Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Psikologi Positif, 100-113

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

PROSES PENERIMAAN DIRI PADA GAY YANG BERSTATUS HIV POSITIF Cokorde Istri Dwi Anindyawati Pemayun dan Made Diah Lestari

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang leukosit yang menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh manusia. Sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi oleh HIV disebut dengan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Berdasarkan faktor risiko penularannya, salah satu populasi yang berisiko adalah gay karena aktivitas seksual berisiko. Di Indonesia gay masih mengalami stigma. Stigma dapat memengaruhi penerimaan diri (self acceptance) gay. Penerimaan diri adalah keadaan individu menerima serta mengakui segala kelebihan dan keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah (Ryff dalam Atwater, 2015). Dikaitkan pada gay yang berstatus HIV-AIDS, maka akan sulit melakukan penerimaan diri tersebut karena adanya diskriminasi dan stigma. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini difokuskan untuk membahas mengenai proses penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan desain penelitian fenomenologi. Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara, observasi serta photovoice pada tiga orang laki-laki homoseksual yang berstatus HIV positif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua fase dalam proses penerimaan pada gay yang berstatus HIV positif. Fase I (Setelah mengetahui status HIV positif tetapi belum menjalani terapi) terdiri dari penolakan terhadap status HIV, kekecewaan dan penyesalan terhadap diri, dan penerimaan status HIV. Fase II (Setelah menjalani terapi) terdiri dari kondisi menurun akibat efek samping obat, penerimaan kembali status HIV setelah terapi, adanya pengalaman penolakan terkait status HIV positif, kondisi memperkenankan dan kondisi bersahabat dengan status HIV positif. Faktor pendukung untuk mencapai penerimaan diri pada gay antara lain kepatuhan menjalani terapi Antiretroviral (ARV) dan adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat.

Kata kunci: proses penerimaan diri, gay, HIV positif

Abstract

Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a kind of virus that attacked leucocytes, causing a significant decline in human immune system. A group of symptoms that caused by HIV infections is called Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Based on its risk factors of transmission, gay is a population at risk because of risky sexual activity. In Indonesia, gay is still not accepted, either by stigma. Any stigma could impair the process of selfacceptance of every gay. Self-acceptance is a condition where an individual could accepted and acknowledged all advantages and disabilities on him or herself, without being embarrassed or feeling guilty on his conditions. Attributed to all gays who have diagnosed as HIV-AIDS, discrimination and stigma; without any doubt, will cause a more difficult way to reach self-acceptance. Based on the background, this study aimed to discuss about the process of selfacceptance among HIV-positive gays. This study used a qualitative method with phenomenology study design. Data were collected by direct interview, observation, and photovoice that has involved three HIV-positive homosexual men. This study has found that there were two phases on self-acceptance process among gays living with HIVpositive, which divided into Phase I (after knowing HIV-positive status, but have not ever been undergoing any therapeutic approach) consists of rejection of HIV-positive status, disappointment and regret of self, and acceptance of HIV-positive status. Phase II (after doing therapy) consists of condition decreased due to drug side effects, revival of the HIV-positive status after therapy, experience of rejection related to HIV-positive status, allowing conditions and friendly conditions with HIV-positive status . Supporting factors for achieving self-acceptance in gays include adherence to antiretroviral therapy and social support from the people closest to it.


Key words: self-acceptance, gay, HIV-positive


LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk lima besar dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Indonesia berada di peringkat keempat dengan jumlah penduduk mencapai 253,60 juta jiwa dan disusul oleh Brasil yang mencapai 202,65 juta jiwa (Purnomo, 2014). Pertumbuhan jumlah penduduk ini dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks, salah satunya adalah masalah kesehatan.

Permasalahan kesehatan yang terjadi di Indonesia beragam. Menurut Abidin (2015) Indonesia mengalami empat transisi masalah kesehatan yang memberikan dampak ”double burden” atau beban ganda. Keempat transisi tersebut adalah transisi demografi, epidemiologi, gizi, dan perilaku. Dari keempat transisi tersebut, epidemiologi menjadi transisi yang dari tahun ke tahun mengalami perubahan, terutama terkait penyakit menular.

