Jurnal Psikologi Udayana                                 Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental dan Budaya I, 207-215                                      e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607

Bentuk dukungan sosial orangtua dan kemampuan penyesuaian diri pada anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD)

Anak Agung Istri Dessy Sri Wangi dan I Gusti Ayu Putu Wulan Budisetyani Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana wulanbudisetyani@unud.ac.id

Abstrak

Perkembangan anak autisme sangat erat kaitannya dengan perlakuan dari orang terdekat anak autisme terutama keluarga. Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga mampu mengubah perilaku anak ke arah yang lebih baik khususnya pada kemampuan penyesuaian diri. Penelitiannini bertujuanauntuk mengetahui informasi secara mendalama mengenai bentuk dukungan sosial orangtua dan kemampuan penyesuaian diri pada anak dengan autistic spectrum disorder (ASD). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, tipe penelitian kasus tunggal. Pemilihan subjek penelitian menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria tertentu yang dimiliki oleh orangtuajyang mempunyaiaanak autisme. Metode. pengumpulani data menggunakani wawancara yangi mendalam dani observasi melalui sumber data primer dan sekunder. Tekniki analisisddata menggunakan. reduksi data, penyajianndata, lalu dilanjutkani dengan penarikan kesimpulan. Uji kredibilitas data menggunakani peningkatan ketekunan dan teknik triangulasi data. Hasilppenelitian amenunjukkan bahwa, orangtuai dari anak autismei memberikan dukungan sosial terhadap anak autisme yang terdiri dari dukugan emosional berupa memberikan kehangatan, rasa peduli dan empati; dukungan penghargaan berupa penguatan positif; dukungan langsung berupa pelayanan dan finansial; dan dukungan informasi (verbal dan non verbal) berupa memberikan nasihat, pengetahuan baru, motivasi dan sugesti. Dukungan sosial orangtua membuat anak autisme mampu mengembangkan penyesuaian diri dalam lingkungan sosial diantaranya ketika berinteraksi dengan orangtua di rumah, menyesuaikan diri saat di lokasi terapi dan di sekolah inklusi. Selain hal tersebut dukungan sosial yang diberikan juga mampu meningkatkan motivasi serta rasa percaya diri anak autisme dalam meningkatkan kemampuan lainnya sesuaii potensii yangi dimiliki.

Kata kuncil: Anak autism, d ukungani sosial orangtua, penyesuaian diri.

Abstract

The development of children with autism is very closely related to the treatment of closest people to autism children, especially families. Social supports provided by family be able to change children's behavior to be better to increase self adjustment ability. This research is aimed to identify deeply about form of parental social support and self adjustment of children ability with autism spectrum disorder (ASD). This research uses qualitative approach with the method of case study and the type of single research cases. The subjects are determined by using purposive sampling technique with the specific criteria belonging to the parents who have autism children. The method used in collecting the data are in-depth interview and observation through primary and secondary data sources. To analyze the data, the techniques used are reduction data, display data, and conclusion. To validate the data, the techniques used are triangulation and increase perseverance. The result of research shows that the parents of autism children provide social supports which consist of emotional support in the form of warmth, sense of care and empathy; self esteem support in the form of positive reinforcement, tangible support in the form of service and finance, and information (verbal and non verbal) support in the form of giving advices, knowledge, motivation and suggestion. Those social supports motivate the autism children to be able to develop self - adjustment on the social environment such as interaction with the parents at home, adaptation at the location of therapy and inclusive school. Additionally, the social supports basically can increase great motivation and self esteem to the children in increasing other personal abilities according to the potency on the children with autism spectrum disorder (ASD).

Keywordsl: parental social support, self adjustment, autism children.

LATAR BELAKANG

Sebuah unit keluarga terutama orangtua tentu mendambakan kehadiran anak dalam melanjutkan keturunannya.. Setiap orangtua mengharapkan proses tumbuh kembang anaknya dapat berjalan dengan normal. Tumbuh kembang anak tidak mengalami proses yang sama dan memiliki keunikannya masing-masing. Ada pula anak yang lahir dengan memperlihatkan masalah tumbuh kembangnya sejak usia dini, terkait fisik, mental, ataupun psikologis. Permasalahan yang menjadi kekhawatiran bagi orangtua mengenai ketidaksempurnaan pada anak adalah anak yang terlahir dengan Special Needs Individuals atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Berdasarkani data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi jumlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia mencapai angka 1,6 juta anak (www.kemdikbud.go.id).

Namun jumlah kasus ABK terutama autisme mengalami peningkatan yang paling signifikan dari tahun ke tahun. Sutadi (2003) menyebut bahwa sebelum tahun 1990-an jumlah anak autis pada suatu populasi dapat terhitung berkisar dua sampai lima penderita dari 10.0001 anak-anak usiai dibawah dua belas tahun, dan setelah itu jumlahnya meningkatj menjadii empat kali lipat. Sementara itu menurut Kaplan & Sadock’s (2007) ketika awal tahun 1990-an, kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 : 2.0002 kelahiran. Prevalensi autis secara global menurut World Health Organization (WHO) mencapai 62 per 10.000 atau satu dari 160 kelahiran (Setia, 2013).

Secaraf etimologis, kata autismeh berasal dari kata auto dan isme. Auto artinya dirinsendiri, sedangkan ismehberarti suatu paham atau pandangan, sehingga autisme diartikan suatu pandangan terhadap anak yangi seolah-olah hanyai tertarik dengan dunianyai sendiri. Gangguan ini seringkali disebut dengan Autistic Spectrumi Disorder (ASD) merupakan gangguan pervasif yang mencakup gangguan-gangguani pada aspeki komunikasi, interaksii sosial, bahasa dan perilaku serta gangguan emosi dan persepsie sensori bahkan pada aspek motoriknyam(Yuwono, 2009). Gejalai tersebut biasanya nampak padakindividu sebelumi berusia tiga tahuni dengan keterlambatan interaksi sosial dan bahasa.

