Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental dan Budaya 1, 35-43


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607

Peran problem focused coping dan emotional focused coping terhadap. kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas

Coresy Aquindo Tedjo Prajogo dan Putu Nugrahaeni Widiasavitri

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

putu_nugrahaeni@unud.ac.id

Abstrak

Kepuasan pernikahan merupakan hal penting yang diperlukan dalam sebuah rumah tangga terutama bagi istri yang mengalami infertilitas. Salah satu faktor yang memengaruhi kepuasan pernikahan adalah problem focused coping dan emotional focused coping. Problem focused coping adalah strategi yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan, emotional focused coping adalah strategi untuk meredakan emosi individu yang menimbulkan pengaruh negatif. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif untuk mengetahui peran koping stres terhadap kepuasan pernikahan terhadap istri yang mengalami infertilitas. Subjek penelitian ini terdiri dari 60 istri yang mengalami infertilitas dengan teknik purposive sampling. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan skala problem focused coping dengan reliabilitas 0,758, emotional focused coping dengan reliabilitas sebanyak 0,837 dan skala kepuasan pernikahan dengan reliabilitas sebesar 0,908. Hasil uji regresi berganda menunjukkan nilai R=0,485 dan adjusted R square sebesar 0,235. Hal tersebut menjelaskan bahwa problem focused coping dan emotional focused coping memiliki peran sebesar 23,5% terhadap kepuasan pernikahan sehingga disimpulkan bahwa problem focused coping dan emotional focused coping berperan terhadap kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas.

Kata kunci: Emotional focused coping, focused coping, infertilitas, istri, kepuasan pernikahan.

Abstract

Marriage satisfaction is importantly needed by a household especially by the one in which the wife is suffering from infertility. One of the factors which contributes to the marriage satisfaction of the wife with infertility is problem focused coping and emotional focused coping. Problem focused coping is a strategy used in solving problems. Coping that focuses on emotions is a strategy to relieve individual emotions that attract negative influences This current study is a quantitative one, which was intended to identify the contribution of the stress coping to the marriage satisfaction of the wife with infertility. The subject of the study included 60 wives with infertility and was determined using the purposive sampling technique. The stress coping scale with the reliability of 0.758, emotional focused coping with the reliability of 0,837 and the marriage satisfaction scale with the reliability of 0.908 were used as the measuring instruments. The result of the multiple regression showed that R was equal to 0.485 and the adjusted R square was equal to 0.235, meaning that the problem focused coping dan emotional focused coping contributed 23,5% to the marriage satisfaction; therefore, it could be concluded that the problem focused coping dan emotional focused coping contributed to the marriage satisfaction with the wife with infertility.

Keywords: Emotional focused coping, infertility, marriage satisfaction, problem focused coping,wife.

PENDAHULUAN

Kepuasan pernikahan merupakan evaluasi terhadap pernikahan yang mencakup keluarga dan teman, hubungan seksual, kegiatan mengisi waktu luang, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, komunikasi, kesetaraan peran, orientasi keagamaan dan pengasuhan anak (Fower dan Olson, 1993). Menurut Papalia, dkk (2008) faktor yang memengaruhi kepuasan pernikahan diantaranya komitmen, pola interaksi, usia pernikahan, agama, dukungan dan harapan yang diinginkan oleh pasangan. Selain itu, salah satu faktor kepuasan pernikahan yaitu anak menjadi hal yang penting dalam kepuasan pernikahan karena, memiliki anak akan memengaruhi kualitas kepuasan pernikahan dan memberikan berbagai keuntungan psikologis seperti pasangan yang bertanggung jawab, serta mempunyai tujuan dalam hidupnya (Atwater, 1983).

Orangtua yang memiliki anak akan merasa bahagia karena melihat anak yang beranjak dewasa, anak akan merawat orangtuanya, membentuk anak sesuai keinginan orangtua, merasa dicintai dan menjadi teman terbaik bagi orangtua (Santrock, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Gallup dan Newport (dalam Bird & Melville, 1994) menemukan hal positif yang diperoleh pasangan atas kehadiran anak dalam pernikahannya, diantaranya anak memberikan kasih sayang kepada orangtua, orangtua memperoleh kesenangan dengan melihat perkembangan anak, anak memberikan kebahagiaan, anak melengkapi status pasangan menjadi sebuah keluarga dan anak membawa pemenuhan dan kepuasan kepada orangtua.

Anak adalah sesuatu yang didambakan oleh setiap pasangan yang baru menikah. Mempunyai seorang anak tentu membuat sebuah keluarga semakin lengkap dan sempurna (Hurlock, 1980). Anak suatu pengharapan yang sangat diinginkan bagi setiap pasangan, tetapi beberapa pasangan yang menginginkan anak, namun tak kunjung hadir. Penelitian yang dilakukan oleh Mardiyan dan Ratna (2016) mengenai kepuasan pernikahan pasangan yang belum memiliki keturunan. Perasaan ketika tidak memiliki seorang anak yang dialami oleh pasangan seperti sedih, ketidaknyamanan dan kejenuhan dalam pernikahan karena tidak kunjung mendapatkan anak.

Pasangan yang sudah lama mendambakan anak tetapi tak kunjung memiliki anak biasanya memunculkan pemikiran seperti ketidakmampuan dalam mengurus anak dan kecacatan secara emosional atau fisik. Salah satu faktor lainnya yang menyebabkan pasangan tidak bisa memiliki anak yaitu infertilitas (David, 2013).