Penyakit menular adalah penyakit yang dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit (Mboi, 2014). Penyakit menular ditularkan secara reservoir atau kontak tidak langsung maupun langsung (Pietrangelo & Higuera, 2016). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 82 Tahun 2014 tentang penyakit menular, penyakit menular dikelompokkan berdasarkan cara penularannya, yaitu penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit serta penyakit menular langsung. Salah satu penyakit menular langsung yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya adalah HIV.

Virus yang menyerang sel darah putih (leukosit) yang menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh manusia disebut dengan HIV. Ketika kekebalan tubuh manusia menurun, tubuh akan terserang berbagai penyakit yang dapat menyebabkan infeksi. Sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV disebut dengan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, 2014). Hasil-hasil penelitian dalam bidang infeksi HIV memberikan harapan dalam hal pencegahan dan terapi. Berbagai upaya pencegahan penting seperti perilaku sehat, penggunaan kondom, serta pencegahan pemakaian jarum suntik bersama serta ditemukannya terapi obat Antiretroviral (ARV) yang mampu menurunkan risiko penularan secara nyata (Djoerban, 2014).

Dampak fisik yang ditimbulkan oleh HIV berbeda-beda pada setiap orang. Orang dengan HIV positif cenderung mengalami infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk (Djoerban, 2014). Dampak psikologis yang terjadi pada orang dengan HIV-AIDS umumnya mengalami depresi terutama yang mendapat dukungan sosial yang sedikit (Taylor, 2015). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Paputungan (2013) terkait Dinamika Psikologis pada Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) menyatakan bahwa adanya dinamika psikologis yang berbeda-beda pada setiap orang terkait reaksi akibat terinfeksi HIV, antara lain merasa depresi, menyangkal (denial), marah (anger), frustrasi dan cemas.

Kasus AIDS pertama di Indonesia ditemukan di Bali tahun 1987 pada wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah (Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI, 2006). Bali berada pada posisi kelima terkait jumlah kasus HIV tertinggi di Indonesia sebanyak 10.750 kasus. Jumlah kasus AIDS di Bali sebanyak 4.811 kasus. Sampai akhir Desember tahun 2015 jumlah kasus HIV-AIDS yang tercatat di layanan kesehatan di Provinsi Bali secara kumulatif sebanyak 13.366 dengan jumlah kasus HIV sebanyak 7.456 dan AIDS sebanyak 5.910. Berdasarkan kelompok usia jumlah kumulatif orang dengan HIV-AIDS di Bali paling banyak berusia 20-29 tahun. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa Bali menjadi daerah di Indonesia dengan tingkat epidemik terkonsentrasi (Concentrated Level Epidemic) (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015).

Berdasarkan faktor risiko penularan di Bali, homoseksual memiliki angka yang cukup tinggi setelah heteroseksual terkait penularan HIV-AIDS yaitu sebanyak 1225 kasus. Menurut Lehmiller (2014) homoseksual adalah kecenderungan individu untuk memiliki ketertarikan secara seksual dan romantis dengan sesama jenis kelamin. Laki-laki yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis dikenal dengan sebutan gay (Lehmiller, 2014). Sebagian besar kasus HIV-AIDS di Bali berjenis kelamin laki-laki, baik dari kelompok heteroseksual maupun kelompok homoseksual (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015). Laksana (2010) menyatakan bahwa pria homoseksual memiliki faktor risiko yang lebih tinggi untuk transmisi HIV-AIDS dibandingkan laki-laki heteroseksual, khususnya melalui pasangan seks lebih dari satu dan melakukan perilaku seksual secara anal. Perilaku seksual yang berisiko tersebut membuat gay sering mendapatkan penolakan dari masyarakat Indonesia (Fri, 2016).

Keberadaan homoseksual di Indonesia menjadi perdebatan. Di Indonesia homoseksual masih mengalami stigma. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2013) terkait sikap terhadap homoseksualitas pada responden di Indonesia, menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas sebesar 93% dan hanya ada 3% yang menerima. Dilihat dari jenis kelamin, laki-laki dengan orientasi homoseksual memiliki kecenderungan untuk mengalami depresi dibandingkan dengan perempuan yang memiliki orientasi homoseksual. Penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2012) menunjukkan bahwa lesbian memiliki nilai depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan gay. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki kelompok sosial

yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, selain itu menurut Larasati (2012) laki-laki dengan orientasi homoseksual mendapatkan pandangan masyarakat yang negatif, gay juga sulit diterima dalam pertemanan laki-laki heteroseksual, berbeda dengan perempuan heteroseksual yang lebih terbuka, baik terhadap lesbian maupun gay.

