang kurang optimal proses proksimalnya dengan lingkungan (relasi interpersonal, dan objek maupun simbol) dapat mengalami proses perkembangan sebagai manusia lebih lama, khususnya dalam kesehatan mental seperti munculnya gejala–gejala PTSD (APA, 2013). Hal itu juga bisa terkait resiliensinya dalam menghadapi kondisi sulit (Connor & Davidson, 2013) dan seberapa banyak dukungan sosial yang tersedia (Sarafino, 2011) dalam menghadapi bencana.
Untuk pengembangan konsep model PPCT Bronfenbrenner, penelitian selanjutnya perlu menginvestigasi lebih mendalam terkait teori di bagian objek-objek dan simbol-simbol dalam kaitannya dengan kesehatan mental. Selanjutnya, penelitian yang akan datang perlu melakukan seleksi partisipan yang memungkinkan aktif untuk melakukan DKT mengingat ada partisipan yang tidak aktif secara langsung saat DKT. Hal ini kemungkinan suasana DKT saat itu menjadi didominasi kesedihan dan suara tangisan dari beberapa partisipan mengingat mereka menjadi merasa trauma saat dilakukan DKT. Peneliti perlu memeriksa kondisi kesehatan mental partisipan konteks kebencanaan sebelum mengikuti DKT agar tidak muncul kondisi yang bisa mengganggu jalannya proses DKT. Wawancara individual dengan narasumber juga dapat dipertimbangkan untuk dipakai dalam menginvestigasi model PPCT terkait kesehatan mental konteks kebencanaan.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada Saudari Helda yang bekerja sebagai salah satu staf di sebuah LSM di kota Palu dan telah membantu menghubungkan peneliti dengan kelompok mitra LSM. Peneliti berterima kasih kepada Saudari Anggy yang membantu dalam mengkoordinasi kegiatan DKT dengan para mitra. Peneliti juga berterima kasih kepada 10 orang peserta DKT yang telah bersedia menjadi partisipan penelitian. Selain itu, peneliti berterima kasih kepada Astin Sokang yang telah memberikan umpan balik terhadap penulisan artikel ini.
Kontribusi Penulis
Penulis sebagai kontributor tunggal dalam artikel ini menulis seluruh manuskrip dari latar belakang, metode penelitian, hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan.
Konflik Kepentingan
Peneliti tidak memiliki konflik kepentingan selama proses pelaksanaan penelitian.
Pendanaan
Tidak ada pendanaan dalam pelaksanaan penelitian ini.
REFERENSI
Amanda, A. R., Hidajah, A. C., & Wahyuni, C. U. (2021). The effect of post-traumatic stress disorder on women after the earthquake in Central Sulawesi. Jurnal Berkala Epidemiologi, 9(3), 303–309. https://dx.doi.org/10.20473/jbe.v9i32 021.303–309
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth edition. (DSM-5). Arlington, VA,
American Psychiatric Publishing.
Anderson, C. (2010). Presenting and evaluating qualitative research. American Journal of Pharmaceutical Education, 74(8).
https://doi.org/10.5688/aj7408141
Barbour, V. Earthquakes, cyclones, tsunamis, floods and volcanoes- assessing the human impact of each. Speaking of Medicine. PLOS Blogs.
15 October 2014; http://blogs.plos.org/speakingofmedicine/2013/ 04/19/earthquakes-cyclones-tsunamis-floods-and-volcanoes-assessing-the- human-impact-of-each/
Biggerstaff, D. (2012). Qualitative research methods in psychology. Psychology: selected papers, 175-206.
Bonnano, G. (2004). Loss, trauma and human resilience: Conceptual and empirical connections and separateness. American Psychologist, 59(1), 20-28.
Bradshaw, C., Atkinson, S., & Doody, O. (2017). Employing a Qualitative Description Approach in Health Care Research. Global Qualitative Nursing Research, 4. https://doi.org/10.1177/2333393617742282
Bronfenbrenner, U. (1995). Developmental ecology through space and time: a future perspective. In P. Moen,G.H.Elder,&K.L¨uscher (Eds.), Examining lives in context: Perspectives on the ecology of human development (pp. 599–618). Washington, DC: American Psychological Association.
