Peran Hardiness dan Kecerdasan Emosional terhadap Burnout pada Penyidik Direktorat Reserse Polda Bali
on
Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.1, 12-23
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607 doi: 10.24843/JPU.2021.v08.i01.p02
Peran hardiness dan kecerdasan emosional terhadap burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali
I Gusti Ayu Putu Tias Sastia dan I Made Rustika Progran Studi Sarjana Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Setiap individu pernah mengalami tantangan dalam pekerjaannya, yang tak jarang menyebabkan stres kerja. Jika stres berlangsung dalam jangka waktu lama dan menetap maka akan menyebabkan burnout. Burnout dapat dialami anggota Polri, karena Polri merupakan profesi yang memiliki tingkat stres tinggi akibat beban kerja yang berat. Burnout dipengaruhi oleh kemampuan mengelola emosi dan mengendalikan diri sehingga individu dapat mengelola stres yang dialami. Burnout juga dipengaruhi oleh ketangguhan individu untuk bertahan dalam kondisi stres. Maka penting bagi individu untuk mampu mengendalikan emosi negatif dan memiliki kepribadian yang tangguh agar dapat meminimalisir terjadinya burnout. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hardiness dan kecerdasan emosional terhadap burnout. Subjek dalam penelitian ini adalah 100 orang penyidik Direktorat Reserse Polda Bali. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala burnout, skala hardiness dan skala kecerdasan emosional. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik analisis regresi berganda. Hasil uji regresi berganda menunjukkan nilai koefisien regresi sebesar 0,791 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) dengan koefisien beta terstandarisasi pada variabel hardiness sebesar -0,404 dan kecerdasan emosional sebesar -0,455. Hasil tersebut menunjukan bahwa hardiness dan kecerdasan emosional secara bersama-sama berperan menurunkan taraf burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali.
Kata kunci: burnout, direktorat reserse, hardiness, kecerdasan emosional, penyidik.
Abstract
Every individual has experienced challenges in their work, which often causes work stress. If stress lasts for a long time and persists it will cause burnout. Burnout is influenced by the ability to manage emotions and self-control so that individuals can manage the stress experienced. Police members can experience burnout, because police is a profession that has a high level of stress due to a heavy workload. Burnout is also influenced by the individual's toughness to endure stressful conditions. This study aims to determine the role of hardiness and emotional intelligence on burnout. So it is important for individuals to be able to control negative emotions and have a strong personality in order to minimize burnout. The subjects in this study were 100 investigators from the Bali Regional Police Detective Directorate. Measuring instruments used in this research are burnout scale, hardiness scale and emotional intelligence scale. This research uses quantitative methods with multiple regression analysis techniques. The results of multiple regression tests showed a regression coefficient mark at 0.791 and signification mark at 0.000 (p <0.05) with standardized beta coefficient of the hardiness variable at -0.404 and emotional intelligence at -0.455. These results indicate that hardiness and emotional intelligence altogether have a role in reducing the level of burnout at the Bali Regional Police Detective Directorate investigators.
Keywords: burnout, detective directorate, emotional intelligence, hardiness, investigator.
LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan, setiap individu pernah mengalami tantangan dan hambatan dalam pekerjaannya. Tantangan dan hambatan yang dihadapi tidak jarang menyebabkan berbagai masalah dalam pekerjaan, salah satunya adalah stres kerja. Stres di tempat kerja dapat disebabkan oleh tingginya beban kerja, hubungan interpersonal dan buruknya lingkungan kerja (Tama & Hardiningtyas, 2017). Jika stres berlangsung lama dan menetap, maka stres akan menyebabkan terjadinya burnout (Gatto, 2009).
Burnout adalah kondisi depersonalisasi, kelelahan emosional dan perasaan rendahnya prestasi pribadi yang terjadi pada individu yang melakukan pekerjaan dengan orang lain (Maslach, 2003). Burnout banyak dijumpai pada individu yang bekerja di bidang pelayanan kemanusiaan dan bidang pelayanan masyarakat (Bernadin, 1993). Burnout diakibatkan oleh stres yang berlangsung lama serta terjadi ketika individu meragukan nilai pribadinya, burnout dapat terjadi di tempat kerja, dimana struktur dan lingkungan kerja yang buruk akan memengaruhi interaksi dan kualitas kerja individu (Kreitner & Kinicki, 1992).
Burnout merupakan hasil interaksi personenvironment (Muchinsky, 1987). Burnout di tempat kerja dapat disebabkan oleh beban kerja berlebih, kurangnya penghargaan atas pekerjaan, kurangnya keadilan di tempat kerja, adanya konflik serta tidak adanya kendali diri yang dirasakan individu. Burnout juga disebabkan oleh beberapa hal seperti stres, perkembangan karir yang terhambat, work overload dan persepsi ketidakberhasilan seseorang terhadap suatu hal (Maslach & Leiter, 1997). Tingginya taraf stres kerja berkontribusi pada tingginya taraf burnout dan sikap atasan yang buruk memengaruhi munculnya burnout dan depresi (Guo, Chen, Fu, Ge, Chen & Liu, 2016; Weigl, Stab, Herms, Angerer, Hacker & Glaser, 2016).
Burnout merupakan suatu proses yang berkaitan dengan stres akan memberikan dampak negatif pada peforma kerja (Smith, Huges, Dejoy & Dyal, 2018). Burnout menimbulkan dampak negatif yaitu kelelahan emosional dan fisik yang disertai keluhan mual, susah tidur dan sakit kepala, individu mengalami kelelahan mental seperti kecemasaan, frustrasi, depresi, bersikap negatif, menunjukkan motivasi dan peforma kerja yang rendah serta memengaruhi pengambilan keputusan. Burnout juga dapat menimbulkan perubahan perilaku yang memicu terjadinya tindakan kekerasan, tindakan asusila, tindakan agresi yang berlebihan serta perilaku-
perilaku negatif lainnya (Baron & Greenberg, 1990); Maslach, 2003; Schaufeli & Buunk, 1996).