Pro dan kontra Masyarakat Indonesia menanggapi kehadiran homoseksual terutama untuk gay masih terjadi, seperti berita yang dimuat di situs Tribun Nasional (2016) mengenai pembatalan pertemuan salah satu komunitas gay di Indonesia. Menurut salah satu aktivis LSM Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Aan Ashori, acara tersebut merupakan acara untuk berkumpul dengan anggota komunitas gay serta mempromosikan kesehatan reproduksi dan kampanye bahaya HIV-AIDS. Secara khusus, acara tersebut juga digunakan untuk memperkenalkan situs Kementerian Kesehatan bagi peserta yang hadir, namun di pihak kepolisian bersikeras ingin membatalkan acara dengan berpandangan acara tersebut tidak memiliki izin keramaian dikhawatirkan mengganggu ketertiban umum.

Berdasarkan berita di atas terlihat keberadaan homoseksual di Indonesia masih menimbulkan kontra di masyarakat. Disisi lain tidak semua masyarakat melakukan diskriminasi terhadap kehadiran gay, seperti berita yang dimuat di Republika (2016), salah satu komunitas belajar untuk mengkaji topik-topik gender dan seksualitas yaitu Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC UI) memberikan jasa konseling bagi siapa pun yang ingin mencurahkan isi hatinya terkait seksualitas ataupun gender. Berdasarkan berita tersebut, menunjukkan bahwa kehadiran homoseksual masih mengundang pro dan kontra di masyarakat Indonesia.

Stigma terhadap gay dapat berdampak pada kondisi psikologisnya. Dampak yang ditimbulkan antara lain menurunkan harga diri (self esteem), tekanan mental, cenderung menginternalisasi homophobia, menjadi lebih pemalu, pendiam dan cenderung menyalahkan diri sendiri (Wagner, Aunon, Kaplan, Karam, Khourl, Tohme, & Mokhbat, 2013). Adanya stigma, prasangka dan lingkungan sosial yang menekan pada gay juga mengakibatkan munculnya masalah kesehatan mental seperti, gangguan penyalahgunaan zat, gangguan afektif dan pemikiran bunuh diri (Meyer, 2003). Hal ini tentu saja membuat kehidupan kaum gay menjadi lebih sulit. Adanya stigma yang didapat oleh gay dapat mempersulit penerimaan diri (self acceptance) kaum gay.

Ketika gay mendapatkan stigma, diperlukan hal yang dapat membantu gay untuk mencapai penerimaan diri salah satunya adalah adanya dukungan sosial dari orang terdekat gay. Reza (2016) menyatakan bahwa dukungan sosial yang diterima gay dari orang-orang terdekat seperti keluarga membuat gay merasakan afek positif yang dimaknai sebagai

penghargaan atas kehidupan pribadi, cermin untuk refleksi, sebagai pemicu gay untuk bergerak maju dalam hidup, sebagai penyemangat hidup, mengembangkan perilaku adaptif sehingga membuat gay dapat menerima dirinya dan mengembangkan keinginan untuk mengungkapkan orientasi seksual kepada orang lain.

Penerimaan diri (self acceptance) menurut Chaplin (2015) adalah sikap merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Menurut Calhoun dan Acocella (dalam Hermawanti, 2011) seseorang yang dapat menerima dirinya dengan baik, tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri, sehingga lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Kesempatan itu membuat individu mampu melihat peluang-peluang berharga yang memungkinkan dirinya berkembang.

Ketika seseorang berhadapan dengan kondisi kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa memiliki penyakit berat atau mengalami perubahan yang sangat besar dalam kehidupan, membuat seseorang akhirnya memunculkan suatu reaksi psikologis yang disebut dengan Grief. Grief merupakan suatu respon psikologis untuk individu yang mengalami kehilangan dan kedukaan, sering ditandai dengan adanya perasaan kekosongan, keterpakuan pada gambaran atau bayangan orang yang meninggal, ekspresi permusuhan pada orang lain, dan rasa bersalah atas kematian (Taylor, 2015).

Menurut Kübler-Ross (1998) terdapat lima tahapan yang dilalui oleh individu dalam menghadapi kondisi grieving, yakni penolakan (denial), kemarahan (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan penerimaan (acceptance). Ketika individu mampu mencapai penerimaan terhadap status HIV positif, memungkinkan individu untuk mengembangkan penerimaan diri yang efektif terkait status HIV positif yang dimiliki (Yunita, 2016).

