Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol.7, No.2, 1-15


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607 doi: 10.24843/JPU.2020.v07.i02.p01

Penelitian aksi terhadap guru PAUD dan TK: meningkatkan pengetahuan pendidik tentang bullying di sekolah melalui kegiatan psikoedukasi

Syntia Agung Liana Puspita dan Ike Herdiana

Program Studi Magister Profesi Psikologi Klinis, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga Surabaya

[email protected]

Abstrak

Perundungan (bullying) kini menjadi permasalahan sosial yang mengkhawatirkan di bidang pendidikan karena memberikan beragam dampak negatif secara fisik maupun psikologis pada korban, pelaku dan saksi. Perundungan juga menjadi perhatian pihak Puskesmas Dupak Surabaya karena banyak pasien dengan permasalahan psikologis memiliki riwayat menjadi korban perundungan di sekolah. Salah satu penyebab perundungan di sekolah adalah kurangnya keterlibatan dan pemahaman guru mengenai perundungan sejak dini. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman guru mengenai perundungan, sehingga guru dapat berperan lebih efektif dalam mencegah kejadian perundungan di sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian aksi dengan metode psikoedukasi, diskusi kasus dan pre-post test. Peserta kegiatan ini adalah perwakilan guruguru PAUD/TK yang berada di kawasan Dupak Surabaya dan dilaksanakan di Puskesmas Dupak Surabaya. Hasil analisis pre-post test dengan uji Wilcoxon menunjukkan angka signifikansi 0.000 (p<0.05) yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara pengetahuan peserta sebelum dan sesudah diberikan edukasi. Hasil observasi dan diskusi kasus menunjukkan peserta mengetahui langkah-langkah awal yang dapat dilakukan apabila berhadapan dengan kasus perundungan di sekolah.

Kata kunci: anak usia dini, guru PAUD dan TK, perundungan, psikoedukasi.

Abstract

Bullying is a social phenomenon that increasingly worrisome cases especially in the field of education because give various negative physical and psychological impacts to bullies, victim, and bystanders especially in early age. Topic of bullying is also a concern of the Dupak Surabaya Community-Health-Center because many patients with psychological problems were victims of bullying at school. One of the causes of bullying in schools is the lack of involvement and knowledge of teachers regarding bullying in early age. This study aims to improve teacher’s knowledge of bullying, so that teachers can play a more effective role in preventing incidence of bullying in school. This study is action-research with lecture, case-discussion (focused group discussion), and pre-post test. Participants in this activity were representatives of early childhood education program’s teachers who were in the Dupak area of Surabaya and carried out at the Dupak Health-Center in Surabaya. Wilcoxon analysis results show a significance number of 0.000 (p<0.05) which means there is a significant difference between the knowledge of participants before and after being given education. The results of observations and case discussions indicate that participants know the initial steps that can be taken when dealing with cases of bullying at school.

Keywords: bullying, early childhood, early childhood education program’s teacher, psychoeducation

LATAR BELAKANG

Masa kanak-kanak merupakan masa yang krusial dalam kehidupan manusia karena segala bentuk informasi, perkembangan kecerdasan, bakat, hingga penanaman nilai-nilai moral menentukan perkembangan karakter dan kepribadian individu di masa mendatang (Murni, 2017). Maka dari itu, pendidikan anak usia dini (PAUD) maupun pendidikan di bangku Taman Kanak-kanak (TK) menjadi sarana untuk mengembangkan dan mengasah beragam kemampuan anak mulai dari kemampuan motorik, kognitif, sampai kemampuan sosial.

Berbagai kejadian sosial yang anak temui harapannya menjadi sebuah proses untuk melatih kemampuan soft-skill dan mengembangkan kesehatan mental anak. Hanya saja, sering kali permasalahan sosial yang ditemui anak tidak mendapatkan bimbingan yang tepat sehingga perkembangan anak secara fisik dan psikologis menjadi kurang optimal. Salah satu permasalahan sosial yang sering menjadi boomerang bagi pembentukan kepribadian anak salah satunya adalah kasus perundungan atau yang dikenal dengan istilah perundungan.

Perundungan (bullying) adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya (Amini, 2008). Perundungan merupakan fenomena yang semakin mengkhawatirkan terutama di dunia pendidikan. Kirves & Sajaniemi (2012) menjelaskan bahwa terdapat banyak penelitian mengenai perundungan di usia sekolah dan di tempat kerja, namun masih sangat sedikit penelitian mengenai perundungan yang terjadi pada anak usia dini. Tanpa banyak diketahui pula bahwa studi mengenai perundungan anak usia dini merupakan sebuah permasalahan yang sangat serius.

Belum matangnya kemampuan sosial dan emosional anak usia dini juga menjadi permasalahan bagi para guru dan orangtua untuk mengetahui perilaku anak yang sudah masuk kategori atau masih dalam batas pengekspresian emosi yang wajar. Menurut Perren dan Alsaker (dalam Kirves & Sajaniemi, 2012) perilaku anak usia dini masuk kategori perundungan atau tidak dilihat dari frekuensi perilaku negatif yang anak munculkan. Apabila perilaku seperti agresi maupun diskriminasi dilakukan minimal satu minggu sekali dengan menargetkan anak lainnya sebagai korban. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Hanish et al. (dalam Kirves & Sajaniemi, 2012) bahwa anak usia dini yang melakukan perundungan cenderung menunjukkan perilaku agresif yang lebih hebat

dibandingkan anak rata-rata pada usianya serta menujukan perilakunya tersebut ke target anak tertentu. Maraknya kasus perundungan yang terjadi, tidak mengherankan jika terdapat beragam sandaran hukum yang akhirnya dibentuk, mengingat program anti-bullying sangat perlu dilaksanakan sejak dini. Landasan hukum tersebut salah satunya pasal 77 Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) dan pasal 54 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.

Peningkatan kasus perundungan juga semakin meningkat setiap tahunnya di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2016 mencatat ada 93 orang menjadi pelaku perundungan dan korban yang terpantau mencapai 81 orang. Kasus tersebut ditemukan di sekolah (Limilia & Prihandini, 2019). Rivers et al. (2009) menyatakan ada laporan sebanyak 20% dari siswa mengenai kejadian perundungan di sekolah, 34% siswa lainnya melapor pernah menjadi korban dan 63% siswa menyaksikan temannya menjadi pelaku. Adanya beragam landasan hukum dan tinjauan kasus tersebut menunjukkan bahwa perundungan memang telah menjadi fenomena penting karena memiliki dampak negatif jangka panjang bagi semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut.

Beberapa penelitian yang dirangkum dalam Aryuni (2017) mengatakan bahwa korban perundungan cenderung berkembang untuk memiliki karakteristik gangguan depresi dan menarik diri di pergaulan sosial. Tidak hanya korban, pelaku perundungan memiliki resiko lebih tinggi terlibat dalam perilaku kriminal ketika berada di usia dewasa dan kurangnya kemampuan untuk berempati (Hawker & Boulton, 2000). Selain itu, penelitian yang dilakukan Muthmainnah et al. (2014), anak-anak lain yang bisa dikatakan menjadi saksi kejadian perundungan beresiko memiliki kesalahan persepsi seakan-akan perundungan boleh dilakukan. Hal ini dapat berdampak pada anak lain yang memungkinkan menjadi pelaku atau peniru karena takut menjadi target atau korban.

Penelitian yang dilakukan oleh Veenstra et al. (2014) terdapat beberapa faktor pendukung tindakan perundungan khususnya yang sering terjadi sekolah tetap terjadi. Faktor tersebut antara lain pengaruh keinginan anak menjadi superior dan dominan, pengaruh teman sebaya, dan yang paling utama adalah kurangnya keterlibatan dan pemahaman guru mengenai perundungan di sekolah.

Guru yang belum memiliki pemahaman yang baik mengenai perundungan juga memiliki resiko untuk merespon pihak-pihak yang terlibat dalam perundungan dengan cara yang kurang tepat. Maka dari itu, guru khususnya guru PAUD dan TK perlu

memiliki pengetahuan yang tepat agar harapannya guru siap menghadapi apabila terjadi perilaku perundungan, mengurangi atau mencegah dampak negatif pada pemeran perundungan di sekolah.