Infertilitas merupakan ketidakmampuan sesorang yang ditandai dengan kegagalan untuk memiliki keturunan meskipun sudah melakukan aktivitas seksual dua hingga tiga kali dalam seminggu dan dilakukan selama satu tahun berturut-turut tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Hochchild dan Adamson, 2017).

Infertilitas bisa dialami oleh laki-laki maupun perempuan, atau mungkin juga kedua-duanya sekaligus. Salah satu penyebab infertilitas seperti stres. Infertilitas didiagnosis setelah pasangan telah melakukan hubungan seksual tanpa alat

kontrasepsi dan tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan selama 12 bulan atau lebih (Muryanta, 2002). Kondisi infertilitas seringkali tidak dapat diantisipasi, sangat menekan dan merupakan peristiwa yang dapat mengubah kehidupan seseorang (Papalia, 2007). Menurut Menning (dalam Peterson, 2003) infertilitas dapat memengaruhi kehidupan pernikahan secara emosional. Menurut McQuilan, Greil, White dan Jacob (dalam Papalia, 2007). ketika pasangan sudah dinyatakan tidak akan bisa memiliki anak, ini dapat menyebabkan pasangan mengalami tekanan psikologis jangka panjang. Keadaan infertilitas juga sangat berpengaruh terutama bagi perempuan sebagai seorang istri dalam konteks budaya patriarki (Demartoto, 2008).

Istri yang sering disalahkan ketika mengalami infertilitas memiliki perasaan sedih dan cemas karena lingkungan yang menuntut untuk memiliki anak tetapi, istri akan merespon dengan tabah dan memandang suatu kehidupan seperti biasanya. Selain itu, istri akan melakukan aktivitas dengan menyibukkan diri seperti melakukan pekerjaan ringan agar tidak memikirkan masalah yang dihadapi. Menurut Nolen Hoeksema, Laron, dan Grayson (dalam Baron, 2003) istri yang mengalami permasalahan karena tekanan sosial akan mempertahankan dan memperjuangkan kemurah-hatian, bertanggung jawab akan kesejahteraan orang lain walaupun mendapatkan tekanan berbagai pihak seperti suami dan keluarga.

Stres dapat timbul bagi istri yang mengalami infertilitas ketika mengalami situasi negatif. Stres merupakan kondisi individu yang dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut kasdu (2002) stres akibat infertilitas dibedakan menjadi dua yaitu stres eksternal dan stres internal. Stres eksternal terjadi di lingkungan sekitar yang mendesak seorang istri untuk mempunyai anak. Stres internal seperti menjalani serangkaian pemeriksaan pengobatan yang tinggi, pengobatan serta harapan untuk memiliki anak dan meluangkan waktu untuk berobat. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya keseimbangan antara tekanan yang dihadapi dan kemampuan untuk menghadapi tekanan tersebut sehingga seorang istri memunculkan reaksi stres.

Reaksi-reaksi stres yang dapat timbul seperti reaksi fisik, reaksi emosional, reaksi kognitif dan interpersonal. Reaksi fisik seperti susah tidur, sakit kepala, dan tekanan darah naik. Reaksi emosional seperti mudah tersinggung, cemas dan moody. Reaksi kognitif seperti mudah lupa, daya konsentrasi menurun dan pikiran menjadi kacau. Reaksi interpersonal seperti curiga pada orang lain, menyalahkan orang lain dan masalah seksual dengan pasangan (Braham, 1990). Teori ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2016) mengenai masalah psikologis pada seorang istri yang tidak memiliki anak. Penelitian ini menyebutkan bahwa stres yang dialami oleh seorang istri yang tidak memiliki anak diantaranya denyut jantung menjadi lebih cepat, sedih, suasana hati tidak menentu, pendiam, pola tidur berubah, murung dan tidak bersemangat, malu dan bingung. Gangguan perasaan seperti sedih, merasa Tuhan tidak adil, mudah tersinggung, iri, menghindari keramaian, merasa tidak sempurna dan menyalahkan diri sendiri atau suami. Hasil penelitian dilakukan oleh Azizah (2016) dapat dijelaskan bahwa seorang

istri yang mengalami stres perlu melakukan tindakan dalam mengelola stres. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) pengelolaan stres bisa dilakukan dengan berfokus pada masalah yang terjadi atau berfokus pada emosi dalam memecahkan masalah. Pengelolaan stres disebut dengan koping stres.

Menurut rasmun (2004) koping stres merupakan proses individu dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi koping stres seperti keyakinan, pandangan positif, kesehatan fisik, keterampilan dalam memecahkan masalah, dukungan sosial dan keterampilan social (Mu’tadin, 2002). Menurut Lazarus (dalam Safaria, 2009) strategi koping bisa digunakan untuk menghadapi situasi yang penuh dengan tekanan baik internal maupun eksternal. Strategi koping memiliki dua fungsi yang berbeda yaitu perilaku yang problem focused coping adalah strategi untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang banyak tekanan dilihat dari pendirian terhadap pasangan, mencari dukungan sosial dan merencanakan pemecahan masalah. Selanjutnya adalah perilaku yang emotion focused coping yaitu strategi mengatur emosi terhadap situasi menekan dengan mengontrol diri, membuat jarak dengan lingkungan, mampu menerima masalah yang dihadapi, menghindar dari masalah Folkman & Lazarus (dalam Sarafino, 2002).

