Pengalaman Work-life Balance Perempuan Bali yang Bekerja di Masa Pandemi Covid-19
on
Jurnal Psikologi Udayana 2022, Vol.9, No.2, 156-170
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i02.p06
Pengalaman Work-life Balance perempuan Bali yang bekerja di masa pandemi Covid-19
Ida Bagus Made Pradnyapradipa dan Komang Rahayu Indrawati Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
ABSTRAK
Perempuan Bali bekerja di sektor formal memiliki tantangan akibat dari beragam peran dan tuntutan yang harus dipenuhi. Memiliki peran pekerjaan, adat, dan keluarga pada perempuan Bali membuatnya rentan mengalami konflik peran terlebih di masa pandemi Covid-19 yang memberikan berbagai perubahan. Adanya konflik peran menjauhkan perempuan Bali dari work-life balance. Work-life balance merupakan kondisi yang berkaitan dengan keseimbangan keterlibatan dan kepuasan pada ranah pekerjaan dan urusan di luar pekerjaan. Kegagalan mencapai work-life balance pada perempuan Bali memicu stres dan mempengaruhi kepuasan hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pengalaman work-life balance perempuan Bali yang telah berkeluarga dan bekerja pada sektor formal di masa pandemi Covid-19. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling sehingga didapatkan empat perempuan Bali yang bekerja pada sektor formal di masa pandemi Covid-19. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan wawancara semi terstruktur. Teknik analisis yang digunakan adalah interpretative phenomenological analysis/IPA yang bertujuan menginterpretasi bagaimana responden memberi arti pada pengalamannya, sehingga peneliti berfokus pada pengalaman unik masing-masing responden dan bagaimana keunikan saling terhubung. Hasil penelitian ini terdiri dari tiga tema induk yaitu interaksi ancaman dan peluang di masa pandemi Covid-19, Balinese Women’s Agility Roles, dan kepuasan diri. Balinese Women’s Agility Roles adalah temuan utama yang paling banyak berkontribusi pada pengalaman work-life balance melalui pengalaman konflik peran, harapan keseimbangan, dampak konflik peran, dan faktor pendukung mengatasi konflik. Hasil penelitian ini memberikan tambahan referensi psikologi industri organisasi terkait dengan konsep work-life balance, kesesuaian pada konsep psikologi sosial dan wanita terkait gender, budaya, dan peran perempuan Bali, sebagai dasar membentuk strategi oleh perempuan Bali, perusahaan, keluarga, dan masyarakat Bali dalam menciptakan work-life balance pada perempuan Bali.
Kata kunci: konflik peran; perempuan Bali; work-life balance
ABSTRACT
Balinese women working in the formal sector have challenges due to the various roles and demands that must be met. Having work, traditional roles, and family roles for Balinese women make them vulnerable to role conflicts, especially during the Covid-19 pandemic which had brought various changes. The existence of role conflicts keeps Balinese women from work-life balance. Work-life balance is a condition related to the balance of involvement and satisfaction in the realm of work and non-work. Failure to achieve work-life balance in Balinese women triggers stress and affects life satisfaction. This study aimed to reveal the work-life balance experiences of Balinese women who have families and work in the formal sector during the Covid-19 pandemic. The sampling technique used was purposive sampling so as to obtain four Balinese women who work in the formal sector during the Covid-19 pandemic. This study used a phenomenological qualitative approach with semi-structured interviews. The analysis technique used was interpretive phenomenological analysis/IPA which aimed to interpret how respondents gave meaning to their experiences, so that researchers focus on the unique experiences of each respondent and how uniqueness was connected. The results of this study consist of three main themes, namely the interaction of threats and opportunities during the Covid-19 pandemic, Balinese women's agility roles, and self-satisfaction. Balinese women agility roles were the main findings that contribute the most to the experience of work-life balance through the experience of role conflict, expectations of balance, the impact of role conflict, and supporting factors in overcoming conflict. The results of this research provide additional references to organizational industrial psychology related to the concept of work-life balance, in accordance with the concepts of women and social psychology related to gender, culture, and the role of Balinese women, as a basis for forming strategies by Balinese women, companies, families, and Balinese people in creating a work-life balance for Balinese women.
Keywords: balinesse women; roles conflict; work-life balance
LATAR BELAKANG
Perempuan Bali saat ini telah banyak mengambil andil dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan berkontribusi dalam dunia kerja. Gagasan tersebut terbukti dalam data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali pada tahun 2020, terdapat 2.567.919 angkatan kerja dengan 1.169.096 diisi oleh angkatan kerja berjenis kelamin perempuan (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2021 . Keinginan perempuan untuk bekerja juga terlihat pada survei yang dilakukan organisasi buruh dunia pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa 57% perempuan di Indonesia telah berstatus bekerja dan masih mencari kerja, 26 % telah berstatus kerja purna waktu (Tim Konde.co, 2017 . Akuntabilitas ekonomi saat ini tidak hanya dijalankan oleh laki-laki namun juga perempuan.
Akuntabilitas ekonomi dikaitkan dengan jumlah tanggungan dalam keluarga dengan semakin banyak tanggungan maka kecenderungan perempuan untuk bekerja semakin tinggi (Nilakusmawati & Susilawati, 2012; Komalasari, Wirajaya, & Ratna Sari 2019 .
Keluarga dan pengasuhan anak merupakan aspek yang penting pada perempuan yang bekerja. Dalam sebuah penelitian disebutkan ibu yang terlibat langsung pada pengasuhan anak cenderung berisiko mengalami keadaan imbalance (Guest, 2002 . Perempuan Bali cenderung mencegah dirinya menjadi pemimpin dalam pekerjaannya mencegah tambahan tanggung jawab, dengan harapan dapat lebih fokus pada keluarga dan mengurangi beban pekerjaan (Y Komalasari, Wirajaya, & Sari, 2019 . Keterlibatan keluarga penting dalam menciptakan work-life balance. Dalam Fardianto dan Muzakki (2021 menyebutkan dukungan dari domain keluarga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keseimbangan kehidupan dan kerja, walaupun mungkin tidak sebesar dukungan yang diberikan di tempat kerja, anggota keluarga dapat memberikan ide dan saran ketika karyawan memiliki permasalahan.
Bekerja pada sektor formal memberikan kesulitan tersendiri pada perempuan Bali, dalam Mayaswari dan Yasa (2015 dijelaskan perempuan Bali memilih bekerja pada sektor formal cenderung menghadapi kesulitan dalam membagi waktu antara kegiatan adat, urusan anak, dan bekerja, akibat dari jam kerja yang mengikat. Hairina dan Fadhila (2019 menerangkan work-life balance bergantung pada pembagian waktu antara keluarga dan pekerjaan, dengan memisahkan waktu pekerjaan dan keluarga sekaligus memberikan keterlibatan secara psikologis menjadi langkah strategis menciptakan keseimbangan. Greenhaus dan Beutell (1985 menjelaskan bahwa work-life balance terjadi apabila adanya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan dari asepek waktu, keterlibatan, dan kepuasan.
Perusahaan dan jenis pekerjaan dapat mempengaruhi work-life balance. Ganapathi (2016 menjelaskan pekerja formal cenderung memiliki waktu yang pasti dalam bekerja sehingga perusahaan memiliki tugas untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya keseimbangan waktu untuk mempertahankan work-life balance yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan dalam jangka panjang. Hal serupa
juga dikemukakan dalam Rene dan Wahyuni (2018 perusahaan disarankan untuk lebih responsif dengan isu worklife balance sehingga dapat meningkatkan motivasi dan menjaga komitmen kerja karyawan.
Pada masyarakat Bali perempuan yang telah menikah dan berkeluarga menerima peran dalam masyarakat serta tergabung dalam banjar adat dan desa adat sebagai sistem kekerabatan serta budaya gotong royong yang dikemas dalam bentuk lembaga tradisional dengan landasan nilai agama, adat, seni, dan budaya (Indriani, 2019 . Peran perempuan adalah melakukan beberapa kegiatan seperti membuat atau menghaturkan sesaji, melakukan aktivitas swadaya di masyarakat (ngayah) di Pura dan aktivitas saling membantu (ngopin sesama anggota desa adat dan banjar (Suyadnya, 2009 .
Pengaruh budaya ditegaskan dalam penelitian Saskara et al., (2012 dimana faktor budaya disebutkan kurang mendukung lingkungan kerja perempuan Bali, sebab aktivitas adat menghambat keterlibatan perempuan Bali terutama yang bekerja pada sektor publik. Mungunsong (2009
mengungkapkan pada etnis Bali, Jawa, Minang, dan Batak terdapat perlakuan berbeda yang diberikan oleh masyarakat dan adat pada perempuan. Lebih lanjut pada studi pendahuluan dilakukan oleh Pucangan dan Indrawati (2018 menemukan bahwa stres kerja yang tinggi pada perempuan Bali dapat muncul dari ketidakseimbangan peran dalam bekerja dengan kegiatan menyamabraya yang mengakibatkan individu bekerja dalam tekanan.
Hubungan yang berbeda diungkapkan tentang keberadaan budaya pada perempuan Bali dalam Lestari (2016 budaya disebutkan tidak menghambat perempuan Bali, namun dapat menjadi modal atau landasan dalam bekerja, sebab perempuan Bali mampu menampilkan keseimbangan dan ketangguhan dalam menjalankan berbagai peran dalam sekali waktu. Perempuan Bali yang memilih berkarir disebut juga sebagai sosok yang tangguh, sebab dapat menjalankan tiga peran (ekonomi, keluarga, dan adat atau agama yang secara waktu, tekanan, dan perilaku hadir bersamaan (Komalasari, 2017 . Walau perempuan Bali yang bekerja memiliki tiga peran, nyatanya dalam Rini dan Indrawati (2019 diungkapkan kebanyakan responden yang bekerja pada sektor formal ternyata tetap memiliki keterlibatan yang aktif dan cenderung menduduki jabatan pada organisasi sosial seperti PKK.
Pandemi Covid-19 yang melanda saat ini juga memberi pengaruh pada dunia kerja. Mungkasa (2020 dalam penelitiannya menerangkan bekerja jarak jauh yang diakibatkan pandemi Covid-19 disebutkan dapat membawa manfaat pada keseimbangan kerja dan kehidupan keluarga, sebab individu merasa lebih nyaman dalam mengurus kepentingan keluarga dan berkehidupan selama dapat membedakan antara waktu kerja dan urusan pribadi. Namun hal lain diungkapkan dalam Schieman et al., (2021 pada perempuan yang bekerja dari rumah faktor anak memoderasi tingkat keseimbangan hidup dan kerja di tengah pandemi, terutama bagi yang memiliki anak bungsu berusia dibawah tahun, sehingga perempuan tidak memiliki kesempatan untuk
menurunkan tingkat work-life conflict ketika bekerja di rumah akibat terhalang oleh tugas pengawasan, pendidikan, dan perawatan harian anak.
