Pelatihan Komunikasi untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Pembina Panti Asuhan
on
Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.2, 17-22
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2021.v08.i02.p03
Pelatihan komunikasi untuk meningkatkan kemampuan komunikasi Pembina Panti Asuhan
B. Primandini Yunanda Harumi, Endang Retno Surjaningrum, dan Ni Made Ari Wilani
Program Studi Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga [email protected]
Abstrak
Komunikasi adalah proses penyampaian dan menerima pesan yang dilakukan dengan orang lain. Permasalahan komunikasi dapat muncul bahkan antara orang dewasa dan remaja dalam lingkungan panti asuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan komunikasi dalam meningkatkan kemampuan komunikasi pada pembina panti asuhan. Metode penelitian dilakukan secara pra-eksperimen dengan one group pretest-posttest design atau menggunakan satu kelompok yang diberikan perlakuan. Subjek penelitian adalah 7 orang pembina yang berinteraksi dengan remaja di sebuah panti asuhan di Bali. Pengukuran dilakukan dengan observasi yang disusun berdasarkan indikator perilaku komunikasi berdasarkan aspek komunikasi DeVito (2016) dan wawancara untuk evaluasi dan tindak lanjut. Pelatihan diberikan selama 2 hari. Analisis statistik menggunakan Wilcoxon signed rank test menunjukkan koefisien Z sebesar -2,384 dan signifikansi sebesar 0,017. Hasil menunjukkan bahwa pelatihan komunikasi yang diberikan efektif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi pembina panti asuhan.
Kata kunci: pelatihan komunikasi, pembina, panti asuhan, remaja
Abstract
Communication is a process of delivering and receiving messages. Communication problem can arise between adults and adolescents in a foster house. This study aims to determine the effect of communication training to increase educators’ communication skill in a foster house. This study used pre-experimental design method with one group pretest-posttest design where only one group given treatment. The research sample was 7 educators who interacts with adolescents in a foster house in Bali. Measurements use observation based indikator for communication aspects of DeVito (2016) and interview to evaluate and follow up after the communcation training ended. The training was given for 2 days. Statistical analysis using the Wilcoxon signed rank test showed Z coefficient of -2,384 and significance of 0.017. The results show that communication training is effective to increasing communication skill of foster house’s educators.
Keywords: adolescents, communication, foster house, training; educators
LATAR BELAKANG
Panti asuhan adalah salah satu bentuk lembaga pengasuhan anak-anak yang hidup terpisah dari keluarga biologis dengan berbagai alasan, seperti berasal dari keluarga kurang mampu dan menjadi anak yatim atau piatu. Berbagai jenis panti asuhan dapat ditemui beserta konsep keluarga yang dimilikinya masing-masing, baik yang bertujuan untuk pengasuhan anak dan remaja dan rehabilitasi seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 106/HUK/2009. Pada dasarnya, panti asuhan dijalankan oleh sekelompok orang yang memiliki tugas fungsional, diantaranya seperti pengasuh, fasilitator, dan penanggung jawab panti asuhan yang berupaya untuk memenuhi hak-hak anak dalam pengasuhan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan yang dilakukan di lingkungan panti asuhan dapat membentuk kepribadian anak, menciptakan rasa percaya diri, dan moral (Fitriani, 2017; Rajabany, 2015; Syawal & Sailan, 2015).Pembentukan kepribadian, percaya diri, dan moral tersebut tidak terlepas dari adanya interaksi anak-anak asuh dengan pihak yang mengasuh dalam panti asuhan. Interaksi yang baik dapat membentuk rasa percaya anak-anak asuh dengan pengasuhnya, sehingga interaksi akan berjalan dengan baik dan terarah. Salah satu kendala dan tantangan dalam interaksi di panti asuhan adalah cara mengelola hubungan antara anak asuh, para pengasuh, maupun pihak-pihak terkait pengasuhan (Piel dkk., 2016).
Hambatan juga ditemui ketika berhubungan dengan anak asuh yang beranjak remaja, seperti yang ditemukan Rahmah dkk. (2016) tentang proses adaptasi ketika menjalin hubungan dengan anak asuh lain, tidak mendengarkan pengasuh, dan sulit untuk menjalin hubungan yang dekat atau harmonis dengan pengasuh maupun anak asuh lainnya.
