Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol.7, No.1, 40-48


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607

Dinamika psikologis individu yang mengalami Trikotilomania

Putu Yunita Trisna Dewi dan Afif Kurniawan

Program Studi Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga yunitatrisnadewi@gmail.com

Abstrak

Trikotilomania merupakan gangguan perilaku menarik rambut secara berulang yang bersifat kronis dan mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut. Pada individu dewasa, Trikotilomania lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Penelitian ini bertujuan mengetahui hasil asesmen, diagnosis, serta dinamika psikologis yang mendasari munculnya gangguan perilaku menarik rambut pada subjek NR selama kurang lebih 10 tahun. Subjek dalam penelitian ini merupakan seorang perempuan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik studi kasus berdasarkan kegiatan Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP). Teknik pengambilan data dalam penelitian ini berupa asesmen dengan wawancara semi terstruktur, observasi, tes grafis (BAUM , DAP, HTP) dan Sack’s Sentence Completion Test (SSCT) dengan tujuan mengetahui gambaran kepribadian subjek terkait konsep diri, kemampuan penyesuaian diri dan lingkungan, Weschler Adult Intelegence Scale (WAIS) bertujuan mengetahui kemampuan inteligensi dan potensi subjek, serta Thematic Apperception Test (TAT) untuk mengetahui emosi serta konflik kebutuhan yang dominan pada subjek. Berdasarkan rangkaian hasil asesmen psikologi yang telah dilakukan, subjek NR terdiagnosa mengalami Trikotilomania. Perilaku menarik rambut merupakan bentuk kecemasan NR terhadap dirinya maupun pandangan orang-orang disekitarnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh self esteem yang rendah. Perilaku menarik rambut akan meningkat saat NR merasa cemas dan perilaku tersebut menjadi hal menyenangkan yang sulit dihentikan, meskipun NR sedang berada di situasi yang tenang atau netral. Akibat perilaku menarik rambut tersebut, subjek NR mengalami kerontokan rambut dan iritasi pada area kulit rambut.

Kata kunci : Harga diri, kecemasan, Trikotilomania

Abstract

Trichotillomania is a chronic hair-pulling behavior and results in hair loss. Trichotillomania is more common in women than in men. This study aims to find out about the results of the assessment, diagnosis, and psychological dynamics that underlie the emergence of hair-pulling behavior disorder on NR for approximately 10 years. The subject of this study was a woman. This research used qualitative methods with case study techniques based on Professional Psychological Work Practice. Data collection techniques in this research are assessment with semistructured interviews, observations, graphic tests (BAUM, DAP, HTP) and Sack's Sentence Completion Test (SSCT) to know the description of the subject's personality related to self-concept, adaptability and the environment, Weschler Adult Intelligence Scale (WAIS) aims to determine the ability of intelligence and potential of the subject, and the Thematic Apperception Test (TAT) to find out the emotions and conflicting needs of the dominant subject. Based on a series of psychological assessment results, NR were diagnosed with Trichotillomania. Hair pulling behavior is a form of anxiety towards her self and the views of those around him and caused by low self-esteem. Hair pulling behavior will increase when NR feels anxious and the behavior becomes fun things that are difficult to stop, even though NR is in a calm or neutral situation. As a result of the hair-pulling behavior, NR subjects experienced hair loss and irritation in the hair skin area.

Keywords : Anxiety, self esteem, Trichotillomania

LATAR BELAKANG

Trikotilomania diklasifikasikan sebagai gangguan impuls kontrol dan merupakan sebuah gangguan perilaku menarik rambut secara berulang yang bersifat kronis dan mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut. Perilaku menarik rambut tersebut tidak hanya dilakukan pada area kulit kepala, namun juga pada area pubis, alis, atau bulu mata. Trikotilomania dapat terjadi pada anak-anak maupun individu dewasa. Pada individu dewasa, Trikotilomania lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Individu dewasa yang menunjukkan gejala Trikotilomania secara kronis cenderung diawali pada masa remaja awal dan keinginan untuk menarik rambut dapat datang dan hilang dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. Selain itu, perilaku ini dapat terjadi dalam episode yang singkat, namun sepanjang hari atau dalam episode yang jarang namun terjadi hingga memakan waktu beberapa jam (DSM IV-TR).

Perilaku menarik rambut dapat muncul pada saat individu berada dalam situasi yang tenang atau netral, seperti saat membaca buku, menonton TV, bekerja di depan komputer dan sebaliknya dapat juga terjadi dalam situasi yang penuh tekanan. Beberapa perilaku lainnya yang dapat muncul dalam gangguan Trikotilomania berdasarkan DSM IV-TR, yaitu memeriksa akar rambut, memutar-mutar rambut, menarik rambut dengan menggunakan gigi atau memakannya, menarik rambut dari hewan peliharaan, boneka ataupun bahan berserat lainnya (DSM IV-TR; Grzesiak dkk, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian Christenson, Mackenzie dan Mitchell (1991) pada 60 individu dewasa yang mengalami perilaku menarik rambut secara kronis, rata-rata subjek dalam penelitian tersebut menunjukkan perilaku menarik rambut dengan onset usia remaja awal serta sebagian besar subjek adalah perempuan (rasio perempuan dan laki-laki 15:1). Perilaku menarik rambut dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu bersifat otomatis (perilaku menarik rambut dilakukan secara refleks dan tanpa adanya kesadaran) dan fokus (menarik rambut sebagai respon adanya emosi negatif yang dirasakan).

