Konflik dengan pasangan, tujuan berprestasi, dan hubungannya dengan self-regulated learning pada pelajar berusia remaja
on
Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.2, 41-47
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2021.v08.i02.p06
Konflik dengan pasangan, tujuan berprestasi dan hubungannya dengan self-regulated learning pada pelajar berusia remaja
Putri Saraswati
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang [email protected]
Abstrak
Di usia remaja, individu mulai tertarik dengan lawan jenis, bahkan ada yang sudah memiliki hubungan romantis dengan lawan jenis. Dalam hubungannya dengan orang lain, tentunya sangat mungkin memunculkan konflik. Perbedaan yang dialami oleh dua orang (pasangan) dapat menimbulkan gangguan dalam belajar pelajar, apalagi jika seseorang tersebut tidak memiliki target berprestasi yang jelas dalam belajar (achievement goal). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kemampuan remaja dalam mengatasi konflik dengan pasangan, achievement goal dan self-regulated learning. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi SMA sebanyak 388 orang, dengan siswa laki-laki sebanyak 182 orang dan siswa perempuan sebanyak 206 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster random sampling. Data diambil di kota Malang dan skala likert merupakan alat ukur yang digunakan untuk ketiga variabel dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) tidak ada hubungan antara kemampuan mengatasi konflik dalam berpacaran dan SRL (r=0,48, sig=0,344<0,05); 2) meskipun demikian, achievement goal bukan merupakan variabel mediasi antara kemampuan mengatasi konflik dalam berpacaran dan SRL; 3) ada hubungan positif antara kemampuan mengatasi konflik dengan pasangan dan achievement goal (r=0,122, sig=0,016).
Kata Kunci: achievement goal, conflict, remaja, self-regulated learning.
Abstract
Teens begin to be attracted to the opposite sex, some even have romantic relationships with the opposite sex. In relation to other people, it is very possible to cause conflict. Differences experienced by two people (pairs) can cause interference in learning, especially if the person does not have a clear achievement goal in learning. This study aims to determine the relationship between the ability of adolescents in overcoming conflicts with partners, achieving goals, and independent learning. The subjects of this study were 388 high school students, 182 male students and 206 female students. The sampling used is cluster random sampling. The data was taken in the city of Malang and the Likert scale is a measuring tool used for the third variable. The results of this study indicate that 1) there is no relationship between romantic partner conflict and SRL (r=0.48, sig=0.344<0.05); 2) however, achievement goal is not a mediating for romantic partner conflict variable and SRL; 3) there is a positive relationship between romantic partner conflict and the achievement goal (r = 0.122, sig = 0.016).
Keywords: achievement goal, conflict, self-regulated learning, teens
LATAR BELAKANG
Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang perlu diselesaikan seperti 1) menerima keadaan fisiknya, 2) memperoleh kebebasan emosional, 3) mampu bergaul, 4) menemukan model untuk identifikasi, 5) mengetahui dan menerima kemampuan sendiri, 6) memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma, 7) meninggalkan relasi dan cara penyesuaian yang kekanak-kanakan (Singgih, Gunarsa, & Yulia, 2008), 8) menerima peran dewasa sesuai kebiasaan masyarakat, 9) mengembangkan komunikasi interpersonal (Jannah, 2017).
Tugas-tugas perkembangan di atas akan memunculkan masalah ketika remaja tidak mampu menyelesaikannya. Dimana remaja yang ingin mandiri namun di sisi yang lain mereka belum sanggup untuk mandiri karena belum matangnya kondisi emosional, finansial dan minimnya pengalaman hidup. Menurut Hall (1904, dalam Singgih, Gunarsa & Yulia, 2008) menyatakan bahwa remaja mengalami masa “storm and stress”, masalah yang biasa dihadapi oleh remaja seperti 1) kekecewaan dan penderitaan, 2) peningkatan konflik, pertentangan-pertentangan dan krisis penyesuaian, 3) pacaran dan percintaan, 4) impian dan khayalan, 5) keterasingan dari kehidupan dewasa dan norma kebudayaan.
Menurut Hurlock (1973, dalam Saputro, 2018) kebanyakan remaja kurang mampu mengatasi masalah mereka dengan cara yang mereka yakini. Meskipun demikian, berbagai masalah yang muncul dalam kehidupan remaja ini, diimbangi dengan perkembangan kognitifnya yang semakin baik. Pada masa ini, remaja lebih logis dalam berpikir dan lebih analisa dalam mengambil keputusan. Remaja mengalami peningkatan kemampuan berpikir menggunakan hipotesa dan membuat remaja mampu berpikir bebas dengan kemungkinan tak terbatas. Kemampuan berpikir ini membuat remaja mengujikan hasil penalarannya pada realitas (Santrock, 2003). Peningkatan kemampuan berpikir ini digunakan untuk menyelesaikan tuntutan sekolah yang juga semakin meningkat. Dari SD menuju SMP, dari SMP menuju SMA dengan tuntutan tugas yang lebih tinggi.