Peneliti melakukan wawancara terkait dengan penggunaan koping stres yang dilakukan oleh seorang istri yang mengalami infertilitas. Wawancara dilakukan kepada YL dan MT menunjukkan bahwa keduanya menerima keadaan diri dengan perilaku yang berbeda-beda. YL melakukan koping stres dengan cenderung berfokus pada masalah yaitu melakukan alternatif pengobatan untuk memiliki anak sedangkan, MT tidak melakukan alternatif pengobatan dan merasa bahwa MT baik-baik saja. Selain itu, YL dan MT melakukan koping stres dengan cenderung berfokus pada emosional seperti memahami rencana Tuhan jauh lebih indah dan tepat pada waktunya dan berserah kepada Tuhan walaupun belum diberikan anak, mendapatkan dukungan dari suami. Koping stres yang dilakukan oleh YL dan MT memiliki peran terhadap kepuasan pernikahan karena bagi YL dan MT tidak hanya soal anak tetapi komitmen, komunikasi, keterbukaan, saling memahami, mencari solusi dalam setiap permasalahan dan mengalah satu sama lain (Prajogo, 2018). Berdasarkan latar belakang diatas, ide penelitian ini ingin mengetahui peran problem focused coping dan emotional focused coping terhadap kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah problem focused coping dan emotional focused coping, sedangkan variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepuasan pernikahan. Adapun definisi operasinal dari masing-masing variabel penelitian ialah sebagai berikut: Kepuasan pernikahan

Kepuasan pernikahan merupakan evaluasi terhadap kepuasan pernikahan yang dirasakan pasangan suami istri mencakup

puas, komunikasi, menghargai, kegiatan mengisi waktu luang, perasaan bahagia, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, saling memahami, hubungan seksual, keluarga dan teman, kesetaraan peran, pengasuhan anak, menyenangkan, mampu memenuhi kebutuhan masing-masing, menciptakan harapan-harapan yang dibawa sebelum pernikahan walaupun terdapat suatu konflik, stres dan perasaan kecewa terhadap pernikahannya. Alat ukur untuk mengukur kepuasan pernikahan menggunakan alat ukur yang disusun sendiri oleh peneliti menurut teori Fower dan Olson (1993) dengan aspek yaitu waktu luang, hubungan seksual, orientasi agama, komunikasi, resolusi konflik, manajemen keuangan, anak-anak, keluarga dan teman, isu kepribadian, pengasuhan dan kesamaan peran. Semakin tinggi skor total maka semakin tinggi taraf kepuasan pernikahan.

Problem focused coping

Problem focused coping merupakan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dengan cara mempelajari cara-cara dan keterampilan yang baru dalam mengurangi stressor, melakukan sesuatu yang konstruktif terhadap kondisi stresfull yang membahayakan, mengancam atau menantang bagi seseorang, mendefinisikan suatu masalah, menghasilkan solusi alternatif, mempertimbangkan alternatif secara efisien, memilih alternatif dan bertindak. Alat ukur untuk mengukur problem focused coping pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang diadaptasi oleh peneliti menurut teori Lazarus dan Folkman (1984) yaitu problem-focused coping yang mencakup aspek planful problem solving, confrontive coping dan seeking social support. Semakin tinggi skor total yang diperoleh maka semakin tinggi problem focused coping yang digunakan.

Emotional focused coping

Emotional focused coping merupakan strategi untuk meredakan dan mengendalikan reaksi emosi individu yang muncul akibat dari sumber permasalahan individu yang menimbulkan dampak negatif. Alat ukur untuk mengukur emotional focused coping pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang diadaptasi oleh peneliti menurut teori Lazarus dan Folkman (1984) yaitu emotional focused coping yang mencakup aspek distancing, self-control, accepting responsibility, escape-avoidance dan positive reappraisal. Semakin tinggi skor total yang diperoleh maka semakin tinggi emotional focused coping yang digunakan.

Responden

Populasi dalam penelitian ini yaitu istri yang mengalami infertilitas. Karakteristik populasi dalam penelitian ini yakni pertama seorang istri, kedua mengalami infertilitas primer maupun sekunder, ketiga berusia antara 20 tahun hingga 35 tahun dan minimal pernikahan satu tahun. Jumlah subjek pada penelitian ini berjumlah 60 orang.

Teknik sampling merupakan teknik yang digunakan untuk mengambil sampel (Sugiyono, 2014). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan salah satu teknik nonprobability sampling yaitu dengan sampling purposive. Sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2014). Jumlah sampel minimum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 60 orang.

Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2018 hingga Agustus 2018. Penelitian dilakukan dengan cara mengunjungi rumah sakit negeri, swasta di Denpasar dan mencari subjek sesuai karakteristik dengan memberikan kuesioner kepada responden.

Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah skala Kepuasan Pernikahan, Skala Problem Focused Coping dan Skala Emotional Focused Coping. Skala Kepuasan Pernikahan disusun berdasarkan 10 aspek yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (1993), skala Problem Focused Coping disusun berdasarkan tiga aspek yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1983) dan skala Emotional Focused Coping disusun berdasarkan lima aspek yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1983).

Skala Kepuasan Pernikahan terdiri dari 41 aitem pernyataan. Pada skala Kepuasan Pernikahan terdapat 4 respon jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Pernyataan dalam aitem favorable memiliki skor jawaban sangat sangat setuju (SS) diberi skor 4, setuju (S) diberi skor 3, tidak setuju (TS) diberi skor 2, dan sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1. Pernyataan dalam aitem unfavorable memiliki skor jawaban sangat sangat setuju (SS) diberi skor 1, setuju (S) diberi skor 2, tidak setuju (TS) diberi skor 3, dan sangat tidak setuju (STS) diberi skor 4.