Bronfenbrenner, U. (1999). Environments in developmental perspective: Theoretical and operational models. In S. L. Friedman & T. D. Wachs (Eds.), Measuring environment across the life span: Emerging methods and concepts (pp. 3–28). American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/10317-001
Bronfenbrenner, U., & Evans, G. W. (2000). Developmental Science in the 21st Century: Emerging Questions, Theoretical Models, Research Designs and Empirical Findings. Social Development, 9(1), 115–125. https://doi.org/10.1111/1467-9507.00114
Bronfenbrenner, U. (2005). Making human beings human. Thousand Oaks, CA: Sage.
Bronfenbrenner, U., & Morris, P. A. (2006). The bioecological model of human development. In R. M. Lerner & W. Damon (Eds.), Handbook of child psychology: Theoretical models of human development (pp. 793–828). John Wiley & Sons Inc.
Bryant, R. A., & Litz, B. (2009). Mental health treatments in the wake of disaster. Mental health and disasters, 321-335.
Charmaz, K. (2012). The Power and Potential of Grounded Theory. Medical Sociology Online, 6(3), 2–15. Retrieved from
Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new Resilience scale: The Connor-Davidson Resilience scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18(2), 76–82. https://doi.org/10.1002/da.10113
Creswell, J.W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative and mixed methods approaches 4rd ed. Sage Publications, Inc.
Elita, Y., Sholihah, A., & Sahiel, S. (2017). Acceptance and Commitment Therapy (ACT) Bagi Penderita Gangguan Stress Pasca Bencana. Jurnal Konseling Dan Pendidikan, 5(2), 97. https://doi.org/10.29210/117800
Eriksson, M., Ghazinour, M., & Hammarström, A. (2018). Different uses of Bronfenbrenner’s ecological theory in public mental health research: what is their value for guiding public mental health policy and practice? Social Theory and Health, 16(4), 414–433. https://doi.org/10.1057/s41285-018-0065-6
Gray, B., Eaton, J., Christy, J., Duncan, J., Hanna, F., & Kasi, S. (2021). A proactive approach: Examples for integrating disaster risk reduction and mental health and psychosocial support programming. International Journal of Disaster Risk Reduction, 54(January), 102051. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2021.102051
Gruebner, O., Lowe, S. R., Sykora, M., Shankardass, K., Subramanian, S. V., & Galea, S. (2017). A novel surveillance approach for disaster mental health. PLoS one, 12(7), e0181233.
Handayani, A. M. S., & Nurdin, N. (2021). Understanding Women’s Psychological Well-Being in Post-Natural Disaster Recovery. Medico Legal Update, 21(3), 151-161.
Harwell, M. R. (2011). Research Design in Qualitative/Quantitative/ Mixed Methods. In C. F. Conrad & R. C. Serlin (Eds.), The SAGE Handbook for Research in Education: Pursuing Ideas as the Keystone of Exemplary Inquiry (2nd ed., pp. 147–182). California: SAGE Publications, Inc. https://doi.org/10.4135/9781412961288.n380
Hechanova, R., & Waelde, L. (2017). The influence of culture on disaster mental health and psychosocial support interventions in Southeast Asia. Mental Health, Religion and Culture, 20(1), 31–44. https://doi.org/10.1080/13674676.2017.1322048
Herlina, Malla, H.A.B, Misnah, Suherman, M., & Ratman. (2022). Trauma Healing pada Siswa SMP Pasca Gempa dan Likuifaksi Di Kabupaten Sigi dalam Program Sekolah Tenda. PUE GURU: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. Volume 01| Nomor 02 | Desember |2022.
