Peran kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap problem focused coping pada mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Psikologi Pendidikan, 99-110
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607
Peran kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap problem focused coping pada mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Luh Nya Suardiantari dan I Made Rustika
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Problem focused coping merupakan usaha yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah dengan berfokus langsung pada masalah yang dihadapi. Problem focused coping dipengaruhi oleh kemampuan mengendalikan diri sehingga inidividu mampu berpikir jernih dan bersikap tenang. Problem focused coping juga dipengaruhi oleh keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat menyelesaikan suatu masalah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap problem focused coping pada mahasiswa. Subjek dalam penelitian ini adalah 97 mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan alat ukur yang digunakan adalah skala kecerdasan emosional, skala efikasi diri, dan skala problem focused coping. Hasil uji regresi berganda menunjukkan nilai R=0,558, nilai koefisien determinasi (R square) sebesar 0,311, dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0.05) dengan koefisien beta terstandarisasi kecerdasan emosional sebesar 0,438, dan koefisien beta terstandarisasi efikasi diri sebesar 0,219. Hasil tersebut menunjukan bahwa kecerdasan emosional dan efikasi diri secara bersama-sama berperan terhadap problem focused coping pada Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Kata kunci: Efikasi diri, kecerdasan emosional, mahasiswa, problem focused coping
Abstract
Problem focused coping is an attempt used to solve a problem by focusing on the problem itself. Problem focused coping is affected by the ability to control themselves so they can think clearly and being calm. Problem focused coping is also affected by the confidence in ability to solve a problem. The aim of this research is to discover the role of emotional intelligence and self-efficacy towards problem focused coping in late-adolescent. The subjects of the study are 97 preclinical students in Department of General Medicine, Medical Faculty of Udayana University. The research utilized quantitative method using the emotional intelligence scale, self-efficacy scale and problem focused coping scale. The result of multiple regression exhibited R = 0.558, the R square of 0.311 and significancy value of 0.000 (p<0.05) with emotional intelligence’s standardized beta coefficient of 0.438 and self-efficacy’s standardized beta coefficient of 0.219. The result demonstrated that emotional intelligence and self-efficacy take a role in problem focused coping of Preclinical Students of Undergraduate Medical Study of Udayana University
Keyword : Emotional intelligence, ,problem focused coping, self-efficacy, students
LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki tujuan dalam hidupnya. Semakin kompleksnya keinginan dan tujuannya manusia pasti pernah menghadapi berbagai permasalahan, tuntutan, maupun tekanan yang dapat menyebabkan dirinya mengalami stres. Stres yang berkepanjangan dapat melemahkan kesehatan fisik maupun psikologis individu. Stres merupakan suatu respon yang ditunjukkan individu ketika menghadapi peristiwa yang membuat dirinya merasa terancam, atau tertantang terhadap bahaya yang mengancam dirinya (Naviska, 2012). Pada masa remaja terjadi berbagai macam perubahan dalam segala aspek perkembangan individu seperti perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Hall (dalam Santrock, 2007) mengatakan masa ini sebagai periode “storm & stress” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, sehingga remaja akan sangat peka terhadap konflik, frustrasi, dan stres.
Mahasiswa yang berada pada tahapan perkembangan remaja akhir memiliki kecenderungan mengalami stres. Mahasiswa Fakultas Kedokteran memiliki kecenderungan mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa dari fakultas lain karena materi dan sistem perkuliahan yang padat serta waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkuliahan sekitar 5 tahun (Navas, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh American College Health Association (ACHA) tahun 2013 di Amerika, menjelaskan bahwa sebanyak 27,9 % dari total 32.964 mahasiswa mengakui bahwa stres menjadi penghalang bagi performa akademik mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi, Bebasari, dan Nazriati, (2015) menyatakan stresor terkait dengan akademik merupakan penyebab terbanyak kejadian stres pada mahasiswa di Fakultas Kedokteran. Tekanan akademik ini bersumber dari proses belajar mengajar dengan materi perkuliahan yang padat, proses adaptasi dengan materi perkuliahan, tekanan sukses di universitas, serta mendapatkan pekerjaan yang baik setelah lulus.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana merupakan salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK dengan metode pembelajaran student centered learning (Kurdi, 2009). Berdasarkan artikel dalam web Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dikatakan bahwa FK Unud telah menerapkan metode pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa sejak tahun 2003 (Bemfkunud.com, 2005). Student Centered Learning adalah proses pembelajaran yang mencakup ketergantungan terhadap belajar aktif, penekanan terhadap belajar secara mendalam, pemahaman, meningkatnya tanggungjawab di pihak peserta didik, meningkatnya perasaan otonomi pada pembelajar, serta saling ketergantungan antara guru dan peserta didik (O’Neill & McMahon, 2005). Pada model pembelajaran student centered learning, mahasiswa dituntut aktif mencari pengetahuan sendiri, bertanggung jawab sepenuhnya dengan pembelajaranya, mampu berdiskusi, presentasi, dan melakukan tugas kelompok sehingga membuat mahasiswa menjadi stres (Haedhori, 2017). Adanya kejadian stres yang tinggi dan berkepanjangan pada mahasiswa dapat merugikan
dalam hal prestasi akademik, kompetensi, profesionalitas, dan dapat memengaruhi kesehatan (Prasetyo dan Wurjaningrum, 2008).
Individu yang mengalami stres akan menyesuaikan diri dengan mencari jalan keluar untuk mengatasi perasaan-perasaan yang menekannya. Respon individu terhadap stres bergantung pada cara mereka memandang dan mengevaluasi dampak dari stresor, dukungan saat mengalami stres, serta strategi koping yang digunakan untuk menghadapi stres tersebut. Suatu upaya yang digunakan setiap individu baik mental maupun perilaku untuk mengatasi, mengendalikan masalah, mengurangi stres dan mencari dukungan sosial disebut dengan strategi koping (Khasanah, Wuryanto, dan Hidayati, 2014). Strategi koping yang digunakan individu untuk menghadapi stres dibagi menjadi dua yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping adalah cara menanggulangi stres dengan berfokus pada permasalahan yang dihadapi. Emotion-focused coping adalah cara penanggulangan stres dengan melibatkan emosi. Individu yang mengalami stres akan melibatkan emosinya dan menggunakan penilaiannya terhadap sumber-sumber stres yang ada (Lazarus dan Folkman, 1984).