Skala Problem Focused Coping terdiri dari 8 aitem pernyataan, dan Skala Emotional Focused Coping terdiri dari 14 aitem pernyataan. Pada skala Problem Focused Coping dan Skala Emotional Focused Coping terdapat 4 respon jawaban, yaitu sangat sering (SS), sering (S), jarang (J), dan sangat jarang (SJ). Pernyataan dalam aitem jawaban sangat sering (SS) diberi skor 4, sering (S) diberi skor 3, jarang (J) diberi skor 2, dan sangat jarang (SJ) diberi skor 1.

Rentang koefisien korelasi aitem total skala Kepuasan Pernikahan pada saat pengujian validitas berada dari rentang 0,260 sampai 0,805. Hasil reliabilitas Kepuasan Pernikahan dengan menggunakan Cronbach Alpha (α) yaitu 0.908. Alpha (α) sebesar 0,908 menunjukkan bahwa 90,8% variasi skor subjek pada skala ini adalah skor murni yang berarti bahwa skala Kepuasan Pernikahan dapat digunakan untuk mengukur taraf Kepuasan Pernikahan.

Rentang nilai koefisien korelasi aitem total skala Problem Focused Coping pada saat pengujian validitas berada dari rentang 0,279 sampai 0,500. Hasil reliabilitas Problem Focused Coping menggunakan Cronbach Alpha (α) yaitu 0,758. Alpha (α) sebesar 0,758. menunjukkan bahwa 75,8% variasi skor subjek pada skala ini adalah skor murni. Hasil tersebut menjelaskan bahwa skala Problem Focused Coping dapat digunakan untuk mengukur taraf Problem Focused Coping.

Nilai koefisien korelasi aitem total skala Emotional Focused Coping pada saat pengujian validitas berada dari rentang 0,258 sampai 0,583. Hasil reliabilitas Emotional Focused Coping menggunakan Cronbach Alpha (α) sebesar 0,837. Alpha (α) sebesar 0,837. menunjukkan bahwa 83,7% variasi skor subjek pada skala ini adalah skor murni. Hasil tersebut menggambarkan skala Emotional Focused Coping dapat digunakan untuk mengukur taraf Emotional Focused Coping.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan untuk dapat menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah regresi berganda. Teknik analisis regresi berganda merupakan teknik statistik parametrik. Analisis ini digunakan untuk menguji hipotesis pada penelitian yang menggunakan dua atau lebih variabel bebas untuk melakukan prediksi terhadap variabel tergantung (Field, 2009).

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Subjek dalam penelitian ini merupakan istri yang mengalami infertilitas. Apabila dilihat berdasarkan usia, sebagian besar subjek dalam penelitian ini berusia 28 tahun dengan persentase sebesar 21,7%. Apabila dilihat berdasarkan infertilitas, sebagian besar subjek dalam penelitian ini mengalami infertilitas primer, dengan persentase sebesar 70%. Apabila dilihat berdasarkan usia pernikahan sebagian besar subjek berada pada usia pernikahan 3 tahun dengan persentase sebesar 33,3%. Apabila dilihat berdasarkan pekerjaan, sebagian besar subjek memiliki pekerjaan diluar rumah dengan persentase sebesar 78,3%.

Deskripsi Data Penelitian

Hasil deskripsi data penelitian kepuasan pernikahan, problem focused coping dan emotional focused coping dapat dilihat pada tabel 1 (terlampir).

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan memiliki nilai rata-rata teoretis sebesar 102,5 dan nilai rata-rata empiris sebesar 140,57 yang menghasilkan perbedaan sebesar 38,07. Nilai rata-rata empiris yang diperoleh lebih besar dari nilai rata-rata teoretis (nilai mean empiris > nilai mean teoretis) yang dapat dijelaskan bahwa responden penelitian ini memiliki kepuasan pernikahan yang tinggi.

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa problem focused coping memiliki nilai rata-rata teoretis sebesar 20 dan nilai rata-rata empiris sebesar 20,83 yang menghasilkan perbedaan sebesar 0,83. Nilai rata-rata empiris yang diperoleh lebih besar dari nilai rata-rata teoretis (nilai mean empiris> nilai mean teoretis) yang dapat dikatakan bahwa responden penelitian ini memiliki problem focused coping yang tinggi.

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa emotional focused coping memiliki nilai rata-rata teoretis sebesar 35 dan nilai rata-rata empiris sebesar 45,93 yang

menghasilkan perbedaan sebesar 10,93. Nilai rata-rata empiris yang diperoleh lebih besar dari nilai rata-rata teoretis (nilai mean empiris > nilai mean teoretis) yang dapat dikatakan bahwa responden penelitian ini memiliki emotional focused coping yang tinggi.

Uji Asumsi

Uji normalitas dilakukan dengan Kolmogorov-Smirnov. Data penelitian dikatakan berdistribusi normal jika probabilitas lebih besar daripada 0,05 (p>0,05). Variabel Kepuasan Pernikahan memiliki taraf signifikansi sebesar 0,584 (p>0,05). Variabel Problem Focused Coping memiliki taraf signifikansi sebesar 0,284 (p>0,05). Variabel Emotional Focused Coping memiliki taraf signifikansi sebesar 0,542 (p>0,05). Berdasarkan hasil tersebut, maka disimpulkan bahwa seluruh data pada penelitian ini berdistribusi normal.

Uji lineritas dilakukan dengan Compare Mean-Test for Linearity. Nilai probabilitas dapat dilihat pada Deviation from Linierity apabila nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0.05) maka hubungan antara kedua variabel dinyatakan linier (Gunawan, 2013). Variabel Kepuasan Pernikahan dengan Problem Focused Coping memiliki taraf siginifikansi Linearity sebesar 0,001. Kepuasan pernikahan dengan Kepuasan pernikahan dengan Emotional Focused Coping memiliki taraf siginifikansi Linearity sebesar 0,005. Berdasarkan hasil tersebut, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara Kepuasan Pernikahan dengan Problem Focused Coping dan Kepuasan pernikahan dengan Emotional Focused Coping.