Akibat pandemi Covid-19 sekolah harus ditutup sehingga anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, mereka juga cenderung tidak bermain keluar rumah sehingga banyak waktu mereka habiskan di rumah bersama dengan orang tua (Perkasa, 2021 . Peran orang tua menjadi penting selama anak di rumah, orang tua bertugas mendampingi pembelajaran dan membantu anak dalam mempersiapkan media pembelajaran bagi anak (Iftitah & Anawaty 2020 . Siahaan (2020 mengungkapkan dari sisi orang tua kebijakan ini nyatanya memberatkan orang tua, dengan harus memikirkan biaya kehidupan yang sulit di tengah pandemi Covid-19 dan ditambah harus mendampingi anak belajar.
Beban pendampingan belajar nyatanya lebih banyak membebani perempuan, hal ini dibuktikan dalam survei belajar dari rumah oleh Kemendikbud menunjukan bahwa peran pendampingan pada anak sebanyak 66,7% dominan dilakukan oleh perempuan (Rakhmah, 2020 . Dalam
penelitian yang dilakukan Haekal dan Fitri (2020 pada responden perempuan yang berprofesi sebagai dosen,
menerangkan perawatan anak selama dirumah secara penuh akibat pandemi menyulitkan untuk berkonsentrasi pada pekerjaannya dan apabila tidak dapat menyeimbangkan peran maka cenderung mengalami emosi yang fluktuatif.
Tidak cukup dengan berbagai tugas domestik, di tengah pandemi kini perempuan juga dihadapkan dengan satu peran tambahan yaitu sebagai pengajar dalam proses pembelajaran akibat dari kebijakan school from home (SFH yang menambahkan beban fisik dan psikologis pada perempuan (Lestyoningsih, 2020 , sehingga menjadi tantangan besar bagi perempuan untuk dapat meraih keseimbangan antara hidup dan kerja. Penelitian pada beberapa ibu di Provinsi Bali mengungkapkan bahwa pada ibu yang bekerja, kebijakan SFH kurang menguntungkan dengan bekerja sekaligus menyelesaikan tugas domestik, dan merasa terganggu kerjaanya ketika anak di rumah (Widhiasih, 2020 . Bentuk kesulitan pengajaran dalam proses pembelajaran daring di masa pandemi Covid-19 yang dialami orang tua yaitu kesulitan sarana dan prasarana, kurangnya pemahaman orang tua tentang pembelajaran anak, dan ketidaksiapan orang tua dari segi waktu, media pembelajaran, komunikasi, dan biaya (Harahap, Dimyati, & Purwanta 2021
Budaya patriarki terkait pembagian peran juga disoroti pada perempuan yang tinggal dengan keluarga besar yang kesulitan menemukan waktu dan ruang privat untuk bekerja yang membuatnya mengerjakan pekerjaan domestik bahkan di tengah waktu kerja, dimana keluarga besar memiliki persepsi ketika dirinya hanya tinggal dirumah maka terlihat seperti banyak memiliki waktu luang (Haekal & Fitri 2020 . Hal tersebut diperkuat dalam Widyaningrum (2020 yang menyatakan bahwa kondisi pandemi Covid-19 tidak banyak mengubah kondisi pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, dan bahkan menambahkan
beban domestik pada perempuan terutama yang memiliki anak, suami yang bekerja, dan yang menjadi ibu tunggal.
Melihat kompleksitas pada peran perempuan Bali maka menjadi tantangan bagi perempuan Bali untuk mewujudkan work-life balance dengan menyeimbangkan tugasnya pada berbagai perannya, sebab tak jarang kegagalan dalam keseimbangan antara hidup dan pekerjaan menghasilkan kegagalan juga pada rumah tangga dan karir (Thalita, 2010 . Kegagalan mewujudkan keseimbangan antara hidup dan kerja dalam sebuah penelitian yang mengaitkan antara work-life balance dengan intensi turnover pada perempuan Bali disebutkan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti faktor pribadi, pekerjaan, ketidakcocokan dengan rekan kerja, dan faktor sosial akibat aktivitas adat dengan frekuensi yang tinggi di Bali (Bintang & Astiti 2016 . Stres muncul dari konflik hidup dan kerja diakibatkan dari individu yang merasa memerankan perilaku yang bertentang dengan wewenang yang berbeda (Nurmayanti et al., 2018 . Dalam Ria (2020 dijelaskan bahwa konflik kerja dan kehidupan dapat menurunkan tingkatan work-life balance yang kemudian dapat mempengaruhi kepuasan hidup pekerja.
Perempuan Bali bekerja di sektor formal terlihat memiliki berbagai hambatan akibat dari beragam peran dan tuntutan yang harus dipenuhi, terlebih di tengah budaya Bali. Berdasarkan paparan di atas pengaruh budaya pada perempuan Bali juga masih menunjukan kesenjangan, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa budaya bukanlah hambatan namun sebagai modal dasar, namun tidak sedikit juga penelitian yang menyebutkan faktor budaya menghambat perempuan Bali dalam meraih karir, sehingga menjadi tantangan bagi perempuan Bali dalam mencapai work-life balance. Terlebih lagi di tengah pandemi Covid-19 yang ternyata membawa beban tambahan bagi perempuan terutama pada aspek worklife balance, dimana bekerja dari rumah di tengah pandemi disebutkan memberikan peluang lebih untuk terlibat dalam keluarga dan menyeimbangkan antara hidup dan pekerjaan, namun fakta lain diungkap pada berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa bekerja dari rumah cenderung menghambat perempuan untuk bekerja. Berdasarkan hambatan, kesenjangan penelitian, dan permasalahan maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pengalaman work-life balance perempuan Bali yang telah berkeluarga, memiliki anak, dan bekerja pada sektor formal di masa pandemi Covid-19. Penelitian dilakukan dengan melihat peristiwa atau kejadian yang muncul pada individu yang mengalami secara subjektif dan langsung fenomena work-life balance. Pengungkapan pengalaman subjektif dan langsung pada fenomena dilakukan dengan memahami pengalaman personal yang unik serta kaitan antara keunikan, sehingga didapat pengungkapan pikiran, perasaan, sikap, atau kepercayaan pribadi perempuan Bali yang telah berkeluarga, memiliki anak, dan bekerja pada sektor formal di masa pandemi Covid-19 terkait work-life balance.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Penelitian ini meneliti pengalaman work-life balance pada perempuan Bali. Work-life balance dalam Clark (2001 dikaitkan dengan kondisi kepuasan dan fungsi yang baik pada berbagai peran dengan minimnya konflik peran. Work-life balance didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk memenuhi komitmen pekerjaan dan keluarga, serta tanggung jawab dan aktivitas non-kerja lainnya, yang dipengaruhi oleh faktor individu, keluarga, pekerjaan dan organisasi, dan lingkungan sosial (Delecta, 2011 . Menurut Greenhaus dan Beutell (1985 mengungkapkan terdapat tiga aspek work-life balance diantaranya, keseimbangan waktu, keseimbangan keterlibatan, dan kepuasan.
Responden
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dengan menetapkan kriteria: 1 Berjenis kelamin perempuan; 2 berstatus menikah, 3 telah berkeluarga; 4 telah memiliki anak berusia 0-12 tahun; 5 beragama Hindu; 6 bersuku Bali; 7 berdomisili di Bali; 8 tergabung dalam lembaga adat seperti banjar adat dan desa adat; 9 merupakan individu yang bekerja pada sektor formal di masa pandemi Covid-19.
Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan wawancara sekaligus observasi ketika wawancara sebagai teknik penggalian data. Sebelum proses wawancara berlangsung peneliti telah menyusun panduan wawancara. Panduan wawancara dalam penelitian ini memuat pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang rumah tangga, latar belakang pekerjaan, kehidupan responden sebagai perempuan Hindu Bali, serta berbagai pertanyaan yang dibentuk dari tiga dimensi work-life balance (time balance, involvement balance, statisfaction sehingga diharapkan dapat menjawab pertanyaan utama penelitian.
Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan Interpretative Phenomenological Analysis/IPA. Pendekatan IPA dipilih karena dapat menginterpretasikan atau menafsirkan bagaimana responden memberikan arti pada pengalamannya, dengan berfokus pada pengalaman unik dan bagaimana masing-masing keunikan tersebut terhubung (Kahija, 2017 . Adapun uji kredibelitas yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya, perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi, menggunakan bahan referensi, dan member check.
Prosedur Pengambilan Data
Proses pengambilan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur secara luring atas kesepakatan dan persetujuan responden. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dua kali pada setiap respoden penelitian dengan durasi wawancara 3060 menit. Sesi wawacara diawali dengan memberikan surat pernyataan persetujuan berisi penjelasan mengenai penelitian, tujuan penelitian, partisipasi sukarela, alokasi waktu, kerahasiaan identitas, dan teknis wawancara. Seluruh proses
wawancara direkam secara audio menggunakan handphone yang kemudian diproses menjadi verbatim. Pembuatan fieldnote dilakukan sesegera mungkin setelah sesi wawancara berakhir.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh pada proses pengumpulan data dan telah diorganisasikan kemudian dianalisis menggunakan teknik Interpretative Phenomenological analysis (IPA Kahija (2017 melalui tahapan penghayatan transkrip dan pencatatan awal, perumusan tema emergen, perumusan tema superordinat, dan pola-pola antarkasus/antarpengalaman partisipan. Analisis diawali dengan memberikan komentar pada transkrip verbatim dan fieldnote sebagai komentar eksploratoris atau pencatatan awal, yang kemudian dimasukan ke dalam tabel tema emergen, dan dilanjutkan dengan pemberian warna pada tema emergen yang dianggap memiliki hubungan atau kesamaan makna sehingga dapat memunculkan tema superordinat yang kemudian dilihat pola antarkasus atau antarpengalaman.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan empat perempuan Bali sebagai subjek penelitian yang telah sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Responden pertama yaitu ES berusia 36 tahun, merupakan ibu dari empat anak, yang bekerja sebagai pegawai kontrak pada salah satu sekolah negeri di Kota Denpasar. Responden kedua yaitu FS berusia 37 tahun, FS merupakan ibu dari 3 anak, memiliki dua pekerjaan utama sebagai pegawai kontrak dalam suatu yayasan pendidikan dan sebagai agen asuransi.