Problem focused coping penting digunakan untuk dapat menyelesaikan masalah yang langsung pada pokok masalah yaitu mengelola masalah dengan lingkungan penyebab stres. Individu akan langsung menghadapi dan berusaha untuk mengatasi permasalahan yang timbul agar tidak menimbulkan akibat buruk stres. Amartiwi (dalam Bakhtiar dan Asriani, 2015) menyatakan problem focused coping merupakan coping yang efektif dengan mengatasi masalah yang muncul secara langsung serta tidak menghindari masalah. Heppner dan Lee (dalam Santrock, 2007) menyebutkan problem focused coping cenderung bekerja lebih baik dalam jangka waktu panjang dibandingkan dengan emotional focused coping. Problem focused coping berfokus dalam memecahkan masalah untuk menghadapi kondisi yang menimbulkan stres sehingga mengubah hubungan individu dengan lingkungan sekitarnya. Achmadin (2015), juga menyatakan bahwa problem focused coping lebih banyak digunakan daripada emotion focused coping sebagai strategi koping stres pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Hal ini didukung oleh penelitian Sari (2010), yang menyatakan bahwa remaja usia 18 tahun cenderung menggunakan problem focused coping dalam mengatasi stres.
Studi pendahuluan dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan pada 20 responden Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana angkatan 2016, menunjukkan 10 mahasiswa menggunakan strategi koping problem focused coping tingkat tinggi, 7 mahasiswa menggunakan strategi koping problem focused coping tingkat sedang, dan 3 mahasiswa menggunakan strategi koping problem focused coping tingkat rendah (Suardiantari, 2018). Adanya perbedaan dalam strategi koping yang digunakan tersebut menimbulkan pertanyaan bagi peneliti mengapa terdapat mahasiswa yang mampu mengembangkan strategi koping problem focused coping sementara yang lain tidak mampu mengembangkan strategi koping problem focused coping?
Kemampuan individu dalam mengembangkan problem focused coping salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan mengelola atau mengendalikan emosi. Individu yang mampu berpikir jernih dan bersikap tenang dapat dengan mudah mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah. Lain halnya jika individu tidak bisa mengendalikan emosinya, maka akan menjadi tidak terarah dalam penyelesaian masalah. Hal ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati, memotivasi diri sendiri serta bertahan menghadapi frustrasi yang biasa disebut sebagai kecerdasan emosional (Goleman, 2009). Kemampuan mengenali emosi secara objektif mengakibatkan individu tidak melibatkan emosi dalam mengatasi masalah sehingga mampu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi secara langsung (Saptoto, 2010). Menghadapi masalah secara langsung dan berusaha mengubah keadaan yang dianggap menekan merupakan salah satu kemampuan confrontive coping dalam problem focused coping (Folkman, Lazarus, Schetter, DeLongis, & Gruen, 1986).
Individu yang mampu mengenali emosi dapat mengelola emosinya dalam mengatasi masalah. Individu mampu menggali emosi tersebut secara obyektif, sehingga individu tidak larut ke dalam emosi. Kemampuan mengelola emosi yang dimiliki menyebabkan individu menangani perasaannya dengan tepat. Saat individu bersikap tenang individu mampu memikirkan dan membuat rencana dengan hati-hati sehingga dapat menyelesaikan permasalahannya dengan baik. Hal ini membuat individu dapat memikirkan berbagai cara untuk menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung (Saptoto, 2010). Adanya usaha untuk mengubah keadaan dengan memikirkan rencana secara hati-hati, bertahap, dan analitis merupakan salah satu kemampuan planful problem solving dalam problem focused coping (Folkman dkk, 1986). Selain mampu mengelola emosi dengan baik, individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mampu beradaptasi dengan sumber stres sehingga lebih memiliki motivasi yang tinggi untuk menyelesaikan permasalahannya. Menurut Sulistyowati, Wismanto, dan Utami (2015), motivasi yang tinggi dapat menyebabkan individu terus berusaha mencari atau menemukan banyak cara untuk menyelesaikan masalahnya serta mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan baru untuk menghadapi atau menyelesaikan masalah yang juga berkaitan dengan aspek planful problem solving dalam problem focused coping.
Penelitian yang dilakukan Saptoto (2010) menemukan hasil adanya hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan kemampuan koping adaptif individu. Penelitian tersebut menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki peran dalam pengembangan problem focused coping pada remaja. Remaja yang mampu memahami emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, berempati dan mampu membina hubungan dengan orang lain adalah remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi memiliki kemampuan problem focused coping yang tinggi. Craig (2004) juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu mengasimilasi tingkat stres yang tinggi dan mampu berada di sekitar individu pencemas tanpa menyerap dan meneruskan
kecemasan tersebut. Individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi memiliki kemampuan memecahkan berbagai masalah dan menangani stres dengan baik. Individu dengan kecerdasan emosional tinggi mampu mengoptimalkan pikirannya agar selalu positif pada saat menangani situasi dalam hidupnya dan dapat menggunakan strategi koping yang langsung tertuju pada penyelesaian masalah untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapinya.
Individu juga harus memiliki suatu kemampuan dalam diri untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah. Individu akan sangat dipengaruhi oleh keyakinan dirinya dalam menghadapi suatu permasalahan. Keyakinan akan kemampuan diri bahwa individu dapat menemukan cara untuk mengatasi permasalahannya dan mampu menyelesaikan permasalahan dikenal sebagai efikasi diri (Bandura, 1997). Efikasi diri mengacu pada penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan (Alwisol, 2012). Efikasi diri sangat berkaitan dengan usaha dan kegigihan individu dalam menyelesaikan suatu masalah (Schunk, Pintrich & Meece, 2012).
Bandura (1997) menyatakan bahwa individu yang memiliki efikasi diri tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki akan mampu menghadapi tugas-tugas yang memiliki tingkat kesulitan tinggi serta menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang harus dikuasai, memperoleh kembali upaya-upaya ketika menghadapi kegagalan, dan dapat menghasilkan pencapaian diri. Individu dengan efikasi diri yang rendah akan merasa tidak percaya mampu menyelesaikan tugas dan berhenti untuk menyelesaikan tugas tersebut jika dihadapkan pada tugas yang sulit. Hal ini berkaitan dengan aspek tingkat (level) dari efikasi diri yang merujuk pada confrontive coping dalam problem focused coping. Semakin rendah efikasi diri individu maka semakin kecil usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan atau usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut, begitu juga sebaliknya, semakin tinggi efikasi diri individu maka semakin besar usahanya yang dilakukan untuk menghadapi masalah. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi juga akan memiliki kegigihan yang kuat dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah walaupun menemukan rintangan dan kesulitan yang harus dihadapi yang dikenal dengan aspek kekuatan (strength) (Bandura, 1997). Individu yang memiliki kegigihan yang kuat dan tidak mudah menyerah dalam menemukan solusi dari permasalahan akan mampu mengembangkan rencana-rencana penyelesaian masalah dan berusaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan. Hal ini berkaitan dengan aspek planful problem solving dalam problem focused coping
Hasil penelitian Salanova, Bakker, dan Llorens (2006) menunjukan individu dengan tingkat efikasi diri yang tinggi cenderung memilih aktif coping (problem focused coping) sedangkan individu dengan efikasi diri yang rendah cenderung memilih pasif coping (emotion focused coping). Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan cenderung menganggap masalah sebagai suatu tantangan bukan sebagai beban. Mahasiswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi cenderung memilih strategi coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) untuk memperbaiki situasi dalam
menyelesaikan kuliahnya, sedangkan individu yang memiliki efikasi diri rendah cenderung memilih strategi coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping), karena mereka percaya tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengubah situasi yang sedang mereka hadapi (Bandura, 1997). Hasil penelitian dari Rizky, Zulharman, dan Risma (2014) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara efikasi diri dengan strategi koping stres pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Perilaku atau tindakan yang dilakukan individu tergantung dari emosi dan pikiran yang muncul sebelum mereka memutuskan untuk bertindak. Emosi pada diri mahasiswa yang berada pada masa remaja akhir dapat dikatakan menuju stabil erat kaitannya dengan keyakinan diri yang dimiliki oleh remaja itu sendiri dalam menghadapi setiap masalah yang terjadi dan dalam menggunakan problem focused coping dalam penyelesaian masalah. Adanya kecerdasan emosi dan efikasi diri tinggi yang dimiliki mahasiswa, diharapkan dapat berperan dalam penggunaan problem focused coping sebagai cara yang dapat digunakan dalam setiap penyelesaian masalah yang terjadi.
