Pengaruh outbound move on terhadap perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja patah hati di Denpasar
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Kesehatan Mental dan Budaya 1, 156-167
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607
Pengaruh outbound move on terhadap perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja patah hati di Denpasar
I Putu Brian Obie Putra dan Supriyadi
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana paupasli@yahoo.com
Abstrak
Remaja diibaratkan sebagai pondasi yang belum kokoh namun merupakan suatu aspek penting untuk menjadi dasar kehidupan seseorang. Kejadian seperti patah hati seringkali dialami oleh remaja, terutama patah hati yang diakibatkan karena putus cinta. Perasaan sedih dan putus asa sering terjadi pada remaja yang cintanya diputus oleh pasangannya yang akhirnya berdampak pada penerimaan diri dan perilaku memaafkan Oleh karena itu diperlukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan memaafkan dan penerimaan diri remaja salah satunya melalui metode Outbound. Outbound merupakan pembelajaran yang dilakukan dalam mengantarkan individu untuk mencapai dan berada di luar batas kemampuannya, sehingga mampu melampaui zona nyaman yang biasa dirasakan oleh individu tersebut. Outbound juga bisa disebut sebagai kegiatan pelatihan di luar ruangan atau di alam terbuka (outdoor) yang menyenangkan dan penuh tantangan (Asti, 2009). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh pemberian Outbound pada perilaku memaafkan serta penerimaan diri pada remaja patah hati di Denpasar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen. Pengambilan sampel dengan teknik Purposive Sampling, subjek merupakan remaja akhir dengan rentang umur 13 sampai 22 di Denpasar berjumlah delapan orang. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon, uji Friedman dan uji Effect Size. Hasil penelitian ini menunjukan nilai pada uji Wilcoxon dan Friedman p<0,05 yang berarti ada pengaruh pelatihan Outbound terhadap perilaku memaafkan dan penerimaan diri. Sedangkan uji Effect Size menunjukan nilai >0,80 yang berarti pelatihan Outbound memiliki efek yang besar terhadap perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja patah hati karena putus cinta di Denpasar.
Kata Kunci: Outbound, patah hati, penerimaan diri, perilaku memaafkan, putus cinta, remaja.
Abstract
Adolescents are described as a foundation that has not been firm yet, but adolescents are an important aspect to be the foundation of one’s life. Broken heart that experienced by adolescents usually caused by break up with their partner. Feelings of sadness and despair often occur in adolescents whose love is interrupted by their partner, which ultimately results in forgiveness and self-acceptance. Therefore training is needed to improve forgiveness and adolescents' self-acceptance through the Outbound method. Outbound is a learning activity that is done to encourage individuals to be out of their comfort zone. Outbound can also called outdoor training activities that are fun and challenging (Asti, 2009). Therefore, this study was conducted with the aim to see the effect of outbound on forgiveness behavior and self-acceptance in broken heart adolescents in Denpasar. This research uses quantitative approach with experiment method. The sampling technique is Purposive Sampling and the subject is adolescents ranging in age from 13 to 22 in Denpasar there are 8 subject. Data analysis using Wilcoxon test, Friedman test and Effect Size test. The results of this study show the values in the Wilcoxon and Friedman test p<0.05, which means that there is an influence of Outbound training on forgiveness and self-acceptance behavior. While the Effect Size test shows a value of >0.80, which means that Outbound training has a large effect on forgiveness and self-acceptance in brokenhearted teenagers because of a breakup in Denpasar.
Keywords: Adolescent, broken heart, forgiveness behavior, outbound, self acceptance.
LATAR BELAKANG
Remaja adalah generasi masa depan dan generasi penerus masa kini. Remaja diibaratkan sebagai pondasi yang belum kokoh namun merupakan aspek penting untuk menjadi dasar kehidupan seseorang. Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar diantaranya kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis. Pencarian identitas dan membentuk hubungan baru termasuk mengekspresikan perasaan seksual (Santrock, 1998). Menurut Hall (dalam Santrock, 2007) masa remaja yang usianya berkisar antara 12 sampai 23 tahun diwarnai pergolakan. Konsep Hall mengenai pandangan badai dan stress (storm and stress view) menyatakan bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati.
Santrock (2007) menyatakan bahwa masa remaja dimulai pada usia antara 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja awal (early adolescene) kurang lebih berlangsung di masa sekolah menengah pertama dan perubahan pubertas terbesar terjadi di masa ini, sedangkan karir, pacaran, dan kebingungan identitas sering kali lebih menonjol pada masa remaja akhir (late adolesence). Pada masa remaja, remaja mulai mengenal dan tertarik dengan lawan jenis sehingga remaja mulai merasakan jatuh cinta. Perasaan bahagia akan dimiliki remaja saat masih merasakan cinta bersama pasangannya atau seseorang yang disukai
Selain sulit dalam mengontrol emosinya, remaja juga rentan terhadap stress dan patah hati. Patah hati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti kecewa karena putus percintaan atau kecewa karena harapannya gagal, sedangkan dalam istilah medis dikenal sebagai kondisi yang disebut broken heart syndrome. Sindrom ini tak bisa dianggap enteng karena dapat memicu hormon stres seperti adrenalin sehingga melemahkan sebagian fungsi otot jantung untuk sementara dan bahkan bisa mengalami kerusakan (cardiomyopathy). Menurut dokter spesialis jantung, Dr.Zulkeflee dari National Heart Institute Malaysia (Kompas, 2010), mengatakan dari 3.400 kasus serangan jantung diperkirakan sekitar tiga persen di antaranya disebabkan broken heart syndrome. Gejala sindrom ini menyerupai serangan jantung dan cenderung terjadi setelah seseorang mengalami pukulan akibat peristiwa yang melibatkan fisik atau momen yang sangat emosional. Kondisi ini dalam istilah medis juga disebut takotsubo cardiomopathy. Pertama kali dideteksi oleh para peneliti asal Jepang pada awal tahun 1990. Menurut Zulkeflee (Kompas, 2010) mengatakan kondisi ini sangat berbahaya dan bisa menjadi fatal, tetapi dapat dipulihkan yang artinya patah hati bukanlah hal yang dapat disepelekan.
Korelasi antara patah hati dan kasus bunuh diri telah dibuktikan dengan data dari World Health Organisation (WHO) yaitu secara global tingkat rasio bunuh diri adalah 11,4 orang per 100.000 penduduk pada tahun 2012. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2012 rasio bunuh diri mencapai 4,3 orang per 100.000 penduduk. Penyebab dari tingginya angka bunuh diri bervariasi seperti karena faktor ekonomi, tekanan kerja, penyakit kronis dan patah hati. Di
Indonesia kasus terjadinya bunuh diri yang diakibatkan karena patah hati terhitung sering terjadi (Tirto.id, 2017).
