Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.2, 48-57


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2021.v08.i02.p07

Gambaran self-disclosure pada perempuan pengguna aplikasi online dating Tinder di tengah Pandemi COVID-19

Firnandha Salsabila dan Putu Nugrahaeni Widiasavitri Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Perkembangan teknologi yang terjadi memungkinkan perempuan untuk mencari jodoh secara online. Salah satu aplikasi yang memungkinkan untuk mencari jodoh secara online adalah Tinder. Munculnya pandemi COVID-19 membuat terjadinya peningkatan pengguna Tinder dan peningkatan durasi percakapan. Peningkatan tersebut dilatarbelakangi oleh rasa bosan yang dirasakan selama pemberlakuan PSBB. Self-disclosure yang tepat perlu dilakukan agar komunikasi berjalan dengan lancar dan membangun hubungan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran selfdisclosure pada perempuan pengguna aplikasi online dating Tinder di tengah pandemi COVID-19 dengan menggunakan metode penelitian kualitatif pendekatan studi kasus. Responden pada penelitian ini adalah lima perempuan yang merupakan pengguna aktif aplikasi online dating Tinder di tengah pandemi COVID-19. Pengumpulan data menggunakan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-disclosure pada perempuan dapat terlihat melalui beberapa hal, yakni batasan yang dibuat saat melakukan komunikasi, faktor yang memengaruhi proses swiping dan informasi yang ditampilkan pada bio Tinder.

Kata kunci: COVID-19, perempuan, self-disclosure, Tinder.

Abstract

Technological developments have made it possible for women to find mates online. One application that makes it possible to find matches online is Tinder. The emergence of the COVID-19 pandemic has led to an increase in Tinder users and increased conversation duration. This increase was motivated by the boredom that was felt during the implementation of the PSBB. Proper self-disclosure is necessary so that communication runs smoothly and builds good relationships. This study aims to get an overview of self-disclosure among women users of online dating application Tinder during the COVID-19 pandemic by using a qualitative research method with a case study approach. In this study, respondents were five women who were active users of the Tinder online dating application during the COVID-19 pandemic. Data collection using interviews. The results showed that self-disclosure in women could be seen through several things: the limitations of communicating, the factors that influence the swiping process, and the Tinder bio's information.

Keywords: COVID19, self-disclosure, Tinder, women.

LATAR BELAKANG

Perkembangan zaman terus meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu perkembangan zaman yang terjadi adalah peningkatan dalam bidang teknologi. Peningkatan teknologi yang terjadi mampu mempermudah individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga aktivitas yang dilakukan dapat lebih cepat dan efisien. Internet menjadi salah satu perkembangan teknologi yang ada. Berdasarkan data terbaru We are Social, pada tahun 2020 terdapat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia, dimana jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya terdapat kenaikan meningkat sebesar 17% atau setara dengan 25 juta pengguna. Mengacu pada total populasi penduduk di Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, maka dapat diartikan 64% penduduk Indonesia telah mengakses internet (Haryanto, 2020). Adanya kemajuan dan peningkatan tersebut membuat individu tidak harus bertemu secara langsung dengan orang lain, karena banyaknya aplikasi di smartphone yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan komunikasi dengan orang lain secara online.

Saat ini dunia sedang digemparkan dengan munculnya virus baru, yakni coronavirus disease (COVID-19). Tanggal 31 Desember 2019, World Health Organization (WHO) mendapatkan pemberitahuan dari China tentang adanya sejenis pneumonia yang penyebabnya tidak diketahui (Baskara, 2020). Infeksi pernapasan akut tersebut terdeteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Menurut pihak berwenang, beberapa pasien adalah pedagang yang beroperasi di Pasar Ikan Huanan. Kemudian pada tanggal 2 Maret 2020, Pemerintah Indonesia mengumumkan terdapat dua kasus pasien positif COVID-19 di Indonesia. Sejak bulan Maret hingga bulan April, data grafik kasus konfirmasi positif COVID-19 semakin meningkat signifikan di wilayah Sumatera Utara, Bali, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara (Pranita, 2020). Menurut World Health Organization (2020), COVID-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh jenis Coronavirus yang baru ditemukan. Lebih lanjut WHO juga menjelaskan terkait cara terbaik untuk mencegah dan memperlambat penyebaran COVID-19 adalah dengan melindungi diri sendiri dengan cara rajin mencuci tangan dengan air mengalir atau menggunakan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) yang mengandung alkohol serta tidak menyentuh area wajah sebelum mencuci tangan dengan bersih.

Karena kasus positif COVID-19 belum menunjukkan perubahan yang signifikan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), dimana permenkes tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, dengan penjelasan lebih lanjut mengenai PSBB diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan

Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) (Sari, 2020).

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan pada kegiatan penduduk di suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19. Ruang lingkup PSBB sendiri mencakup diliburkannya sekolah dan tempat kerja, membatasi kegiatan keagamaan dan sosial budaya di tempat umum maupun fasilitas umum, moda transportasi, serta kegiatan lainnya yang berkaitan dengan aspek pertahanan dan keamanan (Dewi, 2020). Pemberlakuan PSBB menghimbau setiap masyarakat untuk tetap di rumah dan melakukan aktivitas di rumah. Akibatnya terjadi peningkatan penggunaan beberapa aplikasi pada smartphone, termasuk pada aplikasi online dating Tinder yang cukup signifikan selama diberlakukannya masa kebijakan pembatasan sosial (social distancing) untuk menekan penyebaran COVID-19. Peningkatan pengguna dan durasi percakapan di Tinder dipengaruhi oleh rasa bosan yang dialami individu saat pandemi COVID-19 dan pemberlakuan PSBB. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yan dkk (2020) menyebutkan bahwa stres yang dirasakan selama pandemi COVID-19 dapat diasosiasikan lebih banyak kepada tekanan emosional termasuk depresi, ketakutan, kecemasan, neurasthenia dan hipokondria. Selain itu, rasa bosan juga secara signifikan dan positif memediasi hubungan antara stres yang dirasakan dan tekanan emosional.