Seluruh hasil penelitian merupakan fakta yang diperoleh dari proses penelitian di lapangan melalui pengumpulan data berikut analisis dengan teknik interpretative phenomenological analysis (IPA . Penelitian ini mengungkap pengalaman work-life balance pada perempuan Bali yang bekerja pada masa pandemi Covid-19. Berdasarkan hasil analisis ditemukan tiga tema yang membentuk pengalaman work-life balance pada perempuan Bali yang bekerja di masa pandemi Covid-19, adapun tema tersebut: (1 balinese women’s agility roles, (2 kepuasan diri, dan (3 interaksi ancaman dan peluang di masa pandemi Covid-19. balinese women’s agility roles merupakan temuan utama yang paling banyak berkontribusi memberikan gambaran pengalaman terkait keseimbangan peran yang harus dihadapi oleh perempuan Bali ketika memilih untuk berkarir. Tema ini terkait kesulitan dan harapan untuk menyeimbangkan peran pada perempuan Bali.
Interaksi Ancaman dan Peluang di Masa Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 membawa begitu banyak perubahan pada kehidupan masyarakat, kondisi pandemi Covid-19 menuntut masyarakat untuk melakukan berbagai pembatasan guna mencegah penyebaran virus. Kondisi pembatasan ini membawa berbagai pengaruh dalam bidang sosial ekonomi, bahkan hingga sistem pendidikan yang mengalami perubahan media dari luar jaringan menjadi dalam jaringan. Masyarakat dituntut beradaptasi dengan perubahan tersebut sehingga
selain menjadi ancaman tak jarang kondisi ini memunculkan berbagai peluang baru, bergantung pada bagaimana kondisi ini dimaknai secara positif sehingga dapat menetralisir dampak negatif yang diperoleh.
Kesulitan ekonomi merupakan dampak yang tak terhindarkan dari pandemi Covid-19, dua dari empat responden mengalami kesulitan ekonomi yang cukup signifikan. PP dan FS merupakan dua partisipan yang memiliki sumber pendapatan keluarga salah satunya dari sektor pariwisata. Sektor pariwisata merupakan lini yang besar terdampak di masa pandemi Covid-19, pada responden PP penghasilan yang berkurang berdampak pada kehidupan sehari-harinya terutama terkait keperluan keluarga seperti kebutuhan pokok. Kesulitan ekonomi pada responden PP menjadi sebuah kecemasan mengingat adanya kebutuhan membiayai sekolah anak secara bersamaan karena memiliki anak kembar.
“Tantangan yang dialami itu pastinya apalagi yang udah berkeluarga ya, tantangan ekonomi yang paling utama, jadinya karena semua penghasilan surut, ya agak keteteran juga sih, di- di- kehidupan sehari-hari itu kita memang harus mau gak mau emang harus ada uangkan, untuk keperluan keluarga untuk anak-anak juga, untuk keperluan utamalah untuk keperluan pokoklah ya makan, nah itu sih kendalanya.” (VR_PP_02_231-235
“Kesulitan pertama tu pasti kesulitan ekonomi ya, bisa di bayangkan kalau yang kembar tu masuk sekolah biayanya berbarengan kan, jadinya kesulitan ekonomi tu pasti di hadapikan, ya ga kembarpun, even anaknya satu aja bisa dikatakan bisa memunculkan kesulitan ekonomikan, kalau kita gak punya pegangan yang tetapkan, itu sih challengenya jadinya tuntutan ekonomi.” (VR_PP_02_344-348
Pernyataan diatas selain menggambarkan pengalaman kesulitan namun juga memperlihatkan adanya cara pandang berbeda dalam melihat kesulitan ekonomi, oleh responden PP pengalaman kesulitan dipandang sebagai sebuah tantangan di masa pandemi Covid-19. Pemaknaan pada peristiwa negatif penting adanya untuk menemukan solusi dalam mengatasi kondisi yang sulit. Hal sama dilakukan responden FS, kondisi pandemi Covid-19 dimaknai sebagai tuntutan untuk lebih kreatif dengan memunculkan inovasi-inovasi untuk menambah pendapatan keluarga. Upaya untuk menambah pendapatan keluarga muncul pada responden FS dan PP, sehingga di masa pandemi Covid-19 kedua responden tersebut membentuk usaha baru yang digunakan untuk menambah penghasilan keluarga.
“Jadi gak ada negatifnya sepertinya ada diberita, kesana sih saya pribadi ya, lebih ke apa namanya kita dituntut untuk lebih kreatif lagi dengan, dengan inovasi-inovasi yang tentunya nanti bisa menambah pundi-pundi, gitu sih yang saya liat, walaupun bali memang, ya bali emmang yang paling, kan langsung ditembak jantungnya, digituin”. (VR_FS_02_225-229
“Kalau sumber penghasilan ya dari nike [Bahasa Bali yang berarti “itu”], dari gaji bulanan, karena bekerja juga, terus penghasilan tambahan sih ada warung,
cumankan nike [Bahasa Bali yang berarti “itu”], ya sebagai apa namanya, cuma pelengkap aja sih, istilahnya, jadi ga -gak main incomenya disana itu.” (VR_PP_01_46-48
Pandemi Covid-19 membuat lebih banyak waktu dihabiskan di rumah akibat adanya pembatasan sosial yang diberlakukan. Kondisi ini memunculkan tuntutan baru bagi orang tua dengan melakukan pengasuhan anak secara ekstra mengingat banyak waktu untuk anak di rumah daripada sebelum pandemi. Kesulitan pengasuhan hadir ketika harus melakukan pembelajaran secara daring, responden merasa kesulitan untuk mengajari anak selayaknya yang guru lakukan disekolah, dan merasa anaknya menjadi tambah nakal ketika belajar di rumah.
“Tapi susahnya kalau anak-anak gak sekolah kita yang ngajarin dia gak denger omongan orang tua, hahaha susah, kok tambah nakal anak-anak saya gitu jadinya loh, merasa--, walau anggap dia guru dia pengajar, belum tentu dia bisa ngajarin anaknya sendiri, anaknya juga belum tentu ngerti dari orang tuanya, pasti lebih seneng diajarin sama orang lain, anak saya kebanyakan gitu dah, makanya lebih baik di sekolah dai bisa berinteraksi sama temen, kalau di rumah kok kesanya, liatnya temennya dari laptop kan kayak gitu, gak ada sentuhan gak bisa ngobrol sama temennya, terus siapa di dadah-dadahin itu loh kotak, itu sih yang bikin ini susah he-eh” (VR_ES_02_117-124
“He-eh, kan biasanya dia sekolah, satu jam tu, neneknya bisa ngapa-ngapain, ngajak adiknya aja, sekarang engga karena ada kakaknya semua, rusuh pokoknya jadinya.” (VR_KM_01_654-655
Pada responden KM kesibukan orang tua yang tidak dapat menemani anaknya menjadikan gawai sebagai solusi untuk membuat anaknya tetap tenang, ternyata memunculkan masalah kecanduan penggunaan gawai. Responden FS merasa kesulitan untuk menemukan solusi dari kecanduan pada gadget yang terjadi pada anaknya, sehingga tak jarang anak-anak menjadi lebih tertarik menghabiskan waktu dengan gadget ketimbang berinteraksi dengan keluarga sebagaimana seharusnya kondisi ini disebut sebagai sebuah kesempatan. Pengalaman pengasuhan anak di masa pandemi membuat responden merasa tidak mampu untuk membentuk karakter anak selama pembelajaran daring sebagaimana yang guru lakukan di sekolah.
“Iya sering, kalau misalnya ribut sama anak tu sering, misalnya kayak sekarang anak tu main tab terus, sebelumnya udah bilang kalau main tab tu sabtu minggu, tapi kadang karena bapaknya udah sibuk, jadi minta tolong kasi tab aja, hal-hal yang kayak gitu sering diributin” (VR_KM_01_556-558
“Satu yang saya masih apa namanya, nyari solusinya, kan ada positif negativenya ya, anak-anak saya itu jadinya kecanduan HP tu saya belum tau ini nya, saya belum menemukan solusinya, pada saaat saya suruh dia tolong dong stop dulu, pada saat saya ngomong mereka mau, pada saat saya tinggal kebawah mereka ngulang lagi gitu,
mereka gak ada, jaranglah ngikut tiang [saya] kebawah, [...]mungkin itu yang bikin anak pertama sedikit manja menurut mbok, [...] online, kalau anak-anak offline, untuk karakternya itu, terus terang saya belum mampu untuk membentuk karakter anak-anak.” (VR_FS_01_361-371
Selain menjadi kesulitan banyaknya aktivitas di rumah pada masa pandemi dapat menjadi sebuah peluang, responden menjelaskan lebih banyak waktu untuk beraktivitas di rumah terlebih ketika work from home. Lebih beraktivitas di rumah, menjadikan ini sebagai kesempatan bagi responden untuk meningkatkan interaksi dengan anak dan keluarga. Kondisi pandemi yang telah berjalan dua tahun membuat responden FS telah beradaptasi sehingga dapat memunculkan sistem kerja terarah, yang membuat responden merasa lebih nyaman karena membantu peran pengasuhan yang dilakukan responden, yang selama ini tidak banyak dilakukan.
“Ada plus minusnya ya kalau covid, kalau dibilang gampang sebenernya lebih enak kalau covid ini, dalam artian bisa banyak bisa bagi waktu sama anak, karena bekerja dari rumah, karena work from home kan” (VR_ES02_115-117
“Sangat, karena sudah dua tahun [Pandemi Covid-19] sangat membantu pengasuhan menurut mbok, karena sistem kerja lebih terarah.” (VR_FS_01_313-314
“Justru di keluarga kita jadinya lebih banyak punya waktu untuk keluarga, karenakan pandemi full kemarin itu, ya di tempat kerja gak full dapet schedule, jadinya lebih di keluarga waktunya.” (VR_PP_02_226-228
Balinese Woman’s Agility Roles
Temuan ini merupakan temuan utama yang mengungkapkan pengalaman menyeimbangan peran pada perempuan Bali yang memilih bekerja pada sektor formal. Istilah agility roles merupakan hasil interpretasi didasarkan pada pengalaman kesulitan dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan Bali yang terus hadir selama menjalankan perannya. Daripada berusaha mengubah atau menghilangkan tuntutan peran, lebih penting untuk menerima situasi serta mengubah cara berhubungan dengan situasi sulit tersebut, seperti pada responden PP mempersepsikan hadirnya peran yang bersamaan pada perempuan Bali sebagai sebuah rutinitas yang harus dikelola dengan baik.
