Hubungan antara dukungan sosial keluarga dan penerimaan diri individu dengan lupus
on
Jurnal Psikologi Udayana 2023, Vol.10, No.1, 223-231
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2023.v10.i01.p02
Hubungan antara dukungan sosial keluarga dan penerimaan diri individu dengan lupus Ida Ayu Widiantari1, Tience Debora Valentina2 1,2Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana tiencedebora@unud.ac.id
Abstrak
Penerimaan diri sangat penting dimiliki oleh individu dengan lupus untuk menghadapi perubahan yang dialami akibat dari dampak penyakit lupus yang dimiliki. Penerimaan diri ialah proses yang dialami oleh individu untuk menerima kekurangan dan kelebihan diri tanpa melihat karakteristik penyakit yang dimiliki. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi proses penerimaan diri pada individu dengan lupus adalah dukungan sosial keluarga. Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri pada individu dengan lupus. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 120 individu dengan lupus yang berusia 18 hingga 40 tahun. Teknik pengambilan sampel yang dipakai yaitu purposive sampling. Terdapat dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala penerimaan diri dengan reliabilitas sebesar 0,909 dan skala dukungan sosial keluarga dengan reliabilitas sebesar 0,894. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan metode analisis data korelasi Spearman menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (sig < 0,05), yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri pada individu dengan lupus. Nilai koefisien korelasi yang positif yaitu r = 0,436 menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri. Implikasi dari penelitian ini yaitu memberikan pemahaman bagi keluarga mengenai pentingnya dukungan yang diberikan oleh keluarga kepada individu dengan lupus serta memberikan masukan dan dukungan bagi individu dengan lupus dalam menerima diri.
Kata kunci: Dukungan sosial keluarga; individu dengan lupus; penelitian korelasional; penerimaan diri
Abstract
Self-acceptance is extremely important for individuals with lupus to face the changes they experiences as an impact of their lupus disease. Self-acceptance is a process experienced by individuals to accept their weaknesses and strengths regardless of the characteristics of the disease they have. One of the factors that can affect the process of selfacceptance in individuals with lupus is family social support. The aim of this study is to examine the relationship between family social support and self-acceptance in individuals with lupus. This is a correlational quantitative research, using purposive sampling technique. This research involved 120 individuals with lupus, in ages between 18 to 40. Data collection tools used in this research is scale of self-acceptance with a reliability of 0,909 and scale of family social support with reliability of 0,894. The results of hypothesis testing using the Spearman correlation data analysis method showed significance in amount of of 0.000 (sig < 0.05), which means there is a significant relationship between family social support and self-acceptance in individuals with lupus. A positive correlation coefficient value (0.436) indicates that there is a positive relationship between family social support and self-acceptance. The implications of this study are to give an understanding for families about how important the support provided by families to individuals with lupus and to provide input and support for individuals with lupus in accepting themselves.
Keywords: Correlational study; family social suppor; individuals with lupus; self-acceptance
LATAR BELAKANG
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang terletak pada jaringan ikat, yang di mana sistem imun dalam tubuh menyerang jaringan dari tubuh itu sendiri (Wibowo, Hasibuan & Suginam, 2021). Manisfestasi klinik individu dengan penyakit SLE sangat bervariasi, seperti adanya kelainan pada kulit ringan hingga kelainan pada organ internal yang berat atau nyeri sendi yang mengancam nyawa (Hidayati, 2017). Penyakit lupus memiliki resiko kematian yang tinggi pada penyintasnya (hingga 67% lebih tinggi dari populasi normal) (KemenkesRI, 2017). Penyebab utama dari kematian individu dengan penyakit SLE yakni 90% disebabkan infeksi serta sisanya diakibatkan adanya komplikasi pada organ seperti gagal ginjal serta kerusakan SSP sebesar 10% (Asih & Sukendra, 2016). Menurut KemenkesRI (2017) Jumlah individu dengan penyakit lupus di Indonesia Sekitar 1.250.000 orang, sejak 2011-2016 pasien rawat inap di rumah sakit terus mengalami peningkatan, pada 2016 total pasien lupus sebanyak 2.166 pasien, tingginya kematian yang disebabkan oleh penyakit lupus memerlukan perhatian khusus dikarenakan 25% pasien rawat inap di rumah sakit Indonesia berujung pada kematian. Penyakit lupus bisa menyerang siapa saja, sekitar 90% terjadi pada perempuan usia produktif yakni 15-45 tahun, yang di mana sebanding dengan perbandingan jenis kelamin perempuan dengan laki-laki yakni 9:1 (Syamsi Duha Foundation, 2021).