Proses penerimaan diri berbeda-beda di setiap orang. Terdapat lima tahap penerimaan diri menurut Germer (2009) yaitu penghindaran (aversion), keingintahuan (curiosity), toleransi (tolerance), memperkenankan (allowing) dan persahabatan (friendship). Faktor-faktor yang dapat memengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang, yaitu pemahaman diri (self-understanding), harapan atau cita-cita yang realistis, tidak adanya hambatan dari lingkungan, perilaku sosial yang positif, tidak adanya tekanan emosional yang berat, pengaruh yang besar dari kesuksesan, identifikasi dengan orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, perspektif diri (self-perspective), didikan yang baik di masa kanak-kanak, serta konsep diri yang stabil (Hurlock, 1973).

Penerimaan diri pada orang dengan HIV positif merupakan suatu hal penting untuk dicapai karena hal tersebut berhubungan dengan bagaimana orang tersebut menjalani

kehidupan setelah mengetahui status HIV positif. Menurut Burhan, Fourianalistyawati & Zuhroni (2014) ketika orang dengan HIV positif menerima dirinya, individu tersebut dapat memaknai kehidupan saat ini menjadi lebih baik dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya. Selain itu, orang dengan HIV positif yang telah menerima dirinya dapat menentukan apa yang ia lakukan serta menentukan sikap atas kondisi kesehatannya saat ini. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan penerimaan diri pada orang dengan HIV positif adalah hal yang penting untuk dicapai, sehingga nantinya tidak hanya berdampak baik pada individu tersebut tetapi juga berdampak baik pada lingkungan sekitar individu agar nantinya keberadaan orang dengan HIV positif tidak menimbulkan keresahan pada masyarakat.

Dikaitkan dengan gay yang berstatus HIV positif, mencapai penerimaan diri merupakan sebuah tantangan saat berhadapan dengan stigma. Stigma yang didapat tidak hanya terhadap status orientasi seksual, tetapi juga stigma terhadap status HIV positif sehingga gay yang berstatus HIV positif mengalami double stigma. Salah satu faktor yang memengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang adalah tidak adanya hambatan dari lingkungan. Adanya stigma tersebut akan sulit untuk membentuk sikap penerimaan diri seorang dengan orientasi seksual gay yang berstatus HIV positif. Agweda dan Dibua (2010) mengatakan bahwa stigma dapat memengaruhi penerimaan pada orang dengan HIV-AIDS. Dampak yang didapat dari HIV-AIDS seringkali menambah stigma.

Di sisi lain kenyataan membuktikan bahwa beberapa gay yang berstatus HIV positif dapat menerima diri. Hal itu ditujukan pada orang yang berstatus HIV positif dengan orientasi seksual gay yang menjalani terapi ARV di RSUD Wangaya. Penelitian yang dilakukan oleh Nam, Fielding, Avalos, Dickinson, Gaolathe, & Geissler (2008) mengenai “The Relationship of Acceptance or Denial of HIV-Status to Antiretroviral Adherence Among Adult HIV Patients in Urban Botswana” menyatakan bahwa adanya penerimaan status HIV, kemampuan untuk tidak menginternalisasi sikap stigma dan identifikasi hal-hal bahagia yang responden percayai menjadi faktor kunci yang terkait dengan kepatuhan mengikuti terapi ARV dengan baik.

Dari data yang didapat oleh peneliti, jumlah orang yang berstatus HIV positif dari tahun Oktober 2005 hingga Maret 2017 di Klinik VCT RSUD Wangaya dengan faktor resiko gay sebanyak 46 orang, 35 orang diantaranya mengikuti terapi ARV (RSUD Wangaya, 2017). Berangkat dari kenyataan yang berbeda dengan teori tersebut, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana proses penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif. Dalam penelitian ini peneliti tidak memfokuskan pada pro dan kontra keberadaan gay, melainkan bagaimana proses penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif.

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2014), penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh responden penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi secara holistik. Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi berfokus pada pengalaman fenomenologikal dan suatu studi tentang kesadaran dan perspektif pokok dari seseorang (Moleong, 2014).