Remaja memiliki tuntutan atau tugas akademik yang perlu diselesaikan. Tugas akademik yang perlu diselesaikan remaja di sekolah bertujuan untuk mengasah keterampilan intelektual, mengembangkan keterampilan dasar hingga melatih keterampilan hidup (Santrock, 2003). Fungsi sekolah ini membantu remaja untuk menyiapkan diri untuk menghadapi masa depan seperti untuk studi lanjut ataupun memutuskan untuk bekerja. Meskipun demikian, dalam menyelesaikan tugas-tugas dan tuntutan di sekolah serta perubahan psikologis yang terjadi pada remaja, membuat mereka membutuhkan kemampuan tertentu untuk sukses di sekolah. Jika tidak maka dapat menimbulkan kegagalan dalam belajar, mulai dari tugas tidak selesai, nilai yang buruk, tidak naik kelas hingga stres dalam belajar yang terwujud dalam berbagai perilaku seperti membolos, hingga fobia sekolah (Saraswati, 2017).
Kondisi ini membuat remaja perlu memiliki regulasi diri dalam belajar (self-regulated learning) yang baik. Self-
regulated learning adalah kemampuan individu dalam merencanakan, melaksanakan, mengontrol dan mengevaluasi hal-hal yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Selfregulated learning mengacu pada generalisasi diri yakni pikiran, perasaan dan perilaku yang direncanakan dan bersiklus untuk mencapai tujuan dalam belajar (Zimmerman, 1994 dalam Boekaerts, Pintrich & Zeidner, 2000; Panadero, 2017; Hardy, Day & Steele, 2019). Dengan self-regulated learning yang baik, sebelum mengawali kegiatan belajarnya, remaja akan melakukan perencanaan seperti melakukan analisa terhadap tugas-tugas akademiknya, membuat tujuan belajar dan tujuan akhir yang diharapkan, membuat strategi belajar yang akan digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik. Selain itu, remaja dengan self-regulated learning yang baik juga akan memotivasi dirinya untuk meraih tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Schunk dan Zimmerman (1994, dalam Boekaerts, Pintrich & Zeidner, 2000) fase di atas disebut sebagai fase forethought yang terdiri dari menganalisa tugas dan memotivasi diri.
Fase selanjutnya dalam self-regulated learning (SRL) adalah fase performa, fase ini terdiri dari kontrol diri dan observasi diri (Zimmerman, 1994 dalam Boekaerts, Pintrich & Zeidner, 2000). Remaja dengan SRL yang baik akan menjalankan atau merealisasikan fase forethought yang telah direncanakan sebelumnya. Pada fase ini remaja akan mengendalikan dan mengontrol aktivitas yang sudah direncanakan dalam belajar kemudian mengobservasi segala aktivitas yang sudah direncakan. Di fase terakhir menurut Zimmerman, adalah fase refleksi diri, dimana remaja dengan SRL yang baik akan mengevaluasi segala kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan untuk memperoleh tujuan belajar yang diharapkan. Setelah melakukan evaluasi, remaja dengan SRL ini, akan bereaksi terhadap hasil evaluasinya. Reaksi yang muncul, berupa reaksi emosi dan reaksi kognisi. Reaksi emosi berhubungan dengan perasaan yang muncul atas usaha dan evaluasi yang telah dilakukan, sedangkan reaksi kognisi berhubungan dengan perencanaannya kembali akan aktivitas belajarnya.
Setelah fase refleksi ini, remaja dengan SRL yang baik akan menggunakan reaksi emosi dan kognisinya untuk merencanakan kembali aktivitas belajarnya dan kembali pada fase forethought. Dengan demikian, SRL bersifat sadar, terencana, aktif, disengaja dan bersiklus untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan.
SRL yang dimiliki dapat berdampak pada hasil kerja yang baik dalam hal akademik dan prestasi akademik yang sesuai dengan harapan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Butarbutar (2011), Latipah (2010), Noviyanti, Simatupang, Islami, dan Nasir (2017), yang menyatakan bahwa selfregulated learning (SRL) memiliki hubungan dengan prestasi akademik, hasil belajar dan motivasi belajar pada diri seseorang. Artinya, semakin baik kemampuan SRL individu maka semakin baik prestasi belajar, hasil belajar dan motivasi belajarnya. Selain itu, dengan self regulated yang baik, individu tidak akan merasa tertekan dalam menjalani proses belajar mengajar. Individu dengan self regulated yang baik memiliki kemampuan yang baik dalam merencanakan dan mengevaluasi proses belajarnya sehingga membuat individu tersebut lebih siap secara psikologis. Akhirnya, individu tersebut tidak akan merasa terlalu tertekan dengan kegiatan
belajarnya. Pendapat ini dikuatkan dengan hasil penelitian dari Winarso (2016) bahwa SRL memiliki pengaruh positif terhadap prestasi akademik dan memiliki hubungan positif terhadap kecerdasan emosi seseorang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin baik SRL individu maka semakin baik pula kecerdasan emosi, maka kemampuan untuk mengenali emosi diri dan mengendalikan perasaan serta mengatasi rasa tertekan yang dihadapinya.