Asesmen bertingkat dengan pendekatan ekologi Urie Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2011) dilakukan untuk mendalami permasalahan komunikasi pada sebuah panti asuhan di Bali. Asesmen dilakukan dengan wawancara kepada pembina, ketua panti asuhan, dan remaja di panti asuhan, serta studi literatur berupa laporan kegiatan yang pernah dilakukan di panti asuhan. Hasil identifikasi asesmen bertingkat dapat dilihat pada Gambar 1 (terlampir).
Hasil identifikasi menunjukkan pembina atau educator panti asuhan memiliki peran yang besar dalam pengasuhan anak dan remaja di panti asuhan. Hal ini berhubungan dengan tanggung jawab pada tiap program pengasuhan anak yang dimiliki panti asuhan serta perannya sebagai orangtua yang mendampingi anak atau remaja asuh.
Simpulan hasil asesmen menunjukkan adanya batasan antara pembina dan remaja yang diasuh dalam menyampaikan suatu pendapat atau pemikiran. Remaja asuh ditemukan enggan untuk menyampaikan masalah atau kebutuhannya, di sisi lain, pembina kurang mengetahui pendekatan, cara menyampaikan kekhawatirannya, dan menempatkan dirinya ketika berkomunikasi dengan remaja. Dampaknya remaja merasa takut dan malu untuk menceritakan karena merasa apa yang dialami tidak dapat
dipahami dan tidak didengarkan meskipun pembina sudah mencoba untuk mengajak bicara.
Komunikasi yang tidak baik antara anak asuh dengan pengasuhnya berdampak pada kurangnya rasa saling terikat yang dapat berpengaruh pada ketidakmampuan untuk mengambil keputusan dan pengembangan diri setelah keluar dari panti asuhan (Scannapieco dkk., 2007 dalam Jones & Morris, 2012). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, komunikasi dapat dikembangkan salah satunya melalui pelatihan. Pelatihan dapat diberikan sebagai bentuk intervensi pengasuh asuhan yang bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi dalam mengasuh dan memahami anak-anak asuh (Dorsey dkk., 2008). Pelatihan komunikasi kepada orangtua asuh ditemukan berpengaruh pada meningkatnya kemampuan komunikasi dan kemampuan menyelesaikan masalah (Cobb, Leitenberg & Burchard dalam Dorsey dkk., 2008).
Pelatihan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah outbound yang diberikan kepada pembina sebagai orangtua dari remaja yang diasuh. Outbound merupakan suatu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan pengalaman pada proses belajar yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat meningkatkan kemampuan personal dan sosial (Yasim dkk., 2014).
Pelatihan yang dilakukan melalui outbound berfungsi untuk belajar berdasarkan pengalaman atau yang disebut experiential learning. Experiential learning merupakan proses membentuk suatu pengetahuan melalui pengalaman. Kolb (2015) menyebutkan pembentukan hasil belajar dapat melalui empat tahap, seperti concrete experience atau mengalami pengalaman secara langsung, reflective observation atau merefleksikan pengalaman, abstract conceptualisation atau memikirkan konsep baru, memodifikasi, atau berpikir ulang mengenai konsep yang telah diketahui sebelumnya, serta active experimentation yaitu merencanakan atau mencoba menerapkan apa yang telah diperoleh. Melalui suatu pelatihan dengan menerapkan konsep outbound serta dengan adanya pengalaman langsung yang didapatkan bersamaan dengan proses belajar, individu yang terlibat dapat lebih mudah memahami makna dari pengalaman tersebut (Ancok, 2007). Outbound dapat dilakukan dengan serangkaian kegiatan penyampaian psikoedukasi dan diskusi, permainan, hingga debrief untuk menekankan pemahaman dan pengalaman individu memaknai cara dan aplikasi komunikasi dalam setting permainan.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pelatihan kemampuan komunikasi kepada pembina yang mengasuh anak berusia remaja. Hipotesis yang diajukan adalah pelatihan komunikasi efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pembina.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen dengan one group pretest-posttest design. Partisipan penelitian ini adalah pembina panti asuhan yang berjumlah tujuh orang. Pembina adalah individu-individu yang memiliki interaksi langsung dengan remaja di panti asuhan yang bersedia untuk
mengikuti rangkaian kegiatan pelatihan. Penelitian
dilakukan di sebuah panti asuhan di Bali.