Terdapat beberapa kasus patah hati pada remaja yang pernah terjadi di Bali, bahkan sampai memakan korban jiwa. Seperti beberapa kasus yang telah terjadi dan diberitakan melalui media cetak maupun online , diantaranya adalah kasus bunuh diri yang terjadi pada 12 Agustus 2015, siswa asal Bali yang mengakhiri hidupnya karena dituduh selingkuh oleh kekasihnya. Remaja yang bernama Adi Widiantara sempat menuliskan selembar surat untuk kekasihnya. Surat itu akhirnya menjadi barang bukti pihak kepolisian untuk menindak lanjuti peristiwa kematian tersebut (Andral dalam Hipwee.com, 2016). Kasus berikutnya merupakan Mahasiswa Universitas Udayana bernama I Nengah Suardika yang meninggal dengan cara gantung diri di kampus Universitas Udayana yang berada di Jimbaran, Bali. Aksi nekat tersebut dikarenakan korban merasa malu dan sakit hati karena telah menghamili kekasihnya yang bernama Juniani (koranjuri, 2014). Kasus bunuh diri selanjutnya adalah remaja bernama Kadek Agus yang disebabkan karena cintanya diakhiri oleh kakak kelasnya (TribunBali, 2018).
Kasus tersebut merupakan beberapa contoh dari banyaknya kasus patah hati yang pernah terjadi. Bahaya dari patah hati juga diperkuat oleh pendapat beberapa tokoh, salah satunya adalah Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan tingginya angka bunuh diri akibat patah hati maupun masalah lainya dikarenakan masyarakat Bali yang memiliki kebiasaan koh ngomong atau dalam bahasa Indonesia artinya malas berbicara tentang masalahnya yang mengakibatkan depresi dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri (TribunBali, 2018).
Terkait kasus patah hati pada remaja pasca putus cinta, sangat penting bagi remaja untuk terbebas dari rasa patah hati tersebut, dalam bahasa populer sering disebut “Move on”. Move on sendiri merupakan asal kata dari bahasa inggris yang artinya adalah melangkah maju, namun dalam makna yang diungkapkan oleh masyarakat luas memiliki arti melangkah maju dan terbebas dari rasa putus cinta. Terdapat beberapa cara untuk menangani putus cinta untuk mencapai move on, diantaranya adalah memaafkan dan penerimaan diri.
Memaafkan adalah suatu hal yang penting dalam pemulihan rasa patah hati, untuk bisa menanganinya, sangat diperlukan adanya rasa memaafkan baik itu memaafkan diri sendiri maupun memaafkan orang lain atau hal lain yang telah terjadi. Menurut McCullough (2001) perilaku memaafkan dapat didefinisikan sebagai suatu tranformasi atau perubahan motivasi pada diri seseorang. Perubahan yang dialami oleh individu tersebut adalah adanya pengurangan motivasi pada diri seseorang untuk melakukan perlawanan, adanya pengurangan motivasi untuk mempertahankan permusuhan dengan orang lain, upaya untuk meningkatkan motivasi dalam meningkatkan konsiliasi dan berniat baik untuk memperbaiki hubungan walaupun ada tindakan dari partnernya yang dianggap memberikan kerugian bagi dirinya. Apabila remaja masih sulit memaafkan, akan selalu ada pemikiran dan rasa penasaran mengapa sesuatu hal bisa menimpa remaja sehingga
menyebabkan remaja mengalami patah hati. Perilaku memaafkan merupakan hal penting untuk menangani patah hati, namun selain perilaku memaafkan dibutuhkan juga penerimaan diri, penerimaan diri juga berperan penting untuk membantu individu untuk terlepas dari rasa patah hatinya.
Perilaku memaafkan sangat dibutuhkan bagi remaja dalam terlepas dari rasa patah hati baik itu dari dalam diri sendiri maupun dari luar diri sendiri, memaafkan sangatlah penting sebagai salah satu cara terbaik untuk terlepas dari rasa patah hati akibat konflik maupun faktor lainya. Seperti yang dikatakan Toussaint dan Webb dalam (Putri, Sri Wahyu 2014) menyatakan bahwa memaafkan adalah pusat untuk membangun manusia sehat dan mungkin salah satu proses yang paling penting dalam pemulihan interpersonal setelah konflik. Ketidak sempurnaan kemampuan manusia untuk berhubungan satu sama lain menimbulkan seringnya pelanggaran dan tanggapan afektif negatif, perilaku, dan kognitif konsekuensi dalam hubungan interpersonal.
Penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang dapat menyadari dan mengaku karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain. Pandangan individu yang merasa puas akan dirinya akan membuat individu menerima dirinya secara akurat dan realistis serta tidak akan memusuhi dirinya karena individu tersebut menganggap orang lain menerima dirinya Hurlock (dalam Sankya, 2016). Keadaan tersebut akan membuat individu berbuat yang terbaik untuk dirinya dan memberikan kontribusi bagi terwujudnya pemahaman dan penerimaan diri, sehingga tantangan dan hambatan yang dialaminya tidak dipersepsikan sebagai suatu penderitaan tetapi merupakan bagian dari masalah yang harus diatasi.
Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan - kelebihannya sekaligus menerima kelemahan - kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri. Penerimaan diri merupakan variabel yang penting dan telah teruji dalam berbagai Terapi Gestalt dan Rogerian . Pengembangan kesadaran diri dan penerimaan diri individu merupakan objek utama terapi Gestalt Carson dan Butcher, (dalam Handayani, Ratnawati, dan Helmi 1998) yang mengarah pada aktualisasi diri. Objek utama terapi Rogerian adalah memecahkan keadaan yang tidak harmoni inconcruence dengan membantu klien untuk dapat menerima dan menjadi diri sendiri Carson & Butcher (dalam Handayani, Ratnawati, dan Helmi 1998) penerimaan diri dapat dicapai apabila aspek-aspek dari self dalam keadaan congruence, di mana penerimaan diri individu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (real self) dan keadaan yang diinginkannya (ideal self).
Studi pendahuluan telah dilakukan peneliti yang berjudul strategi coping pada laki-laki yang mengalami patah hati akibat “ditikung” sahabat sendiri. Ditikung merupakan bahasa dalam pergaulan remaja yang artinya adalah mengambil pacar
orang lain. Studi pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui strategi coping yang tepat digunakan dalam mengatasi rasa patah hati, dan mengetahui langkah-langkah yang ditempuh untuk mengatasi rasa patah hati. Hasil dari studi pendahuluan ini adalah subjek cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping) sehingga subjek melakukan hal-hal seperti minum alkohol, merokok, menyakiti diri sendiri, dan hal lainya yang lebih berfokus untuk meredam rasa sakit yang diderita dan tidak mencoba untuk berfokus dalam menyelesaikan masalah (problem focused coping) sehingga berdasarkan studi pendahuluan ini, diperlukan media untuk membantu peserta dalam menyelesaikan masalah yang memiliki keseimbangan antara emotion focused coping dan problem focused coping dengan pendekatan experiental learning melalui outbound (Putra, 2016).
Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan (dalam Paramita dan Nurdibyandaru 2013) menekankan bahwa melalui interaksi dengan teman sebaya, anak-anak dan remaja mempelajari modus relasi timbal balik. Remaja mengeksplorasi prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan melalui pengalaman ketika menghadapi perbedaan pendapat, serta mengamati minat dan sudut pandang kawan-kawannya. Remaja mampu mengintegrasikan minat dan sudut pandangnya dalam aktivitas yang berlangsung dengan teman-temannya. Maka dari itu, dilihat dari pemaparan diatas, hal-hal yang menyangkut dengan interaksi satu-sama lain serta experiental learning sangat berhubungan dengan Outbound.
Outbound merupakan pembelajaran yang dilakukan untuk mengantarkan individu untuk berada di luar batasnya, dimana batasnya adalah zona nyaman yang biasa dirasakan oleh individu tersebut. Outbound juga bisa disebut sebagai kegiatan pelatihan di luar ruangan atau di alam terbuka (outdoor) yang menyenangkan dan penuh tantangan (Asti, 2009). Asal usul Outbound berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yaitu out dan bound. Out berarti keluar, sedangkan bound berarti bentuk. Oleh karena itu Outbound berarti kegiatan yang dilakukan di luar atau lapangan terbuka (Muhammad, 2009).
Kegiatan Outbound berlandaskan experiential learning yang berarti belajar dengan mengalami sehingga peserta didorong untuk mau menggali makna dari permainan yang dialami, dan mencoba untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Experiential learning merupakan proses perubahan sikap menuju perkembangan yang lebih baik berdasarkan aktivitas yang dialami sebagai suatu pengalaman. Pengalaman tersebut akan mengalami sebuah proses pemaknaan oleh orang yang mengalaminya, dan ketika sudah diketahui makna dari pengalaman tersebut, pelaku akan senantiasamengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai hasil yang lebih baik Gedhang (dalam Widharnandana 2015). Hasil yang ingin dicapai tersebut merupakan target, visi, atau tujuan dengan didukung lingkungan yang baik. Dengan menyisipkan refleksi debrief atau sesi diskusi yang berbasis pada client centered akan membantu remaja untuk belajar dan melakukan sharing terhadap teman-teman yang memiliki masalah serupa
denganya, sehingga remaja bisa lebih mampu untuk memaafkan dan menerima diri apa adanya.
Pemaparan yang sudah disebutkan dapat menjelaskan bahwa penerimaan diri dan perilaku memaafkan penting dalam proses penangan patah hati pasca putus cinta pada remaja, karena penerimaan diri yang baik dapat membuat remaja mampu untuk menerima diri apa adanya termasuk dapat menerima segala hal buruk yang telah dialami sebelumnya, sehingga rasa rendah diri yang diakibatkan patah hati pasca putus cinta dapat teratasi. Begitupula pada kemampuan perilaku memaafkan yang baik dapat membuat remaja memaafkan diri sendiri maupun mantan pasanganya sehingga remaja bisa mengikhlaskan segala masalah yang pernah dialami ketika pacaran maupun pasca putus cinta.
Namun pada kenyataanya tidak semua remaja mampu menerima diri dan memaafkan segala masalah yang terjadi dikehidupanya termasuk yang diakibatkan karena patah hati pasca putus cinta. Oleh karena itu diperlukan suatu penanganan terhadap remaja yang dapat meningkatkan kemampuan perilaku memaafkan dan penerimaan diri yaitu dengan metode outbound.
Outbound pada penelitian ini dirancang khusus untuk meningkatkan perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja patah hati pasca putus cinta yang disusun dalam bentuk modul pelatihan outboundmove on. Dampak positif dari outboundmove on adalah remaja diajak untuk bermain dengan permainan yang sudah disesuaikan dengan dinamika kehidupan percintaan para remaja dan pada setiap permainan terkandung makna dari aspek-aspek yang terdapat dalam perilaku memaafkan dan penerimaan diri sehingga dapat membantu remaja untuk move on.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan tersebut, dapat dikatakan bahwa pentingnya memerhatikan perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja yang mengalami patah hati pasca putus cinta agar bisa move on dengan metode Outbound . Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian mengenai “Pengaruh OutboundMove on terhadap perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja patah hati”.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yaitu outbound sedangkan variabel terikat terdapat dua yatu perilaku memaafkan dann penerimaan diri)
Perilaku Memaafkan
Perilaku memaafkan adalah motivasi dalam diri individu untuk memberikan pengampunan sebagai upaya menahan diri agar tidak melakukan tindakan balas dendam atau menyakiti orang lain melainkan untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain. Perilaku memaafkan pada penelitian ini akan diukur dengan skala perilaku memaafkan sebelum dan sesudah eksperimen dilaksanakan.
Penerimaan Diri
Penerimaan diri adalah suatu kesadaran individu tentang karakteristik pribadinya, memiliki rasa puas pada diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat sendiri, mengetahui akan keterbatasan diri sendiri serta rela membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan, kesehatan psikologis baik terhaap diri sendiri maupun orang lain. Variabel Penerimaan diri akan diukur dengan skala yang diberikan kepada subjek sebelum dan sesudah dilaksanakanya perlakuan eksperimen. Outbound
Outbound merupakan program pelatihan yang mengajak individu maupun kelompok untuk berada di luar zona nyaman yang sudah menjadi rutinitas pada tiap harinya, serta mendorong individu untuk bisa belajar dan merubah perilaku berdasarkan penggalian makna dari pengalaman yang dialaminya melalui permainan sederhana di luar ruangan atau dalam ruangan yang sebenarnya menggambarkan simulasi kehidupan nyata yang komplek. Program outbound ini akan dilaksanakan berdasarkan modul pelatihan outbound yang telah disusun sesuai dengan tujuan dan kriteria subjek. Dalam penelitian ini dilakukan tiga kali pertemuan masing-masing selama tiga jam.
Responden
Metode pengambilan sampel dengan menggunakan teknik Purposive Sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013). Prosedurnya yaitu, peneliti mencari responden dengan kriteria yang telah ditentukan yaitu mencari remaja dengan rentang umur 13 sampai 22 tahun yang mengalami patah hati pasca putus cinta di Kota Denpasar.
Tempat Penelitian
Penelitian dilaksakaan pada tanggal 20, 27 dan 28 Oktober 2018 bertempat di Ruang Rapat Bersama entrepreneurship and carrier development centre (ECDC) Universitas Udayana dan Lapangan Rumput BKKBN Provinsi Bali.
Alat Ukur
Alat ukur penelitian menggunakan dua skala yaitu skala perilaku memaafkan dan skala penerimaan diri. Skala perilaku memaafkan mengambil aspek berdasarkan Zeichmeister & Romero (1990). Skala konformitas teman sebaya dibuat berdasarkan aspek yang dikemukakakan oleh Taylor, Peplau dan Sears (2009) yang dibuat oleh peneliti dan skala konsep diri mengacu pada aspek yang dikemukakakn oleh Fitts (dalam Agustiani, 2009) yang dibuat oleh peneliti.