Self-regulated learning yang baik juga membuat individu tidak prokrastinasi dalam menyelesaikan tugas-tugas belajarnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Prima dan Kadi, (2016); Santika dan Sawitri (2016); Saraswati (2017, 2017) yang menunjukkan bahwa self-regulated learning dan prokrastinasi memiliki hubungan negatif. Penelitian ini berarti semakin remaja memiliki self regulated yang baik, maka prokrastinasi yang dimilikinya semakin berkurang. Dengan SRL yang baik, individu akan mampu mengatur kegiatan belajarnya, mengetahui tingkat kesulitan tugasnya, kapan dan bagaimana belajar sehingga mengurangi kegiatan menunda belajar. Di sisi lain, individu dengan self regulated yang kurang akan merasa kurang siap dalam belajar. Individu tersebut juga akan menampilkan performa akademik yang kurang. Terlambat dalam menyelesaikan dan mengumpulkan tugas. Hal ini disebabkan karena individu tersebut tidak memiliki perencanaan yang baik dalam belajarnya.
Individu dengan self-regulated learning yang kurang juga akan memiliki kontrol dan evaluasi yang kurang pada kegiatan belajarnya (Saraswati, 2017). Hal ini membuat individu tersebut menjadi kurang tertata dan kurang bersemangat dalam menyelesaikan tugas belajar maupun menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Selain itu, individu dengan self-regulated learning yang kurang, juga akan merasa kurang puas dengan kegiatan belajarnya. Sebab individu tersebut kurang dapat bereaksi terhadap proses dan hasil belajarnya secara emosi dan kognisi.
Self-regulated learning dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti motivasi, belief, kepribadian, achievement goal, kondisi lingkungan, kondisi emosi. Hal ini sesuai dengan faktor SRL yang ditemukan oleh Boekaerts, Pintrich dan Zeidner (2000), bahwa keyakinan, motivasi, efikasi diri, kepribadian, lingkungan fisik dan sosial dapat mempengaruhi SRL yang dimiliki seseorang. Selain itu, sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa SRL berhubungan dengan kecerdasan emosi (Winarso, 2016), artinya kemampuan individu dalam mengelola emosinya memiliki hubungan dengan SRL, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, peneliti ingin melihat apakah kemampuan remaja dalam mengelola emosi/perasaannya ketika memiliki masalah dengan orang lain terutama dengan pasangan memiliki hubungan terhadap SRL-nya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi emosi remaja adalah kehadiran dan pengaruh orang lain, terutama orang yang dianggap dekat oleh individu tersebut. Remaja yang memiliki masalah atau konflik dengan orang yang dekat dengan dirinya maka akan membuat berkonsentrasi dan bersemangat dalam belajarnya terpecah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian peneliti sebelumnya, bahwa salah satu
faktor penyebab konsentrasi dan prestasi belajar adalah dukungan orang tua dan hubungan dengan orang-orang yang dekat secara emosi seperti saudara dan pacar/pasangan (Saraswati & Setiawan, 2017).
Remaja yang memiliki konflik dengan pasangannya, maka akan mengurangi fokusnya dalam belajar (Ramadhan, 2020). Hal ini disebabkan karena fokus belajarnya terpecah akibat adanya konflik. Perbedaan tujuan yang dimiliki remaja dengan pasangannya atau yang biasa disebut konflik (Lowery, 2007). Menurut Rubin, Bukowski, dan Laursen (2009) konflik interpersonal digambarkan sebagai suatu tahap dimana terjadi ketidaksesuaian yang terwujud dalam perbedaan perilaku dan pandangan. Menurut Lowery (2007) konflik yang dialami individu adalah hal yang normal terjadi dalam hubungan interpersonal. Konflik juga membuat hubungan interpersonal mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang (Lowery, 2007).
Dengan demikian, konflik tidak selalu berdampak negatif tetapi juga berdampak baik bagi individu secara khusus, dan bagi pasangan tersebut secara umum. Konflik berbeda dengan agresif atau perilaku merusak lainnya. Sehingga konflik tidak boleh disamakan dengan perilaku merusak atau merugikan. Perilaku agresif dan dominan merupakan dampak dari konflik yang berkepanjangan (Rubin, Bukowski & Laursen, 2009). Konflik dapat menyebabkan stres jika tidak banyak kemarahan yang tidak terselesaikan (Uchino, Cacioppo, & Kiecolt-Glaser, 1996, dalam Rubin, Bukowski & Laursen, 2009).
Di sisi lain, konflik dapat memberikan dampak positif bagi individu. Konflik membantu individu untuk berkembang menjadi lebih baik (Rubin, Bukowski & Laursen, 2009). Dunn (2004) menyatakan bahwa konflik dapat membantu individu untuk belajar bagaimana mengekspresikan dan mempertahankan pandangannya. Selain itu, konflik juga membantu dalam perkembangan kognitif. Konflik menuntut individu untuk meninggalkan strategi penalaran yang tidak efektif. Cooper (1988) berpendapat bahwa konflik membantu remaja untuk membentuk identitas yang independen dan memiliki sense of autonomy (mandiri). Remaja yang mampu menyelesaikan konfliknya dengan baik berdampak pada kemampuan adaptasi yang baik pada perubahan lingkungan disekitarnya. Dengan dampak-dampak positif yang dimunculkan dari konflik yang maka remaja akan terasah untuk meregulasi pikiran dan perasaannya. Remaja juga akan belajar merencanakan apa saja yang akan dilakukan sebelum menyelesaikan perbedaannya dengan pasangannya. Oleh karena itu, hipotesis yang dimunculkan pada penelitian ini adalah adanya hubungan antara romantic partner conflict dan self-regulated learning pada remaja.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa konflik yang dialami remaja dengan pasangannya dapat membuat remaja semakin matang secara emosi dan kognisi. Dengan kemampuan mengatasi konflik yang dimiliki remaja dengan pasangannya, maka membuat remaja memiliki kemampuan dalam merencanakan, menjalankan dan mengevaluasi dirinya. Sehingga tidak mengherankan jika kemampuan
penyelesaian masalah/konflik dengan pasangan yang dimiliki remaja berhubungan dengan SRL remaja.