Melihat adanya hubungan antara kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap problem focused coping pada mahasiswa, peneliti tertarik untuk meneliti peran kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap problem focused coping pada Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah problem focused coping. Variabel bebas pada penelitian ini adalah kecerdasan emosional dan efikasi diri. Definisi operasional variabel-variabel pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Problem Focused Coping
Problem focused coping adalah strategi yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah dengan berfokus pada sumber masalah.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan emosi yang dimiliki individu yang meliputi kesadaran diri, pengelolaan emosi, memotivasi diri, berempati, dan memiliki ketrampilan sosial.
Efikasi Diri
Efikasi diri adalah suatu keyakinan yang dimiliki individu akan kemampuannya dalam melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan mengatasi suatu hambatan dalam hidupnya.
Responden
Populasi pada penelitian ini adalah Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang terdiri dari empat angkatan aktif diantaranya angkatan 2015, angkatan 2016, angkatan 2017 dan angkatan 2018 yang berjumlah 978 mahasiswa.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam peneelitian adalah probability sampling dengan jenis cluster
sampling. Teknik cluster sampling digunakan karena diketahui bahwa Mahasiswa Prekilinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana terdiri dari kelompok-kelompok mahasiswa berdasarkan tingkat angkatan atau semester
Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2018 di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Alat Ukur
Alat ukur pada penelitian ini menggunakan skala problem focused coping, skala kecerdasan emosional, dan skala efikasi diri. Skala problem focused coping dalam penelitian ini menggunakan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan menggunakan aspek problem focused coping yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (1984). Skala kecerdasan emosional yang digunakan adalah skala yang dimodifikasi dari skala Rustika (2014) dengan menggunakan aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (2009). Skala efikasi diri yang digunakan merupakan skala yang dimodifikasi dari skala Rustika (2014) dengan menggunakan aspek efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997).
Skala problem focused coping terdiri dari 28 aitem pernyataan, skala kecerdasan emosional terdiri dari 36 aitem pernyataan dan skala efikasi diri terdiri dari 39 aitem pernyataan. Skala terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negative (unfavorable) dengan empat alternatif pilihan jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Teknik pengukuran reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cronbach Alpha, dimana koefisien reliabilitas bergerak dalam rentang angka dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin besar koefisien relibilitas alpha, menunjukkan semakin kecil kesalahan pengukuran, sehingga semakin reliabel alat ukur tersebut. (Azwar, 2016).
Pengujian skala dilakukan pada tanggal 13 Desember 2018 dengan melibatkan subjek Mahasiswa Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana angkatan 2016 dan 2017.
Hasil uji validitas skala problem focused coping memiliki koefisien korelasi aitem-total berkisar antara 0,308 sampai 0,602. Hasil uji reliabilitas skala problem focused coping menunjukkan nilai koefisien Alpha (α) sebesar 0,875, yang memiliki arti bahwa skala mencerminkan 87,5% variasi skor murni subjek. Skala problem focused coping yang didapat layak digunakan untuk mengukur atribut problem focused coping.
Hasil uji validitas skala kecerdasan emosional memiliki koefisien korelasi aitem-total berkisar dari 0,307 sampai 0,721. Hasil uji reliabilitas skala kecerdasan emosional menunjukkan nilai koefisien Alpha (α) sebesar 0,914, yang memiliki arti bahwa skala mencerminkan 91,4% variasi skor
murni subjek. Skala kecerdasan emosional yang didapat layak digunakan untuk mengukur atribut kecerdasan emosional.
Hasil uji validitas skala efikasi diri memiliki koefisien korelasi aitem-total berkisar dari 0,336 sampai 0,698. Hasil uji reliabilitas skala efikasi diri menunjukkan nilai koefisien Alpha (α) sebesar 0,940, yang memiliki arti bahwa skala mencerminkan 94,0% variasi skor murni subjek. Skala efikasi diri yang didapat layak digunakan untuk mengukur atribut efikasi diri
Teknik Analisis Data
Uji hipotesis dilakukan guna menguji kebenaran hipotesis yang akan dijadikan acuan untuk menerima atau menolak hipotesis. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda. Uji regresi berganda merupakan uji analisis yang digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan kausal antara dua variabel bebas atau lebih dengan satu variabel terikat (Riduwan, 2015). Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS release 20.0. Pengambilan keputusan didasarkan pada nilai signifikansi, jika p <0,05 maka variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat. Jika nilai p>0,05 maka variabel bebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat (Santoso, 2003).
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Berdasarkan data karakteristik subjek, diperoleh total subjek sebanyak 97 orang dengan mayoritas subjek berusia 19 tahun yaitu sebanyak 89 orang. Sebanyak 58 subjek berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 39 subjek berjenis kelamin laki-laki.
Deskripsi Data Penelitian
Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan problem focused coping memiliki nilai mean teoritis 70 dan nilai mean empiris 98,19. Perbedaan mean empiris dan mean teoretis variabel problem focused coping sebesar 28,19 dengan nilai t sebesar 36,976 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoritis. Mean empiris yang diperoleh lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoreitis) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf problem focused coping yang tinggi. Kategorisasi problem focused coping dapat dilihat pada tabel 2.
Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki mean teoretis sebesar 90 dan mean empiris sebesar 101,31. Perbedaan mean empiris dan mean teoretis variabel kecerdasan emosional sebesar 11,31 dengan nilai t sebesar 13,637 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoritis. Mean empiris yang diperoleh lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoreitis) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf kecerdasan emosional yang tinggi. Kategorisasi kecerdasan emosional dapat dilihat pada tabel 3.
Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa efikasi diri memiliki mean teoretis sebesar 97,5 dan mean empiris sebesar 105,87. Perbedaan mean empiris dan mean teoretis variabel efikasi diri sebesar 8,37 dengan nilai t sebesar 9,038 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoritis. Mean empiris yang diperoleh lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoritis) menghasilkan kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf efikasi diri yang tinggi. Kategorisasi efikasi diri dapat dilihat pada tabel 4.
Uji Asumsi Klasik
Berdasarkan hasil uji normalitas pada tabel 5 menunjukkan bahwa variabel problem focused coping berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 1,055 dan signifikansi 0,216 (p>0,05). Variabel kecerdasan emosional berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov 0,845 dan signifikansi 0,473 (p>0,05) variabel efikasi diri berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov 1,064 dan signifikansi 0,208 (p>0,05).
Berdasarkan hasil uji linearitas pada tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linear antara variabel problem focused coping dengan variabel kecerdasan emosional dengan signifikansi linearity sebesar 0,000 (p<0,05) dan signifkansi deviation from linearity 0,499 (p>0,05). Hubungan antara variabel problem focused coping dengan variabel efikasi diri juga linear dengan signifikansi linearity sebesar 0,000 (p<0,05) dan signifkansi deviation from linearity 0,752 (p>0,05).
Berdasarkan hasil uji multikolinearitas pada tabel 7 menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosional dan efikasi diri memiliki nilai tolerance> 0,1 dan nilai VIF < 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas.
Berdasarkan hasil uji asumsi yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa data pada penelitian ini telah berdistribusi normal, memiliki hubungan yang linear, dan tidak terjadi multikolinearitas, sehingga uji hipotesis dapat dilakukan dengan menggunakan uji regresi berganda.
Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil uji regresi pada tabel 8 menunjukkan F hitung sebesar 21,232 dan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Kesimpulan yang didapatkan bahwa kecerdasan emosional dan efikasi diri secara bersama-sama berperan terhadap problem focused coping pada Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Hasil uji regresi menunjukkan koefisien regresi R sebesar 0,558 dan koefisien determinasi (R square) sebesar 0,311. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan efikasi diri secara bersama-sama menentukan 31,1% taraf problem focused coping, sedangkan 68,9% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Dari hasil uji regresi berganda juga diperoleh hasil uji hipotesis minor untuk menganilisis peran
kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap problem focused coping secara terpisah.
Berdasarkan hasil pada tabel 9 menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosional memiliki koefisien beta terstandarisasi sebesar 0,438, nilai t sebesar 4,761 dan signifikansi 0,000 (p<0,05), sehingga kecerdasan emosional berperan secara signifikan terhadap problem focused coping. Variabel efikasi diri memiliki koefisien beta terstandarisasi sebesar 0,219, nilai t sebesar 2,383, dan nilai signifikansi sebesar 0,019 (p<0,05), sehingga efikasi diri juga berperan secara signifikan terhadap problem focused coping.
Rumus garis regresi berganda yang diperoleh dari hasil uji regresi berganda dapat ditulis dalam persamaan garis regresi sebagai berikut:
Y= {38,239 + [(0,403)(X1)] + [(0,181)(X2)]} Keterangan:
Y = Problem Focused Coping
X1 = Kecerdasan Emosional
X2 = Efikasi Diri
Garis Regresi tersebut memiliki arti bahwa pertama Konstanta sebesar 38,239 menyatakan bahwa, jika tidak ada penambahan atau peningkatan skor pada kecerdasan emosional ataupun efikasi diri maka taraf problem focused coping sebesar 38,239. Kedua, Koefisien regresi X1 sebesar 0,403 menyatakan bahwa setiap penambahan atau peningkatan satuan skor subjek pada variabel kecerdasan emosional, maka akan terjadi kenaikan taraf problem focused coping sebesar 0,403. Ketiga, Koefisien regresi X2 sebesar 0,181 menyatakan bahwa setiap penambahan atau peningkatan satuan skor subjek pada variabel efikasi diri, maka akan terjadi kenaikan taraf problem focused coping sebesar 0,181.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Penelitian ini bertujuan mengetahui peran kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap problem focused coping pada Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan, hasil analisis dengan menggunakan teknik regresi berganda menunjukkan bahwa pengujian hipotesis mayor adanya peran kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap problem focused coping pada Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dapat diterima. Hal ini dapat dilihat dari hasil nilai koefisien R sebesar 0,558, serta nilai F hitung sebesar 21,232 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Koefisien determinasi (R square) sebesar 0,311 menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosional dan efikasi diri secara bersama-sama menentukan 31,1% taraf problem focused coping mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter FK Unud, sedangkan sebesar 68,9% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti.
Variabel kecerdasan emosional memiliki nilai koefisien beta terstandarisasi sebesar 0,438 dengan nilai t sebesar 4,761, dan
signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa variabel kecerdasan emosional berperan secara signifikan terhadap problem focused coping. Kemampuan mengenali emosi secara objektif mengakibatkan remaja tidak melibatkan emosinya untuk mengatasi masalah atau situasi yang menekan sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi (Saptoto, 2010). Menghadapi masalah secara langsung dan berusaha mengubah keadaan yang dianggap menekan merupakan salah satu kemampuan confrontive coping dalam problem focused coping (Folkman, dkk 1986)
Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dapat memotivasi dirinya sendiri dengan memanfaatkan emosi secara efektif sehingga mendukung kesuksesan yang meliputi mengendalikan dorongan hati agar tidak menghambat pemikiran, kekuatan berfikir positif, optimis, serta kemampuan untuk dapat fokus pada suatu hal (Goleman, 2009). Menurut Husada (2013), individu dengan motivasi tinggi akan menunjukkan adanya kekuatan, optimisme, dan gairah untuk mencari informasi dari berbagai sumber. Hal ini menggambarkan adanya usaha yang dilakukan remaja untuk mencari jalan keluar yang terbaik terhadap masalah-masalah dalam perkuliahan yang sedang dihadapi dengan mencari informasi bantuan dari orang lain yang menggambarkan aspek seeking social support dalam problem focused coping.
Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi juga memiliki kemampuan berempati yaitu mengenali dan menghadapi perasaan orang lain yang menyebabkan individu mampu membina hubungan dengan orang lain. Hal tersebut terjadi karena individu yang sedang menghadapi suatu permasalahan membutuhkan orang lain untuk melakukan diskusi sehingga memunculkan saran atau informasi baru. Proses dalam diskusi cenderung membuat individu tidak hanya memikirkan permasalahan yang dihadapi dari sudut pandangnya sendiri melainkan mampu untuk memposisikan dirinya untuk memahami sudut pandang orang lain. Individu yang mampu memahami sudut pandang orang lain menyebabkan individu dapat melakukan negosiasi untuk menyelesaikan suatu masalah (Saptoto, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati, dkk (2015) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan problem focused coping pada mahasiswa S1 Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang, dimana mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi lebih mengarah pada strategi coping yang berorientasi pada masalah (problem focused coping) dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dengan cara langsung menghadapi stresor, mahasiswa yang mampu beradaptasi dengan sumber stres lebih memiliki motivasi yang tinggi untuk menyelesaikannya dengan cara yang lain, serta mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan baru untuk menghadapi serta menyelesaikan masalah sehingga berdampak pada penurunan tingkat stres.