Perlakuan eksperimen berupa pelatihan berupa outbound dengan tema “Connecting to Adolescent Through Communication” yang dilaksanakan dalam 2 hari. Pelatihan outbound meliputi psikoedukasi dan diskusi dalam sesi penyampaian materi, serta permainan dan debrief sebagai implementasi pengalaman yang diperoleh. Materi pelatihan dirancang berdasarkan teori perkembangan remaja (Desmita, 2016; J. Santrock, 2011; Sarwono, 2015), komunikasi yang efektif dan berkualitas (De Vito, 2016; Morreale dkk., 2007), dan komunikasi dengan anak (Jacobson, 2014; Zolten & Long, 2006). Tujuan dari masing-masing kegiatan
dijelaskan pada Tabel 1 (terlampir).
Pengukuran efektivitas pelatihan menggunakan observasi berdasarkan aspek komunikasi De Vito, (2016) yang dirancang oleh peneliti dan wawancara kepada pembina. Observasi dilakukan pada simulasi kasus mengenai hambatan komunikasi dengan remaja yang diberikan sebelum dan sesudah pelatihan. Observasi dilakukan oleh empat orang observer yang berlatar belakang pendidikan psikologi dan memiliki pengalaman dalam melakukan observasi. Seorang observer melakukan observasi pada simulasi kasus yang dilakukan oleh satu orang orang partisipan dan mencatat respon yang dimunculkan selama simulasi kasus dilakukan.
Indikator komunikasi yang diobservasi berupa: 1)
Keterbukaan, yaitu kesediaan untuk melakukan komunikasi, mendengarkan, serta memberi respon sesuai dengan komunikasi yang dilakukan; 2) Empati dan ekspresif, yaitu merasakan dan memahami perasaan lawan bicara yang dapat disampaikan melalui emosi atau respon verbal maupun nonverbal; 3) Mendukung, yaitu memberikan lawan bicara untuk menyampaikan pemikiran atau perasaannya tanpa penilaian negatif atau pun memotong pembicaraannya; dan 4) Kesetaraan, yaitu melepaskan kedudukan atau superioritas yang dikhawatirkan dapat menekan lawan bicara. Indikator komunikasi yang diamati disajikan dalam lembar observasi berupa checklist dengan memberikan tanda centang pada indikator komunikasi yang muncul. Observasi yang dilakukan bertujuan untuk mengukur perbedaan perilaku komunikasi pembina sebelum dan sesudah pelatihan dilakukan. Data hasil observasi dicatat dan dianalisis secara statistik dengan analisis nonparametrik Wilcoxon Signed Ranks pada SPSS. Analisis nonparametrik dilakukan karena terbatasnya jumlah partisipan yang terlibat dalam penelitian.
Wawancara kepada pembina dilakukan untuk mengetahui efek pelatihan terhadap pola komunikasi pembina dengan remaja asuh yang dilakukan. Wawancara yang dilakukan pada akhir pelatihan bertujuan untuk evaluasi kegiatan yang sudah dijalani dan manfaat yang diperoleh selama mengikuti pelatihan. Wawancara pada sesi tindak lanjut dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana pemahaman dan penerapan hasil pelatihan, serta dampak pada penerapan pada hambatan komunikasi yang dimiliki. Tindak lanjut atau follow up dilakukan satu bulan seusai pelatihan berakhir.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data yang diperoleh, partisipan berjumlah 7 orang yang terdiri atas 4 orang pembina laki-laki dan 3 orang pembina perempuan dengan karakteristik yang dapat dilihat pada Tabel 2 (terlampir). Seluruh partisipan diketahui memiliki interaksi dan komunikasi secara langsung dengan remaja asuh. Hasil analisis statistik aspek komunikasi yang diamati dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 (terlampir).
