Gambaran Kelekatan pada Remaja Akhir Putri di Panti Asuhan Tunas Bangsa Denpasar
on
Jurnal Psikologi Udayana
2018, Vol.5, No.2, 518-535
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN 2654-4024
Gambaran Kelekatan pada Remaja Akhir Putri di Panti Asuhan Tunas Bangsa Denpasar
Heydi Paramitha dan Putu Nugrahaeni Widiasavitri Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana putunugrahaeni.w@unud.ac.id
Abstrak
Kelekatan merupakan suatu hubungan emosional yang kuat, spesifik, dan terjalin dalam kurun waktu yang lama, serta saling terikat antara individu dengan figur lekat. Secara alamiah, remaja diasuh dan dibesarkan dalam keluarga yang memiliki orangtua lengkap sebagai figur lekat utama, namun faktanya kondisi keluarga yang tidak utuh, ataupun kondisi ekonomi yang kurang, menyebabkan beberapa remaja harus tinggal di panti asuhan dan terpisah dari orangtua bahkan sejak kecil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kelekatan yang dialami oleh remaja akhir putri di Panti Asuhan Tunas Bangsa Denpasar.Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi.Responden penelitian ini sebanyak 3 orang remaja akhir putri yang tinggal di Asuhan Tunas Bangsa Denpasar.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua responden mengalami pola kelekatan aman (secure attachment), dan satu responden mengalami pola kelekatan lepas (dismissing attachment). Kelekatan aman pada penelitianini dilatar belakangi oleh pola kelekatan yang sama pada masa awal kehidupan, cara pandang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, serta mampu menjalin kedekatan dengan orang lain. Kelekatan lepas dilatar belakangi oleh pola kelekatan menghindar (avoidant attachment) pada masa awal kehidupan, memiliki cara pandang positif terhadap diri sendiri, namun negatif terhadap orang lain, sehingga tidak mampu menjalin kedekatan dengan orang lain.
Kata kunci: Kelekatan, Remaja akhir putri, Panti asuhan, Denpasar
Abstract
Attachment is a strong emotional relationship, specific, over a long period of time, and bound between individual with attached figure. Naturally, adolescents were raised by families who have parents as a major of attached figure, but in fact, an incomplete family condition, or a poor economic conditions, causes some adolescents to stay in an orphanage, separated from their parents even from childhood. The purpose of this research is to understand in depth about attachment in late adolescence woman at Tunas Bangsa Orphanage Denpasar.This study uses qualitative research methods with phenomenology approach. Respondents this study were three late adolescentsgirls at Tunas Bangsa Orphanage Denpasar. The results of this study indicate that two respondents are experiencing a secure attachment pattern, and one respondent is experiencing a dismissing attachment pattern. Secure attachment thatobtained in the research are motivated by similar attachment patterns in the early life, having a positive perspective about self and others, and comfortable in having a relationship with others. Dismissing attachment is motivated by an avoidance attachment pattern in the early life, they have a positive perspective on self, but negative toward others, with the result that difficult to establish closeness with others.
Keywords: Attachment, Late adolescence female, Orphanage, Denpasar
LATAR BELAKANG
Kelekatan atau attachment adalah sebuah proses berkembangnya ikatan emosional secara timbal balik antara bayi ataupun anak dengan orangtuanya (Putro, 2009). Bowlby lebih lanjut menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (Monks, dkk, 2001). Kelekatan antara ibu dan bayi merupakan bagian yang penting dalam tumbuh kembang seorang anak, karena memiliki efek yang bersifat jangka panjang. Hal ini berarti kelekatan tersebut akan berpengaruh pada anak hingga saat dewasa (Hanifah, 2011). Pengaruh kelekatan bisa terlihat pada kepercayaan diri, cara pandang terhadap diri sendiri dan orang lain, termasuk hubungan interpersonal yang dimiliki seseorang ketika dewasa (Syafatania, 2012).
Menurut Bowlby dan Ainsworth (dalam Santrock, 2003), terdapat dua kelompok besar pola kelekatan (attachment style) yaitu kelekatan aman (secure attachment) dan kelekatan tidak aman (insecure attachment). Individu yang mendapatkan kelekatan amanakan memiliki rasa percaya diri, optimisme, serta memiliki kemampuan yang baik untuk membina hubungan dekat dengan orang lain. Jika seorang individu tidak mendapatkan kelekatan yang aman, individu tersebut akan memiliki kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan, tidak nyaman dalam sebuah kedekatan, memiliki emosi yang berlebihan, serta sebisa mungkin mengurangi rasa ketergantungan terhadap orang lain.
Konsep kelekatan (attachment) sekarang telah digunakan untuk meneliti relasi interpersonal yang lebih luas lagi termasuk didalamnya relasi hubungan yang intim selama masa remaja dan dewasa muda (Walker dalam Santrock, 2003). Hal ini dipelopori oleh Bartholomew dan Horowitz dengan mengadaptasi teori kelekatan yang dikembangkan oleh Bowlby (Bartholomew & Horowitz, 1991). Empat model kategori kelekatan tersebut dibuat berdasarkan kombinasi dari sikap positif dan negatif mengenai diri sendiri (self-esteem yang berhubungan dengan anxiety), dan sikap positif dan negatif mengenai orang lain (interpersonal trust yang berhubungan dengan avoidance), yang terdiri dari pola kelekatan aman (secure attachment), yang ditunjukkan oleh adanya pandangan positif terhadap diri sendiri dan pandangan positif terhadap orang lain, pola kelekatan lepas (dismissing attachment), yang ditunjukkan oleh adanya pandangan positif terhadap diri tetapi memiliki pandangan yang negatif terhadap orang lain (Eavest dalam Tyas, 2010), pola kelekatan terikat (preoccupied attachment) yang ditunjukkan oleh adanya pandangan negatif terhadap diri, namun memiliki pandangan positif terhadap orang lain (Sigelman dalam Utami, 2007), serta pola kelekatan cemas (fearful attachment), yang ditunjukkan oleh adanya pandangan negatif terhadap diri sendiri dan pandangan negatif pula terhadap orang lain (Eavest dalam Tyas, 2010).
Remaja merupakan sosok yang selalu menarik untuk diteliti. Banyak orang menganggap bahwa masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan, namun juga paling membingungkan (Himmah, 2012). Masa remaja akhir merupakan tolak ukur untuk perjalanan menuju dewasa. Pada masa ini, remaja akhir akan berusaha mencari jati diri, dan
tuntutan untuk bertahan ketika berhadapan dengan masalah dunia yang mungkin belum pernah dihadapi saat masa anak-anak(Arga, 2012). Di Indonesia pedoman umum yang dapat digunakan untuk menetapkan batasan umur remaja akhir adalah semua individu yang berusia antara 16-19 tahundan belum menikah (Sarwono, 2009).
Secara alamiah, anak diasuh dan dibesarkan dalam suatu keluarga yang memiliki orangtua lengkap sebagai pengasuh utama yang menyediakan berbagai sarana dan dukungan bagi perkembangan anak. Kematian orang tua, perceraian, ataupun kemiskinan merupakan beberapa kondisi utama yang memungkinkan anak pada akhirnya ditempatkan di luar keluarga kandungnya, salah satunya adalah di panti asuhan (Dalimunthe, 2009). Panti asuhan di Indonesia merupakan suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar dengan melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan pengganti fisik, mental dan sosial pada anak asuh, sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya (Departemen Sosial Republik Indonesia, 1997). Pada kenyataannya, di Indonesia ditemukan sangat kurangnya pengasuhan dan perhatian yang baik bagi anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Hampir semua panti asuhan hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari, sementara kebutuhan emosional dan pertumbuhan anak-anak kurang dipertimbangkan (Martin, Santi,& Hikmat, 2007).