Selanjutnya, seperti yang telah disebutkan diatas, faktor lain yang mempengaruhi SRL adalah achievement goal. Dimana individu yang memiliki target belajar yang jelas akan lebih mudah untuk mengatur kegiatan belajarnya. Achievement goal adalah merupakan bagian dari motivasi, yang mengarahkan perilaku siswa dalam meraih tujuan belajarnya (Duffy & Azevedo, 2015).
Individu yang memiliki achievement goal, dalam usahanya akan lebih terarah dan tertata. Hal ini membuat dia lebih intensif dalam belajar dan menyelesaikan tugas-tugas yang diterimanya. Tidak mengherankan bila individu tersebut akan memiliki self-regulated learning yang baik pula. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa achievement goal berpengaruh pada SRL (Saraswati, 2019).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara romantic partner conflict dan self-regulated learning pada pelajar berusia remaja; serta untuk mengetahui hubungan antara romantic partner conflict dan self-regulated learning melalui achievement goal pada pelajar berusia remaja. Selain itu, untuk mengetahui hubungan romantic partner conflict dan achievement goal pada pelajar di usia remaja.
Manfaat yang diberikan dari penelitian ini adalah memperluas penemuan teori self-regulated learning, terutama pada faktor yang mempengaruhi self-regulated learning. Sementara itu, manfaat praktis yang dapat disumbangkan oleh penelitian ini adalah membantu pihak sekolah untuk dapat mengembangkan kemampuan selfregulated learning siswa.
METODE PENELITIAN
Metode kuantitatif adalah metode yang dipilih dalam penelitian ini. Penelitian kuantitatif adalah metode penelitian untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antar variabel (Noor, 2011).
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel pada penelitian ini adalah Variabel Bebas (X1) Romantic Partner Conflict. Romantic Partner Conflict merupakan kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan dalam komunikasi dengan pasangan sehingga menyebabkan perselisihan atau perbedaan pendapat. Variabel Bebas (X2) Achievement Goal. Achievement Goal adalah tujuan yang akan diraih oleh seseorang dalam belajar. Variabel Terikat (Y1) Self-regulated learning (SRL). SRL adalah usaha individu dalam mengelola kegiatan belajarnya, mulai dari menganalisa tugas, merencanakan, melaksanakan rencana, hingga mengevaluasi dan kembali merencanakan kegiatan belajar kembali.
Hipotesis penelitian ini adalah 1) ada hubungan antara romantic partner conflict dan self-regulated learning pada pelajar berusia remaja; 2) ada hubungan antara romantic partner conflict dan self regualated learning melalui achievement goal pada pelajar berusia remaja; 3) hubungan
romantic partner conflict dan achievement goal pada pelajar di usia remaja.
Responden
Pada penelitian ini subjek penelitian harus memenuhi karakteristik sebagai berikut a) remaja Akhir, usia 15 hingga 18/20 tahun, b) pelajar SMA aktif/sederajat di Kota Malang. Subjek penelitian diambil dengan sampling yakni cluster random sampling. Teknik pengambilan sampel ini termasuk dalam teknik pemilihan sampel dengan acak, dimana setiap unsur dalam populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel (Sugiyono, 2017). Cluster random sampling ini digunakan karena populasi pada penelitian ini sangat luas yakni pelajar SMA aktif di Kota Malang (Noor, 2011). Pemilihan sampel dilakukan secara random berdasarkan wilayah.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 5 sekolah di 5 kecamatan di Kota Malang, baik sekolah swasta maupun negeri. Data penelitian ini diambil pada tahun 2018 hingga 2019 di sekolah masing-masing, Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 6 bulan.
Alat Ukur
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini, menggunakan skala psikologis dalam bentuk likert untuk setiap variabelnya. Untuk variabel self-regulated learning menggunakan skala yang dibuat oleh peneliti sendiri, pada penelitian sebelumnya. Validitas alat ukur ini bergerak dari angka 0.32 hingga 0.634, sedangkan reliabilitasnya adalah 0.929 (Saraswati, 2018). Dimensi yang diukur pada skala self regualted learning ini adalah merencanakan, memonitor, mengatur, mengontrol dan merefleksi/reaksi terhadap kognisi, motivasi, perilaku dan isi dalam belajar. Variabel bebas yakni romantic partner conflict, diambil dari hasil penelitian Julaibib (2018), dengan validitas 0.59 – 0.84. Dimensi yang diukur pada variabel ini adalah submisi (reliabilitas 0.819), kompromi (reliabilitas 0,904), menghindar (0.692), interaksional reaksi (reliabilitas 0.616), separasi (reliabilitas 0.855) dan dominasi (reliabilitas 0.813). Variabel bebas kedua yakni achievement goal diukur dengan skala likert, yang dibuat oleh peneliti dengan validitas sebesar 0,276 – 0,581 dan reliabilitas sebesar 0.824. Pada ketiga skala ini memiliki empat pilihan jawaban yakni sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai dan sangat tidak sesuai.