Salah satu pekerjaan yang rentan mengalami burnout adalah personel kepolisian. Institusi Kepolisian di Indonesia dikenal dengan nama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Menurut UU RI NO. 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 5 ayat 1, Polri merupakan alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Pada pasal 13 disebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Ketika melaksanakan tugasnya, Polri memiliki banyak hambatan dan tantangan, baik berupa tantangan eksternal maupun internal sehingga menyebabkan tingginya beban kerja. Beban kerja yang tinggi rentan menyebabkan stres pada anggota Polri. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Irjen Pol. Anton Charliyan mengemukakan, “Polisi rentan mengalami stres akibat beban pekerjaan” (Movanita, 2016). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane menyatakan “Beban kerja polisi dianggap berat lantaran ada yang bekerja lebih dari 12 jam sehari. Kondisi itu mengakibatkan polisi mudah stres dan emosional saat berinteraksi dengan masyarakat” (Rahmadayah, 2016). Hasil survei di Amerika oleh lembaga Adicio pada tahun 2017 mendukung pedapat tersebut, dimana pekerjaan polisi menempati posisi ke-empat sebagai pekerjaan yang paling membuat stres.
Anggota Polri yang memiliki tingkat stres tinggi sehingga rentan mengalami burnout salah satunya adalah anggota penyidik reserse. Penyidik merupakan pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Anton Charliyan menyatakan bahwa 80% reserse mengalami stres akibat tingginya beban kerja (Kusuma, 2015). Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti pada 15 Maret 2019 terhadap anggota penyidik Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah (Polda) Bali, penyidik merupakan anggota Polri yang dituntut untuk dapat bekerja di kantor dan di lapangan atau tempat kejadian perkara (TKP). Responden menyatakan bahwa anggota penyidik reserse yang bekerja di kantor dan lapangan lebih rentan mengalami stres, hal ini disebabkan karena anggota penyidik reserse
yang bertugas di kantor dan lapangan sekaligus mengalami beban kerja berlebih (work overload).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan terhadap tingkat burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali, ditemukan penyidik dengan tingkat burnout sangat rendah sebanyak 4 orang, penyidik dengan tingkat burnout rendah sebanyak 4 orang, penyidik dengan tingkat burnout sedang sebanyak 7 orang, penyidik dengan tingkat burnout tinggi sebanyak 5 orang dan tidak terdapat penyidik dengan tingkat burnout sangat tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat penyidik yang mengalami burnout di tempat kerja, namun terdapat juga penyidik yang tidak mengalami burnout. Berdasarkan hal tersebut timbul pertanyaan penelitian, mengapa terdapat penyidik yang memiliki tingkat burnout yang rendah dan terdapat penyidik yang memiliki tingkat burnout yang tinggi?
Maslach (2003) mengemukakan burnout dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain sikap terhadap pekerjaan, karakteristik demografi dan karakteristik kepribadian. Sedangkat faktor eksternal yaitu lingkungan kerja fisik seperti beban kerja berlebih, kurangnya keadilan, kurangnya imbalan, kerusakan komunitas dan konflik nilai. Watson dan Clark (dalam Minner, 1992) menyatakan tingkat stres dipengaruhi oleh perbedaan kepribadian terkait kemampuan dalam menghadapi situasi menekan dan emosi negatif. Karakteristik kepribadian memengaruhi batas toleransi individu dalam menghadapi burnout.
Maslach, dkk menyatakan burnout mudah terjadi pada individu yang kurang tangguh (hardiness rendah), self-esteem yang buruk, gaya koping stres menghindar dan neurotisme yang tinggi. McCranie menyatakan bahwa kepribadian yang kurang tangguh (hardiness rendah) kerap dikaitkan dengan kecenderungan burnout (Antoniou & Cooper, 2015; Schaufeli & Buunk, 1996). Kobasa mendefinisikan hardiness sebagai konstelasi karakteristik kepribadian yang berfungsi sebagai sumber daya tahan dalam menghadapi peristiwa kehidupan yang penuh stres. Kobasa berpendapat bahwa individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mengatasi stresor, hardiness menggambarkan karakteristik individu yang mampu mengatasi stresor tersebut (dalam Maddi, 2015).
Kontrol (control) dan tantangan (challenge) merupakan aspek hardiness yang berkaitan dengan burnout. Kontrol merupakan keadaan bahwa individu percaya, dirinya dapat mengendalikan stres dan memiliki kesempatan untuk berkembang. Apabila
individu memiliki kontrol diri yang buruk, maka individu akan kesulitan menghadapi peristiwa kehidupan yang menekan sehingga merasa dirinya tidak berdaya. Aspek hardiness lainnya adalah tantangan, ketika individu tidak mampu mengatasi tantangan dan menganggap tantangan sebagai ancaman, individu akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan dan tidak kompeten dalam menjalani kehidupan (Maddi, 2015). Perasaan tidak kompeten tersebut berkontribusi terhadap munculnya aspek burnout yaitu rendahnya prestasi pribadi. Sehingga kurangnya kontrol dan tantangan dapat dikaitkan dengan kecenderungan burnout. Penelitian menunjukkan bahwa hardiness dan burnout memiliki hubungan negatif yang signifikan (Fahmi & Widyastuti, 2018; Akhyar, Priyatama & Setyowati, 2017). Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa semakin tinggi taraf hardiness maka semakin rendah taraf burnout, pada individu, begitu pula sebaliknya.
