Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental dan Budaya 1, 112-121


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607

Harga diri dan penerimaan diri pasangan menikah tidak memiliki anak di Bali

Olivia Yohana Simarmata dan Made Diah Lestari

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana mdlestari@gmail.com

Abstrak

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, mengatakan bahwa proporsi kehamilan perempuan menikah 10-54 tahun hanya berkisar 2,68% dimana di perkotaan 2,8% dan di pedesaan 2,55%. Infertilitas dapat menyebabkan perasaan menutup diri, merasa bersalah, cemas, stres, tidak berdaya, dan tertekan pada individu yang mengalaminya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat harga diri dan penerimaan diri pasangan menikah yang tidak memiliki anak di Bali. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan responden pada penelitian ini adalah dua pasangan menikah yang tidak memiliki anak teknik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan wawancara individu, joint interview dan observasi. Hasil penelitian menemukan bahwa pasangan memiliki faktor eksternal dan internal dalam membangun harga diri positif dan menerima kondisi perkawinan. Faktor eksternal, kecenderungan yang serupa, yaitu dukungan keluarga, dukungan pasangan, lingkungan modern dan tidak adanya argumen mengenai infertilitas. Ditemukan hasil bahwa pasangan yang memiliki perasaan positif dalam memandang infertilitasnya masih mampu mempertahankan penghargaan dirinya, sedangkan pasangan yang memiliki perasaan negatif terkait diri cenderung memiliki penghargaan diri yang negatif. Perasaan negatif terkait infertilitas yang dimiliki pasangan dapat diatasi dengan koping yang berfokus pada diri dan pasangan, sehingga pasangan mampu menerima diri. Iman dan karma adalah faktor budaya dan agama yang melekat pada kondisi infertilitas.

Kata kunci: Harga diri, iman, infertilitas, karma, penerimaan diri.

Abstract

According to the result of Primary Health Research (RISKESDAS) published by Ministry of Health of Republic of Indonesia in 2013, the proportion of pregnancy in married woman 10-54 years old married woman was approximately 2,68%. 2.8% in the city and 2.55% in the vilages. Infertility might cause the feeling of concealment, guilt, anxiety, stress, helplessness and being pressured in individual. This research aim to describe the self-esteem and self-acceptance of married couple without children in Bali. The research used qualitative method with case-study approach, the respondents are two married couples without children . The sampling method used is purposive sampling. The data were collected through individual interview, joint interview and observation. Results found that the couple had external and internal factors in building positive self-esteem and accepting the marital condition. External factors tend to be similar, those are family support, partner support, modern environment and the absence of arguments regarding the infertility. Researcher also discovered that couple who had positive feelings in seeing infertility were still able to maintain their self-esteem, while couples who had negative feelings related to themselves tended to have negative selfesteem. Negative feelings related to infertility own by couple can be overcome by coping that focuses on themselves and their partners, so the couple is able to accept themselves. Faith and karma are cultural and religious factors inherent in infertility conditions.

Keyword : Faith, infertility, karma, self-acceptance, self-esteem.

LATAR BELAKANG

Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam lingkungan sosial dengan tujuan melegalkan hubungan seksual, melegitimasi membesarkan anak dan membagi peranan antara suami dan istri. Setiap pasangan yang melakukan pernikahan mengidam-idamkan pernikahan yang berbahagia, dengan terpenuhinya kecukupan secara materi, mendapatkan perasaan dicintai, dan memiliki keturunan (anak).

Anak memiliki nilai yang penting dalam sebuah pernikahan.Pasangan menikah menganggap anak merupakan anak adalah suatu anugerah yang diberikan Tuhan dan juga untuk meneruskan garis keturunan, selain itu anak sering sekali dianggap sebagai pembawa rezeki, kebahagiaan dalam keluarga, sebagai pemersatu keluarga dan memberikan efek penurunan keinginan untuk melakukan perceraian dalam sebuah pernikahan. Kasnodihardjo (2014) menyebutkan bahwa anak memiliki nilai ekonomi, sosial dan psikologis terhadap orangtua dan keluarga. Keberadaan anak menumbuhkan nilai tertentu dimata keluarga sehingga anak akan diperlakukan sedemikian rupa agar terjaga kesehatannya.

Masyarakat Hindu yang menganut sistem patrilineal juga menganggap anak dalam sebuah keluarga adalah hal yang penting. Ruslan (2017) menyebutkan bahwa dalam agama Hindu anak adalah penerus garis keturunan atau disebut dengan suputra. Agama Hindu memiliki penghargaan yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan, anak laki-laki dianggap sebagai pemimpin dalam segala ritual dalam agama dan mendapatkan warisan dari orangtua, sedangkan anak perempuan hanya mendapatkan hibah dari orangtua. Selain masyarakat Hindu, masyarakat Kristen juga menganggap anak merupakan hal yang berharga. Seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian Pasal 1 Ayat (28) dan (29) yang berbunyi “beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dan segala binatang merayap di darat”.

Sayangnya walaupun anak memiliki nilai yang penting dalam pernikahan, dan menjadi salah satu tuntutan pada pasangan menikah di Indonesia,akan tetapi banyak pasangan menikah yang tidak memiliki anak di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (2013) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia menemukan bahwa proporsi kehamilan perempuan menikah 10-54 tahun hanya berkisar 2,68% dimana di perkotaan 2,8% dan di pedesaan 2,55%. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya infertilitas yang terjadi di Indonesia.

Menikah tidak memiliki anak atau yang sering disebut dengan infertilitas menurut Djuwantono (2008) adalah ketiadaan anak dalam sebuah pernikahan walaupun suami istri telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu selama setahun dan tidak menggunakan alat kontrasepsi. Djuwantono (2008) mengatakan bahwa ada dua jenis infertilitas, yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer adalah ketidakmampuan istri mengandung

anak walaupun pasangan sudah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu selama setahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi, sedangkan infertiitas sekunder adalah pasangan sudah memiliki satu anak atau lebih akan ketidakmampuan istri untuk mengandung anak kembali walaupun pasangan sudah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu selama setahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi.

Ketiadaan anak dalam sebuah pernikahan akan memunculkan berbagai reaksi pada pasangan antara lain stres, cemas, merasa rendah diri, tidak menerima kondisi pernikahannyatertekan dan tidak jarang akan lebih tidak puas dengan pernikahannya, merasa memiliki pernikahan yang gagal karena salah satu tujuan pernikahan tidak tercapai, menarik diri dari lingkungan sosial karena tidak tahan menghadapi kritik sosial, merasa tidak percaya diri dengan hubungan pernikahannya dan banyak pula yang berujung dengan perceraian. Sekolah kesehatan Harvard (2009) menemukan bahwa infertilitas akan menyebabkan shock, kesedihan, depresi, kemarahan, dan frustrasi, serta hilangnya harga diri, kepercayaan diri, dan rasa kontrol terhadap nasib individu, dan hubungan kurang baik teman dan anggota keluarga. Dekar dan Sarma (2010) juga menemukan bahwa stres, kecemasan dan depresi adalah reaksi yang sering muncul pada pasangan menikah tidak memiliki anak. Dengan prevalensi kemunculan depresi 15%-54% dan kecemasan 8%-28%.