Skala menggunakan skala Likert yaitu: (1) Sangat Tidak Sesuai (STS), (2) Tidak Sesuai (TS), (3) Sesuai (S), (4) Sangat Sesuai (SS). Pemberian skor atas jawaban subjek untuk setiap pernyataan favorable yaitu: Sangat Sesuai (SS) = skor 4, Sesuai (S) diberi = skor 3, Tidak Sesuai (TS) = skor 2, Sangat Tidak Sesuai (STS) = skor 1. Sementara itu, pemberian skor atas jawaban untuk setiap pernyataan unfavorable yaitu: Sangat Sesuai (SS) = skor 1, Sesuai (S) = skor 2, Tidak Sesuai (TS) = skor 3, Sangat Tidak Sesuai (STS) = skor 4.
Validitas berasal dari kata validity yang berarti ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukuran dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud dikenakannya instrument tersebut (Azwar, 2015). Pengukuran validitas terdiri dari dua hal yaitu validitas isi dan validitas kontruk. Validitas isi dalam penelitian ini menggunakan professional judgement. Uji validitas konstruk dilakukan dengan melihat koefisien korelasi aitem total (rix) sebesar 0,30 dan jika jumlah proporsi aitem tidak memenuhi setiap dimensi alat ukur, maka koefisien korelasi aitem total dapat diturunkan menjadi 0,25 (Azwar, 2012).
Reliabilitas diterjemahkan dari kata reliability. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi adalah penelitian yang menghasilkan data reliabel. Reliabel berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2015). Hasil pengujian dapat dilihat melalui angka koefisien reliabilitas alpha. Sugiyono (2016) menyebutkan bahwa suatu alat ukur dikatakan cukup reliabel apabila memiliki koefisien reliabilitas minimal 0,6. Hal ini menunjukkan semakin besar koefisien reliabilitas alpha menunjukkan semakin kecil kesalahan pengukuran dan semakin reliabel alat ukur tersebut.
Uji coba alat ukur penelitian ini dilakukan pada responden yang memiliki kemiripan karakteristik dengan responden sesungguhnya yang akan diteliti. Responden pada proses uji coba alat ukur penelitian ini dilakukan pada Remaja yang mengalami patah hati karena putus cinta. Uji coba alat ukur ini diawali dengan mempersiapkan lembar skala yang diperbanyak berupa hardcopy sebanyak 200 lembar dan menyiapkan skala online melalui google form. Penyebaran skala dilakukan mulai tanggal 8 oktober 2018 hingga 18 Oktober 2018 secara langsung dan melalui online. Total skala yang didapat sebanyak 64 skala diantaranya 21 skala yang diperoleh secara langsung dan 43 skala melalui online. Jumlah sampel pada proses uji coba penelitian ini sudah memenuhi syarat karena sesuai dengan yang dinyatakanSugiyono (2016) bahwa ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500.
Uji validitas pada alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian bertujuan untuk mengetahui ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukuran dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2014b). Uji validitas butir aitem dalam penelitian ini dinyatakan oleh koefisien korelasi aitem total dan korelasi aitem antar aspek dengan batasan minimum ≥ 0,30 (Azwar, 2015). Koefisien validitas yang berkisar antar 0,30 sampai dengan 0,50 telah dapat memberikan kontribusi baik, tetapi jika jumlah aitem yang lolos seleksi tetap tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat dipertimbangkan dengan menurunkan batas kriteria menjadi 0,25 (Azwar, 2015).
Uji reliabilitas alat ukur penelitian dilakukan dengan melihat nilai Alpha Cronbach. Sugiyono (2016) menyebutkan bahwa suatu alat ukur dikatakan cukup reliabel apabila memiliki koefisien reliabilitas minimal 0,60. Semakin koefisien
reliabilitas mendekati angka 1,00 maka pengukuran semakin reliabel (Azwar, 2014c).
Prosedur Pengambilan Data
Penelitan ini menggunakan bentuk pre-eksperimen. Pre-eksperimen yaitu penelitian eksperimen yang belum sesungguhnya. Hal ini dikarenakan masih terdapatnya variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel tergantung. Pre-eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk the one group pre-test post-test design. Pada desain ini terdapat suatu kelompok yang diberi perlakuan, dan selanjutnya diobservasi hasilnya yaitu ada pre-test sebelum diberikan perlakukan dan post-test sesudah diberikan perlakuan (Sugiyono, 2012).
Perlakuan eksperimen dilaksanakan berdasarkan modul yang telah disusun dan diperiksa oleh professional judgement. Modul outbound tersebut akan menjadi acuan dari peneliti saat melakukan pelatihan outbound untuk remaja yang mengalami patah hati karena putus cinta. Setiap materi dan permainan yang diberikan pada subjek di setiap pertemuanya mengacu pada modul outbound yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang terdapat pada perilaku memaafkan dan penerimaan diri. Blue print modul dapat dilihat pada tabel 8 (terlampir).
Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan statistik non parametrik yang digunakan untuk menguji parameter populasi melalui statistik atau menguji ukuran populasi melalui data sampel dengan beberapa asumsi data yang tidak berdistribusi normal karena jumlah sampel yang sedikit. Berdasarkan desain penelitiannya, penelitian ini menggunakan perilaku memaafkan dan penerimaan diri sebagai variabel tergantungnya yang merupakan variabel dengan bentuk data interval. Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan antara rata-rata sebelum dan sesudah diberikan perlakuan Outbound. Maka metode yang digunakan yaitu metode statistik uji Wilcoxon untuk dengan program IBM SPPS Statistic 20.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Berdasarkan data hasil penelitian, subjek berjumlah 8. Subjek berjenis kelamin perempuan sejumlah 7 dan berjenis kelamin laki-laki sejumlah 1. Mayoritas subjek memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA.
Deskripsi Data Penelitian
Hasil deskripsi statistik data penelitian variabel perilaku memaafkan dapat dilihat pada tabel 1 (terlampir).
Berdasarkan analisis kategorisasi pada skala perilaku memaafkan pre-test, dapat dilihat subjek berada pada kategorisasi sangat rendah sebesar 12,5% atau sebanyak 1 orang. Pada kategorisasi sedang memiliki jumlah persentase
50% atau sebanyak 4 orang. Pada kategorisasi tinggi berada pada persentase 12,5% yaitu sebanyak 1 orang. Dan pada kategorisasi sangat tinggi berada pada presentase 25% atau sebanyak 2 orang.
Hasil deskripsi statistik data penelitian variabel pernerimaan diri dapat dilihat pada tabel 2 (terlampir).
Berdasarkan analisis kategorisasi pada skala penerimaan diri pre-test, dapat dilihat subjek didominasi berada pada kategorisasi sedang sebesar 62,5% atau sebanyak 5 orang. Pada kategorisasi tinggi memiliki jumlah persentase 25% atau sebanyak 2 orang. Pada kategorisasi sangat tinggi berada pada persentase 12,5% yaitu sebanyak 1 orang.