Karena adanya pemberlakuan PSBB yang membuat individu harus berada di rumah, Chaturvedi (2020) menyarankan agar individu meningkatkan penggunaan ponsel terutama penggunaan media sosial agar dapat tetap melakukan komunikasi dengan orang lain selama masa pandemi. Berdasarkan pemaparan tersebut, penggunaan Tinder selama pandemi dapat menjadi salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi rasa bosan saat pandemi COVID-19 dengan berkomunikasi dengan orang lain. Pengguna aplikasi Tinder di Indonesia meningkat dengan rata-rata 23%. Selain itu, rata-rata durasi percakapan meningkat 19% lebih lama. Data ini diambil mulai tanggal 20 Februari hingga 26 Maret 2020. (Wabah corona bikin aplikasi kencan online laris manis, 2020). Hasil penelitian Sagita dan Irwansyah (2021) menyebutkan bahwa responden merasa bosan dan kesepian selama pandemi COVID-19 yang membuat mereka harus tetap di rumah. Hal tersebut membuat mereka memutuskan untuk menggunakan aplikasi online dating untuk mengatasi rasa bosan dan kesepian selama pandemi.

Tinder merupakan salah satu aplikasi yang dapat diunduh melalui smartphone yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan hubungan secara online. Tinder pertama kali diciptakan oleh sekelompok mahasiswa di University of Southern California pada tahun 2012. Fitur pencarian yang digunakan di Tinder berbasis GPS, sehingga memungkinkan penggunanya mendapatkan kencan secara cepat dan singkat (Rifandy, 2020). Pencarian jodoh secara online di Tinder dapat dilakukan dengan swipe-left (usap kiri) pada layar smartphone jika pengguna kurang tertarik dengan orang tersebut dan melakukan swipe-right (usap kanan) pada layar

smartphone jika pengguna tertarik dan ingin berkenalan (Mustinda, 2020).

Meski aplikasi Tinder dianggap sebagai cara mengatasi rasa bosan saat pandemi COVID-19, Tinder juga memiliki sisi lain yang yang mungkin mengintai penggunanya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumter dkk (2016) dimana pengguna laki-laki memiliki motivasi tinggi dalam hubungan seksual dibandingkan pengguna perempuan. Selain itu, sebanyak 17% laki-laki menggunakan Tinder kearah hubungan seksual, dimana mereka mengatakan bahwa sudah pernah melakukan hubungan one night stand dengan perempuan yang ditemui di Tinder. Berdasarkan penjelasan tersebut, Tinder tetap menyimpan beberapa bahaya yang mungkin mengintai penggunanya, namun penggunanya tetap dapat secara selektif memilih informasi mana yang dapat diungkapkan saat menggunakan Tinder dan informasi mana yang tidak ingin diungkapkan. Hal tersebut dapat terjadi melalui adanya proses self-disclosure.

Pengungkapan diri atau self-disclosure merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi kepada orang lain. Informasi yang bersifat pribadi tersebut dapat berupa sikap atau opini, selera dan minat, pekerjaan atau pendidikan, fisik, keuangan, dan kepribadian (Jourard, 1971). Menurut Altman dan Taylor (1973), self-disclosure adalah kemampuan individu untuk mengungkapkan informasi diri kepada orang lain yang bertujuan untuk mencapai hubungan yang akrab. Menurut McGill (dalam DeVito, 2018) self-disclosure lebih memungkinkan terjadi secara sementara dibandingkan dengan hubungan yang permanen dan biasanya terjadi pada orang yang baru dikenal, dimana dalam penelitian ini yakni komunikasi antara pengguna Tinder. Self-disclosure dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya besar kelompok, perasaan menyukai, efek diadik, kompetensi, kepribadian, topik, dan jenis kelamin (DeVito, 2018). Jenis kelamin merupakan faktor yang paling memengaruhi proses self-disclosure. Jenis kelamin yang sudah melekat pada individu akan menghasilkan peran gender yang berisi tentang seperti apa seharusnya perilaku yang dimunculkan oleh pria dan wanita (Berry dkk., 1999). Menurut Jourard (1964), wanita juga sudah dibiasakan untuk mengungkapkan diri.

Menurut Lumsden dan Lumsden (1996), self-disclosure mampu membantu seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri, serta menjadikan hubungan lebih akrab. Menurut DeVito (2018), selfdisclosure atau pengungkapan diri juga diperlukan untuk membina hubungan yang bermakna di antara dua orang, karena tanpa self-disclosure, hubungan yang bermakna dan mendalam tidak dapat terjadi. Selain itu, berdasarkan penjelasan Calhoun dan Acocella (1995), self-disclosure dapat melepaskan perasaan bersalah dan cemas. Saat proses mengungkap diri, individu dapat menceritakan permasalahan yang dialami dan bisa mendapatkan tanggapan, informasi, saran, maupun dukungan dari orang lain (Gamayanti dkk., 2018). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa selfdisclosure akan lebih cepat dan dalam jika dilakukan secara online dibandingkan dengan tatap muka secara langsung (Ze’Ev, 2004). Mengetik pesan secara online kepada orang

lain sama seperti menulis buku harian. Individu dapat dengan bebas mengekspresikan pikirannya dan proses self-disclosure seperti itu tidak membuat individu tersebut rapuh. Keuntungan yang didapat individu dari hubungan online yakni pikiran atau pandangan dari individu akan dibaca oleh orang lain dan orang tersebut akan menawarkan kenyamanan atau saran jika individu menghadapi kesulitan (Ze’Ev, 2004). Namun untuk dapat melakukan self-disclosure, individu harus menyadari perasaan yang dirasakan maupun tanggapan batin lainnya (Supratiknya, 1995).

Responden dalam penelitian ini adalah perempuan dengan rentang usia 18-24 tahun dan merupakan pengguna aktif Tinder di tengah Pandemi COVID-19. Rentang usia 18-24 tahun dipilih peneliti berdasarkan data Global Web Index (GWI), dimana lebih dari 50% pengguna Tinder berada pada rentang usia 18-24 tahun (Dredge, 2015). Menurut tahapan perkembangan psikososial Erik Erikson, usia 18-24 termasuk ke dalam tahap intimacy vs isolation. Tahap ini memiliki rentang usia 18-35 tahun, dimana pada tahap ini individu merasa siap membangun dan mempelajari cara berinteraksi dengan individu lain secara lebih dalam. Jika individu tersebut mampu membangun hubungan yang kuat dengan orang lain, maka individu tersebut akan merasakan cinta dan kasih sayang, namun jika individu gagal membangun hubungan tersebut, maka akan merasakan kesepian (Erikson, 1993).