Kartono (2007) juga menyatakan bahwa wanita yang tidak bisa memiliki anak dianggap memiliki kelainan. Persepsi seperti itu terbentuk dengan sendirinya akibat didukung oleh nilai dan budaya di masyarakat. Adat istiadat, kebiasaan, dan religi dari banyak suku di dunia menegaskan bahwa wanita yang tidak mampu untuk melahirkan anak adalah wanita yang inferior. Kartono (2007) juga memaparkan bahwa hampir setiap bangsa di dunia ini selalu menyalahkan dan melemparkan tanggung jawab mengalami infertilitas pada wanita dan hal ini dapat menimbulkan penerimaan diri negatif. Respon awal yang timbul pada wanita yang mengalami infertilitas adalah menutup diri, merasa bersalah, cemas, stres, tidak berdaya, dan tertekan yang demikian itu dapat memengaruhi penerimaan diri individu, bagaimana individu memandang dirinya dan menyikapi kondisi tersebut.

Penelitian lain mengatakan bahwa ada perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan dalam menghadapi infertilitas, seperti pada penelitian Harsyah & Ediati (2015) yang melakukan pengambilan data dengan kuisioner mendapatkan kesimpulan bahwa perempuan akan cenderung memandang negatif terhadap infertilitas, dibandingkan dengan laki-laki. Sekolah Kesehatan Harvard (2009) juga menemukan bahwa pria cenderung mengalami lebih sedikit tekanan daripada wanita. Akan tetapi, pada satu penelitian ditemukan bahwa reaksi pria terkait infertilitas berdasarkan siapa yang didiagnosis infertilitas. Ketika masalah didiagnosis pada pasangan, maka pria cenderung tidak mengalami tekanan seperti pasangannya. Tetapi ketika pria mengetahui bahwa dirinya adalah orangorang yang tidak subur, pria cenderung mengalami tingkat harga diri yang rendah, stigma, dan depresi yang sama seperti yang dialami wanita tidak subur.

Penghargaan diri dan penerimaan diri pada pasangan menikah yang tidak memiliki anak merupakan dua hal yang sangat sulit dicapai. Perasaan-perasaan negatif yang dialami oleh pasangan akibat ketiadaan anak dalam pernikahannya dan tekanan-tekanan yang berasal dari lingkunngan yang didapat pasangan menjadi hambatan yang dimiliki oleh pasangan untuk memiliki penghargaan diri yang positif dan penerimaan diri yang baik pada kondisi pernikahannya.

Berdasarkan uraian diatas, penting dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana pembentukan harga diri dan penerimaan diri pasangan menikah yang tidak memiliki anak di Bali. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana perbedaan dalam pembentukan harga diri dan penerimaan diri yang dimiliki pasangan menikah yang tidak memiliki anak pada agama Kristen dan agama Hindu.

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Moleong (2005) menyebutkan metode kualitatif digunakan untuk memahami fenomena yang terjadi pada subjek penelitian secara alamiah. Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yaitu yang digunakan untuk menemukan makna, mendalami proses dan pemahaman yang mendalam pada individu (Smith dalam Emzir, 2010)

Unit Analisis

Pada penelitian kualitatif, unit analisis yang digunakan dapat bersifat perorangan, kelompok atau keseluruhan program (Moleong, 2005). Penelitian ini menggunakan unit analisis pasangan. Dengan tujuan melihat perbedaan dalam pembentukan harga diri dan penerimaan diri antara pasangan menikah yang tidak memiliki anak.

Responden Penelitian

Pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Responden pada penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu pasangan menikah tidak memiliki anak. Karakteristik responden penelitian ini adalah :

  • 1.    Pasangan menikah tidak memiliki anak

  • 2.    Memiliki usia pernikahan 9-20 tahun.

  • 3.    Berdomisili di Denpasar dan sekitarnya.

  • 4.    Tidak mengadopsi (mengangkat) anak.

  • 5.    Tidak dalam proses pengadopsian anak.

  • 6.    Beragama Kristen dan Hindu.

Teknik Pengumpulan Data.

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara, observasi, kajian pustaka, dan catatan lapangan agar mendapatkan data yang maksimal dan sesuai dengna tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan wawancara

semiterstruktur dengan menggunakan pertanyaan terbuka dan mendalam. Penelitian ini juga menggunakan dua jenis wawancara yaitu wawancara individu dan wawancara gabungan. Observasi pada penelitian ini dilakukan selama proses wawancara berlangsung. Kajian pustaka pada penelitian ini berasal dari dokumen elektronik berupa jurnal dan dokumen tertulis berupa buku. Catatan lapangan pada penelitian ini dilakukan untuk mencatat profil, kegiatan dan eksspresi responden penelitian ketika wawancara berlangsung.

Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data

Teknik pengorganisasian data yang dilakukan pada penelitian ini dengan memindahkan data rekaman dari telepon genggamyang digunakan ke dalam sub folder pada computer jinjing peneliti. Data rekaman hasil wawancara kemudian diolah dalam bentuk verbatim dan fieldnote kemudiandiberi judul file sesuai kode masing-masing responden. Seluruh data kemudian digandakan dan di-back up di Google drivedan iCloud. Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik theoritical codingyang terdiri dari tiga proses yaitu open coding, axial coding, dan selective coding(Strauss &Corbin, 2003).

Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas data pada penelitian ini melalui triangulasi data, member check, pemeriksaan sejawat melalui diskusi dan perpanjangan pengamatan. Data kualitatif dinyatakan valid apabila tidak ada ditemukan perbedaan antara yang dilaporkan oleh peneliti dan kejadian yang sesungguhnya yang dialami oleh responden.

Isu Etik

Penelitian ini memerhatikan beberapa isu etika yang diterapkan pada penelitian ini, yaitu menjaga kerahasiaan identitas responden, tidak merugikan responden, inform consent untuk penelitian, dan penyimpanan data responden.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan dari analisis data yang dilakukan terdapat dua topik utama pada penelitian ini, yaitu harga diri, dan penerimaan diri pada pasangan menikah yang tidak memiliki anak pada agama Kristen dan agama Hindu.

