Gambaran coming out pada perempuan lesbian dan biseksual dewasa awal
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Kesehatan Mental dan Budaya 2, 85-95
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607
Gambaran coming out pada perempuan lesbian dan biseksual dewasa awal
Tuningsih Haryati dan Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana karismasukmayanti@unud.ac.id
Abstrak
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) kerap dipandang sebagai suatu penyakit sosial di masyarakat, karena dianggap melanggar nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Di sisi lain, kelompok LGBT yang telah menjadi dewasa awal membutuhkan coming out untuk memenuhi tugas perkembangannya, sehingga menimbulkan konflik tersendiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Kriteria responden penelitian ini adalah perempuan, lesbian atau biseksual, berusia 18-30 tahun, dan belum menikah. Melalui analisis koding, ditemukan beberapa hal yang menggambarkan coming out, seperti awal mula menyadari orientasi seksual, hubungan berpacaran yang pernah dijalani, opini mengenai orientasi seksual, coming out menurut responden, cara melakukan coming out, orang-orang yang telah mengetahui orientasi seksual para responden, coming out dan kaitannya dengan agama, tujuan melakukan coming out, dampak positif dan dampak negatif yang dirasakan karena melakukan coming out, prioritas kedepannya untuk melakukan coming out, kriteria target coming out, pandangan responden terhadap kemungkinan coming out di lingkungannya, orang yang menginspirasi responden untuk coming out, tiga kata yang menggambarkan proses coming out, harapan kedepannya, pandangan responden mengenai penelitian ini, serta coming out dan intimasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai coming out, khususnya pada perempuan lesbian dan biseksual, dan mengurangi stigma terhadap lesbian dan biseksual.
Kata Kunci: coming out, biseksual, lesbian, dewasa awal
Abstract
Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT) is often seen as a social disease in society, because it is considered to violate the religious norms and values adopted by the people of Indonesia. On the other hand, LGBT groups that have entered the early adult phase need coming out to fulfill their development tasks, this then caused conflict. This empirical study uses a qualitative approach with a case study method. The criteria of respondents in this study were women, lesbian or bisexual, aged 18-30 years, and not married yet. Through coding analysis, found several points that describe coming out, such as the beginning of being aware of sexual orientation, dating relationships that have been undertaken, opinions on sexual orientation, coming out according to respondents, how to do coming out, people who already know the sexual orientation of the respondents, coming out and it’s relation to religion, the purpose of coming out, the positive impacts and negative impacts that are felt because of coming out, future priorities for coming out, the criteria for coming out, respondents' views on the possibility of coming out in their environment, people who inspire respondents to coming out, three words that describe the process of coming out, future expectations, the views of respondents regarding this research, and coming out and intimacy. This study is expected to provide information about coming out, especially for lesbian and bisexual women, and expected to reduce stigma against lesbian and bisexual.
Keywords: coming out, bisexual, lesbian, early adulthood
LATAR BELAKANG
Menurut Lehmiller (2014a), orientasi seksual adalah pola-pola unik dari hasrat, perilaku, dan identitas seksual dan romantis yang diekspresikan oleh setiap orang. Selama ini, umumnya terdapat tiga kategori orientasi seksual, yakni heteroseksual (memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis), homoseksual (memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis), dan biseksual (memiliki ketertarikan terhadap kedua jenis kelamin). Homoseksual dan biseksual, bersama transgender dan spektrum orientasi seksual selain heteroseksual, kemudian dikenal masyarakat dengan sebutan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Belakangan ini, kelompok LGBT kerap kali mendapatkan sorotan di masyarakat. Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2019, angka kekerasan pada kelompok LGBT terus meningkat (Septian, Nugraha, & Imran, 2018). Hal ini dibuktikan dari catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dimana pada tahun 2017 tercatat sekurang-kurangnya terjadi 66 kasus penganiayaan terhadap orang-orang yang diduga kelompok LGBT (Septian, Nugraha, & Imran, 2018). Arus Pelangi, kelompok pembela hak-hak LGBT mencatat, setidaknya terjadi 142 kasus diskriminasi yang terjadi di 10 kota, dengan bentuk kasus penangkapan hingga ujaran kebencian pada mereka yang dianggap sebagai kelompok LGBT (Septian, Nugraha, & Imran, 2018).
Berkembangnya sentimen negatif pada LGBT dapat terjadi sebagai perwujudan dari homofobia dan heteroseksisme, yang kemudian berdampak secara fisik dan emosional bagi korbannya, misalnya dapat memunculkan stres (O’Brien, 2017). Banyaknya sikap yang cenderung menolak dan memusuhi membuat kelompok LGBT cenderung memilih untuk menyembunyikan identitas diri yang sesungguhnya. Sebagian orang dalam kelompok LGBT memilih untuk menyembunyikan identitas dirinya dari keluarga dan lingkungan masyarakat, dikarenakan adanya pertimbangan terhadap persepsi negatif dan perlakuan buruk dari keluarga ataupun masyarakat (Nisaa, Pitayanti, & Hani, 2016). Hal ini kemudian dikenal sebagai closeted atau lebih populer dikenal dengan frasa in the closet, yakni pengalaman hidup dimana seseorang tidak mengungkapkan orientasi seksual atau identitas gendernya (Rasmussen, 2004).
Tidak hanya menghadapi pertentangan dengan nilai dan norma yang ada di Indonesia, kelompok LGBT terutama yang berada pada fase dewasa awal masih harus mendapatkan tantangan lainnya. Individu yang termasuk kategori dewasa awal adalah individu berusia 19-30 tahun (Feist & Feist, 2010).
Individu yang berada di fase dewasa awal umumnya dihadapkan pada konflik keintiman versus keterasingan, serta akan mendapatkan kekuatan dasar berupa cinta (Feist & Feist, 2010). Keintiman adalah kemampuan seseorang untuk meleburkan identitas diri sendiri dengan identitas orang lain, tanpa merasa takut akan kehilangan identitas yang dimiliki (Feist & Feist, 2010). Sementara, menurut Erikson, di sisi lain keterasingan mungkin saja dialami oleh individu, ketika individu tidak mampu mengambil kesempatan untuk melebur dengan identitas orang lain, serta tidak mampu berbagi keintiman sejati (Feist & Feist, 2010).
