Penyesuaian Diri Pasangan dengan Perkawinan Pada Gelahang di Masyarakat Hindu Bali
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Kesehatan Mental, 186-200
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
Penyesuaian diri pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang di masyarakat Hindu Bali
Ni Putu Eka Yulias Puspitasari dan Made Diah Lestari Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Perkawinan Pada Gelahang merupakan bentuk perkawinan yang menjadi alternatif bagi masyarakat Hindu Bali yang tidak bisa melaksanakan bentuk perkawinan biasa maupun Nyentana. Setiap bentuk perkawinan memiliki tantangan yang memerlukan penyesuaian diri sehingga dapat tercapai sebuah kepuasan dalam perkawinan. Membahas secara langsung proses penyesuaian diri pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang di masyarakat Hindu Bali merupakan sebuah cara yang tepat, unik, dan realistis dalam memahami penyesuaian diri sekaligus memelajari budaya perkawinan dalam masyarakat Hindu Bali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang di masyarakat Hindu Bali. Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengambilan data dilakukan melalui in depth interview, joint interview dan observasi pada tiga pasangan responden penelitian. Data kemudian dianalisis dengan theoretical coding dari Strauss dan Corbin (1990). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak laki-laki memiliki hambatan yang lebih besar ketika memutuskan untuk melakukan perkawinan Pada Gelahang. Hasil berikutnya adalah ketiga pasangan melakukan strategi personal dan social coping dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang dialaminya. Personal coping meliputi strategi being a good person, problem delay, self control, ignore the problem, being assertive, dan pray then try. Social coping meliputi strategi looking for social support, planful problem solving, dan using kids as a glue. Berdasarkan strategi yang ada, ditemukan bahwa penyesuaian diri pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang belum optimal karena masih melibatkan strategi yang mengarah pada represi.
Kata kunci: Penyesuaian diri, penyesuaian personal, penyesuaian sosial, perkawinan Hindu Bali, perkawinan Pada Gelahang
Abstract
Pada Gelahang marriage is a type of marriage that becomes alternative way for Hindu-Balinese people who can’t do common marriage. All type of marriages have their own challenges that need adjustment to reach a marriage satisfaction. A discussion about adjustment in Hindu-Balinese marriage from perspective of couple with Pada Gelahang marriage, is a unique and realistic way to understand adjustment, Balinese culture, and marriages itself. This research aims to investigate and understand the adjustment processes in Hindu-Balinese couple with Pada Gelahang marriage. The method of this research was qualitative with phenomenological approach. The data were collected from in depth interviews, joint interview, and observations on three couples with Pada Gelahang marriage. The data were analyzed using theoretical coding by Strauss and Corbin (1990). The result of this research are mens are having more struggle in deciding to do Pada Gelahang marriage than womens. Another result, three couples with Pada Gelahang marriage are using personal and social coping strategies to adjust with the changes in their life. Personal coping, including being a good person, problem delay, self control, ignore the problem, being assertive, and pray then try strategies. Social coping, including looking for social support, planful problem solving, and using kids as a glue strategies. Based on coping strategies, adjustment in couple with Pada Gelahang marriage can not fit the good adjustment requirements, because there’s still a defence mechanism (repression) in the coping strategies.
Keywords: Adjustment, Balinese marriage, Pada Gelahang marriage, personal adjustment, social adjustment.
LATAR BELAKANG
Masa dewasa awal berdasarkan teori perkembangan Erikson adalah tahap keenam dalam perkembangan psikososial manusia (Papalia, Old, & Feldman, 2011). Masa ini adalah masa dimana seseorang membuat komitmen dengan orang lain. Ketika seseorang tidak berhasil membangun sebuah hubungan atau komitmen dengan orang lain, kemungkinan orang tersebut akan menghadapi rasa terisolasi dan keterpakuan pada kegiatan atau pikirannya sendiri (Santrock, 2002).
Ketika seseorang memasuki tahap dewasa awal, tentunya ada beberapa tugas perkembangan yang harus mereka laksanakan yaitu salah satunya adalah mencari pasangan hidup dan membangun intimasi (Santrock, 2002). Kriteria lainnya adalah individu telah mampu dan siap menerima kedudukannya dalam masyarakat dan dapat bergabung dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2015). Ketika seseorang telah menemukan pasangan, mereka akan melewati beberapa tahapan hubungan intim seperti berkencan, menikah, menjadi orangtua, paruh baya, dan kemudian memasuki usia tua (Olson & DeFrain, 2003).
Menurut UU. No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito, 2004). Pelaksanaan perkawinan di Indonesia dapat berlangsung dalam berbagai cara. Perbedaan adat dan budaya menyebabkan masing-masing wilayah memiliki kekhasan dalam melaksanakan ritual sakral perkawinan. Salah satunya adalah pelaksanaan perkawinan di wilayah Pulau Bali. Di dalam ajaran Agama Hindu, dikenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan empat tahapan atau tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia, yaitu brahmacari, grhasta, wana prastha, dan bhiksuka. Grhasta merupakan tahapan kedua dalam kehidupan Masyarakat Hindu Bali yang berarti kehidupan di dalam berumah tangga. Tentunya awal dari suatu kehidupan berumah tangga yaitu terselenggaranya prosesi upacara perkawinan atau yang sering disebut “pawiwahan” dalam Masyarakat Hindu Bali (Suhardana, 2007).
Sistem kekeluargaan patrilineal atau kapurusa yang dianut oleh Masyarakat Hindu Bali berpengaruh terhadap pelaksanaan dan bentuk perkawinan yang ada di Bali. Berdasarkan sistem kapurusa ini, garis keturunan seseorang dilacak dengan mengikuti garis kapurusa, yang pada umumnya ditarik dari garis keturunan orangtua laki-laki atau ayah, tetapi dalam hal-hal tertentu dapat juga ditarik dari garis keturunan perempuan atau ibu yang berstatus kapurusa. Hal itulah yang menyebabkan setiap pasangan suami istri Suku Bali yang beragama Hindu, sangat berkepentingan untuk memiliki keturunan atau anak laki-laki (Dyatmikawati, 2013). Sebagai konsekuensi dari sistem kekeluargaan patrilineal atau kapurusa dalam Hukum Adat Masyarakat Hindu Bali, selanjutnya dikenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa atau dikenal dengan Nganten Biasa, dalam hal ini pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya dan yang kedua adalah perkawinan
Nyentana atau Nyeburin, dalam hal ini pihak laki-laki meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga istrinya (Dyatmikawati, 2013).
Dewasa ini banyak pasangan memilih untuk memiliki dua orang atau satu orang anak saja, hal ini tidak luput dari keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang dijalankan oleh pemerintah sejak tahun 1970 (Windia, 2016) dan juga kemajuan di bidang pendidikan yang menghapuskan keyakinan bahwa ”banyak anak banyak rezeki”. Hal ini didukung oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dimana laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun tiap tahunnya. Laju pertumbuhan penduduk tahun 1971 hingga 1980 adalah sebesar 2,31 dan di tahun 2015 laju pertumbuhan penduduk adalah sebesar 1,38 (BPS, 2017).
Ketika anak perempuan tunggal dalam sebuah keluarga bermaksud untuk menikah dengan laki-laki yang merupakan satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya tentunya masalah akan muncul. Sebagai alternatif akan masalah ini munculah sebuah jalan keluar yang disebut dengan perkawinan Pada Gelahang (Windia, 2016). Perkawinan Pada Gelahang adalah sebuah perkawinan dimana suami dan istri tetap menjadi kapurusa di rumahnya masing-masing, mengemban dua tanggung jawab sekaligus baik di keluarga istri dan suami (Dyatmikawati, 2013). Berdasarkan data primer penelitian terkait Pada Gelahang oleh Dyatmikawati dan beberapa anggota Pershada Bali (2015), ditemukan bahwa jumlah pasangan perkawinan Pada Gelahang di Bali dapat dilihat pada tabel 1 (terlampir).
Tantangan terbesar perkawinan Pada Gelahang adalah beban fisik, anak, ekonomi, dan waktu. Pasangan yang memilih perkawinan Pada Gelahang harus mengikuti adat di dua tempat, waktu yang diperlukan juga tidak sedikit. Hal ini merupakan tantangan yang cukup membuat seseorang merasa kesulitan dan tertekan sehingga mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang berat tersebut (Puspitasari, 2017).
Di sisi lain, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanjiwani dan Valentina (2017) menunjukkan bahwa pasangan perkawinan Pada Gelahang puas dengan perkawinannya meskipun pada beberapa aspek responden merasakan ketidakpuasan. Responden menggambarkan kepuasan perkawinannya terkait dengan keberadaan anak, kepuasan terhadap keterlibatan pasangan dalam tugas rumah tangga, memiliki hubungan yang baik dengan mertua (Sanjiwani & Valentina, 2017).
Ketika perkawinan yang pada awalnya dianggap berat dan penuh tantangan pada akhirnya menghasilkan sebuah kepuasan dalam perkawinan, tentunya ada sebuah proses yang perlu dilewati serta dijalani terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati dan Mastuti (2013) ditemukan bahwa istri yang memiliki tingkat penyesuaian perkawinan yang tinggi memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan istri dengan tingkat penyesuaian sedang. Dewi (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dan kepuasan dalam perkawinan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Wulandari (2016) membuktikan bahwa penyesuaian diri berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi penyesuaian diri subyek maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis yang dicapai oleh subyek. Pada umumnya, ketika pasangan sukses dalam melakukan penyesuaian diri, maka kepuasan dalam perkawinan akan dapat tercapai, namun bila pasangan tidak mampu menyesuaikan diri, ditambah dengan beban perkawinan yang lebih besar dari perkawinan biasa, maka hal ini akan menjadi stressor bagi pasangan.