Namun ada pula anak yang awal perkembangannya mencapai normal, akan tetapi sebelum usia tiga tahun perkembangannya mengalami kemunduran bahkan terhenti, serta muncul beberapa ciri-ciri autisme. Kannerg(dalam Berkell, 1992) menyatakan bahwa gangguanmautisme terdiri dari tiga kriteria umum yaitu adanyahgangguan pada hubungan interpersonal, gangguan pada perkembanganhbahasa, dan kebiasaan untuk menunjukkan tingkahyolaku yang tidak bermakna isecara berulang.

Membesarkan anaki yang mengalami gangguan autisme membuat sebuah perubahan besar terhadap kehidupan keluarga. Persepsi dari pengasuhan orangtua, mengenal nilai-nilai baru, hingga mengubah prioritas dalam keluarga akan mempengaruhi sudut pandang orangtua terhadap anak. Peranan orangtua dalam pengawasan dan membimbing sangat

diperlukan, dengani demikian orangtuai mampu imengawasi dan mengetahuii kekurangani serta kelebihan yang dimiliki oleh anak autisme dalam proses belajar pada perkembangannya. (Rahayu, 2014). Orangtua yang memiliki anak autisme menunjukkan reaksi yang berbeda-beda saati pertamai kali mengetahui anaknyaf terdiagnosa gangguanl autisme. Puspita (2004) menyatakan bahwa orangtua pada awalnya menunjukkan rasa tidaki percaya, ishock¸ sedih, ikecewa, marah, rasahbersalah, beban dani juga menolak kehadiran anak.

Menurut Safira (2005) stres pada orangtua muncul tidak hanya dari permasalahan anak namun permasalahan dari reaksi masyarakat terhadap orangtua dan anak autisme. Namun bagaimanapun juga anak dengani gangguan autisme tetaplah seorangi anak yang membutuhkani kasih sayang, perhatian dan cinta dari iorangtua, saudara dani keluarganyag(Safaria, 2005). Oleh karena itu, sosok orangtua anak autisme yang ideal dan mampu menjadi role model sangat dibutuhkan agar mampu mengedukasi masyarakat terutama bagi orangtua anak autisme yang lainnya dalam memberikan pengasuhan dan pendidikan yang sesuai. Melalui dukungan sosial yang tepat, diharapkan anak autisme mampu meningkatkan kemampuan komunikasi, interaksi sosial, perilaku dengan menunjukkan potensi serta kelebihan yang dimiliki. Sehingga anak autisme mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan meningkatkan kemandirian minimal pada kegiatan sehari-harinya.

Berdasarkanl hasil studi pendahuluani yang dilakukan oleh penelitii di Pusat Layanan Autis Lumintang (PLA) Denpasar kepada salah satu orangtua anak autisme. Seorang Ibu yang memiliki anak autisme laki-laki dengan inisial W menceritakan bahwa munculnya rasa khawatir ketika melihat adanya kejanggalan perilaku yang dialami oleh anak. Kemudian orangtua tersebut mengunjungi tenaga medis dan mendapatkan diagnosa bahwa anak mengalami gangguan autisme. Orangtua lalu mencarikan informasi tentang autisme melalui internet dan mencari informasi tempat terapi. Langkah selanjutnya adalah dengan berdiskusi terhadap orangtua anak autisme lainnya untuk berbagi informasi mengenai perlakuan yang tepat (Wangi, 2018).

Dilansir dari berita resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat (http://jabarprov.go.id), menurut Juju (dalam Parno, 2018) yang merupakan Direktur Autistice Care Center di Bandung menyatakan bahwa masih banyak orangtua anak autis tidak memahami cara memberikan perhatian yang tepat, kurang sabar dalam memberikan perkenalan dunia luar, dan kurang menarik dalam memberikan edukasi kepada anak. Informasi berikutnya dilansir dari berita gaya hidup parenting (http://republika.co.id) oleh Suryani (2011) yang merupakan guru besar Fakultas Kedokteran Udayana, menyatakan seringkali anak autis dituntut oleh orangtuanya agar mampu menjadi anak normal tanpa didahului penanganan khusus sehingga memperparah kondisi kejiwaan anak.

Informasi yang diperoleh dari studi pendahuluan dan berita mengungkapkan bahwa lingkungan sosial keluarga terutama orangtua anak autisme memiliki perani dan tanggung jawab yang sangat besar terhadap perkembangan anak autisme.

Dalami hal ini tanggung jawab moral yang dapat diberikan oleh orangtua yaitu dengan memenuhi kebutuhan perkembangan dalam keterbatasan anak autisme. Hal ini dapat diwujudkan dengan memberikan hak kepada anak untuk memperoleh kesempatani yang sama seperti anaki normal lainnya dalam hal pendidikani atau pengajarani dalam bentuk penanganan khusus kepada anak autis. Tujuan dari pendidikan khusus untuk anak autisme adalah agar dapat membangun keterampilan anak autisme dalam mengejar ketertingalan pada proses perkembangannya, serta dapat berfungsi secara utuh, lebih mandiri, dan menjalani kualitas hidup sebaik mungkin (Junita, 2009).