Di Denpasar terdapat satu panti asuhan pemerintah dan 14 panti asuhan swasta yang tercatat dalam Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Denpasar. Salah satu panti asuhan swasta di Denpasar adalah panti asuhan yang didirikan oleh Yayasan Tunas Bangsa Denpasar. Panti asuhan tersebut telah berdiri sejak 21 Desember 1993, dan menerima anak asuh, baik yang merupakan anak yatim/piatu dan yatim piatu, fakir miskin, serta mereka yang putus sekolah. Adapun rentang usia anak asuh adalah dari balita hingga mahasiswa, dengan jumlah seluruh anak asuh pada bulan Januari 2014 sebanyak 30 orang. Berikut adalah hasil pengamatan dan wawancara awal pada salah seorang remaja akhir putri yang telah peneliti lakukan di Panti Asuhan Tunas Bangsa Denpasar: “AN merupakan anak asuh terlama di Panti Asuhan Tunas Bangsa, dan telah tinggal selama 11 tahun. AN dan tiga saudaranya dibawa secara diam-diam oleh Ibu ke panti asuhan tanpa sepengetahuan bapak. Hubungan IBu dan Bapak An tidak harmonis, AN dan saudara terbiasa melihat bapak memukuli ibu. Bapak dan ibu AN hanya bekerja serabutan sehingga tidak mampu membiayai kebutuhan empat orang anak dan memiliki banyak hutang. Tinggal di panti asuhan tidak lantas membuat hidup AN menjadi lebih indah, proses penyesuaian diri yang dialami oleh AN tidaklah mudah, AN dihadapkan pada tindakan senioritas yang dilakukan oleh kakak-kakak kelas di panti asuhan. Beranjak remaja AN juga dikucilkan oleh teman-teman di SMP karena berasal dari panti asuhan. Disisi lain, AN juga memikirkan cara agar kondisi ekonomi keluarga membaik.” (Pre-eliminary study, 2014).
Berdasarkan pre-eliminary study tersebut, diketahui terdapat beberapa akar masalah yang dialami oleh remaja akhir putri di panti asuhan tersebut, salah satunya mengenai keberadaan keluarga kandung yang juga menjadi beban psikologis terberat bagi remaja akhir putri tersebut. Berbeda halnya dengan remaja akhir putri yang hidup dalam kondisi keluarga harmonis, sejak kecil remaja akhir putri di panti asuhan terbiasa mengalami konflik pribadi yang harus mampu mereka tangani tanpa orangtua sebagai figur lekat primer, seperti pemikiran tentang masa lalu terkait konflik dalam keluarga, masalah ekonomi, hubungan interpersonal, prestasi belajar yang tidak stabil, masa pubertas, ego yang terlalu besar, konflik psikologis terhadap peraturan dan kebebasan, kejenuhan, perasaan kesepian hingga pencarian jati diri.
Berdasarkan paparan peristiwa diatas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kelekatan yang dialami oleh remaja akhir putri di Panti Asuhan Tunas Bangsa Denpasar dengan kondisi mereka yang tinggal tanpa dampingan orang tua sebagai figur lekatnya.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2004). Metode penelitian kualitatif dilakukan karena tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya, serta dilakukan dalam situasi yang alamiah (Poerwandari, 2005).
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Penggunaan pendekatan fenomenologi didasarkan kepada prinsip-prinsip pendekatan fenomenologi yang diungkapkan oleh Ghony dan Almanshur (2012) dan Moleong (2004), yaitu: Pertama, peneliti berusaha memahami makna dari suatu fenomena yaitu untuk melihat gambaran kelekatan yang dialami remaja akhir putrid di Panti Asuhan Tunas Bangsa Denpasar. Kedua, penelitian menggunakan in-depth interview untuk memahami makna kelekatan yang dialami. Ketiga, peneliti menyingkirkan semua prasangka tentang fenomena yang diteliti.
Responden
Dalam menentukan responden penelitian, peneliti menggunakan metode nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang remaja akhir putri di Panti Asuhan Tunas Bangsa Denpasar dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai gambaran kelekatan yang mereka alami berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing, adapun karakteristik yang dimiliki oleh responden penelitian sebagai berikut: Pertama, remaja akhir perempuan dengan rentang usia16-19 tahun (Sarwono, 2009).
Kedua, telah tercatat sebagai anak asuh di Panti Asuhan Tunas Bangsa Denpasar selama dua tahun atau lebih, hal ini didasarkan pada asumsi penelitian bahwa responden telah tinggal cukup lama dan telah mampu beradaptasi dengan
lingkungan panti asuhan. Ketiga, tidak memiliki orangtua, ataupun masih memiliki kedua orangtua ataupun salah satu orangtua namun jarang bertemu.
Teknik Penggalian Data
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi dalam proses penggalian data. Wawancara merupakan suatu pembicaraan yang melibatkan dua pihak, yakni orang yang mengajukan pertanyaan (interviewer) dan orang yang diwawancara dengan tujuan untuk mengetahui hal-hal dari responden secara lebih mendalam (interviewee) (Moleong, 2004 ; Sugiyono, 2012). Observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Banister dkk dalam Poerwandari, 2005).
Peneliti menggunakan observasi nonpartisipan, yaitu observasi yang pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti (Kustini, 2011). Observasi akan dilakukan saat proses wawancara berlangsung dan ketika subjek sedang melakukan aktivitas tertentu yang mampu merepresentasikan kedekatan subjek dengan figur lekatnya. Keseluruhan dari proses observasi akan dicatat dalam bentuk fieldnote yang dibuat sesaat setelah proses observasi dan wawancara berakhir. Pada penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara semi terstruktur yang termasuk dalam kategori in–depth interview, yaitu wawancara yang sudah dipersiapkan sebagai pedoman, namun memberikan keleluasaan untuk mengembangkan pertanyaan secara mendalam saat proses wawancara berlangsung. Adapun panduan wawancara yang akan digunakan oleh peneliti akan disajikan pada bagian lampiran.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis tematik yang dikembangkan oleh Strauss dan Corbin (2009), antara lain pertama open coding, yaitu tahap menguraikan, memeriksa, membandingkan, mengkonsepkan, dan mengkategorikan data. Tahap ini dimulai dengan menganalisis wawancara dan observasi awal dengan menganalisis setiap baris atau kalimat atau paragraf. Adapun prosedur dalam tahap pengkodean ini, adalah dengan memberikan pelabelan pada fenomena, kemudian melakukan pengkategorian dengan cara mengelompokkan konsep yang sementara dianggap berhubungan dengan fenomena yang sama, dilanjutkan dengan pemberian nama terhadap kategori-kategori yang telah ditemukan sebelumnya, Kedua, axial coding, yaitu prosedur penempatan data kembali dengan cara-cara baru setelah pengkodean berbuka, dengan membuat kaitan antar-kategori. Ketiga, selective coding, yaitu proses pemilihan kategori inti yang mana di dalamnya berupa pengaitan kategori inti terhadap kategori lainnya secara sistematis, pengabsahan hubungannya, dan mengganti kategori yang perlu diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut.
Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian
Teknik pemantapan kredibilitas dalam penelitian kualitatif memiliki fungsi untuk mencapai derajat kepercayaan penelitian dengan cara melakukan inkuiri, dan menunjukkan
derajat kepercayaan hasil penelitian dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan yang sedang diteliti (Moleong, 2004). Adapun teknik uji kredibilitas yang akan digunakan dalam penelitian ini menurut Moleong (2004) antara lain: Perpanjangan Keikutsertaan
Dalam proses ini, keikutsertaan peneliti tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti pada latar penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti akan berulangkali menemui responden yang sudah pernah ditemui maupun yang baru dengan melakukan proses wawancara berulang.
Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksanaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2004). Menurut Patton dalam Moleong (2004), metode triangulasi dibedakan menjadi lima, namun yang peneliti gunakan dalam penelitian ini ada tiga yaitu: Pertama, triangulasi sumber data yang dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan informan yang merupakan significant others dari responden baik pengasuh panti ataupun teman responden. Kedua, triangulasi metode yang dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data kepada responden yang sama yaitu metode wawancara dan metode observasi. Ketiga, triangulasi teori yang dalam membahas teori kelekatan, peneliti tidak hanya menggunakan teori kelekatan dari satu tokoh, namun juga membandingkan dengan teori kelekatan dari tokoh lainnya.
Pemeriksaan Sejawat Melalui Diskusi
Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan diskusi dengan dosen pembimbing skripsi dan teman-teman mahasiswa sejawat yang juga melakukan penelitian kualitatif.
Pengecekan Anggota
Pengecekan anggota adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuannya adalah agar informasi yang diperoleh dan akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau informan. Pengecekan anggota dalam penelitian ini akan dilakukan setelah didapatkannya suatu temuan dan setelah diadakannya proses koding data.
Isu Etik Penelitian
Dalam rangka menjaga penelitian ini agar berlangsung dengan baik dan tidak membebani serta merugikan para responden dalam penelitian ini, maka peneliti akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: meminta persetujuan penelitian dari responden yang berupa informed consent tertulis, tidak menggunakan unsur yang merugikan ataupun membahayakan responden selama proses penelitian berlangsung, menjaga kerahasiaan data responden, menyimpan rekaman, mengijinkan responden untuk mundur di tengah penelitian, serta memberikan hasil penelitian kepada institusi dan responden (jika diminta).
HASIL PENELITIAN
Terkait dengan desain penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu desain penelitian fenomenologi, maka
hasil penelitian akan dipaparkan secara keseluruhan berdasarkan pada rangkuman atas pengalaman subjektif masing-masing responden. Setiap kalimat yang dipaparkan pada bagian hasil penelitian ini merupakan fakta yang terbentuk dari rangkaian kode-kode hasil pengumpulan data yang telah melalui tahap analisis data.
Pola Asuh di Masa Kecil
Pola asuh yang dialami setiap individu di masa kecil dapat memengaruhi hubungan interpersonal dikemudian hari. Pola kelekatan dimasa kecil dapat mencerminkan pola kelekatan yang sama ketika masa remaja akhir, namun individu juga mempunyai pilihan dalam mengubah pola kelekatan yang dialami dan memperbaiki hidup. Dua dari tiga responden mengalami pola kelekatan aman (secure attachment) dimasa kecil, sedangkan satu responden mengalami pola kelekatan tidak aman (insecure attachment).
Individu yang mengalami kelekatan aman dimasa kecil sangat dekat dengan keluarga, tumbuh dalam keluarga yang harmonis dan hangat, serta dimanja.Umumnya, figur lekat primer pada sebagian besar individu adalah ibu kandung. Ketika memiliki pola kelekatan aman, ibu sebagai figur lekat primer, akan memberikan kehangatan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan sejak kecil. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan berikut, yaitu:
“Dari kecil diajarin sama kakak enggak pernah berantem. Biasanya kan orang-orang kalau sama kakak, keluarga lain itu sering berantem apalah, musuhan, malah ada saudara saya itu lucu lagi, kalau ada apa-apa disembunyiin gitu, padahal cuma dua bersaudara saja disembunyiin, jadi harus kalau punya dia ya punya dia, enggak boleh adiknya minta. Kalau kita itu punya apa-apa itu harus saling berbagi semuanya, punya apa-apa itu pasti harus saling nyisainlah, ini buat adik, ini buat kakak.” (WSR02: 30-35)
Begitu juga dengan individu yang tumbuh dalam kelekatan aman dimasa kecil namun memiliki figur lekat primer berbeda dengan kebanyakan orang, seperti nenek kandung.Sejak lahir nenek sudah merawat dan menggantikan peran ibu. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan berikut, yaitu:
“Nenek saya sudah saya anggap sebagai ibu.”(WLI01 : 82)
“Sejak bayi sama nenek. Kata nenek, ibu saya dulu saat saya bayi, sudah melahirkan saya, saya sudah bisa jalan, dia pergi ke Denpasar cari kerja jadi pembantu. Jadi saya dikasi susu kaleng sama nenek, enggak pernah minum ASI.” (WLI01: 346-349)
Individu yang memiliki kelekatan aman ataupun kelekatan tidak aman, menunjukkan protes ketika berpisah dengan figur lekat primer. Ketika dapat bertemu kembali dnegan fidur lekat setelah lama berpisah, individu dengan kelekatan aman akan merasa senang. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut, yaitu:
“Nangis saya, sedih. Waktu itu bagaimana ya, langsung dah besoknya saya nelpon ibu saya, bilang kalau saya enggak betah disini, ingin pulang. Pas pulang hari raya pertama itu senang banget deh pokoknya mbak, rasanya kayak enggak
ingin balik lagi kesini. Cerita dah terus saya sama ibu saya, ternyata tinggal disini enak, seru, pertama karena banyak teman.” (WSR02: 334-337)
Berbeda dengan kelekatan aman, individu yang tumbuh dalam kelekatan tidak aman dimasa kecil cenderung merasa diabaikan oleh orangtua sebagai figur lekat primer. Kondisi keluarga yang tidak harmonis akan membuat individu merasa diabaikan oleh orangtua, terlebih ketika terbiasa melihat kedua orangtua bertengkar. Berikut merupakan kutipan pernyataan yang sesuai, yaitu:
“Didepan mata gitu ibu dipukuli sama bapak, sampai enggak kuat juga ngeliatnya.” (WAN01: 129)
Kondisi keluarga yang tidak harmonis pada salah satu responden yang mengalami kelekatan tidak aman membuat responden tidak dekat dengan keluarga. Ketika pindah ke panti asuhan, lingkungan baru juga tidak mampu mendukung proses beradaptasi, sehingga responden juga memberikan respon negatif terhadap lingkungan, baik dengan teman-teman, maupun dengan pengasuh. Berikut adalah kutipan pernyataan yang sesuai:
“Enggak dekat sama ibu, kakak, sama adik juga. Dibilang dekat enggak, dibilang jauh juga enggak. Kalau sama adik dari dulu jarang ketemu.” (WAN03: 138-139)
“Lingkungan di panti dulu ga sesuai. pertama kali beradaptasi baru kenal kayanya enggak bagus gitu lo, lingkungan ga ngedukung. Semua anak di panti dulu itu judes, seharunya mereka sama anak baru kan, perhatian, dibantu kek kalau enggak ngerti, ini malah disuruh-suruh.” (WAN01: 136-138).
Cara Pandang terhadap Diri Sendiri
Pola kelekatan aman dan lepas di masa remaja akhir ditunjukkan dengan adanya pandangan positif terhadap diri sendiri. Cara pandang positif individu terhadap diri sendiri dapat tercermin dari optimisme terhadap masa depan, sabar dalam menghadapi permasalahan hidup, bersyukur, mawas diri terhadap kelebihdan dan kekurangan yang dimiliki, serta bekerja keras. Ketika memilki optimism, individu akan berusaha untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik. Hal ini tersebut sesuai dengan pernyataan berikut:
“Sangat besar itu harapannya saat masuk ke sini, walaupun saya tahu saat itu saya masih kecil, tapi saya bisa kok berpikir saya pokoknya tidak ada penyesalan masuk sini, tidak ada penolakan.Karena memang saya itu ingin banget sekolah saya itu lanjut.” (WLI01: 244-246)
Beban hidup yang tidak mudah sejak kecil, membuat individu merasa memiliki kelebihan yaitu bersabar, sehingga dapat mensyukuri kehidupan yang dimiliki saat ini. Umumnya, individu yang mensyukuri kehidupannya akan cenderung tidak mudah putus asa dan berusaha mendekatkan diri pada Tuhan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Kalau saya mengeluh terus dari awal, saya mungkin enggak bisa jadi seperti sekarang.Enggak bisa sekolah sampai kaya begini, enggak bisa hidup ya ini termasuk hidup yang enak sih
untuk sekarang, ya sabar aja.Jadi saya merasa punya sifat enggak mengeluh itu, saya merasa itu menjadi kekuatan saya sampai sekarang. Saya benar-benar merasa bersyukur banget sama Tuhan sampai saat ini." (WLI01: 451-454).
