Jurnal Psikologi Udayana

2022, Vol.9, No.2, 140-147


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i02.p04

Persepsi guru terhadap sistem pembelajaran inklusi di sekolah dasar

Brigitta Erlita Tri Anggadewi dan Laurensia Aptik Evanjeli

Program Studi PGSD, Fakultas KIP, Universitas Sanata Dharma [email protected]

ABSTRAK

Pembelajaran inklusi di Sekolah Dasar semakin didorong oleh Pemerintah dimana sekolah diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhan para siswa berkebutuhan khusus yang menempuh pendidikan. Cara pandang guru juga dapat berpengaruh terhadap perwujudan sekolah inklusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi guru terhadap sistem pembelajaran inklusi di Sekolah Dasar. Metode yang digunakan adalah survei dengan respondennya adalah guru di sekolah dasar yang bermitra dengan instansi peneliti. Pemilihan responden dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian berupa kuesioner dengan pertanyaan tertutup yang dianalisis dengan Anova. Hasil penelitian dari penelitian ini diperoleh bahwa responden memiliki persepsi yang netral terkait sistem pembelajaran inklusi di sekolah dasar. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, guru di sekolah terkait memiliki persepsi yang kurang lebih sama terhadap sistem pembelajaran inklusi di Sekolah Dasar.

Kata kunci: guru, inklusi, persepsi

ABSTRACT

Inclusive learning in elementary schools is increasingly being encouraged by the government where schools are expected to be able to meet the needs of students with special needs who are studying. The teacher's perspective can also affect the realization of inclusive schools. The purpose of this study was to determine the teacher's perception of the inclusive learning system in elementary schools. The method used is a survey with the respondents are teachers in elementary schools in partnership with research institutions. The selection of respondents using purposive sampling technique. The research instrument was a questionnaire with closed questions which were analysed by Anova. The results of this study showed that the respondents had a neutral perception regarding the inclusive learning system in elementary schools. This shows that in general, teachers in related schools have more or less the same perception of the inclusive learning system in elementary schools.

Keywords: inclusion, perception, teacher

LATAR BELAKANG

Pemerintah Indonesia terus mendorong institusi pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi. Sejumlah peraturan di tingkat nasional maupun lokal disusun untuk mendukung terwujudnya pendidikan yang inklusif, antara lain Permendiknas nomor 70 tahun 2009, Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta nomor 21 tahun 2013, UU RI nomor 8 tahun 2016, dan Permenristekdikti nomor 46 tahun 2017. Peraturan-peraturan tersebut dimaksudkan agar institusi pendidikan memiliki pedoman dalam menyelenggarakan pendidikan yang inklusif.

Perwujudan pendidikan inklusi di tingkat sekolah dasar dapat dipengaruhi oleh cara pandang guru terhadap anak berkebutuhan khusus. Penelitian-penelitian tentang pendidikan inklusi telah banyak dilakukan di berbagai negara untuk mengevaluasi keterlaksanaan sistem pendidikan inklusi. Penelitian yang dilakukan di Kanada memiliki sikap yang lebih positif terhadap pendidikan inklusi dibandingkan dengan guru SMP. Sikap yang positif tersebut ditunjukkan pula melalui komunikasi dan kerjasama yang baik dengan orang tua (McGhie-Richmond, Irvine, Loreman, Cizman, & Lupart, 2013). Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Saloviita (2020) menunjukkan hal yang berbeda, dimana guru kelas dan guru mata pelajaran di Finlandia memiliki sikap di bawah netral dibandingkan guru khusus.

Dua penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang berbeda terkait sikap guru terhadap pendidikan yang inklusif. Para guru di Zanzibar dilaporkan memiliki sikap untuk menerima dan mendukung pendidikan inklusi. Guru-guru tersebut juga memiliki keinginan untuk terus meningkatkan keterampilan dan memandang pentingnya pendampingan atau pelatihan bagi mahasiswa keguruan terkait pendidikan inklusi (Juma, Lehtomäki, & Naukkarinen, 2017). Terwujudnya pendidikan yang inklusif tidak terlepas dari faktor-faktor pendukung, seperti relasi yang baik dengan siswa, kesadaran/adanya informasi tentang praktik pendidikan khusus, terdapat diagnosa yang jelas, adanya relasi yang baik dengan para orang tua, dukungan maupun kerjasama dengan para ahli, adanya kerjasama yang baik antara guru pendamping khusus dengan guru kelas, keberlanjutan pelatihan yang mengaitkan teori dengan praktik, serta kemandirian kerja dari guru pendamping khusus (Kourkoutas, Stavrou, & Loizidou, 2017).