Berdasarkan studi pendahuluan terhadap tiga orang perempuan yang aktif menggunakan Tinder saat pandemi COVID-19, didapatkan bahwa responden YB yang berusia 22 tahun mengungkapkan bahwa dirinya mengunduh aplikasi Tinder pada pertengahan bulan April dan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Karena YB merasa bosan dan sedang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian mengharuskan YB untuk tetap berada di rumah, membuat YB memutuskan untuk mengunduh Tinder karena ingin melakukan sharing dengan orang lain. Saat YB match dengan laki-laki, biasanya YB tidak pernah memulai percakapan dengan laki-laki tersebut karena prinsip YB laki-laki lah yang harus memulai percakapan dengan perempuan. Namun saat sudah memulai chatting dengan laki-laki, YB mampu mengungkapkan informasi tentang dirinya kepada laki-laki yang menjadi lawan chattingnya (Salsabila, 2020).

Responden PP yang berusia 23 tahun menjelaskan bahwa dirinya mengunduh aplikasi Tinder karena merasa bosan. Namun PP merasa semenjak mengunduh Tinder dirinya mendapat banyak teman baru yang berasal dari daerah yang berbeda, sehingga menurut PP bermain Tinder sekaligus menambah relasi. Saat memulai chatting dengan laki-laki yang sudah match, biasanya PP mulai membuka diri jika topik pembicaraan yang sedang dibahas menarik. Jika sudah menarik, PP sudah bisa bercerita tentang sesuatu berdasarkan sudut pandangnya. Menurut PP jika hal tersebut sudah terjadi, antara PP dan lawan chatting akan mampu saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing dari mereka, dan lebih lanjut PP menjelaskan bahwa dirinya dan lawan chatting akan otomatis saling bercerita tentang kepribadian mereka karena adanya pandemi COVID-19. Sedangkan pada responden UA yang berusia 22 tahun, UA

menjelaskan bahwa dirinya mengunduh aplikasi Tinder karena merasa bosan. Jika UA match dengan laki-laki, UA merasa malu untuk memulai percakapan sehingga yang UA lakukan hanya menunggu. Saat melakukan percakapan, UA menjelaskan bahwa dirinya tidak terlalu terbuka dalam mengungkapkan informasi tentang dirinya kepada lawan chatting. UA memang membatasi dalam mengungkapkan informasi tentang dirinya, karena menurut UA masih terdapat laki-laki yang terlalu kaku saat chatting (Salsabila, 2020).

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk menggali data mengenai gambaran self-disclosure pada perempuan pengguna aplikasi online dating Tinder di tengah pandemi COVID-19. Menurut Yin (2002), pendekatan studi kasus dapat dipilih jika kasus tidak biasa atau unik. Data yang dikumpulkan juga berdasarkan periode, fenomena, dan konteks tertentu yang bertujuan untuk memberikan analisis tentang konteks dan proses yang berkaitan dengan kasus yang sedang diteliti (Hartley, 2004).

Responden

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling dengan menetapkan kriteria berupa perempuan dengan rentang usia 18-24 tahun yang aktif menggunakan aplikasi online dating Tinder selama pandemi COVID-19. Rentang usia 18-24 tahun dipilih peneliti berdasarkan data Global Web Index (GWI), dimana lebih dari 50% pengguna Tinder berada pada rentang usia 1824 tahun (Dredge, 2015). Responden dalam penelitian ini berjumlah lima orang perempuan berinisial YB, PP, AA, RM dan KH.

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara online. Wawancara secara online dilakukan melalui platform Whatsapp dan Line secara telepon dan pesan teks. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur degan menggunakan pedoman wawancara yang disusun peneliti mengacu pada teori selfdisclosure oleh DeVito.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah theoretical coding milik Strauss dan Corbin (2017) yang terbagi menjadi tiga tahap, yakni open coding, axial coding, dan selective coding.

HASIL PENELITIAN

Pengalaman Berpacaran Sebelum Menggunakan Tinder

Sebelum menggunakan Tinder, responden sempat menjalani hubungan berpacaran, dimana dibagi menjadi awal mula berpacaran dan saat bersama mantan pacar. Tiga dari lima responden memiliki pengalaman dalam berpacaran. Responden YB, AA, dan KH mengungkapkan bahwa pengalaman pertama responden berpacaran adalah saat

berada dibangku SMP. Sedangkan saat bersama mantan pacar tiga dari lima responden memiliki pengalaman tersendiri, dimana responden YB dan PP mengungkapkan bahwa mantan pacar mereka saat itu berselingkuh dengan perempuan lain. Sedangkan pada responden AA, menuturkan bahwa AA mendapat perlakukan tidak menyenangkan saat berpacaran dengan mantan pacarnya saat itu, yakni kekerasan verbal dan non verbal.

“sebenernya tuh awalnya kayak cuman verbal aja kan”

“terus aku bangun, dia bangun terus ditampar” Berdasarkan penuturan responden AA, setelah mendapat kekerasan secara non verbal, responden merasakan gemetar di tubuhnya yang merupakan efek dari kekerasan yang responden terima. Responden YB mengatakan bahwa saat SMP pernah berpacaran dengan tetangganya yang juga merupakan kakak kelas responden di sekolah. Responden kemudian mendapat informasi dari teman responden bahwa pacar responden saat itu berpacaran juga dengan teman responden.

“jadi tuh selama empat bulan dia selingkuh sama empat orang kak”

Alasan Menggunakan Tinder

Responden YB dan KH mengungkapkan bahwa alasan menggunakan Tinder karena adanya rasa bosan selama pandemi COVID-19. Responden PP mengungkapkan bahwa alasan menggunakan Tinder karena adanya rasa ingin membalas dendam terhadap mantan pacar yang berselingkuh.

“awal pertama mulanya iya itu, karena pengen

ngerasa kayak kamu bisa kenapa aku enggak?, tapi sebenernya aku cuma kayak manasin aja nggak aku seriusin enggan gitu”

Sedangkan pada responden AA dan RM mengungkapkan bahwa alasan menggunakan Tinder adalah adanya rasa ingin tahu terhadap Tinder.