Hasil penelitian (Christenson, Mitchell, & Mackenzie, 1991) menemukan bahwa 15% dari subjek penelitian tersebut menyadari dan memfokuskan perhatiannya dalam aktivitas menarik rambut, 5% menyatakan bahwa perilaku menarik rambut dilakukan tanpa disadari, dan sebanyak 80% merupakan kombinasi dari keduanya. Selain itu, 43% dari subjek menjelaskan perilaku menarik rambut diawali tanpa adanya kesadaran kemudian berlanjut dengan penuh kesadaran dan berfokus dalam menarik rambut. (Flessner et al., 2008) menyebutkan bahwa “high-otomatic pullers” (individu yang menarik rambut secara otomatis atau tanpa disadari) maupun “high focused pullers” (individu yang menarik rambut secara fokus atau penuh perhatian) mengalami kondisi Trikotillomania yang parah dengan tingkat stres maupun depresi yang tinggi.

Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya Trikotilomania, adalah stress, rendahnya kemampuan individu dalam meregulasi emosi, adanya penguat positif dari perilaku tersebut serta faktor genetik (Walther, Ricketts, Conelea, & Woods, 2010). Hasil penelitian (Gretchen J. Diefenbach, Tolin, Hannan, Crocetto, & Worhunsky, 2005) menemukan bahwa individu dengan Trikotilomania memiliki tingkat kepuasan hidup yang rendah, tingkat distress yang tinggi, rendahnya self esteem, dan adanya kecemasan sosial. Berdasarkan hasil penelitian (Demetriou, 2019) stres merupakan variabel yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesulitan regulasi emosi pada individu dengan Trikotilomania.

Sensasi fisik yang dirasakan saat menarik rambut, kondisi emosi dan kognitif turut memengaruhi munculnya perilaku menarik rambut. Apabila dikaitkan dengan adanya sensasi fisik yang dirasakan, individu dapat menarik rambut karena memerhatikan faktor ketebalan dan ukuran rambut, lokasi, dan sensasi yang dirasakan pada kulit kepala. Kondisi emosi yang dapat memicu terjadinya perilaku tersebut, seperti keadaan bosan, cemas, ataupun marah (Walther et al., 2010). Individu yang mengalami Trikotilomania merasakan adanya penurunan yang lebih besar terhadap perasaan kebosanan, kesedihan, kemarahan dan ketegangan, diikuti dengan peningkatan perasaan menyenangkan yang signifikan selama menarik rambut. Kemudian terdapat perubahan emosi yang dirasakan individu dengan Trikotilomania selama menarik rambut hingga usai menarik rambut, yaitu peningkatan perasaan bersalah, sedih dan marah (Gretchen J. Diefenbach, Tolin, Meunier, & Worhunsky, 2008).

Perilaku menarik rambur juga dapat dipengaruhi oleh kecenderungan gaya berpikir indvidu, seperti pemikiran tentang gaya rambut dan penampilan, gaya berpikir yang cenderung kaku, adanya distorsi kognitif berupa catastrophizing (meyakini bahwa hal buruk yang sifatnya besar akan terjadi hanya karena satu kejadian negatif yang relatif kecil) dan overgeneralizing (membuat suatu kesimpulan buruk terhadap semua hal berdasarkan pada satu kejadian tertentu) (Walther et al., 2010).

Serupa dengan pendapat (Walther et al., 2010) dan (Gretchen J. Diefenbach et al., 2008), dan (Schreiber, Odlaug, & Grant, 2011) menyatakan sensasi fisiologis yang dirasakan saat menarik rambut dapat menjadi penguat positif bagi individu karena bersifat menyenangkan dan memunculkan perasaan lega setelah menarik rambut. Perasaan cemas ataupun depresi dapat mendorong individu untuk menarik rambut dengan tujuan mengalihkan diri mereka dari berbagai hal-hal yang menekan dan pemikiran yang tidak menyenangkan. Perilaku ini kemudian dapat menjadi bentuk coping stress bagi individu.

Hasil penelitian (Casati, Toner, & Yu, 2000) menemukan bahwa seluruh subjek wanita yang mengalami Trikotilomania dalam penelitian tersebut berusaha merahasiakan kondisinya dengan menggunakan makeup, bulu mata palsu, topi, bandana atau wig yang berbeda.

Individu dengan Trikotilomania kerap merasa bersalah dan malu dengan perilaku menarik rambut hingga membuat rambut mereka menipis, sehingga mereka akan berusaha untuk menutupi kondisi rambut yang rontok dan menipis (Morris, Zickgraf, Dingfelder, & Franklin, 2013).

Riwayat Kasus NR

Salah seorang yang mengaku mengalami permasalahan perilaku menarik rambut adalah NR. NR adalah seorang perempuan berusia 21 tahun dan berstatus mahasiswa. Perkenalan NR dengan peneliti diawali dengan inisiatif NR menghubungi peneliti untuk berkonsultasi terkait perilaku menarik rambut yang sering dilakukan. NR menceritakan secara singkat terkait perilaku tersebut melalui pesan singkat (chat) kepada peneliti. Pertemuan pertama NR dengan peneliti dilakukan di Poli Psikologi Rumah Sakit Unair dikarenakan peneliti sedang menjalani Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP) di tempat tersebut.

NR menceritakan perilaku menarik rambut yang dilakukan dimulai berkisar antara kelas 5 dan 6 SD hingga saat ini. Pada mulanya NR menuturkan bahwa ia merasa penasaran dengan bentuk dari akar rambut. Rasa penasaran tersebut mendorong NR untuk terus menerus menarik rambut hingga menjadi sebuah kebiasaan. Perilaku menarik rambut seringkali dilakukan NR ketika ia sedang sendiri, belajar, membaca buku, novel, atau koran, saat akan tidur maupun saat NR tidak melakukan aktivitas apapun.

Intensitas perilaku menarik rambut akan meningkat ketika NR mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas, bahkan perilaku tersebut menjadi sulit dihentikan, meskipun NR telah mampu menyelesaikan tugasnya. NR memperkirakan menghabiskan waktu selama kurang lebih 1 jam untuk menarik rambut. Biasanya NR akan berhenti menarik rambutnya saat area rambut tersebut sudah mulai menipis dan muncul rasa sakit pada kulit kepala. Berkisar pada tahun 2017, NR meminta ibunya untuk memotong habis rambutnya hingga botak dengan harapan NR dapat meminimalisir keinginan menarik rambut, namun NR tetap tidak mampu menahan keinginannya untuk menarik rambut, sehingga NR mencari area tubuh lain, seperti bulu ketiak dan bulu kaki.