Karakteristik Responden

Penelitian ini melibatkan tiga orang laki-laki gay berstatus HIV positif. Rentang usia dari seluruh responden yaitu mulai 26–36 tahun. Dua orang responden berstatus single, sedangkan satu orang responden terikat dalam hubungan berpacaran. Seluruh responden memiliki status HIV positif dengan faktor risiko penularan berasal dari perilaku seksual yaitu berganti-ganti partner seksual. Dua orang responden bekerja di yayasan yang bergerak dalam jangkauan komunitas gay, sedangkan satu orang responden tidak bekerja.

lokasi Pengumpulan Data

Pengambilan data dalam penelitian, khususnya yang melibatkan tiga responden yang berdomisili di Bali dilakukan di daerah seputaran Denpasar, Bali. Peneliti memilih responden yang berdomisili di Denpasar karena jumlah orang dengan HIV positif dengan jenis kelamin laki-laki memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Bali (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015). Pengambilan data pada ketiga responden dilakukan di lokasi yang berdekatan dengan tempat tinggal responden dan telah disepakati oleh responden dan peneliti.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yakni wawancara, observasi dan photovoice. Pelaksanaan wawancara menggunakan panduan wawancara (guideline wawancara), pelaksanaan observasi dilakukan deskriptif selama wawancara berlangsung melalui pengamatan dan pencatatan terhadap respon nonverbal responden dalam menanggapi pertanyaan yang diajukan. Dan pelaksanaan

photovoice menggunakan kuesioner dengan teknik SHOWed. Hasil wawancara dibuat dalam bentuk verbatim, sedangkan hasil observasi dibuat dalam bentuk fieldnote.

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik theoretical coding yang terdiri terdiri atas tiga tahap, yaitu open coding, axial coding, dan selective coding (Strauss & Corbin, 2013). Proses open coding merupakan awal dari proses analisis data. Proses ini dilakukan dengan cara pemberian kode-kode pada seluruh teks, baik yang berasal dari verbatim wawancara, maupun fieldnote kemudian dikelompokkan ke dalam kategori yang sama dan ditandai dengan kode tertentu (Strauss & Corbin, 2013). Proses axial coding adalah proses menghubungkan subkategori dengan sebuah kategori dalam suatu hubungan yang menunjukan kondisi kausal, fenomena, konteks, kondisi perantara, strategi tindakan/interaksional, dan konsekuensi (Strauss & Corbin, 2013). Berdasarkan hasil coding dari proses sebelumnya, dilakukan selective coding dengan membuat storyline atau deskripsi berbentuk narasi dari skema temuan hasil penelitian yang telah dibuat pada axial coding sesuai dengan pertanyaan penelitian.

Teknik pemantapan kredibilitas data penelitian

Terdapat beberapa macam cara pengujian kredibilitas data antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi data, analisa kasus negatif, dan menggunakan bahan referensi (Sugiyono, 2014). Teknik pengujian kredibilitas yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, teknik triangulasi data, dan penggunaan bahan referensi.

Isu etika penelitian

Penelitian ini melibatkan gay yang berstatus HIV positif, sehingga wajib menjaga kerahasiaan data responden dengan tidak mencantumkan nama responden. Aspek kerahasiaan dapat menciptakan rasa kepercayaan dan keamanan pada diri responden. Ketika proses penelitian telah berakhir, hasil penelitian dapat diberikan kepada responden ataupun pihak institusi jika dibutuhkan.

HASIL PENELITIAN

Proses penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif terdiri dari dua fase, yaitu Fase I dan Fase II. Kedua fase tersebut masing-masing dibuat dalam bentuk bagan paradigma model. Paradigma Model Fasel I terdiri dari faktor risiko, pemaknaan status HIV positif, hal yang mendukung penerimaan diri fase I, perilaku mencapai penerimaan diri fase I dan kondisi penerimaan diri fase I. Paradigma Model Fasel II terdiri dari hal yang menghambat penerimaan diri, hal yang

mendukung penerimaan diri, perilaku mencapai penerimaan diri fase II dan kondisi penerimaan diri fase II. Hasil paradigma model tersebut lalu digabung dan dibuat dalam bentuk kurva temuan hasil proses penerimaan diri pada gay

yang berstatus HIV positif.

  • 1.    Deskripsi Data Penelitian

Faktor risiko penularan HIV pada gay adalah perilaku seksual yang berisiko. Perilaku seksual dari ketiga responden memiliki kesamaan yaitu berganti-ganti partner seksual dan berhubungan seksual tidak hanya dengan satu orang. Saat berhubungan seksual, responden juga jarang menggunakan kondom.