Gambaran Pernikahan Pasangan EA

Pasangan EA sudah menikah selama 9 tahun dan belum memiliki anak. Menikah tidak memiliki anak 9 tahun memunculkan beberapa perasaan pada pasangan EA. Perasaan tersebut terdiri dari perasaan negatif dan perasaan positif terkait kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak. Pasangan EA mengalami perasaan bertanya-tanya kepada Tuhan dan diri sendiri mengenai kondisi pernikahannya, pasangan juga memiliki terkadang memiliki perasaan iriketika melihat anak kecil. Selain perasaan negatif pasangan memiliki perasaan positif yaitu, pasangan EA tidak memiliki keinginan yang menggebu-gebu dalam memiliki anak , dan pasangan

tidak mengalami penghargaan diri yang negatif karena berada di lingkungan yang modern.

Faktor yang Memengaruhi Harga Diri dan Penerimaan Diri Pada pasangan EA juga ditemukan ada beberapa faktor yang menjadikan pasangan memiliki penghargaan diri yang positif dan penerimaan diri yang baik terkait kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak. Pasangan EA memiliki faktor internal yang dapat meningkatkan penghargaan diri dan penerimaan diri terkait kondisi pernikahannya yaitu iman atau kepercayaan pada Tuhan dan juga personal growth personal growth yang muncul selama pernikahan, selain faktor internal pasangan EA juga memiliki faktor eksternal yang dapat meningkatkan kondisi penghargaan diri dan penerimaan diri terkait kondisi pernikahannya, yaitu saling mendukung, pandangan positif pasangan, dukungan emosional keluarga dengan tidak bertanya-tanya pada pasangan EA, sikap lingkungan yang modern, hubungan yang romantis dengan pasangan, tidak adanya pertengkaran akibat infertilitas dan nilai pernikahan yang dianut oleh pasangan EA. Adanya perasaan iri ketika melihat anak kecil atau keluarga bahagia dan perasaan cemas mengenai perawatan akan masa tua menjadikan faktor yang menghambat penerimaan diri pasangan EA.

Tindakan yang Dilakukan Pasangan EA

Pembentukan harga diri dan penerimaan diri pada pasangan EA dilakukan dengan beberapa tindakan untuk menekan faktor penghambat penerimaan diri pasangan EA. Pasangan memiliki dua fokus pada tindakan yang dilakukan, yaitu tindakan yang berfokus pada diri dan tindakan yang berfokus pada pasangan. Tindakan yang berfokus pada diri pada pasangan EA, yaitu pasangan berserah dan berpasrah diri pada Tuhan, dan pasangan EA cenderung mencari kegiatan atau kesibukan lain. Sedangkan tindakan yang berfokus pada pasangan dengan melakukan kegiatan diluar pekerjaan masing-masing bersama pasangan, dan menikmati kondisi pernikahan pasangan seperti fase pacaran.

Kondisi yang Dicapai Pasangan EA

Saat ini pasangan EA memiliki penghargaan diri yang positif dan sudah menerima kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak. Pasangan EA juga memiliki fokus untuk selalu bahagia bersama pasangan dan menikmati pernikahannya.

Gambaran Pernikahan Pasangan DM

Pasangan DM sudah menikah selama 18 tahun dan belum memiliki anak. 18 tahun menikah dan tidak memiliki anak menimbulkan perasaan-perasaan negatif pada pasangan DM dalam memandang pernikahannya. Pasangan DM merasa sedikit terganggu ketika ada yang bertanya mengenai kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak, istri (responden D) mengalami stres dan selalu menangis ketika menstruasi, pasangan DM tidak menerima kondisi pernikahannya, merasa gagal dalam pernikahannya, merasa perasaan keibuan dan kebapakan yang kurang dihargai, istri (responden D) akan sakit dan stres ketika mengujungi kerabat lahiran, dan pasangan DM tidak memercayai adanya ketidaksuburan dalam kedua belah pihak, tetapi ada yang menganggu dalam pernikahannya.

Faktor yang Memengaruhi Harga Diri dan Penerimaan Diri Pasangan DM memiliki beberapa faktor yang meningkatkan penghargaan  diri  dan penerimaan  diri pasangan DM.

Penghayatan akan karma dan umur yang tidak produktif menjadi faktor internal yang meningkatkan penghargaan diri dan penerimaan diri pada pasangan DM. Selain itu komunikasi yang baik dengan pasangan, saling mendukung, dukungan keluarga, sikap lingkungan yang modern, tidak adanya pertengkaran akibat infertilitas, dan nilai pernikahan yang dimiliki pasangan DM, hal tersebut menjadi faktor ekternal pada pasangan DM dalam upaya meningkatkan penghargaan diri dan penerimaan diri terkait kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak. Pasangan DM juga memiliki faktor penghambat yang menyebabkan turunnya penghargaan diri dan penerimaan diri pada pasangan DM, yaitu perasaan cemas mengenai perawatan hari tua, dan juga penilaian terhadap pandangna orang lain mengenai kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak.

Tindakan yang Dilakukan Pasangan DM

Pasangan DM melakukan beberapa tindakan yang dibagi menjadi dua jenis, dalam usaha pembentukan harga diri dan penerimaan diri terkait kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak. Jenis tindakannya, yaitu tindakan yang

berfokus pada diri, dan tindakan yang berfokus pada

pasangan. Tindakan yang berfokus pada diri yang dilakukan pada pasangan DM adalah tidak terlalu berfokus dan memikirkan kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak. Dan tindakan yang berfokus pada pasangan, yaitu membicarakan (komunikasi) semua perasaan yang dimiliki pada pasangan, dan melakukan kegiatan diluar pekerjaan bersama-sama pasangan.

Kondisi yang Dicapai Pasangan DM

Saat ini ditemukan bahwa pasangan DM cenderung memiliki penghargaan diri yang positif dan menerima kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak. Pasangan DM juga sudah memiliki fokus yang lain selain cara memiliki anak dalam pernikahannya, yaitu fokus pada kesehatan pasangan.

Perbedaan Faktor pada Pasangan EA dan Pasangan DM Berdasarkan hasil pengumpulan dan pengolahan data yang dilakukan ditemukan adanya perbedaan faktor yang memengaruhi harga diri dan penerimaan diri antara pasangan EA dan pasangan DM. Pada pasangan EA iman dan kepercayaan kepada Tuhan, dan personal growth yang tumbuh selama pernikahan menjadi faktor yang dapat meningkatkan penghargaan diri dan penerimaan diri pasangan. Sedangkan pasangan DM penghayatan akan karma, umur yang tidak produktif dan komunikasi yang baik menjadi faktor yang dapat meningkatkan penghargaan dan penerimaan diri pada pasangan. Faktor yang dapat menghambat penghargaan diri dan penerimaan diri pada pasangan EA adalah perasaan iri ketika melihat anak kecil. Sedangkan penilaian terhadap pandangan orang lain pada kondisi pernikahannya menjadi faktor yang menghambat penghargaan diri dan penerimaan diri pada pasangan DM.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Harga Diri

Perasaan negatif dan perasaan positif terhadap infertilitas dapat memengaruhi harga diri pasangan. Pasangan yang memiliki perasaan positif terhadap infertilitas cenderung tidak mengalami penghargaan diri yang negatif, meskipun memiliki perasaan yang negatif. Berbeda dengan pasangan yang hanya memiliki perasaan negatif terhadap infertilitasnya, cenderung akan mengalami penghargaan diri yang negatif terhadap diri dan pernikahannya.