Elisa dan Wrastari (2013) melakukan penelitian tentang sikap guru terhadap pendidikan inklusi di kota Surabaya. Subjek penelitian ini adalah 4 guru yang mengajar di sekolah inklusi di kota Surabaya. Faktor yang muncul dalam penelitian ini, yaitu faktor guru yang terdiri dari latar belakang guru, pandangan terhadap anak berkebutuhan khusus, tipe guru, tingkat kelas, keyakinan guru, pandangan sosio-politik, empati guru, dan gender. Berikutnya, faktor pengalaman yang terdiri dari pengalaman mengajar anak berkebutuhan khusus dan pengalaman kontak dengan anak berkebutuhan khusus. Faktor pengetahuan terdiri dari level pendidikan guru, pelatihan, pengetahuan, dan kebutuhan belajar guru. Terakhir adalah faktor lingkungan pendidikan yang terdiri dari dukungan sumber daya, dukungan orangtua dan keluarga, dan sistem sekolah.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitrianasari (2015) tentang persepsi guru terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif sesuai latar pendidikan di Kabupaten Blitar. Subjek penelitian ini adalah guru kelas dan guru pendidikan khusus di sekolah inklusif Kabupaten Blitar. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa 20% dari 20 guru gelas dan guru pendidikan khusus memiliki persepsi positif sedangkan sisanya memiliki persepsi negatif. Selain itu, berdasarkan usia, guru memiliki persepsi negatif sebanyak 80% berada pada rentang usia 35 sampai 60 tahun menyatakan persepsi negatif, sementara 20% yang memiliki persepsi positif berusia 25 sampai 33 tahun.

Sistem pendidikan inklusi menjadi sebuah sistem yang dianggap memenuhi hak belajar semua siswa termasuk siswa dengan kebutuhan khusus. Di beberapa wilayah termasuk di Kota Yogyakarta, sistem inklusi sudah menjadi hal yang bukan baru lagi. Sejauh ini sekolah dan guru mengikuti dan berusaha untuk menjalani sistem yang diberlakukan oleh pemerintah termasuk sistem inklusi dalam dunia pendidikan. Sejumlah penelitian yang bertujuan mengevaluasi keterlaksanaan pendidikan inklusi telah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ukitasari, Sulasmono, dan Iriani (2017) yang mengevaluasi implementasi kebijakan sekolah inklusi di kota Salatiga. Selain itu, beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk mengukur persepsi guru di beberapa kota, seperti yang dilakukan oleh Fajrillah, Mashadi, Zakiah, Nurjasmi, dan Jannah (2018) yang memberikan hasil dimana masih kurangnya persepsi guru terhadap pendidikan inklusi di Aceh.

Beberapa penelitian lain terkait persepsi guru juga telah dilakukan namun dengan tema yang beragam. Hasil yang diperoleh juga cukup beragam dan berbeda antar kota karena perbedaan budaya, situasi kondisi, maupun hal lain. Saat ini penelitian di kota Yogyakarta terkait tema ini masih terbatas. Sementara kota Yogyakarta memiliki sebutan kota pelajar sehingga sistem Pendidikan merupakan hal yang menjadi perhatian. guru merupakan bagian dari sistem Pendidikan yang terpenting karena melalui guru maka ilmu pengetahuan dapat disalurkan pada siswa. Selama ini banyak penelitian terkait sistem dan siswa sehingga perlu penelitian terkait guru karena bagaimana persepsi guru sedikit banyak mempengaruhi proses pembelajaran di kelas. Taylor dan Ringlaben (2012) menyebutkan bahwa pentingnya sikap guru terhadap inklusi. Maka untuk menemukan hal tersebut, penting untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana persepsi guru. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat tema persepsi guru terhadap sistem pendidikan inklusi khususnya di Yogyakarta.Variabel yang diukur pada penelitian sistem pendidikan inklusi adalah persepsi guru.

