Jurnal Psikologi Udayana 2023, Vol.10, No.1, 249-260


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2023.v10.i01.p05

Apakah Narsisme dan Psikopati Memoderasi Hubungan Konformitas Norma Maskulin dengan Kecenderungan Perilaku Image-based Sexual Abuse?

Viona Gunawan1 dan Rahkman Ardi2

1,2Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga rahkman.ardi@psikologi.unair.ac.id

Abstrak

Dalam beberapa tahun terakhir, image-based sexual abuse (IBSA), terutama penyebaran konten grafis seksual secara non-konsensual marak terjadi di Indonesia. Beberapa studi kualitatif menyatakan bahwa terjadinya IBSA didasari oleh mengakarnya budaya patriarki dan norma gender yang menekankan bahwa laki-laki berkuasa dibandingkan perempuan. Oleh karenanya, peneliti menggali peran konformitas terhadap norma maskulin, utamanya pada norma “kuasa di atas perempuan” pada kecenderungan perilaku IBSA. Namun, hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA, dapat berbeda berdasarkan karakteristik individu. Individu yang tinggi dalam karakteristik kepribadian narsisme dan psikopati, memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan IBSA. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek moderasi narsisme dan psikopati pada hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA. Partisipan survei ini terdiri dari 237 orang yang berusia 18-39 tahun dan bertempat tinggal di Indonesia. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah subskala "Kuasa di Atas Perempuan" (ɑ=0,773) dari skala Conformity to Masculine Norms-46, subskala "Narsisme” (ɑ=0,859) dan “Psikopati” (ɑ=0,587) dari skala Dark Triad Dirty Dozen, serta Revenge Porn Proclivity Scale (ɑ=0,893). Analisis data dilakukan menggunakan teknik analisis moderasi dengan metode bootstrap. Hasil analisis menunjukkan bahwa konformitas terhadap norma maskulin berefek positif pada kecenderungan perilaku IBSA (β=0.1680; CI95[0.0496; 0.2864]; SE=0.0601; p=0.0056). Selain itu, ditemukan bahwa psikopati memoderasi hubungan konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA (β=0.0052; CI95[-0.0671; 0.0776]; SE=0.0367; p=0.8864) sedangkan narsisme tidak memoderasi hubungan tersebut (β=0.0052; CI95[-0.0671; 0.0776]; SE=0.0367; p=0.8864). Didasari oleh temuan tersebut, maka diperlukan adanya pembuatan intervensi psikososial maupun kebijakan kurikulum pendidikan yang ditujukan untuk menurunkan karakteristik kepribadian psikopati dan merekonstruksi ulang arti maskulinitas menjadi lebih positif sebagai langkah awal pencegahan terjadinya perilaku IBSA

Kata kunci: Kepribadian gelap; norma gender; patriarki; revenge porn

Abstract

In recent years, image-based sexual abuse (IBSA), especially the spread of non-consensual sexual graphic content, has been rife in Indonesia. Several qualitative studies state that the occurrence of IBSA is rooted from patriarchal culture and gender norms which emphasize that men are more powerful than women. Therefore, the researcher explores the role of conformity to masculine norms, especially the norm of "power over women" in IBSA proclivity. However, the effect of conformity to masculine norms on IBSA proclivity can vary based on the individual's characteristics. Individuals who have personality characteristics of high narcissism and psychopathy have a higher tendency to engage in antisocial online behavior. This study was conducted to determine the moderating effect of narcissism and psychopathy on the relationship between conformity to masculine norms and IBSA behavioral tendencies. Participants in this survey comprised 237 people aged 18-39 years and residing in Indonesia. The measuring instrument used in this study was the "Power over Women" subscale (ɑ=0.773) from the Conformity to Masculine Norms-46 scale, the “Narcissism” subscale (ɑ=0.859) and “Psychopathy” subscale (ɑ=0.587) from the Dark Triad Dirty Dozen, and Revenge Porn Proclivity Scale (ɑ=0.893). Data analysis was performed using moderation analysis techniques with the bootstrap method. Results show that conformity to masculine norms has a positive effect on IBSA proclivity (β=0.1680; CI95[0.0496; 0.2864]; SE=0.0601; p=0.0056). In addition, it was found that psychopathy moderated the relationship between conformity to masculine norms with IBSA proclivity (β=0.0052; CI95[-0.0671; 0.0776]; SE=0.0367; p=0.8864), while narcissism did not moderate the relationship (β=0.0052; CI95[-0.0671; 0.0776]; SE=0.0367; p=0.8864). Based on these findings, it is necessary to develop psychosocial interventions and education policies aimed at reducing psychopathic characteristics and reconstructing the meaning of masculinity as a first step in preventing IBSA behavior.

Keywords: Dark personality traits; gender norms; patriarchy; revenge porn

LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin maju membantu manusia untuk berinteraksi tanpa hambatan ruang dan waktu. Namun, majunya teknologi komunikasi juga memberikan dampak buruk, seperti aksi-aksi kejahatan yang difasilitasi oleh teknologi internet. Salah satu aksi kejahatan tersebut adalah online sexual harassment, yaitu perilaku seksual yang tidak diinginkan di internet yang mencakup komentar dan permintaan lisan dan/atau tertulis, dan/atau gambar grafis (Powell & Henry, 2017).

Salah satu bentuk online sexual harassment yang saat ini kerap terjadi secara global maupun nasional di Indonesia adalah ImageBased Sexual Abuse (IBSA). IBSA atau kekerasan seksual berbasis gambar merupakan tindakan mengambil/membuat gambar seksual seseorang secara non konsensual, menyebarkan gambar seksual seseorang secara non konsensual, dan/atau mengancam untuk menyebarkan gambar seksual seseorang (Powell & Henry, 2017).

