Jurnal Psikologi Udayana 2022, Vol.9, No.1, 23-32


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i01.p03

Mitos penderita epilepsi: Sebuah kajian psikologi dengan budaya Jawa

Janice Valencia dan Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya

[email protected]

Abstrak

Epilepsi yang dikenal sebagai penyakit “ayan” banyak menjadi kontroversial di Indonesia. Penyakit epilepsi di Indonesia dianggap sebagai orang yang dikutuk, dosa nenek moyang, dan juga kerasukan roh. Epilepsi juga masih dianggap sebagai penyakit menular dan juga penyakit mental. Hal ini membuat adanya stigma negatif terhadap penderita epilepsi dan juga berdampak pada keluarga penderita epilepsi. Tujuan dari artikel ini adalah memberikan kajian tentang mitos penderita epilepsi dari perspektif psikologi budaya. Studi literatur dilakukan sejak Oktober 2019, dilakukan eliminasi dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 10 artikel yang digunakan dalam studi. Mitos epilepsi ada di masyarakat dikarenakan dari kejang yang terjadi secara mendadak, penderita meronta-meronta, mulut berbusa selama beberapa menit dan kemudian kembali normal, hal ini dipersepsikan seperti kerasukan roh yang sesuai dengan budaya “kejawen” yang kemudian dimanfaatkan beberapa orang menjadi ilmu gaib “santet” sehingga akhirnya penderita epilepsi dianggap sebagai orang yang kerasukan roh. Adanya stigma negatif terhadap epilepsi di Indonesia yang mempunyai budaya kolektif yang tinggi menyebabkan keluarga dari penderita epilepsi berusaha menyembunyikan penyakit dari penderita untuk melindungi, menjaga keharmonisan seluruh anggota keluarga. Kajian ini diharapkan dapat menjelaskan fenomena psikologi budaya pada penderita epilepsi di lingkungan masyarakat Jawa.

Kata kunci: Budaya kolektif, epilepsi, mitos epilepsi, kejawen.

Abstract

Epilepsy, known as the "ayan" disease, has become controversial in Indonesia. Epilepsy in Indonesia is considered a cursed person, the ancestors' sin, and possessed by a spirit. Epilepsy is also still considered an infectious disease and a mental illness. This creates a negative stigma against people with epilepsy and impacts the families of people with epilepsy. This article aims to study the myths about people with epilepsy from the perspective of cultural psychology. The literature study has been carried out since October 2019, eliminated with inclusion and exclusion criteria. Obtained 10 articles used. The myth of epilepsy exists in society because of sudden seizures, sufferers struggle, foam in the mouth for a few minutes, and then return to normal. This is perceived as being possessed by a spirit following "kejawen" culture, which some people then use to become occult "witchcraft." Finally, people with epilepsy are considered people possessed by spirits. The negative stigma against epilepsy in Indonesia, which has a high collective culture, causes families of people with epilepsy to hide the disease from sufferers to protect and maintain harmony for all family members. This study is expected to explain the phenomenon of cultural psychology in people with epilepsy in Javanese society.

Keywords: Collective culture, epilepsy, epilepsy myths, kejawen.

LATAR BELAKANG

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang umum di dunia. Epilepsi mempunyai mitos bahwa merupakan penyakit kutukan atau kerasukan roh jahat dikarenakan epilepsi berasal dari Bahasa Yunani yaitu dari kata “epilambanein” yang artinya adalah “dikuasai” atau “diliputi kejutan” (WHO, 199 7). “Epilambanein” menunjukan bahwa adanya sesuatu hal dari luar tubuh yang masuk sehingga orang dengan epilepsi tersebut jatuh (mengalami serangan), dari hal ini kemudian dipercaya bahwa orang dengan epilepsi merupakan orang yang dikutuk atau mendapatkan dosa nenek moyang (WHO, 1997). Gejala epilepsi berupa kejang, beberapa penelitian juga menemukan adanya periode postictal sesudah kejang seperti kebingungan, irritable, tidak berespon, dan mengantuk. Periode postictal dapat berlangsung lama jika tubuh kekurangan oksigen akibat kejang yang lama (Subota et al., 2019). Gerakan dari kejang dimana tubuh penderita meronta-ronta tidak terkendali dalam beberapa menit dan juga periode postictal pada penderita epilepsi dianggap sebagai fenomena supernatural (Denita, 2019). Hal ini mendukung artikel yang menyampaikan bahwa individu dengan epilepsi sering dianggap sebagai orang kerasukan, orang yang dikutuk (Braga et al., 2020).

Diperkirakan setidaknya terdapat 60 juta orang di dunia yang menderita epilepsi (Bartolini et al., 2011). Pada negara berkembang, epilepsi mempunyai angka kejadian yang lebih tinggi dibandingkan dengan di negara maju. Perkiraan angka kejadian epilepsi di Asia sebesar 2960/100.000 (Bartolini et al., 2011). Diperkirakan dari seluruh jumlah penderita epilepsi di dunia, 90% dari jumlah penderita epilepsi tersebut berada di negara berkembang (Kumar et al., 2013). Sedangkan di Indonesia, angka penderita epilepsi cukup tinggi dengan prevalensi 8.2 per 1000 penduduk dan insiden 50 per 100.000 (Maryam, 2018).

Indonesia yang didominasi penduduk suku Jawa, mempunyai kepercayaan utama yaitu “kejawen” yang banyak dianut oleh suku Jawa maupun suku lainnya yang menetap di Jawa (Santoso, 2009). Kejawen sebenarnya merupakan suatu filsafat yang terbentuk dari pertama kalinya ada orang Jawa. Kejawen berasal dari kata Jawa yang mempunyai makna “segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa”. Kejawen bukan merupakan agama, melainkan berisikan filosofi orang Jawa, budaya, tradisi, dan ritual (Santoso, 2009). Spiritual kejawen yang utama adalah “laku” yang mempunyai banyak simbol-simbol seperti keris, mantra, wayang, dan bunga-bunga tertentu. Hal ini akhirnya dimanfaatkan sebagai praktik klinik perdukunan, dengan mengadopsi filsafat kejawen. Banyak juga dari masyarakat yang akhirnya menganggap kejawen merupakan praktik perdukunan (Santoso, 2009).