Bagian rambut yang seringkali ditarik oleh NR adalah bagian rambut yang terasa kering, ber-volume tebal atau berukuran kecil. Rambut yang berada pada area tengah kepala merupakan area rambut yang kerap ditarik oleh NR hingga menipis. NR merasakan rasa sakit setiap menarik rambutnya, namun di sisi lain terdapat sensasi menyenangkan setelah menarik rambutnya. Akibat dari perilaku menarik rambut tersebut, kulit kepala maupun kulit bagian kaki NR beberapa kali mengalami iritasi. Berdasarkan hasil observasi, peneliti hanya dapat melihat kulit kaki subjek yang pada beberapa bagian menunjukkan warna kecoklatan karena NR beberapa kali menarik bulu kakinya. Ketika mengalami iritasi, NR sering merasakan penyesalan karena telah menarik rambutnya. Demi mengurangi iritasi tersebut, NR memberikan krim penumbuh rambut atau body lotion pada bagian yang ia tarik.

NR beberapa kali merasakan penyesalan setelah menarik rambutnya hingga tipis dan segera mengatasi hal tersebut dengan memberikan minyak atau menggunakan krim penumbuh rambut. Beberapa cara lain yang telah dilakukan NR untuk mengurangi kebiasaannya tersebut adalah dengan rutin membuat rambutnya selalu dalam kondisi basah atau memberikan minyak agar rambut NR menjadi licin dan semakin sulit untuk ditarik. Minyak yang digunakan seperti minyak zaitun atau minyak kemiri. Selain itu, NR juga bisa menggunakan kerudung sepanjang hari untuk mengurangi kebiasaannya tersebut dan akan membuka kerudungnya saat ia merasa kepanasan.

Keinginan NR untuk menarik rambutnya, umumnya teralihkan saat ia mengobrol dengan teman-temannya maupun melakukan kegiatan diluar rumah. NR menutupi kebiasaan tersebut dari teman-temannya dengan cara tidak membuka kerudung yang ia kenakan selama mereka menghabiskan waktu bersama-sama. Hal tersebut dikarenakan kondisi rambut NR yang mulai menipis dan sulit untuk ditutupi oleh bagian rambut lainnya serta merasa belum siap untuk menceritakan kondisi yang ia alami kepada teman-temannya. NR menyadari bahwa perilaku tersebut merupakan hal yang salah serta perlu diperbaiki, namun NR belum menyadari penyebab dan faktor-faktor yang memengaruhi keinginannya untuk menarik rambut berulang kali.

Berdasarkan pada penjelasan yang telah dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut hasil asesmen, diagnosis, serta dinamika psikologis yang mendasari munculnya gangguan perilaku menarik rambut pada NR.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik studi kasus. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah satu orang. Subjek dalam penelitian ini berada dalam kondisi yang belum mengetahui penyebab ataupun faktor-faktor yang memengaruhi keinginan menarik rambut secara berulang hingga sulit menghentikannya selama hampir 10 tahun.

Penelitian dilaksanakan selama bulan Agustus 2018 dan pertemuan antara peneliti dengan subjek diawali dari Poli Psikologi Rumah Sakit Universitas Airlangga, kemudian pertemuan berikutnya dilakukan pada beberapa tempat sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan subjek.

Asesmen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu wawancara semi terstruktur mengenai latar belakang dan riwayat permasalahan subjek, observasi mengenai perilaku menarik rambut subjek, tes grafis (BAUM, DAP, dan HTP) serta SSCT untuk mengetahui gambaran proyeksi kepribadian subjek yang berkaitan dengan konsep diri, cara subjek melakukan penyesuaian diri, penyesuaian dengan lingkungan serta relasi antara subjek dengan orang-orang disekitarnya, tes WAIS (Weschler Adult Inteligence Scale) tidak hanya digunakan untuk mengetahui tingkat inteligensi

subjek, namun turut mengetahui secara mendalam kemampuan subjek dalam menentukan tujuan, berpikir rasional serta menghadapi lingkungan secara efektif, serta Thematic Apperception Test (TAT) untuk mengetahui dorongan, emosi, dan konflik kebutuhan yang dominan terjadi dalam diri subjek.

HASIL PENELITIAN

Dinamika Psikologis

Berdasarkan pada rangkaian hasil asesmen psikologi yang telah dilakukan, maka dapat dijabarkan bahwa subjek NR merupakan seorang perempuan berusia 21 tahun, berasal dari salah satu Provinsi di Sumatera dan merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Sejak lahir hingga berada di bangku SMP, NR dan keluarganya pernah tinggal satu rumah bersama nenek dari ibu NR dikarenakan saat itu orangtua NR belum memiliki rumah pribadi. Ketika NR masih menjadi anak tunggal, ia memiliki hubungan yang cukup dekat dengan ayahnya. Kedekatan antara NR dengan ayahnya mulai berkurang sejak kelahiran adik pertama NR di usia NR lima tahun. Orangtua NR cenderung menghabiskan banyak waktu untuk mengurus adik NR dan bekerja, sehingga NR pun lebih banyak diasuh oleh neneknya.

Sejak kanak-kanak, NR diajarkan bersikap mandiri oleh orangtuanya dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti makan, belajar, tidur, hingga untuk mendapatkan suatu hal yang diinginkan. Ketika orangtua NR tidak dapat membantu atau menemani NR dalam mengerjakan tugasnya sehari-hari, maka nenek subjek yang mengambil alih tugas tersebut. Situasi tersebut membuat NR lebih dekat dengan nenek, dibandingkan dengan orangtuanya.