Penyesuaian adalah proses coping dalam menghadapi masalah eksternal maupun internal, stres, dan frustrasi yang membutuhkan respon personal (Schneiders, 1964). Pasangan dalam perkawinan yang mencapai kepuasan dalam perkawinannya berarti telah mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan status baru dan lingkungan keluarga, serta lingkungan sosialnya yang baru. Berdasarkan pemaparan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui dan menggali bagaimana proses penyesuaian diri pada pasangan yang memilih menjalani perkawinan Pada Gelahang.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2015) metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk mengetahui, menafsirkan, dan menjelaskan secara mendalam serta komprehensif mengenai suatu fenomena (Marshall & Rossman, 2006).
Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi adalah pendekatan yang mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena (Creswell, 2015). Penelitian dengan metode kualitatif dan pendekatan fenomenologi merupakan tipe penelitian yang paling cocok untuk mengetahui gambaran proses penyesuaian diri pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang dalam Masyarakat Hindu Bali. Hal ini sejalan dengan manfaat penelitian kualitatif yaitu memahami secara mendalam suatu situasi atau isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi oleh seseorang (Moleong, 2015).
Penelitian ini melibatkan tiga pasangan yang sedang menjalankan perkawinan Pada Gelahang. Secara terperinci karakteristik responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
1. Pasangan yang menjalankan perkawinan Pada
Gelahang.
-
2. Menikah pada usia dewasa awal (18-40 tahun).
-
3. Perkawinan berusia 1 – 10 tahun.
-
4. Telah memiliki anak.
-
5. Berdomisili di Bali.
Responden dalam penelitian ini merupakan tiga pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang. Pasangan pertama yaitu responden AD dan PW sudah menjalani perkawinan Pada Gelahang selama tiga tahun dan memiliki satu orang anak. Responden AD berasal dari Kota Denpasar sedangkan Responden PW berasal dari Kabupaten Karangasem. Pasangan ini tinggal sehari-hari di Denpasar namun berpindah-pindah antara rumah AD dan PW.
Pasangan kedua yaitu responden DW dan KM sudah menjalani perkawinan Pada Gelahang selama enam tahun dengan dua orang anak. Kedua responden ini sama-sama berasal dari kabupaten Tabanan namun berbeda desa. Sehari-harinya kedua responden tinggal di Kota Denpasar.
Pasangan ketiga yaitu responden RA dan BY sudah menjalani perkawinan pada gelahang selama lima tahun dan memiliki dua orang anak. Responden RA berasal dari Tabanan dan REsponden BY berasal dari Kabupaten Klungkung. Sehari-harinya, kedua responden tinggal di Kabupaten Klungkung.
Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan adalah di wilayah Provinsi Bali. Keputusan lokasi pelaksanaan penelitian bergantung pada pertimbangan mengenai responden penelitian dan keefektifan proses pengumpulan data. Sejauh ini, penelitian dilakukan di area Kota Denpasar dan Kabupaten Klungkung. Responden AD, PW, DW dan KM diwawancara di Kota Denpasar, sedangkan Responden RA dan BY diwawancara di Kabupaten Klungkung. Pemilihan lokasi wawancara didasari oleh tempat tinggal responden.
Teknik Penggalian Data
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan tewawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara (Moleong, 2015). Wawancara ini termasuk ke dalam kategori wawancara secara mendalam (in depth interview), yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang kompleks (Sulistyo & Basuki dalam Sani, 2013).
Pada penelitian ini wawancara yang akan digunakan adalah wawancara semi terstruktur dengan pedoman umum dimana dalam proses wawancara, pedoman umum akan dipersiapkan dalam rangka menggali topik penelitian. Interviewer akan bertanya mengenai proses kehidupan responden dari sebelum, saat, dan setelah menikah. Selain itu, akan digunakan teknik joint interview (wawancara bersama). Sesuai dengan anjuran Handel (dalam Marks, dkk, 2008) metodologi kualitatif dalam penelitian keluarga dianjurkan untuk melibatkan seluruh keluarga untuk menghindari ketergantungan pada satu informan hubungan keluarga. Oleh karena itu, penelitian ini akan melibatkan kedua belah pihak, yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalani perkawinan Pada Gelahang. Observasi
Observasi (pengamatan) merupakan dasar dari seluruh ilmu pengetahuan karena fakta mengenai dunia nyata diperoleh melalui observasi (Nasution, dalam Sugiyono, 2016). Penelitian ini akan menggunakan jenis observasi non-
partisipan dimana peran peneliti murni sebagai pengamat. Hal-hal yang diamati dari responden dalam penelitian ini adalah hal-hal yang menyangkut seputar penyesuaian diri responden, baik penyesuaian terhadap personal dan sosial, serta aspek-aspek penyesuaian diri yang baik menurut Schneiders (1964). Hal-hal yang akan diamati adalah kondisi tempat tinggal responden, hubungan responden dengan keluarga kandung dan keluarga pasangan, model perilaku atau interaksi responden dengan pasangan, keluarga kandung, dan keluarga pasangan, interaksi dalam lingkungan sosial, interaksi dan kerjasama selama proses wawancara berlangsung.
Rekaman Audio
Bukti fisik diperlukan dalam proses pengumpulan informasi dan data (Creswell, 2015). Bukti fisik dalam proses pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah rekaman audio. Rekaman audio merupakan suara dan dialog responden yang terjadi dalam rentang waktu tertentu.
Pencatatan Lapangan
Catatan lapangan adalah alat yang umum digunakan oleh para pengamat dalam situasi pengamatan non-partisipan. Peneliti sebagai pengamat relatif bebas membuat catatan dan biasanya dibuat sesudah pengamatan dilakukan. Catatan berupa langkah-langkah peristiwa, bisa dibuat dalam bentuk kategori sewaktu dicatat, atau dapat pula berupa catatan tentang gambaran umum yang singkat (Moleong, 2015).
Kredibilitas Penelitian
Ada beberapa cara meningkatkan kredibilitas data terhadap hasil penelitian kualitatif antara lain perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan mengadakan membercheck (Sugiyono, 2016). Upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kredibilitas penelitian adalah dengan melakukan triangulasi, peningkatan ketekunan, diskusi, dan member check.
Isu Etik
Ketika sebuah penelitian dilakukan, hal yang harus benar-benar diperhatikan oleh seorang peneliti adalah isu etika. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar penelitian dapat berlangsung dengan baik dan tidak menyebabkan kerugian pada diri responden maupun lingkungan sekitar responden. Creswell (2015) menyatakan bahwa seorang peneliti melindungi kerahasiaan identitas diri partisipan misalnya dengan menggunakan nama samaran untuk para partisipan. Lebih lanjut, Creswell (2015) mengungkapkan bahwa untuk memeroleh dukungan dari para partisipan, seorang peneliti harus menyampaikan kepada partisipan bahwa mereka sedang terlibat di dalam studi, menjelaskan tujuan studi, dan tidak berbohong tentang watak dari studi tersebut. Prinsip anonimitas dan kerahasiaan merupakan prinsip yang harus dipegang teguh oleh peneliti terutama ketika mengangkat isu-isu sensitif. Sikap sopan santun, kejujuran, serta pemahaman terhadap budaya setempat juga diperlukan dalam sebuah penelitian, dengan begitu diharapkan responden dapat memberikan informasi yang sejujur-jujurnya kepada peneliti guna kepentingan kredibilitas penelitian. Penelitian ini menggunakan informed consent dalam rangka memenuhi persoalan etika.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dibagi ke dalam enam bagian yaitu penyebab perkawinan Pada Gelahang, faktor-faktor yang memengaruhi proses pengambilan keputusan, keadaan yang dialami, tindakan untuk mencapai penyesuaian diri, faktor-faktor yang memengaruhi tindakan penyesuaian diri, dan kondisi setelah penyesuaian diri.
Penyebab Perkawinan Pada Gelahang
Penyebab internal
Penyebab internal perkawinan Pada Gelahang yang dilaksanakan oleh responden yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penyebab yang muncul dari dalam diri responden sendiri. Pertama adalah tidak ingin berpisah dengan pasangan. Ketiga responden menyatakan bahwa mereka tidak ingin berpisah dari pasangannya meskipun mereka telah mengetahui bahwa pasangan mereka tidak bisa melaksanakan perkawinan biasa dan tidak bisa melaksanakan perkawinan Nyentana. Keinginan ini didukung oleh rasa cinta dan suka yang besar terhadap pasangan sehingga mereka ingin menempuh jalan yang dapat membahagiakan mereka.
Kedua adalah pemikiran bahwa perkawinan biasa belum tentu bahagia. Penyebab internal ini berkaitan dengan kognitif responden penelitian. Responden berpendapat bahwa bentuk perkawinan apapun bisa berakhir bahagia maupun tidak bahagia. Banyak pasangan perkawinan biasa yang berakhir dengan perceraian karena berbagai alasan, maka dari itu responden menanamkan dalam benaknya bahwa apapun bentuk perkawinan yang ia laksanakan jika dijalani dengan tulus ikhlas serta penuh pengertian maka akan berakhir bahagia.
Ketiga adalah keinginan menepati janji. Responden yang telah mencetuskan ide bahwa ia dan pasanngannya akan menikah secara Pada Gelahang ingin menepati apa yang telah ia ucapkan. Orangtua responden perempuan mempertimbangkan kesulitan perkawinan Pada Gelahang dan akhirnya mengizinkan anaknya untuk melakukan perkawinan biasa, namun responden laki-laki menolak dan tetap ingin melaksanakan perkawinan Pada Gelahang.
Keempat adalah tidak mau merugikan keluarga manapun. Pasangan perkawinan Pada Gelahang memiliki tujuan agar semua pihak tidak merasa dirugikan atas perkawinan mereka. Pihak laki-laki ingin agar keluarga mereka memiliki keturunan begitu pula pihak perempuan yang juga menginginkan agar memiliki penerus dalam keluarganya.