Perasaan positif tersebut dimiliki oleh pasangan EA. Perasaan positif ini membuat pasangan EA tidak mengalami penghargaan diri yang negatif dengan kondisi pernikahan yang tidak memiliki anak. Pasangan tidak menganggap keadaan pernikahan yang tidak memiliki anak adalah suatu masalah yang besar, dan pasangan tidak merasa rendah diri karena kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak. Elvina dan Maulina (2013) mengatakan faktor utama yang menjadi dasar evaluasi individu untuk tetap merasa bahagia dan berharga adalah nilai diri dan sosial. Apabila kehadiran anak menjadi hal yang penting bagi diri individu, maka harga diri yang dimiliki didasarkan pada ada atau tidaknya kehadiran anak. Hal ini terlihat pada pasangan EA yang mengatakan tetap merasakan kebahagiaan pernikahan sejak awal dan tidak merasa adanya kegagalan pernikahan terkait kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak.

Selain perasaan positif dalam memandang kondisi pernikahan yang tidak memiliki anak. Pasangan EA juga memiliki perasaan negatif yang muncul terkait kondisi pernikahan yang tidak memiliki anak. Pasangan EA mengatakan walaupun hal tersebut tidak mengganggu dan tidak menyebabkan stres yang berlebihan pasangan EA memiliki perasaan iri ketika melihat anak kecil, dan rasa bertanya-tanya didalam hati mengenai kondisi pernikahannya, hal ini disebabkan karena pasangan memiliki pandangan bahwa anak adalah pelengkap dalam sebuah keluarga. Mardian dan Kustanti (2016) juga mengatakan bahwa pasangan menikah menganggap bahwa anak merupakan suatu pencapaian dalam keluarga. Prasetyo dan Putra (2017) juga menemukan bahwa pasangan yang tidak memiliki anak akan memiliki perasaan tawar menawar dalam dirinya kepada Tuhan dan lingkungan sosial.

Berbeda dengan pasangan EA yang tetap memiliki perasaan positif dalam memandang infertilitas, pasangan DM cenderung memiliki perasaan negatif terkait infertilitas pada pernikahannya. Pasangan DM awalnya menganggap pernikahan yang tidak memiliki anak adalah suatu kegagalan dalam hidup, pasangan juga tidak memercayai adanya ketidaksuburan pada salah satu pihak tetapi ada faktor pengganggu yang menjadikan pernikahan pasangan DM tidak memiliki anak. Penilaian negatif ini menjadikan pasangan DM memiliki penghargaan negatif terhadap dirinya. Hal ini sejalan dengan penemuan pada penelitian Estherline dan Widayanti (2016) yang menyatakan bahwa kondisi infertilitas merupakan situasi yang memberikan tekanan sehingga menimbulkan perasaan sedih, kesepian dan rendah diri. Pasangan DM menganggap kondisi infertilitas pada pernikahannya adalah

hal yang membuat pernikahannya tidak sempurna karena tidak memiliki anak.

Koping

Perasaan negatif yang dimiliki oleh pasangan menimbulkan keadaan tidak nyaman pada pasangan dalam memandang kondisi pernikahannya. Pasangan akan cenderung memiliki penghargaan diri yang negatif dan mengalami penurunan penerimaan diri. Ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pasangan, menyebabkan pasangan melakukan beberapa tindakan yang berfokus pada diri dan pada pasangan untuk mengurangi perasaan tersebut. Pasangan akan melakukan berbagai tindakan yang dianggap dapat membuat pasangan dapat memiliki penghargaan diri yang lebih positif dan peningkatan penerimaan diri pada pernikahannya.

Pada kedua pasangan, ditemukan bahwa adanya koping yang berfokus pada pasangan, kedua pasangan melakukan kegiatan seperti jalan-jalan atau sekedar pergi ke pantai dengan pasangan dan menikmati pernikahannya seperti fase pacaran. Hal ini dilakukan kedua pasangan agar tetap memiliki kualitas hubungan yang baik dan tidak memikirkan kondisi infertilitasnya. Novrika (2017) juga mengatakan bahwa individu yang mengalami infertilitas akan berusaha melupakan masalahnya dengan bepergian, menonton film, dan menonton televisi. Pada pasangan DM ditemukan bahwa komunikasi dengan pasangan adalah hal utama dalam koping yang berfokus denggan pasangan. Muslimah (2014) ternyata juga menemukan bahwa semakin tinggi tingkat komunikasi pada pasangan maka semakin meningkat kepuasan dan penerimaan diri pada pernikahan.

Selain koping yang berfokus dengan pasangan, kedua pasangan memiliki koping yang berfokus pada diri. Pada pasangan EA ditemukan bahwa kopingyang dilakukan adalah berserah dan berpasrah dengan Tuhan, pasangan menganggap dengan berserah dan berpasrah dengan Tuhan merupakan hal terbaik yang bisa dilakukan oleh pasangan. Pasangan menganggap bahwa anak adalah sepenuhnya karunia dari Tuhan dan manusia tidak bisa mengatur hal tersebut, pasangan percaya dengan berserah dan memiliki harapan kepada Tuhan dapat membuat pasangan menjadi lebih menerima kondisinya dan tidak menyalahkan siapapun dalam kondisi pernikahan infertilnya. Hal ini ternyata ditemukan pada penelitian Alfriane, Santoso dan Girsang (2017) juga menemukan bahwa mekanisme koping yang dilakukan oleh pasangan adalah mekanisme adaptif dengan cara berdoa, berpikir positif dan menyerahkan semua kepada Tuhan, hal ini juga didukung dengan temuan penelitian Tedjawidjaja dan Rahardanto (2015) yang meyatakan kepercayaan bahwa anak merupakan sepenuhnya pemberian dari Tuhan yang tidak bisa diatur oleh manusia. Kepercayaan tersebut menyebabkan pasangan menyerahkan kepada Tuhan usaha-usaha yang sudah dilakukan untuk dapat memperoleh anak.

Pada pasangan DM, tidak ditemukan berpasrah dan berserah dengan Tuhan pada koping yang berfokus pada dirinya. Koping yang dilakukan pasangan DM hanya sebatas tidak memikirkan atau berfokus pada kondisi infertilitas dalam pernikahannya, koping ini juga ditemukan pada pasangan EA.