“penasaran aja”

“iya itu pas pertama kali Tinder masuk Indonesia deh kayaknya SMA, nah terus itu aku download Tinder tapi nggak ada maksud apa-apa kayak aku cuma kepo aja nih aplikasi nya gimana, soalnya seinget aku dulu dating app tuh nggak ada”

Berdasarkan penuturan responden RM, dirinya merasa asing dengan adanya dating app dan kemudian memutuskan untuk mengunduk Tinder.

Pengalaman Menyenangkan dan Tidak Menyenangkan Saat Menggunakan Tinder

Pengalaman menyenangkan yang dialami responden YB saat menggunakan Tinder adalah mendapat informasi seputar lowongan pekerjaan.

“kadang aku juga sempet ditawarin kerjaan juga disana”

Sedangkan pengalaman menyenangkan yang dialami responden AA adalah mendapat informasi seputar perkuliahan. Pengalaman tidak menyenangkan yang dialami responden YB adalah mendapatkan ajakan untuk menjadi friends with benefit.

“awalnya aku nggak sadar ya ini apa, pas aku browsing oh ya sorry gabisa”

Responden AA mengungkapkan pengalaman tidak menyenangkan yang dialami adalah mendapat ajakan untuk memesan kamar hotel.

“terus kata dia ‘janganlah ntar gua booking kamar berdua aja tapi’ terus aku kayak ‘makasih’”

Sedangkan pada responden KH pernah mendapatkan ajakan untuk melakukan cuddle, dan pada responden RM mengatakan bahwa pernah mengalami laki-laki yang ditemui secara langsung melakukan spoiler film saat sedang menonton film bersama.

Sikap terhadap Tinder

Sikap awal yang dimiliki empat dari lima responden awalnya sempat Tinder sebagai aplikasi yang negatif, dimana responden AA sempat memandang Tinder sebagai aplikasi yang berbahaya karena banyaknya laki-laki yang menurut responden tidak baik.

“ngapain si Tinder emang bukannya Tinder tuh bahaya?”

“karna kan banyak yang ga bener gitu kan”

Hal yang sama juga dialami responden KH, dimana KH juga sempat memandang Tinder sebagai aplikasi yang negatif karena banyak pengguna Tinder yang menggunakan aplikasi Tinder dengan tujuan kearah kegiatan seksual.

“dulu sih Tinder dipandang negatif banget karna banyak orang yang gitu, tujuannya porno gitu”

Terdapat perbedaan sikap pada responden saat sudah menggunakan aplikasi online dating Tinder. Responden PP menyimpulkan bahwa tidak semua orang yang jahat mengunduh aplikasi Tinder. Menurutnya orang yang sedang bosan dan orang yang baik dan sedang bosan juga mengunduh Tinder.

“tapi setelah aku install bulan April karena pandemi, aku menyimpulkan nggak semua orang jahat install tinder, bahkan orang gabut yang baik-baik aja jadi install juga”

Setelah menggunakan aplikasi Tinder, responden KH sudah terbiasa karena menurutnya saat ini sudah banyak yang menjadi pengguna Tinder. sikap responden RM justru berbeda dimana responden memandang Tinder saat ini lebih negatif, banyak pengguna Tinder yang menggunkan identitas orang lain, dimana laki-laki berbohong dengan menjadi perempuan dan juga sebaliknya.

Batasan yang Ditetapkan Saat Berkomunikasi

Saat melakukan komunikasi dengan lawan chatting, empat responden menetapkan batasan tertentu, dimana batasan tersebut mengacu kepada topik pembicaraan mana yang responden tidak keberatan untuk dibahas dan topik pembicaraan mana yang responden tidak ingin untuk dibahas. Tidak Membahas Seputar Kegiatan Seksual

Responden YB, mengungkapkan bahwa tidak ingin membicarakan seputar seks, karena responden tidak tertarik dengan topik tersebut. Responden juga AA tidak ingin membahas seputar kegiatan seksual. Jika ditanya seputar topik tersebut, responden tidak akan membalas chat laki-laki tersebut. Responden KH juga menetapkan batasan yang sama saat melakukan komunikasi dengan lawan chatting di Tinder, dimana responden tidak ingin ditanya seputar friends with benefit. Responden mengatakan bahwa merasa tidak suka dan merasa takut.

“apa ya terlalu seks gitu aku nggak suka”

“soal keluarga,alamat rumah, sama ajakan fwb gitu nggak suka dan takut”

Tidak Membahas Terkait Bertukar Media Sosial

RM menetapkan batasan saat melakukan komunikasi di Tinder, diantaranya tidak ingin membahas seputar bertukar media sosial, terlebih jika responden dan lawan chatting baru saja kenal.

“kalo dia langsung minta tukeran medsos aku biasanya ngalihin”

Menurut responden, terdapat dua kemungkinan yang terjadi setelah bertukar media sosial. Pertama, kemungkinan komunikasi yang terjalin tidak menarik lagi. Kedua, komunikasi yang terjalin semakin menarik namun responden menjadi kurang tertarik. Menurut responden, alasan responden menjadi kurang tertarik karena umumnya laki-laki yang mengajak bertukar media sosial khususnya Instagram hanya ingin menambah followers atau sekedar meminta agar foto mereka mendapat like.

Tidak Membahas Terkait Keluarga dan Alamat

Responden KH juga menetapkan saat melakukan komunikasi, yakni tidak ingin ditanya terkait alamat rumah dan terkait persoalan keluarga.

“soal keluarga dan alamat, soalnya nggak suka soalnya bukan urusan dan nggak berhubungan gitu” Tidak Menetapkan Batasan Saat Berkomunikasi

Jika empat responden menetapkan batasan saat melakukan komunikasi dengan lawan chatting di Tinder, responden PP tidak menetapkan batasan saat melakukan komunikasi. Menurut responden, sampai saat ini belum ada pembahasan yang membuat responden akhirnya menetapkan batasan.

Mengungkapkan Hal Positif dan Negatif tentang Diri Sendiri Mengungkapkan hal positif dan negatif tentang diri sendiri juga berkaitan dengan batasan yang ditetapkan saat berkomunikasi, dimana dalam hal ini responden mampu mengungkapkan kelebihan atau kekurangan yang responden miliki kepada lawan chatting di Tinder. Responden AA mengungkapkan bahwa dirinya pernah mengalami kekerasan dalam berpacaran bersama mantan pacar kepada laki-laki yang dikenal responden melalui aplikasi online dating Tinder. Pada responden RM, dirinya mengungkapkan hal positif dan hal negatif pada diri responden. Hal positif yang diungkapkan yakni responden merupakan orang yang rajin.