Terdapat kepercayaan animisme-dinamisme yang sudah ada sejak lama. Animisme-dinamisme merupakan nilai-nilai budaya yang merupakan warisan budaya dari suku Jawa.

Kepercayaan animisme-dinamisme merupakan kepercayaan terhadap roh-roh dan daya-daya gaib yang bersifat aktif. Kepercayaan animisme-dinamisme menjelaskan bahwa adanya roh orang mati yang tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa dan dapat berbuat mencelakan atau membantu dan juga menyejahterakan. Animisme-dinamisme inilah yang menjadi warisan budaya dari kejawen, baik yang di pedalaman maupun di perkotaan masih sangat mempertahankan kebudayaan kejawen (Safitrf, 2013).

Awal mula kejawen dianggap sebagai perdukunan dikarenakan adanya beberapa orang yang menggunakannya sebagai sihir dalam masyarakat jawa yang dikenal dengan “santet”. Santet yang dikenal dengan sihir merupakan suatu praktik ilmu hitam yang dilakukan oleh dukun dengan bantuan ilmu gaib. Santet hingga saat ini masih banyak dilakukan di kalangan masyarakat pesisir (Safitrf, 2013). Santet dapat membuat orang tersebut menjadi tidak fokus atau tiba-tiba bingung dalam beberapa waktu dan alasannya juga tidak jelas. Terdapat tiga macam jenis santet yang berdasarkan golongannya terbagi menjadi golongan rendah, golongan menengah, dan golongan tinggi. Golongan rendah adalah dengan cara meminta jin untuk menyerang korban tersebut dengan memberikan sesajen, proses dan penggunaan energinya berdasarkan sesajian (Safitrf, 2013). Golongan menengah adalah dengan dukun menggunakan media bantuan jimat, roh, atau kekuatan supranatural. Biasanya digunakan juga benda atau bagian tertentu milik korban pada tingkat ini dapat menyerang tubuh fisik, pikiran dan energi korban. Golongan tinggi penggunaan media bantu tidak diharuskan. Dukun sudah memiliki medan yang stabil, kuat, dan berkesinambungan. Kondisi fisik, energi tubuh dan pikiran korban sudah dapat dipengaruhi secara utuh (Safitrf, 2013).

Di Indonesia sendiri epilepsi yang dikenal dengan penyakit ayan banyak menjadi kontroversial, dikarenakan banyaknya pendapat masyarakat terkait penyakit epilepsi. Dimana orang yang terkena epilepsi merupakan anak yang dikutuk sejak lahir (Wahjuni, 2012). Selain itu terdapat pemikiran bahwa orang dengan epilepsi karena kutuk nenek moyang, dapat ditularkan melalui air liur (Yanti, 2015). Banyaknya pendapat terkait penyakit epilepsi, khususnya di Indonesia penyakit epilepsi dihubungkan dengan hal-hal mistis, sedangkan di India pada penderita epilepsi dilakukan acara pengusiran setan dengan mengikatkan penderita di pohon dan diadakan beberapa ritual (Maryanti, 2016).

Penyakit epilepsi juga dianggap sebagai dosa nenek moyang sehingga penyakit epilepsi merupakan hal memalukan (Kiemas & Octaviana, 2012). Masyarakat di Indonesia merasa tidak aman jika hidup berdekatan dengan penderita epilepsi. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa “penderita epilepsi tidak boleh menikah” dan juga “penderita epilepsi tidak boleh mempunyai anak”. Penderita epilepsi baik di dalam akademik dan pekerjaan tidak diperbolehkan bekerja atau menempuh pendidikan bersama dengan orang normal (Suryawijaya et al., 2019). Hal ini dikarenakan adanya mitos epilepsi bahwa orang yang

menyentuh penderita epilepsi yang mengalami kejang dapat tertular, penderita epilepsi harus di rawat di rumah sakit jiwa karena merupakan penyakit kejiwaan dan juga epilepsi disebabkan oleh kerasukan roh jahat sehingga pada penderita epilepsi perlu dilakukan pengusiran roh jahat (Denita, 2019). Menurut Kamus Ilmiah Populer, mitos adalah suatu kepercayaan primitif tentang kehidupan alam gaib yang timbul dari usaha manusia yang tidak ilmiah dan tidak berdasarkan pada pengalaman yang nyata untuk menjelaskan dunia atau alam disekitarnya (Chaplin, 2014).

Kejang epilepsi juga sering dihubungkan dengan dosa, kerasukan, gila, dan dianggap menular, terutama di negara Asia. Epilepsi di Indonesia juga dikenal dengan “Ayan”. Seringnya penyakit epilepsi ini dihubungkan dengan supranatural menyebabkan stigma di masyarakat yang negatif. Dampak dari stigma negatif terhadap penderita epilepsi, dimana masyarakat Indonesia lebih memilih untuk tidak bersekolah, bekerja, berteman, dan menikah dengan penderita epilepsi (Chia et al., 2020).

Orang tua yang mempunyai anak dengan epilepsi juga merasakan cemas pada saat masyarakat mengetahui bahwa anaknya menderita epilepsi sehingga mereka cenderung untuk menyembunyikan kondisi anaknya (Saing, 2016). Hal ini dapat berpengaruh juga pada subjective well-being dari penderita epilepsi, dikarenakan keluarga berusaha menyembunyikan hal tersebut sehingga penderita epilepsi tidak mendapatkan pengobatan yang maksimal (Mawuntu et al., 2019; Saing, 2016). Adanya mitos bahwa epilepsi disebabkan oleh kerasukan roh jahat dan perlunya dilakukan ritual pengusiran roh jahat untuk penderita epilepsi menyebabkan banyaknya penderita epilepsi yang tidak mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan gangguan medisnya (Denita, 2019).

Adanya ketakutan akan pencemaran nama baik keluarga dan dianggap sebagai orang yang merepotkan membuat penyakit epilepsi ini disembunyikan baik oleh penderita maupun oleh keluarganya. Diskriminasi pada wanita juga dialami lebih tinggi, dikarenakan wanita dengan penyakit epilepsi dianggap akan menjadi masalah pada saat menjalani kehidupan rumah tangga dan juga pada masa kehamilan, sehingga wanita dengan epilepsi tidak boleh menikah atau tidak boleh mendapatkan suami yang ideal (Kiemas & Octaviana, 2012).