Ayah NR adalah sosok yang tegas dalam hal pendidikan dan kemandirian pada diri NR, sementara ibu NR merupakan sosok yang lebih menekankan hal-hal yang berkaitan dengan konsep agama, memiliki sikap yang sabar dan mampu menghargai usaha yang dilakukan oleh anak-anaknya dalam mencapai suatu hal. NR memiliki pengalaman mendapatkan peringkat 20 saat berada di kelas 1 SD. Saat itu ayah NR memberikan respon dengan mengatakan “tuh rankingnya,” karena mengharapkan NR dapat meraih peringkat 10 besar. NR menganggap respon tersebut adalah bentuk kekecewaan orangtua karena NR tidak dapat memenuhi harapan orangtua, khususnya sang ayah.

Akibat hal tersebut, NR turut merasa kecewa, cenderung menyalahkan dirinya sendiri dan merasa kemampuannya diremehkan oleh ayahnya, namun NR tidak menyampaikan perasaan tersebut kepada ayahnya. Menurut NR, setiap orangtua memiliki standar atau harapan tersendiri pada anaknya, begitu juga dengan orangtua NR. Motivasi belajar NR mulai meningkat pasca kejadian tersebut dan NR mampu meraih peringkat pertama maupun peringkat 5 besar selama ia bersekolah.

Kemampuan intelegensi NR berada pada kategori Rata-Rata. Saat ini, NR berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Selama berkuliah Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) NR selalu berada diatas 3, meskipun NR aktif terlibat dalam kegiatan non akademis di kampus dan sering mengerjakan tugas-tugasnya satu hari atau beberapa jam sebelum waktu pengumpulan tugas tiba. NR memiliki kebutuhan berprestasi yang cukup tinggi. Kebutuhan berprestasi tersebut dapat didasari oleh pengalaman NR yang tidak ingin diremehkan kemampuannya oleh orangorang disekitarnya.

Di dalam hubungan keluarga, NR menjadi lebih dekat dengan ibu dibandingkan ayahnya setelah tidak tinggal bersama nenek NR. Ibu NR merupakan ibu rumah tangga, sehingga NR lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibunya dan lebih mampu untuk menceritakan berbagai aktivitas yang dijalani NR. Berbeda dengan ayah NR yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja serta berkumpul bersama teman-temannya di luar rumah. Ayah NR digambarkan sebagai sosok yang mendominasi dalam pengambilan keputusan di rumah, jarang bergurau dan kurang mampu membangun kedekatan secara emosional dengan anak-anaknya.

Situasi tersebut menyebabkan NR maupun adik-adiknya memilih untuk menyampaikan keinginan ataupun pendapat terlebih dahulu kepada ibu mereka agar ibu NR yang selanjutnya menyampaikan kembali kepada ayah mereka. NR enggan menyampaikan pendapat, keinginan maupun perasaan secara langsung kepada ayahnya karena takut mendapatkan penolakan dari hal-hal yang ia sampaikan. NR kemudian memiliki pandangan bahwa hampir sebagian besar sosok ayah cenderung kurang mampu menjalin kedekatan dengan anak-anaknya.

Sejak kanak-kanak, hingga saat ini NR cenderung sulit mengekspresikan emosi yang dirasakan kepada orang lain. NR cenderung memendam emosi-emosi yang ia rasakan. Hal tersebut juga tidak terlepas dari pola pengasuhan orangtua NR yang juga kurang menekankan kedekatan emosional kepada NR. Komunikasi antara NR dengan ayahnya pun hanya berkisar pada hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan saja, sementara hubungan antara NR dengan ibunya meskipun dikatakan cukup dekat, tidak lantas membuat NR terbuka akan semua hal yang ia alami. Terutama setelah NR merantau ke Kota Surabaya untuk berkuliah. Ketika NR ingin menceritakan masalah kepada ibunya, ia akan memperkirakan waktu untuk menelepon dan bercerita karena tidak ingin mengganggu aktivitas ibunya ataupun membuat khawatir.

Kurangnya kemampuan subjek dalam mengekspresikan dan mengelola emosi, memengaruhi relasi sosial subjek. NR seringkali menjaga jarak dengan menunjukkan perilaku yang cuek, kurang berinisiatif memperkenalkan diri terlebih dahulu, tidak mudah membuka identitas diri dan percaya terhadap orang baru. Hal tersebut disebabkan oleh kecemasan NR mengenai pandangan negatif orang lain terhadap dirinya. NR merasa takut apabila orang lain menganggapnya lemah, tidak berkompeten atau tidak pintar, sehingga NR seringkali membutuhkan waktu yang

cukup lama untuk mengenal secara mendalam karakter orang-orang disekitarnya. Pada umumnya, pemikiran-pemikiran negatif NR tersebut seringkali tidak terjadi.

Perilaku yang ditampilkan oleh NR terlihat bertolak belakang karena didalam pergaulan sosial NR cenderung berjarak dan tidak ingin orang lain mengetahui identitas dirinya secara mudah dan mendalam, namun NR juga tidak ingin orang lain memiliki pandangan yang negatif tentang dirinya, terutama pandangan-pandangan yang dianggap tidak sesuai dengan diri NR yang sebenarnya. Sementara didalam diri NR, terdapat kebutuhan untuk menjalin relasi sosial yang cukup tinggi. Salah satu contohnya adalah keinginan NR untuk ditemani bepergian oleh teman-teman terdekatnya. NR tidak nyaman saat ia bepergian sendiri dan cenderung merasa sedih apabila tidak ada teman-temannya yang dapat menemani dirinya, meskipun semakin lama NR menyadari bahwa tidak semua teman-temannya selalu mampu menemani NR

NR merupakan sosok yang seringkali memandang dirinya secara negatif, cenderung kurang mampu menghargai dan mengendalikan dirinya, seperti adanya perasaan inferior (kurang percaya diri, berkompeten, pandai dan terkadang hal tersebut tidak sebanding dengan teman-temannya), mudah merasa bersalah atas kesalahan yang NR sengaja maupun tidak disengaja ia lakukan kepada teman-temannya, sulit untuk menerima kegagalan maupun hal-hal yang terjadi diluar harapan NR, sering memikirkan kemungkinan terburuk atau hal negatif yang akan terjadi saat akan bertindak atau mengambil keputusan, sehingga berusaha Tabel 1 (terlampir).