Menurut data dari berbagai lembaga anti kekerasan terhadap perempuan dan penyedia layanan bagi korban kekerasan berbasis gender seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), LBH Apik, dan SAFEnet, terdapat kenaikan aduan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dalam beberapa tahun terakhir. Komnas Perempuan melaporkan kenaikan aduan kekerasan siber berbasis gender dari 281 aduan di tahun 2019, naik menjadi 940 aduan di tahun 2020 (seluruhnya terkait dengan situasi konten intim, baik dalam permintaan, pengambilan, penyebaran, dan pengancaman), dan kemudian naik lagi menjadi 1721 di tahun 2021 (KOMNAS Perempuan, 2022). LBH Apik juga turut melaporkan adanya perubahan dominasi kasus, dimana pada tahun-tahun sebelumnya lebih didominasi oleh kasus KDRT, namun pada tahun 2021 aduan didominasi oleh kasus-kasus KBGO. Berdasarkan catatan tahunan LBH Apik, terdapat kenaikan aduan kasus KBGO dari 60 kasus di tahun 2019 menjadi 307 kasus di tahun 2020 dan mengingkat lagi di tahun 2021 menjadi 489 kasus (LBH Apik Jakarta, 2021). Dari 489 kasus KBGO yang diterima oleh LBH Apik, 322 di antaranya merupakan kasus pengancaman dan penyebaran gambar seksual secara nonkonsensual (LBH Apik Jakarta, 2021). Selain itu, SAFEnet turut mencatat kenaikan aduan terkait KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online), dari 60 kasus di tahun 2019 menjadi 620 kasus di tahun 2020 dan akhirnya menjadi 677 kasus di tahun 2021. Dari keseluruhan kasus tersebut, mayoritas (75,24%) merupakan kasus penyebaran gambar seksual secara nonkonsensual (SAFEnet, 2022). Berdasarkan data yang didapatkan dari ketiga lembaga tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku penyebaran gambar seksual seseorang secara nonkonsensual merupakan bentuk IBSA yang paling sering terjadi di Indonesia. Maka dari itu, penelitian ini akan berfokus pada bentuk perilaku penyebaran gambar seksual secara non konsensual dari IBSA.

Penelitian Powell dkk. (2020) menemukan bahwa fenomena IBSA terbagi berdasarkan gender, di mana laki-laki lebih umum menjadi pelaku IBSA dan perempuan kerap menjadi korban IBSA. Hal ini dapat terjadi akibat budaya patriarki dan norma gender yang terinternalisasi dalam masyarakat. Budaya patriarki membentuk norma gender di mana laki-laki atau maskulinitas dinilai sebagai entitas yang dominan dan berkuasa, sementara perempuan atau feminitas dinilai sebagai entitas yang subordinat, pasif dan “liyan” (Johnson, 2004). Pada konteks IBSA, laki-laki yang memiliki dan menyebarkan gambar seksual perempuan secara nonkonsensual dianggap memiliki “kuasa” dan “akses” pada tubuh perempuan (Naezer & van Oosterhout, 2021). Oleh karena itu, laki-laki yang melakukan IBSA seringkali mendapatkan imbalan sosial berupa rasa kagum/hormat serta penegakkan atau pembuktian maskulinitas dari orang-orang di sekitarnya, terutama dari kelompok sebaya (Hall & Hearn, 2019; Maas dkk., 2021; Naezer & van Oosterhout, 2021; Reed dkk., 2016; Ringrose dkk., 2013).

Hal tersebut turut didukung oleh studi dari (March dkk., 2021) yang menemukan bahwa konformitas terhadap norma maskulin, khususnya norma-norma maskulin hegemoni (representasi diri sebagai heteroseksual, kekerasan, kuasa di atas perempuan) memprediksi secara signifikan perilaku cyber dating abuse (i.e. penguntitan di dunia maya, pemantauan pasangan via teknologi, pelecehan seksual daring, dan mempermalukan pasangan di ruang terbuka daring). Studi yang dilakukan oleh Locke & Mahalik (2005) juga mendapatkan temuan yang serupa, yaitu laki-laki yang konform pada norma-norma maskulin tertentu (i.e. kuasa di atas perempuan, playboy, representasi diri yang heteroseksual, dominasi, kekerasan, dan pengambilan risiko) cenderung menerima mitos pemerkosaan dan melakukan perilaku agresi seksual. Pada studi yang sama, ditemukan pula bahwa norma “kuasa di atas perempuan” memiliki korelasi yang paling kuat dengan penerimaan mitos pemerkosaan (r=0,41; p<0,001) dan agresi seksual (r=0,33; p<0,001). Oleh karenanya, dalam melihat prediktor IBSA, peneliti akan berfokus pada dimensi kuasa di atas perempuan (power over women) dari konformitas norma maskulin. Dimensi ini menunjukkan sejauh mana seseorang merasakan dirinya memiliki kontrol/kuasa atas perempuan.

Namun, dampak konformitas norma maskulin pada kecenderungan perilaku IBSA bisa jadi berbeda pada tiap individu berdasarkan sifat kepribadian yang dimiliki individu. Seseorang dengan sifat-sifat kepribadian gelap memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan perilaku kejahatan di ranah daring, salah satunya perilaku IBSA (Moor & Anderson, 2019). Penelitian yang dilakukan oleh Karasavva & Forth (2021) dan juga (Pina dkk., 2017) menemukan adanya hubungan signifikan antara karakteristik kepribadian gelap, utamanya narsisme dan psikopati dengan perilaku IBSA maupun kecenderungan perilaku IBSA. Maka itu, peneliti memiliki asumsi bahwa narsisme dan psikopati dapat memperkuat hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA.

Karakteristik kepribadian narsisme dapat memperkuat kecenderungan perilaku IBSA karena karakteristik seorang narsisis yang senang akan perhatian dan validasi dari orang lain (House & Howell, 1992; Karasavva & Forth, 2021). Dalam artian lain, dengan melakukan perilaku IBSA, seorang narsisis mendapatkan kesenangan tersendiri karena telah diperhatikan oleh orang lain. Apalagi, pada konteks perilaku IBSA yang kerap kali dilakukan untuk menegakkan status maskulinitas seseorang (Hall & Hearn, 2019; Maas dkk., 2021; Naezer & van Oosterhout, 2021; Ringrose dkk., 2022). Oleh karenanya, perilaku IBSA memungkinkan dilakukan seseorang dengan tingkat narsisme tinggi untuk mendapatkan perhatian dan validasi maskulinitas dari orang lain.

Kemudian, psikopati dapat memperkuat kecenderungan perilaku IBSA karena karakteristik tidak berperasaan/kurang empati yang dimiliki oleh seseorang dengan psikopati tinggi (Hare & Neumann, 2008; Karasavva & Forth, 2021). Selain itu, seseorang dengan karakteristik kepribadian psikopati cenderung mengabaikan nilai moral dan melakukan perilaku antisosial (Hare & Neumann, 2008; Zuo et al., 2016). Dengan melihat karakteristik psikopati tersebut, maka peneliti memiliki asumsi bahwa karakteristik psikopati dapat memperkuat kecenderungan seseorang dalam melakukan IBSA.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya efek moderasi narsisme dan psikopati pada hubungan konformitas terhadap norma maskulin terhadap perilaku IBSA. Terdapat dua hipotesis dalam penelitian ini yaitu, H1: narsisme memoderasi hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA dan H2: psikopati memoderasi hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA.