Pada perspektif psikologi budaya, individu dilihat dari faktor budaya yang membentuk individu tersebut. Adanya faktor budaya masyarakat sekitar, budaya keluarga yang membuat individu tersebut mempunyai pandangan atau perilaku yang berbeda dari individu lainnya yang dibesarkan atau berada di lingkungan budaya yang berbeda (Mantovani, 2012). Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui mitos penderita epilepsi dari perspektif psikologi budaya. Psikologi budaya adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan penyebarannya sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan budaya (Ristianti, 2018). Penulis mengharapkan dari artikel ini dapat

membantu memahami dan menjelaskan mitos pada penderita epilepsi dari segi psikologi budaya masyarakat Jawa dalam menjelaskan mitos penderita epilepsi. Artikel ini juga diharapkan dapat membantu pembaca dan masyarakat bahwa terkandung budaya dalam mitos penderita epilepsi dan mengurangi stigma negatif terhadap penderita epilepsi.

METODE PENELITIAN

Artikel ini merupakan studi literatur yang membahas literatur yang berkaitan dengan Mitos Penderita Epilepsi dilihat dari aspek budaya. Literatur yang digunakan pada studi literatur ini berupa buku dan jurnal yang berkaitan dengan mitos penderita epilepsi. Pencarian jurnal menggunakan kata kunci meliputi "Mitos epilepsi", "Epilepsi", "Kejawen", "Stigma epilepsi", "Bibit, bebet, bobot", "budaya kolektif", "Cultural dimentisions", "Kerasukan", "Persepsi", "Collective self-esteem", dan "Self-esteem" pada laman “Google Scholar”, “Google Books” “WHO”, “Wecare.id”, “Science Direct” dan “Garuda Garba Rujukan Digital”.

Studi literatur ini dilakukan sejak Oktober 2019, dalam pemilihan literatur penulis melakukan beberapa langkah pencarian yaitu (1) Membaca artikel untuk mengidentifikasi apakah terdapat kedua variabel yang digunakan pada artikel dan didapatkan sebanyak 18.432; (2) Membaca abstrak artikel untuk mengetahui isi dari artikel. Artikel yang sama akan dieliminasi. Artikel yang sesuai dengan studi ini akan dieliminasi kembali berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 17.152. Artikel yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi yaitu (1) Telah melalui proses peer-review, (2) Tahun publikasi diantara 2010-2020. Artikel yang tidak memenuhi kriteria tersebut akan dieksklusi, sehingga didapatkan 131 artikel; (3) Artikel yang tidak memenuhi spesifik kriteria inklusi yaitu terdapat epilepsi dan psikologi budaya dieliminasi sebanyak 121 artikel. Jumlah akhir artikel yang memenuhi seluruh kriteria didapatkan 10 artikel. Artikel yang digunakan dianalisis untuk menjawab pertanyaan terkait mitos penderita epilepsi dari perspektif psikologi budaya. Alur dari proses seleksi literatur dapat dilihat pada Gambar 1 (terlampir). Sepuluh artikel yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 (terlampir).

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Indonesia merupakan negara dengan budaya kolektivis dan mempunyai nilai yang cukup rendah pada indeks individualis di dunia (Hofstede et al., 2005). Dengan masyarakat yang kolektivis, setiap orang merupakan bagian dari kelompok tersebut dan saling menjaga serta diharapkan mengikuti harapan masyarakat atau kelompoknya (Jatmika, 2017).

Budaya memberikan dampak yang cukup banyak pada setiap individu dalam perkembangan dan pertumbuhannya yang belajar dari lingkungan sekitarnya. Hal ini berhubungan juga dengan individu yang tumbuh dan

berkembang di lingkungan yang kolektivis, ia akan mementingkan kepentingan kelompoknya dan perilaku mereka diatur oleh norma sosial dibandingkan dari sikap pribadinya (Jatmika, 2017).

Pada budaya kolektif, masyarakat kolektif adalah orangorang yang lahir di dalam keluarga besar atau marga, yang melindungi mereka sebagai pertukaran loyalitas, menekankan pada kebersamaan, harmoni harus dijaga, orang-orang diklasifikasikan dalam kelompok (in-group) atau luar kelompok (out-group), kesadarannya berdasarkan “kami” bukan “saya” (Hofstede, 2011). Pelanggaran norma menimbulkan perasaan malu, hubungan lebih didahulukan dibandingkan tugas, tujuan dari pendidikan adalah bagaimana melakukan sesuatu, dan opini-opini ditentukan dalam kelompok (in-group). Penyakit epilepsi juga dianggap sebagai dosa nenek moyang sehingga penyakit epilepsi merupakan hal memalukan (Hofstede, 2011; Kiemas & Octaviana, 2012). Keluarga penderita epilepsi menganggap bahwa penyakit epilepsi merupakan hal memalukan sehingga menjadi rahasia keluarga dan ketakutan keluarga bahwa masyarakat akan memperlakukan penderita epilepsi dengan buruk karena belum diketahuinya penyebab penyakit epilepsi (Saing, 2016). Adanya ketakutan akan pencemaran nama baik keluarga dan dianggap sebagai orang yang merepotkan membuat penyakit epilepsi ini disembunyikan baik oleh penderita maupun oleh keluarganya. Diskriminasi pada wanita juga dialami lebih tinggi dikarenakan bahwa wanita dengan penyakit epilepsi akan menjadi masalah pada saat menjalani kehidupan rumah tangga dan juga pada masa kehamilan, sehingga wanita dengan epilepsi tidak boleh menikah atau tidak boleh mendapatkan suami yang ideal (Kiemas & Octaviana, 2012).

Indonesia merupakan negara yang mempunyai nilai budaya kolektif yang tinggi, sehingga masyarakat di Indonesia juga mempunyai budaya kolektif yang tinggi. Hal tersebut berarti kepentingan komunitas menjadi hal yang utama. Selain itu, individu dengan budaya kolektif yang tinggi akan mempunyai sifat individualis yang rendah. Dalam berkeluarga, individu dengan sifat individualis yang rendah akan berusaha melindungi keluarganya (Amin, 2008).