Selain menjalani pendidikan khusus kemajuan perkembangan anak dapat dipengaruhi olehi beberapai faktor, salah satunya yaitu dukungani sosiald(Chaplin, 2000). Dukunganl sosial adalah pertukarani interpersonal yang dicirikani oleh perhatian emosi, bantuani instrumental, ipenyediaan informasi, iatau pertolongan lainnyag(Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Menurut Sarafino (2002) dukungan sosiali dapat berupa emotional supportg(dukungan emosional), esteemnsupport l(dukungan harga diri), tangible supportg( dukungan nyata), information supportg(dukungan informasi), networkbsupport (dukungan jaringan ataunkelompok).

Sumberi dari dukungangsosial dapat berasal idari orangtua (keluarga), kerabat, teman anak, guru, pengasuh dan orang terdekat lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Cohen dan Syme (dalam Harnilawati, 2013) yang menjelaskan bahwa dukungani sosial adalahl suatu keadaan yangnbermanfaat bagi individu yang diperoleh darinorang lain yang dapati dipercaya, sehingga seseorang iakan tahu bahwa ada orangi lain yang memperhatikan, menghargail dan lmencintainya. Anak yang merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai secara terus menerus akan mampu memberikan contoh dalam melakukan perilaku yang sama terhadap dirinya sendiri dan orang lain.

Mengoptimalkan kebutuhan dengan memberikan dukungan sosial yangntepat pada anak autisme, diharapkani mampu meningkatkani kualitas hidup secara individu ataupun sosial, sehingga dapat mengubah stereotip masyarakat bahwa anak autisme juga mampu melakukan sosialisasi atau interaksi dengan lingkungan. Bersosialisasi atau interaksi pada dasarnya merupakan sebuah penyesuaian diri individu terhadap lingkungan. Manusia sebagai makhluk sosial akan secara tidak langsung merasakan tuntutan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya (Sunarto & Hartono, 2008). Sesuai dengan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa manusiai sebagai makhluk sosiali pada kenyataannya selalu iberhubungan dengan orangylain atau lingkungani sekitar sehingga diperlukan kemampuan penyesuaian diri.

Schneiders (dalam Yusuf, 2004)hmenyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses individu yang melibatkan respon perilaku dan mentali individu dalam mengatasi konflik dan frustrasi sehingga mampu menghasilkan hubungani yangi harmonis antara kebutuhan dirinya dan tuntutani lingkungan sosialnya. Penyesuaian diri bersifat relatif dikarenakan kualitas penyesuaian diri berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangan yang dijalani;

masyarakatndannkebudayaan; serta adanya variasintertentu oleh setiap individuh(Schneiders, 1964). Sesuai dengan pendapat Kartonog(2000) menyebutkan penyesuaiani diri adalah usahai manusiai untuk mencapaii keharmonisan lpada dirinya sendirii dani pada lingkungan sekitarnya, sehingga rasa kemarahan, iprasangka, idepresi, dan emosi negatif lainnya mampu dikontrol dengan baik.

Berdasarkan pernyataan diatas dapati dilihat kembali ibahwa anak-anaki dengani gangguan autisme biasanya imemiliki kesulitan dalami membangun relasi dani bekerjasama dengan orang-orang disekitarnya. Ketidakmampuan ianak-anak dengan gangguan autismei tersebut dapati menjadi kendala untuk menyesuaikani diri dengan lingkungan. Biasanya ianak autisme memiliki kecendrungan untuk menyendiri dan terlihat asik dengan dunianya sendiri dengan menunjukkan sedikit ketertarikan dan hubungan terhadap lingkungan. Sehingga perlunya kerjasama antara keluarga anak autisme khususnya orangtua dan pihak lainnya dalam memberikan dukungan terhadap anak autisme agar mampu meningkatkan kemampuan diri anak autisme salah satunya yaitu kemampuan penyesuaian diri. Menurut Siswojo (dalam Wrastari dkk, 2003) menyatakan bahwa perilaku orangtua memanjakan ataupun menolak anak akan berpengaruh terhadap penyesuaian dirinya karena dapat menghambat kemampuan anak unutk mengembangkan dirinya.

Apabila sudah menemukan bentuk dukungan sosial yang tepat untuk anak autisme serta mengetahui bagaimana kemampuan penyesuaian diri yang tepat dilakukan oleh anak autisme, diharapkan dapat membentuk keharmonisan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Setidaknya anak autisme mampu mengelola diri dalam berperilaku di lingkungan sosial. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk memperoleh data yang lebih komprehensif dan akurat mengenai bentuk dukungan sosial orangtua dan kemampuan penyesuaian diri pada anak Autistic Spectrum Disorder (ASD).

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Pada penelitian ini menggunakani metode penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2015) penelitian kulalitatif merupakan suatu penelitian yang digunakan untuk menelaah, memahami sikap, pandangan, perasaan,hdan perilaku individu atau sekelompoki orang melalui gambaran holistik dengan memperhitungkan konteks yang relevan. Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi kasus.

Unit Analisis

Penelitian ini, unit analisis yangi digunakan adalah kasus individu. Pada unit analisis kasus individu, pengumpulan data dipusatkan di sekitar individu yang bersangkutan, seperti kegiatan yang dilakukan individu dan hal apa saja yang memengaruhi kegiatan tersebut (Moleong, 2014)

Responden Penelitian

Responden pada penelitian ini adalah orangtua yangi terdiri dari ibui dan bapak dari anaki autisme. Penneliti menggunakan

teknik purposive sampling. Responden dalami penelitian ini harus memenuhi beberapa karakteristik tertentu, antara lain:

  • 1.    Orangtua (satu pasang/utuh) dan tinggal bersama

  • 2.    Orangtua memiliki anak autisme dengan rentang usia 6-12 tahun.