Persepsi

Persepsi merupakan perwujudan tentang suatu objek sebagai bentuk pemahaman terhadap objek atau rangsang. Persepsi dikatakan sebagai proses pengategorisasian. Seorang individu mendapat rangsang dari hal-hal yang ada di sekitar dan kemudian merespon rangsang tersebut dengan mengaitkannya atau menghubungkannya ke dalam kategori tertentu. Proses ini merupakan proses yang dilakukan secara aktif, artinya seorang individu secara sengaja melakukan kategorisasi atau pengelompokkan untuk dapat memaknai

rangsang yang diterima. Dengan demikian, persepsi dapat dikatakan sebagai bentuk penarikan kesimpulan (Sarwono, 2003).

Penentuan kategori maupun pemaknaan dalam persepsi merupakan bentuk penarikan kesimpulan. Suatu keputusan dapat menyebabkan penarikan kesimpulan selanjutnya dan begitu seterusnya. Dalam persepsi, penarikan kesimpulan dapat terjadi berulang kali. Rangkaian keputusan tersebut disebut sebagai proses penggolongan (bracketing process) berupa proses pengkategorisasian secara bertingkat sehingga objek yang dipersepsi berada pada posisi yang sesuai dalam sistem kategorisasi yang dimiliki individu (Sarwono, 2003).

Untuk dapat terbentuk persepsi, individu mengalami tahapan berpikir. Tahapan dalam proses pengambilan keputusan dalam persepsi, yaitu kategorisasi primitive, pencarian tanda, konfirmasi setelah pproses penggolongan terhadap objek yang diamati, serta konfirmasi tuntas (Sarwono, 2003). Sementara itu, Sarwono (2003) juga menyebutkan bahwa terdapat empat aspek yang membedakan persepsi dengan kemampuan berpikir, yaitu fokus pengamatan terhadap suatu objek, perbedaan persepsi yang dapat berubah, pengaruh sudut pandang atau fokus alat indera, serta bahwa persepsi dapat berkembang kearah tertentu dan setelah terbentuk memiliki kecenderungan yang menetap.

Munculnya persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang membentuk persepsi tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, antara lain (Sarwono, 2003):

  • -    Variabel struktural berupa faktor yang terdapat pada rangsang fisik dan neurofisiologis.

  • -    Variabel fungsional berupa faktor dari dalam diri pengamat seperti kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu, maupun sifa-sifat individu lain.

Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus atau seringkali disebut dengan ABK adalah anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa sehingga perlu mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya (Permendiknas, 2009). Menurut Permendiknas (2009) ada 14 (empat belas) kategori anak berkebutuhan khusus yaitu : tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, anak berkesulitan belajar, anak lamban belajar, autism, anak cerdas istimewa, hiperaktifitas, penyalahgunaan narkoba, tuna ganda, serta anak korban situasi. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus saat ini cukup menjadi sorotan Pemerintah. Hal tersebut sudah diatur dalam UU tentang pendidikan pasal 31 ayat 1 yang menyatakan “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sekolah-sekolah umum mulai dihimbau untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus dan mendampingi mereka dalam belajar. Hal ini dikarenakan beberapa tahun terakhir kasus anak berkebutuhan khusus terus meningkat. Kasus anak berkebutuhan khusus yang tercatat sebanyak 324.000 anak namun hanya 75.000 anak yang menjalani pendidikan.