Haryati (2018) melakukan studi pendahuluan pada seorang perempuan biseksual yang tidak melakukan coming out pada keluarga untuk mengetahui faktor-faktor yang membuat responden tidak coming out pada keluarga. Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa responden menganggap keluarganya yang terdiri dari bapak, ibu, seorang kakak laki-laki, dan seorang adik perempuan, adalah sebuah keluarga yang tidak terlalu terbuka terhadap hal yang dianggap baru seperti LGBT. Selain itu, responden merasa keluarganya lebih sadar dengan kesehatan fisik daripada kesehatan mental, misalnya depresi yang cenderung dianggap remeh, dan karena keluarga responden juga memiliki sudut pandang cukup tradisional, keluarga responden menganggap penyebab depresi adalah karena terkena guna-guna atau pengaruh leak (makhluk halus yang kerap ditemukan di Bali). Responden juga memandang keluarganya sebagi orang-orang yang memiliki rasialisme tinggi, seperti menanggap orang-orang non-Bali (terutama orang-orang dari Jawa) dengan pandangan yang cenderung negatif, seperti suka mencuri. Responden juga merasa keluarganya termasuk yang wawasannya tidak terlalu luas dan tidak open minded terhadap LGBT.
Responden merasa kedua orangtuanya mengajarkan dirinya untuk menjadi anak pembohong, karena responden merasa sering dimarahi setiap kali akan mengatakan hal yang jujur. Misalkan responden melakukan kesalahan, responden sering merasa dimarahi dan tidak dibela, sehingga responden memilih untuk berbohong agar tidak dimarahi, daripada berkata jujur namun akhirnya dimarahi. Hal-hal tersebut membuat responden memilih untuk tidak coming out hingga saat ini ke keluarganya.
Oleh karena itu, penelitian tentang proses coming out yang dilalui oleh perempuan lesbian dan biseksual yang akhirnya memilih untuk coming out penting untuk dilakukan.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Menurut Moleong (2016), pendekatan kualitatif dimanfaatkan untuk memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi individu, memahami isu-isu sensitif, meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang responden penelitian, serta meneliti suatu permasalahan secara mendalam.
Unit Analisis
Pada penelitian kali ini, unit analisis yang digunakan bersifat individu. Pemilihan unit analisis individu didasarkan pada tujuan penelitian yang ingin melihat gambaran coming out pada perempuan lesbian dan biseksual fase dewasa awal, selain itu karena penelitian ini berfokus pada membandingkan antara kelompok homoseksual dan biseksual dalam gambaran coming out secara umum.
Responden Penelitian
Responden penelitian ini adalah satu orang perempuan lesbian dewasa awal (selanjutnya disebut L2), dan satu orang perempuan biseksual dewasa awal (selanjutnya disebut B1) yang dipilih dengan menggunakan purposive sampling.
Beberapa kriteria responden penelitian ini antara lain:
-
1. Berusia 18-30 tahun (fase dewasa awal)
-
2. Belum menikah, baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis.
Teknik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara. Observasi yang dilakukan adalah observasi terfokus dan wawancara semi-terstruktur
Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data
Teknik pengorganisasian data dilakukan dengan memindahkan data rekaman wawancara ke dalam folder pada komputer peneliti. Hasil rekaman wawancara kemudian diolah dalam bentuk fieldnote dan verbatim yang telah diberi judul file sesuai dengan kode masing-masing responden. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan theoretical coding, yaitu open coding, axial coding, dan selective coding (Strauss & Corbin, 1990).
Kredibiltas Penelitian
Kredibillitas data pada penelitian ini dilakukan dengan peningkatan ketekunan dan teknik triangulasi. Teknik triangulasi yang dilakukan yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu (Sugiyono, 2016).
Isu Etik
Isu etika yang harus diperhatikan selama proses penelitian berlangsung yaitu adanya informed consent yang diberikan sebelum wawancara berlangsung, anonimitas responden, dan kerahasiaan data dari responden tersebut.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan proses analisis data, terdapat beberapa aspek yang kemudian akan memberikan gambaran coming out secara umum dari kedua responden, yaitu awal mula menyadari orientasi seksual, hubungan berpacaran yang pernah dijalani, opini mengenai orientasi seksual, coming out menurut responden, cara melakukan coming out, orangorang yang telah mengetahui orientasi seksual para responden, coming out dan kaitannya dengan agama, tujuan melakukan coming out, dampak positif dan dampak negatif yang dirasakan karena melakukan coming out, prioritas kedepannya untuk melakukan coming out, kriteria target coming out, pandangan responden terhadap kemungkinan coming out di lingkungannya, orang yang menginspirasi responden untuk coming out, tiga kata yang menggambarkan proses coming out, harapan kedepannya, pandangan responden mengenai penelitian ini, serta coming out dan intimasi.
Awal mula menyadari orientasi seksual
B1 menyadari orientasi seksualnya di tahun kedua kuliah. Pada saat itu, B1 melakukan refleksi diri terhadap hubungan tanpa status dengan perempuan saat SMA. Selain itu, B1 juga pernah membaca cerita fiksi yang “explicitly sexual”. B1 melakukan role play (RP) di Twitter dan cenderung suka bereksperimen dengan karakter yang dimainkan. Sementara itu L2 menyadari orientasi seksualnya ketika SMP, dimana L2 menyadari saat kecil sering berinteraksi dengan tantenya yang memiliki potongan rambut seperti laki-laki.
Hubungan berpacaran yang pernah dijalani
B1 pernah menjalani hubungan tanpa status dengan perempuan sebanyak dua kali, yaitu dengan X dan Y. Selain itu, B1 pernah menjalani hubungan berpacaran dengan seorang laki-laki, yaitu Z. L2 pernah menjalani hubungan berpacaran sebanyak tiga kali dengan laki-laki, dan menjalin hubungan berpacaran sebanyak tiga kali dengan perempuan.
Pandangan mengenai orientasi seksual
Walaupun B1 mengakui dirinya biseksual, menikmati hubungan seksual maupun romantis dengan perempuan, B1 merasa hubungan dengan perempuan tidak memiliki masa depan. Hal tersebut karena B1 masih berusaha untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai di masyarakat,
yaitu “laki-laki harus berpasangan dengan perempuan”. Ketika B1 menyadari dirinya biseksual, B1 juga merasa takut kalau ternyata dirinya adalah seorang lesbian, bukan biseksual. Menurut B1, hidup di Indonesia sebagai seorang lesbian adalah hal yang sulit, termasuk juga mencari pasangan yang cocok. Ketika melakukan wawancara dengan L2, L2 tidak beropini secara khusus mengenai orientasi seksualnya, sehingga tidak terdapat data lebih lanjut dari L2.