Sumber burnout adalah kelelahan emosional, maka penting bagi individu untuk memiliki kecerdasan emosional yang baik agar mampu mengelola emosi yang dirasakan. Kelelahan emosional merupakan aspek utama yang memicu terjadinya burnout (Maslach, 2003). Cherniss, Maslach dan Sullivan (Guo, dkk., 2016) mengemukakan bahwa burnout berkaitan dengan buruknya kemampuan individu dalam mengelola emosi. Kemampuan mengelola emosi bergantung pada kecerdasan emosional yang dimiliki individu. Goleman, (2000b) mengemukakan kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri, serta kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Kemampuan pengendalian diri dan kesadaran diri merupakan aspek kecerdasan emosional yang sangat berkaitan dengan kelelahan emosional. Chan (dalam Pishghadam & Sahebjam, 2012) mengemukakan individu yang memiliki kemampuan pengendalian diri dan kesadaran diri yang baik akan mampu menangani emosi-emosi negatif, sehingga mampu terhindar dari kelelahan emosional yang merupakan sumber burnout. Selain itu, burnout juga berkaitan dengan depersonalisasi yaitu kecenderungan individu untuk tidak terlibat dan berfikir negatif mengenai orang lain dan lingkungannya (Maslach, 2003). Depersonalisasi berkaitan dengan aspek keterampilan sosial yang merupakan kemampuan mengendalikan dan mengelola emosi ketika berhubungan dengan orang lain (Goleman, 2000b). Individu dengan keterampilan sosial yang baik akan mampu menjaga hubungan positif dengan orang lain dan lingkungan serta meminimalisir terjadinya depersonalisasi yang
merupakan aspek burnout. Penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan burnout.Sehingga disimpulkan, bahwa semakin tinggi taraf kecerdasan emosional, maka semakin rendah taraf burnout pada individu, begitu pula sebaliknya (Avionela & Fauziah, 2016; Widjaja, Sitorus & Himawan, 2016).
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dipaparkan, peneliti mengaitkan variabel hardiness, kecerdasan emosional dan burnout untuk dikaji secara lebih medalam. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai peran hardiness dan kecerdasan emosional terhadap burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah burnout (Y). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah hardiness (X1) dan kecerdasan emosional (X2). Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian adalah sebagai berikut:
Burnout
Burnout merupakan sindrom psikologis negatif berupa kelelahan emosional, perasaan negatif pada orang lain serta penilaian yang rendah terhadap kompetensi dan pencapaian diri yang diakibatkan oleh keterlibatan berkepanjangan pada situasi yang penuh stres.
Hardiness
Hardiness merupakan konstelasi karakteristik kepribadian yang meliputi perasaan berkomitmen, kemampuan kendali diri serta reaksi positif terhadap tantangan yang berfungsi sebagai daya tahan individu dalam mengatasi situasi penuh tekanan.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali dan mengendalikan emosi diri, menuntun diri, mampu memahami perasaan orang lain serta mampu mempersuasi orang lain untuk mencapai tujuan.
Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah penyidik Direktorat Reserse Polda Bali berjumlah 336 orang dengan karakteristik yaitu anggota Polri aktif yang menjabat sebagai penyidik di Polda Bali dan merupakan anggota penyidik Polri bagian Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit. Reskrimum), Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit. Reskrimsus) dan Direktorat Reserse Narkoba (Dit. Resnarkoba). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan probability sampling dengan teknik simple random sampling. Sampel dalam penelitian ini
adalah 100 orang penyidik Direktorat Reserse Polda Bali.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 15 Oktober 2019 s/d 25 Januari 2020 dengan cara penyebaran skala oleh petugas administrasi dan perencanaan Direktorat Reserse Narkoba Polda Bali yang berlokasi di Polda Bali.
Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala burnout yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek burnout menurut Maslach (2003), skala hardiness yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek hardiness menurut Kobasa (dalam Maddi, 2015), dan skala kecerdasan emosional yang dimodifikasi peneliti dari skala kecerdasan emosional Rustika, (2014) berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Goleman, (2000b).
Skala burnout dan hardiness terdiri dari 38 aitem pernyataan dan skala kecerdasan emosional terdiri dari 37 aitem penyataan. Pernyataan disajikan dalam bentuk favorable dan unfavorable yang terdiri dari empat pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Aitem dalam skala dinyatakan memiliki validitas yang baik apabila nilai rix diatas 0,30 (Azwar, 2016b). Skala dinyatakan reliabel apabila nilai koefisien Alpha diatas 0,70 (Ghozali, 2018).
Uji coba skala penelitian dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2019 dan 19 November 2019. Jumlah skala yang disebar pada tanggal 15 Oktober 2019 sebanyak 70 skala dengan jumlah skala yang kembali dan dapat dianalisis pada penyebaran pertama adalah sebanyak 50 skala. Kemudian jumlah skala yang disebar pada tanggal 19 November 2019 sebanyak 30 skala dengan jumlah skala yang kembali dan dapat dianalisis pada penyebaran kedua adalah sebanyak 20 skala.
Berdasarkan hasil uji validitas, nilai rix skala burnout berkisar antara 0,370 – 0,864. Berdasarkan hasil uji reliabilitas, skala burnout memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,958 yang berarti bahwa skala burnout mampu mencerminkan 95,80% skor murni subjek. Berdasarkan hasil uji validitas, nilai rix skala hardiness berkisar antara 0,329 – 0,824. Berdasarkan hasil uji reliabilitas, skala hardiness memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,964 yang berarti bahwa skala hardiness mampu mencerminkan 96,40% skor murni subjek. Berdasarkan hasil uji validitas, nilai rix skala kecerdasan emosional berkisar antara 0,375 –0,888. Berdasarkan hasil uji
reliabilitas, skala kecerdasan emosional memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,971% yang berarti bahwa skala kecerdasan emosional mampu mencerminkan 97,01% skor murni subjek. Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas, maka ketiga skala dinyatakan layak untuk mengukur variabel penelitian.