Uji Hipotesis
Pada tabel 3 (terlampir), Dapat dilihat bahwa hasil uji wilcoxontest menunjukan angka signifikasi sebesar 0,05 dan nilai Z score sebesar -1.960. Berdasarkan asumsi hipotesis yakni apabila nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) maka Ha ditolak, sedangkan apabila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) maka Ha diterima. Pada Tabel diatas menunjukan nilai signifikansi yang dihasilkan pada uji Wilcoxon test adalah sebesar 0,05 yang berarti nilai p < 0,05, sehingga Ha diterima. Jadi ada perbedaan kemampuan penerimaan diri sebelum mengikuti outbound dibanding dengan sesudah mengikuti outbound. Hal tersebut membuktikan bahwa ada pengaruh pelatihan Outbound terhadap penerimaan diri pada remaja yang mengalami patah hati karena putus cinta.
Pada tabel 4 (terlampir),Dapat dilihat bahwa hasil uji wilcoxontest menunjukan angka signifikasi sebesar 0,042 dan nilai Z score sebesar -2.035. Berdasarkan asumsi hipotesis yakni apabila nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) maka Ha ditolak, sedangkan apabila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) maka Ha diterima. Pada Tabel diatas menunjukan nilai signifikansi yang dihasilkan pada uji Wilcoxon test adalah sebesar 0,042 yang berarti nilai p < 0,05, sehingga Ha diterima. Jadi ada perbedaan kemampuan perilaku memaafkan sebelum mengikuti outbound dibanding dengan sesudah mengikuti outbound. Hal tersebut membuktikan bahwa ada pengaruh pelatihan Outbound terhadap perilaku memaafkan pada remaja yang mengalami patah hati karena putus cinta.
Pada tabel 5 (terlampir), terlihat bahwa besaran nilai friedman = 19.837 dan asymp signifikansi 0.001. Hasil uji signifikansi friedman menunjukkan bahwa signifikansi < 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pada setiap pemberian perlakuan. Dari hasil ranking diketahui bahwa Post Penerimaan Diri 3 mendapat respon peningkatan paling tinggi pada penerimaan diri.
Pada tabel 6 (terlampir), terlihat bahwa besaran nilai friedman = 21.331 dan asymp signifikansi 0.001. Hasil uji signifikansi friedman menunjukkan bahwa signifikansi < 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pada setiap
pemberian perlakuan. Dari hasil ranking diketahui bahwa Post Memaafkan 3 mendapat respon peningkatan paling tinggi pada perilaku memaafkan.
Uji Analisis Lanjutan
Hasil perhitungan berdasarkan rumus effect size Cohen untuk penerimaan diri diperoleh Cohens’d = 0.898091. Sedangkan untuk perhitungan perilaku memaafkan diperoleh hasil perhitungan Cohens’d = 0.887775. Berdasarkan hasil perhitungan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil perhitungan effect size perilaku memaafkan dan penerimaan diri memiliki effect size yang besar, hal tersebut dapat di tabel 7 (terlampir).
Dapat dilihat bahwa hasil dari effect size penerimaan diri ialah 0.898091, dan hasil effect size dari perilaku memaafkan ialah 0.887775. jika dicocokan pada tabel hasil perhitungan tersebut tergolong kategori “Large” karena nilainya lebih dari 0.80 , maksud dari kategori “Large” adalah memiliki efek yang besar, dimana efek besar yang dimaksud adalah “efeknya bisa dilihat melalui mata telanjang” yang dimaksud ialah efek dari pelatihan Outbound memiliki perubahan yang signifikan dan terlihat jelas secara langsung pada perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja yang mengalami patah hati karena putus cinta di Denpasar.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis statistik yang telah dilakukan dengan menggunakan analisis Wilcoxon t-test, maka hipotesis penelitian ada pengaruh Outbound terhadap perilaku memaafkan dan penerimaan diri dapat diterima. Hal ini dibuktikan dari hasil uji antara nilai variabel penerimaan diri pre-test 1 dan nilai variabel penerimaan diri post-test 3yaitu dengan angka probabilitas sebesar 0,05 (p<0,05). Begitu juga dengan hasil uji dari hasil antara nilai variabel perilaku memaafkan pre-test 1 dan nilai variabel perilaku memaafkan post-test 3yaitu dengan angka probabilitas sebesar 0,042 (p<0,05). Hal tersebut menjelaskan bahwa salah satu pengaruh dari mengikuti kegiatan Outbound adalah meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri (Sanoesi, 2010). Yang artinya bisa diartikan bahwa Outbound mampu meningkatkan keyakinan dan kemampuan diri termasuk dalam penerimaan diri dan memaafkan.
Hasil analisis statistik yang berikutnya ialah menggunakan analisis Friedman test , yang melihat perbedaan sebelum dan sesudah diberikanya perilaku, sehingga terdapat data pre-test 1, post-test 1, pre-test 2, post-test 2, pre-test 3, post-test 3 yang memiliki hasil perbedaan yang signifikan.
Terdapat perubahan aspek perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada setiap subjek. Namun hal yang perlu dicermati ialah tidak semua subjek memiliki peningkatan dalam penerimaan diri, seperti yang dilihat pada gambar grafik diatas ialah subjek nomor dua memiliki perubahan berupa penurunan dalam kemampuan penerimaan diri. Terdapatnya perubahan perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada
setiap perlakuan membuktikan bahwa melalui Outbound subjek tidak hanya diajak melakukan permainan saja, tetapi didorong untuk menangkap makna dibalik permainan tersebut (Purnomo, 2004). Outbound merupakan rekreasi edukatif yang dinilai lebih banyak memberi manfaat, selain membuat situasi yang menyenangkan di dalam Outbound banyak mengandung filosofi dan materi yang mampu menggugah semangat (Asti, 2009). Outbound bukan sekadar permainan yang dilakukan untuk menghibur diri dalam rangka mengusir kejenuhan, tetapi merupakan sebuah permainan yang dapat memberikan beberapa manfaat bagi subjek. Hal ini bisa dilihat dari bentuk permainan itu sendiri yang mencakup simulasi kehidupan dan aktivitas nyata yang mempunyai peran sangat besar bagi terciptanya kepribadian yang unggul (Muhammad, 2009). Asti (2009) menjelaskan bahwa kompetensi seseorang bisa ditingkatkan melalui pengembangan pengetahuan, keterampilan, sikap dan karakter dari yang bersangkutan. Outbound bertujuan menggali dan meningkatkan keterampilan, karakter dan sikap individu, dalam hal ini mampu meningkatkan perilaku memaafkan dan penerimaan diri.