Penyakit lupus memberikan dampak secara fisik dan psikis kepada individu dengan lupus, umumnya gangguan mood ialah salah satu jenis masalah neuropsikiatri yang dialami oleh individu dengan lupus. Salah satu gangguan mood yang dalami ialah depresi dan kecemasan yang mana hal tersebut menyebabkan individu dengan lupus lebih mudah mengalami stres, kondisi individu dengan lupus tersebut akan menjadi lebih buruk ketika individu tersebut mengalami stres (Thomas, 2014). Beberapa penelitian melaporkan tingkat prevalensi depresi pada pasien lupus sekitar 11-65,8%, sedangkan prevalensi depresi seumur hidup pada SLE dilaporkan 69% (Exel, Jacobs, Korswagen, Voskuyl, Stek & Dekker, 2013). Tinjauan sistemik mengenai depresi pada SLE menunjukkan bahwa gejala depresi yang sering dilaporkan yaitu kelelahan dan kelemahan (88-90%), mudah marah (82%), preokupasi somatik (76%) dan kesulitan tidur (70%), perasaan sedih dilaporkan dari 29% sampai 77%. Penyebab dari depresi pada SLE adalah faktor psikososial termasuk reaksi psikologis terhadap penyakit dan aktivitas penyakit SLE (Sumarda,2021).
Tantangan emosional yang dihadapi oleh individu dengan lupus sangat besar, pasien yang didiagnosis dengan lupus dapat merasa tidak berharga dan putus asa, perubahan struktur tubuh adalah kondisi dimana perempuan merasa tidak menarik atau kurang menggambarkan identitas feminim seorang perempuan. Selain itu, stigma masyarakat, pengucilan, dan kurangnya pemahaman meningkatkan hilangnya harga diri individu dengan lupus (Sutanto dkk, 2013). Hal itu sangat mempengaruhi psikologis individu dengan lupus sehingga individu dengan lupus sulit menerima keadaan dalam dirinya (Mutiara, 2017). Semakin kompleks suatu penyakit yang individu alami karena lupus, maka akan semakin banyak pula obat yang dikonsumsi dan berdampak pada besarnya dosis yang dimiliki. Adapun dengan pemberian obat tersebut tentu tidak terlepas dengan efek samping yang akan penderita rasakan. Efek-efek dari obat tersebut salah satunya ialah dengan menghindari interaksi sosial. Hal tersebut dilaksanakan individu dengan lupus demi menghindari stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat terhadap individu dengan lupus (Kheirandish, 2014).
Penerimaan diri pada individu dengan lupus sangat diperlukan tidak hanya agar bisa mengakui kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki saja, melainkan juga agar menambah rasa kepercayaan diri serta menganggap bahwa dirinya berharga sehingga kehidupan secara normal bisa mereka jalani (Citra & Eriany, 2015). Individu dengan lupus yang mempunyai penerimaan diri dapat menilai secara realistis keadaan dirinya tanpa harus menyalahkan orang lain ataupun mencela dirinya sendiri akibat keterbatasan yang ia miliki (Ardilla & Herdiana, 2013). Menurut hasil penelitian Rakasiwi & Nurchayati (2021) dukungan keluarga ialah salah satu faktor pendukung penerimaan diri. Dukungan keluarga yakni sikap anggota keluarga kepada anggotanya yang tengah sakit, di mana sikap tersebut bisa dicerminkan lewat interaksi serta reaksi mereka terhadap anggota keluarga yang sedang sakit (Simanullang & Nainggolan, 2021). Bantuan, motivasi, serta perhatian, dari keluarga dan orang lain adalah dukungan sosial yang krusial dalam penerimaan diri individu (Hanindyastiti & Insiyah, 2017).
Bagi individu dengan penyakit kronis, dukungan keluarga sangat diperlukan guna mengatasi permasalahan psikis yang ia alami selama sakit, kurangnya dukungan keluarga akan memengaruhi penerimaan diri individu (Kurniarifin, 2017). Adanya dukungan sosial yang kuat dari keluarga, membuat individu dengan lupus memiliki harapan untuk dapat melanjutkan hidup karena memiliki keberartian dalam keluarga, selain itu perhatian dan penerimaan keluarga kepada individu dengan lupus merupakan dukungan yang paling memberikan spirit untuk menjadi sehat kepada individu dengan lupus (Desmisagli, 2012). Oleh sebab itu, penelitian ini dikerjakan guna mengetahui apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial keluarga terhadap penerimaan diri individu dengan lupus.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Penelitian ini mencakup variabel terikat serta variabel bebas. Memakai variabel terikat yakni penerimaan diri dan variabel bebas yaitu dukungan sosial keluarga. Berikut definisi operasional dari tiap-tiap variabelnya:
Penerimaan Diri
Ialah suatu proses yang dialami individu untuk bisa menerima kekurangan dan kelemahan diri tanpa melihat karakteristik penyakit yang tengah mereka alami. Penerimaan diri dalam penelitian ini merupakan variabel terikat. Skala yang dipakai guna mengukur
Penerimaan diri ini telah peneliti susun sendiri dengan merujuk kepada teori aspek-aspek penerimaan diri Shepard (1979), adapun bermacam aspek yang dimaksud diantaranya pemahaman diri, realistik, albeit subjective dan kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri.