Selain itu, penelitian dari Powell dkk. (2019), menemukan adanya pengaruh sosiodemografis pada perilaku IBSA seperti berjenis kelamin laki-laki, memiliki orientasi seksual nonheteroseksual, memiliki disabilitas, dan pernah mengalami viktimisasi IBSA. Temuan tersebut kemudian diperkuat oleh studi lanjutan oleh Powell dkk. (2020) yang menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, memiliki disabilitas/kebutuhan pendampingan, dan pernah mengalami viktimisasi IBSA juga dapat memprediksi terjadinya perilaku IBSA. Meski begitu, terdapat temuan inkonsisten dari studi oleh Van Ouytsel dkk. (2021) bahwa tidak ada perbedaan gender dan orientasi seksual yang mempengaruhi terjadinya perilaku IBSA secara signifikan. Inkonsistensi temuan tersebut, membuat peneliti melakukan pengontrolan secara statistik terhadap variabel sosiodemografis tersebut, yaitu jenis kelamin dan orientasi seksual. Kemudian, peneliti juga melakukan kontrol secara statistik pada variabel disabilitas (keterbatasan fisik dan mental individu yang membutuhkan pendampingan khusus) dan pengalaman viktimisasi IBSA karena mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Powell dkk. (2019, 2020), individu dengan disabilitas dan/atau pernah mengalami viktimisasi IBSA lebih prevalen dalam melakukan perilaku IBSA.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan melakukan pengontrolan secara statistik pada variabel sosiodemografi. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner daring menggunakan platform Google Form pada tanggal 2 Januari 2023 hingga 9 Januari 2023.

Partisipan Penelitian

Karakteristik partisipan pada penelitian ini adalah: (1) Warga Negara Indonesia, dan (2) berusia 18-39 tahun. Pembatasan usia 1839 tahun mengacu pada studi internasional oleh Powell dkk. (2020) yang menemukan bahwa usia paling prevalen melakukan IBSA adalah 16-39 tahun. Peneliti tidak memasukan individu berusia di bawah 18 tahun ke dalam kriteria partisipan dikarenakan alasan etik, dimana individu usia 18 tahun belum dapat memberikan konsen tanpa didampingi oleh orang tua/wali. Perekrutan partisipan dilakukan dengan teknik non-probability sampling, yaitu convenience sampling. Untuk menarik partisipan, peneliti melakukan undian reward saldo dompet elektronik sejumlah Rp 200.000,00 untuk 10 partisipan yang beruntung.

Peneliti melakukan A Priori Power Analysis menggunakan software G*Power versi 3.1.9.7 dengan jenis tes linear multiple regression (fixed model, R2 deviation from zero) untuk mendapatkan jumlah sampel minimum. Effect size yang diinput pada analisis tersebut didasarkan pada penyesuaian rasional atas effect size studi-studi sejenis sebelumnya (F² = 0,0786748). Selain itu, disimulasikan terdapat 5 variabel prediktor (1 prediktor utama, 2 moderator, dan 2 variabel interaksi), statistical power (1-^) = 0.80, dan ɑ = 0.05. Hasil analisis tersebut menghasilkan jumlah sampel minimum sebesar 169 partisipan.

Terdapat sejumlah 241 orang yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Namun, empat (4) partisipan tidak memenuhi kriteria karena berusia kurang dari 18 tahun (n=1) dan berusia di atas 39 tahun (n=3). Maka itu, tersisa 237 partisipan yang memenuhi syarat (lihat tabel 1). Sebagian besar partisipan berjenis kelamin perempuan (n=158, 66,67%), tidak memiliki disabilitas (n=224, 94,5%), heteroseksual (n=183, 77,2%), dan tidak memiliki pengalaman viktimisasi IBSA (n=221, 93,25%).

Tabel 1. Gambaran Subjek Penelitian

Variabel Kontrol


Frekuensi


Mean            Standar Deviasi


Jenis Kelamin

Laki-laki

79

1,4354

0,79856

Perempuan

158

1,1304

0,39353

Disabilitas

Memiliki disabilitas

13

1,4462

0,76661

Tidak memiliki disabilitas

224

1,2196

0,56534

Orientasi Seksual

Heteroseksual

183

1,2415

0,60694

Selain heteroseksual

54

1,2

0,47265

Pengalaman Viktimisasi IBSA

Memiliki pengalaman viktimisasi IBSA

16

1,5375

0,90839

Tidak memiliki pengalaman viktimisasi IBSA

221

1,2073

0,54324

Sebelum melakukan pengisian, partisipan telah diinformasikan terkait tujuan studi, prosedur penelitian, potensi risiko dan manfaat, narahubung, kerahasiaan data, serta hak-hak partisipan lainnya. Mereka juga diminta mengisi form persetujuan keikutsertaan secara sukarela sebagai bagian dari penegakan etika penelitian.

Alat Ukur

Variabel konformitas terhadap norma maskulin diukur menggunakan subskala Kuasa di Atas Perempuan (Power Over Women) dari skala Conformity to Masculine Norms Inventory 46 (CMNI-46) yang dikembangkan oleh Parent & Moradi (2009). CMNI-46 merupakan versi revisi yang lebih pendek dari CMNI-94 yang awalnya dikembangkan oleh Mahalik dkk. (2003). Kemudian, penggunaan subskala kuasa di atas perempuan didasarkan pada faktor budaya patriarki yang mendorong terjadinya perilaku IBSA. Selain itu, studi dari Locke & Mahalik (2005) menemukan bahwa subskala kuasa di atas perempuan memiliki korelasi paling kuat dengan penerimaan mitos pemerkosaan (r=0,41; p<0,001) dan agresi seksual (r=0,33; p<0,001) dibandingkan dengan subskala lainnya. Subskala ini terdiri dari 4 aitem dengan dengan 4 pilihan jawaban yang berkisar dari 0 (sangat tidak setuju) sampai dengan 3 (sangat setuju). Contoh aitem, “Perempuan seharusnya patuh terhadap pria”. Untuk memastikan ekivalensi terjemahan dan memastikan akurasi dari instrumen maka dilakukan pengukuran validasi translasi (Sperber, 2004) dengan 3 rater, pengukuran content validity index (CVI) dengan 3 rater, serta pengukuran uji keterbacaan dengan 8 partisipan yang memiliki karakteristik sejenis. Koefisien Reliabilitas ɑ pada instrumen adalah sebesar = 0,773

Variabel kecenderungan perilaku IBSA, khususnya pada bentuk perilaku menyebarkan gambar seksual atau tanpa busana seseorang tanpa persetujuan (consent), diukur dengan alat ukur Revenge Porn Proclivity Scale yang dikembangkan oleh Pina dkk. (2017). Alat ukur ini berbentuk vignette yang terdiri dari 5 narasi skenario. Ekivalensi terjemahan dilakukan dengan metode Beaton dkk. (2000) untuk melihat empat aspek kesetaraan, yaitu kesetaraan semantik, kesetaraan idiomatik, kesetaraan pengalaman, dan kesetaraan konseptual. Untuk memastikan akurasi instrumen dilakukan pengukuran content validity index (CVI) dengan menggunakan 3 rater, serta uji keterbacaan pada 8 partisipan dengan kriteria yang sama dengan populasi. Contoh skenario sebagai berikut:

“Anda dan pacar Anda telah berpacaran selama beberapa tahun, tetapi akhir-akhir ini pacar Anda menjaga jarak dari Anda. Anda mencoba melakukan hal-hal untuk membuatnya merasa senang, tetapi ia meresponnya dengan tidak begitu berminat. Di sini, pacar Anda menjelaskan bahwa ia tidak ingin berpacaran lagi dengan Anda, ia mengatakan bahwa ia sudah tidak sayang lagi dengan Anda. Setelah itu, Anda mulai berpikir mengenai semua waktu yang terbuang dan usaha yang telah Anda berikan pada hubungan yang telah berakhir tersebut. Ketika sedang melihat-lihat foto di ponsel Anda, Anda menemukan foto tanpa busana yang dikirimkan oleh mantan pacar Anda saat masih berpacaran. Kemudian, Anda memutuskan untuk mengunggah foto tersebut ke internet.”

Setelah membaca masing-masing skenario, responden akan disajikan pertanyaan “Dalam situasi ini, apakah Anda akan melakukan hal yang sama?” yang kemudian dapat dijawab dengan 5 pilihan jawaban yang berkisar dari 1 (pasti tidak akan melakukan hal yang sama) hingga 5 (pasti akan melakukan hal yang sama). Reliabilitas alat ukur ini adalah ɑ=0,893.

Pengukuran CVI dilakukan dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Polit & Beck (2006). Proses validasi konten dilakukan dengan bantuan para expert reviewer untuk menilai tingkat relevansi, kejelasan, dan kepentingan masing-masing aitem dengan kriteria penilaian yang berkisar dari 1 (sangat tidak relevan/penting/jelas) sampai dengan 4 (sangat relevan/penting/jelas). Setelah para expert reviewer memberikan penilaian, kemudian dilakukan perhitungan CVI Aitem (I-CVI) dengan menghitung jumlah expert reviewer yang memberikan skor 3 & 4 di suatu aitem lalu dibagi dengan jumlah expert reviewer dikali 3. Sedangkan untuk perhitungan CVI Skala (S-CVI) dilakukan dengan menghitung rata-rata I-CVI dari seluruh aitem yang ada pada skala tersebut. Penelitian ini melakukan penilaian CVI dengan bantuan dari 3 rater yang menghasilkan S-CVI=0,888 untuk subskala "Kuasa di Atas Perempuan" dari CMNI-46 dan menghasilkan S-CVI=1 untuk alat ukur RPPS.

Uji keterbacaan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Peterson dkk. (2017). Proses uji keterbacaan dilakukan dengan menyajikan setiap aitem skala kepada partisipan dan meminta partisipan untuk mendeskripsikan pemahaman dan pemikirannya terkait aitem yang disajikan (Peterson dkk., 2017). Agar dapat memotret pemahaman partisipan dengan lebih komprehensif, peneliti juga melakukan probing pada jawaban responden uji keterbacaan. Pada penelitian ini, uji keterbacaan dilakukan dengan melibatkan 8 partisipan yang sesuai dengan kriteria populasi. Hasil uji keterbacaan menghasilkan bahwa aitem-aitem pada subskala “Kuasa di Atas Perempuan” secara keseluruhan sudah dapat dipahami dengan baik, sehingga tidak ada revisi yang perlu dilakukan. Kemudian, uji keterbacaan pada vignette RPPS menghasilkan bahwa terdapat beberapa frasa yang tidak efektif sehingga terkesan boros untuk dibaca dan terdapat beberapa kata/frasa instruksi yang lebih baik diganti untuk mempermudah pemahaman. Hasil uji keterbacaan vignette RPPS tersebut kemudian dijadikan dasar untuk melakukan revisi pada masing-masing skenario vignette.

Variabel narsisme dan psikopati diukur dengan subskala narsisme (ɑ = 0,859) dan psikopati (ɑ = 0,587) dari skala Dark Triad Dirty Dozen (DTDD) yang dikembangkan oleh Jonason & Webster (2010) berdasarkan teori kepribadian gelap oleh Paulhus & Williams (2002). Skala ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam studi lintas negara yang dilakukan oleh Rogoza dkk. (2021). Berdasarkan studi tersebut, skala DTDD mendapatkan nilai CFI = 0,923 dan RMSEA = 0,67 di wilayah Asia, yang artinya skala tersebut memenuhi indikator validitas konstruk yang baik. Masing-masing subskala terdiri dari 4 butir pernyataan dengan 7 pilihan jawaban yang berkisar dari 1 (saya sangat tidak setuju) hingga 7 (saya sangat setuju). Contoh butir pernyataan subskala narsisme, “Saya cenderung ingin orang lain mengagumi saya” dan contoh aitem subskala psikopati, “Saya cenderung kurang memiliki rasa penyesalan”.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik analisis moderasi dengan metode bootstrap. Metode bootstrap bersifat robust terhadap pelanggaran uji asumsi normalitas, heteroskedastisitas, dan outlier Field (2018). Peneliti melakukan analisis menggunakan bantuan software IBM SPSS Versi 25 dengan tambahan computational procedure yaitu PROCESS macro oleh Hayes (2022).

HASIL PENELITIAN

Gambaran Statistik Deskriptif

Berdasarkan uji statistik deskriptif (lihat tabel 2), didapatkan bahwa variabel konformitas terhadap norma maskulin memiliki nilai (M=1,2458; SD=0,65579; MIN=0; MAX=3), variabel kecenderungan perilaku IBSA bernilai (M=1,2321; SD=0,57841; MIN=1; MAX=4,4), variabel narsisme (M=3,8112; SD=1,41363; MIN=1; MAX=7), dan variabel psikopati (M=2,9072; SD=1,03223; MIN=1; MAX=6,5).

Tabel 2. Hasil Statistik Deskriptif

Konformitas

Terhadap Norma Maskulin (X)

IBSA (Y)

Narcissism (W)

Psychopathy (Z)

N

237

237

237

237

Mean

1,2458

1,2321

`3,8112

2,9072

S. Deviasi

0,65579

0,57841

1,41363

1,03223

Minimum

0

1

1

1

Maximum

3

4,4

7

6,5

Uji Asumsi

Tabel 3. Hasil Uji Korelasi

Konformitas Norma Maskulin

Narsisme

Psikopati

IBSA

Konformitas Norma Maskulin

Pearson’s r

p-value

Narsisme

Pearson’s r

0,173**

p-value

0,008

Psikopati

Pearson’s r

0,145*

0,261**

p-value

0,025

0,000

IBSA

Pearson’s r

0,301**

0,184**

0,221**

p-value

0,000

0,005

0,001

Catatan. *p<0,05 **p<0,01

Uji asumsi dilakukan dengan menguji linearitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Hasil uji tersebut menunjukkan terdapat hubungan yang linear antar variabel, serta tidak terdeteksi adanya multikolinearitas maupun autokorelasi. Uji asumsi normalitas, heteroskedastisitas, dan deteksi outlier tidak dilakukan karena penelitian ini sudah menggunakan metode bootstrap yang robust akan pelanggaran uji asumsi normalitas, heteroskedastisitas, dan outlier.