Berdasarkan hasil penelitian, koefisien beta terstandarisasi menunjukkan bahwa variabel efikasi diri memiliki nilai koefisien beta terstandarisasi sebesar 0,219, nilai t sebesar 2,383, dan nilai signifikansi sebesar 0,019 (p<0,05), sehingga
efikasi diri juga berperan secara signifikan terhadap problem focused coping mahasiswa preklinik program studi pendidikan dokter FK Unud. Efikasi diri merupakan suatu keyakinan mengenai kemampuan diri bahwa individu dapat menemukan cara untuk mengatasi permasalahannya dan mampu menyelesaikan permasalahan (Bandura, 1997). Efikasi diri mengacu pada penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan (Alwisol, 2012). Efikasi diri sangat berkaitan dengan usaha dan kegigihan individu dalam menyelesaikan suatu masalah (Schunk dkk, 2012).
Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa problem focused coping lebih sering digunakan oleh individu yang merasa yakin bahwa dirinya dapat mengubah situasi atau dalam menghadapi tuntutan yang masih dapat dikontrol. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki akan mampu menghadapi tugas-tugas yang memiliki tingkat kesulitan tinggi serta menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang harus dikuasai, memperoleh kembali upaya-upaya ketika menghadapi kegagalan, dan dapat menghasilkan pencapaian diri. Individu dengan efikasi diri yang rendah akan merasa tidak percaya diri mampu menyelesaikan tugas ketika dihadapkan pada tugas yang sulit dan cenderung berhenti untuk menyelesaikan tugas tersebut (Bandura, 1997). Hal ini berkaitan dengan aspek tingkat (level) dari efikasi diri yang merujuk pada confrontive coping dalam problem focused coping. Semakin rendah efikasi diri remaja maka semakin kecil usaha untuk mengubah situasi yang dianggap menekan atau usaha untuk menyelesaikan masalah perkuliahan yang dianggap sulit, begitu juga sebaliknya, semakin tinggi efikasi diri remaja maka semakin besar usahanya yang dilakukan untuk menghadapi masalah walaupun dihadapkan pada tugas yang sulit sekalipun.
Penelitian yang dilakukan oleh Sujono (2014) menyatakan bahwa efikasi diri berimplikasi pada kemampuan individu untuk menghadapi stresor. Efikasi diri akan ikut menentukan jenis perilaku pengatasan (coping skill), yaitu seberapa keras usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi persoalan atau menyelesaikan tugas, serta berapa lama individu mampu bertahan terhadap hambatan yang tidak diinginkan. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan melakukan cara mengatasi masalah yang aktif dan juga jarang menggunakan cara menghindar bila dibandingkan dengan individu yang memiliki efikasi diri rendah. Hal ini menyimpulkan bahwa efikasi diri yang dimiliki individu mempunyai pengaruh dalam menentukan tindakan pengatasan masalah yang aktif untuk menghadapi stressor. Mastuti (2010) juga melakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri dan problem focused coping dalam menyusun skripsi pada mahasiswa psikologi. Mahasiswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan semakin mudah dalam mengatasi masalah yang dihadapi ketika mengerjakan skripsi atau tugas akhir. Efikasi diri yang kuat mendorong mahasiswa tersebut berusaha keras dan optimis untuk memperoleh hasil yang positif atau memperoleh keberhasilan.
Nilai koefisien beta terstandarisasi variabel kecerdasan emosional lebih besar dari pada koefisien beta terstandariasasi variabel efikasi diri. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional lebih berperan terhadap problem focused coping dibandingkan efikasi diri. Remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi cenderung termotivasi untuk berusaha menyelesaikan tugas atau mencari solusi penyelesaian masalah perkuliahan, serta merencanakan cara dan tahapan penyelesaian masalah. Remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mampu berpikir jernih untuk memikirkan setiap pemecahan masalah. Kemampuan berpikir jernih penting sekali dimiliki oleh remaja ketika menghadapi masalah. Remaja yang mampu berpikir jernih dan bersikap tenang dapat dengan mudah mengendalikan dirinya dalam menyelesaikan tugas atau menghadapi masalah, sebaliknya jika remaja tidak bisa menenangkan dirinya dan tidak mampu berpikir jernih maka akan menjadi tidak terarah dalam proses penyelesaian masalah dan cenderung melibatkan emosinya sehingga remaja berprilaku negatif untuk dapat menyelesaikan masalah atau menyelesaikan tugas.
Remaja yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan merasa yakin mampu menemukan solusi bagi permasalahannya serta mampu menyelesaikan tugas atau masalah perkuliahan yang dihadapi. Ketika remaja memiliki efikasi diri atau keyakinan diri yang tinggi namun tidak disertai dengan kemampuan mengatur atau mengelola emosi yang tinggi dalam menyelesaikan masalah, maka remaja tetap tidak mampu berpikir dengan jernih dan tenang untuk menemukan solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalahnya sehingga penyelesaian masalah akan menjadi tidak terarah walaupun telah memiliki efikasi diri yang tinggi untuk dapat menyelesaikan masalah.
Berdasarkan deskripsi data penelitian variabel kecerdasan emosional, didapatkan bahwa mayoritas subjek pada penelitian ini memiliki taraf kecerdasan emosional tinggi yaitu sebanyak 57,73% dari total keseluruhan subjek. Menurut Goleman (2009), faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan emosional individu yaitu faktor lingkungan keluarga dan faktor lingkungan non keluarga. Tingginya taraf kecerdasan emosional pada mahasiswa preklinik program studi pendidikan dokter tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Peran orangtua sangat dibutuhkan karena merupakan subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosional dapat diajarkan sejak kecil yang menjadikan anak lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan. Perilaku orangtua sangat dipengaruhi oleh pendidikan tingkat pendidikannya. Mayoritas orangtua subjek berpendidikan Strata 1 (S1) yang dapat dilihat dari persentase ayah yang berpendidikan S1 sebesar 47,42% dan ibu yang berpendidikan S1 sebesar 38,14%. Orangtua yang berpendidikan tinggi dapat menerima informasi dari luar tentang cara pengasuhan anak yang baik termasuk mengembangkan kecerdasan emosional anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Haryanti (2014) yang menyatakan bahwa dengan berpendidikan yang baik, orangtua
akan memberikan berbagai alternatif jawaban dalam melakukan diskusi, sehingga membuat anak menjadi lebih matang dalam berpikir terhadap keputusan yang akan diambil, mendorong prilaku anak untuk percaya diri, bersikap sopan, mampu mengendalikan diri, mau bekerja sama, dan menumbuhkan empati pada anak.