Teknik Analisis Data
Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini, dilakukan analisa dengan menggunakan teknik analisa product moment dengan melihat hubungan antara variabel romantic partner conflict dan self-regulated learning; romantic partner conflict dan achievement goal dengan bantuan SPSS. Aplikasi JASP untuk melihat moderasi romantic partner conflict dan self-regulated learning melalui achievement goal.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Subjek penelitian ini terdiri dari pelajar SMA laki-laki dan perempuan sebanyak 182 dan 206 siswa. Subjek penelitian
yang duduk dibangku kelas 1 SMA sebanyak 173 siswa. Kelas 2 SMA sebanyak 112 siswa dan 103 orang untuk siswa yang duduk dibangku kelas 3 SMA. Total subjek penelitian ini sebanyak 388 siswa SMA.
Deskripsi Data Penelitian
Rata-rata skor SRL subjek penelitian ini adalah 2,94 dengan standar deviasi (SD) sebesar 0,316 yang berarti subjek penelitian memiliki kemampuan SRL yang cukup. Selanjutnya skor rata-rata romantic conflict partner sebesar 2,53 dan SD sebesar 0,335 yang berarti kemampuan mengatasi masalah berada pada kategori cukup. Skor rata-rata achievement goal adalah 2,83 dan SD sebesar 0,280, yang dapat diartikan bahwa kemampuan dalam membuat target belajar pada kategori cukup.
Uji Asumsi
Berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas ditemukan bahwa nilai z sebesar 0,883 dan nilai signifikansi sebesar 0.417 lebih besar dari 0.05, artinya data penelitian ini berdistribusi normal. Pada pengujian linieritas diketahui bahwa nilai signifikansi deviasi linieritas sebesar 0,292 lebih besar dari 0,05 dan nilai F sebesar 1,098, sehingga dapat dikatakan bahwa data pada penelitian ini bersifat linier.
Uji Hipotesis
Pada penelitian ini menunjukkan kemampuan remaja dalam romantic conflict partner dan self-regulated learning, berada pada usia remaja di kota berada pada kategori sedang (mean 2,53 dan 2,94). Artinya kebanyakan remaja di kota Malang yang menjadi subjek penelitian ini memiliki kemampuan yang cukup dalam mengatasi masalah dengan pasangannya dan memiliki kemampuan regulasi belajar yang cukup.
Hasil uji korelasi product moment romantic conflict partner dan self-regulated learning menyatakan bahwa nilai r sebesar 0,48. Namun tidak signifikan dengan signifikansi sebesar 0,344 yang lebih besar dari 0,05. Artinya tidak ada hubungan antara romantic conflict partner dan self-regulated learning.
Pengujian achievement goal pada penelitian ini terlihat bahwa, rata-rata subjek memiliki tujuan atau target berprestasi (achievement goal) yang cukup (mean 2,83). Artinya remaja SMA di kota Malang memiliki tujuan yang cukup dalam membuat target belajarnya. Kemampuan remaja dalam menghadapi masalah dengan pasangannya (romantic partner conflict) memiliki hubungan yang signifikan dengan tujuan berprestasinya (Achievement goal). Hal ini terlihat dari nilai r = 0,122 dengan koefisien korelasi sebesar 0,016 (p<0,05). Artinya semakin baik kemampuan remaja dalam menghadapi masalahnya dengan pasangan (romantic partner conflict) maka semakin baik pula tujuan berprestasi yang ditetapkannya. Kontribusi kemampuan mengatasi masalah dengan pasangan (romantic partner conflict) terhadap achievement goal sebesar 1.5% (R2 = 0,015). Koefisien korelasi yang dimiliki antara achievement goal dan selfregulated learning sebesar 0.731 (sig=0.000 < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik tujuan berprestasi yang dimiliki remaja maka semakin baik pula kemampuan self regulasi belajar remaja. Kontribusi achievement goal terhadap self-regulated learning sebesar 53,3%.
Hasil perhitungan uji moderasi dengan JASP menunjukkan bahwa tujuan berprestasi (Achievement Goal) dalam penelitian ini bukan merupakan variabel moderasi karena koefisien signifikansi moderatornya sebesar 0,721 yang lebih besar dari 0,05. Dengan kata lain, kemampuan mengatasi masalah dengan pasangan (romantic partner conflict) tidak memiliki hubungan dengan self-regulated learning, namun berhubungan dengan achievement goal. Dan Achievement Goal bukan merupakan variabel yang menghubungkan kemampuan mengatasi masalah dengan pasangan (romantic partner conflict) dan self-regulated learning.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Hipotesa alternatif pada penelitian ini tidak terbukti, sehingga kemampuan mengatasi masalah dengan pasangan (romantic partner conflict) tidak memiliki hubungan dengan kemampuan self-regulated learning pada remaja di kota Malang (r=0,48, sig=0,344<0,05). Hasil lain yang ditemukan pada penelitian ini adanya hubungan positif antara kemampuan mengatasi masalah dengan pasangan (romantic partner conflict) dan achievement goal (r=0,122, sig=0,016 < 0,05, dengan kontribusi sebesar r square = 0,15). Meskipun demikian, achievement goal bukan merupakan faktor yang menjadi mediator antara kemampuan mengatasi masalah dengan pasangan (romantic partner conflict) dan selfregulated learning (koefisien signifikansi moderator sebesar 0,721 lebih besar dari sig 0,05).