Pendampingan bagi anak berkebutuhan khusus didasarkan pada pemikiran bahwa pendidikan merupakan hak setiap individu yang dikenal dengan istilah education for all atau

EFA (Indriawati, 2013). Sukinah (2010) menjelaskan bahwa EFA dicetuskan dalam Pernyataan Samalanca di Spanyol tahun 1994. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa seluruh anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa membeda-bedakan dan sesuai dengan kebutuhan khusus anak. Anak dengan kebutuhan khusus akan mendapat pendampingan khusus di sekolah regular. Sukinah (2010) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi telah ditetapkan sebagai prinsip pendidikan yang hendaknya menjadi dasar kualitas pendidikan. Pendidikan inklusi yang dikembangkan meliputi pendampingan untuk perkembangan sosial, emosional, fisik, akademik, dan kecerdasan spiritual, serta sistem assessment dan evaluasi. Indriawati (2013) menambahkan bahwa realisasi visi EFA di Indonesia terwujud dalam kebijakan penyamaan hak pendidikan bagi seluruh warga yang mencakup anak berkebutuhan khusus. Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi.

Pendidikan khusus secara tradisional dikaitkan dengan anak yang tidak mampu atau mengalami kesulitan. Namun lingkup pendidikan anak berkebutuhan khusus telah meluas hingga melibatkan anak yang berbakat atau bertalenta. Untuk dapat memperoleh layanan pendidikan berkebutuhan khusus, seorang anak yang berkebutuhan khusus didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki performansi fisik, mental, dan perilaku yang secara substansial berdeviasi atau menyimpang dari yang normal, baik lebih tinggi atau lebih rendah (Hardman, Drew, & Egan, 1996).

Pendidikan anak berkebutuhan khusus bertujuan menyediakan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk mencapai potensi penuh dari mereka. Beberapa strategi khusus dilakukan dengan harapan anak berkebutuhan khusus dapat menerima kondisinya, bersosialisasi sesuai dengan kemampuannya, berjuang sesuai dengan kemampuannya, memiliki keterampilan, dan menyadari sebagai warga negara dan anggota masyarakat (Effendi, 2006). Latar belakang masalah yang telah diuraikan menjadi landasan identifikasi dalam merumuskan permasalahan penelitian. Rumusan masalah penelitian ini terkait dengan persepsi guru dengan pertanyaan penelitiannya yaitu bagaimana persepsi guru sekolah dasar terhadap sistem pembelajaran inklusi? Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan persepsi guru sekolah dasar terhadap sistem pembelajaran inklusi

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Partisipan penelitian ini adalah 73 guru sekolah Yayasan Sekolah Kanisius di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemilihan partisipan penelitian ini terbatas pada guru-guru swasta dibawah naungan Yayasan, sehingga pemilihan sekolah juga berdasarkan rekomendasi Yayasan. Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini adalah convenient sampling. Pengambilan data penelitian ini dilakukan pada bulan November 2020. Variabel penelitian ini adalah persepsi terhadap pendidikan inklusi. Penelitian Forlin, Earle, Loreman, & Sharma (2011) mengembangkan instrumen untuk mengukur persepsi (sentiment, attitudes, concern) terhadap sistem pembelajaran inklusi. Instrumen yang sama digunakan pula dalam penelitian ini yang berupa 142

survei. Survei yang digunakan terdiri dari 15 pertanyaan skala Likert dengan 4 pilihan jawaban (α = 0,74). Survei tersebut dirancang untuk pre-service teachers sehingga melalui proses modifikasi ke Bahasa Indonesia. Kisi-kisi instrumen dapat dilihat pada Tabel 1.

Reliabilitas instrumen setelah dimodifikasi ke dalam Bahasa Indonesia sebesar 0,621. Koefisien Cronbach’s alpha tersebut dapat dikatakan bahwa instrumen memiliki konsistensi pengukuran yang cukup.

Tenik analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan- bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono, 2019). Data kuantitatif pada penelitian ini merupakan data skor dari kuesioner persepsi guru terhadap sistem pembelajaran inklusi. Hasil perhitungan dari penskoran kemudian dihitung untuk kategori persepsi ke dalam tiga kategori: rendah, sedang, dan tinggi dengan penghitungan pada Tabel 2. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan kategorisasi persepsi untuk mengetahui persepsi guru terhadap inklusi secara umum. Selanjutnya Anova dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan persepsi berdasarkan wilayah dan kelas yang diampu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya faktor tempat mengajar dan kelas terhadap persepsi.