“ih ngapain sih rajin banget weekend bersih-bersih atau beberes kenapa nggak nyantai aja”

Responden KH juga mengungkapkan hal negatif tentang dirinya, yakni responden KH menceritakan kepada lawan chatting bahwa saat SMA responden sempat membolos sekolah bersama teman-teman responden.

“waktu itu pernah ceritain masa SMA pernah madol sama temen”

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pengalaman Berpacaran Sebelum Menggunakan Tinder Sebelum menggunakan aplikasi online dating Tinder, responden sempat menjalani hubungan berpacaran dengan laki-laki yang ditemui responden di luar aplikasi Tinder. Responden mengatakan bahwa saat berpacaran dengan mantan pacar, responden sempat mengalami pengalaman yang kurang baik, seperti mantan pacar yang berselingkuh,

mantan pacar yang materialistis, serta responden juga mendapatkan kekerasan verbal dan non verbal. Responden dalam penelitian ini juga mengatakan bahwa saat menjalani hubungan dengan teman sekolah, namun mendapat penolakan dari keluarga responden terutama Ibu.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putriana (2018) mengatakan bahwa perempuan akan merasa sakit hati saat mengetahui pacarnya saat itu berselingkuh dengan perempuan lain. Selain itu, perempuan korban kekerasan dalam berpacaran baik secara fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi mengalami kecemasan dalam kategori sedang dan tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rumondor (2013) juga mengatakan bahwa saat mengalami putus cinta, perempuan merasakan sedih, kehampaan, perasaan gagal, kehilangan kepercayaan diri, sulit berkonsentrasi, hingga muncul ide untuk melakukan bunuh diri.

Responden dalam penelitian ini mengatakan bahwa responden sempat dekat dengan salah satu laki-laki yang merupakan teman sekolah responden. Namun saat itu ibu responden kurang menyetujui hubungan tersebut dengan alasan latar belakang keluarga laki-laki tersebut. Kemudian responden berkuliah dan memiliki pacar. Hubungan tersebut akhirnya disetujui ibu responden, namun kenyataannya responden malah mendapatkan mantan pacarnya saat itu berselingkuh. Selain itu, responden mengungkapkan bahwa responden dan mantan pacarnya tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan kegiatan bersama. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan ketertarikan pada kegiatan, dimana mantan pacar responden lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kos, sedangkan responden ingin lebih banyak menghabiskan waktu di luar kos. Memiliki perbedaan ketertarikan pada kegiatan yang kemudian membuat responden melakukan perbandingan antara mantan pacar responden dengan laki-laki yang sebelumnya pernah dekat dengan responden, dimana laki-laki tersebut lebih dapat mengikuti dan memenuhi keinginan responden.

Berdasarkan pengalaman kurang baik tersebut, responden akhirnya mendapatkan pembelajaran dan mampu memberikan penegasan kepada ibu responden jika seorang laki-laki memiliki latar belakang keluarga yang berbeda dengan standar yang diinginkan oleh ibu responden, maka laki-laki tersebut belum tentu juga kurang baik. Hal tersebut membuat ibu responden mulai membebaskan responden dalam mencari pacar. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dailey dkk (2011) bahwa perempuan lebih banyak belajar dari pengalaman berpacaran yang telah dilalui sebelumnya dimana perempuan menjadi lebih paham dengan apa yang dinginkan dari laki-laki yang akan menjadi pasangannya nanti. Selain itu perempuan juga menjadi lebih mengerti mengenai bagaimana perempuan ingin diperlakukan.

Alasan Menggunakan Tinder

Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi responden akhirnya memutuskan untuk menggunakan Tinder. Alasan tersebut diantaranya rasa bosan saat pandemi COVID-19, balas dendam terhadap mantan pacar, dan rasa ingin tahu. Rasa bosan yang dirasakan responden dikarenakan

pembelakuan PSBB yang mengharuskan responden untuk mengurangi kegiatan di luar rumah dan tetap berada di rumah. Responden juga sedang membatasi komunikasi dengan teman-teman responden namun tetap ingin melakukan komunikasi dengan orang yang baru. Selain itu, teman responden juga menyarankan responden untuk mencoba menggunakan Tinder untuk mengatasi rasa bosan. Sejalan dengan hasil penelitian Ilpaj dan Nurwati (2020) bahwa tekanan yang dimunculkan selama pandemi COVID-19 dapat menyebabkan beberapa gangguan, diantaranya rasa takut dan cemas yang berlebihan akan diri sendiri maupun orang lain, perubahan pada pola tidur dan pola makan, rasa tertekan dan sulit untuk berkonsentrasi, bosan dan stres karena harus berada di rumah, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan penggunaan alkohol, serta munculnya gangguan psikosomatis. Karena pandemi COVID-19 berkaitan dengan distress, kecemasan, rasa takut akan penularan, depresi, dan insomnia, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sher (2020) mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 dapat meningkatkan angka terjadinya bunuh diri selama dan setelah pandemi COVID-19.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat dipahami bahwa adanya pandemi COVID-19 memberikan dampak bagi responden, dimana dalam hal ini dampak yang responden rasakan adalah rasa bosan selama berada di rumah. Rasa bosan yang dirasakan responden kemudian membuat responden memutuskan untuk menggunakan Tinder sebagai penghilang rasa bosan dan menambah relasi baru.

Responden juga mengatakan bahwa alasan responden menggunakan Tinder adalah adanya rasa ingin membalas dendam kepada mantan pacar responden saat itu. Lebih lanjut responden mengatakan bahwa mantan pacar responden berselingkuh dengan seorang perempuan di tempat karaoke. Responden juga mendengar kabar bahwa mantan pacar responden sempat tidur dengan perempuan lain. Akibat dari kejadian itu responden gagal untuk bertunangan dengan mantan pacar responden. Setelah itu responden memutuskan untuk mengunduh dan menggunakan Tinder karena ingin membalas perlakuan mantan pacar responden dan menunjukkan bahwa responden juga mampu mendapat yang lebih baik. Sejalan dengan hasil penelitian Williams dan Hickle (2011) mengatakan bahwa saat salah satu pasangan mengetahui pasangannya berselingkuh, mereka akan membahas kemungkinan yang muncul akibat dari perselingkuhan yang dilakukan pasangannya, termasuk untuk balas dendam. Mereka memiliki pemikiran jika pasangannya berselingkuh, maka mereka akan melakukan yang sama.