Secara umum, hasil pengukuran menunjukkan perubahan skor komunikasi berdasarkan perilaku yang diamati. Tabel 3 menjelaskan menunjukkan adanya perubahan secara statistik yang ditunjukkan pembina, yaitu skor skor 0 pada negative ranks dan skor 7 pada positive ranks. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penurunan skor kemampuan komunikasi dari pretest ke posttest yang ditunjukkan oleh 7 partisipan. Rata-rata partisipan mengalami peningkatan sebesar 4,00 poin dengan total peningkatan yang diperoleh seluruh partisipan adalah 28,00 poin.
Tabel 4 menyajikan rata-rata skor dan standar deviasi kemampuan komunikasi saat pretest dan posttest yang menjelaskan bahwa terdapat peningkatan rata-rata skor yang diperoleh pada saat posttest. Selanjutnya dapat diketahui hasil analisis dengan Wilcoxon signed rank menunjukkan adanya perbedaan mean sebelum pelatihan (6,14) yang lebih rendah jika dibandingkan mean setelah pelatihan (8,71). Taraf signifikansi menunjukkan 0,017 yang mana lebih kecil dari 0,05. Hal ini menjelaskan adanya perbedaan signifikan terkait kemampuan komunikasi partisipan sebelum dan sesudah diberikan pelatihan sehingga dapat disimpulkan bahwa rangkaian pelatihan yang diberikan efektif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi partisipan. Dengan begitu, hipotesis yang diajukan, yaitu pelatihan komunikasi efektif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi pembina dapat diterima.
Hasil wawancara pada akhir pelatihan yang disampaikan berupa adanya pemahaman baru yang didapatkan pembina dalam melakukan komunikasi dengan remaja, serta memahami komunikasi memiliki tujuan dan caranya masing-masing. Para pembina menyampaikan harapannya agar apa yang diperoleh dapat diterapkan dan diterima oleh remaja asuh. Evaluasi terkait pelaksanaan kegiatan yang disampaikan berupa pelatihan dinilai fleksibel, dapat sesuai dengan kebutuhan dan waktu yang dimiliki pembina. Kekurangannya adalah beberapa topik yang disampaikan saat penyampaian materi tidak ditemukan dalam materi yang didapatkan pembina, namun dinilai bukan permasalahan yang berarti.
Hasil wawancara pada tindak lanjut yang dilakukan satu bulan setelah intervensi berakhir menunjukkan adanya penerapan hasil pelatihan dan perubahan respon komunikasi yang ditunjukkan remaja asuh. Diketahui pembina mencoba menerapkan bentuk komunikasi yang didapatkan saat pelatihan. Beberapa pembina tersebut menyampaikan remaja yang diasuhnya menunjukkan mulai mencari pembina untuk menceritakan keluhannya. Selain itu remaja asuh yang dianggap bermasalah, mulai bersedia
menceritakan apa yang membuatnya melakukan suatu hal meskipun masih secara perlahan. Adapun kondisi itu dianggap suatu perkembangan mengingat remaja asuh tersebut sebelumnya sulit untuk dapat menceritakan permasalahannya.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil asesmen ekologi di sebuah panti asuhan di Bali yang menunjukkan adanya permasalahan komunikasi antara pembina dengan anak asuh yang berusia remaja. Permasalahan tersebut diantaranya kurang mampu menempatkan diri saat berinteraksi dengan remaja dan cara menyampaikan suatu hal dengan cara yang kurang dapat diterima oleh remaja asuh. Ketidakmampuan orangtua menempatkan diri saat berkomunikasi dapat mengurangi persepsi remaja terhadap penerimaan komunikasi, afeksi, dan keterbukaan dengan orangtua karena adanya afeksi yang muncul dapat memengaruhi respon saat berkomunikasi (Dailey, 2016; Hansley, 1996 dalam De Vito (2016)
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa experiential learning dapat dilakukan dalam berbagai konteks pembelajaran. Tidak hanya di dalam kelas, tapi juga dalam lingkup organisasi maupun komunitas, serta dapat diterapkan berbagai usia, termasuk dewasa (Kolb, 2015).