Uji multikolinieritas dengan memperhatikan Tolerance Value atau nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika Tolerance Value ≥ 0,1 atau VIF ≤ 10, maka dapat dikatakan tidak terjadi multikolinieritas (Field, 2009). Variabel Problem Focused Coping memiliki nilai Tolerance sebesar 0,955 dan nilai VIF sebesar 1,047. Variabel Emotional Focused Coping memiliki nilai Tolerance sebesar 0,955 dan nilai VIF sebesar 1,047. Berdasarkan hasil tersebut, maka disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas antara variabel bebas.

Berdasarkan uji multikolinearitas uji normalitas dan uji linearitas yang telah dilakukan maka dapat dikatakan data dalam penelitian ini tidak ada multikolinearitas, berdistribusi normal dan menunjukkan hubungan yang linear sehingga dapat melanjutkan uji analisis menggunakan analisis regresi berganda.

Uji Hipotesis

Hasil uji regresi berganda variabel problem focused coping dan emotional focused coping terhadap kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas dapat dilihat pada tabel 2 (terlampir).

Hasil uji regresi berganda pada tabel 2 menunjukkan bahwa hasil nilai F hitung yaitu 8,744 dan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Nilai pada signifikansi (0,000) lebih kecil dari 0,05 (0,000<0,05) sehingga bisa dikatakan uji regresi variabel problem focused coping dan emotional focused coping terdapat peran terhadap kepuasan pernikahan.

Tabel 3 (terlampir) menunjukkan R sebesar 0,485 dan R Square adalah 0,235. Berdasarkan uji regresi berganda dapat disimpulkan bahwa problem focused coping serta emotional focused coping memberikan sumbangan sebesar 23,5 %

terhadap kepuasan pernikahan. Sedangkan sebanyak 76,5% dipengaruhi oleh faktor yang tidak diteliti.

Uji hipotesis dengan analisis menggunakan teknik regresi berganda pada tabel 4 (terlampir) menunjukkan bahwa variabel Problem Focused Coping memiliki koefisien beta terstandarisasi 0,374 dan nilai t sebesar 3,159 dengan nilai signifikansi 0,003 (0.003< 0,05) yang berarti bahwa Problem Focused Coping berperan secara signifikan terhadap kepuasan pernikahan. Variabel Emotional Focused Coping memiliki koefisien beta terstandarisasi 0,238 dan nilai t sebesar 2,011 dengan nilai signifikansi 0,049 (0,049 > 0,05) yang berarti bahwa Emotional Focused Coping berperan secara signifikan terhadap kepuasan pernikahan.

Penelitian ini menggunakan dua variabel bebas, sehingga diperoleh persamaan garis regresi yaitu :

(Y = {75,952 + [(1,785)(X1)+ [(0,597)(X2)]} dengan keterangan sebagai berikut :

Y = Kepuasan Pernikahan

X1 = Problem Focused Coping

X2 = Emotional Focused Coping

Persamaan garis regresi tersebut memiliki arti sebagai berikut: a. Konstata sebesar 75,952 menyatakan bahwa jika tidak ada penambahan atau pengurangan skor pada problem focused coping dan emotional focused coping, maka taraf kepuasan pernikahan sebesar 75,952.

b. Koefisien regresi X1 sebesar 1,785 yang menyatakan bahwa setiap penambahan satuan skor subjek pada variabel problem focused coping, maka akan meningkatkan kepuasan pernikahan sebesar 1,785 %.

c. Koefisien regresi X2 sebesar 0,597 yang menyatakan bahwa setiap penambahan satuan skor subjek pada variabel emotional focused  coping,  maka akan

meningkatkan kepuasan pernikahan sebesar 0,597%.

Rangkuman dari hasil uji hipotesis mayor dan hipotesis minor dalam penelitian ini dapat dilihat pada rangkuman tabel 5 (terlampir).

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilaksanakan dengan menggunakan teknik regresi berganda, diperoleh hasil bahwa hipotesis mayor yaitu problem focused coping dan emotional focused coping berperan terhadap kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas, dapat diterima. Hal ini dapat dilihat dari koefisien R sebesar 0,485, R Square sebesar 0,235, F hitung sebesar 8,744, dan signifikansi 0,000 (p<0,05) yang menyatakan bahwa problem focused coping dan emotional focused coping secara bersama-sama berperan terhadap kepuasan pernikahan. Nilai koefisien R Square sebesar 0,235 menunjukkan bahwa problem focused

coping dan emotional focused coping memiliki peran sebesar 23,5 % terhadap kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas, sedangkan 76,5% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil koefisien beta terstandarisasi, dapat diketahui bahwa problem focused coping secara signifikan berperan terhadap kepuasan pernikahan dimana hal ini ditunjukkan dengan variabel problem focused coping memiliki nilai koefisien beta terstandarisasi sebesar 0,374 dengan nilai t sebesar 3,159 dan signifikansi 0,003 (p>0,05). Variabel emotional focused coping berperan secara signifikan terhadap kepuasan pernikahan yang ditunjukkan dengan nilai beta terstandarisasi 0,238 dengan nilai t sebesar 2,011 dan signifikansi 0,049 (p<0,05).