Coming out menurut responden
B1 mengatakan bahwa coming out tidak terlalu penting, karena menurut B1, coming out menyesuaikan pada konteksnya saja. Coming out dirasa perlu dilakukan pada sahabat-sahabat B1, agar sahabat-sahabat B1 tahu kondisi B1 yang sebenarnya. Coming out juga merupakan upaya B1 untuk menjadi jujur dengan diri sendiri, sehingga B1 berusaha menyampaikan orientasi seksualnya kepada orang lain secara verbal. Menurut L2, coming out itu penting, tapi tidak mendesak untuk dilakukan. L2 mengatakan bahwa sebenarnya tidak harus melakukan coming out, tetapi penting untuk kelangsungan hubungan L2 dan pacarnya. Dengan coming out, L2 juga ingin menyampaikan kepada laki-laki yang mendekatinya secara tersirat, bahwa L2 sebenarnya sudah memiliki pacar, sehingga L2 ingin tidak ada yang mengganggu lagi. Harapannya, laki-laki yang berusaha mendekati L2 akan lebih ragu untuk mendekati lebih jauh.
Cara melakukan coming out
B1 coming out dengan cara bercerita mengenai hubungannya dengan X dan Y. Cara bercerita dipilih karena dianggap lebih aman dan tidak ada bukti, sehingga B1 bisa mengelak jika diperlukan. L2 melakukan hal yang sama dengan B1, yaitu bercerita dan menyampaikan langsung kepada orang yang dituju. L2 juga coming out dengan cara menunjukkan pacarnya tanpa bercerita, sehingga orang-orang bisa mengambil kesimpulan sendiri. L2 mencontohkan, ketika L2 mengirimkan hal seputar percintaan di media sosial, dan membuat orang-orang bertanya-tanya siapa pacarnya. L2 hanya menjawab, “Ada”, tetapi kemudian pacar L2 datang dan menjemput L2 di warnet. Pada akhirnya orang-orang akan melihat pacar L2. L2 juga menggunakan media sosial untuk coming out. L2 biasanya mengunggah Instagram Story atau di Facebook.
Orang-orang yang Telah Mengetahui Orientasi Seksual Para Responden
B1 baru benar-benar coming out ke diri sendiri pada tahun 2018 lalu. B1 mengatakan bahwa pada waktu itu, peneliti coming out kepada B1, kemudian B1 bercerita juga mengenai kondisinya. B1 baru coming out secara jelas ke peneliti. Sebelumnya, B1 pernah bercerita pada teman-teman dekatnya, tetapi B1 tidak pernah
menyebutkan secara jelas bahwa B1 adalah seorang biseksual, hanya sebatas memberikan petunjuk-petunjuk yang mengarah bahwa B1 adalah biseksual.
Coming out dan kaitannya dengan agama
B1 mengatakan merasa tidak nyaman untuk melakukan coming out, karena B1 merasa ingin untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai di masyarakat. B1 mengatakan di keluarganya dididik untuk menyukai lawan jenis, sehingga dalam dirinya B1 merasa ada yang mengatakan tidak seharusnya menyukai sesama jenis. Enam belas tahun awal kehidupannya, B1 merasa didoktrin bahwa hubungan sesama jenis adalah sesuatu yang salah. Meskipun mendapatkan doktrin di dalam keluarga, B1 memiliki keyakinan tersendiri mengenai agama, dan Alkitab yang menjadi kitab suci agamanya, yaitu percaya salah-benar ditetapkan oleh manusia, dan Alkitab atau kitab suci apapun ditulis oleh manusia yang memiliki persepsi sendiri dan konteks sosial yang terjadi saat penulisan.
Tujuan melakukan coming out
Tujuan B1 melakukan coming out adalah untuk menjadi responden dari penelitian ini, berbagi cerita dengan peneliti, juga ingin memastikan orientasi seksualnya. L2 mengatakan tidak memiliki alasan spesifik untuk coming out, tetapi L2 mengatakan merasa lebih puas, karena menurut L2 coming out adalah salah satu bentuk bukti bahwa L2 serius menjalin hubungan dengan pacarnya. L2 juga merasa lebih lega, agar sekalian semua orang tahu mengenai orientasi seksualnya, daripada L2 harus sembunyi-sembunyi saat berpacaran dengan perempuan. Selain itu, orangorang di sekitar L2 juga kebanyakan sudah mengetahui orientasi seksual L2. L2 merasa jika menyembunyikan orientasi seksual, maka akan semakin dicurigai dan malah terlihat munafik. L2 merasa coming out-nya juga bertujuan untuk berekspresi, bahwa L2 sedang merasa senang dengan pacarnya, dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti diam-diam dijodohkan.
Dampak positif dan dampak negatif yang dirasakan karena melakukan coming out
Dampak positif yang dirasakan karena coming out menurut B1 adalah lebih memahami dirinya sendiri. Dampak negatif yang dirasakan karena coming out menurut B1 adalah munculnya perasaan insecure karena merasa diri menjadi bagian minoritas yang tidak diterima masyarakat. Selain itu, B1 merasa takut untuk coming out karena takut tidak diterima, takut persepsi orang tersebut berubah dan menjauhi B1, serta takut orang tersebut akan menyampaikan orientasi seksual B1 ke orang lain. Dampak positif yang dirasakan karena coming out menurut L2 adalah orang-orang terdekat menjadi lebih berani
menunjukkan rasa simpati jika L2 mengalami kesulitan, L2 tidak bingung lagi jika membutuhkan teman untuk bercerita mengenai permasalahannya, terutama dengan teman-teman terdekatnya, L2 merasa orang-orang tidak lagi membicarakan dirinya di belakang., dan L2 merasa tidak perlu lagi untuk bersembunyi dari orang-orang, terutama jika berada di tempat umum. Dampak negatif yang dirasakan karena coming out menurut L2 adalah awal proses menuju coming out dirasa tidak mudah. L2 sempat mengalami banyak sindiran dan tatapan yang tidak menyenangkan; orang-orang merasa tidak nyaman dengan kehadiran L2; tidak ada laki-laki yang berani melakukan pendekatan pada L2: suatu ketika, L2 pergi ke kantin di sekolahnya, lalu ada beberapa orang kakak kelas laki-laki, seolah-olah berbicara satu sama lain, padahal maksudnya menyindir L2: dan L2 juga pernah merasakan momen dibicarakan di sebuah aplikasi bernama Secret.
Prioritas di masa depan terkait proses coming out Sesuai urutan prioritas, di masa depan B1 akan coming out pada calon pasangan, teman-teman dekat, dan keluarga. Sementara L2 akan melakukan coming out pada sepupu-sepupu, teman-teman kerja, dan orangtua.
Kriteria target coming out
Kriteria target coming out dari B1 adalah orangorang yang dianggap terbuka atau open minded, tidak fanatik terhadap ajaran agama yang dianut, serta orang yang dianggap memiliki nilai bahwa hubungan sesama jenis adalah hubungan yang bisa diterima. Kriteria target coming out dari L2 adalah orang-orang yang dianggap terbuka atau open minded, tidak harus sesama LGBT, orang-orang yang dianggap dekat dengan L2, dan orang yang sering berinteraksi dengan L2.