Secara keseluruhan hasil penelitian ini menemukan bahwa responden hanya menggunakan Tinder untuk mengusir rasa bosan dan mendapat teman baru. Responden dalam penelitian ini juga tidak memprioritaskan mencari jodoh melalui Tinder, namun responden juga tidak menutup kemungkinan jika kedepannya responden merasa cocok dengan laki-laki yang dikenal melalui Tinder. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cessia dan Lestari (2017) bahwa responden memahami penggunaan Tinder sebagai media hiburan, memperluas relasi dan juga pencarian jodoh. Penggunaan

Tinder sebagai media hiburan memiliki arti bahwa responden dapat melakukan kencan secara online sebagai pengusir rasa sepi dan dengan melakukan kencan online, responden dapat memperluas relasi dengan berkenalan dengan orang baru melalui Tinder. Hasil penelitian yang dilakukan secara online juga menyebutkan bahwa dibandingkan perempuan, laki-laki menggunakan aplikasi online dating Tinder untuk casual sex dan hubungan (Sumter dkk., 2016). Sedangkan pada perempuan, penggunaan Tinder mengarah kepada pertemanan dan validasi diri (Ranzini & Lutz, 2017).

Self-disclosure (Batasan saat berkomunikasi, faktor yang memengaruhi proses swiping, dan informasi yang ditampilkan pada bio Tinder)

Self-disclosure pada perempuan pengguna aplikasi online dating Tinder di tengah Pandemi COVID-19 dalam penelitian ini akan dijelaskan berdasarkan tiga hal, yakni batasan yang ditetapkan saat berkomunikasi, faktor yang memengaruhi proses swiping, dan informasi yang ditampilkan pada bio Tinder. Agar komunikasi yang terjalin melalui aplikasi Tinder dapat berjalan tanpa rasa canggung dan dapat lebih akrab, diperlukan peranan dari selfdisclosure. Self-disclosure yang dilakukan pada responden dalam penelitian ini dapat dijelaskan dalam berbagai hal, diantaranya saat melakukan chatting. Sebelum sampai ke tahap melakukan chatting, dalam aplikasi Tinder untuk menemukan pasangan atau teman dekat dapat diawali dengan melakukan proses swiping terlebih dahulu.

Responden dalam penelitian ini mengatakan bahwa sesaat setelah match dengan laki-laki, yang dilakukan responden adalah menunggu untuk laki-laki tersebut melakukan chat terlebih dulu. Hasil penelitian Nadya dan Hidayat (2016) juga memaparkan bahwa pengguna perempuan cenderung menunggu pengguna laki-laki untuk memulai komunikasi lebih dulu. Responden mengungkapkan bahwa komunikasi yang terjalin sesaat sesudah match biasanya dimulai dari hal-hal ringan terkait aktivitas sehari-hari, seperti kesibukan saat ini, hobi, selera musik, dan informasi seputar bio Tinder. Sejalan dengan hasil penelitian Faturochman dan Armando (2014) bahwa pada tahap perkenalan responden masih mengungkapkan informasi dasar seperti hobi, edukasi, tempat tinggal, minat, hingga kegiatan yang sedang dilakukan.

Saat melakukan chatting, responden juga menetapkan batasan tertentu, dimana batasan tersebut adalah topik-topik mana yang responden tidak ingin untuk dibahas. Dalam penelitian ini, responden mengungkapkan topik apa saja yang menjadi batasan responden saat melakukan chatting, diantaranya seputar kegiatan seksual, masalah keluarga dan alamat rumah, serta bertukar media sosial terlalu awal. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa topik pembicaraan seputar keadaan keluarga bukanlah hal yang dapat dibahas dengan orang lain terlebih yang dikenal melalui Tinder (Andara, 2019).

Batasan saat berkomunikasi juga mencakup informasi seputar hal positif dan negatif terkait diri responden, yakni apakah responden mengungkapkan hal positif dan negatif terkait diri sendiri kepada laki-laki yang menjadi lawan

chatting. Dalam penelitian ini terdapat hal negatif dan hal positif yang diungkapkan responden saat berkomunikasi dengan lawan chatting di Tinder. Hal positif yang diungkapkan responden diantaranya mengungkapkan bahwa dirinya merupakan seorang yang rajin, sedangkan hal negatif yang diungkapkan adalah pengalaman saat responden membolos sekolah, kekurangan pada diri responden, dan pengalaman berpacarannya sebelum menggunakan Tinder, dimana responden mendapat kekerasan secara verbal dan non verbal saat berpacaran. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Nurfazila (2015) bahwa responden yang memiliki resiprokalitas atau proses timbal balik dalam hubungannya akan mampu menceritakan informasi personal tentang diri responden, contohnya mengungkapkan tentang pengalaman berpacarannya kepada lawan chatting di Tinder. Pengguna perempuan juga lebih berani untuk mengungkapkan dan menanyakan informasi yang bersifat pribadi dalam profil atau saat melakukan chatting di Tinder (Faturochman & Armando, 2014). Saat melakukan proses swiping di Tinder, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi responden dalam melakukan swiping, faktor-faktor tersebut diantaranya profil diri, jarak, akun yang verified, dan selera musik. Profil diri yang dimaksud meliputi bio Tinder, usia, agama, dan tampilan fisik.

Tinder memfasilitasi penggunanya untuk dapat menampilkan dirinya melalui bio Tinder, dimana pada bio Tinder pengguna dapat mencantumkan nama, usia, lokasi atau alamat, pendidikan atau pekerjaan, minat, hingga selera musik. Hal tersebut kemudian akan memudahkan orang lain yang sedang melihat profil pengguna dapat membayangkan seperti apa latar belakang pengguna. Berdasarkan penjelasan responden dalam penelitian ini, melihat bio Tinder saat melakukan swiping menentukan apakah responden akan memberikan swipe right atau swipe left. Melakukan proses swiping right atau left bergantung pada beberapa hal, diantaranya tujuan laki-laki tersebut saat menggunakan Tinder. Dalam hal ini adalah tujuan yang positif, yakni tidak mencari friends with benefit. Kemudian terdapat juga responden yang akan merasa tertarik jika laki-laki tersebut menjelaskan tentang pekerjaan atau dimana laki-laki tersebut berkuliah. Adapula responden yang tidak suka jika terdapat laki-laki yang menjelaskan dirinya pada bio Tinder secara berlebihan, misalnya jika laki-laki tersebut memiliki ras campuran.