Dukungan Sosial Keluarga
Ialah bantuan yang anggota keluarga lain berikan kepada anggota keluarga yang memang membutuhkan, sehingga anggota keluarga tersebut merasa didukung, dihargai dan dicintai. Dukungan sosial keluarga disini merupakan variabel bebas. Skala yang dipakai guna mengukur dukungan sosial keluarga telah peneliti buat sendiri dengan mengacu pada teori bentuk-bentuk dukungan sosial oleh Sarafino & Smith (2011), adapun bermacam bentuk yang dimaksud, yakni dukungan instrumental, dukungan emosional, serta dukungan informatif.
Responden
Populasi pada penelitian ini yaitu orang dengan lupus yang tergabung dalam komunitas individu penyintas lupus sebanyak 120 orang. Peneliti memakai teknik pengambilan sampel yaitu non-probability sampling dengan jenis purposive sampling, yang mana sampel akan ditetapkan atas pertimbangan tertentu. Adapun sampelnya yakni individu terdiagnosa lupus, berjenis kelamin perempuan dan berusia 18 hingga 40 tahun. Total sampel yakni 30 orang.
Tempat Penelitian
Dilaksanakan secara online pada komunitas sahabat cempluk bulan April 2022. Penelitian dilaksanakan dengan cara memberikan kuesioner yang dibagikan melalui link google form kepada subjek yang telah memenuhi kriteria pada penelitian ini.
Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai metode pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan uji daya diskriminasi serta uji reliabilitas. Fungsi dari uji daya diskriminasi yakni guna membedakan apakah individu atau kelompok individu mempunyai atribut yang hendak diukur. Pada penelitian ini aitem diseleksi berdasarkan nilai corrected item-total correlation. Suatu aitem bisa dikatakan memasuki kriteria hanya jika kofisien korelasi aitem total (rix) ≥ 0,30. Jika standar yang diharapkan tidak dapat dipenuhi oleh jumlah aitem yang diseleksi, maka dengan penurunan batas minimum koefisien korelasi aitem total (rix) menjadi 0,25 dapat peneliti pertimbangkan (Azwar, 2016).
Uji reliabilitas bisa dilaksanakan dengan melihat nilai dari Cronbach’s Alpha. Menurut Siregar (2013) kriteria suatu instrument dapat dikatakan reliable, apabila koefisien reliabilitas (α) > 0,6. Bila nilai dari koefisien reliabilitas semakin tinggi, tandanya skala dapat dikatakan reliable.
Nilai dari koefisien korelasi aitem-total berkisar 0,340 sampai 0,753 dan hasil dari uji reliabilitas menyatakan nilai koefisien Alpha sejumlah 0,909. Skala ini terdiri dari 22 item dengan dua model item yaitu favorable dan unfavorable. Nilai dari koefisien korelasi aitem-total kisaran 0,321 sampai 0,821 dan hasil dari uji reliabilitas menunjukkan jika nilai koefisien Alpha sejumlah 0,894.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat. Sehingga disebut dengan penelitian korelasi. Untuk bisa menguji hipotesis dalam penelitian, maka peneliti memakai teknik korelasi Spearman sebagai teknik analisis datanya. Analisis ini dilaksanakan dengan program SPSS (Statistical Package for Social Service) 26.0 for windows. Sebelum melakukan analisis data dengan menggunakan korelasi Spearman, peneliti melakukan uji asumsi seperti uji normalitas yang memakai teknik Kolmogorov-Smirnov, dan uji linearitas dengan memakai Test for Linearity.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi Data Penelitian
Adapun hasil deskripsi dari variabel Dukungan sosial keluarga serta penerimaan diri bisa ditinjau di tabel 1 (terlampir). Adapun hasil deskripsi statistiknya mengilustrasikan jika dukungan sosial keluarga mempunyai mean teoritik sejumlah 69 serta mean empirik sejumlah 72,08. Perbedaan nilai antara mean teoritik dan mean empirik yakni sejumlah 3,08. Terlihat bila nilai mean emprik lebih besar jika dibandingkan mean teoritik (72,08 > 69), hal tersebut menggambarkan jika subjek dalam penelitian ini mmpunyai dukungan sosial keluarga yang tergolong tinggi.
Deskripsi statistik pada tabel 1 mengilustrasikan penerimaan diri memiliki mean teoritik sejumlah 66 serta mean empirik sejumlah 76,77. Terdapat perbedaan nilai antara mean teoritik dan mean empirik sejumlah 10,77. Terlihat bahwa nila mean emprik lebih besar dibanding mean teoritik (66 < 76,77), hal tersebut mencerminkan bila subjek dalam penelitian sekarang ini mempunyai penerimaan diri yang tergolong tinggi.