Kepuasan pernikahan dapat tercapai ketika pasangan mampu memenuhi kebutuhan masing-masing dan memenuhi harapan-harapan yang pasangan bawa sebelum pernikahan (Soedarjoen, 2005). Harapan akan memiliki anak adalah sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap pasangan yang sudah menikah akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa ada keluarga yang tidak memiliki anak (Hurlock, 1980). Salah satu alasan individu tidak memiliki anak yaitu mengalami ketidaksuburan dengan kata lain infertil. Infertil atau biasa disebut ketidaksuburan merupakan kondisi pasangan suami istri yang belum mampu untuk memiliki anak walaupun sudah melakukan hubungan seksual selama satu tahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi apapun. Ketidaksuburan yang terjadi dalam sebuah lingkungan masyarakat atau dalam konteks budaya mengalami bias gender dimana istri biasanya menjadi individu yang paling sering disalahkan karena tidak memiliki anak (Djuwantono dkk, 2010).

Kondisi ini membuat individu mengalami konflik dalam rumah tangga, perasaan kecewa bahkan stres (Atwater, 1983). Perasaan yang muncul seperti sakit hati, rasa bersalah, marah, dendam dan malu yang diakibatkan oleh kritik sosial dan keluarga yang menanyakan tentang kehadiran seorang anak (David, 2013) sehingga langkah awal untuk mengatasi infertil salah satunya saling menenangkan diri, menerima keadaan dan berdiskusi untuk mencari langkah yang tepat dalam menghadapi infertilitas (Djuwantono dkk, 2010). Salah satu cara untuk mengatasi setiap permasalahan dengan melakukan koping stres. Koping stres merupakan proses individu yang memiliki tuntutan dari individu maupun lingkungan dengan sumber-sumber yang dimiliki dalam menghadapi stres (Lazarus dan Folkman, 1984). Pemilihan koping yang digunakan individu untuk menyelesaikan masalah dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal mencakup ingatan pengalaman dari situasi dan tekanan yang pernah dialami dan dukungan sosial baik dari keluarga ataupun suami, teman dalam kehidupannya. Faktor kedua yaitu faktor internal, dimana gaya koping yang digunakan yaitu bagaimana mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari dan kepribadian individu. Koping stres memiliki dua bentuk yang berbeda yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.

Deskripsi statistik data penelitian menunjukkan bahwa mean teoretis dari variabel kepuasan pernikahan sebesar 102,5 dan

mean empiris sebesar 140,57. Nilai rata-rata empiris yang diperoleh lebih besar daripada nilai teoretis sehingga istri yang mengalami infertilitas memiliki kepuasan pernikahan yang sangat tinggi. Hasil kategorisasi data variabel kepuasan pernikahan menunjukkan bahwa istri yang mengalami infertilitas menunjukkan taraf kepuasan pernikahan yang tinggi dengan presentase sebesar 15 orang atau sekitar 30% dan kepuasan pernikahan dengan taraf sangat tinggi dengan presentase 44 orang atau 67,5%. Kepuasan pernikahan pada istri yang tinggi dipengaruhi oleh faktor memiliki komitmen dalam sebuah pernikahan yang dapat terpelihara dengan baik untuk menjaga keharmonisan keluarga, kemudian dukungan emosional yang diberikan suami terhadap istri yang mampu memberikan perhatian, saling membantu dan menerima kekurangan satu sama lain. Faktor lainnya yang berperan memengaruhi kepuasan pernikahan yaitu religiusitas. Semakin tinggi religiusitas seseorang maka semakin tinggi kepuasan pernikahannya. Hal ini terjadi karena seseorang bertindak atas keyakinan kepadaTuhan sehingga seseorang akan patuh dan tunduk dengan segala perintah. Bagi istri ketika mengalami permasalahan dalam keluarga yang dilakukan pasrah dan ikhlas sehingga menciptakan ketenangan (Papalia dkk, 2008).

Hasil deskripsi responden menunjukkan bahwa mayoritas responden menunjukkan bahwa istri yang mengalami infertilitas pekerjaan yaitu berprofesi sebagai ibu rumah tangga sebanyak 13 orang atau sekitar 21,7% dan istri yang berprofesi sebagai pegawai sebanyak 47 orang atau sekitar 78,3%. Faktor pekerjaan menjadi salah satu penyebab tingginya infertilitas yang terjadi pada istri. Pekerjaan seseorang memiliki peranan penting dalam memengaruhi infertilitas (Hammerli dkk, 2010). Pemaparan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Oktaria (2014) bahwa istri yang mengalami infertilitas paling banyak ditemukan pada individu yang bekerja daripada ibu rumah tangga. Ketika seorang individu mengalami pekerjaan yang berat akan menimbulkan stres sehingga individu memiliki ketidakseimbangan pada hormon yang akan memengaruhi reproduksi dalam perempuan. Hasil deskripsi responden menunjukkan bahwa sebagian besar usia pernikahan istri yang mengalami infertilitas berada dalam rentang usia satu hingga lima tahun. Usia pernikahan merupakan prediktor utama dalam sebuah pernikahan yang memengaruhi kepuasan pernikahan seorang istri. Perubahan kepuasan pernikahan secara konsisten akan berubah seiring dengan waktu. Studi longitudinal yang dilakukan oleh Lawrence Kurdek (dalam Olson, dkk 1993) menjelaskan bahwa pernikahan akan tetap sama atau tidak mengalami penurunan hingga tahun keempat pernikahan.