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Trikotilomania merupakan sebuah gangguan perilaku menarik rambut secara berulang yang bersifat kronis dan mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut. Perilaku menarik rambut dapat muncul pada saat individu berada dalam situasi yang tenang atau netral, seperti saat membaca buku, menonton TV, bermain handphone dan dapat juga terjadi dalam situasi yang penuh tekanan (DSM IV-TR). (Christenson et al., 1991) menemukan bahwa pada 60 individu dewasa yang mengalami perilaku menarik rambut secara kronis, rata-rata subjek dalam penelitian tersebut menunjukkan perilaku menarik rambut dengan onset usia remaja awal serta sebagian besar subjek adalah perempuan (rasio perempuan dan laki-laki 15:1). Penelitian terbaru yang dilakukan (Grant, Dougherty, & Chamberlain, 2020) pada 10.169 orang dewasa dengan rentang usia 18-69 tahun yang dianggap mewakili populasi warga Amerika Serikat secara umum, menemukan sejumlah 175 orang (1.7%) diidentifikasi mengalami Trikotilomania dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis kelamin (1.8% laki-laki dan 1.7% perempuan). Onset terjadinya Trikotilomania antara laki-laki dengan perempuan berbeda secara signifikan, yang mana rata-rata laki-laki mengalami Trikotilomania pada usia 19 tahun, sementara perempuan rata-rata mengalami gangguan tersebut pada usia 14.8 tahun. Trikotilomania dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, namun laki-laki cenderung kurang

melakukan antisipasi untuk hal tersebut dibandingkan dengan memikirkan hal positif yang mungkin terjadi.

Kecemasan dapat muncul karena NR seringkali menunjukkan pikiran-pikiran negatif terhadap dirinya. sendiri maupun kepada orang lain, serta didukung dengan kurangnya kemampuan NR dalam mengekspresikan emosi yang ia rasakan. Hal tersebut juga memengaruhi kondisi emosi NR yang mudah merasa sedih dan menangis tanpa sebab. Ketika NR mengalami hal tersebut, tidak lantas membuat NR bersedia menceritakan semuanya kepada teman-teman terdekatnya.

Perilaku menarik rambut merupakan refleksi dari kecemasan NR terhadap berbagai hal yang sulit ia ekspresikan. Kecemasan tersebut juga berawal dari kondisi self esteem NR yang cenderung rendah dan ditunjukkan melalui pemikiran-pemikiran negatif mengenai kemampuan dirinya, sehingga memengaruhi cara pandang NR terhadap orang-orang disekitarnya. Perilaku menarik rambut menjadi sebuah kebiasaan yang akhirnya dapat muncul bahkan di luar situasi yang menekan serta sulit dihentikan. Area rambut yang ditarik oleh NR pun tidak hanya pada satu area saja, seperti rambut di kepala, namun juga pada area kaki dan ketiak.

Diagnosis

Berdasarkan pada hasil observasi, wawancara dan pemeriksaan psikologis lainnya yang telah dilakukan, berikut kriteria diagnosis gangguan Trikotilomania yang dapat ditegakkan untuk NR berdasarkan DSM-IV-TR:

terganggu dalam lingkungan sosial ketika mereka mengalami kerontokan dan kebotakan, dibandingkan dengan perempuan.

Lebih lanjut, sebanyak 43% perilaku menarik rambut subjek dengan Trikotilomania diawali tanpa adanya kesadaran, kemudian berlanjut dengan penuh kesadaran dan berfokus dalam menarik rambut (Christenson et al., 1991). (Casati et al., 2000) menyebutkan 71% subjek Trikotilomania akan menarik rambutnya saat menyendiri. Serupa dengan pendapat (Casati et al., 2000), (Woods & Houghton, 2014) juga menyatakan sebagian besar individu Trikotilomania berupaya menyembunyikan kondisi rambut yang semakin rontok, sering menghindari menarik rambut dalam situasi sosial dan cenderung menarik rambut ketika menyendiri. Perilaku menarik rambut NR serupa dengan karakteristik yang disebutkan dalam DSM IV TR maupun hasil penelitian (Casati et al., 2000), (Woods & Houghton, 2014). Pada saat merasa cemas, berada di bawah tekanan, dalam kondisi yang tenang dan menyendiri, secara otomatis NR akan menarik rambutnya dan seringkali menutupi dari orang lain (khususnya teman-teman NR).

Penampilan sehari-hari NR yang menggunakan kerudung saat melakukan kegiatan diluar rumah maupun berada dalam situasi sosial, mampu menekan keinginan NR untuk menarik rambut sekaligus menutupi kondisi rambutnya agar tidak diketahui orang lain. Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian (Casati et al., 2000) yang menemukan seluruh subjek wanita dengan Trikotilomania dalam penelitian

tersebut berusaha merahasiakan kondisinya dengan menggunakan makeup, bulu mata palsu, topi, bandana atau wig yang berbeda.

Individu dengan Trikotilomania dapat menarik rambut karena memerhatikan faktor ketebalan dan ukuran rambut, lokasi, dan sensasi yang dirasakan pada kulit kepala (Walther et al., 2010). Pola perilaku yang seringkali muncul pada individu Trikotilomania sebelum menarik rambut adalah menyisir rambut, merasakan rambut tersebut dan kulit kepala, kemudian menarik rambut. Rambut yang ditarik tidak selalu secara acak, namun dapat dipilih berdasarkan karakteristik panjang, warna, tekstur, atau penempatan pada garis rambut (Woods & Houghton, 2014).