Pasangan EA mencari kesibukan lain agar tidak terlalu memikirkan kondisi infertilitas yang dialami oleh pasangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Novrika (2017) bahwa individu yang mengalami infertilitas akan mengalihkan pikirannya dari infertilitas dengan bekerja atau mencari kesibukan lain.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Diri dan Penerimaan Diri

Faktor yang Memertahankan

Perasaan negatif yang dimiliki oleh kedua pasangan dalam memandang kondisi pernikahannya, tidak lagi muncul pada masa sekarang untuk pasangan EA dan hanya muncul beberapa kali pada pasangan DM. Hal tersebut diakibatkan bahwa pasangan EA dan DM memiliki faktor-faktor eksternal dan internal yang memengaruhi harga diri dan penerimaan diri pasangan pada kondisi pernikahannya.

Faktor eksternal yang memengaruhi pasangan EA dan DM cenderung sama, yaitu pasangan yang mendukung, dukungan emosional dari keluarga, lingkungan yang modern, tidak ada pertengkaran akibat infertilitas, kualitas hubungan yang baik dengan pasangan, dan keberhargaan pernikahan. Pasangan DM dan EA menganggap dengan mendapatkan dukungan secara penuh dari pasangan dalam bentuk tidak pernah adanya tekanan dan tidak pernah adanya pertengkaran pada pernikahan akibat infertilitas membuat pasangan menjadi lebih menerima kondisi pernikahannya dan memiliki penghargaan diri yang positif. Dukungan pasangan juga ditemukan pada penelitian Elvina dan Maulin (2013) yang mengatakan bahwa dukungan pasangan dan hubungan yang baik suami-istri pasangan infertil membantu undividu untuk menghadapi pengalaman infertilitas dan juga penelitian dari Putri dan Masykur (2013) yang mengatakan pasangan infertil membutuhkan emotional support, informational support, dan instrumental support yang membuat nyaman dan tak terbeban dengan ketidakhadiran anak. Dukungan emosional keluarga yang didapatkan pasangan EA dan DM juga meningkatkan penerimaan pasangan dan membentuk penghargaan diri pasangan. Pasangan menganggap dengan tidak adanya pertanyaan terus menerus dan memberikan keleluasaan pada pasangan membuat pasangan nyaman dengan infertilitasnya. Ha ini juga ditemukan pada penelitian Sugiarti (2008) yang menyatakan hasil penerimaan diri terbentuk kuat oleh besarnya dukungan suami dan keluarga.

Pasangan EA dan pasangan DM memiliki perbedaan yang signifikan pada faktor internal yang membentuk penghargaan diri positif dan peningkatkan penerimaan diri pada pernikahannya. Pada pasangan DM ditemukan iman dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan faktor internal terkuat yang meningkatkan penerimaan diri pasangan dalam menghadapi infertilitas. Pasangan menganggap kepercayaan dengan Tuhan merupakan salah satu bentuk harapan yang dipercaya oleh pasangan, sehingga pasangan tidak pernah mengalami kesedihan atau stres yang berkepanjangan dalam menghadapi infertilitas. Pasangan EA juga memiliki kepercayaan bahwa Tuhan memiliki rencana yang baik kepada pasangan, dan tidak ada hal yang tidak baik yang berasal dari

Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan membuat pasangan menganggap pernikahannya tidak mengalami kegagalan karena anak adalah berkat dari Tuhan dan tidak ada manusia yang bisa mengaturnya. Pernyataan pasangan sejalan dengan penemuan penelitian Loftus (2009) yang mengatakan bahwa perempuan infertil yang tergabung dalam kelompok keagamaan menunjukkan Tuhan memiliki rencana lain pada kehidupan pasangan yang belum memiliki anak. Oleh karena itu, mereka memaknai infertilitas yang dialami berdasarkan kisah-kisah dari kitab suci, khususnya mengenai kisah tokoh-tokoh kitab suci yang belum memiliki anak, dan bagaimana sikap Tuhan pada manusia yang belum memiliki anak. Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan juga menyebabkan pasangan memiliki pertumbuhan personal growth yang baik selama pernikahan, pasangan menemukan pemahaman yang positif mengenai kondisi pernikahannya, dan menganggap pernikahannya tidak gagal karena pasangan EA tetap merasa bahagia dengan kondisi pernikahannya. penelitian Prasetyo dan Putra (2017) juga mengatakan bahwa penerimaan dari diri sendiri berupa kesadaran, pemaknaan positif terhadap kondisi childless, hingga adanya pemikiran untuk mencari pengganti dari peran anak, entah melalui pekerjaan maupun dari usaha dalam merawat keponakannya (mencari pengganti peran anak).

Berbeda dengan pasangan EA yang berpasrah dan memiliki pengharapan kepada Tuhan. Faktor internal yang ditemukan oleh pasangan DM adalah penghayatan akan karma. Pasangan menganggap infertilitas yang dialami pasangan adalah karma yang diberikan Tuhan kepada pasangan. Pasangan menganggap bahwa infertilitas adalah jalan hidup atau takdir yang tidak bisa dihindari dan harus dijalani oleh pasangan. Konsep karma yang dipercayai oleh pasangan DM sejalan dengan yang dikemukakan Wigunadika (2018) juga mengatakan hidup mewarisi karma kita sendiri. Kita adalah pembuat karma itu bagi diri sendiri, karma menimpa siapa saja dan karma adalah hukum abadi, karena karma adalah unsur dari hukum sebab akibat. Hukum karma terkenal pula dengan hukum alam yang tiada dapat ditolak oleh siapapun. Orang harus tunduk kepada hukum ini, karena setiap orang tidak dapat menghindarkan diri atau melarikan diri dari hukum karma. Penghayatan akan karma yang dimiliki oleh pasangan DM membuat pasangan meyakini bahwa adanya sesuatu diluar medis yang mengganggu pernikahan pasangan DM sehingga pasangan tidak memercayai adanya ketidaksuburan dalam pernikahan pasangan. Pasangan DM cenderung melakukan pengobatan secara tradisional karena memiliki keyakinan tersebut, hal ini juga ditemukan pada penelitian Abubakar, dkk (2013) bahwa individu akan cenderung melakukan pengobatan tradisional karena merasa adanya penyebab buruk yang berasal dari supranatural. Selain keyakinan akan karma, pasangan DM memiliki pemikiran bahwa pasangan tidak bisa memiliki anak lagi dikarenakan faktor umur dari pasangan DM dan sudah harus menerima kondisi infertilitas yang dialami pasangan DM. Hal ini sejalan dengan pernyataan Vanlandingham (2016) yang mengatakan subjective successful aging bahwa tidak adanya lagi penurunan penerimaan terhadap perubahan ataupun kondisi yang tidak bisa dihindari oleh individu, dan sindividu semakin nyaman dengan diri sendiri seiring bertambahnya usia.