Ketika individu mampu melihat kelebihan dan kekurangan pada diri, individu akan berusaha mengubah kekurangan dalam diri yang menghambat kesuksesan. Pada remaja akhir putri yang tinggal di panti asuhan, akan cenderung berusaha meningkatkan prestasi akademik. Remaja akhir putri yang tinggal di panti asuhan yang masih memiliki orangtua juga berusaha meringankan beban orangtua baik dengan menabung, dan mulai berusaha untuk mencari uang sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Dulu itu karena saya enggak suka belajar, saya belajarnya hanya seadanya, jadi dapat ranking itu cuma ranking tujuh, lima, tujuh. Tapi karena sudah masuk kelas dua ini, enggak bisa kalau cuma begini terus, nanti aku enggak lulus lagi kalau kelas tiga. Jadi aku belajar terus, belajar terus. Alhamdulillah sekarang dapat." (WLI01: 62-165).
“Setidaknya dari sekarang sudah belajarlah untuk cari-cari uang sendiri. Misalnya kalau contoh, sering-sering aja nyeterikain baju anak-anak ini ntar aku dibayar. Dari sekarang sudah berpikir sih bagaimana cara mendapatkan, memang tujuan utamanya kan sebenarnya uang. Dari sekarang itu sudah mulai berpikir bagaimana cara mendapatkannya, setidaknya udah mulai gini lah, kaya sekarang aku ini kan buka jasa seterika untuk mereka, ntar kalau mereka mau nyeterika di aku, ntar kalau mereka mau, mereka bayar. Kalau sekarang usaha-usaha kecil kaya gitu sih ada.” (WAN02: 130-136).
Hubungan dengan Keluarga
Individu yang memiliki pola kelekatan aman tumbuh dalam keluarga yang hangat dan harmonis.Remaja akhir putri di panti asuhan yang mengalami pola kelekatan aman tetap menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga.Keluarga menunjukkan kepedulian pada anaknya dengan memberikan dukungan emosional. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Orangtua dan keluarga benar-benar mendukung, harus ini, harus itu kalau mau jadi sukses, pokoknya harus benar-benar disana, jangan malas-malasan, terus belajar yang benar, biar sukses komputernya, biar beda dari kakak-kakak yang lainnya, gitu deh.” (WSR02: 166-168).
Berbeda dengan pola kelekatan aman, remaja akhir putri di panti asuhan yang memiliki pola kelekatan lepas cenderung tidak dekat dengan keluarga.Individu merasa diabaikan oleh keluarga sejak kecil, sehingga memilih untuk jarang bertemu dengan keluarga.Hubungan remaja akhir putri di panti asuhan dengan keluarga juga tidak terlalu dekat.Individu jarang bercerita kepada keluarga karena tidak ingin membebani keluarga. Hal ini diperkuat dari hasil wawancara berikut: “Memang dari kecil saya kurang dekat sama bapak. Jadi kalau pulang ke rumah, paling cuma salim, habis itu langsung masuk kamar atau ngobrol sama ibu.” (WAN01: 291-293).
“Kalau sekarang jarang pulang, cuma sekedar datang, mungkin ngelihat, ngobrol sebentar setengah jam satu jam, pulang lagi aku kesini.”(WAN03: 160-162).
Hubungan dengan Teman-teman
Individu yang memiliki kelekatan aman, akan mampu mengembangkan kedekatan dengan orang lain, dan dapat mengekspresikan rasa percaya terhadap orang lain, serta bekerja sama. Remaja akhir putri di panti asuhan yang memiliki kelekatan aman terlihat mampu menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman di panti asuhan dan di sekolah.Individu memahami bahwa sikap orang berbeda-beda namun tetap menjalin hubungan yang baik. Remaja akhir putri di panti asuhan tidak pernah merasa berbeda karena tinggal di panti asuhan. Remaja akhir putri di panti asuhan merasa senang tinggal di panti asuhan karena memiliki banyak teman, serta sering menceritakan kehidupan pada teman dekat masing-masing. Hal tersebut diperkuat oleh kutipan hasil wawancara berikut:
“Teman-teman di sekolah baik kok, cukup mengerti kalau aku tinggal disini.Kalau aku diajak begini-begini enggak bisa misalnya, mereka ngerti, enggak maksa gitu. Kadang kan kalau ada kerja kelompok gitu, maaf ya aku agak ngaret, soalnya masih bantu-bantu disini, masak, oh iya wajar kok tinggal dengan orang begitu, mereka ngerti kok. Enggak sampai yang iya kamu ini begini-begini, untungnya mereka enggak gitu, mau ngerti.”(WSR02: 104-108)
“Merasa kayak keluarga banget disini. Apalagi kita kan lebih sering ketemu mereka, daripada keluarga sendiri kan. Kalau bagi saya sih lebih enak cerita sama orang-orang disini daripada orang-orang rumah. Karena mungkin sudah sering ketemu, sudah lima tahun kan disini .” (WLI02:105-107)
Individu yang mengalami pola kelekatan lepas dimasa remaja akhir cenderung bersikap tidak percaya dan tidak ramah dengan orang lain. Hal ini nampak pada remaja akhir putri di panti asuhan yang juga memiliki pola kelekatan lepas. Remaja merasa tidak cocok dengan teman dekat yang dimiliki. Di mata individu, teman dekatnya memiliki sifat yang egois. Salah satu remaja akhir putri di panti asuhan yang memiliki pacar tidak dimengerti. Berikut kutipan hasil wawancara yang sesuai:
“Menurut aku sih, mereka egois. enggak nyambung, mereka itu lebih suka nongkrong, lebih suka pamer, lebih suka gini, kecuali Ayuk ini. Ayuk ini memang orangnya lebih nyambung sama aku, jadi aku lebih sering cerita sama dia, soalnya dia orangnya juga sedikit sama dengan aku, tapi kadang dia juga suka ketularan sama temanku lagi dua ini. Suka nongkrong, suka turun-turun enggak jelas. Kelas kita kan di atas, duduk-duduk depan ruang guru lah, biasa kan anak SMA sekarang gitu, rada-rada ganjen gimana gitu. Aduh, ga nyambung pokoknya sama mereka itu.” (WAN03: 218-228).
“Aku jarang cerita sama pacarku. Menurutku mereka enggak mengerti.” (WAN03: 378).
Sejak awal masuk ke panti asuhan, remaja akhir putri yang memiliki pola kelekatan lepas cenderung beranggapan teman-teman di panti asuhan tidak akan mendukung proses beradaptasi. Bisa saja remaja akhir putri di panti asuhan berbicara kasar dengan teman-teman di panti asuhan, karena dimata remaja tersebut orang lain tidak akan paham denga posisinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut: “Lingkungan ga ngedukung. Semuanya itu judes, seharusnya mereka sama anak baru kan, perhatian, dibantu kek kalau enggak ngerti, ini malah disuruh-suruh.” (WAN01: 136-138).
“Kasar juga bahasaku sama mereka. Kalau mereka sudah dikasarin itu baru paham. Kalau sudah dibaik-baikin tetap aja kesini, tapi kalau sudah dikasarin dikit, dikenyatin dikit baru paham. Gatau deh, kesal aku. Tak kenyatin juga mereka, aku sering kenyat sama mereka.”.