  • 2.    Pemaknaan Status HIV Positif

Setelah mengetahui status HIV positif, pemaknaan gay terhadap status HIV positif dibagi menjadi tiga bagian yaitu, respon awal, respon emosi dan respon kognitif. Ketika hasil tes HIV menunjukkan hasil yang reaktif, respon pertama kali muncul pada gay adalah tercengang, kaget dan menangis. Respon tersebut berlangsung tidak lebih dari satu bulan. Setelah mengetahui hasil tes HIV positif, respon emosi oleh ketiga responden, yaitu down dan sedih. Selain merasa down dan sedih, ketiga responden juga merasa stress, terpuruk dan hancur ketika mengetahui hasil tes HIV positif. Hal yang dirasakan oleh gay tersebut diikuti dengan respon kognitif yang mengacu kepada penolakan terhadap hasil tes HIV positif. Respon kognitif tersebut yaitu, tidak percaya hasil tes HIV positif, tidak percaya bahwa orang yang hidup dengan status HIV positif dapat hidup dengan sehat. Selain adanya penolakan terhadap hasil tes, salah satu responden juga sempat memiliki keinginan untuk mencelakakan diri. Keinginan tersebut muncul di awal responden mengetahui status HIV positif.

Keinginan untuk mencelakakan diri tersebut diikuti dengan ketakutan-ketakutan terhadap status HIV seperti, takut kehilangan orang-orang terdekat, tidak memiliki keturunan, tidak memiliki masa depan, tidak berguna, tidak diterima saat meninggal, dan mendapatkan diskriminasi dan stigma. Menurut ketiga responden, masyarakat masih menganggap HIV adalah penyakit mematikan dan ODHA adalah orang

yang kotor, tidak berdaya dan masyarakat cenderung masih membedakan.

Tidak hanya ketakutan akan stigma, ketiga responden juga memiliki ketakutan yang sama akan kematian setelah

mengetahui status HIV positif.

Bugi ODtIA Iwl yang ditakuti adalah krmatιan dalam kondisi Hdak baik. (E.26 tahun)

<>ιmbur 3 Dulum Ciulitu

Pertanyaan tentang keberadaan orang lain yang memiliki status HIV positif dan mengapa bisa tertular HIV juga tak luput dari pikiran gay terhadap status HIV. Pertanyaan tersebut muncul di awal-awal setelah mengetahui status HIV. Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut, hal yang muncul di pikiran gay adalah adanya kekecewaan dan penyesalan terhadap diri sendiri. Kecewa karena tidak bisa membentengi diri sendiri dan menyesal karena selama ini jarang menggunakan kondom saat berhubungan seksual.

  • 3.    Hal yang Mendukung Penerimaan Diri Fase I

Perilaku untuk mencapai penerimaan diri terhadap status HIV positif pada gay didukung oleh beberapa hal. Hal pertama yang mendukung penerimaan diri pada gay terhadap status HIV positif adalah melihat orang lain yang memiliki kondisi dan status yang sama dengan diri sendiri masih sehat. Kedua adalah adanya dukungan dari orang-orang terdekat responden seperti, teman-teman dari Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), konselor, keluarga dan pasangan. Adapun dukungan yang diberikan oleh orang-orang terdekat responden meliputi mendampingi responden ketika responden merasa terpuruk dan down, memberi semangat, selalu mengingatkan untuk hidup sehat dan satu sama lain saling mengingatkan dengan teman yang memiliki kondisi yang sama. Hal ketiga yang mendukung gay untuk mencapai penerimaan diri terhadap status HIV positif adalah adanya kesadaran dari diri sendiri bahwa status HIV positif yang dimiliki saat ini merupakan hasil dari perilaku seksual yang berisiko dan tidak aman.

  • 4.    Perilaku Mencapai Penerimaan Diri Fase 1

Adanya hal-hal yang mendukung mencapai penerimaan diri tersebut menghasilkan perilaku mencapai

penerimaan diri pada gay terhadap status HIV positif. Adapun perilaku yang ditunjukkan oleh gay adalah memberitahu orang-orang terdekat responden, seperti pasangan dan keluarga, melakukan konseling dengan konselor. Tidak hanya melakukan konseling, responden juga melakukan kontak dengan konselor di luar sesi konseling. Selain mencari informasi tentang HIV pada konselor, responden juga mencari informasi di internet, buku, maupun brosur-brosur yang tersedia di layanan ketika melakukan konseling.