Hasil penelitian mengindikasikan rangkaian kegiatan berupa psikoedukasi, diskusi, permainan, dan debrief secara bersama-sama meningkatkan kemampuan komunikasi pembina panti asuhan kepada remaja. Menurut Lukens (2015) psikoedukasi mampu meningkatkan pengetahuan untuk menghadapi permasalahan atau kendala yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses berpikir dalam diskusi yang terjadi, bermanfaat untuk memperoleh pengetahuan, perubahan sikap, berkembangnya nilai-nilai, hingga meningkatnya kemampuan sosial karena adanya proses menyelesaikan persoalan yang dialami di dalamnya (Maryani dkk., 2018). Dengan demikian, evaluasi pada kemampuan dan keadaan akan lebih mudah dilakukan.
Kegiatan permainan dalam outbound beserta debrief berperan dalam mengubah perilaku komunikasi. Pemberian permainan dalam outbound merupakan media implementasi materi psikoedukasi melalui simulasi langsung bersama remaja. Outbound adalah kegiatan yang berfungsi sebagai gambaran atau simulasi kehidupan sehari-hari melalui pengalaman dan proses belajar (Ancok, 2007). Proses debrief yang dilakukan dapat menjadi penting dalam experiential learning karena proses diskusi yang dilakukan dapat membantu partisipan menganalisis pengalaman yang diperoleh selama pelatihan dilakukan (Deason dkk., 2013).
Sebagai proses refleksi, debrief juga dapat mengevaluasi kemampuan yang dilatih, sehingga partisipan mampu mengintegrasi proses belajar yang diperoleh dalam kesadaran untuk diterapkan dalam kesehariannya (Allen dkk., 2018). Lebih lanjut, implementasi kegiatan outbound dapat lebih dipahami maknanya melalui proses debrief berupa diskusi dan membantu partisipan untuk menemukan kekuatan, kekurangan, kesalahan, hingga menemukan solusi
berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh (Crowe dkk., 2017 dalam Allen dkk., 2018). Pengaruh pelatihan dapat diterapkan dalam interaksi sehari-hari pembina dan remaja yang dilaporkan pada evaluasi dan tindak lanjut yang dilakukan satu bulan setelah pelatihan diberikan, seperti menunjukkan kesediaan untuk mendengarkan. Hal ini memengaruhi keterbukaan anak asuh untuk mulai mencari dan menceritakan secara perlahan permasalahan yang dialami. Keterbukaan dan kesediaan untuk mendengarkan dapat menghilangkan rasa takut untuk berbicara, sehingga dapat memberikan kesempatan untuk menyampaikan suatu hal tanpa adanya evaluasi dari orang lain (De Vito, 2016).
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu pemateri yang dapat fleksibel terhadap jalannya psikoedukasi, yaitu memberikan kesempatan kepada partisipan untuk bertanya atau berdiskusi saat penyampaian materi berlangsung, sehingga partisipan dapat terlibat secara aktif dalam proses diskusi dan evaluasi. Selain itu, materi yang disampaikan mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan partisipan. Meski begitu, penelitian yang dilakukan tanpa kelompok pembanding menjadi kelemahan karena perubahan yang terjadi tidak dapat disimpulkan sebagai hasil perlakuan semata.
Kekurangan dalam penelitian ini, yaitu masih terbatasnya sistem yang dilibatkan dalam pelatihan. Hasil identifikasi menunjukkan adanya berbagai pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak dan remaja dalam panti asuhan, namun penelitian ini lebih menaruh perhatian pada pembina sebagai kelompok yang memegang pengaruh dalam pengasuhan melalui komunikasi. Penelitian yang dilakukan (Eriksson dkk (2018) menjelaskan bahwa pendekatan ekologi Bronfebrenner menekankan pada interaksi di dalam dan antar sistem, sehingga dapat membantu dalam menentukan dan menangani suatu permasalahan lebih menyeluruh.
Simpulan yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah pelatihan kemampuan komunikasi efektif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi pembina untuk melakukan komunikasi dengan anak asuh berusia remaja. Berdasarkan hasil pengukuran, didapatkan peningkatan skor kemampuan komunikasi partisipan yang teramati sebelum dan sesudah pelatihan diberikan. Berdasarkan hasil evaluasi dan tindak lanjut, ditemukan adanya penerapan pelatihan komunikasi oleh partisipan dan berdampak pada keterbukaan anak asuh untuk mulai menyampaikan permasalahannya. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pelatihan komunikasi yang diberikan dapat menambah pengetahuan mengenai cara komunikasi dan memiliki efek pada respon anak asuh yang berusia remaja.