Perundungan di sekolah juga ditemukan di kawasan Dupak Surabaya. Berdasarkan keterangan masyarakat dan juga Kepala Puskesmas Dupak Surabaya, banyak ditemukan kasus-kasus perundungan di sekolah bahkan sejak di PAUD/TK. Terdapat orangtua yang juga sering melihat bahwa di setiap sekolah atau kelas, selalu ada salah satu anak yang dijauhi teman-temannya. Anak yang dijauhi tersebut lebih sering untuk diejek, didorong dan jarang mau dibantu oleh teman-temannya ketika mengalami kesulitan. Secara tidak sadar, guru juga sering melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan kepada anak didik mereka. Guru terkadang mengelompokkan siswa dari status sosial-ekonomi, penampilan fisik, dan juga kemampuan anak yang dianggap pandai dan kurang pandai.

Sampai saat ini pihak sekolah sekitar yang memberikan keterangan menjelaskan memang belum ada langkah-langkah yang diberikan kepada anak maupun guru yang melakukan perundungan karena kurangnya pengetahuan pihak sekolah mengenai bentuk-bentuk perilaku yang sudah termasuk perundungan. Apabila terdapat laporan yang masuk ke sekolah, kepala sekolah biasanya menghukum anak yang melakukan perundungan dan mengambil jalan damai dengan kedua pihak orangtua yang terlibat. Terdapat juga sekolah yang mengaku meminta kedua orangtua masing-masing pihak menyelesaikan permasalahan anak mereka terlebih dahulu di luar sekola agar tidak mengganggu aktivitas murid-murid lainnya.

Pihak Puskesmas Dupak selaku lembaga yang juga menaungi kesehatan mental di kawasan Dupak mendapatkan laporan serupa bahwa terdapat pasien anak yang mengeluhkan permasalahan psikologis maupun fisik (seperti luka cakaran, memar, dan lain-lain) ternyata menjadi korban perundungan di sekolahnya. Adapun pasien-pasien lain yang mengalami gangguan kejiwaan yang terdata juga diketahui memiliki riwayat menjadi pelaku maupun korban perundungan di sekolahnya. Kepala Puskesmas Dupak yang diwawancari menganggap bahwa pihak sekolah membutuhkan edukasi untuk menjadi salah satu pihak yang berkontribusi mengurangi dampak dari tindakan perundungan tersebut. Tidak hanya dari pihak keluarga, namun lingkungan sekolah dianggap penting menyadari dampak jangka panjang perundungan terutama dari segi kesehatan fisik dan mental seseorang.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kirves & Sajaniemi (2012) menemukan bahwa perundungan

atau perilaku intimidasi yang dilakukan anak-anak usia dini ditemukan serupa dengan anak-anak berusia sekolah yang lebih besar. Kirves & Sajaniemi (2012) menjelaskan 12,6% anak-anak berusia 3 hingga 6 tahun yang ada di day-care dan taman kanak-kanak terlibat dalam fenomena perundungan. Metode paling banyak digunakan adalah perundungan psikologis dengan cara pengecualian teman sebaya yaitu sebanyak 10,7%. Kedua, metode perundungan verbal sebanyak 8,18% dengan cara mengejek, menuding dan menertawai. Metode perundungan ketiga adalah perundungan fisik sebanyak 7,45% kasus. Kirves & Sajaniemi (2012) juga menyatakan perundungan bersifat subjektif dimana anak-anak usia dini memiliki perbedaan toleransi terhadap perilaku negatif yang dilakukan teman-teman terhadap diri mereka. Hal ini dapat memicu fenomena perundungan tetap terjadi karena kurangnya kesadaran dan pemahaman siswa maupun pihak sekolah mengenai bentuk-bentuk perilaku yang sudah masuk kategori perundungan.

Penelitian yang dilakukan Wahyuni & Pransiska (2019) mengidentifikasi banyaknya kasus perundungan oleh anak-anak berusia 5-6 tahun di salah satu Taman Kanak-kanak di daerah Padang-Indonesia. Wahyuni & Pransiska (2019) menjelaskan bahwa terdapat perilaku perundungan dalam bentuk fisik, verbal dan psikologis. Perilaku-perilaku tersebut diobservasi dan terjadi secara berulang setiap harinya dengan pelaku yang sama dan sasaran korban yang sama. Anak-anak yang menjadi pelaku adalah anak-anak yang dianggap kuat oleh teman-temannya, sedangkan yang menjadi korban cenderung terlihat lemah. Wahyuni & Pransiska (2019) juga menjelaskan kejadian perundungan berulang tersebut juga dapat disebabkan karena tidak optimalnya peran guru ketika menghadapi kasus tersebut di sekolah.

Berdasarkan uraian sebelumnya, kasus perundungan di sekolah marak terjadi dikarenakan beragam faktor. Salah satu faktor yang berperan besar adalah peran tenaga pendidik di sekolah yang harapannya memiliki pengetahuan memadai mengenai fenomena perundungan. Seperti yang disebutkan oleh Rahman et al. (2017) bahwa guru yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kasus perundungan cenderung memiliki kesadaran dan keterampilan yang rendah ketika dihadapkan pada kasus perundungan. Peran guru untuk melindungi anak didik dari perundungan-pun menjadi tidak optimal.

Melihat kesenjangan pengetahuan dan keterampilan pendidik mengenai perundungan, maka dibutuhkan upaya untuk meningkatkannya. Arumsari & Adiyanti (2013) menjelaskan salah satu metode yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru adalah dengan teknik psikoedukasi. Serupa dengan pernyataan dari Siswati & Widayanti (2009) dan Abubakar (2018) yang menyatakan guru sangat penting dibekali pengetahuan mengenai perundungan dan program anti-bullying agar dapat mengidentifikasi dan merespon fenomena perundungan dengan tepat.

Terdapat penelitian yang telah menunjukkan efektifitas intervensi psikoedukasi bullying kepada tenaga pendidik di sekolah. Penelitian (Amawidyati & Muhammad, 2017) menyatakan bahwa program psikoedukasi bullying dapat meningkatkan efikasi guru dalam menangani kasus perundungan. Serupa dengan penelitian Nugroho & Adiyanti (2011) menjelaskan bahwa kelompok guru yang mendapatkan psikoedukasi bullying memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok guru yang tidak mengikuti psikoedukasi. Intervensi berupa psikoedukasi ternyata juga efektif menurunkan peristiwa perundungan di Sekolah Dasar (Nugroho & Adiyanti, 2011).

Berkaitan dengan pemaparan dan kasus lapangan yang ditemukan di kawasan Dupak Surabaya, peneliti tertarik untuk melakukan intervensi psikoedukasi mengenai Stop Bullying di Sekolah Sejak Usia Dini kepada guru PAUD/TK di kawasan Dupak Surabaya dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru untuk menghadapi fenomena perundungan di sekolah.

Pengertian Perundungan

Olweus (dalam Arumsari & Setyawan, 2018) menyatakan bahwa perundungan adalah perilaku negatif secara fisik, verbal maupun psikologis secara berulang-ulang serta langsung ditujukan kepada korban. Perundungan biasanya melibatkan adanya kesenjangan kekuatan antara pelaku dan korban. Olweus (dalam Arumsari & Setyawan, 2018) menjelaskan perbedaan perundungan dengan perilaku agresif secara umum, yaitu: 1) kekuatan: pelaku dapat melakukan tindakan perundungan dikarenakan ukuran fisik, status dan dukungan dalam kelompok sebayanya. 2) Frekuensi: pelaku perundungan melakukan tindakan agresifnya secara berulang-ulang.

Bentuk-bentuk Perundungan

Menurut Coloroso dalam Zakiyah et al. (2017), perundungan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

  • 1.    Perundungan Fisik

Jenis penindasan seperti memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, serta merusak dan

menghancurkan pakaian serta barang-barang milik anak yang tertindas.

  • 2.    Perundungan Verbal

Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual.

  • 3.    Perundungan Relasional

Pelaku melemahkan harga diri korban secara sistematis dengan cara seperti pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau diskriminasi.

  • 4.    Cyber-bullying

Kejadian-kejadian perundungan yang disampaikan melalui media-media elektronik atau media sosial. Misalnya, korban mendapatkan pesan negative dari pelaku terus-menerus.

Pihak-pihak dalam Kasus Perundungan

Menurut Sullivan (2000), perundungan memiliki beberapa sebutan dan pihak yang berperan yaitu:

  • 1.  Pelaku (bullies)

Pelaku adalah seseorang atau sekumpulan orang yang mempunyai kebutuhan untuk mendapat kesenangan pribadi, mendapatkan status sosial tertentu atau keuntungan materi, dan tidak memikirkan kebutuhan dan hak orang lain.