Teknik Analisis Data
Adapun uji asumsi dalam penelitian ini yaitu uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, uji linearitas menggunakan test for linearity dan uji multikolinearitas dengan melihat nilai Tolerence atau Variance Inflation Factor (VIF). Setelah data penelitian memenuhi uji asumsi, kemudian dilakukan uji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Total jumlah subjek pada penelitian ini adalah sebanyak 100 orang. Mayoritas subjek berasal dari satuan kerja Dit. Reskrimum sebanyak 42 orang. Mayoritas subjek berjenis kelamin laki-laki sebanyak 91 orang. Mayoritas subjek berusia antara 31 s/d 40 tahun sebanyak 38 orang . Mayoritas subjek bergelar sarjana (S1) sebanyak 64 orang.
Deskripsi Data Penelitian
Berdasarkan hasil deskripsi data penelitian, dapat diketahui mean teoritis variabel burnout sebesar 95 dan mean empiris variabel burnout sebesar 58,06. Perbedaan antara mean teoritis dan mean empiris variabel burnout sebesar 36,94 dan nilai t sebesar -28,347 (p= 0,000), mean empiris lebih kecil dari mean teoritis, sehingga disimpulkan bahwa subjek memiliki taraf burnout yang rendah. Berdasarkan hasil deskripsi data penelitian, diketahui mean teoritis variabel hardiness sebesar 95 dan mean empiris variabel hardiness sebesar 128,13. Perbedaan antara mean teoritis dan mean empiris variabel hardiness sebesar 33,13 dan nilai t sebesar 21,378 (p=0,000), mean empiris lebih besar dari mean teoritis, sehingga disimpulkan bahwa subjek memiliki taraf hardiness yang tinggi. Berdasarkan hasil deskripsi data penelitian, diketahui mean teoritis variabel kecerdasan emosional sebesar 92,5 dan mean empiris sebesar 120,63. Perbedaan antara mean teoritis dan mean empiris variabel kecerdasan emosional sebesar 28,13 dan nilai t sebesar 14, 555 (p=0,000). Mean empiris lebih besar dari mean teoritis, sehingga disimpulkan subjek memiliki taraf kecerdasan emosional yang tinggi.
Uji Asumsi
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang bertujuan untuk mengetahui apakah data dalam model regresi berdistribusi normal. Data dinyatakan berdistribusi normal apabila nilai signifikansi diatas 0,05 (Ghozali, 2018). Berdasarkan hasil uji normalitas, variabel burnout memiliki nilai sig. sebesar 0,180, variabel hardiness memiliki nilai sig. sebesar 0,074 dan variabel kecerdasan emosional memiliki nilai sig. sebesar 0,089. Berdasarkan kaidah uji normalitas maka data dalam penelitian ini dinyatakan berdistribusi normal karena nilai sig. ketiga variabel diatas 0,05.
Uji linearitas menggunakan test for linearity yang bertujuan untuk mengetahui apakah tedapat hubungan yang linear antara variabel bebas dan terikat. Hubungan antar variabel dinyatakan linear apabila nilai sig. linearity lebih kecil dari 0,05. Berdasarkan hasil uji linearitas dapat diiketahui bahwa nilai sig. linearity variabel burnout dengan variabel hardiness sebesar 0,000 (p < 0,05) dan nilai sig. linearity variabel burnout dengan variabel kecerdasan emosional sebesar 0,000 (p < 0,05). Berdasarkan kaidah uji linearitas, disimpulkan bahwa hubungan antar variabel bebas dan terikat dalam penelitian ini berbentuk linear.
Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai tolerance atau Variance Inflation Factor (VIF) yang bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi yang tinggi antar variabel bebas. Multikolniliearitas dinyatakan tidak terjadi apabila nilai VIF ≤ 10 atau nilai tolerance ≥ 0,1. Berdasarkan hasil uji multikolinearitas diketahui bahwa variabel hardiness dan kecerdasan emosional memiliki nilai VIF sebesar 1.942 dan nilai tolerance sebesar 0,515, sehingga disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas.
Berdasarkan hasil uji asumsi, dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini berdistribusi normal, berhubungan secara linear dan tidak terjadi multikolinearitas sehingga memenuhi syarat untuk uji hipotesis menggunakan teknik analisis regresi berganda.
Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil uji regresi berganda diketahui nilai F hitung adalah 81, 126 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p > 0,05) yang menunjukkan bahwa hardiness dan kecerdasan emosional secara bersama-sama berperan menurunkan burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali. Nilai R sebesar 0,971 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,626, nilai tersebut menunjukkan bahwa hardiness dan
kecerdasan emosional memiliki peran sebesar 62, 6% terhadap burnout dan sisanya sebesar 37,4% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Koefisien beta terstandarisasi variabel hardiness sebesar 0,404 dengan sig. sebesar 0,000 dan koefisien beta terstandarisasi kecerdasan emosional sebesar 0,455 dengan sig. sebesar 0,000. Berdasarkan nilai tersebut disimpulkan bahwa hardiness dan kecerdasan emosional secara terpisah berperan menurunkan burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali.
Rumus regresi berganda ditulis dalam persamaan sebagai berikut:
Y = 138,565 – 0,404X1 – 0,455 X2
Keterangan:
Y = Burnout.
-
X1 = Hardiness.
X2 = Kecerdasan emosional.