Pandangan responden terhadap kemungkinan coming out di lingkungannya
Secara umum, B1 merasa lingkungannya memungkinkan untuk melakukan coming out, tetapi dirasa sulit. Untuk keluarga besar, B1 merasa tidak memungkinkan untuk coming out, hanya kepada ibunya B1 merasa mungkin untuk coming out. Selain itu, coming out juga mungkin dilakukan pada teman-teman yang sangat dekat dan akrab, namun tidak semuanya bisa mengetahui orientasi seksual B1. Sementara itu pada L2, coming out ke keluarga dirasa akan menimbulkan kekagetan, tetapi tidak disebutkan secara langsung soal kemungkinan melakukan coming out pada keluarga. Tempat tinggal saat ini dirasa lebih memungkinkan untuk melakukan coming out dibandingkan di tempat asalnya. Organisasi dan tempat kerja dirasa menjadi tempat yang memungkinkan untuk coming out bagi L2, namun L2 merasa harus tetap berhati-hati.
Orang yang menginspirasi responden untuk coming out
Menurut B1, peneliti menginspirasi dirinya untuk coming out. Sementara itu, tidak ada sosok yang mendorong L2 untuk coming out, murni karena L2 merasa dirinya butuh untuk coming out.
Tiga kata yang menggambarkan proses coming out
B1 menggambarkan proses coming out-nya dengan tiga kata, yaitu susah, menantang, dan berubah. Tiga kata yang menggambarkan coming out menurut L2 adalah menantang, menyenangkan, dan perlu pertimbangan.
Harapan terhadap masa depan
B1 berharap bisa mendapatkan pasangan lawan jenis agar tidak merasakan beban untuk coming out. B1 juga berharap bisa mengikuti nilai-nilai yang ada di masyarakat, yaitu menikah dengan laki-laki. Pada L2, dengan melihat kejadian-kejadian yang telah dialami, L2 berharap agar orang-orang tidak terlalu banyak berpikir negatif terhadap dirinya. L2 berharap agar orang-orang juga bisa melihat L2 sebagai orang yang biasa-biasa saja, tidak heran melihat L2 berpacaran dengan perempuan, karena itu merupakan urusan perasaannya. L2 juga ingin agar orang-orang tidak ikut campur dengan urusannya, apalagi bercerita dengan “bumbu-bumbu” atau hal-hal tidak perlu yang ditambah-tambahkan.
Pandangan responden mengenai penelitian ini
Mengenai penelitian ini, B1 memiliki pandangannya tersendiri. B1 mengaku merasa memaksakan dirinya untuk mengakui orientasi seksualnya kepada orang lain (dalam hal ini peneliti), dan menurut B1, hal ini bagus untuk membantu menerima orientasi seksualnya. Sementara itu, L2 memandang bahwa dengan berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini, L2 dapat memberikan informasi baru bagi pembaca.
Coming out dan intimasi
Pada B1 yang melakukan coming out hanya pada teman terdekatnya, tidak ditemukan kendala dalam membangun intimasi, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. B1 membutuhkan coming out agar sahabat-sahabat B1 tahu kondisi B1 yang sebenarnya. B1 juga mengatakan jika pada akhirnya B1 mendapatkan pasangan sesama jenis untuk hubungan jangka panjang, B1 akan melakukan coming out sebagai bentuk komitmen dan keseriusan dalam menjalin hubungan. Sementara itu pada L2, L2 menjalin hubungan dengan pacar perempuan pertamanya terlebih dahulu, baru kemudian pacar selanjutnya menandai L2 di Facebook dan membuat L2 coming out
secara tidak langsung. L2 hanya merasakan kebingungan, dan tidak menyinggung adanya kendala berarti dalam membangun intimasi dengan pasangannya.
PEMBAHASAN
Perempuan dan Orientasi Seksual
Penelitian Scheurs; Peplau dan kawan-kawan; Diamond; dan Kinnis (dalam Bancroft, 2009) menghasilkan temuan berupa terdapat lebih banyak variasi orientasi seksual pada perempuan, dimana perempuan umumnya cenderung tidak pasti seputar orientasi seksualnya, dan perempuan biseksual cenderung lebih banyak jumlahnya daripada laki-laki biseksual, meskipun sering berubah dari waktu ke waktu. Hal ini kemudian menjelaskan mengapa B1 dan L2 sama-sama pernah memiliki pengalaman dengan lawan jenis, sebelum akhirnya L2 memutuskan untuk menetapkan diri mencari perempuan.
Kedua responden sama-sama memulai hubungan pacaran maupun hubungan tanpa status sejak masa remaja, seperti B1 yang memulai hubungan tanpa status saat SMA, dan L2 yang mulai berpacaran saat SMP. Beberapa perempuan telah mengetahui ketertarikan terhadap sesama jenis sejak usia sangat muda, bahkan sebelum remaja, sementara perempuan lainnya mungkin merasa tertarik terhadap lawan jenis pada masa remaja, dan secara bertahap menemukan minat yang lebih terarah pada sesama jenis ketika tumbuh dewasa (D’Augelli & Patterson, 1995).
Stigma yang Dihadapi oleh Lesbian dan Biseksual, serta Kaitannya dengan Coming Out
Lesbian dan biseksual menghadapi sejumlah ancaman karena stigma yang melekat, dan ancaman dapat terjadi secara langsung, seperti diskriminasi, pelecehan, ataupun penolakan dari orang lain (D'Augelli, 2002, 2006; Faulkner & Cranston, 1998; Mays & Cochran, 2001). Ancaman juga dapat terjadi secara tidak langsung (Ryan, Legate, & Weinstein, 2015). Kelompok LGBT umumnya menyadari stereotip negatif mengenai homoseksualitas dan dengan demikian dapat mengantisipasi dampaknya terhadap orang lain dan potensi penolakan (Crocker, Major, & Steele, 1998). L2 mengalami kejadian berupa dibicarakan kakak kelas saat berada di kantin, maupun dibicarakan di aplikasi Secret karena orientasi seksualnya yang berbeda dari kebanyakan orang. Pengalaman tidak menyenangkan tersebut kemudian membuat L2 melakukan coming out dengan pertimbangan tertentu, meskipun dilakukan dengan terbuka seperti di media sosial. Tujuannya agar L2 dapat memilah-milah siapa saja yang boleh dan tidak boleh untuk mendapatkan informasi dari L2. Sementara itu pada B1, tidak terlihat informasi bahwa B1 pernah mengalami ancaman terkait
dengan orientasi seksualnya, tetapi B1 sudah terlihat mengantisipasi hal tersebut dengan menyeleksi dan mengevaluasi dalam melakukan coming out.