Penyebab eksternal
Penyebab eksternal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penyebab yang berasal dari luar diri responden sehingga responden memutuskan untuk melakukan perkawinan Pada Gelahang. Penyebab ekternal pertama adalah tidak diizinkan meninggalkan orangtua dan leluhur. Bali merupakan wilayah yang kental dengan budaya patrilinealnya. Garis keturunan masyarakat Hindu Bali mengikuti garis keturunan dari pihak ayah atau pihak laki-laki, sehingga bagi masyarakat Hindu Bali anak laki-laki sangatlah
berharga. Sebuah keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki tentunya akan menginginkan agar anak perempuannya yang menjadi penerus serta pewaris dalam keluarga. Hal ini dapat diwujudkan melalui perkawinan Nyentana.
Kedua adalah tidak ada penerus di dalam keluarga. Bagi masyarakat Hindu Bali, keberadaan anak laki-laki sangatlah penting, karena anak laki-laki merupakan penerus keturunan dalam keluarga. Ketika dalam suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki, maka anak perempuan akan melakukan perkawinan Nyentana atau Pada Gelahang guna menyambung garis keturunan tersebut.
Ketiga adalah tidak ada yang menggantikan orangtua di masyarakat. Perkawinan biasa adalah salah satu bentuk perkawinan dimana perempuan meninggalkan keluarganya dan masuk ke keluarga pihak laki-laki. Perkawinan Nyentana adalah bentuk perkawinan dimana pihak laki-laki meninggalkan keluarganya dan masuk ke keluarga perempuan. Perempuan dan laki-laki yang melaksanakan bentuk perkawinan biasa maupun Nyentana tersebut akan memiliki kewajiban untuk masuk ke organisasi masyarakat seperti banjar, PKK untuk menggantikan mertuanya. Apabila perempuan tidak memiliki saudara laki-laki, atau laki-laki yang merupakan anak tunggal meninggalkan keluarganya, maka tidak akan ada yang menggantikan ibu dan ayahnya di organisasi dan lingkungan masyarakat.
Pihak laki-laki dan perempuan memiliki beberapa alasan yang berbeda satu sama lain sehingga menyebabkan mereka memilih bentuk perkawinan Pada Gelahang. Pihak perempuan menyebutkan bahwa alasan lain yang menyebabkan mereka memilih perkawinan Pada Gelahang adalah tidak adanya saudara laki-laki dalam keluarga kandung mereka. Hal ini dikarenakan melalui perkawinan Pada Gelahang, responden maupun suaminya tidak perlu meninggalkan rumah masing-masing.
Pihak laki-laki tidak bersedia melakukan perkawinan Nyentana dikarenakan oleh beberapa hal seperti responden merupakan anak tunggal, responden tidak memiliki saudara laki-laki lainnya, saudara laki-laki telah meninggal dan belum memiliki keturunan, bahkan daerah asal responden tidak mengizinkan dilaksanakannya perkawinan Nyentana.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Proses Pengambilan Keputusan
Faktor pendukung
Faktor pendukung adalah hal-hal yang mendukung terjadinya perkawinan Pada Gelahang antara responden dengan pasangannya. Faktor pendukung pertama adalah memiliki kenalan yang melakukan perkawinan Pada Gelahang. Pengalaman teman, saudara, dan kenalan merupakan salah satu faktor pendukung yang penting dalam melancarkan rencana perkawinan Pada Gelahang yang dilakukan oleh responden. Melalui kenalan yang telah lebih dahulu melakukan perkawinan Pada Gelahang, responden dapat memeroleh informasi serta memberikan gambaran kepada keluarga serta orang-orang yang mempertanyakan status serta konsep perkawinan yang akan dijalaninya.
Kedua adalah persyaratan kedua belah pihak mampu dipenuhi melalui perjanjian. Sebelum melaksanakan perkawinan, keluarga responden dan keluarga suami berunding mengenai bagaimana perjanjian perkawinan agar nantinya tidak timbul masalah. Ketika merumuskan perjanjian baik keluarga responden dan suami saling mengajukan syarat meliputi proses upacara dan keturunan.
Ketiga adalah usia, desakan orangtua, dan teman-teman yang sudah menikah. Usia dewasa awal merupakan usia dimana individu memiliki tugas perkembangan membangun intimasi dan mencari pasangan hidup. Orangtua tentunya akan merasa khawatir ketika anak mereka belum juga menemukan pasangan hidup di usia dewasa awal, usia ketika sudah saatnya mereka menikah. Selain orangtua, teman sebaya juga memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan dan pengambilan keputusan seseorang. Responden merasa kesepian dan berada di luar lingkaran karena tidak sama lagi dengan teman-teman sebayanya.
Faktor keempat adalah dukungan keluarga dan mertua. Perkawinan Pada Gelahang masih belum dikenal secara luas di kalangan masyarakat Hindu Bali, hal ini dibuktikan dengan masih minimnya orang yang melaakukan perkawinan Pada Gelahang di Bali. Oleh karena itu, ketika responden memilih untuk melaksanakan perkawinan Pada Gelahang, banyak pertanyaan yang muncul dari orang sekitar responden, baik dari keluarga maupun teman. Responden kadangkala mengalami kesulitan untuk menjelaskan dan meyakinkan orang-orang yang bertanya padanya. Ketika calon mertua, keluarga membantu menjelaskan mengenai perkawinan Pada Gelahang yang akan ia jalani, responden merasa cukup yakin atas keputusan yang ia ambil.
Dukungan mertua lebih dirasakan oleh responden laki-laki dibandingkan responden perempuan. Hal ini disebabkan oleh, ide perkawinan Pada Gelahang lebih banyak dicetuskan oleh orangtua pihak perempuan. Meskipun pihak perempuan juga mendapatkan sambutan hangat di keluarga laki-laki, namun dukungan seperti mertua membantu menjelaskan konsep perkawinan ke pihak keluarga besar lebih dirasakan oleh para laki-laki.
Faktor penghambat
Faktor penghambat adalah hal-hal yang menghambat atau menghalangi responden dalam mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan Pada Gelahang. faktor pertama adalah ketakutan tidak dapat bersikap adil. Responden yang menjalani perkawinan Pada Gelahang memiliki tanggung jawab yang sama di dua keluarga, sehingga individu harus dapat membagi waktu dan kasih sayang dengan sama besarnya di kedua keluarga.
Kedua adalah ketakutan tidak akan memiliki keturunan. Perkawinan khususnya perkawinan Pada Gelahang juga memiliki tujuan untuk memberikan keturunan di kedua belah pihak keluarga agar garis keturunan dalam masing-masing keluarga tidak terputus. Masalah akan timbul ketika perkawinan Pada Gelahang hanya memiliki satu keturunan atau pun tidak memiliki keturunan, karena hal tersebut akan mengingkari tujuan dari perkawinan itu sendiri.
Ketiga adalah ketakutan tidak bisa menjalankan kewajiban. Studi pendahuluan menunjukkan bahwa perkawinan Pada Gelahang memiliki area tantangannya tersendiri seperti beban ekonomi, beban anak, beban waktu, serta beban fisik. Namun, dalam penelitian ini ditemukan beberapa tantangan lain seperti beban sosial, beban pikiran, dan beban pekerjaan serta konflik yang terjadi dengan pasangan. Banyaknya tantangan dalam perkawinan ini tentunya menyebabkan munculnya perasaan takut pada responden pada saat sebelum melaksanakan upacara perkawinan.
Keempat adalah kesulitan menjelaskan konsep dan status perkawinan. Responden merasa kesulitan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai perkawinan Pada Gelahang yang dipilihnya. Kurangnya informasi serta pengalaman menyebabkan perkawinan ini kurang dapat diterima oleh orang lain.
Kelima adalah kesulitan menentukan tanggal rangkaian upacara perkawinan. Perkawinan dalam budaya Hindu Bali memiliki rangkaian upacara yang panjang. Pelaksanaan rangkaian upacara tentunya akan memakan waktu yang cukup banyak. Perkawinan Pada Gelahang menuntut pelaksananya agar melaksanakan kegiatan utama upacara perkawinan dilakukan sebanyak dua kali sehingga dapat membuat responden kesulitan dalam menentukan tanggal-tanggal yang tepat.
Keadaan yang Dialami
Keadaan positif
Keadaan positif yang dialami responden dalam penelitian ini maksudnya adalah keuntungan yang responden peroleh ketika menjalani perkawinan Pada Gelahang. Pertama adalah tidak meninggalkan keluarga dan leluhur. Perkawinan Pada Gelahang merupakan jalan keluar terbaik bagi responden yang tidak dapat menjalankan perkawinan biasa dan perkawinan Nyentana. Melalui perkawinan Pada Gelahang, responden dapat menikah, memiliki keturunan, tanpa meninggalkan keluarga masing-masing.
Kedua, masih bisa merawat orangtua setelah menikah. Responden yang melaksanakan perkawinan Pada Gelahang masih tidak meninggalkan keluarganya sehingga mereka masih dapat mengunjungi, merawat, serta bertanggung jawab atas orangtuanya.
Ketiga adalah setiap keluarga memiliki penerus. Anak laki-laki merupakan penerus keluarga dalam keluarga masyarakat Hindu Bali. Anak perempuan dapat dijadikan penerus dalam keluarga masyarakat Hindu Bali melalui dua cara yaitu perkawinan Nyentana atau perkawinan Pada Gelahang. Tujuan dari pelaksanaan perkawinan Pada Gelahang adalah mendapatkan keturunan untuk menjadi penerus di masing-masing keluarga. Responden dalam penelitian ini saat ini telah memiliki keturunan sehingga dapat dikatakan bahwa mereka telah berhasil melanjutkan keturunan di masing-masing keluarga.