  • 3.    Orangtua memiliki anak lebih dari satu orang

  • 4.    Mengikutsertakan anak autisme dalam pendidikan khusus

  • 5.    Berdomisili di Denpasar

Teknik Pengumpulan Datai

Proses pengumpulan data pada penelitiani ini dengan menggunakan tekniki wawancara, observasi, dan catatan lapangan sebagai alat bantui mencatat ketika peneliti menemukan fakta atau informasi yang dirasa penting dan menarik untuk idigali lebih dalam. Dalami penelitian ini menggunakan metode wawancara semiterstruktur. Pertanyaan yang digunakan dalam wawancara penelitian ini adalah pertanyaan terbuka dan mendalam. Observasi yangi digunakan dalam penelitian ini dilakukan selama proses wawancara berlangsung dengan responden.

Teknik Pengorganisasiani dan Analisis Datai

Teknik pengorganisasian data dilakukan dengan cara memindahkan data rekaman audio dari telepon genggam ke dalam folder pada laptop peneliti. Data rekaman audio wawancara tersebut kemudian diubah menjadi verbatim dan fieldnote dalam format dokumen, diberi judul file sesuai kode untuk masing-masing responden. Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah open coding, axial coding, dan selective coding (Strauss & Corbin, 2017). Salah satu dari tahapan analisis, yaitu axial coding terlampir pada Bagan 1.

Kredibilitas Penelitian

Data penelitian kualitatif dapati dinyatakan valid bila tidak adanya perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan situasi yangi sesungguhnya terjadi. Kredibilitas data ipada penelitian ini dilakukan dengan meningkatkan ketekunan, dan triangulasi.

Isu Etik

Pada penelitian ini terdapat isu-isu etis yang harus diperhatian. Tujuannya adalah untuk menghargai dan melindungi subjek dari hal-hal yang dapat merugikan ataupun membahayakan responden. Dalam mengawali penelitian menggunakan persetujuan dalam bentuk inform consent dan memberikan imbalan terhadap responden.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan dari proses analisis data, terdapat dua topik utama pada hasil penelitian yaitu terkait dukungan sosial orangtua pada anaki dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD) dan kemampuan penyesuaian diri padai anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD).

Dukungan Sosial Orangtua pada Anaki dengan

Autistic Spectrum Disorder (ASD)i

Awalnya responden mengalami perasaan khawatir ketika menyadari bahwa terdapat beberapa perilaku anak memiliki perbedaan perkembangan dengan anak pada umumnya. Kemudian mencari tahu penyebab kejanggalan yang dialami oleh anak dengan mengunjungi tenaga medis seperti dokter dan psikolog. Setelah mendapatkan diagnosa oleh tenaga medis, responden terus mencari informasi mengenai autisme dan mencari solusi terbaik untuk penanganannya. Hal tersebut dilakukan dengan cara membaca di internet, buku, menonton televisi terkait anak autisme, dan memfasilitasi anak dengan mengikutsertakan terapi anak autisme

Bentuk Dukungan Sosial Orangtua pada Anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD)

Dukungan Emosional

Bentuk dukungan emosional terlihat ketika responden menunjukkan rasa empati, kepedulian, suasana kehangatan dan konsentrasi terhadap perkembangan anak autisme. Responden selalu menunjukkan empati dan kepedulian dalam mencarikan solusi terbaik untuk kesehatan anak autisme dan memberikan semangat saat anak autisme mengikuti kegiatan. Suasana kehangatan yang diberikan adalah dengan meluangkan kesempatan untuk bercanda, menunjukkan perhatian intensif terhadap anak, dan menunjukkan rasa kasih sayang dengan memeluk dan mencium anak.

Dukungan Penghargaan

Bentuk dukungan penghargaan oleh responden adalah dengan memberikan penghargaan positif terhadap anak autisme untuk meningkatkan harga diri, kompetensi, dan juga menghargai pencapaian yang diperoleh anak autisme. Penguatan positif biasanya diberikan ketika anak autisme mau mengikuti instruksi atau arahan yang diberikan, serta mengikuti aturan yang berlaku pada lingkungan. Adapun jenis penguatan positif yang diberikan oleh responden adalah berupa pujian dan perilakuii simbolis dengan menunjukkani jempol, mengetos, ekspresi bahagia, dani tepuk tangan.

Dukungan Langsung

Bentuk dukungan langsung yang diberikan oleh responden adalah melalui penyediaan secara nyata yang dapat memberikan pertolongan berupa pelayanan, kebersamaan, keuangan atau finansial. Responden sering memberikan pelayanan berupa pertolongan dalam membantu anak autisme untuk melakukan kegiatan yang tidak mampu dilakukannya sendiri. Dalam hal keuangan atau finansial, responden selalu berusaha untuk memberikan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan anak autisme seperti biaya untuk membelikan obat / vitamin khusus anak autisme, mengikutsertakan pendidikan khusus, dan pemenuhan fasilitas lainnya.

Dukungan Informasi (Verbal dan Non verbal)

Bentuk dukungan informasi yang diberikan dibagi menjadi dukungan informasi verbal dan non verbal. Dukungan informasi verbal ditunjukkan oleh responden dengan memberikan nasihat, pengetahuan, sugesti atau umpan balik terhadap perilaku anak autisme. Sedangkan dukungan informasi non verbal diberikan dengan cara perilaku simbolis dalam memberikan ijin dan mengisyaratkan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Misalkan ketika responden

memberikan aturan, namun anak autisme ingin melanggarnya, maka tangan responden memberikan instruksi simbolis.