Setelah mendapatkan informasi yang cukup tentang HIV dari berbagai sumber, hal yang dilakukan selanjutnya adalah mengubah kebiasaan yang dilakukan sebelum mengetahui status HIV positif seperti mengurangi aktifitas kumpul bersama teman dan keluar malam untuk dugem atau minum minuman beralkohol. Hal itu dilakukan karena dapat memengaruhi kesehatan dan terapi. Adanya kesadaran akan perilaku seksual yang berisiko membuat gay yang memiliki status HIV positif lebih memikirkan berhubungan seksual dengan banyak orang, merubah kebiasaan perilaku seksual, yang awalnya jarang menggunakan kondom menjadi selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual.

  • 5.    Kondisi Penerimaan Diri Fase 1

Perilaku yang ditunjukkan oleh gay terhadap status HIV positif tersebut membuat pemaknaan terhadap status HIV positif oleh gay menjadi berubah. Pemaknaan terhadap status HIV yang awalnya menunjukkan penolakan, setelah adanya dukungan dari orang-orang terdekat, mengidentifikasi orang lain dengan kondisi yang sama serta adanya kesadaran dari diri terkait perilaku seksual yang berisiko, membuat gay memaknai status HIV positifnya menjadi lebih menerima dan dapat berdamai dengan kenyataan.

  • 6.    Hal yang Menghambat Penerimaan Diri

Pada proses penerimaan diri pada gay terhadap status HIV positif, dalam prosesnya terdapat beberapa hal yang dapat menghambat penerimaan diri. Adapun hal-hal yang menghambat penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif yaitu adanya pengalaman efek samping setelah menjalani terapi ARV. Efek samping ini terjadi saat awal memulai terapi ARV. Selain mendapatkan efek samping terapi, hal yang dapat menghambat penerimaan diri pada gay

adalah adanya pengalaman penolakan. Pengalaman penolakan tersebut berasal dari diri responden maupun dari lingkungan responden. Pengalaman penolakan tersebut yakni, mengalami penurunan kondisi tubuh secara tiba-tiba, terbatasnya lapangan pekerjaan yang dapat menerima ODHA dan adanya pengalaman stigma dari orangtua teman terhadap status HIV positif responden.

  • 7.    Hal-Hal yang Mendukung Penerimaan Diri Fase II

Adanya hal-hal yang mendukung penerimaan diri ketika mendapatkan pengalaman yang dapat menghambat penerimaan diri membuat perilaku mencapai penerimaan diri muncul kembali. Adapun hal-hal yang mendukung penerimaan diri tersebut, yaitu adanya dukungan dari orangorang terdekat, seperti konselor, pendamping, keluarga, pasangan, dan teman-teman. Hal-hal yang dilakukan orangorang terdekat responden ketika responden mendapatkan efek samping yaitu menguatkan dan menyemangati untuk minum obat, membantu dan mensupport saat mengalami efek samping, saling mengingatkan minum obat dengan teman-teman yang memiliki kondisi yang sama.

Selain adanya dukungan dari orang-orang terdekat, hal yang dapat mendukung penerimaan diri pada gay terhadap status HIV positif adalah adanya keinginan untuk sehat dan kesadaran bahwa hanya dengan menjalani terapi tersebut yang dapat meningkatkan kesehatan.

Soar ini hanya obat ARV yang dapat Htengkambat pertumbuhan virus yang terdapat pada dm saya, adapun herbal yang banyak di jual bebas bagi saya itu hanya penyerta atau vitamin yang dapat HtpnuTtrkritkfirt kekrhnian tubuh fDD 16 Ijrfttinl

Gambar 5. AKV Meningkatkan Kesehatan

  • 8.    Perilaku Mencapai Penerimaan Diri Fase 2

Ketika gay yang berstatus HIV positif mendapatkan hal-hal yang mendukung penerimaan diri akan menghasilkan perilaku mencapai penerimaan diri, walaupun adanya pengalaman yang dapat menghambat penerimaan diri gay terhadap status HIV positif. Perilaku mencapai penerimaan diri yang ditunjukkan dengan rutin menjalani terapi, menjalani pengobatan yang ada, menjaga kesehatan dengan melakukan pengecekan CD4 tiga bulan sekali, lebih memikirkan pola makan dan menjalani hidup sehat. Salah satu responden menjalani terapi bersama dengan pasangannya. Selain dengan pasangan, responden lain mengaku bahwa dirinya dan teman-teman KDS saling mengingatkan untuk minum obat. Hal ini membantu responden dalam menjalani terapi.