Keempat adalah bisa menggantikan orangtua dalam bermasyarakat. Perempuan dan laki-laki yang melaksanakan
bentuk perkawinan biasa maupun Nyentana tersebut akan memiliki kewajiban untuk masuk ke organisasi masyarakat seperti banjar, PKK untuk menggantikan mertuanya. Melalui perkawinan Pada Gelahang, pihak laki-laki dan perempuan dapat menggantikan posisi orangtua mereka masing-masing ketika sudah tidak mampu lagi terlibat dalam urusan bermasyarakat.
Kelima adalah mendapat dukungan sosial. Perkawinan Pada Gelahang memiliki tantangan berupa beban sosial yang berat karena individu yang menjalankan perkawinan ini diharuskan untuk menjadi anggota di dua lingkungan masyarakat. Meskipun demikian, respoden tidak terbebani atas beban sosial tersebut karena orangtua responden maupun mertuanya serta saudara-saudara masih mau membantu dalam menjalankan kewajiban sosial masyarakat seperti urusan banjar adat.
Keenam adalah mendapat dukungan ekonomi. Perkawinan Pada Gelahang memiliki beban ekonomi dua kali lipat dari perkawinan biasa karena individu yang menjalani perkawinan ini memiliki dua tanggung jawab sekaligus. Meskipun demikian, orangtua dan mertua, serta saudara-saudara masih membantu biaya di masing-masing rumah sehingga responden tidak merasa berat secara ekonomi.
Ketujuh adalah mendapat dukungan keluarga. Dukungan keluarga yang dimaksud di sini adalah dukungan yang diberikan oleh orangtua maupun saudara individu dalam mengurus rumah dan mengasuh anak. Pasangan perkawinan Pada Gelahang yang sama-sama bekerja tentunya memiliki kesulitan dalam menjaga anak-anak mereka ketika sedang bekerja sehingga dukungan dari pihak keluarga sangatlah berharga. Selain itu persiapan perkawinan juga membutuhkan dukungan dari keluarga serta membantu urusan rumah tangga lainnya.
Responden perempuan mendapatkan keuntungan lain selain dari yang sudah disebutkan sebelumnya dari perkawinan Pada Gelahang yaitu tidak ada orang yang bergunjing ketika ia tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama di rumah aslinya. Pada umumnya, masyarakat Hindu Bali melaksanakan perkawinan biasa dimana pihak perempuan akan ikut tinggal bersama suaminya, tentunya akan aneh dan menimbukan pertanyaan jika perempuan tersebut tinggal di rumah aslinya.
Keadaan negatif
Keadaan negatif yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keadaan yang tidak menguntungkan ataupun tidak menyenangkan yang dialami individu ketika menjalani perkawinan Pada Gelahang. Keadaan negative yang pertama adalah memiliki beban sosial. Pasangan dengan Perkawinan Pada Gelahang harus menyesuaikan diri dengan banyak lingkungan karena mereka terdaftar pada minimal dua lingkungan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan banjar, keluarga besar, serta tetangga.
Kedua adalah memiliki beban ekonomi. Pasangan yang terikat pada dua rumah berarti bertanggung jawab untuk membiayai kedua rumah tangga yang ada di masing-masing keluarga dan
bertanggung jawab untuk mengeluarkan biaya untuk keperluan adat di kedua banjar adat.
Ketiga adalah memiliki beban anak atau keturunan. Responden dalam penelitian ini mengaku kesulitan dalam menangani anak yang masih kecil karena sulit diajak bepergian dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu rumah ke rumah lainnya. Oleh karena itu, responden cenderung menetap di satu lokasi atau rumah karena takut akan terjadi sesuatu yang buruk pada anaknya di jalanan. Responden yang baru memiliki seorang anak juga masih bingung dan sedang berusaha untuk mendapatkan keturunan.
Keempat adalah memiliki beban waktu. Pasangan dengan Perkawinan Pada Gelahang memerlukan waktu lebih banyak untuk kehidupan sosialnya karena mereka harus terikat pada dua banjar adat dan dua keluarga. Apabila lokasi kedua tempat ini berjauhan satu sama lain tentunya akan banyak memakan waktu untuk bepergian di kedua tempat ini.
Kelima adalah memiliki beban pikiran. Responden memiliki pikiran-pikiran negatif seperti ada orang lain yang membicarakan perkawinannya, kekhawatiran terhadap orangtuanya, atau orang lain yang mengurusi urusan rumah tangganya.
Keenam adalah memiliki beban fisik. Menjadi pasangan dengan Perkawinan Pada Gelahang berarti terikat ada dua keluarga dan dua banjar adat yang berarti pasangan harus menghabiskan waktu secara berimbang di kedua lokasi. Apabila sebuah banjar memiliki acara yang membutuhkan tenaga warganya, pasangan tersebut harus melaksanakan kewajibannya di tempat tersebut.
Ketujuh adalah memiliki beban pekerjaan. Jarak tempat kerja yang jauh atau waktu kerja yang tidak menentu terkadang menyebabkan responden merasa kelelahan dan kehabisan waktu sehingga sulit untuk melakukan penyesuaian diri di lingkungan sosialnya.
Terakhir adalah konflik dengan pasangan. Responden dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa mereka juga memiliki konflik dengan pasangan mereka seperti misalnya salah paham, ketidakcocokan jadwal, perbedaan pendapat, suasana hati yang buruk, serta perubahan perhatian yang ditunjukkan oleh pasangan.
Tindakan untuk Mencapai Penyesuaian Diri
Penyesuaian sosial melalui social coping
Social coping adalah strategi coping dimana individu memunculkan reaksi atau tindakan untuk mengurangi stress atau tekanan yang dialami dengan cara mencoba memanfaatkan lingkungan atau mengubah lingkungan atau keadaan yang memunculkan stres.
Strategi pertama adalah looking for social support. Looking for social support adalah bentuk coping dimana individu mencari bantuan berupa bantuan informasi, bantuan material, atau bantuan fisik dari orang-orang di sekitar mereka guna
membantunya menyesuaikan diri dengan keadaan dan lingkungannya yang baru.
Strategi kedua adalah planful problem solving merupakan usaha individu untuk menyelesaikan masalah dengan membuat suatu rencana penyelesaian atau sebuah rencana pencegahan agar masalah tidak meluas.
Strategi ketiga adalah using kids as a glue. Using kids as a glue merupakan coping dimana individu memanfaatkan anak-anaknya untuk meredakan amarah serta masalah dengan pasangannya. Responden menggunakan taktik ini untuk menyelesaikan masalah dengan pasangannya.
Penyesuaian personal melalui personal coping
Personal coping adalah strategi coping dimana individu memunculkan reaksi atau tindakan untuk mengurangi stress atau tekanan yang dialami dengan cara mencoba mengubah diri atau pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya.
Strategi personal coping pertama adalah being a good person. Being a good person merupakan strategi coping dimana responden berusaha untuk bersikap baik, ramah, dan penuh perhatian kepada orang lain yang terlibat atau menjadi sumber masalah agar masalah cepat terselesaikan.
Strategi kedua adalah being assertive. Being assertive adalah tindakan penyesuaian diri dimana individu mengungkapkan secara jelas apa yang menjadi keinginan serta harapannya tentang orang lain sehingga tidak terjadi kesalahpahaman atau masalah yang lebih besar.
Ketiga adalah problem delay. Problem delay merupakan strategi dimana individu mengetahui dan mengakui adanya masalah, namun individu berusaha untuk menunda penyelesaian masalah tersebut.
Keempat adalah self control. Self control adalah tindakan untuk mengontrol emosi, tindakan, dan pikiran yang dapat memicu terjadinya masalah. Responden dalam penelitian ini menggunakan strategi self control dalam bentuk berusaha untuk saling memahami dan toleransi, tidak memaksakan kehendak, tidak banyak bertanya, tidak menuntut pasangan, dan tidak membanding-bandingkan perkawinannya sendiri dengan perkawinan orang lain.
Kelima adalah strategi ignore the problem. Ignore the problem merupakan strategi coping dimana individu sebenarnya mengetahui keberadaan masalah namun ia mengabaikan serta berpura-pura bahwa masalah tersebut tidak ada. Responden mengatasi masalah dengan cara diam dan menganggap masalah akan selesai sendirinya.
Keenam adalah pray then try. Pray then try merupakan bentuk tindakan coping dimana individu berdoa pada Tuhan dan menenangkan diri secara spiritual kemudian kembali mencoba untuk mencari penyelesaian masalah.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tindakan Penyesuaian Diri
Internal
Faktor intenal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu sehingga individu melakukan tindakan penyesuaian diri untuk menjaga keutuhan perkawinannya. Faktor internal pertama adalah rasa cinta, rasa sayang, dan rasa suka terhadap pasangan. Perasaan cinta, sayang, dan suka menjadi alasan yang kuat bagi responden untuk dapat bertahan dalam perkawinannya. Perasaan inilah yang juga menyebabkan responden berusaha untuk menyesuaikan diri dan mencari kenyamanan di lingkungan yang baru.
Kedua adalah komitmen dalam perkawinan. Ketika responden memutuskan untuk menikah berarti ia telah memantapkan hati dan berkomitmen atas keputusan yang diambilnya sehingga ia akan menjaga keutuhan perkawinannya.
Eksternal
Faktor eksternal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu sehingga individu melakukan tindakan penyesuaian diri untuk menjaga keutuhan perkawinannya. Faktor eksternal yang pertama adalah anak. Anak memiliki pengaruh yang besar dalam menjalani kehidupan perkawinan karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, anak merupakan hal yang menjadi tujuan utama dalam perkawinan. Seseorang akan termotivasi untuk menjalankan perkawinan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya kelak.