Kemampuan Penyesuaian Diri pada Anaki dengan

Autistic Spectrumi Disorder (ASD)i

Bersedia Mengikuti Aturan yang Diterapkan Lingkungan Perilaku penyesuaian diri anak autisme pada kriteria pertama diperlihatkan dengan kesediaan anak autisme dalam mengikuti aturan-aturan atau norma yang ditentukan oleh responden, terapis dan guru. Anak aurisme selalu ditemani oleh responden jika bepergian kemanapun kecuali saat berada di dalam kelas menjalani terapi atau sekolah. Dengan demikian aturan tersebut dapat selalu dipantau oleh responden untuk tetap mengontrol perilaku anak autisme.

Berpartisipasi pada Kegiatan yang Diarahkan

Perilaku penyesuaian diri anak autisme pada kriteria kedua diperlihatkan dengan inisiatif dan perilaku partisipasi pada anak autisme dalam mengikuti kegiatan yang diarahkan responden, orangtua, guru dan terapis. Anak autisme mengikuti arahan apabila kegiatan tersebut dilakukan secara berulangkali atau perilaku secara konsisten atau repetitif, karena dengan demikian anak autisme mampu mengingat dan menjadikan sebuah kebiasaan.

Menunjukkan Sikap Senang dalam Hubungan Pertemanan Perilaku penyesuaian diri anak autisme pada kriteria ketiga diperlihatkan dengan menunjukkan sikap senang dalam hubungan pertemanan. Perilaku tersebut dilakukan ketika bermain bersama saudara kandungnya ketika dirumah,

saudara-saudara sepupunya ketika pulang kampung, saat melakukan aktivitas santai bersama responden, dan saat bertemu dengan teman-teman di lokasi terapi dan sekolah inklusi.

PEMBAHASAN

Bentuk Dukungani Sosiali Orangtua pada Anaki dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD)i

Pada penelitian ini diperoleh bahwa awalnya responden mengalami perasaan khawatir ketika menyadari bahwa beberapa perilaku anak memiliki perbedaan perkembangan dengan anak yang normal. Senada dengan pernyataan Puspita (2004) bahwa orangtua biasanya pada awalnya mengalami rasa tidak percaya, shockj sedih, kecewa, marah, merasa bersalah bahkan menolaki kehadiran anak. Anak autisme mengalami kesulitan dalam meniru ucapan yang sering dilatih oleh orangtua, sering menangis sambil mengamuk dan membenturkan kepala, serta adanya gangguan sensoris yaitu sensitif terhadap suara terutama yang memiliki volume tinggi, sensitif terhadap sentuhan dan aroma tertentu. Menurut penelitian Lane & Murray (2002) bahwa antara 45-96% anak dengan ASD mengalami gangguan sensori yang ditunjukan dengan reaksi yang berlebihan atau bahkan kekurangan respon.

Dalam memberikan perilaku yang tepat terhadap anak responden yang mengalami gangguan autisme, responden menunjukkan beberapa perilaku berupa dukungan sosial baik secara mental maupun material. Sikapi yangi ditunjukkan oleh responden sesuai dengani pernyataan Rook (dalam Nursalam

& Kurniawati dkk, 2007) yang menyatakan bahwa hubungan ikatan dengan orang lain dalam ranah dukungan sosial mencakup beberapa hal seperti emosional, ungkapan perasaan, nasihat iatau informasi, dan pemberian bantuan secara konkret berupa imaterial. Adapun bentuk-bentuki dukungan sosial orangtua yang diberikan oleh responden adalah iberupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan langsung, dan dukungani informasi (verbal idani nonverbal).

Dukunganigemosional terwujud dalam memberikan kepedulian, kehangatan dan empati terhadap anak autisme. Responden perilaku memeluk dan mencium secara rutin dilakukan untuk meredam emosi anak autisme yang tidak stabil seperti ketika munculnya emosi marah, sedih, dan menangis tantrum. Sikap responden sejalan dengan pernyataan (Ramdhani dkk, 2008) bahwa manusia mampu memberikan tindakan yang merefleksikan emosi sayang seperti memberikan senyuman, tertawa, mencium, memeluk, memegang tangan, mendekati, dan mengajak bermain orang yang disayang.

Selanjutnya responden juga sering menanyakan kebutuhan yang diinginkan oleh anak autisme, dikarenakan anak tersebut memiliki sifat gangguan suasana hati sehingga segala kebutuhannya disesuaikan terhadap keinginan anak autisme. Perilaku dukungan emosional yang diberikan oleh responden senada dengan pernyataan Sarafinog(2002) yang menjelaskan bahwa dukungangemosional dapat membuat individu memiliki perasaan nyaman karena dipedulikan oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat imengahadapi masalah. Biasanya dukungan ini diberikan oleh keluarga atau pasangan dengan contoh memberikan pengertian terhadap masalah yangi dihadapi ataui mendengarkani keluh kesahnya.

Dukunganii penghargaan terwujud pada perilaku memberikan penguatan positif terhadap anak autisme sebagai apresiasi terhadap pencapaian yang diperoleh. Penguatan positif tersebut diantaranya adalah dengan memberikan pujian terhadap anak autisme dengan kata-kata yang menyenangkan. Penguatan positif tersebut didukungi olehi hasil penelitian Bektiningsih (2009) yang menyatakan bahwa pentingnya penguatan berupa sesuatu yang dapat menyenangkan hati anak, penguatan tersebut diantaranya adalah berupa pujian, elusan, dan memberikan makanan atau minuman kesukaan anak yang sesuai dengan diet makanan anak autisme.