Hal ini nampak pada penderita epilepsi di Indonesia yang berusaha melindungi nama keluarga dengan menyembunyikan penyakit epilepsinya dan tidak mendapat pengobatan yang layak, dengan kata lain penderita tersebut juga menyingkirkan kebutuhan akan dirinya dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok (keluarga) untuk menjaga nama baik keluarga tersebut. Hal ini dikarenakan masih adanya stigma di masyarakat bahwa epilepsi merupakan penyakit yang memalukan dikarenakan penyakit epilepsi tidak diketahui sebabnya dan masih adanya kepercayaan bahwa epilepsi disebabkan oleh kerasukan roh jahat. Dengan masih adanya pemikiran seperti itu di masyarakat Indonesia, penderita epilepsi berusaha menyembunyikan penyakit epilepsinya untuk menjaga nama baik keluarganya. Hal tersebut didukung dengan penelitian terdahulu bahwa pandangan masyarakat terhadap

individu yang menderita epilepsi merupakan hal memalukan, pada penelitiannya didapatkan bahwa keluarga dengan orang yang menderita epilepsi berusaha menyembunyikan penyakit tersebut dari masyarakat (Manglapy & Fani, 2018). Penelitiannya membandingkan antara keluarga yang pertama kali mempunyai anggota keluarga yang menderita epilepsi jauh lebih berusaha menutupi untuk menjaga nama baik keluarga dan didapatkan penerimaan masyarakat juga kurang baik, dibandingkan dengan keluarga yang sudah pernah memiliki anggota keluarga yang menderita epilepsi, penerimaan masyarakat juga jauh lebih baik (Manglapy & Fani, 2018).

Individu dengan epilepsi yang bertumbuh dalam budaya kolektif mempunya self-esteem yang rendah dikarenakan adanya ketidakyakinan terhadap dirinya sendiri untuk dapat mengontrol kejang yang tidak dapat diprediksi (Kwong et al., 2016). Individu dengan epilepsi memiliki ketakutan bahwa ia akan mempermalukan keluarganya. Hal ini menyebabkan self-esteem yang rendah pada penderita epilepsi yang tumbuh dengan budaya kolektif (Yamaguchi et al., 2017). Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi self-esteem individu, yaitu pekerjaan, pendidikan, lingkungan sosial, dan juga riwayat penyakit, hal ini yang membuat individu dengan epilepsi cenderung mempunyai self-esteem yang rendah (Kwong et al., 2016).

Self-esteem merupakan kunci utama dari kesuksesan hidup, self-esteem juga bergantung pada bagaimana persepsi individu dari nilai dirinya, perasaan akan harga diri, kepercayaan diri seseorang, dan juga sejauh mana seseorang mempunyai pandangan positif atau negatif terhadap dirinya sendiri (Sharma & Agarwala, 2015). Pada saat seorang individu memperluas pandangan positif pada dirinya dan mengembangkan pandangan positif itu untuk seluruh kelompok dan anggotanya hal ini disebut collective self-esteem (Sharma & Agarwala, 2015). Collective selfesteem yang merupakan kebernilaian suatu kelompok dimana seseorang menjadi anggotanya. Keluarga yang merupakan kelompok kecil yang menjadi identitas diri individu. Collective self-esteem juga diketahui dapat memberikan kesehatan mental yang positif seperti kepuasan hidup dan kesejahteraan individu. Self-esteem dan collective self-esteem merupakan hal penting pada individu untuk bertahan sebagai identitas yang unik dan hal ini juga berlaku di dalam grup (Mokgatlhe & Schoeman, 1998; Sharma & Agarwala, 2015). Dalam pembentukan selfesteem dan collective self-esteem diperlukan adanya intervensi dari keluarga (Sharma & Agarwala, 2015).

Keluarga yang dinilai baik atau buruk juga merupakan pandangan yang baik atau buruk bagi individu tersebut, oleh karena itu individu dengan collective self-esteem yang tinggi akan menjaga nama keluarganya untuk melindungi kepentingan semua individu yang ada dalam keluarganya sehinga identitas in group tetap terjaga dengan baik. Epilepsi dianggap juga oleh masyarakat sebagai dosa nenek moyang sehingga penyakit epilepsi memalukan. Stigma masyarakat yang masih negatif terhadap epilepsi juga membuat keluarga berusaha menyembunyikan penderita

epilepsi. Hal ini juga menjadi dasar untuk anggota keluarga dari penderita epilepsi berusaha menyembunyikan kondisi penderita epilepsi sehingga penderita epilepsi tidak mendapatkan pengobatan yang rutin atau yang layak.

Filosofi Jawa mengenai bibit, bebet, dan bobot atau juga dikenal dengan “siksik lebe maka tindes”yang mempunyai makna “telusuri asal usulnya” yang menjelaskan bahwa garis keturunan memainkan peran penting pada tata nilai keluarga (Lastarya, 2018). Bibit, bebet, dan bobot tidak hanya diberlakukan oleh suku Jawa tetapi juga di setiap suku di Indonesia. Fenomena banyaknya orang tua yang mengacu pada nilai dan norma adat untuk memilihkan pasangan anaknya. Terdapat faktor sosio-kultural yang berpengaruh pada pemilihan calon pasangan hidup selain usia pasangan, pendidikan, etnis dan profesinya (Norman, 1990). Faktor bibit merupakan perhitungan terhadap benih asal keturunan yaitu memilih benih yang sehat jasmani dan rohaninya, bersih dari penyakit keturunan atau penyakit mental tertentu. Diharapkannya dengan bibit yang baik, akan menghasilkan keturunan yang baik dan sehat. Bebet yang berarti keluarga, keturunan, asal benih keluarga. Harapannya adalah mempunyai keturunan dari bangsawan, yang dimaksud adalah harapan bahwa anak-anaknya mempunyai sifat luhur, menjalankan ibadah dan hukum, serta berkepribadian terpuji. Bobot yang dimaksud seperti timbangan yang berbobot, yaitu mempunyai harkat, martabat, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, kekuasaan, dan status sosial yang baik sehingga dihargai oleh masyarakat. Bobot dalam hal spiritual dengan mempunyai nilai-nilai kerohanian yang baik (Kartono, 2006).