HASIL PENELITIAN

Penelitian dan pengembangan ini bertujuan untuk mengetahui persepsi guru terhadap sistem pembelajaran inklusi di sekolah dasar. Partisipan penelitian ini adalah guru sekolah swasta di 5 wilayah DIY dengan partisipan terbanyak berasal dari Sleman (n=26) dan Kota Yogyakarta (n=26). Jumlah partisipan penelitian ini kurang tersebar secara merata yang ditunjukkan dengan partisipasi guru dari Gunung Kidul hanya dua (2) orang. Persebaran partisipan berdasarkan wilayah dapat dilihat pada Bagan 1. Apabila melihat persebaran partisipan berdasarkan kelas yang diampu (Bagan 2), partisipan terbanyak adalah guru kelas 2 (n=16) dan partisipan yang paling sedikit terlibat dalam penelitian adalah guru kelas 1 (n=9). Berdasarkan kelas dan wilayah sekolah, distribusi partisipan menunjukkan bahwa data penelitian ini sangat bervariasi (Tabel 3).

Skor persepsi guru terhadap inklusi berkisar antara 30 hingga 54 dengan rata-rata sebesar 40,7808 (lihat Tabel 6). Dilihat dari kategori, persepsi tinggi terdapat 5 orang, sedang 60 orang, dan rendah 8 orang (lihat Tabel 2). Hasil uji homogenitas ini dapat dikatakan bahwa partisipan memiliki persepsi yang beragam terkait pendidikan inklusi. Variasi data dapat dilihat dari skor varians pada data persepsi sebesar 13,785 yang menunjukan data yang cukup bervariasi. Hasil analisis Levene test (tabel 4 dan 5) juga menunjukkan adanya variasi persepsi guru berdasarkan wilayah (Sig.=0,002, p<0,000) dan berdasarkan kelas yang diampu (Sig.=0.005, p<0.000). Data persepsi guru juga tidak memenuhi uji normalitas yang dapat ditunjukkan melalui Kolmogorov-Smirnov test berdasarkan kelas yang diampu (Asymp. Sig. (2-tailed)=0.037, p<0.000) dan wilayah (Asymp. Sig. (2-tailed)=0.000, p=0.000) (lihat Tabel 3). Hasil analisis menandakan bahwa data dari partisipan terdapat adanya nilai

yang mengumpul di tengah atau berkisar pada nilai rata-rata. Data yang cenderung mengumpul berkisar pada nilai rata-rata juga dapat diketahui melalui distribusi partisipan yang mayoritas peserta memiliki persepsi kategori sedang terhadap sistem pembelajaran inklusi (lihat Tabel 4).

Persepsi guru terhadap sistem pembelajaran inklusi apabila dibandingkan berdasarkan wilayah sekolah tidak menunjukkan adanya perbedaan persepsi (lihat Tabel 7). Hasil Anova menunjukkan skor signifikansi sebesar 0.145 (p>0.005) dengan F sebesar 1.769. Secara lebih rinci, Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata persepsi guru setiap wilayah tidak berbeda jauh. Rata-rata persepsi terendah ditunjukkan pada guru di wilayah Gunung Kidul namun partisipan dari wilayah ini paling sedikit (n=2). Apabila dilihat dari kelas yang diampu (tabel 8), persepsi guru menunjukkan adanya perbedaan (Sig.=0.045, p<0.05, F=2.417).

PEMBAHASAN

Persepsi guru terhadap sistem pembelajaran inklusi menjadi salah satu topik yang banyak dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi guru terhadap sistem Pendidikan inklusi di sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas guru yang menjadi partisipan penelitian ini menunjukkan persepsi kategori sedang, sementara ada beberapa guru yang memiliki persepsi tinggi maupun kurang. Hasil ini dapat diartikan bahwa rata-rata guru yang menjadi partisipan memiliki cara pandang yang cukup terhadap sistem pendidikan inklusi yang saat ini berjalan di sekolah dasar. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang diperoleh hasil bahwa para guru juga memiliki sikap yang positif untuk mengintegrasikan kelas untuk pembelajaran yang inklusif (Mngo & Mngo, 2018). Meskipun demikian, masih perlu ditinjau kembali wilayah dimana guru yang memiliki persepsi kurang untuk dapat ditelaah secara detil faktor-faktor penilaian kurang tersebut dalam penelitian selanjutnya.