“Kalau adat pekerjaan itu sama keluarga ya pastinya pasti akan selalu bersamaan dia, karena tiap hari nike [Bahasa Bali yang berarti “itu”] rutin- udah termasuk ke rutinitaskan, ya itu balik ke tadi, pinter-pinternya kita ngatur aja seperti nike [Bahasa Bali yang berarti “itu”].” (VR_PP_02_69-70
Selain mengungkapkan pengalaman kesulitan yang dihadapi istilah ini juga merujuk pada temuan terkait harapan perempuan Bali dalam mencapai keseimbangan antar perannya. Pertemuan antara harapan dan kesulitan merupakan gambaran bahwa walau dihadapkan pada kesulitan yang terus muncul selama menjalani peran, namun perempuan Bali masih memiliki keinginan untuk mencapai keseimbangan perannya yang tergambarkan dalam temuan harapan keseimbangan
peran. Upaya yang dilakukan oleh responden dalam menjalankan tuntutan peran sebagai perempuan Bali juga tergambarkan dalam faktor-faktor pendukung mengatasi
konflik peran sebagai sebuah tantangan menjalani tuntutan peran. Usaha-usaha penyeimbangan peran pada perempuan Bali dilakukan dengan memanfaatkan wawasan serta
kemampuan diri sendiri sebagai faktor internal dan faktor eksternal dengan memanfaatkan sumber dukungan dan fleksibilitas yang tersedia dalam menyeimbangkan peran
sehingga terhindar dari dampak negatif konflik peran.
Harapan menyeimbangkan peran digambarkan pada dua dimensi sebagai representatif dari kondisi seimbang yang ingin diraih oleh responden sebagai perempuan Bali, yakni keseimbangan waktu dan keseimbangan keterlibatan. Keseimbangan waktu adalah kondisi adanya proporsi yang sama antara pekerjaan dan kehidupan pribadi baik keluarga maupun aktivitas adat. Responden menjelaskan kondisi yang seimbang terjadi ketika waktu yang dihabiskan di tempat kerja sama dengan waktu yang dihabiskannya di rumah termasuk aktivitas adat. Dimensi keseimbangan waktu sebagai harapan keseimbangan peran muncul karena adanya usaha untuk terus dapat mengatur waktu dengan baik dalam menjalankan perannya sebagai perempuan Bali yang bekerja dan telah berkeluarga. Dimensi keseimbangan keterlibatan muncul karena adanya cara pandang responden melihat kehidupan yang seimbang ketika dapat menjaga anak, mencari uang dan dapat menjalankan aktivitas sosial kemasyarakatan.
“Misalnya kalau keseimbangan hidup sama kerja, waktunya sama kayak dirumah ee di kantor kayak gitu, jadi waktunya kita ada sama keluarga juga, waktu di kantor sama juga sih menurut saya, kayak kita sama keluaarga juga sama, di adat juga sama, gitu” (VR_KM_02_100-102
“Pokoknya, hidup tu dah kayak balance gituloh, jaga anak-anak bisa, cari uang sendiri bisa, astungkara nanti menyame braye bisa gitu loh.” (VR_ES_01_464-466
Dalam meraih keseimbangan peran yang diinginkan baik pada secara waktu maupun keterlibatan faktanya responden yang bekerja menghadapi berbagai konflik yang hadir dari ketiga peran yang dijalani perempuan Bali. Adanya benturan antar peran pada perempuan Bali bersumber dari tiga peran perempuan Bali yaitu peran sebagai Ibu, beban pekerjaan, dan tuntutan adat. Peran sebagai Ibu merupakan temuan yang mengungkapkan pengalaman perempuan Bali yang telah memiliki anak sehingga adanya tugas pengasuhan dan pendampingan anak. Tugas-tugas pengasuhan dan pendampingan anak kerap menjadi sumber konflik apabila muncul bersamaan dengan peran lain yang dilakukan oleh perempuan Bali. Terdapat beberapa faktor yang berasal dari peran perempuan sebagai Ibu yang kerap memicu konflik peran, diantaranya kondisi, jumlah dan usia anak.
“..waktu ini, tambah pas anak sakit tu, tambahanya lagi tu, minus poinnya, minus bener-bener” (VR_ES_02_138-139
“Pernah sih kalau misalnya anak sakit itu, seringan anak sakit sih yang- kalau misalnya di jam kerja dia sakit di hari kerja, jadi biasanya saya permisi atau gak permisi di jam
kerja, biasanya kalau, permisi sebentar ngajak ke dokter, atau gak mendadak kayak kemarin sempet sakit ketiganya, terpaksa saya cuti gitu.” (VR_KM_02_162-165
“Kalau di pikir-pikir kok gini banget ya, kebanyakan anak-anak mungkin ya, hahaha, aduh, anak dua aja dah kadang-kadang pusing ya, apalagi anak empat, makanya lebih susah dah, banyak anak dibilang banyak rejeki, tapi masih kecil-kecilin rejeki ama anak, susah gak tu, bener loh, susah banget kan.” (VR_ES_02_142-146
“Kalau dukanya bagi waktunya susah hah.., sementara kan masih ada anak-anak kecil, nanti kalau anak-anak udah besarkan mungkin, lebih gampang gitu waktunya, bekerja ngurus anak kan, agak susah jadinya, itu aja sih bagi waktunya susah sekali loh harinya, belum bisa dah bagus gitu loh, ngayah full gitu.” (VR_ES_01_288-291
“Hahaha, kalau aktivitas adat, karena saya masih punya anak kecil, biasanya mertua sih "kamu jangan kesana ajak anak", atau suami yang mewakili, "ibu gak boleh keluar, ibu dirumah aja ajak anak-anak", tapi kalau itu memang harus kesana, ya anak-anak saya titipkan dirumah bajang, kalau memang harus kesana, contohnya keluarga terdekat sekali, baru, kalau untuk di masyarakat, karena masih ada baby kan, jadinya "de kemu nyen" gitu keluarga.” (VR_FS_01_387-391
Beban pekerjaan merupakan temuan sumber konflik yang muncul dari adanya pengalaman terkait tekanan pada ranah pekerjaan yang mengurangi keterlibatan responden pada peran lain. Perempuan yang memilih untuk bekerja memiliki beban kerjanya masing-masing yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, dalam tema ini terdapat dua temuan yang berkaitan dengan beban kerja yang diperoleh di tempat kerjanya sehingga berdampak pada pengalaman keseimbangan peran pada responden, dua temuan tersebut adalah work overtime dan tekanan pekerjaan. Work overtime merupakan temuan yang menggambarkan pengalaman kerja melewati batas waktu kerja yang telah ditentukan oleh perusahaan. Responden KM menjelaskan dirinya memiliki kesulitan untuk dapat seimbang dari segi waktu akibat bekerja di Bank, waktu kerja yang kerap melewati ketentuan bergantung pada selesainya pekerjaannya.
“Gak sih karena tetep, pelayanan nasabah kita gak ada perubahan jam kerja, ooh iya misalnya gini kita kerjanya lebih cepet pulang, misalnya kita tutup pelayanan nasabah jam tiga, tapi jam dua udah tutup jadi pulangnya lebih cepet, harusnya jam empat kita udah boleh pulang, tapi kadang-kadang kita sama aja sih jam enam atau jam tujuh baru pulang, jadi gak ngaruh sih sebenernya kalau di bank itu, mungkin kalau di [nama bank].” (VR_KM_223-232
Aktivitas adat merupakan temuan terakhir pada sumber konflik peran perempuan Bali. Aktivitas adat kerap mengalami benturan dengan dua peran lainnya, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada empat responden, keempat responden mengaku belum dapat terlalu terlibat pada aktivitas adat baik karena waktu yang bertabrakan dengan waktu kerja maupun alasan dari faktor keluarga. Walaupun
aktivitas adat terkesan diletakan pada prioritas terakhir daripada dua peran lain namun terdapat dua faktor yang menyebabkan aktivitas adat harus diutamakan yaitu persepsi responden memaknai aktivitas adat sebagai sebuah kewajiban dan faktor kedekatan keluarga. Aktivitas adat dipersepsikan sebagai sebuah kewajiban yang harus diikuti sebagai anggota masyarakat adat di Bali. Responden FS menjelaskan bahwa adat istiadat di Bali sebagai hal yang utama dan mutlak untuk dilaksanakan. Menurut KM sebagai perempuan Bali aktivitas adat adalah hal yang wajib atau harus dilaksanakan sebagai kodrat perempuan Bali untuk memenuhi tradisi adat dan budaya di Bali. Begitu pula pada PP alasan harus tetap terlibat dalam adat karena mempertimbangkan adat sebagai sebuah kewajiban.
“Kalau-, sangat penting ya, sangat penting juga, karena bagaimana pun, adat istiadat dibali itu yang nomor satu, mau tidak mau, makanya mbok dianjurkan begitu sama mertua, karena yang mbok nilai juga, kalau mbok di dalem [pura dalem] itu kan beragam gitu ya, dari lain daerah maksudnya wilayah, jadinya saya lebih kenal orang mungkin, kalau sewaktu-waktu kita ada turun ngayah gitu, itu sih.” [VR_FS_01_436-440]
“Memaknai biasanya, kalau saya memaknai kegiatan adat kayak kita itu sebagai perempuan bali itu, kayak kewajiban untuk memenuhi semua, apa namanya, tradisi adat budaya, yang kayak gitu tu memaknai sebagai kewajiban, atau keharusan yang harus kita laksanakan, jadi ya memang harus kodratnya kita sebagai perempuan bali tu ya tau, ya harus adat kayak gitu.” (VR_KM_02_137-140
“Pertimbangannya banyak sih, karena memangkan adat nike [Bahasa Bali yang berarti “itu”] kewajiban ya, kalau di hindu adat itu merupakan suatu kewajiban, itu yang mertimbangan utamaya itu.” (VR_PP_02_59-60
Peran pada perempuan Bali yang hadir bersamaan menimbulkan munculnya dampak tertentu pada fisik maupun psikologis. Dampak yang timbul akibat adanya konflik peran tidak hanya muncul pada diri perempuan Bali namun berlanjut ke ranah pekerjaan hingga ke fungsi sosial. Adapun dampak-dampak yang muncul pada responden akibat adanya konflik peran diantaranya; kurang bersosialisasi di masyrakat, perasaan malu, kelelahan, stres, risiko turnover dan penurunan kinerja.
“Minusnya saya tidak terlalu kenal sama warga, jadi inget dulu, kalau pas ketemu itu siapa ya, saya nanya sama suami atau mertua, kalau ada orang meninggal, itu rumahnya dimana ya, siapa ya, saya pasti gitu, oh rumahnya disini- disini, baru kebayang yang punya itu tu si ini, baru mbok kebayang.” (VR_FS_01_431-434
“Karena memang mau gak mau kita harus terjun di adatlah, kadang mungkin ada perasaan malu sih, ya seharusnya tiga kali, cuman datengnya sekali.” (VR_PP_02_464-466
“Kalau dah pas suntuk tu, capek aja sebenernya yang bikin males, kalau dah liat anak-anak liat besok pagi, kok
cepet sekali rasanya gus, kebayang, bangun pagi dah ngurus anak-anak, ngasi makan, kesini kesini ni, loh kok cepet banget, besok dah sore, besok dah malem, habis deh waktunya, gak ada sih paling cuman capek aja, itu sih yang bikin suntuk kadang-kadang, lelah.”