Dukungan langsung terwujud dalam memberikan pelayanan, finansial, dan memberikan koping yang tepat. Responden mengamati kejanggalan kondisi kesehatan pada anak lalu mengantarkan ke tenaga medis seperti dokter umum, dokter anak, psikolog, dan dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Diagnosa yang menunjukkan bahwa anak autisme mengalami gangguan autisme diperoleh ketika responden memeriksakan ke dokter anak. Kesan yang diberikan oleh dokter anak mampu membangkitkan motivasi responden untuk menghadapi dan mejalani dalam merawat anak. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Asmika, dkk (2013) yang menyatakan bahwa sebagian besar diagnosa autisme pertama kali dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti dokter anak dan psikiater.

Selain itu, adapun dukungan langsung dalam bentuk koping yang berfokus pada emosi dengan bepergian bersama keluarga ke tempat wisata untuk menghilangkan penat dan menenangkan pikiran. Sedangkan koping pada masalah yang ditunjukkan oleh responden adalah mengantarkan anak autisme ke tenaga medis, mengeluatkan biaya untuk kebutuhan anak autisme sepetyi mengikutsertakan anak dalam terapi serta sekolah inklusi. Sejalan dengan yang dikatakan oleh (Hapsari dkk, 2002) coping merupakan reaksi yang dilakukan untuk menyeimbangkan, memecahkan masalah, dan mengurangi kondisi tertekan pada individu.

Dukungani informasi yang muncul dalami penelitian ini adalah dukungan informasi verbal dan non verbal. Dukungan informasi verbal dilakukan dengan cara memberikan nasihat, informasi berupa pengetahuan, serta motivasi atau sugesti terhadap anak autisme. Informasi verbal juga diberikan saat rsponden orangtua melatih kemandirian anak autisme untuk mengambil barang dan benda yang mudah dijangkau. Hal tersebut didukung oleh hasili penelitian Rufaidah (2014) bahwa imenjadikan anak autisme mandiri agar tidak merepotkan orang lain merupakan salah satu usaha untuk membuat anak autisme lebih berkualitas dibalik keterbatasan yang dimiliki.

Dukungan informasi non verbal yang diberikan oleh responden adalah berupa larangan, perilaku yang tidak boleh dan yang boleh dilakukan, serta punishment. Responden menunjukkan tangan seperti akan mencubit, ketika anak autisme berbuat kesalahan, namun responden tidak mencubit secara nyata serta memberikan tepuk tangan, mengacungkan jempol, dan mengelus kepala anak autisme bila mau melakukan aktivitas secara mandiri. Dukungani sosial digambarkan sebagai informasi verbal dan non-verbal, bantuan nyata, dan perilaku tertentu yang diberikan oleh orang-orang yang mengenal subjek dalam lingkungan sosialnya sehingga mampu memberikan keuntungan emosional dan pengaruh pada tingkah laku penerimanya (Gottlieb dalam Azizah, 2013).

Kemampuan Penyesuaian Diri pada Anaki dengan Autistic Spectrumi Disorder (ASD)

Perilaku penyesuaian diri yang dilakukan oleh anak dengan gangguan autisme dapat terwujud pada beberapa tempat yakni di lingkungan rumah, lokasi terapi Pusat Layanan Autis, sekolah inklusi dan tempat umum. Hal ini senada dengan acuan penyesuaian diri bersifat relatif dikarenakan kualitas penyesuaian diri berubah-ubahu sesuai dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangan; masyarakat dan kebudayaan; serta adanya variasi tertentu setiap individu (Schneiders, 1964).

Perilaku penyesuaian diri anak autisme pada kriteria pertama diperlihatkan dengan kesediaan anak dalam mengikuti aturan. Responden selalu menemani anak autisme jika bepergian kemanapun kecuali saat berada di dalam kelas menjalani terapi atau sekolah. Dengan demikian aturan tersebut dapat selalu dipantau oleh responden untuk tetap mengontrol perilaku anak autisme. Penting bagi orangtua untuk

mengontrol, mengamati, memperhatikan dan membimbing penuh dari orangtua untuk meningkatkan perkembangan diri pada anak autisme (Suteja, 2014).

Pada lingkungan rumah mampu memberitahukan keinginannya bila ingin meminta bantuan dalam menjalankan suatu aktivitas sehari-hari. Pada lokasi terapi Pusat Layanan Autisme, perilaku yang terlihat saat menjalani terapi anak autisme duduk di bangku yang telah disediakan dan mau diam dan mengikuti pelajaran sesuai arahan terapis. Pada lokasi sekolah inklusi, perilaku yang terlihat sesuai dengan kriteria pertama adalah menerapkan instruksi dari gurunya. Pada tempat umum, perilaku yang terlihat sesuai dengan kriteria pertama adalah anak autisme tidak pernah menunjukkan tantrum di depan umum.

Perilaku penyesuaian diri anak autisme pada kriteria kedua diperlihatkan dengan inisiatif dan perilaku partisipasi pada anak autisme dalam mengikuti kegiatan yang diarahkan baik oleh orangtua, guru dan terapis. Anak autisme mengikuti arahan apabila kegiatan tersebut dilakukan secara berulangkali atau perilaku secara konsisten atau repetitif, karena dengan demikian anak autisme mampu mengingat dan menjadi sebuah kebiasaan. Winarsih, dkk (2013) menyatakan agar anak dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya maka orangtua perlu memberikan rangsangan/stimulasi secara konsisten

Pada lingkungan rumah, mampu memiliki inisiatif membantu aktivitas responden tanpa dibertahukan. Pada lokasi terapi Pusat Layanan Autisme, anak autisme mau mengikuti perlombaan dan mau bekerjasama saat bermain. Pada lokasi sekolah inklusi, anak autisme mau mengalah dan bersimpati terhadap temannya. Pada tempat umum, anak autisme mengikuti kegiatann jalan santai, acara persembahyangan, dan lainnya dengan tidak menunjukkan sikap tantrum atau menangis ditempat umum.