Dari hasil uji Effect Size perilaku memaafkan dan penerimaan diri menunjukan adanya dampak yang besar dari pelatihan Outbound yang mempengaruhi kemampuan perilaku memaafkan dan penerimaan diri subjek. Hal ini didukung oleh pernyataan Ancok (2003) yang mengatakan melalui pengalaman menghadapi permainan, subjek menggunakan pendekatan metode pembelajaran melalui pengalaman, dimana subjek merasakan secara langsung keberhasilan dalam pelaksanaan tugas, dan mengetahui perilaku apa yang dapat membuatnya untuk berhasil. Hal ini menjelaskan bahwa setiap pengalaman yang subjek alami ketika pelatihan outbound subjek berhasil menerapkan metode pembelajaran melalui pengalamanya menyelesaikan permainan. Selain itu menurut Afiatin (dalam Widharnandana, 2015) juga menjelaskan bahwa melalui pendekatan belajar berdasarkan pengalaman, proses pembelajaran akan semakin efektif karena individu mendapatkan stimulasi yang berulang melalui berbagai indera, baik penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, maupun perabaan (kinestetik). Jadi, belajar tidak cukup hanya dengan mendengarkan, tetapi dukungan proses penglihatan dan perabaan akan meningkatan kualitas proses pembelajaran. Muhammad (2009) menjelaskan bahwa Outbound memiliki tujuan yang jelas dan positif terhadap upaya mengembangkan potensi atau pengetahuan keadaan subjek. Proses outbound bisa berjalan baik dan sesuai tujuan juga didukung oleh kemampuan fasilitator yang mampu memfasilitasi subjek untuk belajar dari pengalaman yang diperoleh selama mengikuti kegiatan Outbound.
Dapat dijelaskan bahwa delapan orang subjek mengalami peningkatan dalam kemampuan perilaku memaafkan dan tujuh orang mengalami peningkatan dalam kemampuan penerimaan diri. Terdapat satu orang subjek yang belum mampu menerima diri bisa disebabkan oleh faktor internal subjek seperti terbukanya pengalaman di masa lalu yang menghambat penerimaan diri ataupun faktor eksternal dari subjek seperti datang terlambat untuk mengikuti pelatihan dan kondisi cuaca yang buruk. Besarnya efektifitas pelatihan Outbound yang
diukur dengan uji effect size dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini telah tercapai yaitu outbound dapat memberikan pengaruh pada perilaku memaafkan serta penerimaan diri pada remaja patah hati di Denpasar.
Penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan dalam proses pembuatannya. Jumlah sampel dan cakupan populasi yang minim serta beberapa faktor yang mempengaruhi kehadiran subjek seperti : kesibukan yang bervariasi dari setiap individu dan cuaca hujan menyebabkan subjek membatalkan keikutsertaan mengikuti pelatihan sehingga subjek dianggap gugur.Durasi waktu pendaftaran yang singkat, sehingga mengakibatkan remaja yang ingin mengikuti outbound move on tidak sempat untuk mengatur jadwal sekolah , kegiatan kampus maupun waktu bekerja.
Pengumpulan data yang kurang maksimal. Pengumpulan data yang dimaksud ialah pentingnya tambahan data kualitatif dan memaksimalkan formulir observasi yang telah disiapkan, sehingga data yang diperoleh memiliki data yang kaya dan bisa membantu dan mempermudah dalam analisa data.Peneliti mengambil banyak tugas dan peran dalam proses jalanya penelitian. Hal ini maksudnya karena peneliti mempersiapkan penelitian seorang diri yaitu menyiapkan konsumsi, sound system, alat-alat permainan, minuman, hadiah untuk para peserta, proyektor, moderator pelatihan, humas, dokumentasi, rohani dan transportasi. Sehingga mengakibatkan peneliti tidak bisa menjalankan tugas dengan fokus dan maksilaml untuk mengawasi proses jalanya penelitian dan observasi peserta.
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis dan analisis data dari penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Ada pengaruh Outbound terhadap perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja yang mengalami patah hati karena putus cinta yang artinya perilaku memaafkan dan penerimaan diri remaja meningkat setelah mengikuti Outbound dibandingkan dengan sebelum mengikuti Outbound.
Berdasarkan hasil perhitungan effect size, diketahui bahwa nilai effect size menunjukkan angka 0,898 pada penerimaan diri dan 0.888 pada perilaku memaafkan yang keduanya menandakan besarnya efek yang ditimbulkan dari pemberian perlakuan pelatihan Outbound perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja patah hati di Denpasar.
Hasil kategorisasi data penelitian menunjukkan bahwa skor kategorisasi pada variabel perilaku memaafkan dan variabel penerimaan diri pre-test dan post-test memiliki jumlah subjek yang dominan awalnya berada pada kategori sedang ketika pre-test, dan setelah post-test subjek dominan berada pada kategorisasi tinggi dan sangat tinggi. Peningkatan jumlah subjek terjadi pada kategorisasi perilaku memaafkan dan penerimaan diri sangat tinggi dan kategorisasi tinggi, sedangkan untuk penurunan jumlah subjek terjadi pada kategorisasi sedang dan sangat rendah.
Berdasarkan Hasil Uji Friedman Test penerimaan diri menunjukan bahwa signifikansi 0,001 < 0,05 yang
menandakan bahwa terdapat perbedaan pada setiap pemberian perlakuan pada aspek penerimaan diri. Sedangkan pada aspek perilaku memaafkan menunjukan bahwa signifikansi 0,001 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa juga terdapat perbedaan pada setiap pemberian perlakuan pada perilaku memaafkan.
Peneliti dapat memberikan masukan pada orangtua dapat lebih memahami permasalahan pada remaja khususnya dalam hal perilaku memaafkan dan penerimaan diri yang dialami remaja karena patah hati akibat putus cinta. Sehingga dapat merekomendasikan pelatihan Outbound sebagai solusi permasalahan tersebut, dan membuat remaja mampu meningkatkan perilaku memaafkan dan penerimaan diri pasca patah hati karena putus cinta.
Pihak sekolah direkomendasikan khususnya bagi guru bimbingan konseling (BK) atau sejenisnya dapat menggunakan program Outbound Move on untuk membantu para remaja untuk terlepas dari rasa patah hati yang sebagian besar remaja sering mengalaminya.
Bagi remaja diharapkan akan mampu untuk memaafkan dan menerima diri pasca mengalami patah hati karena putus cinta dengan mengikuti pelatihan Outbound Move on secara berkala atau terjadwal. Outbound Move on bisa diadakan oleh praktisi dibidang Outbound Move on maupun menggunakan penyedia jasa Outbound Move on yang telah mengetahui modul Outbound Move on yang dikhususkan untuk meningkatkan perilaku memaafkan dan penerimaan diri pada remaja yang mengalami patah hati karena putus cinta.
Bagi peneliti selanjutnya bisa memperbesar sampel dan cakupan populasi. Memperbesar jumlah sampel agar bisa digeneralisasikan lebih luas lagi, sedangkan memperbesar jumlah populasi agar dapat lebih banyak dan luas menjangkau para remaja.