Garis regresi tersebut memiliki makna sebagai berikut:
-
a. Konstanta sebesar 138,565 menunjukkan bahwa jika tidak ada penambahan atau peningkatan nilai pada hardiness maupun kecerdasan emosional, maka taraf burnout yang dimiliki sebesar 138,565.
-
b. Koefisien regresi X1 sebesar -0,404
menunjukkan bahwa setiap penambahan atau peningkatan satuan nilai pada variabel hardiness maka akan menurunkan taraf burnout sebesar 0,404.
-
c. Koefisien regresi X2 sebesar -0,455
menunjukkan bahwa setiap penambahan atau peningkatan satuan nilai pada variabel kecerdasan emosional, maka akan menurunkan taraf burnout sebesar 0,455.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hardiness dan kecerdasan emosional terhadap burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali. Berdasarkan hasil uji regresi berganda, disimpulkan bahwa hardiness dan kecerdasan emosional berperan dalam menurunkan burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali. Hal tersebut dibuktikan dari nilai koefisien regresi sebesar 0,791, nilai F hitung sebesar 81,126 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Nilai koefisien determinasi sebesar 0,626, yang menunjukkan bahwa hardiness dan kecerdasan emosional secara bersama-sama memiliki peran sebesar 62,6% terhadap burnout, sedangkan sisanya
sebesar 37,4% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Variabel hardiness memiliki koefisien beta terstandarisasi sebesar -0,404, nilai t sebesar -4,666 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa hardiness berperan dalam menurunkan burnout. Penelitian Hatta (2015) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara hardiness dan burnout pada polisi pengendali massa (Dalmas) Polresta Bandung. Personil polisi yang memiliki tingkat hardiness kuat mampu berfungsi secara efektif dalam lingkungan yang penuh tekanan atau situasi traumatis yang memicu burnout (Escolas, Pitss, Safer & Bartone 2013).
Individu dengan hardiness yang tinggi akan menafsirkan peristiwa kehidupan yang penuh stresor dengan cara yang bermakna dan mencerminkan tingginya komitmen dan kontrol terhadap peristiwa menantang serta melihat tantangan tersebut sebagai peluang pertumbuhan. Individu dengan hardiness kuat mampu tidak menyerah dan memiliki komitmen dalam menghadapi situasi penuh stresor sehingga mengarah pada pengembangan dan pertumbuhan diri (Maddi, 2015). Individu dengan hardiness kuat mampu untuk memengaruhi jalannya peristiwa kehidupan sehingga individu mampu mengontrol dan mengatasi peristiwa stres yang merupakan sumber burnout (Talavera, Luceño, Martín & García, 2018). Individu dengan kepribadian hardiness cenderung membingkai ulang peristiwa penuh stresor menjadi peluang pertumbuhan dan mengevaluasi tantangan secara positif (Maddi, 2015).
Kobasa (dalam Maddi, 2015) menyatakan hardiness merupakan karakteristik pribadi yang digunakan untuk meminimalkan dampak negatif dari stres, terutama stres kerja yang memicu terjadinya burnout. Individu dengan hardiness kuat akan mampu menciptakan kesadaran tinggi akan peran mereka sendiri dan membentuk pandangan yang positif mengenai kehidupan, sehingga pandangan yang positif mengenai diri dan kehidupan tersebut membantu individu untuk mengatasi peristiwa-peristiwa kehidupan penuh stresor yang merupakan sumber burnout (Fyhn, Fjell & Johnsen, 2016).
Variabel kecerdasan emosional memiliki koefisien beta terstandarisasi sebesar -0,455, nilai t sebesar -5. 256 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berperan dalam menurunkan burnout. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Manju dan Meenakshi (2018) yang menyatakan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan
emosional dan burnout pada polisi di Chandigarh Police, India. Peningkatan kecerdasan emosional memprediksi tingkat stres yang lebih rendah dan dapat membantu anggota polisi mengelola stres yang merupakan sumber burnout (McCutcheon, 2018).
Kecerdasan emosional berkaitan dengan kemampuan pengaturan diri, empati, kesadaran diri, motivasi dan keterampilan sosial (Goleman, 200b). Individu dengan kemampuan pengaturan dan kesadaran diri yang baik mampu mengelola emosi-emosi negatif terutama stres, sehingga mampu terhindar dari kelelahan emosional yang merupakan sumber burnout (Pishghadam & Sahebjam, 2012). Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi memiliki motivasi yang kuat yang berkaitan dengan kemampuan bertahan dan bangkit dari kegagalan, frustrasi dan situasi penuh stres (Goleman, 2000b). Individu dengan kemampuan empati dan keterampilan sosial yang baik akan mampu menjalin dan memelihara hubungan yang baik dengan orang lain serta memahami perasaan orang lain, sehingga akan berpengaruh pada rendahnya tingkat depersonalisasi yang berkaitan dengan burnout (Okoiye, 2011).
Sejalan dengan penelitian ini, McCutcheon (2018) menyatakan bahwa peningkatan kecerdasan emosional seorang polisi dapat membantu petugas untuk mengelola stres. Individu dengan taraf kecerdasan emosional yang tinggi mampu mengenali emosi-emosi negatif serta mengelola emosi negatif tersebut untuk mengatasi situasi stres secara efektif sehingga berhubungan dengan rendahnya tingkat burnout (Mohamed & Nagy, 2017). Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki dapat menentukan tingkat burnout yang dialami penyidik kepolisian.