Sensasi fisiologis yang dirasakan saat menarik rambut menjadi penguat positif (reinforcement positif) bagi individu karena bersifat menyenangkan dan memunculkan perasaan lega setelah menarik rambut (Schreiber et al., 2011). Setiap kali menarik rambut, NR berfokus pada bagian-bagian rambut yang dapat menimbulkan sensasi nikmat dan kelegaan setelah menariknya, seperti bagian rambut yang terasa kering, ber-volume tebal atau rambut-rambut yang berukuran kecil (bulu kaki, rambut-rambut yang baru tumbuh pada area yang sebelumnya dicabuti). Hal tersebut kemudian menyebabkan kulit kepala NR mengalami iritasi dan rambut yang semakin rontok. (Grant, Chamberlain, & Ph, 2016) menyebutkan bahwa mengontrol keinginan menarik rambut merupakan hal yang penting demi menjaga kesehatan dan kualitas hidup jangka panjang.

Penelitian sebelumnya telah menggambarkan bahwa terdapat korelasi antara kondisi emosi individu dengan perilaku menarik rambut (G. J. Diefenbach, Mouton-Odum, & Stanley, 2002). Perilaku menarik rambut umumnya akan meningkat saat individu merasa stres atau berada di bawah tekanan, termasuk kegiatan belajar untuk persiapan ujian (Casati et al., 2000). Kondisi stres dan kecemasan akan semakin memperburuk kondisi menarik rambut (Woods & Houghton, 2014). Intensitas perilaku menarik rambut akan meningkat ketika NR mengalami kesulitan dalam mengerjakan, bahkan perilaku tersebut menjadi sulit dihentikan, meskipun NR telah mampu menyelesaikan tugasnya.

Berdasarkan hasil penelitian (Demetriou, 2019) stres merupakan variabel yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesulitan regulasi emosi pada individu dengan Trikotilomania. Perasaan cemas maupun depresi dapat mendorong individu untuk menarik rambut dengan tujuan mengalihkan diri mereka dari berbagai hal-hal yang menekan dan pemikiran yang tidak menyenangkan. Perilaku ini kemudian menjadi bentuk coping stress bagi individu (Schreiber et al., 2011).

Kecenderungan gaya berpikir indvidu turut memengaruhi munculnya perilaku menarik rambut, seperti pemikiran tentang gaya rambut dan penampilan, gaya berpikir yang cenderung kaku, adanya distorsi kognitif berupa catastrophizing (meyakini bahwa hal buruk yang sifatnya besar akan terjadi hanya karena satu kejadian negatif yang relatif kecil) dan overgeneralizing (membuat suatu kesimpulan buruk terhadap semua hal berdasarkan pada

satu kejadian tertentu) (Walther et al., 2010). Individu dengan Trikotilomania semakin terdorong menarik rambut ketika mengalami kecemasan dalam ranah kognitif dan sulit untuk mentoleransi pikiran-pikiran negatif yang muncul (Alexander et al., 2017).

Sebagian besar kecemasan yang ditunjukkan oleh NR, berkaitan dengan aspek kognitif, khususnya mengenai cara pandang NR terhadap dirinya yang cenderung negatif (contoh, cemas jika tidak mampu menyelesaikan tugas kuliah), kurang mampu beradaptasi dengan situasi yang terjadi diluar kendali NR, NR cenderung tidak ingin membuka identitas diri atau latar belakang kehidupannya dengan orang-orang yang baru ia kenal, termasuk dengan teman-teman kuliahnya karena merasa takut jika informasi tentang diri NR disalahgunakan oleh orang lain hingga ketakutan akan munculnya pandangan negatif dari orang lain saat mengetahui latar belakang kehidupan NR.

Selain faktor distress yang tinggi dan kecemasan, individu yang mengalami Trikotilomania seringkali dikaitkan dengan self esteem yang rendah (Gretchen J. Diefenbach et al., 2005). Self esteem merupakan penilaian diri secara keseluruhan yang banyak berkaitan dengan penilaian spesifik dari peran yang dijalani individu. Individu dengan self esteem yang rendah sering menunjukkan pemikiran negatif tentang performa mereka, baik dalam situasi sosial, pekerjaan maupun saat menghadapi ujian (Weiten, Dunn & Hammer, 2012). Menurut Rosenberg (dalam Atwater, 1983) individu dengan self esteem yang rendah empat kali lebih mungkin memiliki gambaran diri yang tidak stabil jika dibandingkan individu dengan self esteem yang tinggi. Howard dan Kubis (dalam Atwater, 1983) juga menyebutkan bahwa individu dengan self esteem yang rendah lebih rentan mengalami beberapa gejala psikosomatis, seperti kecemasan, insomnia, sakit kepala maupun peningkatan detak jantung. Ketika individu melakukan perbuatan yang buruk, maka mereka akan menyalahkan diri sendiri, kemudian merasa tertekan dan hal tersebut akan kembali melukai harga diri mereka.

Perkembangan self esteem pada anak dan remaja dipengaruhi oleh cara orang lain dalam memandang mereka, terutama orang-orang yang dianggap penting bagi mereka, seperti orangtua. Seorang anak cenderung dapat melihat diri secara positif ketika orangtua menunjukkan rasa kasih sayang dan keterlibatan dalam tumbuh kembang anak (Lord, Eccles, & McCarthy, 1994; Ojanen & Perry, 2007 dalam Kail & Cavanaugh, 2010). Ketika orangtua gagal dalam menerapkan aturan atau kedisplinan, menyampaikan ketidakpedulian maupun menolak untuk mendengar pendapat anak, maka hal tersebut akan berdampak pada penurunan self esteem pada anak (Kail & Cavanaugh, 2010).