Uji Asumsi
Uji normalitas bisa disebut normal jika nilai probabilitasnya lebih besar daripada 0,05 (p>0,05). Sementara disebut tidak normal jika probabilitas lebih kecil dibanding 0,05, (p<0,05) (Azwar, 2016). Pada penelitian ini diilustrasikan bahwa uji normalitasnya ialah tidak normal, hal ini dikarenakan p<0,05. Tabel 2 menggambarkan jika data dalam variabel dukungan sosial keluarga tidak berdistribusi normal yang mana nilai dari Kolmogorov-Smirnov sejumlah 0,122 serta signifikansinya sejumlah 0,000 (p < 0,05) dan variabel penerimaan diri menunjukkan bahwa variabel Penerimaan diri tidak mempunyai distribusi normal sebab nilai Kolmogorov-Smirnov berjumlah 0,105 serta signifikansinya 0,002 (p < 0,05), sebab itu hasil pada penelitian tidak dapat digeneralisasi. Karena data penelitian tidak berdistribusi normal, maka uji yang digunakan adalah uji non-parametrik. Sesuai dengan pendapat Sugiyono (2013) uji non-parametrik tidak perlu mengikuti persyaratan uji asumsi seperti pada penelitian uji parametrik.
Cara pelaksanaan uji linieritas yakni melihat compare mean kemudian memakai test of linearity. Hubungan dua variabel disebut signifikan apabila liniearity lebih kecil dibanding 0,05 (p < 0,05) serta deviation from linierity di atas 0,05 (p > 0,05) (Priyanto 2012). Tabel 3 memperlihatkan bahwasannya ditemukan hubungan yang tidak linear yang terjadi antara variabel penerimaan diri dengan dukungan sosial keluarga. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai signifikansi linearity sejumlah 0,000 (p < 0,05) serta nilai signifikansi deviation from linearity yakni 0,000 (p < 0,05).
Uji hipotesis yang peneliti pakai ialah uji korelasi Spearman. Hipotesis yang akan diuji dinyatakan dalam statistik yaitu Ho dan Ha, apabila nilai probabilitas p < 0,05 tandanya variabel bebas bisa dikatakan berpengaruh signifikan terhadap variabel tergantung. Apabila nilai p > 0,05 berarti variabel bebas tidak berpengaruh. Berdasarkan hasil uji hipotesis yang terletak di tabel 4, Sig. (2-tailed) memperlihatkan bahwa taraf signifikansi yakni sejumlah 0,000 (< 0,05). Di mana angka tersebut berada dibawah 0,05 yang maknanya variabel dukungan sosial keluarga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap penerimaan diri individu dengan lupus. Di dalam tabel 4 juga meperlihatkan bahwasannya besaran koefisien korelasi yakni 0,436. Koefisien korelasi memiliki makna bahwasannya variabel dukungan sosial keluarga dan penerimaan diri mempunyai hubungan yang positif dan signifikan, di mana semakin tinggi suatu dukungan sosial keluarga yang dimiliki individu dengan lupus maka akan diikuti dengan semakin tinggi pula penerimaan diri individu dengan lupus tersebut. Demikian juga kebalikannya, semakin rendah dukungan sosial keluarga seorang individu dengan lupus diikuti dengan semakin rendah juga penerimaan diri individu dengan lupus. Rangkuman hasil uji hipotesis terdapat dalam tabel 4.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Penelitian ini merupakan korelasi antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri pada individu dengan lupus. Sehingga hasil yang dapat disimpulkan berdasarkan korelasi tersebut ialah terdapat hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri pada individu dengan lupus.
Mayoritas subjek pada penelitian ini memiliki penerimaan diri yang tinggi, dimana diperoleh hasil kategorisasi penerimaan diri mayoritas subjek (90,0%) mempunyai skor penerimaan diri pada kategori tinggi. Sejumlah 9,2% subjek terletak di kategori sedang serta 0,8 % subjek termasuk di kategori rendah. Individu dengan penerimaan diri yang tinggi, mampu dalam mengubah kelemahan yang dimilikinya menjadi sumber kekuatan untuk memaksimalkan kelebihan yang dimiliki (Ardilla & Herdiana, 2013). Individu yang mempunyai penerimaan diri, mampu menyadari kelebihan serta kekurangan diri yang dijadikan dasar untuk menciptakan perasaan percaya diri serta harga diri (Hawe, 2021).