  • 2.    Korban (victims)

Korban perundungan merupakan pihak yang sering disakiti. Mereka biasanya tidak mempunyai kemampuan untuk membalas atau menghentikan perilaku menyakitkan yang ditujukan pada dirinya.

  • 3.    Saksi (bystander)

Bystanders adalah seseorang yang melihat, mengetahui, menyaksikan, mendengar (saksi) perilaku perundungan. Bystander seringkali melakukan sesuatu tetapi ada juga yang tidak melakukan apapun untuk menghentikan perundungan.

Dampak-dampak Perundungan

  • 1.    Bagi Pelaku

Rejeki (2016) menyatakan jika pelaku perundungan memiliki risiko memiliki karakter yang selalu ingin menang dan berkuasa     terhadap     teman-temannya.

Menginjak usia dewasa, potensi pelaku menjadi pelaku kriminal atau preman cenderung lebih besar Mereka berpotensi membuat masalah pada lingkungan sosial.

  • 2.    Bagi Korban

Rejeki (2016) menyatakan bahwa korban perundungan akan merasa bahwa sekolah merupakan tempat yang tidak nyaman baginya. Hal ini dapat mengarah pada rasa cemas yang berpotensi mengarah pada gangguan depresi. Selain itu, anak juga beresiko memiliki harga diri yang rendah.

Individu ketika masa kanak-kanaknya menjadi korban memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami kualitas hidup yang rendah ketika berusia 50 tahun, mengalami depresi serta kecemasan. Selain keluhan psikologis, Zakiyah et al. (2017) juga menjelaskan para korban perundungan dapat menderita keluhan fisik seperti sakit kepala, sakit perut dan ketegangan otot, rasa tidak aman saat berada di lingkungan sekolah, dan penurunan semangat belajar dan prestasi akademis. Ditemukan juga kasus-kasus cukup langka dimana korban akhirnya juga melakukan perilaku kekerasan.

  • 3.    Bagi Saksi

Penelitian yang dilakukan Muthmainnah et al.

  • (2014)    dampak lainnya yaitu dikhawatirkan anak-anak lain yang sering menyaksikan perilaku perundungan mengalami kesalahan persepsi bahwa perundungan merupakan perilaku yang boleh dilakukan. Saksi juga beresiko meniru perilaku perundungan dengan motif-motif melindungi diri sendiri seperti takut menjadi target berikutnya.

Upaya Guru pada Fenomena Perundungan di Sekolah

Menurut penelitian yang dilakukan Arumsari & Setyawan (2018) menyatakan bahwa guru berperan besar untuk mencegah terjadinya tindakan perundungan anak sejak dini. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan guru antara lain: 1) melatih siswa lebih asertif, 2) mengawasi selama siswa berada di sekolah, 3) memberikan materi perundungan kepada anak dengan cara yang menyenangkan. Pembelajaran mengenai perundungan bisa diberikan dengan menggunakan cerita (story telling) atau bermain peran di sekolah. Guru harus kreatif dalam memberikan pembelajaran tersebut, dan 4) mengadakan kegiatan penyuluhan/edukasi parenting kepada orangtua siswa

Veenstra et al. (2014) menyatakan bahwa guru yang juga menunjukkan perilaku anti-perundungan akan membentuk norma-norma yang lebih positif kepada pelaku perundungan maupun bystander. Guru tidak dapat berperan sendiri untuk mencegah tindakan perundungan melainkan membutuhkan kerjasama antara peer-group. Maka dari itu, guru perlu untuk mendidik anak-anak untuk bisa mendukung tindakan anti-perundungan.

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian aksi atau penelitian tindakan (action research). Menurut O’brien dalam Hasan (2009), penelitian aksi berkontribusi baik pada tataran

praktis kepedulian terhadap masalah yang dihadapi manusia saat ini maupun pengembangan ilmu sosial. Penelitian tindakan bertujuan untuk menyelesaikan masalah praktis yang dijumpai dalam organisasi atau komunitas dengan melibatkan pihak-pihak terkait (stakeholders) dengan menggunakan pendekatan ilmiah guna mencapai perubahan yang diinginkan (Hasan, 2009).

Penelitian ini didasari pada teori cognitive behavioral group menurut Corey (2016), dimana pelaksanaan program terdiri dari tiga tahapan pelaksanaan yaitu initial stage, working stage dan final stage. Tahapan initial stage merupakan tahapan dimana anggota belajar bagaimana fungsi grup dan bagaimana setiap sesi kegiatan disusun (Corey, 2016). Hal ini dilakukan penelitian dalam bentuk penjelasan dan perkenalan mengenai tujuan diadakannya kegiatan.

Kedua, tahapan working stage merupakan pemilihan serangkaian prosedur yang paling tepat dari antara strategi spesifik yang telah terbukti efektif dalam mencapai perubahan perilaku (Corey, 2016). Tahapan ini terdiri dari berbagai teknik yang dapat dipilih sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Adapun teknik yang dipilih untuk kegiatan ini adalah teknik coaching yaitu peserta kegiatan diberikan prinsip-prinsip umum untuk melakukan perilaku atau tujuan yang diinginkan secara efektif (Corey, 2016). Penelitian ini menggunakan teknik coaching dalam bentuk psikoedukasi dengan metode ceramah melalui tema Stop Bullying sejak Usia Dini, diskusi kelompok dan pembagian brosur.

Ketiga, tahapan final stage yaitu anggota memberikan umpan balik, melakukan evaluasi dari hasil pelaksanaan intervensi dan melakukan pembelajaran lebih lanjut dengan mengembangkan rencana tindakan khusus untuk terus menerapkan perubahan pada situasi di luar kelompok (Corey, 2016). Penelitian ini melaksanakan pre-post test materi psikoedukasi untuk mengetahui dan mengevaluasi apakah psikoedukasi ini efektif untuk meningkatkan pengetahuan guru mengenai kasus perundungan.

Teknik Analisis Data Penelitian

Peneliti melakukan pre-test dan post-test berupa angket yang terdiri dari 10 pertanyaan yang diambil dari materi psikoedukasi Stop Bullying sejak Usia Dini yang dibuat oleh peneliti. Angket ini digunakan untuk mengukur ada atau tidaknya peningkatan pengetahuan (knowledge) para peserta yaitu guru PAUD & TK mengenai fenomena perundungan. Topik-topik yang dibahas berupa pengertian bullying, bentuk-bentuk perilaku bullying, pihak yang terlibat dalam kasus bullying,

dampak yang ditimbulkan secara fisik dan psikologis, serta upaya yang dapat dilakukan guru untuk mencegah, menghadapi maupun menurunkan kasus perundungan di sekolah PAUD/TK. Adapun contoh aitem atau pertanyaan dari angket pre-post test pada kegiatan ini yaitu:

  • 1.    Apa yang dimaksud dengan bullying?

  • 2.    Berikut ini merupakan upaya yang dapat dilakukan guru dan sekolah untuk mencegah terjadinya bullying, kecuali?

Hasil pre-test dan post-test dianalisis menggunakan analisis data statistic-nonparametric IBM SPSS versi 21 dengan uji Wilcoxon. Uji analisis ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perubahan pengetahuan peserta sebelum dan sesudah intervensi diberikan.

Analisis lain yang digunakan pada penelitian ini juga dilihat dari observasi pelaksanaan kegiatan dan juga diskusi kasus secara berkelompok (focused group discussion). Observasi dan diskusi ini digunakan untuk menganalisa pemahaman peserta berdasarkan hasil edukasi apabila diterapkan ke dalam sebuah ilustrasi kasus perundungan.

Etika Penelitian

Segala bentuk kegiatan maupun intervensi penelitian tentunya wajib memerhatikan kewajiban, hak dan tanggungjawab seluruh pihak yang terlibat dalam kajian penelitian. Adapun etika penelitian dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Segala persiapan penelitian telah melewati proses administrasi maupun birokrasi yang berlaku

  • 2.  Narasumber/peserta yang informasinya

menjadi data dalam penelitian menyetujui proses wawancara maupun observasi yang dilakukan dengan peneliti yang menjamin kerahasiaan identitas narasumber dan tidak memengaruhi reputasi yang bersangkutan.