Perilaku penyesuaian diri anak autisme pada kriteria ketiga diperlihatkan dengan menunjukkan sikap senang dalam hubungan pertemanan. Perilaku tersebut dilakukan bersama saudara kandungnya ketika bermain dirumah, ketika bertemu dengan saudara-saudara sepupunya di kampung, saat melakukan aktivitas santai bersama, dan saat bertemu dengan teman-teman. Hurlock (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2004) menyatakan bahwa dalam melakukan penyesuaian diri individu memperlihatkan sikapi dan perilaku yang menyenangkan dengan demikian mampu diterima oleh sekitar.

Pada lingkungan rumah, perilaku yang terlihat sesuai dengan kriteria ketiga adalah anak autisme bermain gelitik dan petak umpat dengan saudara kandungnya. Pada lokasi Pusat Layanan Autisme, anak autisme mampu mengikuti kegiatan senam dengan ekspresi bahagia. Pada lokasi sekolah inklusi, anak autisme mampu mengontrol diri memberikan kesempatan temannya untuk mengambil mainan yang telah dibagikan oleh terapis untuk digunakan secara bersama-sama. Pada tempat umum, anak autisme mempunyai keinginan untuk

berbaur bersama saudara-saudaranya yang terdapat di keluarga besar ketika menginap di kampung.

KESIMPULAN iDAN SARANi

Kesimpulanu

Berdasarkani hasil dan pembahasani yang telah dijelaskan padai bab IV dalam penelitian ini, maka dapat idisimpulkan sebagai berikutg: (1) Tumbuh kembang anak autisme sangat erat kaitannya dengan perlakuan dari orang terdekat anak autisme terutama keluarga. Perlakuan tersebut merupakan dukungan sosial yang diberikan pada anak autisme guna memenuhi kebutuhan dalam menjalani masa perkembangan anak. (2) Bentuk dukungan sosial yang diberikan oleh orangtua terhadap anak autisme terdiriu dari dukungan emosional yang ditunjukkan dengan perasaan empati, peduli, suasana kehangatan dengan perilaku memeluk dan mencium anak autisme, serta konsen terhadap individu; dukungan penghargaan yang ditunjukkan dengan memberikan penghargaan positif terhadap individu dalam pencapaian yang diperoleh; dukungan langsung yang ditunjukkan dengan menyediakan fasilitas yang tepat untuk perkembangan anak autisme; dukungan informasi (verbal dan non verbal) yang ditunjukkan dengan cara memberikan nasihat atau informasi dan umpan balik atau respon terhadap perilaku anak. (3) Kemampuan penyesuaian diri yang muncul pada anak autisme tidak terlepas dari perilaku pengasuhan dan dukungan sosial yang baik diberikan oleh orangtua. Adapun kemampuan penyesuaian diri yang muncul pada anak autisme diantaranya yaitu bersedia mengikuti aturan yang diterapkan pada lingkungan, memiliki inisiatif dan berpartisipasi pada kegiatan yang diarahkan, dan menunjukkan sikap senang dalam hubungan pertemanan

Saranr

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti memberikan saran dan rekomendasi pada pihak-pihak terkait sebagai berikut.

Saran bagi orangtua, bila sudah mendapatkan diagnosa bahwa anak mengalami gangguan autisme, orangtua sebaiknya mengikutsertakan anak untuk menjalani terapi agar dapat mengurangi masalah perilaku, meningkatkan potensi anak dalam hal penguasaan bahasa dan meningkatkan kemampuan bersosialisasi serta penyesuaian diri terhadap lingkungan sosialnya.

Saran bagi masyarakat, meningkatkan pengetahuan atau informasi mengenai gejala autisme yang dialami oleh anak-anak. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan dukungan terhadap anak agar dapat meningkatkan rasa menghargai dan penerimaan terhadap anak yang mengalami gangguan autisme.

Saran bagi terapis, meningkatkan potensi yang dimiliki oleh anak autisme dalam memfokuskan pengembangan bakat dan mengikutsertakan anaki pada beberapa kegiatan yang berhubungan dengan bakat tersebut. Terapis juga diupayakan

melakukan kolaborasi dengan orangtua anak untuk melakukan penanganan yang lebih optimal terkait perkembangan anak autisme.

Saran bagi layanan terapi dan sekolah inklusi, diharapkan mampu memberikan fasilitas yang tepat untuk anak berkebutuhanakhusus yang dalami penelitian ini khususnya bagi anak dengan gangguan autisme. Fasilitas tersebut mampu memberikan dukungan bagi anak untuk mengembangkan kreatifitas dan memenuhi anak dalam kebutuhan belajar.

Saran bagi peneliti selanjutnya, meneliti lebih lanjut mengenai bentuk dukungan sosial orangtua dan kemampuan penyesuaiani dirii pada anak dengan Autistici Spectrum Disorder (ASD), disarankan untuk lebih menggali informasi significant others atau mengambil significant others dari keluarga terdekat responden. Hal ini disarankan agar peneliti memperoleh data yang lebih mendalam serta mampu memperoleh bukti penguat dari sumber yang berbeda untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan oleh responden sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, R. (2013). Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB Autis di Surakarta.http://candrajiwa.psikologi.fk.uns.ac.id/in dex.php/candrajiwa/article/view/50/41. (Diakses pada tanggal 14 Mei 2018).

Berkell, D.E. (1992). Autism: Identification Education and Treatment.  Hilldale, New Jersey:  Lawrence

Erlbaum.