Serupa dengan hasil penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, perilaku menarik rambut merupakan refleksi dari kecemasan NR terhadap berbagai hal yang sulit ia ekspresikan. Kecemasan tersebut juga berawal dari kondisi self esteem NR yang cenderung rendah, yang disebabkan dari minimnya kedekatan emosional dan komunikasi dengan sosok ayah, perasaan takut akan penolakan ketika

menyampaikan pendapat dan takut mengecewakan orangtua saat gagal menunjukkan prestasi. Perasaan takut tersebut turut termanifestasi dalam kehidupan relasi sosial NR yang ditunjukkan melalui pemikiran-pemikiran negatif mengenai kemampuan dirinya, munculnya perasaan tidak percaya dan tidak ingin diremehkan oleh orang-orang disekitarnya.

Berdasarkan pada hasil asesmen, dinamika psikologis dan diagnosa, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku menarik rambut subjek NR yang telah terjadi selama hampir 10 tahun merupakan gangguan Trikotilomania. Gangguan tersebut di dalam DSM IV-TR termasuk dalam kategori gangguan kontrol impuls yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain (impulse-control disorders not elsewhere classified). Perilaku menarik rambut NR didasari oleh kondisi self esteem yang rendah, sehingga memicu terjadinya kecemasan dan direfleksikan dalam bentuk perilaku menarik rambut yang tergolong kronis. Sensasi fisik, kondisi emosi dan kognitif merupakan faktor-faktor yang turut memengaruhi keinginan subjek NR menarik rambut. Adapun dampak negatif yang dirasakan oleh subjek NR akibat perilaku menarik rambut tersebut, seperti iritasi pada kulit kepala maupun kulit di area tubuh lain, rasa bersalah, malu saat menunjukkan penampilan yang sesungguhnya dan perilaku tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang sulit dihentikan.

Berdasarkan hasil asesmen dan penegakan diagnosa, adapun bentuk terapi yang diberikan kepada NR untuk menurunkan perilaku menarik rambut melalui Habit Reversal Training (HRT). Penerapan teknik HRT terdiri dari tiga komponen, yaitu awareness training and self monitoring, stimulus control dan competing response procedures. Pada setiap komponsen tersebut, NR akan belajar menyadari kehadiran dorongan menarik rambut, menghindari situasi yang memicu perilaku tersebut, dan mengganti perilaku maladaptif tersebut menjadi perilaku yang adaptif (Morris et al., 2013). Motivasi NR untuk melakukan perubahan perilaku merupakan sebuah hal yang sangat penting dalam menangani Trikotilomania karena menurut pendapat (Kell & Kress, 2006), usaha dalam diri sendiri merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam menurunkan perilaku menarik rambut.

Selama menerapkan teknik tersebut, NR memiliki kesadaran dan motivasi yang kuat untuk lebih mampu mengendalikan emosi serta pikiran negatif yang dapat memicu keinginan menarik rambut. Selain itu, NR berupaya meminimalisir munculnya perilaku menarik rambut dengan melakukan berbagai aktivitas kampus ataupun mengerjakan tugas-tugas di luar kos bersama teman-teman. Menurunkan kebiasaan menarik rambut menjadi tantangan bagi NR yang sudah secara otomatis dapat terjadi. Selama menjalani sesi terapi, NR beberapa kali masih memandang proses untuk mengubah perilaku tersebut merupakan hal yang sulit dan sempat mengalami situasi kurang menyenangkan yang berakibat pada peningkatan kecemasan serta kenginan menarik rambut kembali.

Dibalik tantangan tersebut, NR terus menerus menyadarkan dirinya untuk termotivasi mengubah perilaku menarik rambut. Upaya tersebut berdampak pada penurunan secara

perlahan intensitas perilaku menarik rambut NR, seperti menarik rambut hanya sehelai hingga dua helai. Durasi waktu untuk menarik rambut pun turut menurun. Pada akhir sesi pemberian terapi, NR menceritakan telah memiliki keberanian untuk melepas kerudung dihadapan teman-temannya, meskipun masih menggunakan bando untuk sedikit menutupi bagian rambut yang terlihat tipis dan ketika menghadapi situasi tertentu, NR saat ini semakin menyadari jenis perasaan dan pikiran yang muncul sekaligus berupaya untuk mengendalikannya.

Saran bagi peneliti maupun rekan Profesional yang menemukan kasus Trikotilomania maupun kasus lain yang serupa adalah melakukan asesmen lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kecemasan subjek, dikarenakan gangguan Trikotillomania erat kaitannya dengan permasalahan kecemasan dan hal tersebut merupakan keterbatasan di dalam penelitian ini. Hasil pengukuran tersebut pun dapat mendukung hasil asesmen lainnya untuk melihat kasus secara komprehensif.

Saran yang diberikan kepada NR adalah mampu memertahankan motivasi internal untuk meminimalisir keinginan menarik rambut termasuk pengendalian emosi serta pikiran negatif terhadap diri sendiri dan orang lain, mengubah pandangan bahwa tidak terdapat dampak positif atau sensasi menyenangkan yang terjadi ketika menarik rambut secara terus menerus, dan lebih mampu mengembangkan kepercayaan diri dan sikap menghargai diri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, J. R., Houghton, D. C., Twohig, M. P., Franklin, M. E., Saunders, S. M., Neal-Barnett, A. M., …

Woods, D. W. (2017). Clarifying the relationship between Trichotillomania and anxiety. Journal of Obsessive-Compulsive and Related  Disorders,

13(February),                                 30–34.

https://doi.org/10.1016/j.jocrd.2017.02.004

American Psychiatric Association., & American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-IV-TR. Washington, DC: American Psychiatric Association.