  • 3.  Peserta yang terlibat dalam kegiatan

didasarkan kepada kesukarelaan tanpa ada unsur paksaan apapun

  • 4.  Segala bentuk perekamana data (wawancara,

observasi, rekaman, foto, dll) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari peserta

  • 5.  Selama pelaksanaan, peneliti menciptakan

suasana ruangan yang nyaman, menghormati dan beretika sopan santun kepada peserta dan pihak yang terlibat.

  • 6.    Data yang diperoleh oleh peneliti akan dijaga kerahasiaannya dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Kasus perundungan dianggap menjadi permasalahan penting yang perlu dikaji oleh Puskesmas Dupak. Berdasarkan hal tersebut,

dibutuhkan pengumpulan data awal untuk mengkonfirmasi dan memastikan bahwa topik perundungan termasuk penting untuk dikaji oleh pihak Puskesmas Dupak Surabaya. Pengumpulan data yang dilakukan adalah dalam bentuk diskusi dan wawancara kepada orangtua, pihak guru PAUD/TK dan pihak Puskesmas Dupak. Adapun prosedur pengumpulan data awal ditunjukkan pada tabel 1 (terlampir).

Setelah melakukan studi pendahuluan di lapangan kepada pihak-pihak tersebut, peneliti bekerjasama dengan penanggungjawab dan kader PAUD/TK di Puskesmas Dupak untuk mengirimkan surat undangan kegiatan psikoedukasi ke 15 sekolah PAUD dan TK yang masuk dalam pendataan Puskesmas Dupak Surabaya. Kader dan pihak penanggungjawab PAUD/TK Puskesmas Dupak kemudian menyebarkan surat undangan dan memberikan penjelasan singkat kepada pihak sekolah mengenai urgensi dan tujuan kegiatan yang dilaksanakan.

Analisis Kebutuhan Penelitian

Puskesmas Dupak memiliki poliklinik psikologi yang memfasilitasi klien atau pasien untuk melakukan konseling mengenai permasalahan psikologis dan atau kejiwaan yang menganggu aktivitas sehari-hari. Berdasarkan hasil laporan dan pemeriksaan dari kepala Puskesmas dan penanggungjawab Poliklinik Psikologi Puskesmas Dupak, rata-rata pasien yang berkunjung ke poliklinik psikologi memiliki riwayat menjadi korban perundungan ketika berada di sekolah. Hal ini menjadi perhatian petugas Puskesmas Dupak bahwa pada kenyataannya perundungan memiliki dampak memprihatinkan bagi kondisi mental dan kejiwaan seseorang.

Hal serupa juga dijelaskan oleh para pendidik di salah satu sekolah PAUD X, PAUD Y, dan TK Z di daerah Dupak. PAUD/TK X, Y, dan Z menjelaskan bahwa mereka juga menemukan kasus-kasus kekerasan fisik yang dilakukan antar anak terutama ketika sedang berinteraksi di sekolah. Rata-rata yang mengeluhkan anaknya menjadi korban dalam aksi pertengkaran tersebut adalah orangtua murid.

Kepala sekolah yang diwawancarai menjelaskan bahwa terdapat anak-anak yang cenderung tertutup dan sering menyindiri ternyata menjadi korban perundungan teman-teman di kelasnya. Ada yang sering diledek karena penampilan fisiknya, jenis tas atau baju yang dikenakan dianggap aneh, dan ketika anak tidak sengaja melakukan aktivitas BAB dan BAK di kelas, dan sebagainya. Terdapat pula anak-anak yang seakan-akan menjadi ketua di kelasnya karena merasa fisiknya kuat dan dilihat lebih pandai dibandingkan kelompok sebayanya.

Ketika marah, anak tersebut sering memukul temannya atau melempar barang-barang temannya.

Perwakilan guru lain yang diwawancara juga menjelaskan dikarenakan tenaga kerja guru yang terbatas dan juga pekerjaan administratif lainnya di sekolah yang dianggap sangat banyak membuat guru tidak mampu memantau dan mewaspadai setiap kegiatan anak di sekolah. Guru menjelaskan bahwa kekerasan verbal jarang disadari karena pihak guru cenderung akan lebih merespon pada kekerasan fisik yang menyebabkan keributan di kelas. Guru menjelaskan secara tidak sadar lebih memperhatikan kekerasan fisik dibandingkan verbal karena dampak kekerasan fisik lebih nyata terlihat dibandingkan verbal.

Tidak hanya dilakukan oleh teman sebaya, secara tak sadar pihak sekolah seperti guru dapat menjadi salah satu pelaku perundungan. Terlepas dari kepentingan pribadi, guru secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan diskriminasi, labeling, pengabaian, tindak kekerasan secara fisik maupun verbal kepada peserta didiknya. Berdasarkan wawancara dengan 3 orang perwakilan orangtua di sekolah tersebut, mereka menyatakan bahwa guru sering memberikan perilaku yang berbeda kepada anak yang lebih pandai, status ekonomi lebih tinggi, dan kepada anak yang penampilan fisiknya dianggap lebih baik. Orangtua yang menyadari hal tersebut juga mengaku tidak berani menegur guru karena orangtua menganggap guru mungkin memiliki alasan positif dibalik itu semua. Terdapat juga orangtua yang akhirnya berselisih paham dengan orangtua lainnya karena merasa anaknya tidak diperlakukan dengan adil karena keberadaan anak yang diistimewakan.

Pengetahuan mengenai perilaku-perilaku apa saja yang sudah termasuk dalam kategori perundungan masih belum merata dipahami oleh guru-guru PAUD/TK di sekitar Puskesmas Dupak. Kepala sekolah PAUD X, Y, dan Z menjelaskan bahwa belum pernah mendapatkan undangan pembekalan maupun pelatihan mengenai topik khusus perundungan dari institusi formal maupun nonformal. Pemahaman guru mengenai perilaku perundungan cenderung kepada perilaku kekerasan fisik yang dilakukan seorang atau sekelompok anak kepada anak lainnya, sehingga guru-guru terkadang tidak menganggap serius perilaku kekerasan verbal dan diskriminasi sebagai bentuk perundungan yang memiliki dampak negatif secara psikologis terhadap anak.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas, petugas promotor kesehatan, dan penanggungjawab sekolah PAUD/TK Puskesmas Dupak, edukasi yang tepat mengenai perundungan saat ini menjadi topik yang perlu dijangkau oleh

puskesmas. Guru-guru PAUD/TK sebagai pihak utama yang membangun pendidikan karakter bagi anak sangat penting untuk mendapatkan edukasi perundungan agar dapat mengidentifikasi apabila terdapat tindakan perundungan di sekolah. Maka dari itu, dirasa penting apabila perundungan mulai disosialisasikan kepada guru PAUD/TK guna menurunkan dampak secara kesehatan fisik maupun mental dari tindakan perundungan sejak dini.

Ecological Level of Analysis

Berdasarkan hasil latar belakang dan analisis situasi, segala bentuk intervensi maupun rencana kegiatan yang diberikan membutuhkan analisis ekologikal guna mengetahui pihak sasaran yang tepat dengan tujuan kegiatan. Adapun hasil analisis ekologikal tersebut dirangkum dalam tabel 2 (terlampir).

Berdasarkan hasil analisis ekologikal diketahui bahwa intervensi ini sedianya akan memilih pihak sasaran pada level microsystem yaitu pihak guru di sekolah PAUD/TK. Pihak guru PAUD/TK harapannya menjadi agent of change di masing-masing sekolah untuk meneruskan informasi mengenai perundungan guna menurunkan maupun mencegah terjadinya kasus perundungan di sekolah sejak dini. Guru PAUD/TK juga diharapkan dapat menjangkau pihak orangtua siswa-siswi di masing-masing sekolah sehingga penyampaian informasi menjadi lebih efektif dan efisien.

Kriteria Peserta Kegiatan Penelitian

Peserta yang menjadi target sasaran kegiatan adalah guru-guru PAUD/TK yang berada di kawasan Dupak Surabaya. Hal ini dilakukan dengan harapan guru-guru PAUD/TK dapat meneruskan informasi yang akan diberikan kepada pihak sekolah. Selain itu, pencegahan perundungan sejak usia dini dibutuhkan agar tidak memberikan dampak negatif pada perkembangan psikososial anak selaku korban, pelaku, maupun saksi tindakan perundungan di masa mendatang.

Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan dilaksanakan pada hari Senin, 25 November 2019 di Aula Puskesmas Dupak Surabaya. Kegiatan dihadiri oleh 20 orang peserta yang merupakan perwakilan dari 14 sekolah PAUD & TK di kawasan Dupak Surabaya. Terdapat 1 sekolah yang tidak mengirimkan perwakilannya dikarenakan adanya kegiatan perayaan Hari Guru di sekolah tersebut yang belum selesai dan tidak dapat ditinggalkan.