Deskripsi statistik data penelitian menunjukkan bahwa mean teoretis dari variabel problem focused coping sebesar 20 dan mean empiris sebesar 20,83. Nilai rata-rata empiris yang diperoleh lebih besar daripada nilai teoretis sehingga istri yang mengalami infertilitas memiliki problem focused coping yang baik untuk digunakan. Hasil kategorisasi data variabel kepuasan pernikahan menunjukkan bahwa istri yang mengalami infertilitas menunjukkan taraf problem focused coping yang sangat tinggi dengan presentase sebesar 2 orang atau sekitar 3,33%, problem focused coping dengan taraf

tinggi dengan presentase 18 orang atau 30% dan problem focused coping dengan taraf sedang dengan presentase 27 orang atau 45% dan taraf rendah dengan presentase 13 orang atau 21,67%. Problem focused coping juga digunakan individu yang merasa mempunyai sumber dan kemampuan untuk melakukan usaha dalam mengatasi masalah (Lazarus dan Folkman, 1984). Pemaparan dari Wulandari, dkk (2017) menyatakan bahwa perempuan yang mengalami infertilitas melakukan tindakan problem focused coping yaitu mendapatkan informasi melalui teman, tetangga atau saudara untuk melakukan beberapa pemecahan masalah diantaranya pemeriksaan ke dokter, melakukan pengobatan ke dokter serta mengonsumsi obat penyubur. Selain itu, bagi seorang istri yang mengalami infertilitas perlu adanya dukungan dari lingkungan sekitar terutama suami. Dukungan itu seperti kasih sayang, kenyamanan dan meyakini bahwa tetap mencintai istri dan diperhatikan walaupun mengalami infertilitas. Tidak hanya itu, dukungan dari para sahabat atau keluarga yang mampu memberikan informasi terkait dengan fakta-fakta seputar inferilitas atau nasehat yang diberikan agar istri bisa berdiskusi dengan suami (Johnson dan Johnson,1997) sehingga perlunya problem focused coping yang tinggi untuk agar mampu mempertahankan kepuasan pernikahan yang walaupun istri mengalami infertilitas.

Deskripsi statistik data penelitian menunjukkan bahwa mean teoretis dari variabel emotional focused coping sebesar 35 dan mean empiris sebesar 45,93. Nilai rata-rata empiris yang diperoleh lebih besar daripada nilai teoretis sehingga istri yang mengalami infertilitas memiliki emotional focused coping yang baik untuk digunakan. Hasil kategorisasi data variabel kepuasan pernikahan menunjukkan bahwa istri yang mengalami infertilitas menunjukkan taraf emotional focused coping yang sangat tinggi dengan presentase sebesar 27 orang atau sekitar 45%, emotional focused coping dengan taraf tinggi dengan presentase 30 orang atau 50%, emotional focused coping dengan taraf sedang dengan presentase 2 orang atau 3,33% dan emotional focused coping dengan taraf rendah dengan presentase 1 orang atau 1,67%. Biasanya individu mengatur respon emosinya dengan cara berpikir dan memberikan penilaian mengenai situasi yang stressful (sarafino, 2002). Emotional focused coping lebih digunakan untuk menghadapi situasi yang tidak dapat diubah dan tidak terkontrol seperti masalah infertilitas. Istri yang mengalami infertilitas memiliki emotional focused coping tinggi karena istri akan menghadapi masalah dengan melakukan hal-hal positif seperti mencari dukungan emosi dari teman atau sahabat, melakukan aktivitas yang disukai, menonton film untuk mengalihkan masalah yang sedang dihadapi dan memberikan penilaian tentang masalah yang dihadapi (sarafino, 2002). Selain itu, istri juga bisa mengganti respon-respon yang bertentangan seperti omongan negatif menjadi omongan positif. Hal ini dilakukan agar istri tidak memikirkan tentang omongan negatif mengenai ketidakmampuan untuk memiliki anak, tetapi omongan tersebut bisa beralih ke hal yang lebih positif dan mengambil hikmah dari setiap omongan yang pernah diberikan kepada istri yang mengalami infertilitas. Ketika istri mampu memecahkan masalah dengan menggunakan emotional focused coping maka istri akan merasakan kepuasan pernikahan yang tinggi terhadap

kepuasan pernikahannya. Pemaparan dari Mahera (2016) menyatakan bahwa istri yang mengalami infertilitas atau tidak memiliki anak akan melakukan tindakan dengan berfokus pada emosi. Fokus tersebut diantaranya menerima keadaan dan situasi yang sedang dialami yaitu tidak memiliki anak. Selain itu, menghargai juga dibutuhkan agar memiliki penilaian yang positif terhadap diri walaupun belum diberikan seorang anak.

Berdasarkan penelitian dan hasil analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Problem Focused Coping dan Emotional Focused Coping berperan terhadap kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas. Kepuasan pernikahan istri yang mengalami infertilitas tergolong sangat tinggi yaitu sebanyak 44 orang dengan presentase sebesar 73,3%. Problem focused coping istri yang mengalami infertilitas tergolong sedang yaitu sebanyak 27 orang dengan presentase sebesar 45%. Emotional focused coping istri yang mengalami infertilitas tergolong tinggi yaitu sebanyak 30 orang dengan presentase sebesar 50%

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat diberikan kepada berbagai pihak terkait diharapkan dapat bermanfaat bagi istri untuk mengelola permasalahan terutama terkait infertilitas dengan menggunakan problem focused coping dan emotional focused coping untuk menghadapi masalah yang dialami oleh istri. Bagi pasangan dan anggota keluarga lainnya agar memahami cara untuk mengatasi permasalahan psikologis bagi istri yang mengalami infertilitas dengan menggunakan problem focused coping dan menggunakan emotional focused coping.a

Saran yang dapat dilakukan bagi peneliti selanjutnya adalah melihat kepuasan pernikahan berdasarkan perbedaan antara subjek infertilitas primer dan infertilitas sekunder dan melakukan penelitian diluar faktor yang sudah diteliti dalam penelitian ini, karena masih 76,5 % faktor lainnya yang dapat memengaruhi kepuasan pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA

Atwater, E.(1983). Psychology of adjusment : “personal growth in changing world” (2nd edition). New Jersey: Prentice Hall.