Hasil analisis yang ditunjukkan pada tabel 3 menunjukkan bahwa seluruh variabel memiliki korelasi yang signifikan satu sama lain. Maka dari itu, analisis moderasi dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh variabel.

Uji Hipotesis

Untuk melihat signifikansi dari variabel kontrol (sosiodemografis) maka pengujian dilakukan secara bertingkat dengan menggunakan 4 model. Model 1 adalah model tanpa variabel kontrol, model 2 adalah model dengan memasukkan empat variabel kontrol, model 3 adalah model dengan memasukkan satu variabel kontrol jenis kelamin saja, model 4 adalah model yang hanya memasukkan pengalaman viktimisasi IBSA saja. Model 2 dimaksudkan untuk mengetahui variabel kontrol mana yang berperan signifikan terhadap variabel kecenderungan perilaku IBSA. Model 3 dan 4 difungsikan sebagai inspeksi sejauh mana kontribusi variabel demografis yang signifikan secara statistik berperan dalam mengubah kekuatan hubungan antara prediktor dan moderator terhadap variabel tergantung.

Hasil model fit measures (tabel 4) menunjukkan bahwa model 1 (F(5, 231)=10,195; p=0,0000) dan model 2 (F(9, 227)=7,0904; p=0,0000) memprediksi variabel dependen yaitu kecenderungan perilaku IBSA. Ketika jenis kelamin, disabilitas, orientasi seksual, dan pengalaman viktimisasi IBSA ditambahkan pada model kedua, terjadi peningkatan model fit (ΔR2=0,0386).

Tabel 4. Hasil Model Fit Measures

Model         R          R2         MSE         F          df1         df2          p

1

0,4252

0,1808

0,28

10,195

5

231

0,0000

2*

0,4684

0,2194

0,2715

7,0904

9

227

0,0000

3*

0,4436

0,1968

0,2757

9,3931

6

230

0,0000

4**

0,4497

0,2022

0,2739

9,7148

6

230

0,0000

Catatan. *penambahan 4 variabel kontrol variabel viktimisasi IBSA

demografis **hanya variabel jenis kelamin saja yang dimasukkan ke dalam saja yang dimasukkan ke dalam model

model, ***hanya

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum penambahan variabel kontrol (model 1), psikopati memiliki efek yang signifikan pada kecenderungan perilaku IBSA (β=0,0779; CI95[0,0089; 0,1468]; SE=0,0350; p=0,0271). Namun, setelah ditambahkan variabel kontrol pada model 2, psikopati jadi tidak memiliki efek yang signifikan pada kecenderungan perilaku IBSA (β=0,0658; CI95[-0,0043; 0,1358]; SE=0,0356; p=0,0656). Maka itu, dilakukan inspeksi pada variabel kontrol yang secara signifikan memprediksi kecenderungan perilaku IBSA, yaitu jenis kelamin (model 3) dan pengalaman viktimisasi IBSA (model 4). Setelah dilakukan inspeksi lebih lanjut pada variabel kontrol, ditemukan bahwa jenis kelamin (model 3) yang merubah signifikansi psikopati (β=0,0648; CI95[-0,0047; 0,1343]; SE=0,0352; p=0,0676).

Namun demikian, psikopati dan narsisme merupakan variabel yang ditempatkan sebagai moderator dalam hipotesis sehingga inspeksi hubungan interaksi antara prediktor utama (norma maskulin) dan moderator (narsisme dan psikopati) menjadi hal utama untuk dianalisis. Hasil analisis moderasi yang ditunjukkan pada tabel 5 menemukan bahwa pada model akhir (model 2) konformitas terhadap norma maskulin memiliki efek positif yang signifikan terhadap kecenderungan perilaku IBSA (β=0,1680; CI95[0,0496; 0,2864]; SE=0,0601; p=0,0056). Hasil ini konsisten dengan model 3 dan model 4 (lihat tabel 5). Terlepas terdapat hubungan langsung antara prediktor dan outcome, namun berdasarkan hasil uji moderasi, tidak ditemukan efek interaksi narsisme dengan konformitas norma maskulin terhadap kecenderungan perilaku IBSA pada model 2 (β=0,0052; CI95[-0,0671; 0,0776]; SE=0,0367; p=0,8864). Hasil yang sama juga ditemukan pada model 3 dan 4, sehingga H1 pada penelitian ini tidak terkonfirmasi. Di sisi lain, ditemukan adanya efek interaksi antara psikopati dengan konformitas norma maskulin terhadap kecenderungan perilaku IBSA pada model 2 (β=0,1838; CI95[0,0865; 0,2811]; SE=0,0494; p=0,0002). Hasil ini juga konsisten dengan model 3 dan 4 (lihat tabel 5), sehingga H2 pada penelitian ini terkonfirmasi.