Hugelius, K., Gifford, M., Örtenwall, P., & Adolfsson, A. (2017). Health among disaster survivors and health professionals after the Haiyan Typhoon: a self-selected Internet-based web survey. International Journal of Emergency Medicine, 10(1). https://doi.org/10.1186/s12245-017-0139-6
Iswari, M. (2020). Kegawatdaruratan Psikologis Berupa Tingkat Stres, Kecemasan dan Depresi Korban Gempa, Tsunami dan Likuifaksi di Wilayah Pantoloan Kabupaten Donggala Palu Sulawesi Tengah. maskermedika [Internet]. 13Aug.2020 [cited 12Jan.2022];8(1):46-2. Available from: https://jmm.ikestmp.ac.id/index.php/maskermedika/article/view/377
Kaniasty, K. (2020). Social support, interpersonal, and community dynamics following disasters caused by natural hazards. Current opinion in psychology, 32, 105-109.
Makwana, N. (2019). Disaster and its impact on mental health: A narrative review. Journal of Family Medicine and Primary Care, 8(4), 1414– 1417. https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc
Markhvida, M., Walsh, B., Hallegatte, S., & Baker, J. (2020). Quantification of disaster impacts through household well-being losses. Nature Sustainability, 3(7), 538–547. https://doi.org/10.1038/s41893-020-0508-7
Math, S., Nirmala, M., Moirangthem, S., & Kumar, N. (2015). Disaster management: Mental health perspective. Indian Journal of Psychological Medicine, 37(3), 261–271. https://doi.org/10.4103/0253-7176.162915
Maeda, M., & Oe, M. (2017). Mental Health Consequences and Social Issues after the Fukushima Disaster. Asia-Pacific Journal of Public Health, 29(2_suppl), 36S-46S. https://doi.org/10.1177/1010539516689695
Mutianingsih, M., & Mustikasari, M. (2019). Dampak Psikologis Gempa Bumi terhadap Kelompok Rentan : Lansia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 15(1), 18. https://doi.org/10.26753/jikk.v15i1.290
Nazir, M. (2014). Metode Penelitian. Bandung: Ghalia Indonesia.
North, C. S. (2016). Disaster mental health epidemiology: methodological review and interpretation of research findings. Psychiatry, 79(2), 130-146.
Rasido, I., & Patodo, M. (2020). Post disaster: earthquake, tsunami, liquefaction mental health prevalence of Tadulako University
students. Enfermeria Clinica, 30, 214-218.
Rosa, E. M., & Tudge, J. (2013). Urie Bronfenbrenner’s Theory of Human Development: Its Evolution From Ecology to Bioecology. Journal of Family Theory & Review, 5(4), 243–258. https://doi.org/10.1111/jftr.12022
Sarafino, E. P. (2011). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions Seventh Edition. Jhon Willey & Sons.
Sherchan, S., Samuel, R., Marahatta, K., Anwar, N., Van Ommeren, M.H., Ofrin, R. (2018). Post-disaster mental health and psychosocial support: experience from the 2015 Nepal earthquake. WHO South-East Asia Journal of Public Health, 6 (1), 22 - 29. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. https://apps.who.int/iris/handle/10665/329595
Sokang, Y. A., Omega, P. D., Novianty, A., Dawan, A., Rully, R. D., & Siantoro, A. (N.D). Reflection of Parents and Children Mentors on Psychosocial Supports in Disaster Context in Palu, Central Sulawesi. (Manuscript in preparation).
Thoyibah, Z., Sukma Purqoti, D. N., & Oktaviana, E. (2020). Gambaran Tingkat Kecemasan Korban Gempa Lombok. Jurnal Persatuan Perawat Nasional Indonesia (JPPNI), 4(3), 174. https://doi.org/10.32419/jppni.v4i3.190
Tudge, J. R. H., Mokrova, I., Hatfield, B. E., & Karnik, R. B. (2009). Uses and misuses of Bronfenbrenner’s bioel. Journal of Family Theory & Review, 1(4), 200.
Zhang, W., Liu, H., Jiang, X., Wu, D., & Tian, Y. (2014). A longitudinal study of posttraumatic stress disorder symptoms and its relationship
with coping skill and locus of control in adolescents after an earthquake in China. PLoS ONE, 9(2), 1–7.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0088263
Zuhri, M. (2009). Post Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stress Pasca Trauma Bencana) Di Jawa Tengah. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 7(2), 141–150.http://ejournal.bappeda.jatengprov.go.id/index.php/jurnaljateng/article/view/226
353
Discussion and feedback