Hubungan dengan Pengasuh di panti asuhan
Remaja akhir putri di panti asuhan yang mengalami pola kelekatan aman menjalin hubungan yang baik dan dekat dengan pengasuh. Remaja akhir putri di panti asuhan sudah menganggap pengasuh seperti kakak sendiri. Ketika kesal dengan pengasuh, individu cenderung hanya diam saja, tanpa melawan. Individu memandang pengasuh baik dan suka membeikan nasehat. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“Kayak kakak gitu, kadang kita kalau sudah keterlaluan bercandanya, kita sudah enggak manggil ustadzah, kita panggil khe, sampai gitu. Tapi mereka itu enggak pernah marah, hanya ngasih tahu aja jangan sampai seperti itu ngomongnya, mereka itu ketawa-ketawa, jadi kita itu merasa menghargai tapi mereka itu juga enggak giniin kita.Alhamdulillah sih yang tinggal-tinggal disini kaya gitu.”(WLI02: 172-175).
Pada remaja akhir putri di panti asuhan yang memiliki pola kelekatan lepas, terlihat memiliki hubungan hanya sebatas murid dan guru. Remaja akan jarang bercerita mengenai kehidupan yang dimiliki kepada pengasuh, karena beranggapan para pengasuh memiliki kesibukan masing-masing. Ketika dimarahi oleh pengasuh, remaja bisa saja melawan dan berprasangka negatif, karena merasa tersinggung. Hal tersebut berdasarkan pernyataan berikut:
“Ya seperti murid sama gurunya sih, tapi memang kalau ada masalah aku jarang cerita-cerita ke mereka, mereka kan sibuk jaga-jaga disini. Cerita yang umum-umum saja.” (WAN01: 249-254).
“Dimarah sama ustadzahnya, pasti pikirannya negatif. Ah, pasti ustadzahnya pasti kaya gini,ini aja kaya gini. pasti nilai mereka negatif. Pasti selalu marah balik kalau di marahi.” (WAN02: 15-17).
Hubungan dengan Figur Lekat
Remaja akhir putri di panti asuhan menjalani hubungan yang dekat dengan figur lekat saat ini. Remaja yang memiliki pola kelekatan aman, merasa nyaman dengan kedekatan yang dijalin bersama figur lekat. Remaja menganggap hubungan
yang dijalin dengan figur lekat bagaikan saudara kandung. Hal ini sesuai dengan penyataan berikut:
“Nyaman ya karena itu dah, dia sudah saya anggap saudara saya, jadi saya mau ngapa-ngapain sudah nyaman banget sama dia, ketimbang misalnya saya sama keluarga.” (WLI02: 1050-1051).
“Kehadirannya dia itu, membuat kalau saya itu kebanyakan ya merasa senang ya, soalnya ada teman bercanda, soalnya cuma dia mbak yang seotak sama saya, yang lain-lainnya itu serius banget.” (WLI03: 350-352).
Individu yang menjalin pola kelekatan aman akan merasa nyaman dan percaya untuk bercerita dengan figur lekat. Remaja akhir putri di panti asuhan merasa figur lekat bisa menjadi pendengar yang baik. Figur lekat dirasa cepat tanggap dalam memberi semangat dan masukan. Hal ini sesuai dengan penyataan berikut:
“Saya enggak punya saudara, jadi dia sudah kayak saudara. Nyamannya itu sudah bukan kayak orang lain lagi, bukan kayak teman. Kalau saya cerita sama dia itu sudah benar-benar kayak saudara gitu, sudah kayak saudara kandung gitu, pokoknya lebih dah.” (WLI03: 21-24).
“Dia sebagai pendengar yang baik ya tentunya.” (WLI03: 174).
“Dia itu juga orangnya tanggap gitu jadi enak kalau ngomong sama dia.” (WLI03: 58-59).
Berbeda dengan individu yang mengalami pola kelekatan aman, individu yang menjalin pola kelekatan lepas tidak mampu menceritakan permasalahan hidup secara menyeluruh. Remaja akhir putri di panti asuhan merasa tidak ingin mempermalukan diri sendiri dihadapan figur lekat. Figur lekat tidak selalu hadir ketika terjadi masalah dalam hidup, sehingga kehadiran figur lekat tidak terlalu berpengaruh bagi remaja tersebut. Hal ini sesuai dengan penyataan berikut:
“Kayanya masalah yang keliatannya itu umum tapi pribadi juga.Tapi kalau masalah yang pribadi sekali, enggak saya ceritain, biasanya dipendam. Kalau masalah umum kaya orang tua bertengkar, saya bertengkar dengan teman lain baru saya certain, tapi kalau masalah dengan diri saya sendiri, ya mempermalukan diri, enggak saya certain. Sejauh itu aja sih, jadi masalah yang agak umum dikit aja, yang pribadi enggak.”(WAN01: 218-222).
“Dia itu enggak ada pas masalahnya itu terjadi, kaya tadi yang aku bilang, sibuk sama diri kita sendiri sendiri, kegiatan sekolah kita sendiri-sendiri, jadi pas masalahnya sudah berlalu, kitanya udah biasa-biasa aja, pingin cerita, baru dia ada.makanya dia kaya kurang begitu, gitu lo mbak perannya. Enggak pas masalah besar itu dia ada, pasti dia lagi disekolah atau lagi dimana.Soalnya enggak ketemu terus.” (WAN01: 260-266).
Remaja akhir putri di panti asuhan yang mengalami pola kelekatan aman merasa kedekatan dengan figur lekat memberikan dampak positif pada diri responden. Responden dan figur lekat bisa saling tolong menolong ketika salah satu membutuhkan. Figur lekat juga menyemangati dan mengingatkan untuk selalu bersyukur atas hidup saat ini. Salah satu remaja yang dahulu memiliki sifat pendiam dan selalu takut melakukan kesalahan, kini menjadi lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Figur lekat banyak membeikan contoh positif. Hal ini sesuai dengan penyataan berikut:
“Temenan sama dia, dekat sama dia, saya jadi percaya diri gitu, soalnya saya sering diajak-ajak sama dia buat nari-nari gitu. Jadi sekarang kalau saya nari sendiri itu saya berani. Banyak sih mbak perubahan-perubannya sebenarnya, pelajaran matematika pun, kayak masalah pelajaran-pelajaran itu, matematika itu kan saya enggak suka, enggak bisa soalnya, dia lumayan matematikanya, terus diajarin sama dia, saya jadi lebih suka sama pelajaran itu sekarang.” (WLI03: 270-275).
“Dia sering bilang, makanya untung kan kita sekolah, coba kalau enggak, enggak deh kita bisa kayak gitu.” (WLI03: 247248).
Bagi remaja akhir putri di panti asuhan yang mengalami pola kelekatan lepas, bercerita dengan figur lekat hanya sebatas meringankan pikiran. Figur lekat tidak mampu meringankan beban berupa materi. Saran yang diberikan figur lekat juga seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan, hanya sebatas mengingatkan untuk bersabar. Remaja akhir putri di panti asuhan hanya butuh didengarkan oleh figur lekat ketika bercerita, terlepas figur lekat bisa memberi masukan atau tidak. Hal ini sesuai dengan penyataan berikut:
“Ngeringanin pikiran kan kalau kita sudah cerita pasti agak berkurang gitu lo rasa sakitnya, soalnya sudah diceritain. Tapi kalau untuk ringanin beban ga ngaruh sih kayanya.”(WAN02: 186-187).
“Paling kalau dia kasih masukan ya kaya biasanya, “sabar ya” kalau dia masih bisa ngomong. Kalau dia sudah bingung sama kaya aku, “bingung aku juga, ta”, enggak aku dikasi masukan, diam aja dia paling, mendengarkan. Kan yang penting ada teman yang dengerin aja, enak dah cerita. Ngomong aja aku terus, dia dengerin. Kalau dia bisa kasih masukan, ya dia kasih, kalau enggak, pasti dia bilang dia bingung. Yang penting sudah ada yang dengerin sih.” (WAN01: 211-216).