Azizah, N. (2016). Problem psikologi istri yang belum dikaruniai keturunan.     Artikel     Skripsi.     Diunduh     dari

http://repository.iainpurwokerto.ac.id/144/ tanggal 25 Februari 2018.

Baron, Robert A. (2003). Psikologi sosial jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Bart, Smet. (1994). Psikologi kesehatan. PT. Gramedia Widiasarna Indonesia: Jakarta.

Bird, E & Melville, K. (1994). Families and intimate relationship. New York: Mc.Graw Hill, Inc.

Braham, B. J. (1990). Calm down: How to manage stress at work. Illinois: Scolt, Foresman, and Co..

David L, Jerome. (2013). Childlessness: How not having children plays out over a lifetime. United States of America.

Demartoto, A. (2008). Dampak infertilitas terhadap perkawinan (suatu kajian perspektif gender) Surakarta: FISIP UNS.

Djuwantono, Tono,et.al. (2008). Hanya 7 hari memahami infertilitas.

Bandung: PT. Refika Aditama.

Fowers, B.J. & Olson, D. H. (1993). ENRICH marital satisfaction scale: A brief research and clinical tools. Journal of Family Psychology. Vol.7. No.2.

Hammerli, K.H. Znoj, T.B. (2010). What are the issues confronting infertile woman? a qualitative and quantitative approach. The Qualitative Report. Vol.15. No. 4.

Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang Kehidupan. Jakarta: Gramedia.

Hochchild, Z.,F, Adamson GD, Dyer S, et al. (2017). The international glossary on infertility and fertility Care. Fertil Steril.

Kasdu, D. (2002). Kiat sehat dan bahagia di usia menopause. Jakarta: Puspa Swara.

Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984). Stress appraisal and coping. Newyork: Springer Publishing Company.Inc

Mahera, R. (2016). Coping stres pada pasangan suami isteri yang belum memiliki anak. Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Mardiyan R, Ratna K.E. (2015). Kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Jurnal Empati. Vol. 5. No. 3.

Muryanta, A. (2012). Menyoal infertilitas pada pasangan suami‐istri. Diunduh dari http://yogya.bkkbn.go.id. Diunduh 3 Februari 2018

Mu'tadin, Z. (2002). Strategi Koping. Jakarta: Rineka Cipta.

Oktarina. A., Adnan, A., Ramli, B. (2014). Faktor-faktor yang memengaruhi infertilitas pada wanita di klinik fertilitas endokrinologi reproduksi. MKS. Vol. 46 No. 4.

Papalia, Diane E, Sterns, H.L., Fieldman, R.D., Camp, C.J. (2007). Adult development and aging (3rd Ed). New York:

McGraw-Hill..

Papalia, D. E., Old, S. W., Feldman, & R. D. (2008). Human development (terjemahan A. K. Anwar). Jakarta: Prenada Media Group

Paris, Cynthia, Alice E, Laura M, Tara S. (2007). Facing the storm, turning the tide: Using practitioner research to meet children’s and families needs in an inclusive setting. Journal Of Research In Childhood Education. Olney: Summer 2007. Vol. 21. No. 4.

Peterson, B. D., Newton, C. R., dan Rosen, K. H. (2003). Family process. Spring..

Rasmun. (2004). Stress koping dan adaptasi. Jakarta: CV.Sagung Seto

Safaria, T. & Nofrans, S. (2009).aManajemen emosi: Sebuah panduan cerdas bagaimana mengelola emosi positif dalam hidup anda. Jakarta: bumi Aksara..

Sarafino. (2002). Health psychology: Biopsycosocial interaction. 5th Edition. USA: Jhon Wiley & Sons.

Santrock, J.W. (2002). Life-Span development: Perkembangan masa hidup (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Soedarjoen. (2005). Homoseksualitas. Yogyakarta: INSISTpress.

Sugiyono. (2014). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabet.

LAMPIRAN

Tabel 1.

Deskripksi Data Penelitian

Deskripsi Data

Kepuasan Pernikahan

Problem Focused Coping

Emotional Focused Coping

N

60

60

60

Mean Teoretis

102,5

20

35

Mean Empiris

140,57

20,83

45,93

SD Teoretis

20,5

4

7

SD Empiris

12,965

2,719

5,178

Sebaran Teoretis

41-164

8-32

14-56

Sebaran Empiris

107-161

15-36

30-54

T dan Signifikansi

22,744 (p=0,000)

2,374 (p=0,021)

16,356 (p=000)

Tabel 2.

Hasil Signifikansi Uji Regresi Berganda

Model

Sum of Square

Df

Mean Square

F

Signifikansi

Regression

2328,180

2

1164,040

8,744

0,000

Residural

7588,553

57

133,133

Total

9916,733

59

Tabel 3.

Besarnya Peran Variabel Bebas terhadap Variabel Tergantung

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

0,485

0,235

0,208

11,538

Tabel 4.

Uji Hipotesis dan Garis Regresi Berganda

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

t

Signifikansi

Coefficients

B

Std. Error

Beta

(Constant)

75,952

16,092

4,720

0,000

Problem

1,785

0,565

0,374

3,159

0,003

Focused

Coping

Emotional

0,597

0,297

0,238

2,011

0,049

Focused

Coping

43