Chaplin, C.P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Alih bahasa: Kartini Kartono Rajawali Press Jakarta.

Cohen, S. & Syme, L. (1985). Issues in the Study and Application of Social Support dalam S. Cohen & S. L. Syme (Eds). Social Support and Health (hlm 320). San Fransisco: Academic Press.

Gunarsa, S.D. (2008). Psikologi Anak:   Psikologi

Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Harnilawati. (2013). Pengantar Ilmu Keperawatan Komunitas: Pustaka AS Salam.

Junita, S. (2009). Tugas Akhir Sekolah Khusus Autis di Yogyakarta, Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Kadiskominfo. (2018). Jabar http://www. jabarprov.go.id/ index.php      /news       /30604      /2018

/11/07/Kadiskominfo-Jabar-Cari-Kebenaran-Berita-Sebelum-di-Share (Diakses pada tanggal 23 April 2018).

Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. (Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Kartono, K. (2000). Hygiene Mental. Jakarta : CV. Mandar Maju.

Kemendikbud.                                    (2017).

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/s ekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi (Diakses tanggal 27 Maret 2018).

Lane, S. J., & Murray, E. A. (2002). Sensory integration theory and practice. (Second ed., pp. 435-451). Philadelphia: F.A. Davis Company.

Leisure. (2011). https:// republika. co.id/ berita/ gaya-hidup/ parenting/11/04/25  /lk76x9-anak-autis-kerap-jadi-

korban-salah-asuh-orang-tua (Diakses pada tanggal 30 April 2018).

Moleong, L.J. (2015) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

___________.(2014). Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Nursalam & Kurniawati, dkk. (2009). Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi. Jakarta: Salemba medeika.

Puspita, D. 2004. Peran Keluarga pada Penanganan Individu Autistic            Spectrum            Disorder

http://puterakembara.org/ rm/ peran_ortu.htm (Diakses pada tanggal 10 April 2019).

Rahayu. (2014). Gambaran Penerimaan dan Dukungan Sosial yang Diberikan Ayah pada Anak Autis. Jurnal Pustaka Unpad. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/ uploads/2014/09/Gambaran-Penerimaan-Dan-Dukungan-Sosial-Yang-Diberikan-Ayah-Pada-Anak-Autis.pdf. (Diakses pada tanggal 10 April 2019).

Ramdhani, dkk. (2008). Ekspresi Emosi dan Autistik: Memetakan Ekspresi Emosi yang dapat dikenali anak-anak      autis.      Jurnal      UGM.

https://rajanathan.files.wordpress.com/2008/11/eksp resi-emosi.pdf (Diakses pada tanggal 11 April 2019).

Safaria, T. (2005). Autistice: Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna bagi Orangtua. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sarafino, E.P. (2002). “Health Psychology: Biopsychosocial Interactions”, Fourth Edition. New Jersey: HN Wiley.

Schneiders. (1964). Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Setia. (2013). Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme, (Jakarta:   Republika, 2013), http:

//www.republika.co.id, (Diakses pada tanggal 28 November 2011).

Strauss, A., & Corbin, J. (2017). Dasar-dasar Penelitian

Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suteja, J. (2014). Bentuk dan Metode Terapi terhadap Anak Autisme Akibat Bentukan Perilaku Sosial. Journal Vol III, No 1.

Sunarto & Hartono. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Yusuf, A M. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Penelitian Gabungan. Jakarta: Prenadamedia Group.

Yuwono, J. (2009). Memahami Anak Autistik. Bandung: CV Alfabeta.

Wangi. (2018). Studi Pendahuluan Anak Autisme. Denpasar.

Wrastari, A. T. dan Handadari, W. (2003). Pengaruh Pemberian Pelatihan Neuro Linguistic Programing (NLP) Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tubuh pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Bina Daksa “Suryatama” Bangil Pasuruan. Jurnal Insan Media Psikologi. Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Vol. 5 . No. 1 (17-33).

Winarsih, Sri., dkk. (2013). Panduan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus bagi Pendamping (Orangtua, Keluarga, dan Masyarakat). Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.    www.kemenpppa.go.id

(Diakses pada tanggal 8 April 2019).

LAMPIRAN

Bagan 1

Bentuk dukungan sosial orangtua dan kemampuan penyesuaian diri pada anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD)


Upaya Memberikan Dukungan Sosial Orangtua pada Perkembangan AnakAutisme

Pendukung

Penghambat

Internal

Eksternal

Internal

Eksternal

Pola asuh Harapan Reaktif Membagi waktu Mengamati kesehatan Memberikan penguatan Positif Memahami emosi Inisiatif memenuhi perkembangan Keikutsertaan kegiatan Menyediakan fasilitas Melatih kemandirian Menunjukkan koping saat menghadapi masalah

Termotivasi oleh sekitar Informasi dari Pusat Layanan Autis

Informasi dari salah satu Sekolah Inklusi di Kota Denpasar

Konsultasi dengan beberapa tenaga medis

Tidak konsisten

Mengeluarkan biaya

Memanjakan

Hambatan tidak menghadiri terapi

Kendala dalam aktivitas sehari-hari

Kendala waktu

Bcntuk bcntuk Dukungan Sosial Orangtua Anak Autismc

Dukungan Emosional

Dukungan Penghargaan

Dukungan Langsung

Dukungan Informasi (Verbal dan Non-Verbal)

Dampak Dukungan Sosial Orangtua terhadap Anak Autisme

Muncul kelebihan W

Imitasi Sekitar

Perubahan Perilaku W

Memperoleh penghargaan prestasi

Interaksi W dengan responden ketika di rumah

Interaksi W dengan saudara kandung

Interaksi W dengan orang sekitar selain keluarga inti


215