Saran yang dapat disampaikan terkait penelitian ini, yaitu perlu lebih banyak pihak yang dapat dilibatkan dalam menangani pengasuhan anak dan remaja dengan karena kehidupan anak dan remaja tidak hanya meliputi dirinya sendiri. Selain itu, proses asesmen yang bertujuan untuk menggali informasi mengenai anak atau remaja akan lebih baik dilakukan kepada banyak sumber agar informasi yang diperoleh dapat lebih kaya. Evaluasi berkala dirasa penting untuk mengetahui kemajuan atau kemunduran efek pelatihan, terutama saat menerapkan konsep sistem ekologi
sebagai pendekatan. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan dapat mempertimbangkan adanya kelompok kontrol untuk membandingkan hasil atau perubahan perilaku partisipan dari suatu penelitian eksperimen.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, A. J., Reiter-Palmon, R., Crowe, J., & Scott, C. (2018). Debriefs: Teams Learning From Doing in Context. American Psychologist, 73(4), 504–516.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1037/amp0000246
Ancok, D. (2007). Outbound Management Training. UI Press.
Dailey, R. M. (2016). Parent-Adolescent Communication. In C. R.
Berger & M. E. Roloff (Eds.), The International Encyclopedia of Interpersonal Communication, 1st Edition. John Wiley & Sons.
De Vito, J. A. (2016). The Interpersonal Communication Book. Pearson Education.
Deason, E. E., Efron, Y., Howell, R., & Kaufman, S. (2013). Debriefing the Debrief. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2251940
Desmita. (2016). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Rosda Karya.
Dorsey, S., Farmer, E. M. Z., Barth, R. P., Greene, K. M., Reid, J., & Landsverk, J. (2008). Current Status and Evidence Base of Training for Foster and Treatment Foster Parents. Children and Youth Services Review, 30(12), 1403–1416.
Eriksson, M., Ghazinour, M., & Hammarstorm, A. (2018). Different uses of Bronfenbrenner’s ecological theory in public mental health research: what is their value for guiding public mental health policy and practice? Social Theory & Health, 16, 414–433.
Fitriani, D. (2017). Peran Orang Tua Asuh Dalam Pembinaan Kepribadian Anak Asuh Di Panti Asuhan Darul Hadlanah Suruh Kabupaten Semarang Tahun 2017 [IAIN Salatiga]. http://e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2136/
Jacobson, T. (2014). Say This, Not That: Talking Tips for Parents of Teens with Special Needs.
Jones, A. M., & Morris, T. L. (2012). Psychological Adjustment of Children in Foster Care: Review and Implication for Best Practice. Journal of Public Child Welfare, 6, 129–148.
Kolb, D. A. (2015). Experiential Learning: Experience as the source of learning and development, secon edition. Pearson Education.
Lukens, E. (2015). Psychoeducation. In Oxford Bibliographies in Social Work.
https://doi.org/10.1093/obo/9780195389678-0224
Maryani, L., Wahyudin, M., & Sopiansah, V. A. (2018).
Improvement of Student Critical Thinking About Using Discussion Learning. KnE Social Sciences.
https://doi.org/10.18502/kss.v3i10.3187
Morreale, S. P., Spitzberg, B. H., & Barge, J. K. (2007). Human Communication: Motivation, Knowledge, and Skills 2nd Edition. Thomson Wadsworth.
Piel, M. H., Geiger, J. M., Julien-Chinn, F. J., & Lietz, C. A. (2016). An Ecological Systems Approach to Understanding Social Support in Foster Family Resilience. Child & Family Social Work, 22(2).
Rahmah, S., Asmidir, & Nurfahanah. (2016). Masalah-Masalah yang dialami Anak Panti Asuhan dalam Penyesuaian Diri dengan Lingkungan. Konselor, 3(3).