(VR_ES_02_237-241
“Pas stres dari tempat kerja, terus ditambah lagi dengan kerjaan rumah, itu yang kadang bikin ini stres” (VR_PP_01_465-466
“Kalau misalnya dikasi pilihan resign, mau [I: kenapa?], karena itu dah, waktunya ketemu anak itu, apapun yang terjadi, ya balik lagi keluarga yang kita utamainkan” (VR_KM_01_589-591
“.. pasti misalnya kayak suka bengong, kalau misalnya apa namanya, males gitu kerjanya, aduh ini belum selesai ni masalah dirumah ni, misalnya anak sakit gitukan, duh kepikiran, kayak gitu sih misalnya.” (VR_KM_01_721-723
Munculnya dampak akibat adanya konflik peran yang diterima responden, tidak membuatnya menyerah untuk meraih keseimbangan antar peran baik dari segi waktu maupun keterlibatan. Adanya upaya dalam mencapai keseimbangan peran tergambarkan dalam temuan faktor pendukung mengatasi konflik. Faktor pendukung mengatasi konflik dapat muncul dari dalam diri atau internal, maupun memanfaatkan berbagai hal di luar diri yang dianggap mampu membantu keterlibatan atau menggantikan peran yang dijalani oleh responden. Berikut faktor-faktor yang ditemukan dalam pengalaman work-life balance responden yang dianggap mampu membantu mengatasi konflik peran yang terjadi.
Manajemen diri merupakan temuan yang paling banyak muncul dalam mengatasi konflik peran yang dialami responden. Manajemen diri dalam temuan ini terdiri dari dua aktivitas utama yaitu kontrol diri, dan segmentasi. Kontrol diri dalam bentuk pengelolaan aktivitas harian merupakan temuan yang muncul dari adanya upaya responden untuk melakukan manajemen pada kegiatannya seperti pada responden FS yang menggunakan sistem manajemen kegiatan untuk menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan di hari berikutnya. Selain untuk menentukan kegiatan pada sistem manajemen kegiatan yang disusun oleh FS juga memperlihatkan pencapaian yang sudah dicapai oleh responden, sehingga membantu FS mengevaluasi serta melihat kondisi keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya.
“Kalau sehari-hari, mbok punya gini, punya kayak SMK gitu, sistem manajemen kegiatan, jadi itu ee-, saya ginikan, mau tidur saya ngapain, apa-, pencapaian saya untuk hari ini tu kan kemarinnya saya ini, itu terlaksana apa gini, apa tidak, terus untuk besoknya saya sudah mulai inikan, dari mulai saya bangun, saya harus bangun jam berapa , habis tu apa kegiatan mbok, sampe ending hari ini [I: ooo gitu berarti udah diatur ya], iya, kalau mbok gitu.” (VR_FS_01_131-135
Selain kontrol diri, terdapat temuan segmentasi atau pembatasan sebagai bagian dari manajemen diri sehingga tidak terjadinya pengaruh limpahan negatif pada satu bidang menyebar pada bidang lainnya. Responden ES mengusahakan kerjaan kantor selesai di kantor sehingga tidak berdampak pada ranah keluarga, apabila terpaksa melakukan pekerjaannya di rumah maka pekerjaan tersebut dilakukan pada malam hari setelah anak-anak tidur. Hal serupa juga diungkapkan oleh responden PP yang menjelaskan bahwa situasi apa yang terjadi saat ini diusahakan untuk selesai di waktu tersebut sehingga tidak terdapat permasalahan yang dipendam. Memastikan pekerjaan terselesaikan dengan baik membuat perasaan yang nyaman untuk kembali ke keluarga sehingga kondisi stres di pekerjaan tidak menyebar ke dalam keluarga.
“Kalau sesuasana kantor itu, sekarang ya biasa, karena memang ee- apa namanya ya, ya tergantung ini sih, kalau memang situasinya lagi hectic , kalau situasi lagi slow ya, ya gak ada masalah apapun, jadinya pokoknya gak ada permasalahan dipendam sih intinya, apa yang terjadi sekarang yaudah berakhirnya sekarang, jadinya kita sesama tim gak saling menaruh ini, kayak apa ya, oh aku ada gap sama ini, gak sih kita berusaha mengclearkan hari itu, jadinya setiap over handle shift jadinya kita juga pulang dengan apa ya-, perasaan yang plong, biar gak stresnya dibawa kerumah, suana kerja sih udah okey.” (VR_PP_01_347-353
Me time merupakan salah satu temuan yang muncul sebagai pendorong responden terhindar dari dampak negatif konflik peran yang terjadi. Me time merupakan kondisi dimana responden mengambil waktu untuk dirinya sendiri dan melakukan sejumlah aktivitas yang dianggap berdampak positif secara emosional. Responden FS menjelaskan dirinya menggunakan me time untuk melepaskan stres, bentuk me time yang diambil adalah liburan atau bepergian, dan berkumpul dengan teman atau keluarga. Pada responden KM, me time membuat dirinya terasa lebih segar, menimbulkan perasaan bahagia dan sebagai upaya mengisi ulang daya diri setelah melalui peran-peran yang selama ini dijalani sebagai perempuan Bali yang bekerja.
“Pastikan, jadi kita lebih refresh lebih seger, kalau mialnya ngerasa oooh happy aja, kayak kita kembali lagi, recharge diri kayak gitu.” (VR_KM_02_365-366
Hampir serupa dengan dua responden lainnya, pada FS mengambil waktu untuk diri sendiri dapat dijadikan sebagai sebuah booster energi, dan menambah semangat untuk dirinya menjalani aktivitas selanjutnya. Bentuk me time yang diambil responden FS adalah beristirahat di atas kasur atau berkumpul dengan anak, lebih lanjut me time menurutnya tidak harus dilakukan keluar rumah namun fokus pada aktivitas yang disenangi sehingga memunculkan perasaan bahagia.
“Kalau menurut mbok, ya ada booster energilah, untuk saya melakukan aktivitas selanjutnya ituloh, itu sih, itu yang penting, kalau emang gak ada booster energinya gak ada semangatnya.” (VR_FS_02_354-356
Faktor pendukung eksternal berkaitan dengan berbagai fleksibelitas, dukungan, dan toleransi yang diberikan pihak
lain. Fleksibilitas tempat kerja merupakan bantuan besar dalam keseimbangan peran pada responden ES. Situasi kerja yang lebih fleksibel dirasa lebih nyaman bagi responden untuk dapat terlibat dalam urusan rumah tangga dan menyediakan waktu untuk anak.
“Situasi kerja saat ini nyaman kalau di [nama lembaga] ya, [...] nyaman sih soalnya lebih gampanglah kalau urusan rumah tangga gitu jadinya, bisa ada yang bantu jadinya lebih gampanglah, bisa lebih fleksibel waktunya anak-
anak.” (VR_ES_01_197-199
“Masih fleksibel ya gus, sangat fleksibel menurut mbok, hanya by WA, atau omongan aja, udah ya gitu.” (VR_FS_01_457-458
Toleransi adat merupakan temuan yang muncul dari adanya bantuan dalam menyeimbangkan peran yang bersumber dari aturan lembaga adat tradisional maupun masyarakat adat itu sendiri. Beli ayahan merupakan sistem yang disediakan untuk masyarakat adat melakukan kompensasi berupa materi ketika tidak dapat memenuhi tuntutan kehadiran di sebuah aktivitas adat. Sistem beli ayahan dinamai sebagai sistem mopog di daerah responden FS dan PP, sistem ini diambil responden FS dengan membayar sejumlah uang dalam kurun waktu 10 tahun sehingga dalam sepuluh tahun responden FS dapat terhindar dari kewajiban hadir pada aktivitas-aktivitas adat seperti ngayah yang merupakan aktivitas gotong royong mempersiapkan upacara agama. Pada responden PP sistem beli ayahan mengurangi beban yang dirasakan responden dari aktivitas adat, sehingga dapat menghadiri aktivitas adat ketika waktu senggang dan mengurangi tuntutan peran yang terjadi secara simultan dengan urusan pada ranah lainnya.
“Sistem mopog itu kita beli ayah-ayahan, itu waktunya 10 tahun nominalnya mbok kurang tau, kalau dulu sih tiga jutaan per sepuluh tahun itu, gitu.” (FS_VR1_425-426
Toleransi masyarakat merupakan temuan yang memperlihatkan adanya dukungan yang diberikan masyarakat adat pada perempuan yang bekerja. Responden FS menjelaskan masyarakat sekitar mendukung kondisinya, responden FS tidak pernah menerima komentar negatif karena jarang mengikuti aktivitas adat, melainkan merasa masyarakat disekitarnya cukup memahami kesulitan yang dialami pada perempuan Bali yang bekerja.
“Mendukung kalau menurut mbok, buktinya ndak ada pernah tak denger selentingan "oh ye megae aeng sok ne" gak pernah mbok denger seperti itu, "men nak ye megae ye kenyel, teke ling megae baang malu istirahat" malahan itu yang mbok denger, jadi lumayan positif ya artinya.” (VR_FS_01_442-445
Dukungan keluarga merupakan bantuan yang bersumber dari keluarga seperti pasangan, orang tua, anak, maupun anggota keluarga lainnya. Dalam penelitian ini terdapat tiga responden yang tinggal dengan keluarga besar dan satu responden yang tinggal dengan keluarga inti namun masih berdekatan secara lokasi tinggal dengan orang tua kandung responden. Dukungan keluarga penting adanya bagi responden dalam menyeimbangan perannya agar dapat berjalan dan mencegah
terjadi konflik akibat kegagalan memenuhi peran. Dukungan yang diberikan macam-macam bentuknya baik secara psikologis, informatif, hingga instrumental.