Budaya kolektif yang sangat kuat di Indonesia dan dengan adanya penilaian terhadap bibit, bebet, dan bobot dapat menjadi faktor dari keluarga penderita epilepsi berusaha menyembunyikan penyakit epilepsi yang diderita keluarganya. Hal ini karena berhubungan dengan faktor bibit, dimana tidak ada keluarga dari calon pasangannya yang mengalami penyakit. Adanya pemikiran di masyarakat bahwa epilepsi dapat diturunkan dan ada juga pemikiran bahwa epilepsi merupakan penyakit mental. Budaya kolektif yang tinggi menyebabkan keluarga dengan penderita epilepsi berusaha menyembunyikan penyakit tersebut untuk melindungi seluruh anggota keluarganya untuk menjaga keharmonian dalam kelompok (keluarga) serta menjaga atau melindungi anggota keluarga lainnya.

Chaplin (2014) menjelaskan persepsi sebagai proses pengetahuan atau mengenali objek atau kejadian objektif dengan bantuan panca indera. Atkinson (1981) menyatakan bahwa persepsi merupakan proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan, yang dimulai dari stimulus yang diterima oleh indera yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan (Atkinson & Atkinson, 1981; Chaplin, 2014).

Sesuatu yang dipersepsikan setiap individu dapat berbeda dengan pemaknaan yang sesungguhnya. Pemaknaan

tersebut sesuai dengan orang yang mempersepsikan, objek yang dipersepsikan, serta situasi di lingkungan sekitarnya. Faktor yang dapat mempengaruhi individu tersebut adalah faktor dalam diri individu yang mengadakan persepsi yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang berasal dari faktor lingkungan sekitarnya (Walgito, 2003).

Terdapat dua faktor yang memengaruhi persepsi seseorang, yaitu orang yang melakukan persepsi serta objek dan target persepsi. Faktor dari orang yang melakukan persepsi yaitu sikap individu tersebut ingin mempersepsikan suatu kejadian sesuai dengan yang diharapkan (Robbins, 2006). Faktor objek dan target persepsi yaitu besar/kecil, kontras, intensitas, karakter personal, dan tingkah laku yang dapat berpengaruh pada orang yang mempersepsikan(Robbins, 2006).

Indonesia didominasi oleh suku Jawa (40%) yang kemudian terbanyak kedua adalah suku Sunda (15%). Oleh karena Indonesia yang didominasi penduduk suku Jawa, mempunyai kepercayaan utama yaitu “kejawen”. Spiritual kejawen yang utama adalah “laku” yang mempunyai banyak simbol-simbol seperti keris, mantra, wayang, dan bunga-bunga tertentu (Santoso, 2009). Kepercayaan animisme-dinamisme menjelaskan bahwa adanya roh orang mati yang tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa dan dapat berbuat mencelakan atau membantu dan juga menyejahterakan. Animisme-dinamisme inilah yang menjadi warisan budaya dari kejawen, baik yang di pedalaman maupun di perkotaan masih sangat mempertahankan kebudayaan kejawen (Safitrf, 2013). Awal mula kejawen dianggap sebagai perdukunan dikarenakan adanya beberapa orang yang menggunakannya sebagai sihir dalam masyarakat jawa yang dikenal dengan “santet”. Santet yang dikenal dengan sihir merupakan suatu praktik ilmu hitam yang dilakukan oleh dukun dengan bantuan ilmu gaib. Santet hingga saat ini masih banyak dilakukan di kalangan masyarakat pesisir. Santet dapat membuat orang tersebut menjadi tidak fokus atau tiba-tiba bingung dalam beberapa waktu dan alasannya juga tidak jelas (Safitrf, 2013).

Menurut mitologinya, epilepsi merupakan fenomena supernatural karena pada saat kejang tubuh penderita meronta-ronta tanpa terkendali dalam beberapa menit dan pada saat kejang selesai tidak ada efek buruk yang terlihat. Epilepsi yang dari pengertian kata-katanya sendiri “dikuasai oleh roh” menyebabkan banyaknya mitos yang ada dimasyarakat. Mitos epilepsi merupakan kerasukan roh jahat dan perlunya penderita epilepsi dilakukan ritual pengusiran roh jahat makanya (Denita, 2019).

Epilepsi juga dikatakan disebabkan oleh kerasukan roh jahat, sehingga pada penderita epilepsi perlu dilakukan pengusiran roh jahat (Denita, 2019). Kerasukan roh yaitu terjadinya serangan roh jahat terhadap manusia yang masih hidup sehingga menyebabkan manusia tersebut menderita gangguan pada akal dan fisiknya. Pada saat seseorang kerasukan roh atau jin, dikatakan bahwa roh atau jin itu tidak akan tinggal selamanya di dalam tubuh manusia,

melainkan akan meninggalkannya beberapa saat dan kembali lagi kepada manusia tersebut, pada saat itu penderita akan kembali normal dan tidak menunjukan kejanggalan apapun (Akhmad, 2019).

Adanya kepercayaan “kejawen” pada suku Jawa dapat menyebabkan adanya kesalahan persepsi oleh masyarakat Jawa yang mempersepsikan bahwa epilepsi merupakan kerasukan roh jahat dikarenakan bentuk gerakan pada saat kejang yaitu tubuh penderita meronta-ronta tidak terkendali terdapat juga penderita berteriak dan mulutnya berbusa dalam beberapa menit dan kemudian kembali normal. Hal ini berhubungan dengan “santet”, yang dikenal pada masyarakat jawa sebagai suatu ilmu gaib yang yang dapat membuat seseorang menjadi tidak fokus, bingung dan tidak ada alasan yang jelas. Persepsi seseorang yang dipengaruhi oleh panca indera dan terdapat faktor yang mempengaruhi bagaimana seseorang ingin mempersepsikan kejadian tersebut dan karakter atau sikap objek. Gerakan yang dilihat oleh orang lain pada penderita epilepsi yang serupa dengan kerasukan roh, santet dapat disalah persepsikan. Hal ini akan menyebabkan adanya stigma negatif masyarakat terhadap epilepsi.