Banyak studi yang dilakukan mengenai coming out. Walau demikian, sangat sedikit penelitian yang berfokus secara khusus pada coming out yang dilakukan oleh biseksual (Balsam & Mohr, 2007; Knous, 2005; McLean, 2008; Wandrey, dkk., 2015), menunjukkan bahwa individu biseksual terlibat dalam tingkat coming out yang lebih rendah dibandingkan dengan homoseksual (Rosario, dkk., 2001). Alasan yang mungkin menyebabkan hal ini adalah individu biseksual sering mengalami diskriminasi yang sangat berbeda dari individu homoseksual. Hal ini tidak ditemukan pada B1. Keraguan untuk coming out muncul karena keinginan kuat B1 untuk mengikuti nilai-nilai di masyarakat, serta masih adanya sisi penyangkalan dari B1 terhadap orientasi seksualnya.
Knous (2005) menemukan bahwa individu biseksual terlibat dalam manajemen stigma, yaitu teknik yang digunakan individu untuk mengatasi identitas yang didiskreditkan dari awal proses coming out. Demikian pula, McLean (2007) menemukan bahwa stigma biseksual mengakibatkan para responden dalam penelitiannya menggunakan strategi pengungkapan selektif, yaitu hanya coming out kepada orang lain ketika individu menganggap hal tersebut aman atau memang dibutuhkan. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan bahwa stigma biseksual membuat B1 melakukan coming out secara selektif, tetapi munculnya faktor internal dalam diri B1 seperti keinginan kuat B1 untuk mengikuti nilai-nilai di masyarakat, serta masih adanya sisi penyangkalan B1 terhadap orientasi seksualnya.
Stigma seksual terinternalisasi (Internalized sexual stigma, ISS) juga merupakan faktor penting lain untuk dipertimbangkan dalam proses coming out (Pistella, dkk. 2016). ISS adalah produk dari ideologi negatif masyarakat tentang minoritas seksual yang dilekatkan pada homoseksual dan biseksual. ISS menggambarkan perasaan negatif, kadang-kadang tanpa sadar juga meliputi perasaan, sikap, dan representasi dari minoritas seksual (Herek, 2000; Mayfield, 2001). Pernyataan dari kakak kelas L2 di kantin yaitu, “Wuih eee njir ci juuk makan juuk” (Wuih eee njir kamu jeruk makan jeruk) dan “Ih jijik laah cang ajak ci, masa cang nyak ajak ci” (Ih jijiklah aku sama kamu, masa aku mau sama kamu) adalah dua bentuk sikap negatif terhadap minoritas seksual yang umum ditemui. “Jeruk makan jeruk” sendiri adalah sebuah frasa informal yang memiliki beberapa arti, yaitu seseorang yang menyukai sesama jenis (Staf, 2019), dan seseorang yang mengejar teman atau sahabat sendiri untuk dijadikan pasangan
(Unknown, n.d.). Dalam konteks ini, kedua maksud dari frasa tersebut dapat digunakan, tetapi penggunaan frasa ini diikuti kalimat berikutnya, “Ih jijik laah cang ajak ci, masa cang nyak ajak ci” (Ih jijiklah aku sama kamu, masa aku mau sama kamu), maka yang dimaksud adalah seseorang yang menyukai sesama jenis. Hal ini merepresentasikan bahwa kakak kelas L2 memiliki sikap negatif terhadap minoritas seksual.
Coming Out
Terminologi coming out seringkali digunakan untuk menjelaskan situasi dimana seorang individu membuka diri mengenai orientasi seksualnya kepada lingkungan sosial yang utama bagi individu tersebut (Ryan, Legate, & Weinstein, 2015). Coming out bukan merupakan peristiwa yang hanya terjadi sekali saja, namun lebih pada sebuah proses yang harus dilibatkan setiap kali individu memiliki situasi atau hubungan baru (Bohan, 1996). American Psychological Association (2008) menyebutkan bahwa seseorang dimungkinkan untuk tetap merahasiakan identitasnya, beberapa orang memilih untuk coming out pada keadaan tertentu, dan yang lainnya memutuskan untuk coming out secara terbuka. B1 dapat dikatakan memilih untuk coming out pada keadaan tertentu, sementara L2 dapat dikatakan memutuskan untuk coming out secara terbuka. Keduanya memiliki alasannya masing-masing, seperti B1 yang masih berusaha untuk mengikuti nilai-nilai di masyarakat, dan L2 yang merasa sudah banyak orang mengetahui orientasi seksualnya tersebut.
Hasil penelitian dari Datti; Espelage, Aragon, Birkett, dan Koenig; Joos dan Broad; Rickards dan Wuest; Treyger, Ehlers, Zajicek, dan Trepper; Waitt dan Gorman-Murray (dalam Ali & Barden, 2015) menyebutkan, proses coming out pada individu lesbian dan biseksual mungkin saja melewati banyak lapisan sepanjang hidupnya, termasuk pengungkapan kepada anggota keluarga, teman, dan rekan kerja. Kedua responden samasama menyadari dan menghadapi lapisan ini, sehingga keduanya sama-sama memiliki prioritas untuk coming out, termasuk pada keluarga (khususnya orangtua) yang dianggap sebagai kelompok yang bisa ditunda untuk melakukan coming out.
Tekanan keluarga, pengaruh teman sebaya, dan nilai dan norma di masyarakat membuat individu non-heteroseksual umumnya dipinggirkan. Marginalisasi ini memberikan dasar bagi proses unik dan kompleks pada pengembangan orientasi seksual, dan coming out untuk kelompok minoritas seksual (Cooper, 2008; Dermer, dkk., 2010; Israel & Selvidge, 2003). Karena itu, kedua responden memiliki cerita yang berbeda mengenai pengembangan orientasi seksual dan coming out,
melihat adanya perbedaan latar belakang keluarga, teman sebaya, dan nilai serta norma yang dianut oleh kedua individu.
Keterbukaan kedua responden pada orang-orang yang dianggap terbuka dengan isu LGBT sejalan dengan hasil penelitian dari Haryati, Ritawari, Lestari, dan Wilani (2017), dimana responden dalam penelitian tersebut juga akan coming out pada orang yang dianggap terbuka dengan isu LGBT dan tidak menilai responden secara negatif karena responden adalah seorang biseksual. Teori lainnya yang mendukung adalah kesamaan sikap terhadap hal tertentu merupakan faktor penting dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Batool & Malik, 2010). Penelitian Harrison, dkk. (dalam Mitteness, DeJordy, Ahuja, & Sudek, 2014) menemukan bahwa individu ternyata memiliki preferensi alami untuk berinteraksi dengan individu lain yang memiliki karakteristik serupa, karena interaksi seperti ini cenderung memperkuat kepercayaan dan perilaku mereka, serta mengurangi ketidakpastian sosial, seperti menebak-nebak kemungkinan adanya prasangka pada lawan bicara.