Faktor usia juga menjadi bagian dalam profil diri, dimana saat responden melakukan proses swiping mempertimbangkan faktor usia dan juga membuat rentang usia tersendiri saat menggunakan Tinder. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ward (2016) adanya proses filtering, yakni proses dimana responden melakukan swiping. Saat proses filtering, terdapat aspek lain yang muncul saat responden melakukan swiping yang mengarah kepada proses match.

Selain mempertimbangkan foto profil, terdapat juga faktor lain seperti faktor agama yang juga memengaruhi responden dalam proses swiping. Saat melakukan swiping, responden juga mempertimbangkan faktor agama, dimana responden akan melakukan swipe right jika profil agama laki-laki yang muncul sama dengan agama responden. Sejalan dengan hasil

penelitian Waluyo dan Revianti (2019), dimana jika mengarah kepada hubungan yang serius, baik laki-laki maupun perempuan menginginkan pasangan yang memiliki agama yang sama dengan mereka, sedangkan tingkat ketaaatan dalam menjalankan agama tidak terlalu berpengaruh.

Tampilan fisik juga menjadi faktor yang turut memengaruhi proses swiping. Fisik atau foto profil yang digunakan di Tinder merupakan salah satu faktor penting dalam melakukan proses swiping, dimana tampilan fisik cenderung yang dilihat saat pertama kali pengguna melakukan swiping. Hasil penelitian Nurfazila (2015) menyebutkan bahwa pengguna Tinder kerap menjadikan penampilan fisik laki-laki sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan swiping.

Aplikasi online dating Tinder memiliki fitur agar penggunanya dapat menampilkan musik apa yang sedang digemari, atau musik apa yang saat ini tengah didengarkan. Selera musik ternyata juga menjadi faktor yang memengaruhi proses swiping, dimana berdasarkan penjelasan responden, mereka juga melihat musik apa yang sedang didengarkan oleh laki-laki tersebut. Selain sebagai bahan pertimbangan swiping, melihat selera musik juga diungkapkan responden sebagai topik pembicaraan saat sudah melakukan chatting nantinya.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi responden dalam penelitian ini untuk menggunakan Tinder, diantaranya pandemi COVID-19 yang sedang terjadi, serta pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan rasa bosan yang ditimbulkan akibat pandemi membuat responden lebih aktif menggunakan Tinder. Selain pandemi COVID-19, pengalaman berpacaran dengan mantan pacar sebelum menggunakan Tinder, dan rasa ingin tahu juga menjadi alasan responden untuk menggunakan Tinder.

Self-disclosure pada responden juga dapat terlihat melalui beberapa hal, yakni batasan yang dibuat saat melakukan komunikasi, faktor yang memengaruhi swiping, dan informasi yang ditampilkan pada bio Tinder.

Selama menjadi pengguna aplikasi online dating Tinder, responden mengalami pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pengalaman menyenangkan antara lain mendapat informasi seputar pekerjaan dan informasi seputar perkuliahan. Selain itu, pengalaman tidak menyenangkan yang dialami responden antara lain mendapat ajakan melakukan kegiatan seksual, dan aktivitas saat bertemu langsung yang tidak menyenangkan.

Saran yang dapat diberikan peneliti kepada perempuan pengguna aplikasi online dating Tinder agar perlahan menghilangkan rasa malu saat mengungkapkan kepada kerabat dekat jika menggunakan aplikasi online dating. Era modern seperti ini, pencarian jodoh tidak harus dilakukan melalui offline saja, dengan berkembangnya teknologi maka siapapun bisa melakukan pencarian jodoh secara online melalui berbagai platform. Saran juga diberikan kepada masyarakat agar menghilangkan stigma negatif terhadap perempuan pengguna aplikasi online dating. Selain itu, saran

yang dapat diberikan kepada peneliti selanjutnya adalah dapat menjadikan laki-laki atau sepasang kekasih yang bertemu melalui aplikasi online dating dan juga diharapkan peneliti selanjutnya dapat membangun rapport yang lebih baik dengan responden agar responden dapat terbuka dan percaya selama proses wawancara berlangsung sehingga data observasi dapat diperoleh peneliti selama proses pengambilan data.

DAFTAR PUSTAKA

Altman, I., & Taylor, D. (1973). Social Penetration: the advance of interpersonal relationship. Holt, Rinehart, & Winston.

Andara, A. (2019). Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Pengguna Aplikasi Kencan Online (Tinder). Universitas Sumatera Utara.

Baskara, B. (2020, April 18). Rangkaian Peristiwa Pertama Covid-19.

https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/04/18/rangkaian-peristiwa-pertama-covid-19/

Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (1999). Psikologi Lintas Budaya. PT Gramedia Pustaka Utama.

Calhoun, J., & Acocella, R. (1995). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. IKIP Semarang Press.

Cessia, K., & Lestari, S. (2017). Pemahaman Pengguna Media Sosial Tinder terhadap Fenomena Kencan Online untuk Menjalin Hubungan Romantis Bagi Penggunanya. Interaksi                  Online,                  6(1).

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/19116

Chaturvedi, S. K. (2020). Covid-19 , Coronavirus and Mental Health Rehabilitation at Times of Crisis. Journal of Psychosocial Rehabilitation and Mental Health,   7(1),   1–2.

https://doi.org/10.1007/s40737-020-00162-z

Dailey, R. M., Jin, B., Pfiester, A., & Beck, G. (2011). On-again/off-again dating relationships: What keeps partners coming back? Journal of Social Psychology, 151(4), 417–440. https://doi.org/10.1080/00224545.2010.503249

DeVito, J. A. (2018). Komunikasi Antarmanusia (L. Saputra, Y. I. Wahyu, & Y. Prihantini (Ed.); 5 ed.). Karisma Publishing Group.