Lingkungan teman sebaya yang tergolong lingkungan non keluarga juga memengaruhi kecerdasan emosional subjek pada penelitian ini. Pembelajaran kecerdasan emosional biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain dan bagaimana individu membina hubungan dengan orang lain. Remaja berperan sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga remaja akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Lingkungan pertemanan di kampus akan membantu remaja meningkatkan kecerdasan emosionalnya dengan belajar memahami dan mengenali emosi diri sendiri serta mengenali emosi orang lain yang dalam hal ini teman subjek. Saat subjek memiliki masalah dengan teman atau berselisih pendapat maka subjek akan mencoba memahami emosi diri sendiri dan emosi orang lain dengan melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda untuk dapat menyelesaikan masalah. Saat subjek memiliki teman yang mengalami masalah maka akan melatih kemampuan empati subjek untuk mengerti keadaan temannya serta berusaha membantu teman untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sarwono (2013) mengatakan bahwa dalam pergaulan teman sebaya terdapat hubungan pertemanan yang akrab yang diikuti dengan minat dan kepentingan yang sama, saling membagi perasaan, maupun saling menolong untuk menyelesaikan masalah bersama. Adanya peran teman sebaya dalam meningkatkan kecerdasan emosional individu didukung oleh penelitian Putro (2015) yang menyatakan terdapat pengaruh yang positif dari interaksi teman sebaya terhadap kecerdasan emosional anak di RA Arif Rahman Hakim Yogyakarta.
Berdasarkan hasil kategorisasi efikasi diri menunjukkan bahwa mayoritas subjek memiliki taraf efikasi diri tinggi dengan persetase sebesar 49,49% dari total keseluruhan subjek. Menurut Bandura dalam (Feist & Feist, 2010) faktor-faktor yang memengaruhi efikasi diri individu yaitu, pengalaman menguasai sesuatu (mastery experience), modeling sosial, persuasi verbal, serta kondisi fisik dan emosional. Tingginya taraf efikasi diri yang dimiliki Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter FK Unud tersebut berkaitan dengan faktor pengalaman menguasai sesuatu (mastery experience). Pengalaman yang berhasil akan menaikan efikasi diri, sebaliknya pengalaman pada kegagalan akan menurunkan efikasi diri individu. Setelah efikasi diri kuat dan berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak negatif dari kegagalan-kegagalan yang umum akan terkurangi secara sendirinya. Hal ini sejalan dengan penelitian, dimana subjek dalam penelitian ini merupakan mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter. Adanya pengalaman berhasil seperti diterima pada jurusan Pendidikan Dokter di Universitas Negeri di Bali menyebabkan subjek merasa bangga dan yakin akan kemampuan dirinya sehingga subjek cenderung memiliki efikasi diri yang tinggi.
Efikasi diri juga dapat ditumbuhkan melalui faktor persuasi verbal. Persuasi verbal individu diarahkan berdasarkan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimiliki. Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai suatu kesuksesan. Persuasi verbal dalam penelitian ini diberikan oleh orangtua subjek yang mayoritas memiliki pendidikan tinggi. Orangtua yang berpendidikan tinggi akan memberikan bimbingan dan perhatian yang optimal untuk mengarahkan anaknya dalam meningkatkan keyakinan diri tentang kemampuan yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dasmo, Nurhayati, dan Marhento (2015), yang menyatakan bahwa orangtua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan berusaha untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya, membantu memperoleh model keterampilan dan strategi pemecahan masalah bagi anak untuk dapat berhasil dalam belajarnya, memungkinkan memiliki banyak hal untuk mendukung anaknya dalam belajar, meningkatkan keyakinan akan kemampuan yang lebih positif, dan memungkinkan mereka menggunakan strategi belajar yang lebih efektif daripada anak-anak dengan orang tua yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah.
Pada deskripsi statistik data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa subjek dengan taraf problem focused coping sangat tinggi sebesar 73,20%. Tingginya taraf problem focused coping pada Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter FK Unud disebabkan oleh tingginya taraf kecerdasan emosional dan efikasi diri pada penelitian ini. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa kedua variabel bebas berperan meningkatkan variabel terikat, sehingga jika taraf variabel bebas tinggi maka taraf variabel terikat juga akan tinggi. Individu dengan problem focused coping yang tinggi akan lebih optimis dan berani dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, berusaha mengatasi masalah secara langsung tanpa harus menunda atau menghindari masalah, serta mencari informasi dan bantuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahannya. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter FK Unud memiliki kemampuan memikirkan berbagai rencana pemecahan masalah dengan tenang dan hati-hati serta berani mengambil resiko dalam melakukan rencana penyelesaian masalah yang telah dipikirkan sebelumnya. Mahasiswa mampu berpikir jernih dan bersikap tenang agar dapat dengan mudah mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah (Saptoto, 2010). Hal ini berkaitan dengan kecerdasan emosional yang dimiliki mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter FK Unud.
Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter juga memiliki efikasi diri yang tinggi yang berperan dalam pengembangan problem focused coping dalam penyelesaian masalah di perkuliahan. Mahasiswa yang memiliki efikasi diri tinggi merasa mampu menghadapi tugas-tugas yang memiliki tingkat kesulitan tinggi serta menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang harus dikuasai. Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter terus berusaha menemukan solusi penyelesaian masalah yang dihadapi karena merasa yakin mampu menghadapi permasalahan dalam perkuliahan tersebut. Semakin rendah efikasi diri individu maka semakin
kecil usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan atau usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut. Semakin tinggi efikasi diri individu maka semakin besar usahanya yang dilakukan untuk menghadapi masalah.
Keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya yaitu sulitnya melakukan kategorisasi pekerjaan orangtua karena beragamnya variasi jenis pekerjaan dan banyak subjek yang tidak mengisi data pekerjaan orangtua sehingga hal ini menyebabkan peneliti tidak bisa melakukan analisis karakteristik subjek penelitian. Keterbatasan lainnya yaitu faktor-faktor yang memengaruhi problem focused coping mahasiswa dalam penelitian ini hanya terdiri dari dua variabel, yaitu kecerdasan emosional dan efikasi diri, sedangkan masih banyak faktor lain yang memengaruhi problem focused coping mahasiswa
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah kecerdasan emosional dan efikasi diri berperan sebesar 31,1% terhadap problem focused coping pada Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kecerdasan emosional berperan dalam meningkatkan taraf problem
focused coping pada mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Efikasi diri berperan dalam meningkatkan taraf problem focused coping pada mahasiswa preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Mayoritas Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana memiliki taraf problem focused coping yang tergolong sangat tinggi sebesar 73,20%. Mayoritas Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana memiliki taraf kecerdasan emosional yang tergolong tinggi sebesar 57,73%. Mayoritas Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana memiliki taraf efikasi diri yang tergolong tinggi sebesar 49,49%.