Menurut Zimmerman dan Pintrich (1986, dalam Boekaerts, Pintrich & Zeidner, 2000), self-regulated learning yang diyakini sebagai proses yang dilakukan individu secara aktif, dalam menyusun rencana pada proses belajarnya. Individu sebelum merencanakan proses belajarnya, terlebih dahulu akan melakukan analisa terhadap tugas yang akan dihadapi dan diselesaikannya. Setelah itu, individu akan membuat tujuan belajar dari belajarnya lalu dilanjutkan dengan pembuatan strategi belajar yang akan dipakai dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar. Pada proses ini, individu akan menggunakan kemampuan berpikirnya. Ia akan menggunakan kapasitas berpikirnya untuk melakukan perencanaan-perencanaan ini.
Proses selanjutnya, individu akan melaksanakan rencana-rencana yang telah ia buat dan melakukan kontrol dan evaluasi atas semua yang telah ia rencanakan dan kerjakan. Pada fase ini usaha, kemampuan dan daya tahan terhadap stres diperlukan. Pada tahap terakhir, individu akan melakukan refleksi terhadap hasil evaluasi yang telah diperoleh selama melaksanakan rencana-rencananya. Reaksi yang diberikan dapat berupa reaksi emosi dan kognisi. Reaksi-reaksi ini akan berdampak pada membuat rencana belajar selanjutnya. Rencana dapat dipertahankan karena dianggap baik dan menimbulkan reaksi emosi yang positif, namun bisa juga rencana selanjutnya akan diubah, diganti maupun diperbaiki jika hasilnya memunculkan reaksi kognitif yang kurang memuaskan, bahkan mengecewakan serta menimbulkan perasaan yang negatif dkk., 2000).
Self-regulated learning yang baik akan membuat individu menjadi lebih terarah dalam belajar dan memungkinkan
individu untuk mendapatkan hasil belajar yang diinginkannya. Self-regulated learning ini memiliki yang individu dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti orang tua, teman dan pengajar/tutor. Selain itu faktor yang mempengaruhi regulasi diri adalah diri sendiri. Hal ini sesuai dengan teori perspektif sosial, bahwa regulasi diri merupakan hasil dari interaksi diri, perilaku dan lingkungan (Bandura, 1986 dalam Boekaerts, Pintrich & Zeidner, 2000). Faktor lain yang mempengaruhi self-regulated learning adalah kepribadian, self efficacy, lingkungan fisik, belief dan motivasi (Boekaerts, Pintrich & Zeidner, 2000).
Selain faktor di atas, self-regulated learning (SRL) juga berhubungan dengan kecerdasan emosi (Abdullah, 2017). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cho dan Heron (2015) bahwa individu yang mampu meregulasi dirinya dalam belajar dapat mempengaruhi kecerdasan emosinya. Kecerdasan emosi disini yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam mengatur dan mengekspresikan emosinya yang berhubungan dengan kegiatan akademik. Sementara itu, kemampuan individu dalam mengatasi masalahnya dengan pasangan adalah kemampuannya dalam mengatasi masalah yang berdampak pada emosi individu yang disebabkan oleh hubungannya dengan pasangan bukan karena permasalahan akademik. Sehingga tidak mengherankan jika, kemampuan SRL individu yang erat kaitannya dengan proses belajar tidak berhubungan dengan kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah dengan pasangannya.
Individu yang memiliki kemampuan yang baik dalam meregulasi belajarnya, yakni individu yang mampu mengatur dan menghadapi tantangan akademiknya tidak selalu diikuti dengan kemampuan yang baik dalam mengatasi masalah yang dihadapi dengan pasangannya. Alasan lain, adalah kemampuan regulasi diri dalam belajar lebih terfokus pada kegiatan akademik, baik proses hingga evaluasinya dimana individu tetap akan terjaga semangatnya/motivasinya dalam belajar meskipun ia mendapatkan gangguan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan motivasi belajar dan SRL (Meiliati & Darwis, 2018; Cleary & Kitsantas, 2017; Duffy & Azevedo, 2015; Nelson, Shell, Husman, Fishman, & Soh, 2015). Semakin tinggi motivasi individu maka semakin tinggi pula SRL belajar yang dimiliki individu. Hal ini berarti semakin semangat dan fokus individu untuk belajar maka akan memiliki regulasi belajar yang semakin baik dan semakin sulit untuk terganggu oleh gangguan belajar. Konflik dengan pasangan adalah gangguan yang dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan belajar.