Seorang yang mampu menerima keadaan dirinya, maka akan mampu untuk mengenal serta menyadari bagaimana kondisi dirinya sendiri secara objektif, baik itu kekurangan ataupun kelebihan dirinya tanpa adanya perasaan marah dan perasaan bersalah kepada dirinya sendiri (Permatasari, 2012). Individu dengan penerimaan diri yang tinggi mempunyai dampak positif terhadap hubungannya kepada orang lain disekitarnya (Dienillah & chotidjah, 2021). Ketika individu dengan lupus mempunyai rasa penerimaan diri yang tinggi artinya seseorang itu akan menunjukkan perilaku yang positif kepada orang lain, di sisi lain indivdu dengan rasa penerimaan diri rendah akan condong untuk membenci dirinya serta terdapat peluang akan membenci orang lain (Wijayanti, 2015).
Dukungan sosial keluarga merupakan tindakan, sikap, serta penerimaan kepada anggota keluarga yang tengah mengalami sakit serta memberikan dukungan terhadap anggotanya yang bisa dibuktikan dengan selalu siap untuk memberikan pertolongan hingga bantuan (Ahmalia & Desriyenti, 2018). Penerimaan diri tidak terlepas dari dukungan keluarga dan berkaitan dengan kondisi individu dengan lupus. Sikap dukungan yang dilakukan secara tiada henti bisa mendorong semangat, hal tersebut berdampak pada anggota keluarga yang diberikan dukungan akan memiliki rasa diperhatikan dari keluarga (Sinaga & Bakara, 2019). Hasil dari penelitian yang telah dilakukan, menemukan bahwasannya Sebagian besar subjek mempunyai dukungan sosial keluarga yang tinggi. Hasil pengelompokan dukungan sosial keluarga memperlihatkan bahwa mayoritas subjek (86,7%) mempunyai skor dukungan sosial keluarga yang berada pada kategori tinggi. Sebanyak 10,8% subjek menempati kategori sedang dan 2,5% subjek menempati kategori rendah. Pada penelitian ini subjek paling banyak mendapatkan dukungan emosional dari keluarga sebesar (1,37).
Dukungan emosional yang berupa perhatian, kepedulian, kasih sayang, serta empati merupakan sesuatu yang bisa menolong individu dalam melalui kehidupan, dukungan tersebut dapat membuat seseorang yang menerima dukungan merasa dimengerti
serta diterima, hal tersebut akan bedampak untuk memberikan kekuatan baru yang bermanfaat guna menjaga diri dari kondisi yang terus menghimpit yang bisa berakibat pada depresi (Kurniarifin, 2017). Selain itu munculnya perhatian serta empati dari keluarga akan membuat individu menerima diri dan kondisi yang sedang dialami serta merasa yakin akan kemampuan untuk pulih dari kondisi yang sedang dialami oleh individu tersebut (Utamie, Safitri & Fauzia, 2019). Dukungan instrumental yang didapat pada subjek penelitian ini yaitu sebanyak (1,13%). Dukungan instrumental yang dilakukan oleh keluarga yakni berupa pertolongan langsung seperti membantu membiayai pengobatan dan membantu pekerjaan. Bentuk dukungan instrumental dapat membantu dalam mengurangi rasa cemas sebab individu mampu secara langsung menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi (Utami, 2013).
Selain itu menurut hasil penelitian dari Schultz, Corbett & Hughes (2022) dukungan instrumental yang dilakukan oleh keluarga dapat menolong individu untuk menerima kondisi dan dalam periode pemulihan di rumah. Subjek dalam penelitian ini mendapatkan dukungan informatif sebanyak (0,63%). Dukungan informatif yang dapat diberikan oleh keluarga yaitu memberikan nasihat, saran serta arahan terhadap anggota keluarga yang mengalami lupus, selain itu keluarga dapat membantu individu dalam mencari informasi mengenai penyakit lupus, mengenai alternatif pengobatan, hal yang baik atau tidak baik untuk dilakukan, dll. Bentuk dukungan informatif dapat menambah informasi dan pengetahuan bagi individu sehingga dapat membantu untuk lebih memahami penyakit yang dialami (Guan, Qan’ir & Song, 2021).
Keluarga adalah lingkungan sosial yang paling dekat serta memberikan pengaruh untuk perkembangan serta kehidupan pada umumnya (Rahakbauw, 2016). Peran keluarga yang dilakukan terhadap individu yang sakit seperti, merawat serta menjaga, melakukan pencegahan perubahan sosial ekonomi, mempertahankan serta meningkatkan status mental, hingga kebutuhan spiritual difasilitasi serta memberikan motivasi (Widyastuti, Kisid, & Rosuliana, 2019). Hal lain yang keluarga lakukan yaitu membantu individu pada saat kesulitan dalam melalukan sesuatu hal (Karunia, 2016). Hasil penelitian Utamie, Safitri & Fauzia (2019) mengenai penerimaan diri individu yang mengalami spinal cord injury dikaji dari dukungan sosial mendapatkan hasil yakni adanya dukungan oleh keluarga sangatlah memiliki pengaruh atas penerimaan diri subjek pada penelitian yang dilakukan. Pertolongan yang didapatkan oleh subjek dapat menimbulkan perasaan bahwa subjek diperhatikan oleh orang di sekitarnya.