Peneliti selanjutnya dapat melakukan pengujian terhadap kategori umur dewasa yang mengalami patah hati karena putus cinta, dikarenakan dalam proses pendaftaran pelatihan terdapat banyak laki-laki dan perempuan yang mengalami permasalahan patah hati pasca putus cinta tidak dapat mengikuti pelatihan Outbound Move on dikarenakan sudah melewati kategori umur remaja yang telah ditentukan peneliti.
Diharapkan pada penelitian selanjutnya, data-data yang diambil melalui Outbound Move on, tidak hanya data yang berupa analisis kuantitatif saja, tetapi juga dapat diperdalam atau digali lebih dalam dengan analisis kualitatif, sehingga bisa mendapatkan informasi yang lebih banyak dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. (2003). Outbound Management Training. Yogyakarta: UII Press.
Arif, I. S. (2016). Psikologi positif: Pendekatan saintifik menuju kebahagiaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Asti, B.M. (2009). Fun Outbound “Merancang Kegiatan Outbound yang Efektif. Jogjakarta: Diva Press.
Azwar S. (2014) Dasar-dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Belajar,
Azwar S. (2014) Penyusunan Skala Psikologi Edisi-2. Yogyakarta: Pustaka Belajar,
Baron,R.A., & Byrne, P. (2000). Social psychology (9th ed.). Boston : Allyn and Bacon Inc.
Broken heart syndrome, 2015 (dikunjungi 21 maret 2017) Diunduh dari : URL: http://www.health.harvard.edu/heart-
health/takotsubo-cardiomyopathy-broken-heart-syndrome
Campbell DT & Stanley JC. (1963). Experimental And QuasiExperimental Design For Research.Chicago: Rand
Mcnally& Company.
del Palacio-González, A., Clark, D. A., & O’Sullivan, L. F. (2017). Distress severity following a romantic breakup is associated with positive relationship memories among emerging adults. Emerging Adulthood, 5(4), 259-267. Doi:
10.1177/2167696817704117
Diduga kuat kadek agus nekat gantung diri karena diputusin kakak kelasnya. 2018 [dikunjungi 28 agustus 2018] diunduh dari: URL : http://bali.tribunnews.com/2018/03/20/diduga-kuat-kadek-agus-nekat-gantung-diri-karena-diputusin-kakak-kelasnya
Dipetik dari Outbound Malang (4 September 2018): https://outboundmalang.com.
Ernawati, DK. 2017. Menjadi Fasilitator Pada Program Interprofesional Education (IPE). Denpasar : Vaikuntha International Publication
Ginting, Sakti. (2013). Dinamika Pemaafan pada Remaja Putri yang Mengalami Kekerasan dalam Pacaran. Jurnal Empati Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Hamili Kekasih Mahasiswa UNUD gantung diri, 2014 [dikunjungi 4 februari 2018] diunduh dari: URL : http://www.rekam-kejadian.koranjuri.com/?Hamili_Kekasih_Mahasiswa_UN UD_Gantung_Diri
Handayani, Ratnawati, Helmi. (1998) Efektifitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, No 2, 47 - 55
Hurlock, E. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jersild, A.T. (1958). The Psychology of Adolescence. New York: Mc Millan Company
Lopez, S., & Snyder, C. (2003). Positive psychological assessment: A handbook of models and measures. Washington DC: American Psychological Association.
Mawarni, DD. (2018). Hubungan Konsep Diri dengan Penerimaan Diri Penyandang Disabilitas Daksa di Sehati Sukoharjo. Fakultas Ushuluddin dakwah Institut Agama Islam Negeri Surakarta.
McCullough, M. E., Pargament, K. I., & Thoresen, C. E.
(2001). Forgiveness: Theory, research, and practice. New York: Guilford Press.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Hadinoto, S. T. (2014). Psikologi perkembangan: Perkembangan dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Muhammad, A. (2009). The Power of Outbound Training. Jogjakarta: Power Books (IHDINA).
OBI Journal. (2013). Outward Bound International Journal. United Kingdom: Outward Bound International.
Obie, B. (2016). Strategi coping pada laki-laki yang mengalami patah hati akibat “ditikung” sahabat sendiri, Studi Kasus Program Studi Psikologi Universitas Udayana. Tidak dipublikasikan
Olson, D., & DeFrain, J.( 2003). Marriages and families: Intimacy, diversity, and strengths (4th ed.). New York: McGraw-Hill.
Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2008). Human development. New York: McGraw-Hill.
Paramitha, Nurdibyanandaru. (2013). Hubungan Pola Asuh Permissive-indulgent dengan kecerdasan emosional terhadap remaja awal. Jurnal psikologi pendidikan dan perkembangan Vol. 2 No 3,
Paramita, Margaretha. (2013). Pengaruh Penerimaan Diri Terhadap Penyesuaian Diri Penderita Lupus. Jurnal Psikologi Undip Vol.12 No.1 April
Percobaan bunuh diri dikalangan remaja didominasi outus cinta, 2013 (dikunjungi 4 maret 2017) Diunduh dari: URL:
http://news.okezone.com/read/2013/07/23/560/841479/perc obaan-bunuh-diri-di-kalangan-remaja-didominasi-putus-cinta
Pujiyati P. Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kestabilan Emosi pada Remaja Pasca Putus Cinta. (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Purnomo AS. (2002). Outbound dari Titik 0. Bogor: Bumi Semangat Indonesia.
Purwanto. (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Putri, SW. (2014) Perilaku Memaafkan di Kalangan Remaja Broken Home. (Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Putus cinta salah satu penyebab abg Indonesia bunuh diri, 2014 (dikunjungi 4 maret 2017) Diunduh dari: URL:
http://www.merdeka.com/peristiwa/putus-cinta-salah-satu-penyebab-abg-indonesia-bunuh-diri.html
Putus Cinta sebab utama anak bunuh diri, 2011 (dikunjungi 4 maret 2017) Diunduh dari: URL:
http://m.tempo.co/read/news/2011/12/20/173372755/Putus-Cinta-Sebab-Utama-Anak-Bunuh-Diri-
Rosse, R. B. (1999). The love trauma syndrome: free yourself from the pain of a broken heart. Cambridge: Perseus Publishing.
Rudianto. (2010). 24 Jam Mengubah Perilaku dengan Outbound Training. Yogyakarta: Andi Offset.
Sakit Hati, Pemuda Ini Nekat Habisi Nyawa Mantan Pacarnya. 2015 [dikunjugi 2017 Februari 27]. Diunduh dari: URL: http://tv.liputan6.com/read/2304639/sakit-hati-pemuda-ini-nekat-habisi-nyawa-mantan-pacarnya
Sankya, AS. (2016). Penerimaan Diri Pada Pelaku Perkawinan Katolik yang Berpisah. (Skripsi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma)
Sanoesi, A.E. (2010). Panduan Outbound 2 "Land Base".
Yogyakarta: Kanisius.