Sarwono (2003) menyebutkan bahwa salah satu aspek yang membedakan persepsi dengan kemampuan berpikir adalah bahwa persepsi dapat berkembang kearah tertentu. Persepsi guru dalam penelitian ini lebih netral namun hal ini masih dapat berubah seiring dengan perkembangan sistem inklusi di sekolah. Maka penting untuk mengevaluasi sistem Pendidikan inklusi dan persepsi guru secara berkala sehingga akan tampak bagaimana arah perkembangan sistem Pendidikan inklusi.

Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada perbedaan persepsi antara guru yang berkarya di wilayah Sleman, Kota Yogyakarta, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Hal ini berarti guru yang bekerja di wilayah kota tidak berarti memiliki persepsi yang lebih dibandingkan guru yang bekerja di wilayah Kabupaten, serta rata-rata memiliki persepsi yang cukup terkait sistem pendidikan inklusi. Penelitian ini masih terbatas jumlah dan wilayah yang dipilih serta belum meratanya partisipan yang diambil dari setiap wilayah sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat memperluas cakupan partisipan dan pembahasan yang lebih mendalam untuk dapat mengetahui persepsi guru secara mendalam.

KESIMPULAN

Persepsi guru terhadap sistem pembelajaran inklusi sebagian besar berada pada kategori sedang. Kategori ini dapat dikatakan bahwa guru memiliki persepsi yang netral. Artinya, guru memiliki persepsi yang tidak berpihak dan mayoritas memiliki persepsi yang cukup terhadap sistem pendidikan inklusi di Yogyakarta. Meskipun demikian, perlu ada penelitian lanjutan yang mengkaji topik ini secara mendalam dengan jumlah partisipan yang lebih banyak dan perbandingan merata pada setiap wilayah sehingga dapat ditemukan hasil yang lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Elisa, Syafrida dan Wrastari, Eryani Tri .(2013). Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau dari Faktor Pembentuk Sikap. Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan. Vol. 2 No. 1, Februari 2013

Effendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta. Bumi Aksara.

Fajrillah., Mashadi., Zakiah., Nurjasmi., Jannah, M. Persepsi Guru Terhadap Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Piddie Jaya. Jurnal Geuthee. Vol. 01 No.01 tahun 2018. https://doi.org/10.52626/jg.v1i1.3

Fitrianasari, Hanik. (2015). Persepsi Guru Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Sesuai Latar Belakang Pendidikan Di Kabupaten Blitar. Jurnal Pendidikan Khusus Universitas Negeri Surabaya. Vol. 7 No. 2 tahun 2015

Forlin, C., Earle, C., Loreman, T., & Sharma, U. (2011). The sentiments, attitudes, and concerns about inclusive education revised (SACIE-R) scale for measuring preservice teachers’ perceptions about inclusion. Exceptionality Education International, 21(3), 50–65.

Retrieved from https://ir.lib.uwo.ca/eei/vol21/iss3/5

Juma, S., Lehtomäki, E., & Naukkarinen, A. (2017). Developing inclusive pre- service and in-service teacher education: Insight from Zanzibar primary school teachers.

International Journal of Whole Schooling, 13(3), 67– 87.                 Retrieved                 from

http://eric.ed.gov/PDFS/EJ854544.pdf

Kourkoutas, E., Stavrou, P. D., & Loizidou, N. (2017). Exploring teachers views on including children with special educational needs in Greece: Implication for inclusive counseling. American Journal of Educational     Research,     5(2),     124–130.

https://doi.org/10.12691/education-5-2-3

Lukitasari, S. W., Sulasmono, B. S., & Iriani, A. (2017). Evaluasi implementasi kebijakan inklusi. Jurnal Manajemen     Pendidikan,     4(2),     121-134.

https://doi.org/10.24246/j.jk.2017.v4.i2.p121-134

McGhie-Richmond, D., Irvine, A., Loreman, T., Cizman, J. L., & Lupart, J. (2013). Teacher perspectives on

inclusive education in rural Alberta, Canada. Canadian Journal of Education, 36(1), 195–239.