Individu yang bertempat pada lingkungan yang mendukung keadaannya akan jauh lebih baik dibandingkan dengan individu yang tidak bertempat pada lingkungan yang mendukung, sebab terdapat hubungan yang dekat antar anggota keluarga serta dukungan yang besar yang dilakukan keluarga terhadap anggotanya memiliki pengaruh yang besar pada proses penyembuhan maupun pengobatan (Helda, Hamzah, & Yulianir 2020). Hubungan kekeluargaan yang sangat dekat, rasa empati yang tinggi, serta kedekatan secara emosional yang dalam menjadikan anggota satu dengan yang lainnya semakin bersyukur dan semangat dalam menjalani kehidupan walaupun dengan kondisi sakit sekalipun (Nabilah, Safaria & Urbayatun, 2022). Sarafino & Smith (2011) menyatakan hal yang serupa apabila individu mempunyai level dukungan sosial yang tinggi memiliki perasaan yang mendalam bahwasannya dirinya telah dihargai dan dicintai. Individu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi akan merasa sangat dipedulikan dan dibutuhkan oleh orang lain, sehingga hal ini dapat mendorong individu terhadap pola hidup yang lebih sehat.
Berdasarkan pemaparan di atas, dalam penelitian ini telah ditemukan bahwasannya mayoritas subjek mempunyai penerimaan diri yang tinggi, yang artinya subjek dapat memahami dirinya, dapat menilai dirinya secara realistis mengenai kondisi yang dialami, menerima kekurangan dan kelebihan diri tanpa menyalahkan orang lain dan dapat menunjukkan sikap yang positif terhadap orang lain. Selain itu dalam penelitian ini menemukan sebagian besar subjek mempunyai dukungan sosial keluarga yang tergolong tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah faktor utama yang diperlukan individu dengan lupus. Berdasarkan temuan diatas dapat dibuat kesimpulan apabila dukungan sosial keluarga berhubungan dengan penerimaan diri pada individu dengan lupus. Hasil penelitian ini dapat menjadi refrensi bagi penelitan selanjutnya dan diharapkan bagi penelitian selanjutnya dapat mengembangkan variabel-variabel lain selain variabel yang diteliti pada penelitian ini serta dapat mengkombinasikan metode pengumpulan data lainnya seperti observasi dan wawancara, hal tersebut diharapkan dapat membantu individu dengan lupus dalam memahami dirnya dan berdamai dengan diri sendiri.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian yang sudah dilaksanakan, ditinjau berdasarkan dari hasil analisis yang pertama, dukungan sosial keluarga memiliki hubungan yang signifikan terhadap penerimaan diri individu dengan lupus. Hasil tersebut memperlihatkan apabila dukungan sosial keluarga yang diperoleh semakin tinggi artinya semakin tinggi juga penerimaan diri yang individu dengan lupus miliki. Kedua, mayoritas penerimaan diri dari subjek pada penelitian ini menempati kategori tinggi yang artinya subjek dapat memahami dirinya, dapat menilai dirinya secara realistis mengenai kondisi yang dialami, menerima kekurangan dan kelebihan diri tanpa menyalahkan orang lain dan dapat menunjukkan sikap yang positif terhadap orang lain. Ketiga, mayoritas dukungan sosial keluarga dari subjek penelitian ini menempati kategori yang tinggi yang tandanya dukungan sosial keluarga menjadi hal yang diperlukan oleh individu dengan lupus. Implikasi dari penelitian ini yakni memberikan pemahaman bagi keluarga mengenai pentingnya dukungan yang dilakukan oleh keluarga terhadap individu dengan lupus serta menyampaikan masukan serta dukungan bagi individu dengan lupus dalam menerima diri.
DAFTAR PUSTAKA
Ardilla, F., & Herdiana, I. (2013). Penerimaan Diri Pada Narapidana Wanita. Jurnal Psikologi Kepribadian Dan Sosial, 2(1), 1-7.
Ahmalia, R., & Desriyenti. (2018). Hubungan Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kepatuhan Mengikuti Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Dalam Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2018. Journal Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi, 9 (2), 116-123.
Asih, R. A., & Sukendra, D. M. (2016). Hubungan keparahan penyakit, aktivitas, dan kualitas tidur terhadap kelelahan pasien systemic lupus erythematosus. Unnes Journal of Public Health, 5(3), 221–231. https://doi.org/10.15294/ujph.v5i3.5854
Azwar, S. (2016). Dasar-Dasar Psikometrika, Edisi II. Pustaka Belajar.