Berdasarkan uji regresi berganda, variabel hardiness memiliki nilai koefisien beta terstandarisasi sebesar -0,404 dan variabel kecerdasan emosional memiliki nilai koefisien beta terstandarisasi sebesar -0,455. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai koefisien beta testandarisasi kecerdasan emosional lebih besar dibandingkan nilai koefisien beta terstandarisasi hardiness, sehingga disimpulkan bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang lebih besar dibandingkan hardiness dalam menurunkan burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali. Penyidik dengan kecerdasan emosional yang tinggi memiliki kesadaran diri dan pengendalian diri yang baik. Ketika mengalami situasi kerja yang penuh stresor, penyidik akan mampu mengenali kondisi stres yang dirasakannya dan merumuskan cara-cara efektif sebagai pemecahan masalah untuk mengelola
stres tersebut. Penyidik yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi juga mampu untuk memotivasi diri, sehingga penyidik dapat bangkit dari situasi menekan dan terhindar dari perasaan tidak berdaya. Selain itu penyidik juga akan mampu berempati terhadap keadaan orang lain dan tetap menjalin hubungan sosial yang positif sehingga mampu terhindar dari burnout.
Penyidik yang memiliki hardiness tinggi akan mampu untuk tetap terlibat dan tidak menyerah dalam situasi kerja yang penuh stresor. Namun apabila penyidik memiliki hardiness yang tinggi tanpa disertai kecerdasan emosional yang tinggi pula, maka penyidik tidak akan mampu bertahan dalam kondisi stres yang berkepanjangan karena penyidik tidak mampu mengelola emosinya dengan baik sehingga menyebabkan pengendalian dan kontrol diri yang buruk. Maka dari itu penting untuk memiliki taraf hardiness dan kecerdasan emosional yang tinggi dalam mengelola stres agar terhindar dari kecenderungan burnout.
Berdasarkan hasil kategorisasi variabel hardiness, mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat hardiness yang sangat tinggi yaitu sebesar 54% dari total keseluruhan subjek. Tingkat hardiness yang sangat tinggi dalam penelitian ini dapat dipengaruhi tingkat usia subjek dan pendidikan kepolisian penyidik. Mayoritas penyidik dalam penelitian ini berusia diatas 30 tahun sebanyak 82 orang (82%). Kobasa, dkk. (1982) menyatakan bahwa dengan kematangan usia, semakin banyak pengalaman hidup yang dimiliki individu, sehingga akan semakin kuat hardiness individu tersebut. Penyidik yang berusia diatas 30 tahun sudah memiliki pengalaman hidup yang cukup banyak sehingga mampu mengatasi peristiwa penuh stres dan meningkatkan taraf hardinessnya. Selain itu pendidikan kepolisian yang dijalani penyidik juga berkontribusi terhadap tingginya taraf hardiness pada penyidik. Hal ini disebabkan karena kurikulum pendidikan kepolisian yang dirancang cukup berat sehingga melatih ketangguhan penyidik sejak usia muda.
Berdasarkan hasil kategorisasi variabel kecerdasan emosional, mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi yaitu sebesar 42% dan sangat tinggi yaitu sebesar 42% dari total keseluruhan subjek. Tingginya tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki penyidik dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan tingkat usia subjek. Mayoritas subjek pada penelitian ini merupakan penyidik dengan latar belakang pendidikan terakhir Sarjana (S1) sebanyak 64 orang
(64%) dan mayoritas penyidik berusia diatas 30 tahun sebanyak 82 orang (82%). Semakin tingginya jenjang pendidikan, inidvidu akan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif dengan lingkungan sosialnya, hal ini akan memicu perkembangan kecerdasan emosional yang lebih baik pada individu (Goleman, 2000a). Mayoritas subjek pada penelitian ini memiliki tingkat pendidikan yang dapat dikatakan tinggi yaitu Sarjana (S1) yang mana penyidik memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik sehingga memicu perkembangan kecerdasan emosional yang tinggi selama masa pendidikan.
Selain itu tingkat kecerdasan emosional juga dipengaruhi oleh kematangan usia. Perkembangan kecerdasan emosional sejalan dengan usia individu, semakin dewasa seseorang maka emosi yang dimiliki akan semakin matang sehingga memengaruhi taraf kecerdasan emosional yang semakin tinggi (Goleman, 2000a). Mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki usia diatas 30 tahun yaitu sebanyak 82 orang (82%) sehingga dapat dikatakan bahwa penyidik memiliki usia yang matang dan sudah memiliki perkembangan kecerdasan emosional yang baik. Sejalan dengan Goleman (2000a), penelitian Snowden, Stenhouse, Young, Carver, Carver, dan Brown (2015) menyatakan bahwa kecerdasan emosional meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Berdasarkan hasil kategorisasi variabel burnout, mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat burnout yang sangat rendah yaitu sebesar 67% dari total keseluruhan subjek. Rendahnya tingkat burnout pada penyidik dipengaruhi oleh tingginya tingkat hardiness dan tingginya tingkat kecerdasan emosional pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali. Berdasarkan hasil uji regresi berganda, hardiness dan kecerdasan emosional berperan dalam menurunkan burnout pada Penyidik Direktorat Reserse Polda Bali.
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu peneliti membatasi subjek penelitian pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali sehingga belum diperoleh variasi hasil penelitian dan komposisi subjek penelitian yang tidak berimbang sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan uji analisis tambahan seperti uji beda pada masing - masing variabel.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan yaitu hardiness dan kecerdasan emosional secara bersama-sama berperan
menurunkan burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali. Jika dilihat secara terpisah, maka hardiness berperan menurunkan burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali, dan kecerdasan emosional berperan menurunkan burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali. Burnout pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali termasuk dalam kategori sangat rendah karena mayoritas responden penelitian memiliki tingkat burnout sangat rendah yaitu sebesar 67%. Hardiness pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali termasuk dalam kategori sangat tinggi karena mayoritas responden penelitian memiliki tingkat hardiness yang sangat tinggi yaitu sebesar 54%. Kecerdasan emosional pada penyidik Direktorat Reserse Polda Bali termasuk dalam kategori tinggi dan sangat tinggi karena mayoritas responden penelitian memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi sebesar 42% dan sangat tinggi sebesar 42%.