Indonesia mempunyai penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia (Hayat, 2012). Agama Islam yang mempunyai kepercayaan terhadap kerasukan roh juga menjadi dasar kesalahan persepsi orang terhadap penderita epilepsi (Pasmawati, 2018). Fenomena kesurupan menurut keyakinan Islam dikarenakan adanya intervensi makhluk gaib jin dalam perilaku individu sehingga individu tersebut mengalami gangguan perilaku (Shibab, 2002). Di dalam ayat Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275, Allah SWT berfirman : orangorang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila (Shibab, 2002). Dikatakan bahwa mereka yang kesurupan dan kemasukan syaithan itu tidak dapat berdiri secara normal. Dalam Al Qur’An juga dipercaya bahwa fenomena sihir, santet, guna-guna dan sebagainya merupakan praktik yang menggunakan bantuan jin. Apabila jin masuk ke dalam tubuh manusia, maka jin akan berada dalam waktu yang cukup lama, tetapi dalam beberapa waktu akan berpisah darinya sehingga orang yang dirasuki akan terlihat sehat dan tidak berpenyakit (Shibab, 2002).

Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam dapat menyebabkan kesalahan persepsi bahwa epilepsi yang mempunyai gejala pada saat kejang yaitu meronta-ronta, berteriak dan mulutnya berbusa, gerakan tidak terkendali dan kemudian kembali normal dipersepsikan oleh masyarakat bahwa merupakan orang yang kerasukan roh gaib/jin (Shibab, 2002). Berdasarkan teori kesurupan, bahwa pada saat seseorang kesurupan akan terdapat fase terlihat sehat dan tidak berpenyakit, hal ini serupa dengan apa yang terjadi pada penderita epilepsi yang jika pada saat tidak kejang penderita terlihat seperti orang normal (Rahardanto, 2017). Kesamaan gejala yang dilihat

masyarakat antara kesurupan dan penyakit epilepsi, oleh masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam dan juga budaya “kejawen” membuat persepsi itu diterjemahkan bahwa penderita epilepsi merupakan orang yang kesurupan sehingga menyebabkan stigma negatif terhadap penderita epilepsi.

Mitos epilepsi yang ada pada masyarakat khususnya suku Jawa saat ini masih kuat. Penyakit epilepsi masih dianggap sebagai penyakit kerasukan roh, penyakit menular, penyakit mental dan juga dianggap mempermalukan nama keluarga. Stigma negatif tersebut menyebabkan penderita epilepsi tidak diperbolehkan untuk menikah, mempunyai keturunan, bekerja dan bersekolah di lingkungan yang sama seperti orang normal. Adanya stigma negatif menyebabkan penderita epilepsi tidak dapat mendapat pengobatan yang layak. Dengan memahami penyakit dan menghapus stigma negatif, penderita epilepsi dapat menerima pengobatan yang layak dan diperlakukan dengan baik di masyarakat. Budaya kolektif yang tinggi pada masyarakat di Indonesia menjadi alasan keluarga dan juga penderita epilepsi berusaha menyembunyikan penyakit epilepsi untuk kepentingan bersama dalam menjaga nama baiknya. Collective selfesteem yang terbentuk di masyarakat Indonesia juga membuat tiap individu berusaha menjaga in-group dengan menjaga identitas dari keluarganya. Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut “kejawen” mempunyai kesalahan persepsi dengan mempersepsikan epilepsi sebagai kerasukan roh/jin. Penulis berharap penelitian selanjutnya dapat melakukan eksplorasi lapangan dengan melakukan wawancara pada penderita epilepsi dan juga pada keluarga penderita epilepsi untuk lebih memahami mitos epilepsi dan dampak pada keluarga penderita epilepsi. Diharapkan informasi yang didapatkan lebih mendalam dan juga dapat melakukan pembahasan yang lebih untuk menghilangkan stigma negatif yang ada di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, P. (2019). Kerasukan setan benarkah manusia dapat dirasuki oleh jin. Adamssein Media.

Amin, A. (2008). Collective culture and urban public space. City, 12(1),                                             5–24.

https://doi.org/10.1080/13604810801933495

Atkinson, R., & Atkinson, C. R. H. (1981). Psikologi suatu pengantar (2nd ed.). Erlangga.

Bartolini, E., Bell, G. S., & Sander, J. W. (2011). Multicultural challenges in epilepsy. Epilepsy & Behavior, 20(3), 428–434. https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2010.12.045

Braga, P., Hosny, H., Kakooza-Mwesige, A., Rider, F., Tripathi, M., & Guekht, A. (2020). How to understand and address the cultural aspects and consequences of diagnosis of epilepsy, including stigma. Epileptic Disorders,              22(5),              531–547.

https://doi.org/10.1684/epd.2020.1201

Chaplin, J. P. (2014). Kamus lengkap psikologi. Raja Grafindo Persada.

Chia, Z. J., Jehosua, S. Y., Lim, K. S., Khosama, H., Hamid, D. H., Fong, S. L., & Tan, C. T. (2020). Indonesian Public Attitudes Toward Epilepsy (PATE) scale: Translation

and psychometric evaluation. Epilepsy & Behavior, 103, 106833. https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2019.106833

Denita, A. (2019, March 25). Mitos seputar epilepsi. WeCare.Id. https://blog.wecare.id/2019/03/mitos-seputar-epilepsi/

Hayat, B. (2012). Kontribusi Islam terhadap masa depan peradaban di Asia Tenggara. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman,                                     36(1).

https://doi.org/10.30821/miqot.v36i1.115

Hofstede, G. (2011). Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in Context. 2(1). http://dx.doi.org/10.9707/2307-0919.1014

Hofstede, G., Hofstede, G. J., & Minkov, M. (2005). Cultures and organizations: Software of the mind. McGraw-Hill.

Jatmika, D. (2017). Hubungan budaya individualis-kolektif dan motivasi berbelanja hedonik pada masyarakat Kota Jakarta. 10(1).