HASIL DAN DISKUSI

Berdasarkan hasil uji analisis pada tabel 3 dan tabel 4 (terlampir) tersebut didapatkan hasil signifikansi

sebesar 0.000 (p<0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan pengetahuan yang signifikan antara pengetahuan peserta sebelum dan sesudah diberikan materi intervensi. Hasil tersebut dapat dirincikan sebagai berikut: (1) negative ranks atau selisih negatif antara hasil pretest dan posttest adalah 0, yang artinya tidak ada penurunan nilai pre-test ke nilai post-test; (2) positive ranks atau selisih positif antara hasil pre-test dan post-test adalah 20, yang artinya seluruh perserta menunjukkan peningkatan nilai dari pre-test ke post-test.

Berdasarkan Hasil Diskusi Kasus

Diskusi dilakukan sebelum dan sesudah pemberian materi. Sebelum pemberian materi berlangsung, narasumber berdiskusi singkat dengan peserta mengenai sejauh mana mereka memahami dan mengenal tindakan perundungan. Peserta aktif menjawab dan menyatakan pendapatnya mengenai perundungan seperti: perundungan adalah tindakan kekerasan fisik yang dilakukan anak ke anak lain, tindakan yang jahat, tindakan anak nakal, suka menjauhkan dan memusuhi salah satu teman di kelas dan anak yang suka mengganggu temannya yang lain. Adapun upaya dan langkah-langkah yang dilakukan apabila guru berhadapan dengan kasus perundungan cenderung kurang optimal seperti: memarahi, menghukum anak, melaporkan perilaku anak ke orangtua, dan meminta anak saling bermaaf-maafan.

Setelah pemberian materi, dilakukan sesi tanya jawab dan diskusi contoh kasus perundungan. Peserta menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan mengenai perundungan selama proses tanya jawab dengan narasumber. Peserta mampu menjelaskan dan membedakan bentuk-bentuk perundungan fisik, verbal hingga relasional. Peserta juga menjelaskan mengenai bentuk perilaku perundungan yang dapat dilakukan oleh guru beserta dengan contoh perilakunya.

Hasil diskusi kasus perundungan yang diberikan narasumber juga mendapatkan feedback yang lebih variatif dari peserta. Peserta mampu menjelaskan upaya-upaya dengan lebih beragam apabila berhadapan dengan kasus perundungan sesuai kondisi anak dan seting kejadian. Hal ini menunjukkan bahwa peserta menunjukkan adanya peningkatan pemahaman mengenai pengetahuan fenomena perundungan dan upaya-upaya yang dilakukan guru apabila menghadapi kasus perundungan anak usia dini di sekolah.

Berdasarkan Hasil Observasi

Berdasarkan observasi kegiatan, peserta menunjukkan adanya peningkatan kesadaran mengenai pentingnya peran guru untuk melindungi anak dari dampak perundungan di sekolah sejak

dini. Hal ini ditunjukkan dari sikap kooperatif peserta yang selama proses pelaksanaan kegiatan terlibat aktif dalam setiap sesi diskusi. Meskipun terdapat dua sampai tiga peserta yang cenderung pasif, peserta tersebut tetap aktif mencatat dan menanyakan kontak narasumber sehingga dapat mengajukan pertanyaan yang belum sempat didiskusikan selama proses pelaksanaan. Peningkatan pengetahuan peserta mengenai materi psikoedukasi juga ditunjukkan dari adanya interaksi antar peserta yang saling memberikan feedback maupun melengkapi pernyataan dari peserta lainnya.

Selain adanya peningkatan pengetahuan, peserta menunjukkan adanya sikap antusias setelah mendapatkan psikoedukasi. Bentuk antusiasme dan inisiatif tersebut dapat dilihat dari diskusi peserta mengenai rencana kerjasama sekolah PAUD/TK dengan pihak puskesmas untuk mengadakan psikoedukasi rutin kepada guru dan orangtua serta pemeriksaan psikologis anak yang pernah terlibat perundungan. Selain itu, peserta berencana untuk melakukan salah satu upaya guru dalam perundungan dengan mulai mengajak siswa yang pernah menjadi korban perundungan di sekolah mereka terutama yang menunjukkan adanya penurunan fungsi dalam sosial dan akademik ke layanan psikologi di Puskesmas Dupak Surabaya.

Diskusi

Perundungan merupakan masalah serius yang sering terjadi di sekolah di seluruh dunia. Majcherova & Andrejkovic (2014) berpendapat bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa. Apabila perundungan dibiarkan terjadi berlarut-larut, hal ini dapat menyebabkan individu mengalami gangguan psikologis atau kesehatan mental. Dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari kasus perundungan membutuhkan perhatian khusus sehingga penting adanya pemberian intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya kasus perundungan di sekolah. Maka dari itu, intervensi preventif berupa psikoedukasi sebaiknya dilakukan kepada sekolah-sekolah PAUD/TK untuk mencegah terjadinya kasus perundungan sejak usia dini. Siswati & Widayanti (2009) dan Abubakar (2018) menyatakan guru sangat penting dibekali pengetahuan mengenai perundungan dan program anti-bullying agar guru dapat mengidentifikasi dan merespon fenomena perundungan dengan tepat.

Berdasarkan hasil intervensi, dapat diketahui bahwa pemberian psikoedukasi dengan tema Stop Bullying di Sekolah Sejak Usia Dini dapat meningkatkan pengetahuan mengenai perundungan dan peran guru apabila berhadapan dengan kasus perundungan di sekolah. Hal ini ditunjukkan dari hasil pre-post test yang menunjukkan adanya

peningkatan sebelum dan sesudah diberikan psikoedukasi. Pemberian brosur untuk promosi pencegahan perundungan sejak usia dini diberikan pada intervensi juga efektif karena membuat peserta lebih mudah memahami dan mengingat materi yang disampaikan. Sweawer (2019) menjelaskan bahwa salah satu intervensi yang efektif untuk mempromosikan pencegahan perundungan kepada komunitas dan lingkungan sosial adalah dengan penyebaran informasi melalui media penyiaran dan percetakan seperti pengumuman pada koran, majalah, penyiaran televisi/radio, serta poster atau brosur.

Selain itu peserta menunjukkan adanya perubahan aspek perilaku seperti kesadaran yang lebih tinggi mengenai pentingnya peran guru untuk meminimalisir kasus perundungan sejak usia dini. Setelah mendapatkan psikoedukasi, peserta juga menunjukkan adanya inisiatif positif untuk melaksanakan program serupa secara berkala dengan pihak puskesmas.

Berdasarkan pemaparan tersebut, psikoedukasi tidak hanya efektif meningkatkan pengetahuan guru mengenai perundungan namun juga meningkatkan kesadaran dan inisiatif guru untuk berperan lebih aktif demi mencegah atau menurunkannya kasus perundungan sejak usia dini di sekolah. Seperti yang dinyatakan oleh Anggarawati (2018) bahwa psikoedukasi tidak hanya meningkatkan pengetahuan namun dapat berdampak pada perubahan perilaku seseorang sesuai dengan pemahaman yang diperoleh dari psikoedukasi.

Pelaksanaan penelitian yang dilakukan tentunya tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan. Pada penelitian ini, tujuan intervensi yang dilakukan tidak cukup luas karena berfokus pada peningkatan pengetahuan para guru PAUD/TK mengenai konsep perundungan. Brooks (2014) menjelaskan bahwa usaha untuk mencegah adanya perundungan membutuhkan intervensi yang dilakukan sekolah kepada anak-anak seperti memasukkan materi perundungan ke dalam kurikulum pelajaran sejak dini. Selain itu, penelitian membutuhkan cakupan sasaran peserta kegiatan yang lebih luas seperti orangtua, kader puskesmas, serta kader anak-remaja. Adanya sasaran yang lebih luas tentunya dapat membantu mempromosikan program anti-bullying pada masyarakat dengan lebih efektif.