Rajabany, M. F. (2015). Pengasuh dengan Anak Asuh di Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah. Prosiding Penelitian SpeSIA 2015.
Santrock, J. (2011). Life-span Development. McGraw Hill.
Santrock, J. Q. (2011). Life-span Development 13th Edition.
McGraw Hill.
Sarwono, S. (2015). Psikologi Remaja. Raja Grafindo.
Syawal, A., & Sailan, M. (2015). Peranan Panti Asuhan dalam Pembentukan Moral Anak (Studi Pada Yayasan Panti Asuhan Bustanul Islamiyah, Kecamatan Panakukkang, Kota Makassar). JurnalTomalebbi.
Yasim, M. M., Aziz, A., Amin, M., & Taff, M. A. M. (2014). Outdoor educationL Its Relationships to Outdoor Recreation. Malaysian Journal of Sport, Recreational and Education, 1(1).
Zolten, K., & Long, N. (2006). Parent / Child Communication. Department of Pediatrics University of Arkansas.
B.P.Y. HARUMI, E.R. SURJANINGRUM, & N.M.A. WILANI LAMPIRAN
Gambar 1
Hasil Identifikasi Sistem Ekologi Pembina Panti Asuhan
Makrosisteiii
Eksosistem
Mesosistcm
Mikrosistem
Pembina
♦ Periiiidang-Undaiigan tentang hak asuh anak
* Visi. misi, program-program panti asuhan
> Tanggungjawab program kepada anak asuh:pendampingan. membantu, evaluasi
* Anak asuh, pimpinan, staf, keluarga kandung anak asuh
* Pengalaman, kemampuan, latar belakang
Tabel 1
Metode Pelatihan Komunikasi
Materi |
Tujuan |
Target Perilaku |
Understanding adolescent |
Partisipan memahami dinamika perkembangan dan hal yang mempengaruhi keterbukaan komunikasi remaja. |
permasalahan yang dialami remaja serta cara atau pendekatan yang dilakukan untuk membantu menyelesaikan permasalahan melalui komunikasi |
Basic communication |
Partisipan memahami komunikasi yang efektif dan berkualitas sehingga mampu untuk menerapkannya |
komunikasi yang dimiliki berdasarkan pendekatan komunikasi yang disampaikan
efektif untuk berkomunikasi dan pendekatan dengan remaja |
Comunicating with adolescent |
Partisipan mendapatkan gambaran komunikasi berdasarkan kondisi remaja dan mengevaluasi pola komunikasi yang diterapkan |
|
Permainan |
Partisipan mengimplementasikan materi komunikasi dalam permainan |
1. Partisipan mampu menunjukkan dan melakukan komunikasi yang efektif dengan remaja untuk menyelesaikan permainan |
Debrief |
Partisipan memahami makna dan penerapan dari komunikasi dalam interaksi sehari-hari |
komunikasi dalam interaksi dengan anak remaja
kesimpulan dari kegiatan yang dilalui terkait dengan komunikasi |
Tabel 2
Karakteristik Partisipan Penelitian
No. |
Inisial |
Jenis Kelamin |
Jabatan |
1 |
LPS |
Perempuan |
Staf operasional |
2 |
EDT |
Perempuan |
Pembina family strengthening program |
3 |
TB |
Perempuan |
Pembina family based care |
4 |
GR |
Laki-laki |
Pembina family based care |
5 |
DY |
Laki-laki |
Pembina family strengthening program |
6 |
NS |
Laki-laki |
Pembina family based care |
7 |
GHG |
Laki-laki |
Pembina family based care |
Tabel 3
Analisis Ranks Kemampuan Komunikasi Partisipan
N Mean Rank Sum of Rank | |
Posttest - Pretest |
Negative Ranks 0 .00 .00 Positive Ranks 7 4.00 28.00 Ties 0 Total 7 |
Tabel 4
Distribusi Skor dan Signifikansi Perubahan Kemampuan Komunikasi Partisipan
Pretest |
Posttest |
Pretest-Posttest | ||
Mean |
6.14 |
8.71 |
Z |
-2.384 |
SD |
2.545 |
.756 |
Asymp.Sig. (2-tailed) |
0.017 |
22
Discussion and feedback