Faktor yang Menurunkan

Pasangan EA dan DM juga memiliki faktor yang dapat menurunkan penerimaan diri pasangan terkait infertilitas. Pada pasangan EA dan DM sama-sama ditemukan adaya kecemasan yang muncul mengenai perawatan hari tua menjadi salah satu faktor yang dapat menurunkan pasangan dalam penerimaan dirinya dan penghargaan dirinya. Pasangan memiliki kecemasan nantinya tidak ada yang menjaga atau merawat pasangan ketika sudah tua, pada pasangan EA ditemukan bahwa frekuensi kecemasan ini tidak muncul sesering pada pasangan DM. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kagitcibasi dan Ataca (2015) yang mengatakan bahwa nilai anak dalam orangtua sangatlah penting, dikarenakan anak akan menjadi pengasuh ataupun merawat orangtua ketika sudah lanjut usia (lansia), dan anak akan menjadi wali bagi para orangtua yang lansia, selain itu juga dikatakan bahwa anak adalah salah satu kunci dalam perawatan lansia yang baik selain mendapatkan kesejahteraan materi.

Penilaian pandangan lingkungan terhadap pasangan DM merupakan faktor lain yang dapat menurunkan penerimaan pasangan DM pada kondisi intertilitasnya. Pasangan sering merasa bahwa lingkungan memberikan stigma negatif kepada pasangan. Tabong dan Adongo (2013) juga menemukan bahwa stigmatisasi yang dilakukan oleh lingkungan sekitar akan mempengaruhi harga dirinya yang dapat membuatnya malu untuk bergaul dan keluar rumah, yang akhirnya banyak individu infertil mengucilkan diri dari acara atau pertemuan untuk menghindari kerabat ataupun teman-temannya. Walaupun pasangan tidak sampai mengucilkan diri pada acara atau pertemuan, pasangan merasa lingkungan sekitar kurang menghargai perasaan kebapakan dan keibuan pasangan karena kondisi pernikahannya tidak memiliki anak.

Pengharapan dan Karma, Perbedaannya Apa?

Selama proses dalam mencapai tahap acceptance dan memiliki harga diri yang positif, kedua pasangan memiliki kesamaan yaitu memiliki keyakinan religius mengenai kondisi pernikahannya. Akan tetapi keyakinan religius yang dimiliki pasangan memiliki perbedaan perspektif.

Koening (dalam Tedjawidjaja & Rahardanto, 2015) harapan adalah dimensi utama dalam individu yang kemungkinan untuk mencapai suatu peristiwa yang bermakna walaupun banyak rintangan. Demikian juga yang terjadi pada pasangan EA, pasangan memiliki harapan yang berasal dari Tuhan mengenai pernikahannya, hal ini yang membuat pasangan tidak berputus asa, tidak mengalami negatif harga diri dan penerimaan diri yang turun akibat dari kondisi pernikahannya walaupun pasangan tidak memiliki anak dalam pernikahannya. Iman dan pengharapan kepada Tuhan juga membuat pasangan tidak mengalami kemarahan kepada Tuhan ataupun menyalahkan Tuhan. Pasangan meyakini bahwa kondisi infertilitas tersebut bukanlah hukuman dari Tuhan kepada pasangan. Hal ini dipercaya pasangan dari ayat alkitab yang berbunyi Hanya sekali Allah menggunakan "kemandulan" sebagai hukuman (2 Samuel 6:20-23). Sebab, sering kali, kemandulan diobati dengan kelahiran tokoh penting, termasuk

Ishak (Kejadian 21:7), Esau dan Yakub (Kejadian 25:21), Simson (Hakim-hakim 13), Nabi Samuel (1 Samuel 1), dan Yohanes Pembaptis (Lukas 1).

Selain pengharapan kepada Tuhan pasangan EA juga memiliki kepercayaan bahwa anak adalah pemeberian ataupun berkat yang diberikan oleh Tuhan, dan bukan sesuatu yang dapat diatur oleh manusia keberadaannya. Hal ini membuat pasangan EA menyerahkan sepenuhnya kondisi pernikahannya, usaha-usaha yang dilakukannya dan semua keinginannya untuk memiliki anak kepada Tuhan. kepercayaan ini juga terjadi dalam penelitian Loftus (2009), perempuan infertil yang tergabung dalam kelompok keagamaan menunjukkan Tuhan memiliki rencana lain pada kehidupan pasangan yang belum memiliki anak. Oleh karena itu, mereka memaknai infertilitas yang dialami berdasarkan kisah - kisah dari kitab suci, khususnya mengenai kisah tokoh-tokoh kitab suci yang belum memiliki anak, dan bagaimana sikap Tuhan pada manusia yang belum memiliki anak.

Wigunadika (2018) mengatakan konsep Sancita karma pala adalah dari perbuatan individu dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan individu yang sekarang. Dahulu sebelum menjelma pada kehidupan sekarang ini, pernah mengalami kehidupan, dimana perbuatan-perbuatan yang individu lakukan pada masa lampau belum habis menerima hukum karma karena badan lebih cepat mengalami kematian daripada hukum, oleh sebab itu Sang Hyang Atman yang kekal abadi dibungkus oleh suksma sarira (badan astral) dan semua perbuatan yang pernah dilakukan akan melekat pada suksma sarira itu memperoleh badan baru, maka suksma sarira itu masuk ke badan baru tersebut dengan membawa karma yang pernah mereka lakukan pada kehidupan di masa lalu. Konsep karma ini juga dipercayai oleh pasangan DM. Pasangan DM memandang pernikahannya adalah sebuah karma yang diberikan oleh Tuhan. Pasangan beranggapan bahwa kegagalan dalam pernikahanya (tidak memiliki anak) adalah karma yang harus ditanggung pasangan DM. Konsep karma pada pasangan DM berdasarkan agama Hindu yang dianut oleh pasangan DM.

Pengharapan dan karma adalah hal yang tidak dapat dikontrol oleh manusia, akan tetapi pengharapan dan karma adalah sesuatu yang sangat berbeda artinya. Pengharapan atau harapan menurut Feldman dan Snyder (2005) merupakan komponen penting untuk memahami makna dari sikap individu dalam mengejar tujuan yang diinginkan. Pasangan EA mengetahui anak adalah pemberian dan berkat dari Tuhan, tetapi pasangan tetap memiliki harapan dengan melakukan pengobatan dan memercayai bahwa Tuhan memiliki rencana baik dalam pernikahannya. Tujuan akhir dari harapan pasangan EA adalah Tuhan sebagai penentu semuanya melalui usaha-usaha yang dilakukan pasangan.

Berbeda dengan konsep harapan yang memungkinkan pasangan EA berusaha dan memiliki pandangan positif dalam pernikahannya, konsep karma menurut Wigunadika (2018) mengatakan konsep Sancita karma pala adalah dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita

yang sekarang. Dengan demikian pasangan DM menganggap pernikahan mereka adalah jalan hidup yang tidak bisa dihindari, hal ini membuat pasangan tidak menunjukkan kepasrahan dalam pernikahannya dan memiliki beliefyang lain terkait kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak.