“Pasti kan, suami tu ‘tempat sampah’ gitu, jadi tempat cerita, kalau dia pun sama sih sebenernya, kayak cerita, misalnya gak pernah, misalnya gak pernah dikasi-, misalnya udah minta cuti, gak dikasi cuti, itu ngomel, gimana sih, dikasi hak cuti, padahal itu hak loh, masa gak dikasi hak cuti kayak gitu.” (VR_KM_01_730-733
“Itukan ada sistem mopog, itu terus saran mertua, kalau untuk di desa [Pura Desa] silakan mopog, karena kita kan aktivitas di desa lumayan sedikit, eh lumayan banyak, silakan mopog biar kamu fokus cari apa namanya-, [...]memang masukannya masuk akal, kenapa masuk akal, satu perbandingan antara desa sama dalem itu jauh lebih banyakan, untuk pengemponannya, sedangkan di desa itu sedikit tapi aktivitasnya padat gitu, jadinya mertua fokusin penghasilan untuk sekolah anak-anak misalnya, gitu tujuannya.” VR_FS_01_414-423
“Terus karena- tapi kan untungnya masih ada di lingkungan keluarga yang sama-sama ikut menjaga, jadinya agak berkurang nike [Bahasa Bali yang berarti “itu”], bebannya, karena di bantu juga sama keluarga besar, jadinya kalau sekarang mereka udah besar, udah mandiri, jadi agak gampang lagi juga ngasuhnya.” (VR_PP_01_482-485
Kepuasan Diri
Kepuasan diri merupakan temuan yang muncul dari hasil evaluasi diri pada responden dengan melihat dirinya sebagai perempuan Bali yang bekerja serta taraf keseimbangan peran yang dicapai responden. Kepuasan pada responden
dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan dan pengalaman menangani konflik pada ketiga peran yang dimiliki. Dalam tema kepuasan berikut beberapa temuan yang muncul pada responden yang menggambarkan kepuasan diri responden dalam menjalani perannya sebagai perempuan Bali yang
bekerja. Kepuasan diri pada responden digambarkan dalam bentuk perasaan bangga pada dirinya sendiri. Perasaan bangga pada ES muncul akibat keberhasilan dalam mengatur waktu antara anak, urusan rumah tangga, dan pekerjaan. Pada responden FS kondisi kepuasan diri hadir setelah melewati konflik. Berhasil mengatasi konflik membuat responden merasa menjadi seorang pemenang sebagai wujud perasaan bangga telah dapat mengatasi konflik yang dialami. Perasaan puas responden ketika menghadapi konflik pada pekerjaan juga muncul ketika di rumah sehingga orang sekitar menyadari perasaan positif pada responden.
“Cukup bangga ya sama diri ya, bisa ngatur waktu, bukanya bangga sombong gitu ya, bisa ngatur waktu anak, mudah-mudahan gak terlantar, kerjaannya juga bisa bagus hasilnya di kantor, suami jga ga, pokonya semangatlah suaminya juga, biar di kantor dia kerjaannya sendiri- maksudnya gak terlantar jugaan dia, karena ngebebanin dia sama anak-anak, itu aja sih biasanya gus.” (VR_ES_02_259-263
“Namanya manusia ya, waah apa ini, pasti pertama ada gitu, setelah saya jalani saya ketemu benang merahnya dari permasalahan, atu kerjaan itu, biasanya mbok senyum-senyum sendiri, itu yang sering kentaraan itu geknya [anak responden], apa namanya "ibuk kenapa senyum-senyum", hari ini saya jadi pemenang dik, ya, saya bilangnya saya jadi pemenang” (VR_FS_01_349-355
Perasaan bersalah merupakan temuan yang berkaitan dengan kurangnya keterlibatan responden pada urusan anak dan perannya sebagai ibu. Waktu kerja 12 hingga 13 jam pada responden PP membuatnya merasa kasihan dengan anak-anak karena sedikit waktu yang dapat digunakannya untuk terlibat pada aktivitas anak selama dirumah. Perasaan bersalah juga digambarkan dengan jelas pada responden FS yang menyebutkan adanya perasaan bersalah karena belum dapat sepenuhnya ada ketika anak membutuhkan dirinya sebagai sosok ibu.
“Kalau perasaan jadi seorang ibu pastinya ya, seperti itulah, kasian anak-anak, kangen sama anak-anak kalau udah ini, kita seharian di tempat kerja, 12 sampe 13 jam kan.” (VR_PP_02_147-148
“Sebagai ibu yang bekerja, ada rasa bersalah sih sebenernya buat anak, karena kadang mbok ngerasa ee-belum-belum bisa sepenuhnya ada di samping mereka di saat saat dibutuhkan” (VR_FS_02_232-233
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Penelitian menemukan tiga tema yang merupakan hasil interpretasi dari pengalaman work-life balance perempuan Bali yang bekerja di masa pandemi Covid-19. Tiga tema tersebut diantaranya interaksi ancaman dan peluang di Masa Pandemi Covid-19, Balinese women’s struggling roles, dan kepuasan diri.
Interaksi Ancaman dan Peluang di Masa Pandemi Covid-19
Penelitian ini selain menemukan adanya kesulitan-kesulitan sebagai sebuah ancaman pada work-life balance di masa pandemi, nyatanya kondisi ini juga memunculkan berbagai peluang. Kesulitan ekonomi merupakan dampak yang dirasakan sebagian besar masyarakat di masa pandemi, begitu pula pada responden penelitian yang menyebutkan kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19 akibat PHK pada pasangan dan atau penurunan pendapatan menyebabkan peningkatan kecemasan untuk dapat memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga.
Dalam Muslim (2020 menjelaskan situasi ketidakpastian, masalah ekonomi seperti pemotongan gaji, dan pemutusan hubungan kerja menjadi faktor pemicu stres dalam kerja di masa pandemi Covid-19 akibat adanya kecemasan yang dirasakan dan berpadu dengan konflik yang dialami. Walau terdapat kesulitan ekonomi pengalaman tersebut dapat dimaknai secara positif dengan menjadikannya sebagai tantangan. Memaknai kesulitan ekonomi sebagai sebuah tantangan mendorong responden PP dan FS untuk menjadi lebih kreatif dalam mencari sumber pendapatan tambahan.
Dalam Kusasih et al., (2020 kondisi pandemi Covid-19 dapat menjadi sebuah peluang, apabila dapat melakukan inovasi-inovasi yang sesuai dengan kondisi saat ini.
Kondisi pembatasan aktivitas di luar rumah selama masa pandemi Covid-19 memunculkan ancaman sekaligus peluang pada perempuan Bali. Kesulitan pengasuhan merupakan salah satu bentuk ancaman pada perempuan, mengingat berdasarkan survei oleh Kemendikbud menunjukan sebanyak 66.7% pendampingan anak lebih banyak dilakukan oleh perempuan (Rakhmah, 2020 . Hasil penelitian menunjukan responden merasa tidak mampu membentuk karakter anak selama anak dirumah, dan merasa anak menjadi tambah nakal selama dirumah. Dalam Hakim et al., (2022 mengasuh anak usia dini pada masa pandemi Covid-19 memunculkan kendala dalam membagi waktu antara bekerja dan pengasuhan, lebih lanjut kendala yang tidak diatasi dengan baik dapat meningkatkan stres dalam pengasuhan.
Selain dampak negatif, kondisi pandemi Covid-19 juga membawa kesempatan pada perempuan yang bekerja dengan lebih banyak waktu yang dihabiskan di rumah membuat peristiwa pandemi Covid-19 menjadi peluang dalam meningkatkan keterlibatan perempuan dalam keluarga.
Mungkasa (2020 menjelaskan bekerja dari rumah dapat bermanfaat meningkatkan keseimbangan antara bekerja dan kehidupan keluarga. Greenberg dan Avigdor (2009 menjelaskan adanya perkembangan teknologi yang membuat pekerjaan dapat dilakukan dari mana saja membuka peluang untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak serta keluarga.
Balinese Women’s Struggling Role
Balinese Women’s Agility Roles digunakan untuk menjelaskan hasil interpretasi responden yang menganggap kondisi hadirnya konflik peran pada perempuan Bali sebagai rutinitas yang harus dijalani, walau menghadapi tuntutan peran yang hadir secara simultan perempuan Bali tetap memiliki harapan untuk meraih keseimbangan, yang diupayakan melalui faktor pendukung baik dari dalam diri maupun memanfaatkan sumber daya di luar diri. Bastian (2021 menjelaskan Agility dalam psikologi merupakan pemahaman yang didasari bahwa tidak setiap tantantangan dan kesulitan yang dihadapi di tempat kerja dan kehidupan dapat dikendalikan, kemampuan ini melibatkan kesediaan untuk mengalami ketidaknyamanan yang tidak berarti menyerah, namun menggunakan kebijaksanaan diri untuk mengerti bahwa ‘inilah adanya’. Dalam pembahasan tema ini dibagi menjadi empat temuan yaitu harapan keseimbangan peran, konflik peran, dampak konflik, dan faktor pendukung mengatasi konflik.
Harapan keseimbangan peran pada responden terdiri dari dua temuan yaitu keseimbangan waktu dan keseimbangan keterlibatan. Dalam Greenhaus dan Beutell (1985 keseimbangan peran dalam work-life balance dibagi menjadi elemen waktu dan keterlibatan psikologis. Elemen waktu menuntut adanya keseimbangan waktu yang merupakan kondisi pemberian jumlah waktu sama pada ranah pekerjaan dan peran dalam keluarga. Keseimbangan keterlibatan adalah kemampuan responden untuk dapat terlibat dalam urusan
anak, bekerja, dan aktivitas sosial kemasyarakatan. Dalam Lingard dan Francis (2009 praktik kerja dan harapan tentang jam kerja menghasilkan tingkat konflik pekerjaan dan keluarga yang berbeda hal ini bergantung pada konteks sosial budaya, khususnya pada nilai dan harapan keterlibatan dalam kehidupan keluarga.
Konflik peran merupakan temuan yang menggambarkan pengalaman tuntutan peran secara simultan dari segi waktu maupun keterlibatan yang dialami perempuan Bali. Dalam Netemeyer et al., (1996 konflik antar peran dipandang sebagai bentuk konflik yang diasosiasikan pada keanggotaan individu pada sebuah peran menjadi konflik ketika adanya tekanan akibat keterlibatan individu pada peran lainnya. Dalam penelitian ini sumber konflik peran berasal dari peran perempuan sebagai ibu, beban pekerjaan, dan aktivitas adat. Pengalaman konflik pada peran sebagai ibu dipengaruhi oleh faktor kondisi, jumlah, dan usia anak. Kondisi secara fisik maupun psikologis menjadi sumber benturan antar peran pada perempuan Bali, pengalaman sakit pada anak menjadi situasi yang memaksa meninggalkan pekerjaan sebab adanya tuntutan untuk berada disisi anak. Dalam Ahmad (2008 faktor usia
anak yang masih kecil menimbulkan tuntutan pada keluarga yang lebih tinggi, besarnya tuntutan tersebut sering dikaitkan dengan peristiwa tidak terduga seperti perawatan anak sakit yang dapat menyebabkan menurunan kontrol pada pekerjaan sehingga meningkatnya konflik pekerjaan dan keluarga. Beban kerja merupakan salah satu sumber konflik peran, dalam penelitian ini faktor beban kerja dikaitkan dengan adanya bekerja lembur dan tekanan pekerjaan. Dalam Lingard dan Francis (2009 menjelaskan pengalaman bekerja lembur yang tidak dibayarkan berkaitan dengan munculnya masalah kesehatan akibat dari kehidupan kerja mereka, waktu kerja yang panjang dan lembur menghambat pemulihan ranah rumah tangga, dan menimbulkan kelelahan hingga burnout. Aktivitas adat pada responden dimaknai sebagai kewajiban pada perempuan Bali karena menjadi bagian dari masyarakat adat. Menurut responden, mengikuti kegiatan adat merupakan kodrat perempuan Bali dalam memenuhi tradisi adat dan budaya. Dalam Komalasari et al., (2019 perempuan Bali merasa wajib melaksanakan adat sebagai upaya menjaga budaya turun-temurun dengan melakukan pelaksanaan
kegiatan keagamaan, dari awal proses hingga upacara agama selesai dilakukan.