Kedua adalah pembuktian kepada orang lain. Di masa-masa awal perkawinan, banyak orang yang mempertanyakan status, konsep, bahkan kesanggupan individu dalam menjalankan perkawinan Pada Gelahang. Ketika individu diremehkan, ia memiliki keinginan dalam dirinya untuk memperlihatkan pada orang lain bahwa perkawinannya layak untuk dijalani dan perkawinannya merupakan perkawinan yang bahagia.
Ketiga adalah dukungan orang sekita. Responden mendapat dukungan dari orang sekitarnya dalam menjalani perkawinan sehingga responden termotivasi untuk menjalani perkawinannya dengan lebih baik.
Keempat adalah saling pengertian antar suami istri. Responden berkata bahwa saling mendukung dan pengertian antara responden dan suaminya memiliki dampak yang baik untuk memotivasi responden dalam menjalani perkawinan.
Kondisi Setelah Penyesuaian Diri
Penelitian ini mendapatkan keterangan langsung dari responden bahwa mereka merasa puas bahkan sangat puas dalam perkawinan yang mereka jalani saat ini. Hal yang menyebabkan kepuasan adalah mampu mewujudkan cita-cita istri dan telah berhasil memberikan keturunan.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Perkawinan Pada Gelahang adalah perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran Agama Hindu dan Hukum Adat
Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa dan juga tidak termasuk perkawinan Nyentana, melainkan suami dan istri tetap berstatus kapurusa (penerus keturunan) di rumahnya masing-masing sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban, yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung jawab keluarga suami, sekala (duniawi) maupun niskala (akhirat), secara terus-menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya (Dyatmikawati, 2013).
Pada penelitian ini ditemukan bahwa pihak laki-laki memiliki faktor penghambat lebih banyak dibandingkan pihak perempuan, perbedaan yang menyolok adalah adanya pihak keluarga yang tidak menyetujui perkawinan Pada Gelahang sehingga pihak laki-laki melewati proses yang lebih rumit dalam hal memberikan penjelasan dibandingkan pihak perempuan. Hal ini berkaitan dengan budaya Masyarakat Hindu Bali yang menganut budaya patrilineal. Dalam Masyarakat Hindu Bali, keturunan terutama anak laki-laki, sangat dianggap sangat penting oleh setiap pasangan suami istri karena pada anak laki-lakilah digantungkan harapan-harapan orangtuanya, seperti menjadi penerus generasi, menggantikan kedudukan ayahnya di dalam masyarakat jika telah menikah (Sudantra, 2011). Oleh karena itu, pengambilan keputusan untuk melaksanakan perkawinan Pada Gelahang terasa lebih berat dan sulit oleh pihak laki-laki.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa ketika menjalani perkawinan Pada Gelahang, responden mengalami beberapa tantangan yang tidak dimiliki oleh perkawinan biasa maupun perkawinan Nyentana. Tantangan yang dimaksudkan adalah beban anak atau keturunan, beban waktu, beban fisik, dan beban ekonomi (Puspitasari, 2017). Hasil penelitian ini menemukan bahwa di samping keempat beban tadi, ada empat area lain yang menjadi beban pada perkawinan Pada Gelahang yaitu beban sosial, beban pikiran, beban pekerjaan, serta konflik dalam rumah tangga. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Barash (2012) dimana terdapat tiga tantangan dalam perkawinan yaitu keuangan, anak, dan keluarga besar. Landis & Landis (1970) juga mengungkapkan bahwa area penyesuaian dalam perkawinan diantaranya adalah uang, aktivitas sosial dan rekreasi, serta cara mendisiplinkan anak.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil berupa dua bentuk coping yang dilakukan oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang di masyarakat Hindu Bali untuk menyesuaikan diri baik secara personal maupun secara sosial. Strategi coping digunakan oleh individu dalam sebuah relasi intim merupakan sebuah bentuk upaya negosiasi dalam mempertahankan suatu hubungan (Lazarus & Folkman, 1984). Dua bentuk coping yang ditemukan adalah personal coping dan social coping. Personal coping adalah coping yang dilakukan pasangan untuk mencapai penyesuaian personal. Personal coping dibagi menjadi enam strategi coping yaitu being a good person, problem delay, self control, ignore the problem, being assertive, dan pray then try. Sedangkan social coping adalah coping yang dilakukan pasangan untuk mencapai penyesuaian sosial. Social coping dibagi menjadi tiga strategi coping yaitu looking for social support, planful
problem solving, dan using kids as a glue. Kesepuluh strategi coping ini akan dijelaskan kemudian.
Being a good person merupakan strategi coping dimana responden berusaha untuk bersikap baik, ramah, dan penuh perhatian kepada orang lain yang terlibat atau menjadi sumber masalah agar masalah cepat terselesaikan. Menurut Firtzpatrick (dalam Dewi & Basti, 2008), penyelesaian konflik pada pasangan dapat dilakukan dengan cara salah satu pasangan mengalah terhadap pasangannya tanpa menyelesaikan konflik yang terjadi. Pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang mengakui kesalahan yang mereka lakukan agar tidak terjadi konflik yang lebih besar. Kemudian setelah itu, pihak yang mengalah akan membujuk atau merayu pasangan agar hubungan yang harmonis kembali terbentuk. Di sisi lain, strategi coping ini tidak menyelesaikan masalah yang sesungguhnya terjadi. Masalah tersebut akan kembali muncul lagi dan lagi.
Problem delay merupakan strategi dimana individu mengetahui dan mengakui adanya masalah, namun individu berusaha untuk menunda penyelesaian masalah tersebut. Individu berusaha untuk sabat menunggu saat yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada karena belum ada tindakan yang tepat guna menyelesaikan masalah tersebut (Rahmandani, Karyono, & Dewi, 2009). Individu menerapkan strategi ini dikarenakan tidak ada hal yang dapat individu perbuat untuk mengubah keadaan (Lazarus & Folkman, 1984). Strategi ini kerap digunakan oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan adat dan budaya di lingkungan baru. Sesungguhnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Christina dan Matulessy (2016) penyesuaian perkawinan dan subjective well-being secara simultan memiliki hubungan yang signifikan dengan konflik perkawinan pada pasangan suami istri. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa apabila penyesuaian perkawinan dan subjective well-being semakin meningkat maka konflik perkawinan akan cenderung menurun.
Self control adalah tindakan untuk mengontrol emosi, tindakan, dan pikiran yang dapat memicu terjadinya masalah. Lazarus dan Folkman (1984) mengungkapkan bahwa self control merupakan Usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan perasaan ataupun tindakan terkait masalah. Pasangan perkawinan Pada Gelahang mengontrol diri mereka dengan cara untuk mengerti keadaan pasangan dan tidak menuntut macam-macam. Salah satu faktor yang mendukung penyesuaian diri dalam perkawinan adalah pasangan yang lebih menanamkan rasa toleransi, kerukunan, menghormati, menghargai serta memahami pada masing-masing pasangan. Melalui strategi kontrol diri, pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang dapat meminimalisir konflik yang dapat terjadi sehingga perkawinan menjadi harmonis. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat pengaruh positif antara regulasi emosi dan kepuasan pernikahan. Hal tersebut dapat diartikan semakin baik kemampuan pasangan suami istri dalam meregulasi emosinya, maka semakin tinggi juga kepuasan akan pernikahan yang mereka jalani, sebaliknya jika kemampuan meregulasi emosinya kurang baik, maka
kepuasan akan pernikahan yang dijalaninya juga rendah. (Wulan & Chotimah, 2017).
Ignore the problem merupakan strategi coping dimana individu sebenarnya mengetahui keberadaan masalah namun ia mengabaikan serta berpura-pura bahwa masalah tersebut tidak ada. Berdasarkan teori dari Johnson, Haughlin, dan Huston (dalam Rahmatika & Handayani, 2012) individu memilih untuk membiarkan saja masalah berlalu daripada berkonfrontasi dengan pasangannya untuk mendapatkan solusi yang diinginkan, tujuannya adalah untuk memelihara rasa sebagai salah satu fungsi dari komitmen personal.
Penghindaran dilakukan karena adanya keragu-raguan mengenai kemampuannya untuk mengakhiri hubungan, takut menyakiti pasangannya, melindungi diri dari pertengkaran, dan tidak ingin kehilangan pasangannya secara total (Tubbs & Moss, 2001). Berkaitan dengan perkawinan Pada Gelahang, menghindari masalah dilakukan karena responden ingin melindungi diri dari pertengkaran dengan pasangan dan tidak ingin kehilangan pasangannya. Menurut Firtzpatrick (dalam Dewi & Basti, 2008) ada empat cara pasangan dapat menyelesaikan konflik dalam perkawinan, salah satunya yaitu menghindari konflik. Menghindari konflik dilakukan dimana pasangan memunculkan perilaku yang dapat menghindarkan mereka dari konflik yang berkelanjutan, dengan cara mengalihkan pembicaran dari permasalahan yang sedang dibahas dan menganggap bahwa permasalahan tersebut tidak pernah ada. Berdasarkan Marsden (2005) dikatakan bahwa terlalu banyak memendam emosi negatif dan tidak penah terbuka diyakini lebih berisiko terserang penyakit berbahaya. Being assertive adalah tindakan penyesuaian diri dimana individu mengungkapkan secara jelas apa yang menjadi keinginan serta harapannya tentang orang lain sehingga tidak terjadi kesalahpahaman atau masalah yang lebih besar. Brubaker (dalam Papalia, Old & Feldman, 2011) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan adalah komunikasi. Melalui komunikasi antara pasangan, maka konflik akibat kesalahpahaman dapat dihindari. Berkurangnya kesalahpahaman yang terjadi diantara pasangan dapat mempermudah proses penyesuaian diri itu sendiri sehingga memudahkan pasangan untuk mencapai kepuasan perkawinan (Rospita & Lestari, 2016).