Terlepas dari keterbatasan penelitian yang dimiliki, penelitian ini juga memiliki kelebihan dalam pelaksanaannya. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya masih banyak tenaga pendidik khususnya PAUD/TK yang belum memiliki kompetensi mempuni mengenai kasus

perundungan. Hal ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya bahwa psikoedukasi mengenai perundungan masih penting untuk terus dikaji dan diteliti. Selain itu, adanya diskusi kasus dan observasi selama pelaksanan membuat peneliti menemukan aspek-aspek psikologis dan perilaku peserta yang dapat dicatat dan dianalisis untuk mendukung hasil efektifitas psikoedukasi.

KESIMPULAN

Pengetahuan peserta (guru PAUD/TK) mengenai perundungan dan upaya guru untuk mencegah atau menghadapi kasus perundungan di sekolah sejak dini mengalami peningkatan setelah diberikan kegiatan psikoedukasi. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis pre-post test materi psikoedukasi dengan uji Wilcoxon yang menunjukkan taraf signifikansi 0.000 (p<0.05), yang berarti terdapat perubahan signifikan mengenai pengetahuan peserta dari sebelum dan sesudah melakukan intervensi.

Peserta juga menunjukkan peningkatan pengetahuan mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan guru ketika berhadapan kasus perundungan di sekolah. Hal ini ditunjukkan dari hasil observasi dan diskusi kasus bahwa peserta mampu menyebutkan upaya-upaya yang lebih efektif dan bervariatif setelah diberikan psikoedukasi. Selain itu, peserta juga menunjukkan perilaku kooperatif dan antusias setelah mendapatkan psikoedukasi. Perilaku ini ditunjukkan dari munculnya rencana dan upaya-upaya untuk bekerjasama dengan pihak Puskesmas Dupak Surabaya mengenai psikoedukasi secara berkala ke sasaran yang lebih luas.

SARAN

Bagi Peserta

  • 1.    Materi dan juga brosur mengenai Stop Bullying sejak Usia Dini di Sekolah dapat disebarluaskan kepada guru lainnya di sekolah untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan guru mengenai perundungan

  • 2.    Peserta dapat memberikan sosialisasi kepada orangtua mengenai layanan Psikologi di Puskesmas Dupak jika terdapat anak didik yang mengalami permasalahan psikologis akibat perundungan maupun lainnya.

  • 3.    Peserta dapat dihimbau untuk menyebarkan E-leaflet melalui media sosial kepada para orangtua, pihak sekolah lain dan masyarakat

Bagi Peneliti Selanjutnya

  • 1.    Target sasaran dapat diperluas tidak hanya kepada guru PAUD/TK melainkan juga kepada orangtua dan kader-kader Puskesmas Dupak

  • 2.    Psikoedukasi ini hanya dilaksanakan sebanyak 1 kali pertemuan sehingga tidak banyak mengungkap apakah psikoedukasi ini berdampak secara nyata terhadap perubahan perilaku guru dalam mengatasi kasus perundungan di sekolah. Peneliti selanjutnya dapat melaksanakan psikoedukasi maupun pelatihan perilaku dalam beberapa sesi agar perubahan pengetahuan dan perilaku guru setelah intervensi psikoedukasi dapat dikaji lebih efektif dan mendalam.

Bagi Puskesmas Dupak

  • 1.    Memberikan psikoedukasi secara berkala sebagai bentuk kelanjutan pelaksanaan program ke jangkauan guru/sekolah yang lebih luas seperti SD, SMP, maupun SMA yang terdata di Puskesmas Dupak Surabaya.

  • 2.    Memfasilitasi sekolah apabila membutuhkan narasumber maupun psikoedukasi mengenai perundungan kepada orangtua siswa

  • 3.    Berkaitan dengan sasaran peserta kegiatan yang belum menjangkau lebih banyak pihak, penulis disini menyarankan serta menyiapkan bahan untuk pelaksanaan sustainability program    yang harapannya dapat

ditindaklanjuti oleh peserta maupun Puskesmas Dupak. Hal yang dapat dipersiapkan berupa skrining/deteksi  dini

pelaku dan korban perundungan di sekolah, modul intervensi guru apabila berhadapan dengan kasus perundungan, serta promosi melalui    poster/e-leaflet/brosur kepada

orangtua,  kader dan tenaga  kerja di

puskesmas. Adapun bahan tersebut terlampir.

UCAPAN TERIMA KASIH (acknowledgement)

Penyusunan artikel penelitian ini dapat terwujud tentunya karena dukungan serta doa dari beragam pihak. Kami ucapkan terimakasih kepada pihak lembaga yaitu Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menuntut ilmu dan menimba wawasan sehingga segala proses persiapan dan pelaksanaan penelitian dapat tercapai.

Peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak dan supervisor di Puskesmas Dupak Surabaya yang kooperatif dan memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP) sehingga peneliti dapat melakukan penelitian ini degan lancar.

Terimakasih juga peneliti ucapkan kepada peserta kegiatan yang telah berkontribusi aktif terlibat dan bersedia meluangkan waktu sehingga penelitian

ini dapat diselesaikan sesuai dengan tujuan dan harapan kami.

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, S. R. (2018). Mencegah lebih efektif dari pada menangani (kasus bullying pada anak usia dini). Jurnal     Smart     Paud,     1(1),     1–7.

https://doi.org/10.36709/jspaud.v1i1.3514

Amawidyati, S. A. G., & Muhammad, A. H. (2017). Program psikoeduasi    bullying untuk

meningkatkan efikasi diri guru dalam menangani bullying di Sekolah Dasar. Intuisi: Jurnal Psikologi      Ilmiah,      9(3),      258–266.

https://doi.org/10.15294/intuisi.v9i3.14117

Amini, Y. S. J. (2008). Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak. Jakarta: PT Grasindo.

Anggarawati, S. (2018). Metode psikoedukasi dan mind mapping untuk meningkatkan kontrol sosial orang tua pada penggunaan gadget anak (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).

Arumsari,     A.D.,     &     Adiyanti,     P.M.G.

  • (2013) . Meningkatkan     keterampilan     guru

menangani    bullying:     metode support

group (Doctoral dissertation, [Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada).

Arumsari, A. D., & Setyawan, D. (2018). Peran Guru dalam Pencegahan Bullying di PAUD. Motoric, 2(1),                                       34–43.

https://doi.org/10.31090/paudmotoric.v2i1.739

Aryuni, M. (2017). Strategi pencegahan bullying melalui program "Sekolah Care” bagi fasilitator sebaya. Asian Journal of Environment, History and Heritage, 1(1), 211–222.

Brooks, J. V. O. (2004). Bully busting: A teacher-led psychoeducational program to reduce bullying and victimization among elementary school students (Doctoral dissertation, University of Georgia).

Corey, G. (2012). Theory and practice of group counseling (8th ed.). USA: Brooks/Cole.

Hasan. (2009). Action research: desain penelitian integratif untuk mengatasi permasalahan masyarakat. AKSES: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 4(8),                                     177–188.

https://doi.org/10.31942/akses.v4i8.523

Hawker, D. S. J., & Boulton, M. J. (2000). Twenty years’ research on peer victimization and psychosocial maladjustment:  a meta‐analytic review of

cross‐sectional ttudies. Journal of Child Psychology and Psychiatry,  41(4),  441–455.

https://doi.org/10.1111/1469-7610.00629

Kirves, L., & Sajaniemi, N. (2012). Bullying in early educational settings. Early Child Development and Care,            182(3–4),            383–400.

https://doi.org/10.1080/03004430.2011.646724

Limilia, P., & Prihandini, P. (2019). Penyuluhan stop bullying sebagai pencegahan perundungan siswa di SD Negeri Sukakarya , Arcamanik - Bandung. Jurnal Abdi MOESTOPO,   2(1),   12–16.

https://doi.org/https://doi.org/10.32509/am.v2i1.69 0 Putri

Majcherová, K., Hajduová, Z., & Andrejkovič, M.

  • (2014) . The role of the school in handling the problem of bullying. Aggression and violent

behavior,             19(5),             463-465.

https://doi.org/10.1016/j.avb.2014.06.003

Murni, M. (2017). Perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial pada masa kanak-kanak awal 2-6 tahun. Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak, 3(1), 1933.