Kartono, K. (2006). Psikologi wanita 1. Mandar Maju.

Kiemas, L. S., & Octaviana, F. (2012). Persepsi masyarakat

terhadap orang dengan epilepsi terkait masalah pernikahan. 30(1).

Kumar, P., Nehra, D. K., & Verma, A. N. (2013). Subjective wellbeing and coping among people with schizophrenia and epilepsy, 4, 25–30.

Kwong, K. L., Lam, D., Tsui, S., Ngan, M., Tsang, B., Lai, T. S., & Lam, S. M. (2016). Self-esteem in adolescents with epilepsy: Psychosocial and seizure-related correlates. Epilepsy     &     Behavior,     63,     118–122.

https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2016.07.032

Lastarya, B. G. (2018). Komunikasi orang tua kepada anak mengenai pemilihan pasangan terkait bibit, bebet, dan bobot melalui storytelling.

Manglapy, Y. M., & Fani, T. (2018). Faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi stigma terhadap orang dengan epilepsi di kalangan akademis. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 13(2), 155–167.

Mantovani, G. (2012). Exploring borders: Understanding culture and psychology.

Maryam, I. S. (2018). Karakteristik klinis pasien epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah Periode Januari – Desember 2016. Callosum Neurology,   1(3).

https://doi.org/10.29342/cnj.v1i3.29

Maryanti, N. C. W. (2016). Epilepsi dan budaya. Buletin Psikologi,                  24(1),                  23.

https://doi.org/10.22146/bpsi.16358

Mawuntu, A. H. P., Mahama, C. N., Sekeon, S. A. S., Winifred, K., & Khosama, H. (2019). Kepatuhan minum obat antiepilepsi pada pasien epilepsi di Manado, Indonesia. 2(3), 19–24.

Mokgatlhe, B. P., & Schoeman, J. B. (1998). Predictors of

satisfaction with life: The role of racial identity, collective self-esteem and gender-role attitudes. South African Journal  of  Psychology,  28(1),  28–35.

https://doi.org/10.1177/008124639802800105

Norman, S. (1990). Studi toleransi dalam pemilihan jodoh. Masyarakat Kebudayaan Dan Politik, 3(4), 82–94.

Pasmawati, H. (2018). Fenomena gangguan kesurupan (Dalam perspektif Islam dan Psikologi). EL-AFKAR: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis,  7(1),  1.

https://doi.org/10.29300/jpkth.v7i1.1244

Rahardanto, M. S. (2017). From acute pain to intense elation: The psychological dynamics of five individuals who experienced spirit possession. 39(1), 25–45.

Ristianti, D. H. (2018). Psikologi lintas budaya. Zaky Press.

Robbins, P. S. (2006). Perilaku Organisasi. Indeks Gramedia

Safitrf, I. (2013). Kepercayaan gaib dan kejawen studi kasus pada masyarakat pesisir Kabupaten Rembang Ikha Safitrf perencanaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan Program Magister Manajemen Suniberdaya Pantai Universitas Diponegoro. Jurnal Kajian Kebudayaan, 8(1), 18–28.

Saing, J. H. (2016). Tingkat pengetahuan, perilaku, dan kepatuhan berobat orangtua dari pasien epilepsi anak di Medan. Sari Pediatri, 12(2), 103–107.

Santoso, T. (2009). Konsep waktu masyarakat Kejawen.

Sharma, S., & Agarwala, S. (2015). Self-esteem and collective self-esteem among adolescents: An interventional approach. psychological  thought,  8(1),  105–113.

https://doi.org/10.5964/psyct.v8i1.121

Shibab, M. Q. (2002). Yang tersembunyi: Jin, iblis, setan, dan malaikat dalam al-qur’an as-sunnah serta wacana pemikiran ulama masa kini dan masa lalu. Lentera Hati.

Subota, A., Khan, S., Josephson, C. B., Manji, S., Lukmanji, S., Roach, P., Wiebe, S., Buchhalter, J., Federico, P., Teskey, G. C., Lorenzetti, D. L., & Jetté, N. (2019). Signs and symptoms of the postictal period in epilepsy: A systematic review and meta-analysis. Epilepsy & Behavior,                94,                243–251.

https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2019.03.014

Suryawijaya, N., Sam, C. I., & Gelgel, A. M. (2019). Gambaran pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang epilepsi di Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka. Jurnal Bekala Neurologi, 2(3), 5–6.

Wahjuni, F. R. (2012). Kontroversi 101 mitos kesehatan. Penebar PLUS+.

Walgito, B. (2003). Psikologi sosial suatu pengantar. Andi Offset.

WHO. (1997). Epilepsy in the WHO South-East Asia Region. https://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy/ searo_report.pdf?ua=1

Yamaguchi, A., Akutsu, S., Oshio, A., & Kim, M.-S. (2017). Effects of Cultural Orientation, Self-Esteem, and Collective Self-Esteem on Well-Being. Psychological Studies, 62(3), 241–249. https://doi.org/10.1007/s12646-017-0413-y

Yanti, A. (2015). Hubungan Antara Kemampuan Manajemen-diri dengan Kualitas Hidup pada Penderita Epilepsi Dewasa. Airlangga.

Lampiran

Tabel 1.

Daftar Artikel

Judul Penelitian

Metode Penelitian

Hasil Penelitian

Epilepsi dan Budaya

Kualitatif

Epilepsi dianggap berbeda-beda di setiap negara, di Indonesia sendiri epilepsi diartikan sebagai bentuk pengalaman religi yang dikaitkan dengan penyakit setan dan disebut sebagai penyakit suci, dianggap sebagai serangan makluk halus atau kesurupan, dihubungkan dengan roh-roh jahat, ilmu hitam, sihir, atau keracunan, dihubungkan dengan pengalaman spiritual dan juga ada yang menganggap sebagai kegilaan. Stigma sangat memengaruhi penderita epilepsi. Beberapa aspek dari stigma yang berhubungan dengan epilepsi adalah takut kejang, cidera, kematian, malu, kehilangan pekerjaan, kesempatan pendidikan, atau tidak diizinkan menikah.