Pray then try merupakan bentuk tindakan coping dimana individu berdoa pada Tuhan dan menenangkan diri secara spiritual kemudian kembali mencoba untuk mencari penyelesaian masalah. Johnson, Caughlin, dan Huston (dalam Rahmatika & Handayani, 2012) mengungkapkan bahwa ketika tidak ada lagi alternatif dari suatu masalah maka pasangan akan lebih cenderung menggunakan strategi menerima dan mengembalikan pada agama dan kepercayaan yang dianut. Hal ini berkaitan erat dengan kepuasan perkawinan karena salah satu prediktor kepuasan dalam perkawinan adalah nilai-nilai religius (Fieshe & Tomcho, dalam Rahmatika & Handayani, 2012). Rajawane (2011) menyatakan bahwa keyakinan dan kekuatan yang lahir dari kepercayaan terhadap Tuhan menjadikan individu lebih tenang dan tabah dalam mengatasi masalah yang timbul serta menjaga keseimbangan mentalnya sehingga mendapatkan kesejahteraan psikologis.
Religiusitas juga memengaruhi tingkat well-being, seperti membantu mengurangi rasa cemas dan takut, memberikan dukungan sosial, dan meningkatkan harga diri (Compton, 2005).
Looking for social support bentuk coping dimana individu mencari bantuan berupa bantuan informasi, bantuan material, atau bantuan fisik guna membantunya menyesuaikan diri dengan keadaan dan lingkungannya yang baru. Lestari (2017) menyatakan bahwa berkumpul bersama teman, sharing pengalaman, mencari solusi dari masalah yang dihadapi merupakan aktivitas yang baik bagi individu. Individu dengan perkawinan Pada Gelahang dalam hal mengatasi beban yang ia miliki tentunya memerlukan pandangan serta perspektif orang lain. Berbagi cerita dengan teman-teman merupakan solusi yang baik karena melalui hal tersebut individu dapat memeroleh informasi atau solusi yang tak terpikirkan olehnya. Hal ini juga sesuai dengan yang diungkapkan Papalia dan Feldman (2014) bahwa kualitas dari persahabatan sering kali membantu selama suatu krisis dalam kehidupan, dimana individu mendapatkan dukungan emosional dari pertemanan yang baik. Banyak penelitian menyatakan bahwa orang yang memiliki banyak ikatan sosial (pasangan, kawan, kerabat, anggota kelompok) hidup lebih lama dan kurang rentan mengalami penyakit yang berhubungan stres dibandingkan orang yang memiliki sedikit kontak sosial suportif (Niven, 2002).
Planful problem solving merupakan usaha individu untuk menyelesaikan masalah dengan membuat suatu rencana penyelesaian atau sebuah rencana pencegahan agar masalah tidak meluas. Salah satu tindakan yang dilakukan dalam mengatasi beban dan tantangan di perkawinan Pada Gelahang adalah dengan cara belajar menghargai dan menghomati orang lain dan perbedaan yang ada di antara dua keluarga hal ini sejalan dengan penelitian dari Fariza (2017) yang mengungkapkan bahwa hubungan dalam keluarga harus saling percaya, saling menghormati istri ke suami, menerima apa adanya dan saling menghargai demi membangun kekuatan dalam sebuah perkawinan.
Kemauan dan kemampuan individu untuk belajar hal-hal baru seperti adat dan kebiasaan di lingkungan baru merupakan salah satu aspek dari penyesuaian diri (Schneider, 1964). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Agustiani (2009) bahwa individu memiliki kemampuan untuk belajar, mampu mengembangkan kualitas dirinya. Khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah sehari-hari. Menurut Collins (dalam Rustiana & Cahyati, 2012), suatu strategi mengambil tindakan langsung juga dapat menjadi efektif ketika ada alasan untuk percaya bahwa situasi dapat diubah.
Using kids as a glue merupakan coping dimana individu memanfaatkan anak-anaknya untuk meredakan amarah serta masalah dengan pasangannya. Menurut Sanjiwani dan Valentina (2017) aspek-aspek yang paling berkontribusi terhadap kepuasan perkawinan yang dirasakan responden adalah aspek anak dan perkawinan, keluarga dan teman-teman serta aspek kepribadian. Shek (1996) menunjukkan bahwa
pasangan setuju bahwa anak berkontribusi dalam memberikan makna kehidupan bagi pasangan, kedewasaan, kepuasan hidup, kebahagiaan keluarga serta keutuhan keluarga. Tujuan perkawinan Pada Gelahang yang dilaksanakan responden adalah untuk memeroleh keturunan, sehingga keberadaan anak akan menjadi sangat berarti bagi mereka.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984) sebetulnya terdapat strategi coping yang disebut dengan confrontative, yaitu strategi penyelesaian konflik dengan menggunakan usaha agresif untuk mengubah keadaan yang menekan, dengan tingkat kemarahan yang cukup tinggi serta dilengkapi dengan keberanian untuk mengambil risiko. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang, tidak ditemukan adanya penyelesaian konflik yang melibatkan emosi dengan intensitas yang tinggi maupun pengambilan risiko. Bila dikaitkan dengan budaya masyarakat Hindu Bali, hal ini berkaitan erat dengan sebuah konsep ajaran dasar kehidupan di Bali yaitu konsep Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana memiliki arti tiga komponen atau unsur yang menyebabkan terciptanya kesejahteraan atau kebahagiaan. Tiga komponen dalam Tri Hita Karana adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, serta hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya (Wiana, 2007). Budaya masyarakat Hindu Bali sangat menjunjung tinggi nilai keharmonisan dan selalu berusaha untuk menghindari konflik agar keharmonisan antar manusia dapat terjalin sebagaimana mestinya seperti dalam ajaran Tri Hita Karana. Hal inilah yang menyebabkan tindakan yang dilakukan oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang dalam melakukan penyesuaian diri tidak melibatkan tindakan yang menggunakan emosi tingkat tinggi atau berusaha memenangkan argumen yang ada. Mereka cenderung berperilaku mengalah, menghindari masalah atau diam agar tidak terjadi konflik yang lebih besar.
Selain menggunakan strategi coping seperti yang dijelaskan sebelumnya, terdapat faktor-faktor internal dan eksternal yang memotivasi responden untuk melakukan tindakan penyesuaian diri dalam menjalani perkawinannya. Faktor internal yang pertama adalah rasa sayang, cinta, dan suka. Menurut Turner dan Helms (1995) salah satu faktor yang menjadi motivasi perkawinan adalah rasa cinta. Cinta merupakan hal yang paling utama pasangan melakukan perkawinan dan hanya sedikit pasangan yang melakukan perkawinan tidak didasari adanya perasaan cinta.
Faktor kedua adalah komitmen di awal perkawinan. Menurut Turner dan Helms (1995) faktor lain yang menjadi motivasi perkawinan adalah komitmen untuk bersama. Cinta dan komitmen diantara pasangan sering kali menjadi alasan utama dilakukannya perkawinan. Pasangan ingin selalu saling berbagi dalam hidup dan membina hubungan yang dekat (intimate relationship) dalam lembaga perkawinan. Meskipun perkawinan Pada Gelahang merupakan perkawinan yang memiliki banyak tantangan, responden tetap berusaha menjalaninya karena telah berkomitmen bersama dengan pasangannya sedari awal.
Faktor eksternal yang pertama adalah anak. Turner dan Helms (1995) menyatakan bahwa pasangan yang melakukan perkawianan dengan alasan untuk memiliki dan mengasuh anak. Seseorang akan termotivasi untuk menjalankan perkawinan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya kelak.
Faktor eksternal berikutnya adalah pembuktian kepada orang lain. Di masa-masa awal perkawinan, banyak orang yang mempertanyakan status, konsep, bahkan kesanggupan individu dalam menjalankan perkawinan Pada Gelahang. Ketika individu diremehkan, ia memiliki keinginan dalam dirinya untuk memperlihatkan pada orang lain bahwa perkawinannya layak untuk dijalani dan perkawinannya merupakan perkawinan yang bahagia. Responden menunjukkan hal tersebut dengan cara tidak mengumbar konflik dlam perkawinannya di hadapan orang lain. Setiap orang pada dasarnya ingin untuk mendapatkan pengakuan (Maslow, dalam Feist & Feist, 2014), begitu pula dengan pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang. Responden ingin membuktikan bahwa ia berhasil dalam menjalankan perkawinan sehingga dapat mematahkan segala keraguan yang orang lain miliki dalam kaitannya dengan perkawinannya.
Selanjutnya adalah faktor dukungan orang sekitar. Rahmi (2011) menemukan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial pasangan dengan kepuasan pernikahan dimana dukungan sosial khususnya dukungan keluarga mempengaruhi kepuasan pernikahan seseorang. Hal ini dikuatkan oleh teori dari Robert Weiss (dalam Cutrona, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan pertukaran interpersonal dimana seseorang memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Dukungan sosial juga disebut sebagai pemberi rasa nyaman secara fisik maupun psikologis oleh keluarga kepada seseorang untuk menghadapi kecemasan atau stres.
Faktor eksternal terakhir adalah adanya saling pengertian antara suami dan istri. Perkawinan merupakan lembaga dimana pasangan dapat menghabiskan waktunya hidup bersama secara permanen. Kebersamaan tersebut dapat menimbulkan kesejahteraan emosional dan psikologis diantara pasangan, yang akan berdampak tumbuhnya rasa aman dan nyaman, serta kesempatan untuk saling berbagi diantara pasangan. Perkawinan adalah keterikatan yang didasari saling pengertian. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Campbell menyatakan bahwa perkawinan memberikan sumbangan penting yang unik bagi perasaan well being pada kebanyakan pria dan wanita (Campbell, dalam Duvall & Miller, 1985).