Kedua responden pernah menyatakan orientasi seksual yang dimiliki pada teman-temannya, meskipun terdapat perbedaan antara keduanya, dimana B1 tidak menggunakan media sosial untuk coming out, sementara L2 memilih untuk menggunakan media sosial sebagai salah satu cara coming out. Ryan, Legate, dan Weinstein (2015) menyatakan bahwa proses coming out tidak selalu menggunakan pengungkapan secara langsung dan lisan. Cara lain yang dapat dilakukan adalah menulis pesan yang ditujukan pada individu lainnya, atau dengan mengunggah kiriman di media sosial, untuk menginformasikan pada khalayak yang lebih luas, seperti teman, kenalan, dan/atau keluarga.
Coming Out ke Keluarga
Banyak lesbian dan biseksual yang memilih untuk menunda coming out, karena merasa takut orangtua tidak akan menerima orientasi seksual yang dimiliki (D'Augelli, Hershberger, & Pilkington, 1998; Ryan, 2009; Ryan, Huebner, Diaz, & Sanchez, 2009). Hal ini sejalan dengan pandangan kedua responden terhadap orangtua dan keluarga, yang dirasa mungkin saja tidak bisa menerima orientasi seksual dari kedua responden. Bagi individu yang memutuskan untuk coming out ke keluarga, terutama orangtua, seringkali merupakan tantangan terbesar (Savin-Williams, 2003). Ketakutan dan konsekuensi negatif yang dapat dialami termasuk penolakan, rasa bersalah, dan keinginan untuk melindungi keluarga dari ancaman (Ben-Ari, 1995; Cramer & Roach, 1988; D'Augelli, Grossman, & Starks, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meskipun keluarga tidak bereaksi secara positif, bersikap terbuka tentang orientasi seksual terhadap anggota keluarga yang merupakan seorang lesbian dapat memiliki efek positif pada hubungan lesbian tersebut (Murphy, 1989). Dukungan sosial dari kerabat juga dikaitkan dengan kepuasan yang lebih besar pada pasangan sesama jenis (Kurdek, 1988). Walaupun terdapat keuntungan dari coming out ke keluarga, kedua responden merasa belum siap untuk coming out, dan keduanya tidak memilih keluarga sebagai prioritas utama untuk melakukan coming out ke depannya.
Coming Out ke Teman Sebaya
Individu yang merupakan minoritas seksual kemungkinan menempatkan pertemanan sebagai hal yang penting, mengingat banyaknya pengalaman atau ketakutan terhadap penolakan dari orang tua, sebagai akibat dari orientasi seksual yang berbeda dari kebanyakan orang (SavinWilliams, 1998b). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa secara disadari maupun tidak, banyak individu dewasa yang minoritas seksual meningkatkan kualitas hubungan dengan teman dekat, terutama secara emosional, untuk mengimbangi dukungan keluarga yang rendah (Nardi & Sherrod, 1994), dan ini dapat menyebabkan individu minoritas seksual memprioritaskan hubungan dekat dengan teman. Teori-teori ini kemudian mendukung temuan bahwa kedua responden sama-sama melakukan coming out pada teman terdekat.
Coming Out dan Agama
Ketika membahas agama dan perkembangan individu, penting untuk mempertimbangkan peran perbedaan individu. Menurut McCullough, dkk. (dalam Santrock, 2011), agama adalah sebuah pengaruh yang kuat dalam kehidupan beberapa individu dewasa, dan hanya berpengaruh sedikit atau sama sekali tidak berpengaruh pada beberapa individu lainnya. Pandangan ini kemudian dapat menjelaskan mengapa L2 tidak melibatkan unsur agama dalam jawaban-jawabannya, sedangkan pada B1 terjadi sebaliknya.
Penelitian yang dilakukan oleh Murr (2013), Rodriguez (2009) serta Subhi dan Geelan (2012) menyebutkan bahwa tidak semua orang mengalami konflik internal antara orientasi seksual lesbian atau biseksual dengan keyakinan agama atau spiritual. Dalam penelitian ini juga ditemukan perbedaan, dimana L2 bahkan sama sekali tidak menyinggung agama, sementara pada B1 terlihat bahwa agama merupakan salah satu pertimbangan untuk orientasi seksualnya, karena B1 menyadari di agamanya, hubungan sesama jenis adalah sesuatu yang tidak dibenarkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Kedua responden menyadari orientasi seksual pada waktu yang berbeda dan melalui critical event yang berbeda, dimana B1 lebih banyak menyadari karena hal-hal internal, dan L2 dipengaruhi oleh hal eksternal. (2) Kedua responden sama-sama pernah menjalin hubungan dengan sesama jenis maupun lawan jenis, dengan jumlah hubungan yang berbeda dan status hubungan yang berbeda, yaitu B1 pernah menjalani hubungan tanpa status dengan dua orang perempuan dan berpacaran dengan satu orang laki-laki. L2 pernah berpacaran dengan tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan. (3) Kedua responden sama-sama pernah melakukan coming out, dimana terdapat variasi pada kedua responden, seperti pandangan mengenai coming out, cara melakukan coming out, orang-orang yang telah mengetahui orientasi seksual responden, tujuan melakukan coming out, dampak positif dan dampak negatif yang dirasakan karena melakukan coming out, prioritas ke depannya untuk melakukan coming out, kriteria target coming out, orang yang menginspirasi untuk coming out, tiga kata untuk menggambarkan coming out, serta coming out dan intimasi. Beberapa hal yang melatarbelakangi perbedaan-perbedaan ini adalah latar belakang keluarga yang berbeda, agama yang berbeda, dan nilai dan pandangan tertentu yang dianut oleh kedua responden.
Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan, peneliti dapat memberikan saran dan rekomendasi pada pihak-pihak terkait sebagai berikut:
Saran yang dapat diberikan bagi responden dan lesbian serta biseksual di Indonesia adalah untuk lebih berhati-hati dalam melakukan coming out, mengingat adanya pandangan negatif terhadap lesbian dan biseksual di Indonesia. Pertimbangan yang diperlukan dalam coming out misalnya apakah target coming out dirasa siap menerima kondisi individu, juga apakah situasi dirasa cukup kondusif untuk melakukan coming out. Seandainya keluarga dirasa bukan target coming out yang aman, individu dapat memilih untuk melakukan coming out pada orang-orang yang dapat dipercaya, seperti teman terdekat, guru/dosen, konselor, atau bahkan pada komunitas di internet. Penting juga untuk mendapatkan teman yang suportif terhadap kondisi individu. Saran lainnya yang dapat diberikan adalah menambah informasi, baik dengan berbagi cerita maupun membaca literatur atau artikel, sehingga didapatkan cara dan situasi terbaik yang dapat dipertimbangkan untuk melakukan coming out. Cara coming out yang dapat
disarankan misalnya dengan bercerita pada orang yang dipercaya atau menulis pesan pada target coming out melalui surat atau media sosial, disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Diharapkan bagi keluarga dan teman responden dapat mencoba memahami orientasi seksual individu yang berbeda dari sebagian besar orang, dengan cara mencari informasi lebih lanjut mengenai lesbian dan biseksual, sehingga tidak terburu-buru dalam memberikan penilaian terhadap lesbian dan biseksual. Dalam jangka waktu yang lebih panjang, diharapkan keluarga dan teman dapat menerima dan memberikan dukungan yang dibutuhkan bagi lesbian dan biseksual. Keluarga dan teman juga dapat mengarahkan lesbian dan biseksual untuk melakukan kegiatan yang positif dan tidak merugikan diri sendiri, misalnya terlibat menjadi relawan atau fasilitator dalam kegiatan sosial, atau mengembangkan hobi yang positif seperti bermusik, bermain basket, atau membuat karya ilmiah.
Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat mengembangkan guideline dan melakukan probing yang lebih dalam, sehingga dapat dibangun sebuah teori yang lebih kredibel tentang gambaran coming out pada lesbian dan biseksual fase dewasa awal. Selain itu, peneliti selanjutnya juga dapat melakukan penelitian serupa pada jenis kelamin dan orientasi seksual lainnya, termasuk gay, biseksual, panseksual serta aseksual, agar dapat dibangun sebuah teori yang lebih kredibel tentang gambaran coming out pada kelompok LGBT secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S., & Barden, S. (2015). Considering the cycle of coming out: sexual minority identity development. The Professional Counselor, 5(4), 501-515.
doi:10.15241/sa.5.4.501
American Psychological Association. (2008). Answers to your questions for a better understanding of sexual orientation & homosexuality. Washington, DC: American Psychological Association
Balsam, K. F., & Mohr, J. J. (2007). Adaptation to sexual orientation stigma: A comparison of bisexual and lesbian/gay adults. Journal of Counseling Psychology, 54(3), 306–319.
doi:10.1037/0022-0167.54.3.306
Bancroft, J. (2009). Human sexuality and it’s problems third edition. London: Churchill Livingstone
Elsevier
Batool, S., & Malik, N. I. (2010). Role of attitude
similarity and proximity in interpersonal attraction among friends (C 310). International Journal of Innovation, Management and Technology, 1(2),
142-146. ISSN:2010-0248
Ben-Ari, A. (1995). The discovery that an offspring is gay: Parents’, gay men’s, and lesbians’
perspectives. Journal of Homosexuality, 30, 89– 112. doi: 10.1300/J082v30n01_05
Bohan, J. S. (1996). Psychology and sexual orientation: Coming to terms. New York: Routledge
Cooper, L. (2008). On the other side: Supporting sexual minority students. British Journal of Guidance & Counselling, 36(4), 425–440.
doi:10.1080/03069880802364577
Cramer, D. W., & Roach, A. J. (1988). Coming out to Mom and Dad: A study of gay males and their relationships with their parents. Journal of Homosexuality, 15, 79–91. doi:
10.1300/J082v15n03_04
Crocker, J., Major, B., & Steele, C. (1998). Social stigma. In D. Gilbert & S. Fiske (Eds.), Handbook of Social Psychology (Vol. 2, 4th ed., pp. 504–551). New York: McGraw Hill
D’Augelli, A. R. (2002). Mental health problems among lesbian, gay, and bisexual youths ages 14 to 21. Clinical Child Psychology and Psychiatry, 7, 433– 456. doi:10.1177/1359104502007003039
D’Augelli, A. R. (2006). Developmental and contextual factors and mental health among lesbian, gay, and bisexual youths. In A. M. Omoto & H. S. Kurtzman (Eds.), Sexual orientation and mental health: Examining identity and development in lesbian, gay, and bisexual people (pp. 37–53). Washington, DC: American Psychological
Association
D’Augelli, A. R., Grossman, A. H., & Starks, M. T. (2005). Parents’ awareness of lesbian, gay, and bisexual youths’ sexual orientation. Journal of Marriage and Family, 67, 474–482.
doi:10.1111/j.0022-2445.2005.00129.x
D’Augelli, A. R., Hershberger, S. L., & Pilkington, N. W. (1998). Lesbian, gay, and bisexual youth and their families: Disclosure of sexual orientation and its consequences. American Journal of
Orthopsychiatry, 68, 361–371.
doi:10.1037/h0080345
D’Augelli, A.R. & Patterson, C. J. (1995). Lesbian, gay, and bisexual identities over the lifespan: Psychological perspectives. New York: Oxford University Press
Dermer, S. B., Smith, S. D., & Barto, K. K. (2010). Identifying and correctly labeling sexual prejudice, discrimination, and oppression. Journal of Counseling & Development, 88, 325–331.
doi:10.1002/j.1556-6678.2010.tb00029.x
Faulkner, A. H., & Cranston, K. (1998). Correlates of same-sex sexual behavior in a random sample of Massachusetts high school students. American Journal of Public Health, 88, 262–266.
doi:10.2105/AJPH.88.2.262
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Theories of personality. Dubuque: McGraw-Hill Education
Haryati, T. (2018). Studi pendahuluan: Mengapa seorang perempuan biseksual tidak melakukan coming out pada keluarga?.. Naskah tidak dipublikasikan,
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar.