Berdasarkan penjabaran di atas terkait hubungan antara motivasi dan SRL dimana individu dengan motivasi yang baik maka individu akan memiliki SRL yang baik pula. Individu dengan semangat yang baik disebabkan karena tujuan/target belajarnya juga baik dan hal ini dampak pada SRL yang dimiliki individu.
Selain itu, kemampuan mengatasi konflik dengan pasangan (romantic partner conflict) dan SRL tidak berhubungan dapat disebabkan karena, pada penelitian ini peneliti tidak melakukan filter kepada subjek yang memiliki pasangan saja sehingga subjek penelitian hanya membayangkan dan memprediksi apa yang akan dilakukan jika berkonflik dengan
pasangannya kelak. Individu yang belum memiliki pasangan akan kesulitan untuk membayangkan bagaimana konflik dengan pasangan itu terjadi dan bagaimana situasi yang terjadi selama konflik terjadi serta dampaknya terhadap kondisi emosi dirinya. Individu tersebut juga kurang mampu memahami dan membayangkan bagaimana dampak konflik terhadap konsentrasi belajar sehingga jawaban yang diberikan hanya sebatas tataran kognitif dan idealnya saja.
Selanjutnya, pada penelitian ini menunjukkan hasil adanya hubungan antara kemampuan mengatasi konflik dengan pasangan (romantic partner conflict) dan achievement goal; serta hubungan antara achievement goal dan SRL. Achievement goal atau biasa dikenal dengan target dalam meraih prestasi adalah tujuan akhir yang ingin diraih individu (Duffy & Azevedo, 2015). Achievement goal yang dimiliki individu dalam belajar merupakan hasil akhir yang ingin diraih individu. Tujuan akan membuat individu merasa tertantang dan terarah dalam menjalankan proses belajar. Dengan adanya target berprestasi maka individu akan secara aktif terlibat dalam proses belajar. Individu dengan achievement goal yang baik akan secara intensif melakukan yang terbaik agar dapat menguasai materi pelajaran yang ada, atau berusaha untuk tidak terlihat tidak menguasai materi. Selain itu, individu dengan achievement goal yang baik akan berusaha untuk mendapatkan nilai/kualitas tugas yang baik, atau berusaha untuk tidak mendapatkan nilai terjelek. Dengan demikian, maka jelas bahwa individu yang memiliki achievement goal yang baik atau target berprestasi yang baik, maka ia akan berusaha untuk meregulasi diri dalam belajarnya untuk meraih target yang telah ditetapkannya dalam belajar.
Selanjutnya, individu yang memiliki achievement goal yang baik maka dapat mengarahkan dirinya untuk mencapai tujuannya dalam berprestasi, sehingga ia juga memiliki kemampuan yang baik dalam mengatasi konflik dengan pasangannya (romantic partner conflict). Individu yang memiliki achievement goal yang baik akan berusaha untuk meraih tujuannya sehingga ia akan berusaha melakukan yang terbaik atau tidak menjadi yang terburuk dalam menguasai materi maupun menyelesaikan tugasnya (Wolters, 2004; Hall, Hanna, Hanna, & Hall, 2015). Artinya individu tersebut memiliki cara-cara yang sudah direncanakannya untuk mengatasi masalah yang mengganggunya dalam belajar, termasuk dalam menghadapi masalah atau konflik dengan pasangannya. Sehingga konflik tersebut tidak mengganggu target yang telah ditetapkannya.
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kemampuan mengatasi masalah dengan pasangan dan self-regulated learning pada pelajar berusia remaja. Namun terdapat hubungan antara kemampuan mengatasi masalah dengan pasangan (romantic partner conflict) dan achievement goal serta terdapat hubungan antara achievement goal dan self-regulated learning pada pelajar berusia remaja. Achievement goal pada penelitian ini, bukan bertindak sebagai variabel moderator.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka implikasi bagi peneliti selanjutnya adalah memilih subjek penelitian harus yang sudah memiliki pasangan/pacar, meskipun alat ukur ini dapat digunakan untuk individu yang belum memiliki pasangan.
Sehingga hasil penelitiannya akan lebih terfokus dan detail. Implikasi selanjutnya bagi peneliti lain adalah memperbaiki validitas dan reliabilitas dari alat ukur achievement goal yang telah peneliti buat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. (2017). Pelatihan self-regulated learning untuk skripsi.
Boekaerts, M., Pintrich, P., & Zeidner, M. (2000). Handbook of selfregulation.
Butarbutar, I. M. I. (2011). Hubungan antara efikasi diri dan regulasi diri dalam belajar dengan prestasi akademik mahasiswa. Analitika, III(2).
Cho, M., & Heron, M. L. (2015). Self-regulated learning: the role of motivation, emotion, and use of learning strategies in students’ learning experiences in a self-paced online mathematics course. Distance Education, 7919 (December 2017), 1–20.
https://doi.org/10.1080/01587919.2015.1019963
Cleary, T. J., & Kitsantas, A. (2017). Motivation and self-regulated learning influences on middle school mathematics achievement. 46(1), 88–107.