Santoso S. (2002) Statistik Parametrik.Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
Santrock, J. W. (2007). Adolescene. New York: McGraw-Hill.
Santrock, (2003). Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2009). Psikologi
eksperimen. Jakarta: PT Indeks.
Siegel, S. (1992). Statistik nonparametrik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: PT. Gramedia.
Silberman, M. L., & Auerbach, C. (1998). Active Training: a
handbook of techniques, design,
Siregar, S. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana
Gerintya, S. Statistik Bunuh Diri dan Darurat Kesehatan Mental. 2017 [dikunjungi April 2018]. Diunduh dari : URL: https://tirto.id/statistik-bunuh-diri-dan-darurat-kesehatan-mental-ck1u
Sugiyono, (2012). Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta,
Sunarto, V. Peran Pola Asuh Autoritatif dan Pemantauan Diri Terhadap Intensitas Cinta dalam Berpacaran pada Remaja Akhir di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Jurnal Psikologi Udayana. 2015 Jan 10;2(2).
Suryabrata S.(2000) Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Syarifah F. Ya, Anda bisa Meninggal Akibat Putus Cinta. 2015 [dikunjugi 2017 Februari 27]. Diunduh dari: URL: http://health.liputan6.com/read/2192436/ya-anda-bisa-meninggal-akibat-putus-cinta
Teknik untuk bangkit dari keterpurukan patah hati , 2014 (dikunjungi September 2016)http://www.alodokter.com/10-teknik-
untuk-bangkit-dari-keterpurukan-patah-hati
Tipping, C. (2011). Radical self-forgiveness: The direct path to true self-acceptance. Canada: Sound True.
Toussaint, L., & Webb, J. R. (2005). Theoretical and empirical connections between forgiveness, mental health, and wellbeing. Handbook of forgiveness, 349-362. Journal of
personality and social psychology, 82(4), 675. Doi:
Triwibowo, Y. (2010). Syarat-syarat menjadi instruktur atau fasilitator outbound training.
Waspada syndrome patah hati, 2014 (dikunjungi oktober 2016) http://doktersehat.com/waspadai-sindrom-patah-hati/
Widharnandana, IGD. 2015. Pengaruh Outbound Terhadap Efikasi Diri Pada Mahasiswa, Jurnal Psikologi Udayana , No. 2, 151-162
Wijaya. (2010). Statistik nonparametrik. Bandung: Alfabeta.
Winch, G. (2018). How to fix a broken heart. New York: TED Books.
Wit Gedhang. (2013). Training of Trainer Module. Klaten: Wit Gedhang.
Yusainy, C. (2016). Panduan riset eksperimental dalam psikologi. Malang: UB Press.
Zechmeister, J. S., & Romero, C. (2002). Victim and offender accounts of interpersonal conflict: Autobiographical narratives of forgiveness and unforgiveness.
|
LAMPIRAN | |
|
Tabel 1. | |
|
Deskripsi Data Penelitian Perilaku Memaafkan | |
|
Deskripsi Data |
Perilaku Memaafkan Pre-Test dan Post Test |
|
X min |
20 |
|
X max |
80 |
|
Mean teoretis (μ) |
(20+80)/2 = 50 |
|
Standar deviasi (σ) |
60/6 = 10 |
|
Range |
80-20 = 60 |
|
Tabel 2. | |
|
Hasil Uji Normalitas Data Penelitian | |
|
Deskripsi Data |
Penerimaan Diri Pre-Test dan Post Test |
|
X min |
41 |
|
X max |
164 |
|
Mean teoretis (μ) |
(41+164)/2 = 102,5 |
|
Standar deviasi (σ) |
123/6 = 20,5 |
|
Range |
164-41 = 123 |
|
Tabel 3. | |
|
Hasil Uji Wilcoxon Penerimaan Diri | |
|
Test Statistics | |
|
Post Penerimaan Diri 3 - Pre Penerimaan Diri 1 | |
|
Z |
-1.960a |
|
Asymp. Sig. (2-tailed) |
.050 |
|
Tabel 4. | |
|
Hasil Uji Wilcoxon Perilaku Memaafkan | |
|
Tes Statistik | |
|
Post Memaafkan 3 – Pre Memaafkan 1 | |
|
Z |
- 2.035 |
|
Asymp. Sig. (2-tailed) |
0.42 |
Tabel 5.
Hasil Uji Friedman Penerimaan Diri
Test Statistics
|
N |
8 |
|
Chi-Square df Asymp. Sig. |
19.837 5 .001 |
Tabel 6.
Hasil Uji Friedman Perilaku Memaafkan
Ranks
|
Mean Rank | |
|
Pre Penerimaan Diri 1 |
2.12 |
|
Post Penerimaan Diri 1 |
2.50 |
|
Pre Penerimaan Diri 2 |
2.44 |
|
Post Penerimaan Diri 2 |
4.19 |
Ranks
|
Mean Rank | |
|
Pre Memaafkan 1 |
1.88 |
|
Post Memaafkan 1 |
2.44 |
|
Pre Memaafkan 2 |
2.81 |
|
Post Memaafkan 2 |
4.38 |
|
Pre Memaafkan 3 |
4.19 |
|
Post Memaafkan 3 |
5.31 |
|
Pre Penerimaan Diri 3 |
4.50 |
|
Post Penerimaan Diri 3 |
5.25 |
Tabel 7.
Effect Size
|
Effect size d |
Reference |
|
Very small 0.01 |
Sawilowsky, 2009 |
|
Small 0.20 Medium 0.50 Large 0.80 |
Cohen, 1988 Cohen, 1988 Cohen, 1988 |
|
Very large 1.20 |
Sawilowsky, 2009 |
|
Huge 2.0 |
Sawilowsky, 2009 |
Tabel 8.
Blue Print Modul Outbound Move On
|
No |
Permainan |
Penerimaan Diri |
Perilaku Memaafkan | |||||||||||
|
B1 |
B2 |
B3 |
B4 |
B5 |
B6 |
B7 |
B8 |
B9 |
B10 |
A1 |
A2 |
A3 | ||
|
1 |
Emphaty Mic |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v | |||||
|
2 |
Diskusi Kasus Putus |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v | |||||
|
Cinta | ||||||||||||||
|
3 |
Who Am I |
v |
v |
v |
v |
v | ||||||||
|
4 |
Mantan Sword |
v |
v | |||||||||||
|
5 |
Grouping dan Emphaty |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v | ||||
|
Ball | ||||||||||||||
|
6 |
Naga Bonar |
v |
v |
v |
v | |||||||||
|
7 |
Missed Call |
v |
v |
v |
v | |||||||||
|
8 |
Relationship War |
v |
v |
v |
v |
v |
v | |||||||
|
9 |
Eye Contact & Empathy |
v |
v |
v |
v |
v |
v | |||||||
|
Ball | ||||||||||||||
|
10 |
Bermain Peran |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v |
v | ||||
167
Discussion and feedback