Mngo, Z. Y., & Mngo, A. Y. (2018). Teachers’ perceptions of inclusion in a pilot inclusive education program: Implications for instructional leadership. Education Research  International,                      2018.

https://doi.org/10.1155/2018/3524879

Sugiyono. (2019). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Alfabeta.

Oktadiana, R., & Wardana, A. (2019). The implementation of inclusive education policy for disabled student in Indonesia. Advances in Social Science, Education and Humanities Research,  296(Icsie  2018),  47–50.

https://doi.org/10.2991/icsie-18.2019.9

Saloviita, T. (2020). Attitudes of teachers towards inclusive education in Finland. Scandinavian Journal of Educational     Research,     64(2),     270–282.

https://doi.org/10.1080/00313831.2018.1541819

Sarwono, S. W. (2003). Teori-teori psikologi sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sunardi, Yusuf, M., Gunarhadi, Priyono, & Yeager, J. L. (2011). The implementation of inclusive education for students with special needs inIndonesia. Exellence in Higher Education, 2,1–10.

LAMPIRAN

Tabel 1

Kisi-kisi instrumen penelitian

Aspek pengukuran

Nomor aitem

Sentimen (sentiment)

1, 2, 3, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 13

Sikap (attitudes)

6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15

Perhatian/minat (concerns)

5, 6, 11, 12, 13, 14, 15

Tabel 2

Kategori data persepsi guru terhadap sistem pembelajaran inklusi

Kategori

Rumus kategori

Interval

Frekuensi

Rendah

X < M – 1SD

30 – 37

8

Sedang

M – 1SD ≤ X < M + 1SD

38 – 45

60

Tinggi

M + 1SD ≤ X

46 – 54

5

Total

73

Tabel 3

Uji normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

kelas yang diampu

wilayah sekolah

N

73

73

Normal Parametersa

Mean

3.60

2.27

Std. Deviation

1.730

1.336

Most Extreme Differences

Absolute

.165

.294

Positive

.165

.294

Negative

-.147

-.170

Kolmogorov-Smirnov Z

1.413

2.508

Asymp. Sig. (2-tailed)

.037

.000

a. Test distribution is Normal.

Tabel 4

Uji homogenitas persepsi guru berdasarkan wilayah sekolah Test of Homogeneity of Variances

total

Levene Statistic

df1

df2

Sig.

4.576

4

68

.002

Tabel 5

Uji homogenitas persepsi guru berdasarkan kelas yang diampu

Test of Homogeneity of Variances

total

Levene Statistic

df1

df2

Sig.

3.687

5

67

.005

Tabel 6

Analisis deskriptif

Descriptive Statistics

N

Range

Min.

Max.

Mean

Std. Dev. Variance

Skewness         Kurtosis

Statistic

Statistic

Statistic

Statistic

Statistic

Statistic

Statistic

Statistic Std. Error Statistic Std. Error

kelas yang diampu

73

5

1

6

3.60

1.730

2.993

.029      .281  -1.347      .555

wilayah sekolah

73

4

1

5

2.27

1.336

1.785

.808      .281   -.685      .555

Persepsi guru

73

24.00

30.00

54.00

40.7808

3.71277

13.785

.523      .281   3.045      .555

Valid N (listwise)

73

Tabel 7

Analisis perbedaan persepsi berdasarkan wilayah sekolah

ANOVA

total

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

93.544

4

23.386

1.769

.145

Within Groups

898.949

68

13.220

Total

992.493

72

Tabel 8

Analisis perbedaan persepsi berdasarkan kelas yang diampu

ANOVA

total

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

151.675

5

30.335

2.417

.045

Within Groups

840.818

67

12.550

Total

992.493

72

Bagan 1

Jumlah partisipan berdasarkan wilayah


18


Bagan 2

Jumlah partisipan berdasarkan kelas yang diampu



147