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Pasangan menikah yang memiliki perasaan positif terkait infertilitasnya cenderung memiliki harga diri yang positif, dan lebih cepat menerima kondisi infertilitasnya. (2) Kedua pasangan memiliki dua cara pandang dalam memandang infertilitas pada pernikahannya, yaitu berdasarkan iman dan penghayatan karma. Pasangan yang mengandalkan iman cenderung memiliki perasaan positif dalam memandang kondisi pernikahannya, memiliki penerimaan diri cenderung lebih baik dan cepat dan cenderung memiliki penghargaan diri yang lebih positif. Pasangan yang memiliki penghayatan karma terkait kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak cenderung memiliki perasaan negatif, tidak percaya adanya ketidaksuburan dalam pernikahannya, dan tidak memiliki perasaan positif dalam kondisi pernikahannya, sehingga cenderung menimbulkan harga diri yang negatif dan sedikit lebih lama dalam menerima kondisi pernikahannya. (3) Pasangan memiliki faktor eksternal dan internal dalam meningkatkan penerimaan diri pada pernikahannya. Faktor eksternalnya antara lain: dukungan pasangan, dukungan keluarga, lingkungan modern, kualitas hubungan yang baik dengan pasangan, tidak ada pertengkaran akibat infertilitas dan keberhargaan pernikahan. (3) Kecemasan akan perawatan hari tua, perasaan iri ketika melihat anak kecil, penilaian pandangan orang lain terhadap pernikahannya adalah faktor-faktor yang dapat menurunkan penerimaan diri pasangan. (4) Tindakan yang dilakukan pasangan untuk meningkatkan penerimaan terkait kondisi pernikahannya berfokus pada dua, yaitu berfokus pada pasangan dan berfokus pada diri. Tindakan yang berfokus pada pasangan, kedua pasangan melakukan kegiatan bersama pasangannya. Tindakan yang berfokus pada diri, pasangan EA berserah dan berpasrah kepada Tuhan dan pasangan DM tidak terlalu berfokus pada kondisi pernikahannya yang tidak memiliki anak.

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini, peneliti dapat memberikan saran dan rekomendasi kepada pihak-pihak yang terkait sebagai berikut.

Saran kepada pasangan menikah tidak memiliki anak untuk tetap memiliki perasaan positif dalam menghadapi kondisi infertilitasnya, agar memiliki harga diri yang positif dalam pernikahannya, meningkatkan iman dan kepercayaan kepada Tuhan agar tetap memiliki perasaan positif sehingga cenderung memiliki penghargaan diri yang positif dan menerima kondisi infertilitasnya dan koping terhadap diri sendiri dan pasangan merupakan hal yang sangat penting, disarankan agar pasangan mempertahankan koping tersebut agar tetap memiliki penghargaan diri yang positif dan penerimaan diri yang baik terhadap kondisi infertilitasnya.

Saran kepada pihak keluarga untuk selalu memberikan dukungan emosional dan keleluasaan pengambilan keputusan

kepada pasangan seperti yang sudah dilakukan sampai sekarang, mengingat bahwa dukungan keluarga merupakan faktor eksternal dalam meningkatkan penerimaan diri dan memiliki harga diri yang positif pada pasangan menikah yang tidak memiliki anak.

Saran kepada masyarakat agar untuk tidak memberikan stigma negatif dan tekanan kepada pasangan menikah yang tidak memiliki anak, karena hal tersebut bisa menjadikan stres tersendiri pada pasangan, karena tidak semua pasangan dapat menerima stigma tersebut dan menjadikannya motivasi.

Saran kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti harga diri dan penerimaan diri pasangan menikah tidak memiliki anak yang tinggal di pedesaan dan tinggal bersama mertua, dan meneliti pasangan menggunakan aspek agama yang sama unutk melihat apakah ada perbedaan koping yang dilakukan pada pasangan menikah yang tidak memiliki anak dengan agama yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar A, dkk (2013). Socio-Cultural Determinants of HealthSeeking Behaviour on the Kenyan Coast: A Qualitative Study.      PLoS      ONE      8(11):      e71998.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0071998. Retrieved from:

https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal. pone.0071998 diakses pada: 20 Februari 2019

Alfriane, Santoso, & H., Girsang, V. I. (2017). Mekanisme koping pasangan yang mengalami infertilitas pada suku karo di kec. Kutabuluh kab. Karo. Jurnal Ilmiah Maksitek. 2. 1019.    ISSN:    2548-429X.    retrieved    from    :

http://sciencemakarioz.org/jurnal/index.php/maksitek/articl e/view/177. Diakses pada: 30 Januari 2019

Dekar, P. K., Sarma, S. (2010). Psychological aspects of infertility. British Journal of Medical Practitioners. 3(3),  1-4.

Retrieved from : http://www.bjmp.org/files/2010-3-3/bjmp-2010-3-3-a336.pdf. Diakses pada: 12 Januari 2019

Djuwantono, Tono, dkk. (2008). Hanya 7 Hari Memahami Infertilitas. Bandung: Refika Aditama.

Dr. dr. Trihono. (2031). Riset kesehatan dasar: RISKESDAS 2013. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI.

Duvall, E.M, & Miller, B.C.(1985). Marriage and Family development. USA : Harper & Row Publisher,Inc.

Elvina, & Maulina, V. V. (2015). Gambaran self-esteem pada pasangan suami-istri yang mengalami infertilitas. Jurnal Konseling dan Keluarga ,  72-85. Retrieved from :

ojs.atmajaya.ac.id/index.php/manasa/article/view/691.

Diakses pada: 5 Januari 2019

Emzir. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan:Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers.

Estherline, S.H., Widayanti, C. G. (2016). Makna infertilitas bagi istri dalam keluarga jawa. Jurnal Empati. 5(2). 276-281.

Retrieved                     from                     :

https://media.neliti.com/media/publications/63675-ID-makna-infertilitas-bagi-istri-dalam-kelu.pdf. Diakses pada: 9 Februari 2019

Feldman, R. S. (2005). Essentials of understanding psychology. Sixth Edition. New York: McGraw Hill Companies, Inc.

Harsyah, N. R., & Ediati , A. (2015). Perbedaan sikap laki-laki dan perempuan terhadap infertilitas. Jurnal Empati, 4 (4), 225232.                   Retrieved                  from:

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=47274 9&val=4725&title=PERBEDAAN%20SIKAP%20LAKI-LAKI%20DAN%20PEREMPUAN%20TERHADAP%20I NFERTILITAS. Diakses pada: 3 Oktober 2018

Harvard Medical School. (2009). The psychological impacts of infertility and its impact. Harvard Mental health lLetter. Retrieved                     from:

https://www.health.harvard.edu/newsletter_article/The-psychological-impact-of-infertility-and-its-treatment.