Tabel 5. Hasil Uji Moderasi dengan Bootstrap

Model

B

SE

t

p

95% Confidence Interval

Lower

Upper

Konformitas Terhadap Norma Maskulin

0,2199

0,0537

4,0944

0,0001

0,1141

0,3257

Narsisme

0,0331

0,0256

1,2947

0,1967

-0,0173

0,0835

Konformitas Terhadap Norma Maskulin*Narsisme

-0,0006

0,0370

-0,0173

0,9862

-0,0735

0,0722

Psikopati

0,0779

0,0350

2,2242

0,0271

0,0089

0,1468

Konformitas Terhadap Norma Maskulin*Psikopati

0,1795

0,0501

3,5855

0,0004

0,0809

0,2781

Konformitas Terhadap Norma Maskulin

0,1680

0,0601

2,7960

0,0056

0,0496

0,2864

Narsisme

0,0333

0,0255

1,3067

0,1927

-0,0169

0,0835

Konformitas Terhadap Norma Maskulin*Narsisme

0,0052

0,0367

0,1430

0,8864

-0,0671

0,0776

Psikopati

0,0658

0,0356

1,85

0,0656

-0,0043

0,1358

Konformitas Terhadap Norma Maskulin*Psikopati

0,1838

0,0494

3,7228

0,0002

0,0865

0,2811

Jenis Kelamin

0,1754

0,0793

2,2125

0,0279

0,0192

0,3315

Disabilitas

0,0803

0,1614

0,4979

0,6190

-0,2376

0,3983

Orientasi Seksual

0,0255

0,0881

0,2890

0,7728

-0,1482

0,1991

Pengalaman Viktimisasi IBSA

0,3185

0,1426

2,2339

0,0265

0,0376

0,5994

3

Konformitas Terhadap Norma Maskulin

0,1744

0,0574

3,0397

0,0026

0,0614

0,2874

Narsisme

0,0379

0,0255

1,4872

0,1383

-0,0123

0,0881

Konformitas Terhadap Norma Maskulin*Narsisme

0,0014

0,0367

0,0375

0,9701

-0,0709

0,0737

Psikopati

0,0648

0,0353

1,8361

0,0676

-0,0047

0,1343

Konformitas Terhadap Norma Maskulin*Psikopati

0,1748

0,0497

3,5916

0,0004

0,0805

0,2763

Jenis Kelamin

0,1704

0,0795

2,1427

0,0332

0,0137

0,3272

4

Konformitas Terhadap Norma Maskulin

0,2219

0,0531

4,1773

0,0000

0,1172

0,3266

Narsisme

0,0278

0,0254

1,0941

0,2751

-0,0223

0,0778

Konformitas Terhadap Norma Maskulin*Narsisme

0,0013

0,0366

0,0361

0,9712

-0,0707

0,0734

Psikopati

0,0780

0,0346

2,2520

0,0253

0,0098

0,1462

Konformitas Terhadap Norma Maskulin*Psikopati

0,1851

0,0496

3,7339

0,0002

0,0874

0,2827

Pengalaman viktimisasi IBSA

0,3383

0,1362

2,4844

0,0137

0,07

0,6067

Slope moderasi (gambar 1) berdasarkan model 2 juga menunjukkan terdapat perbedaan kemiringan ketika psikopati bernilai rendah, moderat, dan tinggi. Namun, tidak terdapat perbedaan kemiringan ketika narsisme bernilai rendah, moderat, maupun tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa psikopati memoderasi hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA, sedangkan narsisme tidak.

Gambar 1. Slope Moderasi Berdasarkan Model 2

PEMBAHASAN

Hubungan signifikan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA mendukung temuan dari studi sebelumnya yang dilakukan oleh March dkk. (2021) yang menemukan bahwa konformitas terhadap norma maskulin berhubungan secara signifikan dengan perilaku cyber dating abuse. Temuan studi ini juga konsisten dengan temuan dari studi Locke & Mahalik (2005) yang menemukan bahwa konformitas terhadap norma maskulin, khususnya norma kuasa di atas perempuan berkorelasi paling kuat dengan agresi seksual dan penerimaan mitos pemerkosaan secara signifikan.

Hal tersebut dapat dijelaskan karena perilaku IBSA merupakan salah satu bentuk ekspresi maskulinitas yang didasarkan pada gagasan privilese dan entitlement laki-laki di atas perempuan (Powell & Henry, 2017). Dalam artian, jika laki-laki menyebarkan konten grafis seksual yang memuat tubuh perempuan, maka laki-laki tersebut dianggap “berkuasa” atau “memiliki akses” atas tubuh perempuan tersebut (Naezer & van Oosterhout, 2021; Ringrose dkk., 2013). Pada akhirnya, konten grafis seksual tersebut menjadi “komoditas” yang dipertukarkan dengan popularitas, pembuktian maskulinitas, dan rasa hormat serta kagum dari orangorang sekitarnya (Hall & Hearn, 2019; Maas dkk., 2021; Naezer & van Oosterhout, 2021; Powell dkk., 2020; Ringrose dkk., 2013, 2022).

Kemudian, penelitian ini menemukan bahwa narsisme tidak memoderasi hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA. Hal ini dimungkinkan terjadi karena beberapa ahli menyatakan bahwa narsisme dianggap karakteristik kepribadian gelap yang paling “terang” (Rauthmann & Kolar, 2012) dan kerap berhubungan positif dengan identitas moral dan perilaku prososial (Zuo dkk., 2016). Karakteristik tersebut cukup berbanding terbalik dengan norma maskulinitas yang seringkali berkaitan dengan perilaku antisosial seperti agresi (Mahalik dkk., 2003; Poteat dkk., 2011). Selain itu, mengingat karakteristik seorang narsis yang senang mengejar validasi eksternal (i.e. rasa kagum, perhatian, dan prestise; House & Howell, 1992), maka seorang dengan karakteristik narsisme bisa jadi justru mengejar validasi eksternal dengan menunjukkan moralitasnya (Zuo dkk., 2016), bukan dengan melakukan IBSA yang malah menunjukkan defisit moral seseorang.

Selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya efek moderasi psikopati pada hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA. Artinya, konformitas terhadap norma maskulin dengan psikopati saling berinteraksi dalam memprediksi kecenderungan perilaku IBSA. Hal ini dapat disebabkan oleh norma maskulinitas yang seringkali menekankan kekerasan sebagai hal yang jantan (Anderson, 2005) dan kemudian diperkuat dengan kecenderungan seseorang dengan psikopati yang memiliki moralitas yang rendah (Zuo dkk., 2016) dan kerap melakukan perilaku antisosial (Hare & Neumann, 2008). Seseorang dengan psikopati tinggi cenderung tidak mempedulikan moralitas yang terkait dengan (1) harm/care, yaitu moralitas berkaitan dengan kekhawatiran tentang kekerasan dan penderitaan orang lain, termasuk kasih sayang dan

perhatian; dan (2) fairness/reciprocity, yaitu moralitas terkait norma-norma hubungan timbal balik, kesetaraan, hak, dan keadilan (Glenn dkk., 2009). Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa pengabaian moralitas seorang dengan kecenderungan psikopati tinggi dapat memperkuat perilaku kekerasan yang kerap kali dibenarkan atas nama maskulinitas.

Terdapat temuan eksploratif pada penelitian ini, di mana jenis kelamin berdampak positif signifikan terhadap kecenderungan perilaku IBSA. Variabel kontrol jenis kelamin telah diubah menjadi variabel dummies (laki-laki=1, perempuan=0). Artinya, laki-laki menunjukkan perbedaan skor yang signifikan dibandingkan dengan perempuan. Temuan tersebut turut mendukung penelitian-penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa IBSA merupakan fenomena yang terbagi berdasarkan gender, di mana laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk berperan sebagai pelaku IBSA dan perempuan sebagai korban (Henry dkk., 2019; Powell dkk., 2019, 2020).