Atwater, E. (1983). Psychological of Adjustment. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall. Inc

Casati, J., Toner, B. B., & Yu, B. (2000). Psychosocial issues for women with trichotillomania. Comprehensive   Psychiatry,    41(5),    344–351.

https://doi.org/10.1053/comp.2000.9012

Christenson, A., Mitchell, J. E., & Mackenzie, B. (1991). Gary A. Christenson,. The American Journal of Psychiatry, 148(March), 365–370.

Demetriou, S. (2019). Emotion regulation in disorder ): The role of stress and trauma by.

Diefenbach, G. J., Mouton-Odum, S., & Stanley, M. A. (2002). Affective correlates of trichotillomania. Behaviour Research and Therapy, 40(11), 1305–

1315.     https://doi.org/10.1016/S0005-7967(02)00006-

Diefenbach, Gretchen J., Tolin, D. F., Hannan, S., Crocetto, J., & Worhunsky, P. (2005). Trichotillomania: Impact on psychosocial functioning and quality of life. Behaviour Research and Therapy, 43(7), 869–884. https://doi.org/10.1016/j.brat.2004.06.010

Diefenbach, Gretchen J., Tolin, D. F., Meunier, S., &

Worhunsky, P. (2008). Emotion regulation and trichotillomania:  A comparison of clinical and

nonclinical hair pulling. Journal of Behavior Therapy and Experimental  Psychiatry,   39(1),   32–41.

https://doi.org/10.1016/j.jbtep.2006.09.002

Flessner, C. A., Conelea, C. A., Woods, D. W., Franklin, M. E., Keuthen, N. J., & Cashin, S. E. (2008). Styles of pulling in trichotillomania: Exploring differences in symptom severity, phenomenology, and functional impact. Behaviour Research and Therapy, 46(3),

345–357. https://doi.org/10.1016/j.brat.2007. 12.009

Grzesiak, M., Reichp, A., Szepietowsk, J.C., Hadrys, T., & Pacan, P. (2017). Trichotillomania among young adults:  Prevalence and comorbidity. Acta Derm

Venereol. 97. 509-512.

Grant, J. E., Chamberlain, S. R.,  & Ph, D. (2016).

Trichotillomania. The American Journal of Psychiatry, 173(9), 868–874.

Grant, J. E., Dougherty, D. D., & Chamberlain, S. R.

(2020). Prevalence, Gender Correlates, and Comorbidity of Trichotillomania. Psychiatry Research, 288(March),                                112948.

https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.112948

Kail, R.V & Cavanaugh, J.C. (2010). Human development: A Life-span view. Fifth Edition. USA: Wadsworth Cengage Learning

Kell, B. L.,  & Kress, V. E. (2006). Trichotillomania:

Behavioral assessment and treatment interventions. International Journal of Behavioral Consultation and Therapy,                 2(1),                65–72.

https://doi.org/10.1037/h0100767

Morris, S. H., Zickgraf, H. F., Dingfelder, H. E.,  &

Franklin, M. E. (2013). Habit reversal training in trichotillomania:  guide for the clinician. Expert

Review of Neurotherapeutics, 13(9), 1069–1077.

Schreiber, L. R. N., Odlaug, B. L., & Grant, J. E. (2011). Diagnosis and treatment of trichotillomania. Neuropsychiatry,           1(2),           123–132.

https://doi.org/10.2217/npy.11.8

Walther, M. R., Ricketts, E. J., Conelea, C. A., & Woods, D. W. (2010). Recent advances in the understanding and treatment of trichotillomania. Journal of Cognitive     Psychotherapy,     24(1),     46–64.

https://doi.org/10.1891/0889-8391.24.1.46

Weiten, W., Dunn. D.S.,  & Hammer, E.Y. (2012).

Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century. Tenth Edition. USA: Wadsworth, Cengage Learning

Woods, D. W., & Houghton, D. C. (2014). Diagnosis, evaluation, and management of trichotillomania. Psychiatric Clinics of North America, 37(3), 301– 317. https://doi.org/10.1016/j.psc.2014.05.005

LAMPIRAN

Tabel 1

Kriteria gangguan Trikotilomania berdasarkan DSM IV TR

Karakteristik

Checklist

Keterangan

A. Menarik rambut secara berulang yang menyebabkan terjadinya kerontokan rambut.

√ (terpenuhi)

NR telah memiliki kebiasaan menarik rambutnya sejak kelas 5 SD hingga saat ini. Kebiasaan tersebut membuat rambut NR rontok dan semakin menipis, terutama pada beberapa area kepala

B. Penarikan rambut biasanya didahului oleh ketegangan yang meningkat atau ketika mencoba menolak perilaku tersebut.

√ (terpenuhi)

Perilaku menarik rambut diawali dengan perasaan cemas yang dirasakan NR. Ketika NR mencoba untuk menghentikan atau tidak mampu mencabut sehelai rambut yang ia inginkan, maka akan timbul perasaan kesal.

C. Terdapat perasaan senang, puas atau lega setelah menarik rambut

√ (terpenuhi)

Setelah menarik rambut, NR merasa lega terutama jika menarik rambut pada area yang sebelumnya sering ia tarik

D. Gangguan yang dialami tidak termasuk dalam gangguan mental yang lain dan bukan disebabkan oleh kondisi medis umum

√ (terpenuhi)

Perilaku menarik rambut NR tidak disebabkan oleh gangguan mental lain ataupun kondisi medis umum

E. Gangguan tersebut menyebabkan distress atau secara signifikan telah mengganggu aspek sosial, pekerjaan dan area penting lainnya.

√ (terpenuhi)

Akibat dari perilaku tersebut, membuat NR tidak berani untuk menunjukkan kondisi rambutnya, sehingga NR sangat jarang membuka kerudung dihadapan teman-temannya yang sesama perempuan, sering terjadi iritasi pada area kulit kepala atau bagian kaki

48