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya, peneliti menemukan gambaran pola kelekatan yang dialami oleh keseluruhan responden. Pola kelekatan yang dialami responden ketika di panti asuhan tidak terlepas dari pola kelekatan awal yang telah dialami pada awal masa kehidupan dengan ibu sebagai pengasuh utama. Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa kelekatan yang diperoleh individu pada lima tahun pertama
kehidupannya dapat memengaruhi hubungan interpersonalnya di kemudian hari, namun semakin dewasa individu tentu mempunyai pilihan dan tanggung jawab dalam mengubah pola kelekatan yang dialaminya, sehingga dapat memperbaiki diri dan kehidupannya (Santrock, 2003; Wilkinson & Alford dalam Ghonimah, 2010; Dacey & Travers, 2008).
Terdapat empat kategori pola kelekatan yang terjadi pada 1. masa remaja akhir, antara lain: pola kelekatan aman (secure attachment), pola kelekatan lepas (dismissing attachment), pola kelekatan terikat (preoccupied attachment), pola kelekatan cemas (fearful attachment) (Bartholomew & Horowitz, 1991).
Adapun aspek-aspek yang dapat digolongkan dalam pola kelekatan pada masa remaja akhir adalah pola asuh di masa kecil, harga diri, hubungan dengan keluarga, teman, dan kedudukan figur lekat.
Pola Asuh Masa Kecil
Pola asuh yang diterapkan sejak responden kecil merupakan salah satu aspek yang memengaruhi pola kelekatan responden terhadap figur lekat responden saat ini. Teori kelekatan dari John Bowlby mengungkapkan bahwa ikatan afeksi antara anak dan pengasuh utamanya, baik yang positif maupun negatif, akan terbawa hingga remaja sampai dewasa, dan akan berpengaruh pada hubungan interpersonalnya (Holmes, 2012). Pada dua orang responden sejak kecil mendapatkan pola pengasuhan yang cenderung memanjakan responden sehingga 3. membentuk pola kelekatan aman. Anak akan paham bahwa orangtua merupakan secure base dan sumber dukungan emosional (Papilia, Olds, & Fieldman, 2014). Pada responden pertama, responden tumbuh dalam keluarga yang harmonis, dengan ibu kandung sebagai figur lekat primer. Ibu cenderung memanjakan responden, memenuhi semua yang diinginkan, serta mengajarkan responden untuk berbagi dengan saudara. Responden menunjukkan protes ketika pertama kali berpisah dengan ibu untuk pindah ke panti asuhan, dan merasa bahagia ketika bertemu kembali dengan ibu. Hal tersebut juga terjadi pada responden kedua, hanya saja figur lekat primer pada responden kedua digantikan oleh nenek kandung, sebab ayah responden sudah meninggal sejak kecil dan ibu responden kurang peduli. Saat nenek responden meninggal, responden sangat kehilangan dan tidak memiliki figur lekat lagi. Hubungan kedua responden didukung oleh hasil penelitian dari Eliasa (2011) yang menunjukkan bahwa pengasuhan anak dalam keluarga sangat erat hubungannya dengan tingkah laku lekat antara dengan anak yang diasuh.
Sementara pada satu orang responden, pola pengasuhan yang didapatkan sejak kecil cenderung membentuk pola kelekatan insecure-avoidant. Tidak semua kelekatan pada usia awal memberikan rasa yang aman, ibu dari anak dengan pola kelekatan ini akan cenderung akan bersikap acuh dan menghindari anaknya (Santrock, 2012). Responden tumbuh di keluarga yang tidak harmonis dan kurang mampu. Orangtua cenderung mengabaikan anak-anaknya. Sejak kecil, responden dan saudara-saudara responden terbiasa melihat kedua orangtua bertengkar. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori strange situation yang dikemukakan oleh Ainsworth
(Sigelman, 2009) bahwa anak akan cenderung menolak kehadiran ibu, menampakkan permusuhan, dan kurang mengekspresikan emosi negatif. Responden menunjukkan kesedihan ketika ibu meninggalkan responden di panti asuhan saat usia 5 tahun, namun hal tersebut tidak membuat responden membenci ibu.
Cara Pandang terhadap Diri Sendiri
Cara pandang yang positif terhadap diri sendiri memungkinkan individu untuk dekat dengan orang lain, hal ini ditunjukkan dengan mampu berpikir positif terhadap diri sendiri, mampu mengelola emosi, optimis mengenai kemampuan diri, dan memiliki kepercayaan diri (Baron & Byrne, 2012). Secara keseluruhan responden dalam penelitian ini memiliki cara pandang yang positif terhadap diri sendiri. Pembahasan ketiga responden sejalan dengan hasil penelitian Laumi (2012) bahwa harga diri pada remaja menunjukkan adanya hubungan signifikan dengan pola kelekatan yang dialami. Cara pandang individu terhadap diri sendiri erat kaitannya dengan optimisme pada masa depan. Hal ini sejalan dengan penelitian Aisyah, Yuwono, dan Zuhri (2015) yaitu individu yang memiliki harga diri yang positif akan memiliki optimisme terhadap masa depan yang juga positif. Berdasarkan hasil temuan, secara keseluruhan, ketiga responden menunjukkan adanya optimisme terhadap masa depan. Hal tersebut dapat terlihat dari respon pada setiap responden.
Hubungan dengan Keluarga
Menurut Allen, orangtua memainkan peranan penting dalam perkembangan remaja. Konflik yang terjadi sehari-hari antara orangtua dan remaja menjadi sebuah ciri hubungan yang positif, ketika perselisihan kecil dan negosiasi yang terjadi dapat memfasilitasi transisi dari remaja yang bergantung pada orangtua menjadi individu yang mandiri (Santrock, 2012). Berdasarkan penelitian Indrawati & Fauziah (2012), hubungan orangtua dengan anak dapat memengaruhi individu dalam melakukan penyesuaian diri karena penerimaan orangtua terhadap anak akan menumbuhkan rasa aman, percaya diri, penghargaan, yang dapat diterapkan pada masa perkembangan selanjutnya.
Hasil keseluruhan temuan menunjukkan bahwa terdapat dua responden yang memiliki hubungan yang positif dengan keluarga dan satu responden yang memiliki hubungan yang negatif atau kurang baik dengan keluarga. Hubungan kelekatan aman dengan orangtua dapat membentuk kemandirian seseorang, sebagai pengalaman-pengalaman dari proses belajar sehingga tidak bergantung pada orang lain, sejalan dengan penelitian Nurhayati (2015).
Hubungan yang berbeda terjadi pada responden ketiga. Hubungan responden dengan keluarga tidak terlalu dekat. Hal ini disebabkan karena kondisi keluarga yang tidak harmonis. Responden sangat jarang bertemu dan bercerita dengan keluarga.
Hubungan dengan Teman di sekolah dan di panti asuhan Kebebasan dan hubungan individu dengan teman menjadi penting karena masa remaja merupakan tahapan individu
untuk mengenali lingkungan sosial mereka yang ditandai dengan seringnya mereka mencari dukungan dari teman sebaya (peers) (Wilkinson & Alford dalam Ghonimah, 2010). Berdasarkan hasil temuan secara keseluruhan, responden pertama dan responden kedua memiliki hubungan pertemanan yang baik. Hal yang berbeda ditunjukkan pada responden ketiga yang tidak memiliki hubungan pertemanan yang baik. Yuliandari dan Sugiyanto (2011) melakukan penelitian pada anak usia 10-18 tahun dan menunjukkan bahwa hubungan kelekatan dengan teman sebaya (peers), mampu memengaruhi terjadinya perilaku nakal pada individu. Responden ketiga juga cenderung menunjukkan perasaan tidak cocok dengan pacar responden yang dianggap tidak dapat mengerti keadaan responden. Hubungan responden dengan pacar selaras dengan penelitian Indrawati & Fauziah (2012) yang menyatakan semakin rendahnya penyesuaian diri dengan pasangan memperlihatkan rendahnya kelekatan yang dialami.