Dewi, R. (2020). Mengenal Apa Itu PSBB, Aturan, Daerah yang Menerapkan,           Hingga           Sanksinya.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/14/0938000 65/mengenal-apa-itu-psbb-aturan-daerah-yang-menerapkan-hingga-sanksinya

Dredge, S. (2015). Tinder Hits Back at Research Claiming 42% of its           Users          Have          Partners.

https://www.theguardian.com/technology/2015/may/08/ti nder-hits-back-research-users-partners-

married#:~:text=Tinder hits back at research claiming 42%25 of its users have partners,-This article is&text=Dating app Tinder has rejected,married or in a relatio

Erikson, E. H. (1993). Childhood and Society. W. W. Norton.

Faturochman, A., & Armando, N. (2014). penggunaan tinder dan pengembangan hubungan dengan match dalam tinder ( studi terhadap mahasiswa / i universitas indonesia pengguna tinder ) [Naskah publikasi]. Universitas Indonesia.

Gamayanti, W., Mahardianisa, M., & Syafei, I. (2018). Self

Disclosure dan Tingkat Stres pada Mahasiswa yang sedang Mengerjakan Skripsi. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi,                5(1),                 115–130.

https://doi.org/10.15575/psy.v5i1.2282

Hartley, J. (2004). Case study research dalam Cassel, D & Symon,

G. Essentials guide to qualitatice methods in organizational research (eds). London:   Sage

Publications.

Haryanto, A. (2020, Februari). Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia. https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia

Ilpaj, & Nurwati. (2020). Analisis Pengaruh Tingkat Kematian Akibat Covid-19. Jurnal Pekerjaan Sosial, 3(1), 16–28.

Jourard, S. M. (1964). The Transparent Self: Self-disclosure and Well-being. Van Nostrand.

Jourard, S. M. (1971). Self Disclosure: An Experimental Analysis of the Transparent Self.

Lumsden, G., & Lumsden, D. (1996). Communicating with

Credibility of Confidence. Wadsworth Publishing Company.

Mustinda, L. (2020). Pakai Tinder? Perhatikan Hal Ini agar Aman saat Berburu Jodoh. https://wolipop.detik.com/love/d-4868010/pakai-tinder-perhatikan-hal-ini-agar-aman-saat-berburu-jodoh

Nadya, K., & Hidayat, D. (2016). Makna Hubungan Antarpribadi Melalui Media Online Tinder. Jurnal Komunikasi, III(1), 1–11.

http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom%0A1

Nurfazila, A. (2015). Self-Dislcosure Perempuan Muda di Platform Online dating (Studi pada Mahasiswi Pengguna Aplikasi Tinder). Universitas Indonesia.

Pranita, E. (2020). Diumumkan Awal Maret, Ahli: Virus Corona Masuk        Indonesia        dari        Januari.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/11/130600 623/diumumkan-awal-maret-ahli--virus-corona-masuk-indonesia-dari-januari

Putriana, A. (2018). Kecemasan Dan Strategi Coping Pada Wanita Korban Kekerasan Dalam Pacaran. Psikoborneo, 6(3), 691–703.                  http://ejournal.psikologi.fisip-

unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2019/01/Jurnal Angela (01-21-19-08-59-58).pdf

Ranzini, G., & Lutz, C. (2017). Love at first swipe? Explaining Tinder self-presentation and motives. Mobile Media and Communication,             5(1),             80–101.

https://doi.org/10.1177/2050157916664559

Rifandy, J. (2020). Apa Itu Tinder, Sejarah, dan Fitur-Fitur Unggulannya.     https://www.pressburner.com/apa-itu-

tinder/

Rumondor, P. C. B. (2013). Gambaran Proses Putus Cinta pada Wanita Dewasa Muda di Jakarta: Sebuah Studi Kasus. Humaniora,                 4(1),                 28.

https://doi.org/10.21512/humaniora.v4i1.3415

Sagita, M & Irwansyah, I. (2021). Finding love during the pandemic:

Impression management on dating apps.

http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3840736

Salsabila, F. (2020). Gambaran self-disclosure pada pengguna Tinder di tengah pandemi COVID-19. Artikel studi pendahuluan (tidak dipublikasikan).

Sari, H. (2020, April 6). Bagaimana Ketentuan Penetapan dan Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar? https://nasional.kompas.com/read/2020/04/06/11581701/ bagaimana-ketentuan-penetapan-dan-pelaksanaan-pembatasan-sosial-berskala?page=all

Sher, L. (2020). The impact of the COVID-19 pandemic on suicide rates. QJM: An International Journal of Medicine, 113(10),                                     707–712.

https://doi.org/10.1093/qjmed/hcaa202

Strauss, A., & Corbin, J. (2017). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data. Pustaka Pelajar.

Sumter, S. R., Vandenbosch, L., & Ligtenberg, L. (2016). Love me Tinder: Untangling emerging adults’ motivations for using the dating application Tinder. Telematics and Informatics,                34(1),                67–78.

https://doi.org/10.1016/j.tele.2016.04.009

Supratiknya, A. (1995). Tinjauan Psikologis Komunikasi Antarpribadi. Kanisius.

Wabah corona bikin aplikasi kencan online laris manis. (2020). https://www.cnnindonesia.com/teknologi/202004021447 47-185-489624/wabah-corona-bikin-aplikasi-kencan-online-laris-manis

Waluyo, L. S., & Revianti, I. (2019). Pertukaran Sosial dalam Online Dating (Studi Pada Pengguna Tinder di Indonesia). Informatik, 15(1), 21–38.

Ward, J. (2016). Swiping, matching, chatting: Self-Presentation and self-disclosure on mobile dating apps. Human IT, 13(2), 81–95.

Williams, L., & Hickle, K. (2011). “He cheated on me, I cheated on him back”: Mexican American and White adolescents’ perceptions of cheating in romantic relationships. Journal of       Adolescence,       34(5),        1005–1016.

https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2010.11.007

World    Health    Organization.    (2020).     Coronavirus.

https://www.who.int/health-topics/coronavirus#tab=tab_3

Yan, L., Gan, Y., Ding, X., Wu, J., & Duan, H. (2020). The relationship between perceived stress and emotional distress during the COVID-19 outbreak: Effects of boredom proneness and coping style. Journal of Anxiety Disorders,       77(August      2020),       102328.

https://doi.org/10.1016/j.janxdis.2020.102328

Yin, R. K. (2002). Case study research: Design and methods (2rd ed). Thousand Oaks, CA: Sage.

LAMPIRAN


Bagan 1.


Axial coding


57