Citra, L. R. A., & Eriany, P. (2015). Penerimaan Diri Pada Remaja Puteri Penderita Lupus. Psikodimensia, 14(1), 67-86. DOI: Https://Doi.Org/10.24167/Psiko.V14i1.374
Desmisagli, A. E. (2013). Dukungan Sosial Keluarga Dan Spirit Menjadi Sehat Penderita Lupus Eritematosus Sistemik. Developmental and Clinical Psychology, 1(1), 15–20.
Dienillah, A. N., & Chotidjah, S. (2021). Dukungan Sosial Bagi Penderita Lupus: Dapatkah Menjadi Moderator Bagi Efek Penerimaan Diri Terhadap Rasa Syukur?. Jurnal Psikologi Sosial, 19(1), 89-98. Https://Doi.Org/10.7454/Jps.2021.10
Exel,E., Jacobs, J., Korswagen, L. A., Voskuyl, A. E., Stek, M., Dekker, J., & Bultink, I. E. M. (2013). Depression in systemic lupus erythematosus, dependent on or independent of severity of disease. Lupus, 22(14), 1462–1469.
https://doi.org/10.1177/0961203313508443
Guan, T., Qan’ir, Y., & Song, L. (2021). Systematic Review Of Illness Uncertainty Management Interventions For Cancer Patients And Their Family Caregivers. Supportive Care In Cancer, 29(8), 4623-4640. Https://Doi.Org/10.1007/S00520-020-05931-X
Hanindyastiti, H., & Insiyah, I. (2017). Dinamika Penerimaan Diri (Self Acceptance) Pada Lansia Penderita Diabetes Mellitus Tipe II DI Posyandu Lansia Desa Tasikhargo Jatisrono Wonogiri Tahun 2015. (JKG) Jurnal Keperawatan Global, 2(1), 46-55. Https://Doi.Org/10.37341/Jkg.V2i1.32
Hawe, U. (2021). Hubungan Penerimaan Diri Dengan Kualitas Hidup Dan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe Ii (Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Ganding Sumenep Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep) (Doctoral Dissertation, Stikes Ngudia Husada Madura).
Helda,I.,Hamzah & Yuliani,B. (2020). Support Sistem Keluarga Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa Di Rsud Ulin Banjarmasin 2020. Jurnal Keperawatan Suaka Insan (Jksi), 5(1), 67-78.
Https://Doi.Org/10.51143/Jksi.V5i1.200
Hidayati, P. (2017). Slicc 2012: Kriteria Klasifikasi Sle. UMI Medical Journal, 2(2). https://doi.org/10.33096/umj.v2i2.29
Karunia, E. (2016). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kemandirian Activity Of Daily Living Pasca Stroke. Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(2), 213-224.
KemenkesRI, P. D. dan I. (2017). Lupus Nefritis Indonesia. https://pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html
Kheirandish, M., Faezi, S. T., Paragomi, P., Akhlaghi, M., Gharibdoost, Shahali, A., Fini, M. E., & Akbarian, M. (2014). Prevalence And Severity Of Depression And Anxiety In Patients With Systemic Lupus Erythematosus: An Epidemiologic Study In Iranian Patients. Modern Rheumatology. https://doi.org/10.3109/14397595.2014.962241
Kurniarifin, R.(2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Penerimaan Diri Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Unit Hemodialisa Rsud Dr. Sayidiman Magetan (Doctoral Dissertation, STIKES Bhakti Husada Mulia).
Mutiara, A. R. (2017). Hubungan Antara Persepsi Dukungan Sosial Suami dan Optimisme dengan Penerimaan Diri Penderita Lupus (Doctoral dissertation, Fakultas Psikologi UNISSULA).
Nabilah, I. F., Safaria, T., & Urbayatun, S. (2022). Suffering, Self-Acceptance And Finding The Meaning Of Life In Women With Breast Cancer After Mastectomy. Psikostudia: Jurnal Psikologi, 11(2), 180-189.
Http://Dx.Doi.Org/10.30872/Psikostudia.V11i2.7297
Permatasari, B. (2012). Hubungan Antara Penerimaan Terhadap Kondisi Fisik Dengan Kecenderungan Anorexia Nervosa Pada Remaja Perempuan Di SMAN 1 Banjarmasin. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 1(03), 110-117.
Priyatno,D. (2012). Cara Kilat Belajar Analisis Data dengan SPSS 20. Yogyakarta: Andi Offset.
Rahakbauw, N. (2016). Dukungan Keluarga Terhadap Keberlangsungan Hidup ODA (Orang Dengan HIV/AIDS). INSANI, 3 (2), 64-82.
Rakasiwi, G. A., & Nurchayati.(2021). Penerimaan Diri Pada Perempuan Dengan Hiv/Aids (Odha). Character : Jurnal Penelitian Psikologi, 8(9).
Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (C. Johnson (ed.); Seventh Ed). Jay O’Callaghan.