Kegagalan mengelola konflik peran pada perempuan Bali dapat menimbulkan dampak pada diri sendiri, pekerjaan, dan fungsi sosial. Dampak konflik pada fungsi sosial ditunjukan dengan temuan perasaan kurang bersosialisasi di masyarakat. Dalam Kartika (2021 disebutkan prinsip gotong royong telah tertanam pada perempuan Bali sehingga muncul perasaan malu pada masyarakat apabila tidak membantu aktivitas adat.
Konflik peran berdampak secara fisik dan psikologis. Kondisi lelah secara fisik ini juga dikaitkan dengan stres yang muncul pada responden ES. Dalam Ross dan Vasantha (2014 kelelahan terjadi ketika bekerja dalam waktu yang lama serta kegagalan dalam menetapkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dalam Maziyya et al.,(2021 konflik peran ganda menjadi faktor yang paling berpengaruh pada
tingkat stres baik secara fisik maupun psikis di Masa Pandemi Covid-19. Kondisi konflik peran menimbulkan penurunan kinerja hingga intensi turnover. Berdasarkan hasil penelitian kurangnya waktu yang dapat diberikan pada anak akibat panjangnya waktu kerja membuat responden memiliki kecenderungan untuk resign dan mencari pekerjaan yang dianggap lebih fleksibel dari segi waktu. Dalam Yunita dan Astawa (2019 permasalahan dalam keluarga yang mempengaruhi pekerjaan menurunkan kinerja karyawan, dan apabila karyawan merasakan konflik keluarga pekerjaan yang tinggi maka berdampak pada keinginan keluar dari perusahaan.
Faktor pendukung mengatasi konflik merupakan temuan yang menggambarkan adanya upaya mengatasi konflik peran. Faktor pendukung menurut sumbernya dibagi menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Faktor pendukung internal berkaitan dengan kemampuan dan upaya dari dalam diri untuk dapat menyeimbangkan peran. Faktor pendukung internal terdiri dari manajemen diri, komunikasi, me time, dan kemampuan mengambil keputusan. Dalam Akbar (2017 dengan menerapkan manajemen pada waktu sebagai strategi menyeimbangkan peran perempuan yang bekerja dapat mengoptimalkan peran dalam rumah tangga, sebagai istri, dan pekerjaan. Dalam Ross dan Vasantha (2014 menjelaskan penting melakukan pembatasan dalam bekerja dalam mengembangkan karir, kegagalan dalam membatasi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dapat memicu kelelahan baik secara psikis. Faktor pendukung eksternal terdiri dari fleksibilitas tempat kerja, toleransi adat, dukungan keluarga, dukungan rekan kerja, dan pemanfaatan hari libur. Toleransi adat merupakan gambaran dukungan yang muncul dari sektor lembaga adat dan masyarakat adat. Salah satu bentuk dukungan yang diberikan dari lembaga adat adalah adanya sistem beli ayahan. Beli ayahan merupakan sistem kompensasi berupa materi yang dapat dipilih ketika tidak dapat mengikuti suatu aktivitas adat. Angligan dan Suarya (2016 menjelaskan toleransi yang tinggi dan menjunjung kerukunan dalam masyarakat Bali membantu perempuan Bali dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapinya.
Dukungan pada perempuan Bali dapat berasal dari ranah keluarga maupun pekerjaan. Dalam Tigowati (2022 pekerja dapat memiliki tingkat work-life balance yang tinggi di masa pandemi Covid-19 apabila menerima dukungan dari ranah keluarga dan lingkungan kerja. Dukungan dapat berupa dukungan psikologis, dukungan informatif, dan dukungan instrumental. Dukungan yang dianggap paling berpengaruh pada perempuan Bali adalah dukungan instrumental dari rekan kerja, dukungan ini dapat berupa kesediaan membantu dengan jasa atau barang ketika dibutuhkan (Andhini et al., 2021
Kepuasan Diri
Kepuasan diri merupakan tema yang muncul dari evaluasi diri yang dilakukan responden pada pengalaman keseimbangan peran. Dalam penelitian ini terdapat dua temuan yang berkaitan dengan kepuasan diri, yaitu perasaan bangga dan perasaan bersalah. Perasaan bangga merupakan interpretasi dari kepuasan diri yang tinggi ketika responden mampu melakukan pengelolaan waktu serta melewati konflik peran yang dialami sebagai perempuan Bali. Dalam Yuliviona
(2015 dapat terlibat dalam mendampingi anak, mengurus rumah tangga, bersosialisasi di lingkungan, dan mampu mandiri secara keuangan membuat perempuan merasa dihargai dan bangga. Responden yang merasa kurang memiliki keterlibatan pada urusan pengasuhan anak membuatnya merasa bersalah pada anak sebagai ekspresi rendahnya kepuasan responden pada dimensi keterlibatan. Dalam Greenberg dan Avigdor (2009 perasaan bersalah muncul ketika tidak dapat menghabiskan waktu dengan anak dan keluarga karena bekerja dapat mempengaruhi kebahagiaan kepuasan pada perempuan yang bekerja.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan pengalaman work-life balance pada perempuan Bali yang bekerja pada sektor formal di Masa Pandemi Covid-19 dibentuk dari tiga tema yaitu, interaksi ancaman dan peluang di masa pandemi Covid-19, Balinese women’s agility roles, kepuasan diri. Balinese Women’s Agility Roles merupakan temuan utama yang paling banyak berkontribusi dalam menjelaskan pengalaman work-life balance perempuan Bali. Tema ini sebagai hasil interpretasi dari pengalaman konflik yang dianggap rutinitas yang tidak dapat dihindari pada perempuan Bali. Temuan ini memperlihatkan harapan keseimbangan peran dan konflik peran yang bersumber pada peran sebagai ibu, beban pekerjaan, dan tuntutan adat. Konflik peran yang tidak dapat tangani menimbulkan dampak seperti kurang berosialisasi, kelelahan, stres, resiko turnover, dan penurunan kinerja. Dalam mengatasi konflik dan meraih keseimbangan peran maka muncul faktor pendukung mengatasi konflik baik dalam diri maupun dari luar diri.
Saran yang dapat diberikan pada perempuan Bali adalah menggunakan penelitian ini sebagai bahan referensi dalam menemukan strategi menyeimbangkan peran pada pekerjaan, keluarga, dan adat melalui peningkatan kemampuan manajemen diri dan memanfaatkan dukungan dari keluarga (Dukungan instrumental, informatif, dan psikologis , rekan kerja, maupun toleransi dari masyarakat dan lembaga adat.
Penelitian ini mengangkat pengalaman work-life balance perempuan Bali, termasuk melihat peranan faktor adat pada keseimbangan peran perempuan Bali, namun penelitian ini hanya dilakukan pada empat responden yang tinggal di daerah Denpasar dan Gianyar sebagai daerah kawasan perkotaan sehingga tidak memunculkan banyak tekanan pada aspek tuntutan adat. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka disarankan pada penelitian selanjutnya untuk
mempertimbangkan responden berasal dari daerah di Bali yang sekiranya memiliki tuntutan adat yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. 2008. “Job , Family and Individual Factors as Predictors of Work-Family Conflict.” The Journal of Human Resource and Adult Learning 4(1):57–65.
Akbar, D. 2017. “Konflik Peran Ganda Karyawan Wanita Dan Stres Kerja.” An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender Dan Anak 12(1):33– 48.
Angligan, I. G. A., Intan. K., dan Suarya, L.M.K.S. 2016. “Perbedaan Strategi Koping Pada Perempuan Hindu Bali Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja.” Jurnal Psikologi 3(3):125–34.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2021. Provinsi Bali Dalam Angka 2021.
Bastian, B. 2021. “What Is Psychological Agility and Why Is It so Important in 2021?” Psysafe. Retrieved
(https://www.psysafe.com.au/post/what-is-psychological-agility-and-why-is-it-so-important-in-2021).
Bintang, S.K., dan Astiti, D.P. 2016. “Work-Life Balance Dan Intensi Turnover Pada Pekerja Wanita Bali Di Desa Adat Sading, Mangupura, Badung.” Jurnal Psikologi Udayana 3(3):382–94.
Fardianto, N., dan Muzakki. 2021. “Support at Work and Home as a Predictor of Work Life Balance.” Jurnal Manajemen Dan Bisnis Indonesia 6(2):144–53. doi: 10.32528/jmbi.v6i2.3311.
Ganapathi, I.M.D. 2016. “Pengaruh Work Life Balance Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan (Studi Pada PT. Bio Farma Persero).” Ecodomica 4(1):125–35.
Greenberg., Cathy L., dan Avigdor, B. 2009. What Happy Working Mothers Know. Vol. 109. John Willey & Sons Inc.
Greenhaus, J., dan Beutell, N. 1985. “Sources of Conflict between Work and Family Roles.” Academy of Management Review 10(1):76–88. doi: 10.5465/AMR.1985.4277352.
Guest, D. 2002. “Perspectives on the Study of Work-Life Balance.” Social Science Information 41(2):255–79. doi:
10.1177/0539018402041002005.
Haekal, M., dan Fitri, A. 2020. “Dilema Peran Ganda Dosen Perempuan Selama Pandemi Covid-19 Di Indonesia.” JAS-PT (Jurnal Analisis Sistem Pendidikan Tinggi Indonesia) 4(2):171. doi: 10.36339/jaspt.v4i2.366.
Hairina, Y., dam Fadhila, M. 2019. “strategi work-family balance pada perempuan suku banjar yang memiliki peran ganda.” Jurnal Studia Insania 6(2):184. doi: 10.18592/jsi.v6i2.2562.
Hakim, A., Darmawan, F., dan Nurhidayah, P.S. 2022. “Gim asik sebagai metode komunikasi visual dalam pengembangan karakter anak usia dini.” Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini 6(3):2266–75. doi: 10.31004/obsesi.v6i3.1932.