Muthmainnah, Astuti, B., & Fatjimaningrum, A. S. (2014). Pelatihan penanganan bullying pada anak TK. Jurnal Pendidikan Anak, 3(2), 467–477.

https://doi.org/https://doi.org/10.21831/jpa.v3i2.11 701

Nugroho, S., & Adiyanti, M. G. (2011). Program

psikoedukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dalam menangani bullying. In Jurnal Intervensi Psikologi (JIP), 3(1), 25–48. https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol3.i ss1.art2

Rahman, N. A. B. A., Choi, L. J., Raman, A., & Rathakrishnan, M. (2017). Primary school teacher’s self-efficacy in handling school bullying: a case study. International Journal of English Literature and Social Sciences (IJELS), 2(4), 187– 202. https://doi.org/10.24001/ijels.2.4.23

Rejeki, S. (2016). Pendidikan psikologi anak ”Anti Bullying” pada guru-guru PAUD. Dimas: Jurnal Pemikiran Agama Untuk Pemberdayaan, 16(2), 235–248.

https://doi.org/10.21580/dms.2016.162.1091

Rivers, I., Poteat, V. P., Noret, N., & Ashurst, N. (2009). Observing bullying at school: the mental health implications of witness status. School Psychology Quarterly,           24(4),           211–223.

https://doi.org/10.1037/a0018164

Siswati, & Widayanti, C. G. (2009). Fenomena bullying di sekolah dasar negeri di semarang: sebuah studi deskriptif. Junal Psikologi Undip, 5(2),  1–13.

http://eprints.undip.ac.id/8336/

Sullivan, (2000), The anti-bullying handbook. Oxford University Press

Swearer, S. M., Espelage, D. L., & Napolitano, S. A. (2009). Bullying prevention and intervention: Realistic strategies for schools. Guilford press.

Veenstra, R., Lindenberg, S., Huitsing, G., Sainio, M., & Salmivalli, C. (2014). The role of teachers in bullying:  the relation between antibullying

attitudes, efficacy, and efforts to reduce bullying. Journal of Educational Psychology, 106(4), 1135– 1143. https://doi.org/10.1037/a0036110

Wahyuni, V., & Pransiska, R. (2019). Perilaku bullying pada anak usia 5-6 tahun studi kasus di taman kanak-kanak. Journal of Family, Adult, and Early Childhood Education,    1(2),     160–166.

https://doi.org/10.5281/zenodo.2650150

Zakiyah, E. Z., Humaedi, S., & Santoso, M. B. (2017). Faktor yang mempengaruhi remaja dalam melakukan bullying. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(2), 324–330. https://doi.org/10.24198/jppm.v4i2.14352

Tabel 1

Prosedur Pengumpulan Data

LAMPIRAN

Prosedur dan Jenis No

Evaluasi

Tanggal dan Durasi

Lokasi Pelaksanaan

Tujuan

1

Wawancara   dengan

Kepala PKM Dupak

Selasa, 2019

22

Okt

R. Kepala PKM Dupak

Mendapatkan gambaran mengenai permasalahan yang menjadi perhatian di PKM Dupak

2

Wawancara dengan pihak promkes PKM Dupak

Senin, 2019

11

Nov

R.    Promkes

PKM Dupak

Mendapatkan gambaran mengenai prosedur pelaksanaan penyuluhan

3

Wawancara dengan PJ PAUD PKM Dupak

Selasa, 2019

12

Nov

R.    Promkes

Puskesmas Dupak

Mendapatkan gambaran mengenai permasalahan yang menjadi perhatian khusus di sekolah.

4

Wawancara dengan Guru PAUD/TK di sekitar Wilayah Dupak

Kamis, 2019

13

Nov

PAUD/TK

Daerah Dupak

Mendapatkan gambaran mengenai permasalahan nyata yang sering dihadapi oleh guru di sekolah

5

Wawancara   dengan

perwakilan orangtua

Kamis, 2019

13

Nov

PAUD/TK

Daerah Dupak

Mendapatkan gambaran dan mengkonfirmasi mengenai permasalahan nyata yang sering dihadapi anak di sekolah

6

Wawancara dengan PJ PAUD PKM Dupak

Senin, 2019

18

Nov

R.    Promkes

PKM Dupak

Mengkonfirmasi mengenai topic yang akan diangkat serta memastikan prosedur undangan peserta ke PKM Dupak

Tabel 2

Ecological Level of Analysis

Individuals        1.

Siswa PAUD/TK masih dalam tahapan masa kanak-kanak awal dimana pembentukan motorik, kognitif, psikososial, dan nilai moral belum berkembang dengan baik (Arumsari & Setyawan, 2018).

2.

Siswa masih berada pada tahapan kognitif praoperasional (berpusat pada simbol untuk melambangkan objek serta pemikiran masih bersifat egosentris) (Santrock, 2007). Hal ini membuat anak usia dini dapat dengan mudah menggeneralisasikan situasi-situasi yang dihadapinya sehari-hari.

3.

Siswa PAUD/TK berada pada usia krusial atau yang biasa disebut dengan golden age, dimana pada masa ini informasi dari lingkungan lebih mudah diserap oleh anak. Apabila mendapatkan pengalaman sosial atau informasi yang kurang tepat, maka akan berdampak pada perkembangan tahapan selanjutnya (Rejeki, 2016).

4.

Siswa PAUD/TK cenderung ingin diterima oleh kelompok sebayanya sehingga terkadang meniru segala perilaku teman-temannya yang lain dari perilaku positif hingga negatif (Arumsari & Setyawan, 2018).

Microsystems     1.

Guru PAUD/TK belum memiliki pemahaman mengenai perilaku-perilaku yang termasuk dalam bentuk bullying

2.

Guru PAUD/TK masih menganggap perilaku kekerasan verbal atau relasional yang dilakukan anak usia dini kepada teman sebayanya bukanlah sebuah bullying

3.

Guru PAUD/TK tidak semua berperan aktif untuk menurunkan perilaku bullying di

sekolah dan masih sering melimpahkan permasalahan kepada orangtua

4.

Guru PAUD/TK belum menjadi sosok yang mampu mencontohkan perilaku antibullying di sekolah

5.

Guru PAUD/TK juga secara sadar/tidak sadar melakukan tindakan bullying kepada anak didik

6.

Guru PAUD/TK belum menemukan respon yang tepat ketika siswa terlibat dalam bullying

7.

Guru PAUD/TK belum memahami mengenai perannya sebagai media edukasi kepada orangtua murid. Salah satu peran guru adalah untuk memberikan wawasan untuk mengubah cara pandang orangtua mengenai bullying dan bagaimana kontribusi orangtua untuk mengurangi potensi anak terlibat dalam kasus bullying. Selain itu, guru dapat memberikan pemahaman kepada orangtua mengenai peran orangtua sebagai role-model anak di rumah untuk menggerakan perilaku antibullying.

Organizations     1.

(Mesosystem)

Sumber daya manusia di sekolah seperti guru PAUD/TK tidak seluruhnya secara merata dari latar belakang lulusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sehingga kurang mampu untuk merespon siswa dengan tepat ketika mengalami permasalahan

2.

Pihak sekolah belum memberlakukan sanksi terhadap pihak guru yang dianggap mendiskriminasi, menelantarkan atau melakukan bullying di lingkungan sekolah

3.

Tenaga kesehatan, khususnya Puskesmas, belum sepenuhnya menjangkau sosialisasi topik-topik permasalahan sosial yang dapat berdampak jangka panjang pada kondisi mental dan kejiwaan seseorang.

4.

Tenaga Psikologi rata-rata masih baru dilibatkan dalam organisasi kesehatan khususnya Puskesmas sehingga program-program yang diciptakan belum banyak menjangkau topik-topik permasalahan sosial yang lebih spesifik

5.

Edukasi mengenai bullying belum dilakukan oleh pihak instansi kesehatan khususnya Puskemas setempat.

Localities          1.

(Exosystem)

Surabaya merupakan kota multi etnis yang kaya budaya. Beragam etnis ada di Surabaya, seperti etnis Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa. Etnis Nusantara pun dapai dijumpai, seperti Madura, Sunda, Batak, Kalimantan, Bali, Sulawesi yang membaur dengan penduduk asli Surabaya membentuk pluralisme budaya (Pemerintah Kota Surabaya, 2019). Beragam budaya yang bersatu padu tentunya memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang terjadi adalah adanya sikap toleransi yang tumbuh dari masyarakat, namun bisa juga menjadi ruang untuk berselisih pendapat apabila terdapat masyarakat yang belum mampu menanamkan sikap toleransi. Dampak negatif lainnya adalah masyarakat beresiko untuk melakukan diskriminasi pada etnis-etnis minoritas dan perbandingan status sosial-ekonomi antar masyarakat.

2.

Kawasan Dupak juga terdiri dari multi etnis dan berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat bahwa penduduk kawasan Dupak cenderung berasal dari status sosial ekonomi menengah-kebawah.