Diakses pada : 3 Februari 2019

Kagitcibasi, C., & Ataca, B. (2015). Value of Children, Family Change, and Implications for the Care of the Elderly. Cross Cultural     Research,      49,     374-392.DOI:

10.1177/1069397115598139.    Retrieved    from:

https://www.researchgate.net/publication/282421543_Valu e_of_Children_Family_Change_and_Implications_for_the_ Care_of_the_Elderly. Diakses pada : 2 Januari 2019

Kartono, K. (2007). Psikologi Wanita jilid 2: Mengenal Wanita sebagai Ibu dan Nenek. Bandung: Mandar Maju.

Kasnodihardjo. (2014). Nilai anak dalam keluarga dan upaya pemeliharaan kesehatannya (sebuah studi etnografi di desa gadingsari, kabupaten bantul) Jurnal Ekologi Kesehatan. 13,          354-362.          Retrieved          from

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/vie w/4650/4155. Diakses pada: 10 Februari 2019

Loftus, J. (2009). “Oh, No, I’m Not Infertile”: culture, support groups, and the infertility identity. Sociological Focus, 42, 4,   394-416. DOI: 10.1080/00380237.2009.10571364.

Retrieved                     from                     :

https://www.researchgate.net/publication/271749130_Oh_ No_I%27m_Not_Infertile_Culture_Support_Groups_and_t he_Infertile_Identity diakses pada: 2 Februari 2019

Mardian, R., Kustanti, E. R. (2016). Kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Jurnal Empati. 5(8).       558-562.       Retrieved       from       :

https://media.neliti.com/media/publications/66798-ID-kepuasan-pernikahan-pada-pasangan-yang-b.pdf. Diakses pada: 9 Februari 2019

Moleong, Lexy. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Roasdakarya.

Muslimah, A. I. (2014). Kepuasan pernikahan ditinjau dari keterampilan komunikasi interpersonal. Jurnal Soul, 7(2). 1-8.             Retrieved             from             :

http://academicjournal.yarsi.ac.id/index.php/Jurnal-Online-

Psikogenesis/article/view/351 diakses pada: 1 Februari 2019

Novrika. (2017). Hubungan mekanisme koping dengan tingkat kecemasan pada pasangan infertil di RSIA Annisa Jambi tahun 2015. Jurnal Riset Informasi Kesehatan Dasar. 6(2). 184-190.    Retrieved from :    http://www.stikes-

hi.ac.id/jurnal/index.php/rik/article/view/97. Diakses pada: 9 Februari 2019

Prasetyo, I. H., & Putra, B. A. (2017). Penerimaan diri pada wanita involuntary childless (ketiadaan anak tanpa kerelaan). Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial,  6,  39-48.

retrieved from: http://repository.unair.ac.id/66133/. diakses pada: 3 Desember 2018

Ruslan, I. (2017). "Nilai anak" dalam perspektif multi etnik dan agama. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, 8, 1833.             Retrieved             from             :

http://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/view/23861 . Diakses pada: 6 September 2018

Strauss, A. & Corbin, J. (2003). Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tabong, P. T. N., & Adongo, P. B. (2013). Infertility and

childlessness: A qualitative study of the experiences of infertile couples in Northern Ghana. BMC Pregnancy and

Childbirth, 13. https://doi.org/10.1186/1471- 2393-13-72.

Retrieved                     from                     :

https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/articles/ 10.1186/1471-2393-13-72. Diakses pada: 8 Januari 2019

Tedjawidjaja, D., & Rahardanto, M. S. (2015). Antara harapan dan takdir: resolution to infertility pada perempuan infertile. Jurnal Experientia, 3,  109-119. Retrieved from :

https://media.neliti.com/media/publications/231799-antara-harapan-dan-takdir-resolution-to-96328b0c.pdf. Diakses pada: 3 Januari 2019

Vanlandingham, C. (2016). Taking a subjective and objective look at what it means to age well. Michigan. Retrieved from : https://www.areaagencyonaging.org/weekly-columns/1592-taking-a-subjective-and-objective-look-at-what-it-means-to-age-well-christine-vanlandingham-august-21-2016.

Diakses pada: 4 Februari 2019

Wigunadika, I Wayan. S. (2018). Membangkitkan kembali karma phala seagai pilar keyakinan agama hindu. Jurnal Purwadita. 2, 82-86. ISSN: 2549-7928. Retrieved from: http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/Purwadita/art icle/view/24. Diakses pada: 13 Januari 2019

LAMPIRAN


Gambar1. Gambaran Pernikahan Tidak Memiliki Anak Pasangan EA


Faktor Penghambat


Perasaan iri melihat anak kecil

Adanya sedikit perasaan cemas ketika tua (frekuensi tidak terlalu sering)


CopirJfJ yang hcrfe⅛⅛⅛<.



^


Faktor yang meningkatkan Internal

  • •    Iman

  • •    Personal growth yang tumbuh saat pernikahan

Eksternal

  • *    Saling mendukung

  • *    Pandangan positif pasangan

  • *    Dukungan keluarga

  • *    Lingkungan yang modern

  • *    Hubungan romantis dengan pasangan

  • *    Tidak pernah ada pertengkaran akibat infertilitas

  • •    Kcbcrhargaan pernikahan


Gambar 2. Gambaran Pernikahan Tidak Memiliki Anak Pasangan DM


I


Faktor yang menurunkan Internal

  • •    Perasaan cemas mengenai hari tua yang muncul ketika dalam keadaan sakit

  • •    Pcnilaian terhadap pandangan orang lain mengenai Dcrnikahannya


2.


a. Berserah kepada Tuhan

b- SKASAR kesibukan yang lain


  • a.    Melakukan kegiatan dengan pasangan

  • b.    Menikmati pernikahan seperti fase pacaran


Harga diri yang positif, acceptance


bahagia bersama

pasangan


68



Faktor yang meningkatkan Internal

  • •    Karma

  • •    Umur yang tidak produktif Eksternal

  • •    Komunikasi yang baik dengan pasangan

  • •    Dukungan emosional dari pasangan

  • •    Dukungan keluarga

  • •    Lingkungan yang modern

  • •    Kualitas hubungan pernikahan yang baik

  • •    Tidak pernah ada pertengakaran diakibatkan keadaan infertilitas

  • •    Kcbcrhargaan pernikahan


  • a.    Tidak berfokus atau terlalu memikirkan pernikahannya yang tidak memiliki anak

  • 2.    EA⅛U⅛AJkλ

a∙ 0JαJ⅛^sakWΛA3 (komunikasi) dengan pasangan

  • b.    Melakukan kegiatan diluar pekerjaan dengan pasangan


Harga diri yang stabil, acceptance


pada kesehatan dan kebahagiaa n pasangan


121