Hubungan dengan Pengasuh
Pengasuhan yang dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial anak merupakan pelayanan pengasuhan alternatif terakhir pada anak-anak yang tidak mampu diasuh oleh keluarga inti, keluarga besar, kerabat, ataupun keluarga pengganti (Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial Kemensos, 2011).
Berdasarkan hasil temuan secara keseluruhan, dua orang responden menunjukkan hubungan yang baik dengan pengasuh di panti asuhan. Memiliki pengasuh yang memberikan perawatan secara konsisten dan responsif dapat mambantu remaja yang tinggal di panti asuhan untuk dapat mengenali sifat masing-masing, menunjukkan perasaan empati, serta membantu remaja untuk dapat mengendalikan emosi dan perilaku remaja sendiri (Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial Kemensos, 2011). Hal tersebut dapat terlihat dari respon pada responden yang bersyukur memiliki pengasuh yang baik, baik dan sering memberikan nasihat, sehingga responden sudah menganggap pengasuh seperti kakak bagi responden. Hal yang berbeda ditunjukkan pada responden ketiga yang tidak terbuka, cenderung melawan, serta berprasangka negatif terhadap pengasuh.
Hubungan dengan Figur Lekat
Berdasarkan hasil temuan, dua responden memiliki hubungan yang aman (secure) dengan figur lekat saat ini. Bowlby mengatakan bahwa terdapat dua macam figur lekat yang dapat menjelaskan kelekatan yang dialami oleh remaja, yaitu figur lekat utama dan figur lekat pengganti (Aji & Uyun, 2010). Responden pertama tidak mengalami perubahan pada figur lekat utama sejak kecil. Responden merasa sangat nyaman, bersikap terbuka, dan mendapat banyak nilai positif dari ibu karena perhatian ibu pada responden tidak berubah dari kecil hingga sekarang. Menurut Ainsworth, ketika figur lekat mampu memberikan kelekatan aman, individu cenderung akan selalu mencari figur lekat ketika berada dalam situasi yang tertekan (Santrock, 2002). Responden kedua memiliki perubahan pada figur lekat ketika remaja, yaitu salah satu teman responden di panti asuhan. Responden merasa nyaman dengan figur lekat karena merasa seperti memiliki keluarga. Responden bersikap terbuka dan memandang positif figur lekat. Pembahasan kedua responden sejalan dengan penelitian
Aji & Uyun (2010) yang memfokuskan kelekatan pada remaja kembar, bahwa remaja yang mendapatkan kelekatan aman lebih nampak sebagai individu yang terbuka dan mudah dalam menjalin hubungan baru.
Berbeda dengan dua responden sebelumnya, responden ketiga memilki hubungan yang lepas (dismissing) dengan figur lekatnya. Responden memiliki perubahan pada figur lekat saat di panti asuhan, yaitu salah satu teman responden di panti asuhan. Responden menganggap figur lekat seperti saudara kandung, namun tidak dapat bersikap terbuka. Responden memandang hubungan dengan figur lekat tidak secara langsung memengaruhi perilaku responden karena figur lekat jarang hadir dan membantu ketika responden mengalami masalah. D isatu sisi, responden merasa sedih ketika figur lekat tidak ada di panti asuhan.
Berdasarkan hasil temuan yang telah dipaparkan ke dalam aspek-aspek yang mendasari kelekatan, diketahui terdapat dua pola kelekatan berbeda yang dialami oleh responden. Dua dari tiga responden mangalami pola kelekatan aman (secure attachment), baik pada masa awal kehidupan dan saat tinggal di panti asuhan. Satu responden mengalami kelekatan dimissing ketika remaja akhir, dilatar belakangi oleh kelekatan insecure-avoidant yang dialami responden pada masa awal kehidupan.
Individu yang mengalami kelekatan aman (secure attachment) ditandai dengan memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri dan pandangan positif terhadap orang lain (Eavest dalam Tyas, 2010). Responden pertama dan kedua menunjukkan pandangan positif terhadap diri sendiri dengan mampu mengelola emosi, berpikir positif, optimis, dan percaya diri (Bowlby dan Ainsworth dalam Santrock, 2003). Responden pertama dan kedua juga menunjukkan pandangan positif terhadap orang lain. Kedua responden mampu mengembangkan kedekatan dengan figur lekat, merasa nyaman dalam menjalin hubungan dengan figur lekat, dan mampu mengekspresikan rasa percaya pada orang lain. Individu dengan kelekatan aman tidak akan khawatir diterlantarkan oleh orang lain (Sigelman, 2015).
Individu yang mengalami pola kelekatan lepas (dismissing attachment), ditunjukkan oleh adanya pandangan positif terhadap diri sendiri tetapi memiliki pandangan yang negatif terhadap orang lain (Eavest dalam Tyas, 2010). Responden ketiga cenderung bersikap kurang ramah dengan orang lain dan memandang orang lain negatif, serta takut menjalin kedekatan yang serius. Individu yang tergolong dalam pola kelekatan ini merasa dirinya cukup baik untuk berhubungan dengan orang lain, namun tidak percaya dengan orang lain (Baron & Byrne, 2000).
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pola kelekatan yang sama pada remaja akhir putri yang tinggal di Panti Asuhan Tunas Bangsa terhadap pola kelekatan yang dialami pada awal kehidupan, hal ini tidak sejalan dengan teori kelekatan yang dikembangkan oleh Dacey & Travers bahwa keterkaitan antara pola kelekatan pada masa kecil dan dewasa akan semakin kecil, karena adanya pengalaman hidup yang
menekan dan mengganggu, seperti kematian orang tua atau tidak stabilnya cara pengasuhan anak (Santrock, 2002). Untuk mendapatkan pola kelekatan yang aman pada remaja akhir di panti asuhan, dapat melihat pada pola kelekatan awal yang dialami remaja ketika awal kehidupan.
Menurut Bowlby (1997) terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kelekatan, seperti yang terlihat dalam penelitian ini. Ketika tinggal di panti asuhan, sering kali responden berada di situasi yang tidak menyenangkan seperti saat sakit, sehingga responden membutuhkan kehadian fisik dari figur lekat. Kondisi lingkungan terlihat ketika responden berada dalam keadaan terancam di panti asuhan seperti saat terjadi pertengkaran dengan penghuni panti asuhan lain, tentu akan berpengaruh jika tidak ada figur lekat yang menguatkan. Sikap figur lekat yang berlawanan ataupun mengancam juga dapat mempengaruhi pola kelekatan yang terjalin.
Fungsi dari kelekatan bagi remaja akhir putri di panti asuhan antara lain, memberikan rasa aman dalam kondisi penuh tekanan, mengatur keadaan perasaan, sarana komunikasi dengan figur lekat, serta sebagai dasar untuk eksplorasi dengan lingkungan sekitar ataupun suasana yang baru (Davies, 1999). Kelekatan yang dialami ketiga responden memberikan fungsi sebagai sarana komunikasi individu dengan figur lekat dalam berbagi pengalaman hidup dan menceritakan pasangan. Responden yang mengalami kelekatan aman, kehadiran figur lekat akan memberikan perasaan nyaman ketika berada pada situasi penuh tekanan.
Adapun saran praktis bagi responden setelah mengetahui kelekatan yang dialami, diharapkan mampu menjaga dengan baik dan lebih menghargai kelekatan yang sudah dijalin. Responden mampu mengembangkan rasa saling percaya dengan figur lekat, serta memperbaiki cara pandang terhadap diri sendiri dan orang lain, menjadi lebih positif. Figur lekat juga diharapkan dapat menjaga kelekatan yang sudah terjalin, lebih terbuka mengengungkapkan perasaan, dan berusaha hadir dan membantu responden ketika sedang dalam situasi yang sulit.