3.

Kawasan Dupak cukup populer dengan penyediaan prostitusi yang menjadi salah satu mata pencaharian bagi masyarakat daerah tersebut.

4.

Dinas Pendidikan mencatat bahwa kota Surabaya memiliki 1.495 pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) dan lebih dari 2000 sekolah Anak Usia Dini lainnya (Kemendikbud, 2019).

5.

Kawasan Dupak memiliki sejumlah 4 sekolah PAUD dan 11 TK yang terdata dalam komunitas PAUD/TK di Puskesmas Dupak

Macrosystems    1.

Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beragam kepulauan, suku, ras, agama, dan budaya. Setiap penduduk di beragam kepulauan memiliki ciri khas gaya hidup masing-masing sehingga masyarakat membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi dan memiliki rasa toleransi yang tinggi.

2.

Dinas Pendidikan mencatat terdapat 45.448 sekolah untuk anak usia dini di daerah Jawa Timur (Kemendikbud, 2019).

3.

Banyaknya sekolah yang ada di Indonesia tentunya perlu diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai. Hanya saja kenyataan sumber daya manusia yang ditempatkan pada sekolah anak usia dini terkadang belum memiliki kompetensi yang memenuhi standar. Hal ini dapat menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan

program-program pendidikan pada sekolah-sekolah tersebut.

  • 4.    Kasus-kasus kekerasan pada anak di Indonesia dibawahi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Data pada bulan Juli 2018 tercatat bahwa kasus bullying terbanyak berasal dari jenjang SD sebanyak 13 kasus (50%), sedangkan SMP lima kasus (19,3%) dan SMA/SMK sembilan kasus (34,7%). Pengaduan terbanyak dari daerah Jabodetabek sebanyak 21 %. Adapun wilayah asal pengaduan selain

Jabodetabek adalah Bandung, Bali, Yogjakarta, Lombok Timur, dan Palu (Dewi Nurita, 2018).

  • 5.    UUD yang bisa dijadikan sandaran hukum pentingnya melakukan program antibullying, diantaranya:

  • -    Pasal-pasal yang ada dalam Undang-undang Hukum Pidana dan pasal 77 UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak).

  • -    Pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Tabel 3

Hasil Analisis Pre-Post (Ranks)

N

Mean

Sum of

Rank

Rank

P

Negative ranks Positive

0a

20b

.00

.00

10.50

210.00

ranks

Ties

0c

Total

20

Tabel 4

Wilcoxon Signed Ranks Test

Post-Pre

Z


-3.937b

Asymp. Sig. (2-tailed)


.000


Brosur untuk Guru dan Pendidik



Brosur untuk Orangtua Siswa

USIA DINI


BULLYING


MASA KEEMASAN PERTUMBUHAN


Builying adalah perilaku negatif yang dilakukan berulang kali (secara fisik/verbal/psikologis) diarahkan secara langsung kepada orang lain yang biasanya dianggap lebih lemah dan atau


STOP


BULLYING

SEJAK

Usiadini


PEMBENTUKAN KARAKTER


ANAK SEJAHTERA FISIK

DAN PSIKOLOGIS__


KONTAK



Peran orangtua untuk mencegah perilaku Bullying anak sejak


DAMPAK

BAGl PELAKU

!.TUMBUH MENJADI ANAK

YANG SELALU INGIN

MENANG DAN BERKUASA

  • 2 .TIDAK MEMILIKI EMPATI

J-Beresiko melakukan

TINDAKAN KRIMINAL SAAT DEWASA

BAGI KORBAN

  • l .TAKUT PERGi KE SEKOLAH

  • 2 .KECEMASAN

JDEPFtESr

  • 4.    HARGA DIRI & KEPERCAYAAN DIRI RENDAH

5-PENURUNAN PRESTASI AKADEMIK

  • 6 .KEINGINAN BUNUH DlRI

  • 7 .GANGGUAN TlDUR

8.DENDAM

BAGI SAKSI

l-PERSEPSI BAHWA BULLYING

BOLEH DILAKUKAN

  • 2.    MENJADI PELAKU/PEN1RU BULLYING

3.MENGALAMI KEBINGUNGAN DAN RASA TAKUT TIKgEj I DITERIMA OLEH KELOMPOK, SEBAYA


BENTUK-BENTUK BULLYING


FISIK

Memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, mencakar, meludahi, merusak, menghancurkan barang, dll


VERBAL


Julukan na           , fitnah,

penghinaan, Riengajakan bernuansa s⅛sual, perampasan uangjajan, telepon yang kasar/mengintimidasi, ancaman kekerasan


Pesan negatif dari me⅛a sosial

Pengabaian, pengucilan,

tubuh yang negatif


PERAN ORANGTUA

MENJADI ROLE-MODEL YANG POSITIF

Orangtua merupakan sosok yang paling mudah ditiru oleh anak sehingga orangtua harus menerapkan contoh perilaku dan perkataan yang Positifkepada anak

KENALI KEBIASAAN ANAK

Cari tahu Sumberapabila anak menunjukkan perilaku yang mendadak berubah (tiba-tiba pendiam, tidak mau ke sekolah, dll)

AJARI ANAK PERILAKU POSITIF DENGAN MEDIA MENYENANGKAN

Menggunakan permainan atau membaca dongeng

KONSULTASIKAN KEPADA PROFESI AHLI APABILA ANAK ANDA TERLIBAT

BULLYING

Kunjungi Puskesmas, dokter, psikolog atau psikiater untuk mendapatkan konsultasi


Brosur untuk Tenaga Kerja Puskesmas


BULLYING

Bultying adalah perilaku negatif yang dilakukan berulang kali (secara fisik/verbal/psikologis) diarahkan secara Langsung kepada orang lain yang biasanya dianggap Lebih Lemah dan atau mengancam

BENTUK-BENTUK BULLYING

Memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, mencakar, meludahi, merusak, menghancurkan barang, dll.

VERBAL

Julukan nama, celaan, fitnah, penghinaan, pengajakan bernuansa seksual perampasan uang jajan, telepon yang kasar/mengintimidasi. ancaman kekerasan

RELASIONAL

Pengabaian, pengucilan, diskriminasi, cibiran, bahasa tubuh yang negatif

CyBER-BULLYINC

Pesan negatif dari media sosial


DAMPAK

BAGl PELAKU

  • 1 .TUMBUH MENJAbI ANAK YANC SELALU INCIN MENANO DAN BERKUASA

Z-TIDAK MEMILIKI EMPATI

  • 3 .BERESIK0 MELAKUKAN TINDAKAN KRIMINAL SAAT DEWASA

BAGI KORBAN

LTAKUT PERGI KE SEKOLAH Z-Kecemasan

  • 3 .DEPRESI

  • 4 .HARCA DIRl & KEPERCAYAAN DIRI RENDAH

  • 5 .pen∪r∪nan prestasi akademik S-Keinginan bunuh oiri I-Cangguan tidur B-DENDAH

BAGI SAKSI

l-PERSEPSI BAHWA BULLYING BOLEH DILAKUKAN

Z-MENJAdi pelaku/peniru bullyino

  • 3 .MENGALAMI KEBINGUNGAN DAN RASA TAKUT TlDAK DITERIMA OLEH KELOMPOK SEBAYA

UPAYA TENAGA KERJA PUSKESMAS

kerjasama pelayanan

DENGAN PROFESIONAL

KONSELOR. PSIKOLOG. PSIKIATER KEPADA KORBAN. PELAKU. SAKSl BULLYING

PENYULUHAN BULLYING SECARA BERKALA KEPADA

MASYARAKAT

MEMBERIKAN EDUKASI KEPADA MASYARAKAT MENGENAI DAMPAK KESEHATAN PSIKOLOGIS DARI TINDAKAN BULLYING

MENERAPKAN PERILAKU ANTI-BULLYING

TIDAK MENUNJUKKAN KEKERASAN FISIK. VERBAL. RELASIONAL Dl DALAM DAN LUAR LINGKUNGAN PUSKESMAS

Bekerjasama dengan

PlHAK SEKOLAH

MENGAJAK SEKOLAH UNTUK SAMASAMA MENGAWASI KASUS BULLYING DAN MENINDAKLANJUTINYA KEPADA PUSKESMAS APABILA TERDAPAT KORBAN, PELAKU. MAUPUN SAKSl YANG MENGALAMI TRAUMA PSIKOLOGIS