Setelah melakukan penyesuaian diri, hasil yang dicapai oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang adalah mereka merasa cukup puas hingga sangat puas dengan perkawinan yang mereka jalani. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanjiwani dan Valentina (2017) dimana mereka menemukan bahwa pasangan perkawinan Pada Gelahang puas dengan perkawinannya meskipun pada beberapa aspek responden merasakan ketidakpuasan. Responden menggambarkan kepuasan perkawinannya terkait
dengan keberadaan anak, kepuasan terhadap keterlibatan pasangan dalam tugas rumah tangga, memiliki hubungan yang baik dengan mertua serta dukungan sosial dari orang sekitar terkait perkawinan Pada Gelahang yang dijalani.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah perkawinan Pada Gelahang menghasilkan keadaan yang positif serta negatif. Keadaan negatif yang dialami oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang meliputi beban sosial, beban ekonomi, beban fisik, beban anak, beban pikiran, beban waktu, beban pekerjaan, dan konflik dengan pasangan. Keadaan negatif inilah yang perlu diatasi agar pasangan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang dialaminya. Berdasarkan keadaan yang dialami, pihak laki-laki mengalami hambatan yang lebih besar dibandingkan pihak perempuan dalam mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan Pada Gelahang. Hal ini berkaitan erat dengan budaya patrilineal yang ada dalam budaya Masyarakat Hindu Bali.
Pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang melakukan strategi coping dalam proses mencapai penyesuaian diri baik secara personal maupun sosial. Strategi coping yang dilakukan dibagi menjadi dua yaitu personal coping dan social coping. Personal coping meliputi strategi being a good person, problem delay, self control, ignore the problem, being assertive, dan pray then try. Social coping meliputi strategi looking for social support, planful problem solving, dan using kids as a glue. Seluruh strategi coping yang dilakukan mencerminkan konsep Tri Hita Karana dalam kebudayaan masyarakat Hindu Bali yang mengutamakan kerhamonisan dalam hubungan antar mahluk hidup.
Secara keseluruhan berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang belum memenuhi seluruh aspek penyesuaian diri yang baik karena masih melibatkan strategi coping yang mengarah pada tindakan represi.
Saran yang dapat diberikan pada para pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang adalah agar penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam melaksanakan perkawinan Pada Gelahang khususnya bagi pihak laki-laki yang mengalami kesulitan dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu pasangan sebaiknya tetap melakukan tindakan coping yang dianggap paling efektif dan efisien dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Namun, dalam rangka meningkatkan subjective well being serta kesehatan fisik, pasangan disarankan untuk melatih kemampuan dan meningkatkan kompetensi dalam hal mengungkapkan perasaan dan pikiran serta keinginan mereka (tindakan assertive) melalui assertive training. Terakhir, pasangan diharapkan untuk terus saling mendukung satu sama lain guna meningkatkan kesejahteraan emosional dan psikologis pasangan mengingat perkawinan Pada Gelahang adalah perkawinan dengan tantangan yang besar. Dukungan pasangan akan memiliki dampak yang positif terhadap kelangsungan kehidupan perkawinan.
Kepada pihak keluarga, saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah agar keluarga pihak perempuan membantu memberikan penjelasan dan informasi terkait perkawinan Pada Gelahang kepada pihak keluarga laki-laki sehingga memudahkan proses untuk mengambil keputusan dalam melaksanakan perkawinan Pada Gelahang. Kemudian keluarga sangat disarankan untuk selalu menjadi sumber dukungan utama bagi pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang. Bentuk dukungan yang bisa diberikan oleh keluarga dapat berupa dukungan dalam pengasuhan anak, dukungan sosial, maupun dukungan ekonomi. Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan oleh pasangan terutama mereka yang baru menikah agar pasangan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.
Kepada masyarakat khususnya pada pihak banjar adat setempat yang memiliki warga dengan perkawinan Pada Gelahang agar membuat kebijakan tersendiri terkait dengan kewajiban warganya untuk ngayah dan mengikuti acara masyarakat lainnya. Hal ini bertujuan untuk meringankan beban sosial yang dimiliki oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang. Pihak masyarakat dan banjar adat juga diharapkan dapat memperjuangkan perkawinan Pada Gelahang agar dilegalkan dan diakui dalam hukum negara bersama bentuk perkawinan lainnya yaitu perkawinan biasa dan perkawinan Nyentana. Kemidian masyarakat diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang dengan berbagai cara terutama dengan cara memaklumi keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang.
Kepada peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menggambarkan fenomena penyesuaian diri pada pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang yang telah memiliki usia perkawinan Pada Gelahang di atas sepuluh tahun. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggali secara lebih mendalam mengenai strategi coping yang dilakukan oleh pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang dan melihat perbedaan yang ada dengan strategi coping yang muncul di awal perkawinan. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa pada saat itu dukungan keluarga, dukungan sosial, dan dukungan ekonomi sudah mulai berkurang akibat orangtua yang telah memasuki usia lanjut, sehingga beban yang dirasakan pasangan menjadi lebih berat dari sebelumnya. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat membangun suasana yang kondusif dalam melakukan proses wawancara, dengan cara melakukan wawancara di luar rumah seperti di café atau tempat lainnya, sehingga kehadiran anggota keluarga tidak akan mengganggu jalannya wawancara dan diperoleh data yang lebih kompleks dan lebih mendalam. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti pasangan dengan perkawinan Pada Gelahang yang keduanya berstatus anak tunggal, mengingat kemunculan perkawinan ini dikarenakan bentuk perkawinan pada umumnya tidak mampu memfasilitasi kebutuhan dari anak tunggal yang ingin menikahi anak tunggal lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. (2009). Psikologi perkembangan (pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja). Bandung: Rafika Aditama.
Badan Pusat Statistik. (2017). Laju Pertumbuhan penduduk menurut provinsi. Diakses dari
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1268 22 Mei 2017
Barash, S.S. (2012). The nine phases of marriage: how to make it, break it, keep it. New York: St. Martin’s Griffin
Christina, D. & Matulessy, A. (2016). Penyesuaian perkawinan, subjective well being dan konflik perkawinan. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, 5(01). 1-14.
Compton, W.C. (2005). An introduction to positive psychology. Belmont: Thomson Wadsworth
Creswell, J.W. (2015). Penelitian kualitatif & desain riset. (Alih Bahasa: Lazuardi, A.L). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Cutrona, C.E. & Russell, D. (1987). The provisions of social relationship and adaptation to stress. Greenwich CT: JAI Press
Dewi, E.M.P. & Basti. (2008). Konflik perkawinan dan model penyelesaian konflik pada pasangan suami istri. Jurnal Psikologi, 2(1), 42-51.
Dewi, L.H. (2009). Hubungan antara penyesuaian diri dalam perkawinan dengan kepuasan dalam perkawinan pada perempuan yang bekerja. Skripsi (Naskah Tidak Dipublikasikan). Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Duvall, E.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development (sixth edition). New York: Harper & Row, Publishers
Dyatmikawati, P. (2013). Kedudukan hukum perkawinan pada gelahang. Denpasar: Udayana University Press
Dyatmikawati, P. (2015). Kewajiban pada perkawinan pada gelahang dalam perspektif hukum adat bali. Jurnal Kajian Bali, 5(2), 461-480.
Fariza, A.M. (2017). Upaya pasangan yang tidak memiliki anak untuk mempertahankan perkawinan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fisip Unsyiah. 2(2). 628-650
Feist, J. & Feist, G.J. (2014). Teori kepribadian (edisi ketujuh). (Alih bahasa: Handriatno) Jakarta: Salemba Humanika
Hurlock, E.B. (2015). Psikologi perkembangan (edisi kelima). (Alih Bahasa: Sijabat, R.M). Jakarta: Erlangga
Landis, J.T. & Landis, M.G. (1970). Personal adjustment, marriage, and family living (fifth edition). New Jersey: Prentice-Hall
Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer Publishing Company
Lestari, M.D. (2017). Persahabatan: makna dan kontribusinya bagi kebahagiaan dan kesehatan lansia. Jurnal Psikologi Ulayat, 4(1). 59-82. DOI: http://dx.doi.org/10.24854/jpu12017-80
Marks, L.D., Hopkins, K., Nesteruk, O., Chaney, C., Sasser, D.D., & Monroe, P.A. (2008). “Together we are strong” a qualitative study of happy, enduring African American marriages. Jurnal family relations, 57(2), 172-185. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1741-3729.2008.00492.x
Marsden, K. (2005). The complete book of food combining. London: Platkus.
Marshall, C. & Rossman, G.B. (2006). Designing qualitative research (fourth edition). Thousand Oaks, CA: Sage.
Moleong, L.J. (2015). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Niven, N. (2002). Psikologi kesehatan, pengantar untuk perawat dan profesional kesehatan lain. (Alih Bahasa: Agung Waluyo). Jakarta: EGC.
Olson, D.H. & DeFrain, J. (2003) Marriages and families (fourth edition). New York: McGraw Hill
Papalia, D.E, & Feldman, R.D. (2014). Menyelami perkembangan manusia (edisi keduabelas) Jakarta: Salemba Humanika
Wulan, D.K. & Chotimah, K. (2017). Peran regulasi emosi dalam kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri usia dewasa awal. Jurnal Ecopsy, 4(1). 58-63.
Wulandari, S. (2016). Hubungan antara kesejateraan psikologis dan penyesuaian diri siswa kelas x smk santa maria jakarta. Jurnal Psiko-Edukasi, 14(2), 94-100.
Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman R.D. (2011). Human
development (edisi kesembilan). (Alih Bahasa: Anwar, A.K). Jakarta: Kencana
Puspitasari, N.P.E.Y. (2017). Pada gelahang: sebuah perkawinan penuh tantangan. (artikel tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi, Fakultas Kdokteran, Universitas Udayana, Bali.
Rachmawati, D. & Mastuti, E. (2013). Perbedaan tingkat kepuasan perkawinan ditinjau dari tingkat penyesuaian perkawinan pada istri brigif 1 marinir tni – al yang menjalani long distance marriage. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembagan, 2(2), 73-80.
Rahmandani, A., Karyono., & Dewi, E.K. (2009). Strategi penanggulangan (coping) pada ibu yang mengalami postpartum blues di rumah sakit umum daerah kota Semarang. Jurnal Psikologi, 1(9), 1-22. DOI:
https://doi.org/10.14710/jpu.5.1.
Rahmatika, N.S. & Handani, M.M. (2012). Hubungan antara bentuk strategi coping dengan komitmen perkawinan pada pasangan dewasa madya dual karir. Jurnal psikologi pendidikan dan perkembangan, 1(3), 1-8.
Rahmi, F.H. (2011). Dukungan sosial pasangan dengan kepuasan pernikahan. Skripsi (Naskah Tidak Dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Rajawane, I. (2011). Hubungan religiusitas dengan kesejahteraan psikologis pada lanjut usia. Skripsi (Naskah Tidak Dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.
Rospita, I. O. & Lestari, M. D. (2016). Penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti dan keluarga batih. Jurnal Psikologi Udayana. 3(3). 491-498.
Rustiana, E.R. & Cahyati, W, H. (2012). Stress kerja dengan pemilihan strategi coping. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2). 149-155.
Sani, E.M.F. (2013). Pemanfaatan buletin pustakawan oleh pustakawan di kota semarang. Jurnal Ilmu Perpustakaan, 2(3), 1-10.
Sanjiwani, A.A.S. & Valentina, T.D. (2017). Kepuasan perkawinan pasangan pada gelahang. Jurnal Psikologi Udayana, 4(1), 198-207.
Santrock, J.W. (2002). Life span development (perkembangan masa hidup) jilid 2 (edisi kelima). (Alih Bahasa: Chusairi, A. & Damanik, J). Jakarta: Erlangga
Schneiders, A.A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York: Holt, Reinhart and Winston Inc.
Shek, Daniel.T.L. (1996). The value of children to hong kong chinese parents. The Journal of Psychology. 130 (5), 561
Sudantra, I.K. (Februari-April 2011). Pembaruan hukum adat bali mengenai pewarisan angin segar bagi perempuan. Bali Sruti (Edisi 1). 22-24.
Sugiyono. (2016). Metode penelitian kombinasi (mix methods). Bandung: Alfabeta.
Suhardana, K.M. (2007). Catur purusartha empat tujuan hidup umat hindu. Surabaya: Paramita
Tubbs, S & Moss, S. (2001). Human Communication. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995). Lifespan development (5th ed). Fort Worth: Harcourt Brace Collage Publisher.
Walgito, B. (2004). Bimbingan dan konseling perkawinan. Yogyakarta: ANDI.
Wiana, I.K. (2007). Tri hita karana menurut konsep hindu. Surabaya: paramita
Windia, W.P., dkk. (2016). Perkawinan pada gelahang di bali. Denpasar: Udayana University Press
LAMPIRAN
Tabel 1
Jumlah Pasangan Perkawinan Pada Gelahang di Bali (2015)
No |
Kabupaten |
Junilah Pasangan |
1. |
Kabupaten Jembrana |
7 pasangan |
2. |
Kabupaten Tabanan |
19 pasangan |
3. |
Kabupaten Badung |
1 pasangan |
4. |
Kabupaten Gianyar |
7 pasangan |
Kabupaten Karangasem |
2 pasangan | |
6. |
Kabupaten Klungkung |
4 pasangan |
7. |
Kabupaten Buleleng |
4 pasangan |
S. |
Kabupaten Bangli |
1 pasangan |
9. |
Kota Denpasar |
6 pasangan |
Tabel 2
Paradigma Model
Fikkw-Iakkw yang ,>l<mcπg<πabι Pπmo Pengsmbtbn KcputUMr | |
l'c∏gh*mbt |
PieUkAuaj |
a. KeiidakjcIasanMaEui h Koukua Cnetqcbibm Intucfi pcLanwur c. KcUlulan tubi memilui IfitftBVBn d Kcwkua IYtenrniukan tinggal HngLaaMi VpKO e. KcUkwtan Inbi bisa mcnjalankaa kewajiban f PthakkChurgabivir tidak H-TuiuilaJu bb I g Keukutan tι∣bi Japii benιkaρ add |
>r. .VtemIiIu Lettaan king melakukan perku* tam AiZit GebAiHg h PcnyvaiaB kedua belai pihak mempu dtpetu⅛∣ dw Ueatklikt perjanjian c. E>ukuaμn kckaιga Jaeidukungaa menua d Uι*3, JaTMkan ItaCigtua, Icman- Icnun MKbfcmrnduh |
Rua <*πta sayang.
PfnMMAiwnk-CHda
b. IiMMnien pecker i
Dukurgim orarg *ckιtar Pcngctian anix uιasnι
Cikup puas hingga tugal puot dalam PQrk<Mwua
PoJa CriJnJrrfrg
Fenyehah PerkaM nan PatLi CrrInJw; | |
Inacrtul |
IikMcrnad |
a T idak ngin putu*
|
a T IiLk diizinkan untuk Meringgalkan keluarga b IkLkub peniru* d» JaIam ke⅛ar∣a e Tιdak*>by*ιg nwrggwiikai Utaagiiia di HViMarakat d I idak menukki saudara laki* Iaki I Pcvmpaan i e PihA Iaki-Iali lada* Hcrwfo ItwIikukaA PrriaMinan VirWJUHil (Liku Iakit |
KcadMH yang Ibalami | |
Positd |
NtfMil |
a Mojadi puma Ipcncus Lcrirunanl di keluarga nunng-mascsg b 1 κfcιk *b y®g Hcrguajing Fikatinggsd di rumah .di
d Biaa merawat crangrua MTldah Ineruiah
f KcCua Lclua ga mcmdAi pencita g OrttSgIua dai mertua menfonru vcnwal aiA h IXaiggap anak oleh HCItua
rurfMi rigayah kc Karjar j Orasgtua Au mertua masih produktif Air mampu HWTghasiIkai uang
|
a Vlcimliki boon WMa b Memiliki besan Ckinucni c Memiliki Hoan anak d Vlcmiliki boa∏ Makta e Memililu Kexm ptkran f. Mcmiliki boon fisik g Memiliki bewi pekerjaan h KcttfLk dengan patungan |
Prneoal |
S*ual |
a Dtpckukan MM Mja karena ρa⅜lι akan ab ∏b∏ keluarnya
d McngKuti VJja c. CueK Mja f. Pwafc g Santai h. Fofcuipada h idap saat in i. HcrAu dan teria beruiafc* j, Bclaja Cnmgtuqfai dan Tncngformati k. T idak ItwnukaAan kefondak I. Tκhk banyak bertanya m Mmcnnui perfodain n. Mcnjaiatu saga o. Menikmati *e<up pcιμixιan P Belajar RMipftr Maktia q FidaktnenMMUi r Duwn a Mcnginggap kι*ι!ltk HWih dibit! bata* «ajar dalam pernikahan dan akan irrκk>αikan Xfldianya t. Saling mengerti |
a. HerMitwtaha k Jujwr TTcnfuoekapkan Lcmginan
f Hcbjar tenung masyarakat *cjafc Ick-MOfg
t Scblu menyapa j MettdNtitu tnef ua k. Bcrfow L Hebjar mcrnahaiu Luakier orang bin in McttttlAi jadMai tinggal ∏ Mcnunu pcngcttian orampua dan mertua α Mcnafong
r Mcra>ιpj*angaι
*. Mcnuncgu agar anak Iefob besar |
Tabel 3
Tindakan untuk Mencapai Penyesuaian Diri pada Pasangan Dengan Perkawinan Pada Gelahang di Masyarakat Hindu Bali
.VeH Beban |
Bentuk Coping | ||||||||
Personal coping |
Social coping | ||||||||
Being a good person |
Problem delay |
Seff ∞nrro∣ |
Ignore rhe problem |
Prai then try |
Being assertive |
Looking fir social support |
Planftil problem solving |
L'sing kids as a glue | |
Bebnn Sosinl |
Menyapa Membantu Berbaur |
a,cι≡ιeriraa perbedaan b.Menjalani |
Tidak banyak bertanya |
Digantikan anggota Leluargayang Lain |
Membeli syahan B elajar hal-hal baru Berusahahadir di acara Ciasvarakai | ||||
Bebnn Ekonomi |
Tidak menuntut |
Menabung Berkeraa Eiidup | |||||||
Beban Annk |
Menunggn anak besar |
Berdoadan berusaha |
Meciinta pengertian |
Program kehamilan | |||||
BebnD Pikiinn |
MengiJxti Pasrat Fokiishari ini |
Tidak membanding -bandingkan perkawinan |
Cuek Santai |
Jujiifungksp keinginan | |||||
Bebnn Pekeijnnn |
Dipikirkan nanti Menerima |
Bemiiauiaha | |||||||
Bebnn Wsklu |
Meminta pengertian |
Belajar mengatur waktu Merabagi waktu tinggal | |||||||
Beban Fhik |
Dipikirkan nanti Kikrasii Jslani saja | ||||||||
Konflik dengan Pasangan |
Merayn |
Beruaaka mengerti |
a.Diam b.Biarkan |
Bicarakan |
Anak sebagai pemersatu |
200
Discussion and feedback