Haryati, T., Ritawari, I. G. A. K., Lestari, M. D. & Wilani, N. M. A. (2017). Proses Pengambilan Keputusan Partial Coming Out pada Perempuan Biseksual. Proceedings Temu Ilmiah Nasional Psikologi 11th Psychofest. 461-477. ISBN: 978-682-71718-6-2
Herek, G. M. (2000). The psychology of sexual prejudice. Current Directions in Psychological Science, 9, 19–22. doi:10.1111/1467-8721.00051
Rohmitriasih, M. (2019). Mengenal Ciri-ciri Anak Berkebutuhan Khusus, Waspadai Sahabat Fimela. Diunduh dari
https://www.fimela.com/parenting/read/3862189/m engenal-ciri-ciri-anak-berkebutuhan-khusus-waspadai-sahabat-fimela. Diakses tanggal 7 Juli 2019
Israel, T., & Selvidge, M. (2003). Contributions of
multicultural counseling to counselor competence with lesbian, gay, and bisexual clients. Journal of Multicultural Counseling and Development, 31(2), 84–98. doi:10.1002/j.2161-1912.2003.tb00535.x
Knous, H. (2005). The coming out experience for bisexuals: Identity formation and stigma
management. Journal of Bisexuality, 5(4), 37–59. doi:10.1300/J159v05n04_05
Kurdek, L. A. (1988). Perceived social support in gays and lesbians in cohabitating relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 54(3), 504– 509. doi: 10.1037/0022-3514.54.3.504
Lehmiller, J. J. (2014a). Psychology of human sexuality. S.L.: Wiley-Blackwell
Mayfield, W. (2001). The development of an internalized homonegativity inventory for gay men. Journal of Homosexuality, 41, 53–76.
doi:10.1300/J082v41n02_04
Mays, V. M., & Cochran, S. D. (2001). Mental health correlates of perceived discrimination among lesbian, gay, and bisexual adults in the United States. American Journal of Public Health, 91, 1869–1876. doi:10.2105/AJPH.91.11.1869
McLean, K. (2007). Hiding in the closet? Bisexuals, coming out and the disclosure imperative. Journal of Sociology, 43(2), 151–166.
doi:10.1177/1440783307076893
McLean, K. (2008). Inside, outside, nowhere: Bisexual men and women in the gay and lesbian community. Journal of Bisexuality, 8(1-2), 63–80. doi:
10.1080/15299710802143174
Mitteness, C. R., DeJordy, R., Ahuja, M. K., & Sudek, R. (2014). Extending the role of similarity attraction in friendship and advice networks in angel groups. Entrepreneurship Theory and Practice, 40(3), 627655. doi:10.1111/etap.12135
Moleong, L. J. (2016). Metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Murphy, B.C. (1989). Lesbian couples and their parents: The effects of perceived parental attitudes on the couple. Journal of Counseling and Development, 68, 46–51. doi: 10.1002/j.1556-
6676.1989.tb02492.x
Murr, R. (2013) ‘I became proud of being gay and proud of being Christian’: The spiritual journeys of queer Christian women. Journal of Religion & Spirituality in Social Work: Social Thought, 32(4), 349–372. doi:10.1080/15426432.2013. 839241
Nardi, P. M., & Sherrod, D. (1994). Friendship in the lives of gay men and lesbians. Journal of Social and Personal Relationships, 11, 185–199. doi:
10.1177/0265407594112002
Nisaa, C., Pitayanti, A., & Hani, I. M. (2016). Correlation between of social support with self concept on the Sidoarjo’s LGBT community (Research of Sidoarjo’s LGBT Community). Jurnal Keperawatan, 5(1). Retrieved from
http://digilib.stikesicmejbg.ac.id/ojs/index.php/jip/a rticle/view/86
O’Brien, J. (2017, December 6). The dangers of
homophobia. Retrieved from
https://www.psychologytoday.com/intl/blog/all-things-lgbtq/201712/the-dangers-homophobia
Pistella, J., Salvati, M., Ioverno, S., Laghi, F., & Baiocco, R. (2016). Coming-out to family members and internalized sexual stigma in bisexual, lesbian and gay people. Journal of Child and Families Studies, 25, 3694-3701. doi:10.1007/s10826-016-0528-0
Rasmussen, M. L. (2004). The problem of coming out. Theory Into Practice, 43(2), 144-150. doi:
10.1353/tip.2004.0025
Rodriguez, E. M. (2009). At the intersection of church and gay: A review of the psychological research on gay and lesbian Christians. Journal of Homosexuality, 57(1), 5–38. doi:10.1080/00918360903445806
Rosario, M., Hunter, J., Maguen, S., Gwadz, M., & Smith, R. (2001). The coming-out process and its adaptational and health-related associations among gay, lesbian, and bisexual youths: Stipulation and exploration of a model. American Journal of Community Psychology, 29(1), 133–160.
doi:10.1023/A:1005205630978
Ryan, C. (2009). Supportive families, healthy children: Helping families with lesbian, gay, bisexual & transgender children. San Francisco: Marian Wright Edelman Institute, San Francisco State University
Ryan, C., Huebner, D., Diaz, R. M., & Sanchez, J. (2009). Family rejection as a predictor of negative health outcomes in white and Latino lesbian, gay, and bisexual young adults. Pediatrics, 123, 346–352. doi:10.1542/peds.2007-3524
Ryan, W. S., Legate, N., & Weinstein, N. (2015). Coming out as lesbian, gay, or bisexual: the lasting impact of initial disclosure experiences. Self and Identity, 14(5), 549-569.
doi:10.1080/15298868.2015.1029516
Santrock, J. W. (2011). Life-span development 13th edition. New York: McGraw-Hill
Savin-Williams, R. C. (1998b). The disclosure to families of same-sex attractions by lesbian, gay, and bisexual youths. Journal of Research on Adolescence, 8, 49–68.
doi:10.1207/s15327795jra0801_3
Savin-Williams, R. C. (2003). Lesbian, gay and bisexual youths’ relationships with their parents. In L. D. Garnets & D. C. Kimmel (Eds.), Psychological perspectives on lesbian, gay, and bisexual experiences (2nd ed., pp. 299–326). New York: Columbia University Press
Septian, A., Nugraha, C., Imran. (2018, Februari). Nasib wadam di tahun politik. Tempo, 4458, 30-35
Staf. (2019). Arti istilah jeruk makan jeruk menurut KBBI. Retrieved from https://apaarti.com/arti-istilah/jeruk-makan-jeruk.html
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basics of qualitative research: grounded theory procedures and
techniques. California: Sage Publications, Inc.
Subhi, N., & Geelan, D. (2012). When Christianity and homosexuality collide: Understanding the potential intrapersonal conflict. Journal of Homosexuality, 59(10), 1382–1402.
doi:10.1080/00918369.2012.724638
Sugiyono. (2016). Metode penelitian kombinasi (mix methods). Bandung: Alfabeta
Unknown. (n.d.). Kumpulan Seratus Peribahasa dan Artinya. Retrieved from
https://www.ilmubahasa.net/2015/05/peribahasa.ht ml
Wandrey, R. L., Mosack, K. E., & Moore, E. M. (2015). Coming out to family and friends as bisexually identified young adult women: A discussion of homophobia, biphobia, and heteronormativity. Journal of Bisexuality, 15(2), 204–229. doi:
10.1080/15299716.2015.1018657
95
Discussion and feedback