Namun demikian, hasil unik juga menyertai penambahan variabel jenis kelamin karena hal tersebut merubah signifikansi psikopati sehingga menjadi tidak memberikan efek signifikan terhadap kecenderungan perilaku IBSA. Tidak signifikannya psikopati ketika ditambahkan variabel jenis kelamin diduga disebabkan oleh kuatnya konteks sosial dalam memprediksi terjadinya perilaku IBSA. Artinya, secara implisit terdapat kecenderungan perilaku IBSA yang melekat erat dengan konteks sosial/moral yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, jenis kelamin melekat kuat dengan konteks sosial yang diteliti, yaitu norma gender yang berlaku di masyarakat, khususnya norma gender maskulin. Laki-laki dalam beberapa riset juga menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan IBSA (Henry dkk., 2019; Powell dkk., 2019, 2020) karena didorong oleh tuntutan konformitas terhadap norma maskulin yang berlaku (Seabrook dkk., 2018) dan pencarian validasi maskulinitas (Hall & Hearn, 2019; Naezer & van Oosterhout, 2021; Ringrose dkk., 2022). Maka dari itu, efek dari variabel jenis kelamin dapat menutupi efek dari psikopati itu sendiri.

Adapun keterbatasan dari penelitian ini, yang pertama adalah populasi yang digunakan pada penelitian ini terlalu heterogen. Populasi yang lebih spesifik, bagaimanapun akan lebih bisa memberikan hasil yang lebih akurat ketika digeneralisasikan.

Yang kedua, alat ukur RPPS pada penelitian ini memiliki tingkat social desirability yang tinggi. Maka dari itu, partisipan penelitian tetap berpotensi terpengaruh bias social desirability meski pengisian kuesioner penelitian dilakukan secara anonim. Peneliti selanjutnya dapat meneliti topik serupa, namun menggunakan skala pendamping social desirability (perilaku IBSA, karakteristik kepribadian gelap) sehingga bias terkait hal tersebut dapat dikontrol.

Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat mengkaji lebih lanjut mengenai dimensi-dimensi lain dari konformitas norma maskulin yang berpotensi memiliki efek positif pada perilaku IBSA, seperti playboy, kekerasan, representasi diri heteroseksual, dominasi, dan pengambilan risiko (Locke & Mahalik, 2005).

KESIMPULAN

Penelitian ini menemukan bahwa konformitas terhadap norma maskulin, khususnya pada norma kuasa di atas perempuan memiliki efek positif yang signifikan terhadap kecenderungan perilaku IBSA. Kemudian, penelitian ini tidak menemukan adanya efek moderasi narsisme pada hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA. Namun, penelitian ini menemukan bahwa psikopati memoderasi hubungan antara konformitas terhadap norma maskulin dengan kecenderungan perilaku IBSA.

Mempertimbangkan temuan tersebut, maka diharapkan bahwa temuan ini dapat menjadi dasar bagi para praktisi psikologi untuk membuat intervensi psikososial sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya perilaku IBSA pada populasi yang rentan melakukan. Intervensi dapat ditujukan untuk menurunkan karakteristik kepribadian psikopati dan merekonstruksi ulang arti maskulinitas menjadi lebih positif. Selain itu, pembuat kebijakan pendidikan dan praktisi pendidikan dapat membuat kurikulum pendidikan yang memuat edukasi seks dan gender untuk merekonstruksi ulang arti maskulinitas sejak dini dan membuat program pendidikan karakter untuk mengasah empati siswa sebagai upaya pencegahan terjadinya perilaku IBSA di masa depan.

REFERENSI

Anderson, K. L. (2005). Theorizing Gender in Intimate Partner Violence Research. Sex Roles, 52(11–12), 853–865.

https://doi.org/10.1007/s11199-005-4204-x

Beaton, D. E., Bombardier, C., Guillemin, F., & Ferraz, M. B. (2000). Guidelines for the Process of Cross-Cultural Adaptation of Self-Report Measures: Spine, 25(24), 3186–3191. https://doi.org/10.1097/00007632-200012150-00014

Field, A. (2018). Discovering statistics using IBM SPSS statistics (5th edition). SAGE Publications.

Glenn, A. L., Iyer, R., Graham, J., Koleva, S., & Haidt, J. (2009). Are All Types of Morality Compromised in Psychopathy?

Journal of Personality Disorders, 23(4), 384–398. https://doi.org/10.1521/pedi.2009.23.4.384

Hall, M., & Hearn, J. (2019). Revenge pornography and manhood acts: A discourse analysis of perpetrators’ accounts. Journal of Gender Studies, 28(2), 158–170. https://doi.org/10.1080/09589236.2017.1417117

Hansen Mandau, M. B. (2020). Homosocial positionings and ambivalent participation: A qualitative analysis of young adults’ non-consensual sharing and viewing of privately produced sexual images. MedieKultur: Journal of Media and Communication Research, 36(67), 055–075. https://doi.org/10.7146/mediekultur.v36i67.113976

Hare, R. D., & Neumann, C. S. (2008). Psychopathy as a Clinical and Empirical Construct. Annual Review of Clinical Psychology, 4(1), 217–246. https://doi.org/10.1146/annurev.clinpsy.3.022806.091452

Hayes, A. F. (2022). Introduction to Mediation, Moderation, and Conditional Process Analysis: A Regression-Based Approach (3rd ed.). The Guilford Press.

Henry, N., Flynn, A., & Powell, A. (2019). Image-based sexual abuse: Victims and perpetrators. 20.

House, R. J., & Howell, J. M. (1992). Personality and charismatic leadership. The Leadership Quarterly, 3(2), 81–108.

https://doi.org/10.1016/1048-9843(92)90028-E

Johnson, A. G. (2004). Patriarchy, The System. In Women’s Lives Multicultural Perspectives (Vol. 3, pp. 25–32).

Karasavva, V., & Forth, A. (2021). Personality, Attitudinal, and Demographic Predictors of Non-consensual Dissemination of

Intimate Images. Journal of Interpersonal Violence, 088626052110435. https://doi.org/10.1177/08862605211043586

KOMNAS Perempuan. (2022). Bayang-bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-perempuan-internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan

LBH Apik Jakarta. (2021). Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat, Negara Wajib Memberikan Ruang Aman: Catatan Akhir Tahun LBH Apik Jakarta Berdasarkan Pengalaman Penanganan Kasus dan Advokasi 2021.

https://drive.google.com/file/d/184JB9O9OUFPSkjvgJ90e9oIVfRoYN-7x/view

Locke, B. D., & Mahalik, J. R. (2005). Examining Masculinity Norms, Problem Drinking, and Athletic Involvement as Predictors of Sexual Aggression in College Men. Journal of Counseling Psychology, 52(3), 279–283. https://doi.org/10.1037/0022-0167.52.3.279