Berdasarkan kesimpulan penelitian, beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai berikut:
Saran bagi penyidik Direktorat Reserse Polda Bali yaitu penyidik diharapkan mampu mengenali, meningkatkan dan mempertahankan trait hardiness dan kecerdasan emosional yang dimilikinya guna meningkatkan kualitas dan kompetensi diri serta pekerjaan.
Saran bagi Institusi Polda Bali, yaitu Polda Bali hendaknya secara berkala memberikan tugas maupun pelatihan-pelatihan dengan tingkat kesulitan yang bervariasi, guna meningkatkan taraf kepribadian hardiness pada penyidik. Institusi Polda Bali juga diharapkan dapat menjaga atmosfir dan lingkungan kerja yang baik dengan mempererat hubungan sosial antar anggota penyidik sehingga meningkatkan empati dan keterampilan sosial anggota penyidik yang berkontribusi terhadap peningkatan taraf kecerdasan emosional.
Saran bagi peneliti selanjutnya yaitu peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan populasi penelitian yang jangkauannya lebih luas sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi secara lebih luas. Selain itu, karena proporsi responden penelitian ini tidak berimbang, terutama karakteristik subjek berdasarkan jenis kelamin, peneliti selanjutnya diharapkan memperhatikan proporsi jenis kelamin responden dalam penelitian yang mungkin akan memberikan dampak pada hasil penelitian. Sumbangan efektif dalam penelitian ini adalah sebesar 62,6%, artinya terdapat 37,4% faktor lain yang memengaruhi burnout yang tidak diteliti dalam
penelitian ini seperti, dukungan sosial, beban kerja, dan konflik peran ganda dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, A. G., Priyatama, A. N., & Setyowati, R. (2017). Burnout Ditinjau dari Hardines dan Motivasi Berprestasi (Studi Pada Atlet Pelajar di Semarang). Jurnal Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, 13(2), 113–125.
Antoniou, A. S. G., & Cooper, C. L. (2015). Research Companion to Organizational Health Psychology. Edward Elgae Publishing.
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/smi.1066
Avionela, F., & Fauziah, N. (2016). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Burnout Pada Guru Bersertifikasi Di Sma Negeri Kecamatan Bojonegoro. Empati, 5(4), 687–693.
Azwar, S. (n.d.). Reliabilitas dan Validitas (Edisi 4). Pustaka Pelajar.
Baron, R. A., & Greenberg, J. (1990). Behaviour in Organization: Understanding and Managing the Human Side of Work (3rd Editio). Allyn & Bacon.
Bernadin, H. J. (1993). Human resources management: an experiental approach. McGraw-Hill Book.
Escolas, S. M., Pitts, B. L., Safer, M. A., & Bartone, P. T. (2013). The protective value of hardiness on military posttraumatic stress symptoms. Military Psychology, 25(2), 116–123. https://doi.org/10.1037/h0094953
Fahmi, A. R., & Widyastuti, W. (2018). Hubungan Antara Hardiness Dengan Burnout Pada Santri Pondok Pesantren Persatuan Islam Putra Bangil. Jurnal Psikologi Poseidon (Jurnal Ilmiah Psikologi Dan Psikologi Kemaritiman), 1(1), 66.
https://doi.org/10.30649/jpp.v1i1.11
Fyhn, T., Fjell, K. K., & Johnsen, B. H. (2016). Resilience Factors Among Police Investigators: Hardinesscommitment a Unique Contributor. Journal of Police and Criminal Psychology, 31(4), 261–269.
https://doi.org/10.1007/s11896-015-9181-6
Gatto, S. J. D. (2009). Creating Balance in A World of Stress, Six Key Habits to Avoid in Order to Reduce Stress (I. IUniverse (Ed.)).
Ghozali, I. (2018). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 25 (cet. ke9). Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Goleman, D. (n.d.-a). Emotional Intelligence. PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (n.d.-b). Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Guo, J., Chen, J., Fu, J., Ge, X., Chen, M., & Liu, Y. (2016). Structural empowerment, job stress and burnout of nureses in China. Applied Nursing Research, 31, 41–45.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2015.12.007
Hatta, R. H. (2015). Hubungan antara hardiness dengan burnout pada anggota polisi pengendali massa (dalmas) Polrestabes Bandung. UNISBA.
Kobasa, S. C., Maddi, S. R., & Khan, S. (1982). Hardiness
and health: a prospective study. Journal of Personality and Social Psychology, 42(1), 168.
https://doi.org/https://doi.org/10.1037/0022-3514.42.1.168
Kreitner, R., & Kinicki, A. (1992). Organizational
Behavior. Richard, D. Irwin, Inc.
Kusuma, E. F. (2015, November 2). Mabes Polri punya data mengejutkan: 80% reserse dan polantas stres. Detik News.
Maddi, S. R. (2015). SpringerBriefs in Psychology.
Manju, A., & Meenakshi, M. (2018). Emotional
intelligence and its impact on Burnout and
Happiness: A study on Police Officers of
Chandigarh Police, India. International Journal of Multidiciplinary, 3(12), 612–619.
Maslach, C. (2003). Burnout, The Cost of Caring. Malor Books.
Maslach, C., & Leiter, M. P. (1997). The Truth About Burnout: How Organizations Cause Personal Stress and What to do About it. Jossey-Bass.
McCutcheon, M. (2018). Emotional intelligence and organizational stress of police officers. InSight: Rivier Academic Journal, 14(1).