Melihat hasil penelitian bahwa kecerdasan emosional dan efikasi diri berperan meningkatkan problem focused coping Mahasiswa Preklinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, sehingga diharapkan mahasiswa lainnya dapat mengembangkan kemampuan mengelola emosi dan keyakinan akan kemampuan diri melalui kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan orang lain seperti mengikuti organisasi, berdiskusi dengan keluarga, bertukar pikiran dengan teman mengenai perkuliahan maupun di luar perkuliahan yang nantinya akan meningkatkan taraf kecerdasan emosional, efikasi diri, maupun usaha menghadapi masalah yang tepat.
Bagi orangtua diharapkan agar dapat mengembangkan kecerdasan emosional dan efikasi diri anak dengan cara memerhatikan perkembangan anak di rumah. Orangtua diharapkan mampu melatih kemampuan anak dalam mengelola emosi melalui mengajarkan anak mengutarakan perasaannya, menjadi model yang baik bagi anak dalam berprilaku ketika marah atau menghadapi masalah, maupun mengajak anak berkunjung ke panti asuhan agar anak belajar
berempati dengan keadaan orang lain. Orangtua juga dapat melatih keyakinan anak akan kemampuannya untuk mencapai sesuatu dengan cara memberikan dukungan dan semangat bahwa anak mampu mencapai sesuatu, sehingga ketika anak ragu atau merasa hancur anak dapat kembali bangkit, orangtua juga diharapkan memberikan kesempatan sejak kecil bagi anak untuk menyelesaikan hal yang beresiko sesuai dengan kemampuan dan target anak, sehingga anak dapat mengenal bagaimana pengalaman berhasil.
Bagi institusi pendidikan diharapkan mampu mengadakan program yang dapat memertahankan kecerdasan emosional dan efikasi diri mahasiswa yang sudah tinggi seperti mengadakan kegiatan seminar atau pelatihan mengenai cara mengelola emosi maupun cara memertahankan keyakinan diri, juga mengadakan kegiatan diskusi di luar proses perkuliahan mengenai permasalahan kampus atau ilmu yang ditekuni yang dapat melatih keberanian mahasiswa dalam mengemukakan pendapat, memahami pendapat orang lain, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini akan menyebabkan kecerdasan emosional dan efikasi diri mahasiswa semakin meningkat, sehingga memengaruhi bagaimana usaha mahasiswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Bagi peneliti selanjutnya, jika melakukan penelitian pada subjek yang sama diharapkan melakukan pengambilan data pada pagi hari dan di jadwal kuliah yang lebih senggang untuk mengurangi adanya faktor kelelahan pada subjek, sehingga dalam mengisi skala subjek mampu berpikir jernih dengan pikiran yang tenang dan badan segar. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengkategorikan jenis-jenis pekerjaan yang dapat dipilih subjek dalam data diri subjek untuk mempermudah melakukan analisis mengenai hubungan pekerjaan orangtua dengan variabel penelitian. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan variabel lain yang dapat memengaruhi taraf problem focused coping remaja akhir, seperti variabel dukungan sosial, konsep diri, atau locus of control.
DAFTAR PUSTAKA
ACHA, (2013). Position statement on tobacco on college and university campuses. Journal of American College Health, 58(3), pp. 291–292.
Achmadin, A. J. (2015). Strategi coping stres pada mahasiswa baru fakultas psikologi universitas muhammadiyah malang. Naskah tidak Dipublikasikan. Fakultas Psikologi Universitas Muhammaadiyah Malang.
Alwisol. (2012). Psikologi kepribadian (edisi revisi). Malang: Umm Press.
Azwar, S. (2016). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2016). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakhtiar, M. I., & Asriani. (2015). Efektivitas strategi problem focused coping dan emotion focused coping dalam meningkatkan pengelolaan stres siswa di sma negeri 1 barru. Jurnal Ilmu Pendidikan, Psikologi, Bimbingan dan Konseling, Vol. 5. No. 2(69-82)
Bandura, A. (1997). Self efficacy: The exercise of control. New York: W.H. Freeman and Company.
Bemfkunud. (2005). Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Diambil dari http://bemfkunud.com/fk-unud/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2019
Craig, R.G. (2004). Dental material. 8th ed., Mosby Co. hal. 65, 66, 73.
Dasmo, Nurhayati, & Marhento, G. (2015). Pengaruh tingkat pendidikan dan pola asuh orang tua terhadap prestasi belajar ipa. Jurnal Formatif 2(2): 132-139
Feist, J. & Feist, G. (2010). Teori kepribadian jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika
Folkman, S., Lazarus, R.S., Schetter, C.D., DeLongis, A., & Gruen, R.J. (1986). Dynamics of stressful encounter: Cognitive appraisal, coping, and encounter outcomes. Journal of Personality and Social Psychology, 50, 992 –1003.
Goleman, D. (2009). Kecerdasan emosional : Mengapa ei lebih penting daripada iq. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Haedhori. (2017). Hubungan penerapan pembelajaranmodel student centered learning (scl) dengan tingkat stres mahasiswa keperawatan di stikes jenderal achmad yani yogyakarta. Naskah Tidak Dipublikasikan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jendral Achmad Yani Yogyakarta.
Haryanti, D. (2014). Hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri siswa di sman 1 kretek bantul. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah, Yogyakarta
Husada, M.S. (2013). Gambaran tingkat stres pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas sumatera utara semester ganjil tahun akademik 2012/ 2013. E-journal FK
USU.1(1) p.1-4
Khasanah, M. L, Wuryanto, E, & Hidayati, T. N. (2014). Analisis mekanisme koping mahasiswa semester I menghadapi ujian osca (objective structured clinical assesment) di akademi keperawatan muhamadiyah kendal. eJournal Unimus.100 (2): 280-284.
Kurdi, F.N. (2009). Penerapan student-centered learning dari teacher-centered learning mata ajar ilmu kesehatan pada program studi penjaskes. Forum Kependidikan, 28(2), 108-113.
Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984). Stress appraisal and coping. Newyork : Springer Publishing Company.Inc.
Mastuti, N.P. (2010). Hubungan efikasi diri dengan problem focus coping dalam menyusun skripsi pada mahasiswa psikologi. Naskah Tidak Dipublikasikan, Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA) Riau.
Navas, S. (2012). Stress among medical students. Kerala Medical Journal, 2(2):5-7.
Naviska, N. (2012). Gambaran mekanisme koping siswa kelas 3 sma di sman 1 purwakarta tahun ajaran 2011/2012 menjelang ujian nasional. Naskah Tidak Dipublikasikan, Repository University of Indonesia.
O’Neill, G & McMahon, T. (2005). Student centered learning : what it means for student and lectures ? AISHE. University Collage Dublin
Prasetyo, A. & Wurjaningrum, F. (2008). Pengaruh stres terhadap komitmen mahasiswa-mahasiswa universitas airlangga untuk menyelesaikan pendidikan mereka dengan faktor kecemasan sebagai variabel moderator. Majalah Ekonomi. 18 (3), 257-270
Putro, K.Z. (2015). Pengaruh pola asuh dan interaksi teman sebaya terhadap kecerdasan emosional anak di Ra arif rahman hakim Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Anak 1(2), 97-108
Riduwan. (2015). Dasar-dasar statistika. Bandung: Alfabeta.