Subjective Well-Being and Coping Among People With Schizophrenia and Epilepsy

Cross sectional

Didapatkan individu dengan epilepsi mempunyai kesejahteraan yang buruk yang berhubungan dengan keparahan dari penyakit epilepsi tersebut, keterpurukan fungsi dirinya, perawatan diri yang buruk. Coping yang buruk juga memperparah kondisi dari individu tersebut, hal ini membuat individu dengan epilepsi distigma buruk oleh masyarakat.

Persepsi Masyarakat Terhadap Orang Dengan Epilepsi Terkait Masalah Pernikahan

Kualitatif

Dalam penelitian ini kami melakukan dan merekam wawancara mendalam terhadap 7 orang responden tentang persepsi mereka terhadap epilepsi, yang berkaitan dengan masalah pernikahan. Dari wawancara yang kami lakukan, kami menemukan bahwa hampir semua responden menyatakan keberatannya untuk menikah ataupun menikahkan anggota keluarga mereka dengan penderita epilepsi dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Tingkat Pengetahuan, Perilaku, dan Kepatuhan Berobat Orang Tua dari Pasien Epilepsi Anak di Medan

Studi deskriptif

Informasi yang didapatkan tentang penyakit epilepsi masih terbatas, sehingga pemberian terapi tidak bisa segera. Faktor yang mempengaruhi adalah faktor budaya, sosioekonomi, dan etnis. Pada penelitian didapatkan bahwa responden yang tidak memberitahu saudara ataupun teman tentang penyakit epilepsi anaknya beralasan karena sikap buruk masyarakat terhadap pasien epilepsi, karena penyakit dan penyebabnya itu masih salah dimengerti oleh sebagian besar orang disekitarnya, dan merupakan rahasia keluarga.

Signs and Symptoms of The Postictal Period in Epilepsy: A Systematic Review and MetaAnalysis

Systematic literature review

Kejang yang terjadi berhubungan dengan fisik, perilaku, dan gejala kognitif. Individu dengan epilepsi sering mendapatkan stigma negatif dikarenakan kejang terjadi secara tiba-tiba dan juga efek sesudah terjadinya kejang. Postictal symptoms setidaknya berlangsung paling lama 48 jam dan kondisi afasia dapat berlangsung selama 2 menit hingga 24 jam. Perilaku agresi, tidak berespon, kebingungan, irritable sering didapatkan pada pasien epilepsi sesudah kejang

Pengetahuan Masyarakat Tentang Epilepsi dan Perilaku Terhadap Penyandang Epilepsi Pada Masyarakat Kewapante Kabupaten Sikka

Studi deskriptif

Responden dari penelitian mengetahui tentang epilepsi tetapi masih mempunyai pandangan negatif terkait bersosial dengan penderita epilepsi. Didapatkan 61.9% responden merasa keberatan anaknya berinteraksi dengan penderita epilepsi dan 79.4% menolak anggota keluarga mereka menikah dengan penderita epilepsi. 68.1% responden menyatakan bahwa penderita epilepsi tidak boleh bekerja. Hal dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat terkait penyekit epilepsi, terdapat pemahaman bahwa epilepsi merupakan penyakit yang dapat menurun, menular, dan adanya faktor kepercayaan setempat.

Karakteristik Klinis Pasien Epilepsi Di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Periode

Deskriptif observasional

Epilepsi kebanyakan terjadi pada laki-laki dengan usia 29-35 tahun. Kebanyakan dikarenakan trauma kepala seperti kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja. Bangkitan umum yang paling banyak terjadi. Kondisi kejang pada pasien sering terjadi karena tidak mendapatkan pengobatan yang tepat. Pasien tidak mengonsumi obat secara rutin

Januari – Desember

2016

atau putus obat.

Kepercayaan gaib dan kejawen studi kasus pada masyarakat pesisir Kabupaten Rembang Ikha Safitrf perencanaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan Program Magister Manajemen Suniberdaya Pantai Universitas Diponegoro.

Studi deskriptif

Masyarakat di Pantai Utara Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Rembang masih mempunyai budaya Indonesia yang cukup kental. Kebanyakan dari penduduk di Kabupaten Rembang masih menganut budaya kejawen. Dalam budaya kejawen, adanya ritual-ritual sembahyang yang melibatkan benda-benda, hal ini dimanfaatkan untuk hal yang tidak baik sehingga menjadi praktik perdukunan seperti sihir yang dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan “santet”. Santet sendiri dalam tingkat tinggi, dukun dapat menguasai tubuh dari korban tersebut.

Indonesian Public Attitudes Toward Epilepsy (PATE) scale: Translation and psychometric evaluation

Crosssectional

Epilepsi merupakan gangguan pada saraf yang ditandai dengan kejang. Kejang dan epilepsi sering dipersepsikan sebagai dosa, penyakit menular, dan kerasukan. Pada masa kini, beberapa masyarakat sudah mulai mengetahui penyakit epilepsi yang merupakan adanya gangguan saraf, tetapi masihnya ada persepsi yang menetap bahwa epilepsi berhubungan dengan dosa, penyakit menular, dan kerasukan. Berdasarkan hasil demografi, adanya pemikiran bahwa epilepsi merupakan dosa, penyakit menular dan kerasukan adalah masyarakat yang dengan sosioekonomi yang rendah, tingkat pendidikan yang kurang, usia tua, dan juga individu yang tidak pernah kontak dengan epilepsi. Hal ini membuat individu tersebut tidak mengetahui penyakit epilepsi merupakan menyakit gangguan saraf.

Kepatuhan Minum Obat Antiepilepsi Pada Pasien Epilepsi di Manado, Indonesia

Retrospektif

Didapatkan pada responden dengan epilepsi bahwa pasien yang mendapatkan obat anti epilepsi dengan jenis lebih dari satu, lebih patuh dalam meminum obatnya. Hal ini dikarenakan pasien dengan obat anti epilepsi lebih dari satu jarang mengalami kekambuhan sehingga membuat pasien ini lebih rutin mengkonsumi obat anti epilepsinya. Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat antilepsi ini dapat mencegah terjadinya kejang, dengan jarangnya terjadi kejang, hal ini dapat mengurangi stigma terkait epilepsi di masyarakat.

Gambar 1.


Seleksi Literatur


32