Minner, J. B. (1992). Industrial Organizational Psychology. McGraw-Hill Book.
Mohamed, S. M., & Nagy, F. (2017). Emotional
Intelligence and Job Stress among Academic Members at Faculty of Nursing - Cairo University. IOSR Journal of Nursing and Health Science, 06(01), 10–19. https://doi.org/10.9790/1959-
0601041019
Movanita, K. (2016). Polisi rawan stres karena beban tugas dan tekanan ekonomi. Kompas.
Muchinsky, P. M. (1987). Psychology applied to work. The Dorsey Press.
Okoiye, O. E. (2011). Nigerian Police Recruits Training Programme: Agenda for Police Personnel
Prosocial. 2(1), 61–70.
Pishghadam, R., & Sahebjam, S. (2012). Personality and Emotional Intelligence in Teacher Burnout. The Spanish Journal of Psychology, 15(1), 227–236. https://doi.org/10.5209/rev_sjop.2012.v15.n1.37314
Rahmadayah, A. (2016). Banyak polisi stres akibat beban kerja berlebih. Jitu News Online.
Rustika, I. M. (n.d.). Rustika, I. M. (2014). Faktor-faktor yang memengaruhi prestasi akademik pada remaja. (Disertasi tidak dipublikasikan). Program Doktor Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta..pdf.
Schaufeli, W. B., & Buunk, B. P. (1996). Professional Burnout: Handbook of Work and Health Psychology. John Wiley & Sons Ltd.
Smith, T. D., Hughes, K., DeJoy, D. M., & Dyal, M. A. (2018). Assessment of relationships between work stress, work-family conflict, burnout and firefighter safety behavior outcomes. Safety Science, 103(May 2017), 287–292.
https://doi.org/10.1016/j.ssci.2017.12.005
Snowden, A., Stenhouse, R., Young, J., Carver, H., Carver, F., & Brown, N. (2015). The relationship between emotional intelligence, previous caring experience
and mindfulness in student nurses and midwives: A cross sectional analysis. Nurse Education Today, 35(1), 152–158.
https://doi.org/10.1016/j.nedt.2014.09.004
Talavera-Velasco, B., Luceño-Moreno, L., & Martin-
Gracia, Y. (2018). Psychosocial risk factors, burnout and hardy personality as variables associated with mental health in police officers. Frontiers in Psychology, 9, 1478.
https://doi.org/https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01 478
Tama, I. P., & Hardiningtyas, D. (2017). Psikologi
Industri: Dalam Perspektif Sistem Industri. UB Press.
Undang- Undang Kepolisian Negara (UU RI NO. 2 TH. 2002). (2003). Redaksi Sinar Grafika.
Weigl, M., Stab, N., Herms, I., Angerer, P., Hacker, W., & Glaser, J. (2016). The associations of supervisor support and work overload with burnout and depression: a cross-sectional study in two nursing
settings. Journal of Advanced Nursing, 72(8), 1774– 1788. https://doi.org/10.1111/jan.12948
Widjaja, M. S., Sitorus, K. S., & Himawan, K. K. (2020). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kecenderungan burnout pada karyawan bagian pemasaran. Jurnal Psikologi Ulayat, 3(1), 18–33. https://doi.org/10.24854/jpu42
LAMPIRAN
Tabel 1
Deskripsi data penelitian
Variabel Penelitian |
N |
Mean Teoritis |
Mean Empiris |
Standar Deviasi Teoritis |
Standar Deviasi Empiris |
Sebaran Teoritis |
Sebaran Empiris |
t |
Burnout |
100 |
95 |
58,06 |
19 |
13,031 |
38-152 |
38-88 |
-28,347 |
Hardiness |
100 |
95 |
128,13 |
19 |
15,498 |
38-152 |
84-152 |
21,378 |
Kecerdasan Emosional |
100 |
92,5 |
120,63 |
18,5 |
19,326 |
37-148 |
77-148 |
14,555 |
Tabel 2
Uji normalitas data penelitian
Variabel |
Kolmogorov-Smirnov |
Sig. |
Kesimpulan |
Burnout |
1,097 |
0,180 |
Data berdistribusi normal. |
Hardiness |
1,284 |
0,074 |
Data berdistribusi normal. |
Kecerdasan emosional |
1,247 |
0,089 |
Data berdistribusi normal. |
Tabel 3
Uji linearitas data penelitian
Variabel |
Linearity |
Kesimpulan |
Burnout*Hardiness |
0,000 |
Data berhubungan secara linear. |
Burnout*Kecerdasan Emosional |
0,000 |
Data berhubungan secara linear. |
Tabel 4
Uji multikolinearitas data penelitian
Variabel |
Tolerance |
VIF |
Kesimpulan |
Hardiness |
0,515 |
1,942 |
Tidak terjadi multikolinearitas. |
Kecerdasan emosional |
0,515 |
1,942 |
Tidak terjadi multikolinearitas. |
Tabel 5
Hasil uji regresi berganda data penelitian
Sum of Squares |
Df |
Mean Square |
F |
Sig. | |
Regression |
10521,521 |
2 |
5260,761 |
81,126 |
0,000 |
Residual |
6290,119 |
97 |
64,847 |
Total 16811,640 99
Tabel 6
Besaran Sumbangan Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat.
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
0,791 |
0,626 |
0,618 |
8,053 |
Tabel 7
Hasil Uji Hipotesis Minor dan Garis Regresi Linear Berganda
Variabel |
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Std. B Beta Error |
(Constant) |
138,565 6,762 20,439 0,000 |
Hardiness |
-0,340 0,073 -0,404 -4,666 0,000 |
Kecerdasan emosional |
-0,307 0,058 -0,455 -5,256 0,000 |
23
Discussion and feedback