Rizky, E., Zulharman, & Risma, D. (2014). Hubungan efikasi diri dengan coping stress pada mahasiswa angkatan 2012 fakultas kedokteran universitas riau. JOM FK Vol 1, No 2.
Rustika, I. M. (2014). Faktor-faktor yang memengaruhi prestasi akademik pada remaja. (Disertasi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Salanova, M., Bakker, A.B., & Llorens, S. (2006), Flow at work: evidence foran upward spiral of personal and organizational resources. Journal of Happiness Studies, 7, 1-22.
Santoso, S. (2003). Mengatasi berbagai masalah statistik dengan spss versi 11.5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Santrock. (2007). Remaja. Edisi 11 Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Saptoto, R. (2010). Hubungan kecerdasan emosi dengan kemampuan coping adaptif. Jurnal Psikologi, Vol. 37, No. 1, Juni 2010
Sari, P. (2010). Coping stress pada remaja korban bullying di sekolah "x". Jurnal Psikologi, 8(2), 75-81.
Sarwono S. W. (2013). Psikologi remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Schunk, D.H., Pintrich, P.R., & Meece. J.L. (2012). Motivasi dalam pendidikan: Teori, penelitian dan aplikasi. Jakarta: PT Indeks.
Suardiantari, L. N. (2018). Studi pendahuluan: Taraf problem focused coping di FK Unud. Denpasar: Tidak dipublikasikan
Sujono. (2014). Hubungan antara efikasi diri (self efficacy) dengan problem focused coping dalam proses penyusunan Skripsi pada Mahasiswa Fmipa Unmul. eJournal psikologi, Volume 2, Nomor 3, 2014: 238-246
Sulistyowati, D.A., Wismanto, Y.B., Utami, C.T. (2015). Hubungan antara kecerdasan emosional dan optimisme dengan problem focused coping pada mahasiswa s1 keperawatan stikes telogorejo semarang. Jurnal Prediksi, Kajian Ilmiah Psikologi 1 (4) , Hal. 11 – 18.
Wahyudi, R., Bebasari, E., Nazriati, E. (2015). Hubungan kebiasaan berolahraga dengan tingkat stres pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas riau tahun pertama. JOM FK Volume 2 No.2
LAMPIRAN
Tabel 1.
Deskripsi Statistik Data Penelitian
Variabel N |
Mean Teoritis |
Mean Empiris |
Std Deviasi Teoritis |
Std Deviasi Empiris |
Sebaran Teoritis |
Sebaran T Empiris |
PFC 97 |
70 |
98,19 |
14 |
7,507 |
28 – 112 |
69 - 110 36,976 |
(p=0,000) | ||||||
KE 97 |
90 |
101,31 |
18 |
8,168 |
36 – 144 |
83 - 118 13,637 |
(p=0,000) | ||||||
ED 97 |
97,5 |
105,87 |
19,5 |
9,117 |
39 – 156 |
84 - 128 9,038 |
(p=0,000) | ||||||
Tabel 2. | ||||||
Kategorisasi Problem Focused Coping | ||||||
Rentang Nilai |
Kategori |
Jumlah |
Persentase | |||
X ≤ 49 |
Sangat Rendah |
0 |
0% | |||
49 < X ≤ 63 |
Rendah |
0 |
0% | |||
63 < X ≤ 77 |
Sedang |
3 |
3,09% | |||
77 < X ≤ 91 |
Tinggi |
23 |
23,71% | |||
91 < X |
Sangat Tinggi |
71 |
73,20% | |||
Tabel 3. | ||||||
Kategorisasi Kecerdasan Emosional | ||||||
Rentang Nilai |
Kategori |
Jumlah |
Persentase | |||
X ≤ 63 |
Sangat Rendah |
0 |
0% | |||
63 < X ≤ 81 |
Rendah |
0 |
0% | |||
81 < X ≤ 99 |
Sedang |
34 |
35,05% | |||
99 < X ≤ 117 |
Tinggi |
56 |
57,73% | |||
117 < X |
Sangat Tinggi |
7 |
7,22% | |||
Tabel 4. | ||||||
Kategorisasi Efikasi Diri | ||||||
Rentang Nilai |
Kategori |
Jumlah |
Persentase | |||
X ≤ 68,25 |
Sangat Rendah |
0 |
0% | |||
68,25 < X ≤ 87,75 |
Rendah |
3 |
3,09% | |||
87,75 < X ≤ 107,25 |
Sedang |
44 |
45,36% | |||
107,25 < X ≤ 126,75 |
Tinggi |
48 |
49,49% | |||
126,75 < X |
Sangat Tinggi |
2 |
2,06% |
Tabel 5.
Hasil Uji Normalitas Data Penelitian
Variabel |
Kolmogorov-Smirnof |
Asymp.Sig (2-tailed) |
Problem focused coping |
1,055 |
0,216 |
Kecerdasan Emosional |
0,845 |
0,473 |
Efikasi Diri |
1,064 |
0,208 |
Tabel 6.
Hasil Uji Linieritas Data Penelitian
F |
Sig. | |||
Problem focused |
Between |
Linearity |
34,908 |
0,000 |
coping*Kecerdasan |
Groups | |||
Emosional |
Deviation of Linearity |
0,983 |
0,499 | |
Problem focused |
Between |
Linearity |
15,054 |
0,000 |
coping*Efikasi Diri |
Groups |
Deviation of Linearity |
0,798 |
0,752 |
Tabel 7.
Hasil Uji Multikolinearitas Data Penelitian
Variabel |
Tolerance |
Variance Inflation Factor (VIF) |
Keterangan |
Kecerdasan Emosional |
0,864 |
1,157 |
Tidak terjadi multikolinearitas |
Efikasi Diri |
0,864 |
1,157 |
Tidak terjadi multikolinearitas |
Tabel 8.
Hasil Uji Regresi Berganda Signifikansi Nilai F
Sum of Square |
df |
Mean Squares |
F |
Sig. | |
Regression |
1683,646 |
2 |
841,823 |
21,232 |
0,000 |
Residual |
3727,014 |
94 |
39,649 | ||
Total |
5410,660 |
96 |
Tabel 9.
Hasil Uji Regresi Berganda Nilai Koefisien Beta dan Nilai t Variabel Kecerdasan Emosional Dan Efikasi Diri terhadap Problem Focused Coping
Model |
Unstandarized Std. Error Standarized t Sig. Coefficients Coefficients BB |
(Constant) Kecerdasan Emosional Efikasi Diri |
38,239 9,362 4,084 0,000 0,403 0,085 0,438 4,761 0,000 0,181 0,076 0,219 2,383 0,019 |
110
Discussion and feedback