Bagi pihak-pihak di panti asuhan saran praktis yang peneliti berikan adalah agar dapat membentuk hubungan yang harmonis dengan remaja akhir putri, agar dapat menanamkan nilai-nilai kehidupan yang dapat digunakan ketika dewasa. Pihak panti asuhan juga diharapkan tidak hanya memberikan pendampingan secara fisik, juga secara psikologis. Hal tersebut dapat menjadi sumber dukungan bagi anak-anak panti asuhan.
Saran praktis bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian pada remaja di panti asuhan diharapkan dapat mengkaji konsep psikologis lainnya sehingga dapat lebih memahami fenomena lain yang dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan. Menjalin komunikasi yang tidak kaku juga sangat diperlukan peneliti agar dapat memahami fenomena lebih dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Ainsworth, M. D., Blehar, M. C., Waters, E., & Wall, S. N. (2015). Pattern of Attachment: A psychological study of the strange situation. New York: Psychology Press.
Aisyah, S., Yuwuno, S., & Zuhri, S. (2015). Hubungan antara selfesteem dengan optimisme masa depan pada siswa santri program tahfidz di pondok pesantren al-muayyad surakarta dan ibnu abbas klaten. Jurnal Indigenous, 13 (2), 1-8.
Aji, P., & Uyun, Z. (2010). Kelekatan (attachment) pada remaja kembar. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Indigenous, 12 (1), 37-46.
Arga, H. (2012, November). Masa remaja (pencarian jati diri). Diunduh dari Hilmawan's
Weblog:http://hilmawanarga.blogspot.com/2012/11/apa-yang-mendorong-remaja-berperilaku.html 18 Maret, 2013.
Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial edisi kesepuluh jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Bartholomew, K., & Horowitz, L. M. (1991). Attachment styles among young adults: A test of a four category model. Journal of Personality and Social Psychology, 61 (2), 226-244.
Bowlby, J. (1997). Attachment and loss volume 1. London: Pimlico.
Dalimunthe, K. L. (2009). Kajian mengenai kondisi psikososial anak yang dibesarkan di panti asuhan. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas Psikologi, Universitas Padjajaran, Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1999). Kamus besar bahasa indonesia, edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Eliasa, E. I. (2011). Karakter sebagai saripati tumbuh kembang anak usia dini. Yogyakarta: Inti Media.
Ghonimah, L. (2010). Pemaknaan kualitas kelekatan (attachment) berdasarkan figur lekat santri pondok pesantren tebuireng jombang. 29.
Ghony, M.D., & Almashur, F. (2012). Metodologi penelitian kualitatif. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Hanifah, R. (2011, Januari).Kelekatan ibu dan anak.Berbagi Manfaat. Diunduh darihttp://www.berbagimanfaat.com/2011/01/kelekatan-ibu-anak.html 2 Maret 2014.
Himmah, A. M. (2012). Masalah remaja: Pembentukan diri dan pertentangan.
Holmes, J. (2012). John bowlby and attachment theory. New York: Routledge.
Indrawati, E. S., & Fauziah, N. (2012). Attachment dan penyesuaian diri dalam perkawinan. Jurnal Psikologi Undip, 11 (1), 4049.
Kustini, T. (2011). Ilmu pengetahuan Sosial, kelas XII, semester 2 tahun ajaran 2010-2011. Bogor: CV Bina Pustaka.
Laumi, A (2012). Attachment of late adolescent to mother, father, and peer, with family structure as moderating variable and their relationships with self-esteem. Jurnal Psikologi. 39(2).129-142.
Martin, F., Santi, K. E., & Hikmat, H. (2007). Seseorang yang berguna : Kualitas Pengasuhan di panti sosial asuhan anak indonesia. Jakarta: Departemen Sosial RI, Save the Children, UNICEF.
Moleong, L. J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F. J., Knoers, A., & Harditono, S. R. (2001). Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mulyono, N. K. (2007). Proses pencarian identitas diri pada remaja muallaf. Naskah tidak dipublikasikan, Fakulatas Kedokteran, Program Studi Psikologi, Universitas Diponogoro, Semarang.
Nurhayati, H. (2015). Hubungan kelekatana aman (secure attachment) anak pada orangtua dengan kemandirian anak
kelompok btk pkk 37 dodogan jati mulyo dlingo bantul. Jurnal Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, 9 (4), 110.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Fieldman, R. D. (2009). Human development: Eleventh edition. New Yorrk: McGraw-Hill.
Poerwandari, E. K. 2001. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi(LPSP3) UI.
Putro, W. A. (2009, April). Faktor kelekatan anak dan orang tua. Winardi Blog. Diunduh darihttp://winardi-andalas-
putro.blogspot.com/2009/04/faktor-kelekatan-anak-dan-orang-tua.html 2 Maret2014.
Santrock, W. J. (2012). Life span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2013). Psikologi remaja, edisi revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sigelman, Carol K. (2009). Life span human development. Australia: Wadsworth Cengage Learning.
Strauss, A., &Corbin, J. (2008). Basics of qualitative research: Techniques and prosedures for developing grounded theory (3rd ed). California: Thousand Oaks.
Sugiyono, P. D. (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung: Alfabeta.
Syafatania. (2012, Oktober). Seperti apa kelekatan kamu pada orang lain: Attachment. Diunduh darihttp://syafatania-
fpsi12.web.unair.ac.id/artikel_detail-62028-Psikologi-Umum-Seperti-Apa-Kelekatan-Kamu-pada-Orang-Lain-Attachment.html 18 Maret 2014.
Thakkar, A., Mepukori, D., Henschel, K., & Tra, T. (2015). Uunderstanding attachment patterns among orphans in residential care homes in New Delhi India. Scottish Journal of Residential Child Care, 14 (3), 74-84.
Tyas, A. D. (2010). Hubungan pola attachment dengan self esteem remaja pada mahasiswa psikologi semester iv di universitas islam negeri (uin) maulana malik ibrahim malang. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Utami, R. (2007). Hubungan antara pola kelekatan dengan orangtua dimasa kecil dan pola kelekatan dengan pasangan hidup pada dewasa muda. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Jakarta.
Yuliandari, E., & Sugiyanto. (2011). The Effects of peer attachment on delinquent Behavior (a meta-analysis study). Anima Indonesian Psychological Journal, 26 (2), 118-127.
Gambar 1
LAMPIRAN
Bagan pola asuh di masa kecil

Pola asuh di masa kecil
Figur Iekatprimer adalah ibu
Merasa diabaikan
Protes ketika ditinggal figur lekat
Figur lekat primer adalah ibu, nenek
Merasa diperhatikan dan dimanja
Protes ketika ditinggal figur lekat
Kelekatan
tidak aman
(Secure attachment)
Merasa senang ketika bertemu kembali dengan figur lekat
Kelekatan aman (Secure attachment)
Bagan cara pandang terhadap diri sendiri

Hubungan dengan keluarga
Kelekatan lepas: Tidak terlalu dekat dengan keluara dan tidak harmonis
Kelekatan aman: harmonis dan dekat dengan keluarga
Bagan hubungan dengan teman-teman
Kelekatan aman: mampu percaya dan menjalin hubungan baik dengan teman
Hubungan dengan teman

Kelekatan lepas: kurang percaya dan merasa tidak nyaman dengan pertemanan yang dekat
Bagan hubungan dengan pengasuh
Bagan hubungan dengan figur lekat

Tabel 1
Padangan positif terhadap diri sendu i |
Padangan positif terhadap orang lain |
Mampu menjalin kedekatan dengan orang lain | |
SR |
√ | ||
LI | |||
AN |
- |
- |
535
Discussion and feedback