Cooper, C. R. (1988). Commentary: The role of conflict in adolescent-parent relationships. Minnesota Symposia on Child Psychology, 21. https://psycnet.apa.org/record/1988-97853-007
Duffy, M. C., & Azevedo, R. (2015). Motivation matters:
Interactions between achievement goals and agent scaffolding for self-regulated learning within an intelligent tutoring system. Computers in Human Behavior, 52, 338–348. https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.05.041
Dunn, J. (n.d.). Children’s friendships: The beginnings of intimacy. https://psycnet.apa.org/record/2005-00934-000
Hall, M., Hanna, L. A., Hanna, A., & Hall, K. (2015). Associations between achievement goal orientations and academic performance among students at a UK pharmacy school. American Journal of Pharmaceutical Education, 79(5), 1–7. https://doi.org/10.5688/ajpe79564
Hardy, J. H., Day, E. A., & Steele, L. M. (2019). Interrelationships among self-regulated learning processes: Toward a dynamic process-based model of self-regulated learning. Journal of Management, 45(8), 3146–3177.
https://doi.org/10.1177/0149206318780440
Jannah, M. (2017). Remaja dan tugas-tugas perkembangannya dalam islam. Psikoislamedia : Jurnal Psikologi, 1 (1), 243256. https://doi.org/10.22373/psikoislamedia.v1i1.1493
Julaibib. (2018). Adaptasi dan identifikasi properti psikometris the romantic partner conflict scale. 1–50.
Rubin K. H., Bukowski, W. M. & Laursen, B. (2009). Handbook of peer interactions, relationships, and groups, first edition. Guilford Press.
Latipah, E. (2010). Strategi self-regulated learning dan prestasi belajar. Jurnal Psikologi, 37(1), 110–129.
Lowery, Z. T. (2007). The relationship between conflict and communication, sex, relationship satisfaction, and other relational variables in dating relationships [Texas University].
Meiliati, R., & Darwis, M. (2018). Pengaruh motivasi belajar , self efficacy , dan self-regulated learning terhadap hasil belajar matematika. 2(1), 83–91.
Nelson, K. G., Shell, D. F., Husman, J., Fishman, E. J., & Soh, L. (2015). Motivational and self-regulated learning profiles of students taking a foundational engineering course. 104(1), 74–100. https://doi.org/10.1002/jee.20066
Noor, J. (2011). Metodologi penelitian. Kencana Prenadamedia Group.
Noviyanti, S., Simatupang, B., Islami, N., & Nasir, M. (2017). Correlation of learning motivation and self- regulated learning with physisc learning result of class xi SMA Negeri 4 Pekanbaru lesson year 2016 / 2017 learning dengan hasil belajar fisika siswa kelas xi. 2017(2), 1–13.
Panadero, E. (2017). A review of self-regulated learning: Six models and four directions for research. Frontiers in Psychology, 8(APR), 1–28. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00422
Psikologi, M., Mulawarman, U., Prima, A., & Kadi, U. (2016). Hubungan kepercayaan diri dan self-regulated learning terhadap prokrastinasi akademik pada mahasiswa psikologi 2013. 4(4), 457–471.
Ramadhan, W. (2020). Implikasi konflik sosial masyarakat terhadap pelajar di sman 6 palu (kasus di Kelurahan Pengawu dan Kelurahan Duyu Kecamatan Tatanga Kota Palu. Repository Untad.
Santika, W. S., & Sawitri, D. R. (2016). Self-regulated learning dan prokrastinasi akademik pada siswa kelas xi SMA Negeri 2 Purwokerto. 5(1), 44–49.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja. Erlangga: Jakarta.
Saputro, K. Z. (2018). Memahami ciri dan tugas perkembangan masa remaja. Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 17(1), 25. https://doi.org/10.14421/aplikasia.v17i1.1362
Saraswati, P. (2017). Self-regulated learning dan kecerdasan emosi. 711(246), 26–40.
Saraswati, P. (2017). Self-regulated learning strategy, academic procrastionation and academic achievement. 9(3), 210–223.
Saraswati, P. (2018). Skala psikologis self-regulated learning (regulasi diri dalam belajar). Hak Cipta Kemenkumham.
Saraswati, P. (2019). Kemampuan self-regulated learning ditinjau dari achievement goal dan kepribadian pada remaja di Kota Malang. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(2), 69–78. https://doi.org/10.23917/indigenous.v4i2.7209
Saraswati, P., & Setiawan, F. N. (2017). Supporting and inhibiting aspects of the students’ learning concentration and academic achievement (Dr. Putu Dian Danayanti Degeng (ed.); pp. 71– 77). UB Press. http://eprints.umm.ac.id/42086/23/Saraswati Setiawan - Motivation cademic achievement learning concentration.pdf
Singgih, Gunarsa, D. & Yulia, S. G. (2008). Psikologi perkembangan anak dan remaja. BPK Gunung Mulia.
Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r&d. Alfabeta.
Winarso, W. (2016). Menilai prestasi belajar melalui penguatan self-regulated learning dan kecerdasan emosional siswa pada pembelajaran matematika. 54–66.
Wolters, C. A. (2004). Advancing achievement goal theory: using goal structures and goal orientations to predict students ’ motivation , cognition , and achievement. 96(2), 236–250. https://doi.org/10.1037/0022-0663.96.2.236
47
Discussion and feedback