Schultz, B. E., Corbett, C. F., & Hughes, R. G. (2022, February). Instrumental Support: A Conceptual Analysis. In Nursing Forum. Https://Doi.Org/10.1111/Nuf.12704
Shepard, L. A. (1979). Self-Acceptance: The Evaluative Component Of The Self-Concept Construct. American Educational Research Journal, 16(2), 139-160. Https://Doi.Org/10.3102%2F00028312016002139
Simanullang, P., & Nainggolan, S. (2021). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perubahan Konsep Diri Pasien Pasca Stroke Di Rumah Sakit Herna Medan. Jurnal Darma Agung Husada, 8(2), 119-126.
Sinaga, R., & Bakara, A. Y. (2019). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Penerimaan Diri Pada Pasien Dengan Penyakit Ginjal Kronis. Jurnal Skolastik Keperawatan, 5(1), 85-94. Https://Doi.Org/10.35974/Jsk.V5i1.776
Siregar, S. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif (Pertama). Kencana.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan (19th ed.). ALFABETA,CV.
Sumarda,K. (2021). Hbungan Big Five Personality Traits Dengan Tingkat Depresi Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus (Unpublished master's thesis). Universitas Udayana.
Sutanto, B.,Grewal, D.S.,Mcneil, H. P., Neill,S.O., Craig, J. C., Jones, J., & Tong, A. (2013). Experiences And Perspectives Of Adults Living With Systemic Lupus Erythematosus: Thematic Synthesis Of Qualitative Studies. Arthritis Care & Research, 65(11), 1752-1765. https://doi.org/10.1002/acr.22032
Syamsi Duha Foundation. 17 April 2021. Lupus, Kisah Kupu-kupu Lucu. https://syamsidhuhafoundation.org/info-lebih-lanjut-lupus/
Thomas, D. E. (2014). Lupus Encyclopedia: A Comprehensive Guide For Patients And Families. Maryland, MD: Johns Hopkins University Press.
Utami, N. M. S. N., & Widiasavitri, P. N. (2013). Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Penerimaan Diri Individu yang Mengalami Asma. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 12–21. https://doi.org/10.24843/jpu.2013.v01.i01.p02
Utamie, A., Safitri,J.,& Fauzia,R.(2020). Gambaran Penerimaan Diri Pada Pasien Penderita Spinal Cord Injury Ditinjau Dari Dukungan Sosial. Jurnal Kognisia, 2(1), 31-36. DOI: Https://Doi.Org/10.20527/Jk.V2i1.1603
Wibowo, M.B., Hasibuan, N.A.,& Suginam. (2021). Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Lupus Dengan Menggunakan Metode Ripple Down Rules. Journal of Informatics Management and Information Technology, 1(3), 95-100.
https://doi.org/10.47065/jimat.v1i3.110
Widyastuti, P., Kisid,K.M.,& Rosuliana,N.E. (2019). Hubungan Dukungan Keluarga Dan Penerimaan Diri Dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner (Pjk) Di Poli Jantung Rumah Sakit Biomedika Mataram. Prima: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 5(1). Http://Dx.Doi.Org/10.47506/Jpri.V5i1.139
Wijayanti, D. (2015). Subjective Well-Being Dan Penerimaan Diri Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(2). Http://Dx.Doi.Org/10.30872/Psikoborneo.V3i2.3774
LAMPIRAN
Tabel 1
Deskripsi Data Penelitian
Variabel |
N |
Mean Teoretik |
Mean Empirik |
Standar Deviasi Teoretik |
Standar Deviasi Empirik |
Sebaran Teoretik |
Sebaran Empirik |
Dukungan Sosial Keluarga |
120 |
69 |
72,08 |
15,3 |
5,553 |
23 - 115 |
58 - 87 |
Penerimaan Diri |
120 |
66 |
76,77 |
14,6 |
6,638 |
22 - 110 |
34 - 93 |
Tabel 2
Hasil Uji Normalitas Data Penelitian
Variabel |
Kolmogorov -Smirnov |
Sig. |
Kesimpulan |
Dukungan Sosial Keluarga |
0,122 |
0,000 |
Data Tidak Normal |
Penerimaan Diri |
0,105 |
0,002 |
Data Tidak Normal |
Tabel 3
Hasil Uji Linearitas data Penelitian
Variabel |
Linearity |
Deviation from Linearity |
Kesimpulan |
Penerimaan Diri * Dukungan Sosial Keluarga |
0,000 |
0,000 |
Data Tidak Linear |
Tabel 4
Hasil Uji Korelasi Spearman Data Penelitian
Dukungan Sosial Keluarga |
Penerimaan Diri | ||
Correlation Coefficient |
1 |
0,436 | |
Dukungan Sosial Keluarga | |||
Sig. (2tailed) |
0,000 | ||
N |
120 |
120 | |
Correlation Coefficient |
0,436 |
1 | |
Penerimaan Diri | |||
Sig. (2tailed) |
0,000 | ||
N |
120 |
120 |
231
Discussion and feedback