Harahap, S.A., Dimyati., dan Purwanta, E. 2021. “Problematika pembelajaran daring dan luring anak usia dini bagi guru dan orang tua di masa pandemi covid 19.” Jurnal obsesi: jurnal pendidikan anak usia dini 5(2):1825–36. doi:
10.31004/obsesi.v5i2.1013.
Iftitah, S.L., and Mardiyana, F.A. 2020. “Peran orang tua dalam mendampingi anak di rumah selama pandemi Covid-19.” JCE (Journal of Childhood Education) 4(2):71. doi:
10.30736/jce.v4i2.256.
Indriani, M.N. 2019. “Pemberdayaan perempuan bali dalam membuat upakara di banjar gemeh.” Jurnal Sewaka Bhakti 3(1):10–24.
Kartika, N.G.A. 2021. “Fungsi dan peranan perempuan hindu dalam pelaksanaan yadnYa di bali.” Pangkaja: Jurnal Agama Hindu 24(2):194. doi: 10.25078/pkj.v24i2.2616.
Komalasari, Y. 2017. “Nilai tambah wanita karier bali sebagai sosok pelestari budaya.” Prosiding Seminar Nasional AMI 27–28.
Komalasari, Y., Wirajaya, I.G.A., dan Sari, M.M.R. 2019. “Akuntabilitas akuntan perempuan-karir bali: sebuah studi fenomenologi.” Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Bisnis 14(1). doi: 10.24843/jiab.2019.v14.i01.p07.
Kusasih, I.A.K.R, Hestin, M, dan Nur, K. 2020. “Motivasi berwirausaha pada masa pandemi Covid-19.” KANGMAS: Karya Ilmiah Pengabdian Masyarakat 1(2):47–56. doi: 10.37010/kangmas.v1i2.49.
Lestari, M.D. 2016. “Hidup di tengah sisyem kekeluargaan patrilineal: kekuatankan atau kelemahan bagi perempuan hindu bali dalam era masyarakat ekonomi asean (mea).” Seminar Nasiona Paradigma Perempuan Hindu Masa Kini Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Lestyoningsih, I.H. 2020. “Literatur review : implementasi responsif gender dimasa pandemi covid 19.” Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat 1(1):68–83.
Lingard., Helen., and Valerie, F. 2009. Managing Work-Life Balance
Construction.
Andhini, L.P.R., Dewinasurya, A.A.T., Tulle, C.P.J.D, dan Yeni, N.K.M.S. 2021. “Studi korelasi: dukungan rekan kerja terhadap work family conflict pada perempuan bali yang bekerja.” Jurnal Psikologi: Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan 8(2):79–88. doi:
10.35891/jip.v8i2.2551.
Mayaswari, W. H., and Yasa, I.G.W. 2015. “Peran Ganda Pedagang Perempuan Di Pasar Seni Mertha Nadi Legian, Bali.” Populasi 23(2):71–84.
Maziyya, A.A, Islam, N.R.Q., dan Nisa, H. 2021. “Hubungan beban kerja, work-family conflict, dan stres kerja pada pekerja di wilayah pulau jawa saat pandemi Covid-19 di tahun 2020.” Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan 31(4):337– 46. doi: 10.22435/mpk.v31i4.4377.
Mungkasa, O. 2020. “Working from home (wfh): towards a new order in the era of the Covid-19 pandemic.” Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning 4(2):126–50.
Mungunsong, F. 2009. “Faktor Intrapersonal, interpersonal, dan kultural pendukung efektivitas kepemimpinan perempuan pengusaha dari empat kelompok etnis di indonesia.” Makara, Sosial Humaniora 13(1):19–28.
Muslim, M. 2020. “Manajemen stress pada masa pandemi Covid-19.” Jurnal Manajemen Bisnis 23(2):192–201.
Netemeyer, R G., Boles, J.S., dan McMurrian, R. 1996. “Development and validation of work-family conflict and family-work conflict scales.” Journal of Applied Psychology 81(4):400–410. doi: 10.1037/0021-9010.81.4.400.
Nilakusmawati, E. P.D., dan Susilawati, M. 2012. “Studi faktor-faktor yang mempengaruhi wanita bekerja di kota denpasar.” Piramida 8(1):26–31.
Nurmayanti, S. D. P. B., Sakti, I. N. N. A. P., and Wardani, L. 2018. “Pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap kepuasan kerja dan kepuasan hidup (studi pada perempuan etnis bali yang bekerja di kota mataram.” Jurnal Ilmu Manajemen … 6(2):35– 46.
Perkasa, G. 2021. “anak hanya di rumah selama pandemi, apa dampaknya bagi tumbuh kembang ?” Kompas.Com. Retrieved (https://lifestyle.kompas.com/read/2021/01/05/123600120/ana k-hanya-di-rumah-selama-pandemi-apa-dampaknya-bagi-tumbuh-kembang?page=all).
Pucangan, M.A.A.P, and Indrawati. K.R. 2018. “Peran work-life balance dan dukungan sosial terhadap stres kerja pada perempuan bali yang bekerja di hotel bintang 4 di kabupaten badung.” Jurnal Psikologi Udayana 000:178–86.
Rakhmah, D. 2020. “Survei: beban pendampingan belajar anak selama pandemi lebih banyak ke ibu ketimbang ayah.” the conversation. Retrieved (https://theconversation.com/survei-beban-pendampingan-belajar-anak-selama-pandemi-lebih-banyak-ke-ibu-ketimbang-ayah-143538).
Rene, R., dan Wahyuni, S. 2018. “Pengaruh work-life balance terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan motivasi kerja terhadap kinerja individu pada karyawan perusahaan asuransi di jakarta.” Jurnal Manajemen Dan Bisnis Sriwijaya 16(1):53–63. doi: 10.29259/jmbs.v16i1.6247.
Ria, Y. 2020. Pengaruh work family conflict dan work engagement pada life satisfaction melalui work life balance (studi pada perawat wanita rumah sakit islam muhammadiyah kendal).
Rini, K.G.G.P., dan Indrawati, K.R. 2019. “Hubungan antara worklife balance dengan komitmen organisasi perempuan bali yang bekerja pada sektor formal.” Jurnal Psikologi Udayana 6(1):923–34.
Ross, D.S., dan Vasantha, S. 2014. “A conceptual study on impact of stress on work-life balance.” Sai Om Journal of Commerce & Management 1(2):61–65.
Saskara, I.A.N., Pudjihardjo, G.M., dan Agus, S. 2012. “Tinjauan
perspektif ekonomi dan nonekonomi perempuan bali yang bekerja di sektor publik: studi konflik peran.” Jurnal Aplikasi Manajemen 10(3):542–52.
Schieman, S.,Badawy. P., Milkie, M., dan Bierman, A. 2021. “Worklife conflict during the Covid-19 pandemic.” Socious 7:1–19. doi: doi.org/10.1177/2378023120982856.
Siahaan, M. 2020. “Dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia pendidikan.” Jurnal Kajian Ilmiah 1(1):73–80. doi: 10.31599/jki.v1i1.265.
Suyadnya, I. W. 2009. “Balinese women and identities: are they trapped in traditions, globalization or both?” Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik XXII(2):95–104.
Thalita, B. 2010. “Dampak positif dan negatif wanita karir.” Kompasiana, August 26.
Tigowati. 2022. “Dukungan Keluarga dan work life balance saat pandemi Covid-19.” Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 13(1):103–7. doi: http://dx.doi.org/10.33846/sf13119.
Tim Konde.co. 2017. “Survery perempuan bekerja, apa saja hambatan perempuan?” Konde.Co Media For Women and Minority. Retrieved (https://www.konde.co/2017/06/survey-perempuan-bekerja-apa-saja.html/).
Widhiasih, L.K.S. 2020. “Peran ibu bali dalam pembelajaran jarak jauh di masa pandemi Covid-19.” Prosiding Webinar Nasional Universitas Mahasaraswati 2020 2020(April):61–70.
Widyaningrum, A.Y. 2020. “Beban ganda perempuan dan pemanfaatan teknologi di masa pandemi Covid-19.” Pp. 23–41 in Menari dalam badai (Gender & harapan di tengah pandemi Covid-19). Yogyakarta: Pusat Studi Wanita
UPN"Veteran"Yogyakarta.
Yuliviona, R. 2015. “Work family conflict dan stress kerja perempuan bekerja.” Jurnal Ipteks Terapan 8(4):192–98. doi: 10.22216/jit.2014.v8i4.15.
Yunita, P.I., dan Astawa, P.R.W. 2019. “konflik peran dan ambiguitas peran sebagai prediktor kinerja karywan pada bpr di kabupaten gianyar.” Juima 9(2):3–45.
LAMPIRAN
Tabel 1
Karakteristik Responden
Karakteristik |
ES |
FS |
KM |
PP |
Alamat Tempat Tinggal |
Sesetan Denpasar |
Batuan, Gianyar |
Sumerta, Denpasar |
Batuan, Gianyar |
Pekerjaan |
Pegawai Kontrak (Bidang Keuangan) |
Pegawai Kontrak (Bidang Keuangan) dan Agen Asuransi |
Pegawai Bank |
Duty Manager di Hotel |
Pendidikan |
S1 Sastra |
S1 Ekonomi dan |
S1 dan S2 |
D1 |
Terakhir |
Inggris |
Gelar Profesi Registered Financial Planner |
Ekonomi |
Pariwisata |
Masa Kerja |
6 Tahun |
10 Tahun dan 13 Tahun |
9 Tahun |
6 Tahun |
Agama |
Hindu |
Hindu |
Hindu |
Hindu |
Banjar/Desa Adat |
Mendoyo |
Batuan |
Sumerta dan Datah |
Batuan |
Usia |
36 Tahun |
36 Tahun |
31 Tahun |
37 Tahun |
Usia Perkawinan |
12 Tahun |
12 Tahun |
6 Tahun |
15 tahun |
Usia ketika Menikah |
24 Tahun |
24 Tahun |
25 Tahun |
22 Tahun |
Usia Pasangan |
36 Tahun |
37 Tahun |
33 Tahun |
38 Tahun |
Pekerjaan Pasangan |
Polisi |
PHK |
Guru PNS |
Cook di Hotel |
Jumlah Anak |
4 (Usia: 9, 5, 4, |
3 (Usia: 11 |
3 (Usia: 5, 5, |
3 (Usia: 12, |
(Usia) |
dan 1 Tahun) |
Tahun, 6 Tahun, dan 8 bulan) |
dan 1.5 Tahun) |
9, dan 9 Tahun) |
Tipe Struktur Keluarga yang Tinggal Bersama |
Nuclear Family |
Extended Family |
Extended Family |
Extended Family |
Gambar 1.
Bagan hasil penelitian
170
Discussion and feedback