Maas, M. K., Cary, K. M., Clancy, E. M., Klettke, B., McCauley, H. L., & Temple, J. R. (2021). Slutpage Use Among U.S. College Students: The Secret and Social Platforms of Image-Based Sexual Abuse. Archives of Sexual Behavior, 50(5), 2203–2214. https://doi.org/10.1007/s10508-021-01920-1

Mahalik, J. R., Locke, B. D., Ludlow, L. H., Diemer, M. A., Scott, R. P. J., Gottfried, M., & Freitas, G. (2003). Development of the Conformity to Masculine Norms Inventory. Psychology of Men & Masculinity, 4(1), 3–25.

https://doi.org/10.1037/1524-9220.4.1.3

March, E., Grieve, R., Clancy, E., Klettke, B., van Dick, R., & Hernandez Bark, A. S. (2021). The Role of Individual Differences in Cyber Dating Abuse Perpetration. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 24(7), 457–463.

https://doi.org/10.1089/cyber.2020.0687

Moor, L., & Anderson, J. R. (2019). A systematic literature review of the relationship between dark personality traits and antisocial online behaviours. Personality and Individual Differences, 144, 40–55.

https://doi.org/10.1016/j.paid.2019.02.027

Naezer, M., & van Oosterhout, L. (2021). Only sluts love sexting: Youth, sexual norms and non-consensual sharing of digital sexual images. Journal of Gender Studies, 30(1), 79–90. https://doi.org/10.1080/09589236.2020.1799767

Parent, M. C., & Moradi, B. (2009). Confirmatory factor analysis of the Conformity to Masculine Norms Inventory and development of the Conformity to Masculine Norms Inventory-46. Psychology of Men & Masculinity, 10, 175–189. https://doi.org/10.1037/a0015481

Paulhus, D. L., & Williams, K. M. (2002). The Dark Triad of personality: Narcissism, Machiavellianism, and psychopathy.

Journal of Research in Personality, 36(6), 556–563. https://doi.org/10.1016/S0092-6566(02)00505-6

Peterson, C. H., Peterson, N. A., & Powell, K. G. (2017). Cognitive Interviewing for Item Development: Validity Evidence Based on Content and Response Processes. Measurement and Evaluation in Counseling and Development, 50(4), 217–223. https://doi.org/10.1080/07481756.2017.1339564

Pina, A., Holland, J., & James, M. (2017). The Malevolent Side of Revenge Porn Proclivity: Dark Personality Traits and Sexist Ideology. International Journal of Technoethics, 8(1), 30–43. https://doi.org/10.4018/IJT.2017010103

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2006). The content validity index: Are you sure you know what’s being reported? critique and recommendations. Research in Nursing & Health, 29(5), 489–497. https://doi.org/10.1002/nur.20147

Poteat, V. P., Kimmel, M. S., & Wilchins, R. (2011). The Moderating Effects of Support for Violence Beliefs on Masculine Norms, Aggression, and Homophobic Behavior During Adolescence: MASCULINE NORMS AND AGGRESSION. Journal of Research on Adolescence, 21(2), 434–447. https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2010.00682.x

Powell, A., & Henry, N. (2017). Sexual Violence in a Digital Age. Palgrave Macmillan UK. https://doi.org/10.1057/978-1-137-58047-4

Powell, A., Henry, N., Flynn, A., & Scott, A. J. (2019). Image-based sexual abuse: The extent, nature, and predictors of perpetration in a community sample of Australian residents. Computers in Human Behavior, 92, 393–402. https://doi.org/10.1016/j.chb.2018.11.009

Powell, A., Scott, A. J., Flynn, A., & Henry, N. (2020). Image-based sexual abuse: An international study of victims and perpetrators. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.35166.59209

Rauthmann, J. F., & Kolar, G. P. (2012). How “dark” are the Dark Triad traits? Examining the perceived darkness of narcissism, Machiavellianism, and psychopathy. Personality and Individual Differences, 53(7), 884–889. https://doi.org/10.1016/j.paid.2012.06.020

Reed, L. A., Tolman, R. M., & Ward, L. M. (2016). Snooping and Sexting: Digital Media as a Context for Dating Aggression and Abuse Among College Students. Violence Against Women, 22(13), 1556–1576. https://doi.org/10.1177/1077801216630143

Ringrose, J., Harvey, L., Gill, R., & Livingstone, S. (2013). Teen girls, sexual double standards and ‘sexting’: Gendered value in digital image exchange. Feminist Theory, 14(3), 305–323. https://doi.org/10.1177/1464700113499853

Ringrose, J., Regehr, K., & Whitehead, S. (2022). ‘Wanna trade?’: Cisheteronormative homosocial masculinity and the normalization of abuse in youth digital sexual image exchange. Journal of Gender Studies, 31(2), 243–261. https://doi.org/10.1080/09589236.2021.1947206

Rogoza, R., Żemojtel-Piotrowska, M., Jonason, P. K., Piotrowski, J., Campbell, K. W., Gebauer, J. E., Maltby, J., Sedikides, C., Adamovic, M., Adams, B. G., Ang, R. P., Ardi, R., Atitsogbe, K. A., Baltatescu, S., Bilić, S., Bodroža, B., Gruneau Brulin, J., Bundhoo Poonoosamy, H. Y., Chaleeraktrakoon, T., … Włodarczyk, A. (2021). Structure of Dark Triad Dirty Dozen Across Eight World Regions. Assessment, 28(4), 1125–1135. https://doi.org/10.1177/1073191120922611

SAFEnet. (2022). Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2021: Pandemi Memang Terkendali, Tetapi Represi Digital Terus Berlanjut. https://awaskbgo.id/wp-content/uploads/2022/03/Laporan-Situasi-Hak-Digital-2021-Part-KBGO.pdf

Seabrook, R. C., Ward, L. M., & Giaccardi, S. (2018). Why is fraternity membership associated with sexual assault? Exploring the roles of conformity to masculine norms, pressure to uphold masculinity, and objectification of women. Psychology of Men & Masculinity, 19(1), 3–13. https://doi.org/10.1037/men0000076

Sperber, A. D. (2004). Translation and validation of study instruments for cross-cultural research. Gastroenterology, 126, S124– S128. https://doi.org/10.1053/j.gastro.2003.10.016

Van Ouytsel, J., Walrave, M., De Marez, L., Vanhaelewyn, B., & Ponnet, K. (2021). Sexting, pressured sexting and image-based sexual abuse among a weighted-sample of heterosexual and LGB-youth. Computers in Human Behavior, 117, 106630. https://doi.org/10.1016/j.chb.2020.106630

Zuo, S., Wang, F., Xu, Y., Wang, F., & Zhao, X. (2016). The fragile but bright facet in the Dark Gem: Narcissism positively predicts personal morality when individual’s self-esteem is at low level. Personality and Individual Differences, 97, 272– 276. https://doi.org/10.1016/j.paid.2016.03.076

260