  • 9.    Kondisi Penerimaan Diri Fase 2

Perilaku yang ditunjukkan oleh gay terhadap status HIV positif pada fase 2 tersebut membuat pemaknaan terhadap status HIV positif oleh gay menjadi lebih positif.

Kondisi penerimaan diri ketiga responden adalah menerima keadaan saat ini terkait status HIV positif, berdamai dengan kenyataan, bersyukur dan ikhlas dengan status HIV positif. Adanya perasaan tenang dan tidak khawatir terkait status HIV positif, tenang karena tahu apa yang dilakukan dan tidak khawatir dengan masa depan karena fasilitas yang disediakan oleh pemerintah cukup lengkap.

Adanya perasaan tenang dan tidak khawatir tersebut membuat gay yang berstatus HIV positif mau berbagi pengalaman dengan ODHA lainnya, seperti membuka status pada klien atau pasien yang ditangani, membentuk kelompok sebaya dengan kondisi yang sama dengan responden, menjadi narasumber dalam kelompok sebaya dan menjadi relawan di LSM.

Dari hasil yang dipaparkan diatas, proses penerimaan diri pada gay terhadap status HIV positif berjalan seiring dengan tahun pengobatan yang dijalani. Pada saat awal mengetahui status HIV positif, reaksi pada gay adalah adanya penolakan terhadap status HIV positif. Reaksi penolakan tersebut seperti tidak percaya hasil tes, diikuti dengan perasaan down, terpuruk, sedih, putus asa dan stress. Menuju tahun pertama setelah mengetahui status HIV positif, gay mengalami fase kekecewaan dan penyesalan terhadap diri terkait status HIV positif. Penerimaan terhadap status HIV positif pada gay perlahan muncul pada tahun pertama awal. Tahun pertama menuju tahun kedua setelah mengetahui status HIV positif, gay mendapatkan pengalaman negatif saat awal menjalani terapi yaitu mendapatkan efek samping obat ARV. Efek samping tersebut membuat gay yang berstatus HIV positif merasa down, sedih dan putus asa lagi.

Ketika ada hal-hal yang dapat mendukung untuk mencapai penerimaan diri, maka gay yang berstatus HIV positif akan mengembangkan perilaku untuk mencapai penerimaan diri. Hal-hal tersebut yaitu, adanya dukungan dari orang-orang terdekat seperti keluarga, pasangan, teman dan konselor, melihat orang lain dengan kondisi yang sama tapi memiliki kondisi yang sehat, serta adanya kesadaran perilaku seksual yang dilakukan berisiko. Selama proses mencapai penerimaan diri tidak selalu berjalan dengan mudah bagi gay

yang berstatus HIV positif. Ada kondisi-kodisi yang membuat gay merasa down kembali, seperti pengalaman negatif yang terjadi pada tahun ketiga hingga kelima setelah mengetahui status HIV positif antara lain, terbatasnya lapangan pekerjaan yang menerima ODHA, mendapatkan pengalaman stigma dari orangtua teman serta penurunan kondisi tubuh secara tiba-tiba. Adanya pengalaman negatif terkait status HIV positif tersebut membuat kembali mengalami down.

Ketika kondisi-kondisi yang membuat gay yang berstatus HIV positif merasa down kembali muncul, diperlukan lagi hal-hal yang dapat mendukung gay yang berstatus HIV positif untuk mencapai penerimaan diri. Adanya dukungan dari orang-orang terdekat, seperti keluarga, pasangan, teman maupun konselor yang mendampingi serta keinginan untuk menjalani hidup membuat gay yang berstatus HIV positif dapat menjadi penguat untuk gay yang berstatus HIV positif dapat mengembangkan perilaku mencapai penerimaan diri, sehingga gay dapat menerima dirinya dengan status HIV positif sampai dan pada kondisi ia bersahabat dengan kondisi dan status HIV positif. Kondisi bersahabat pada gay dengan status HIV positifnya ditunjukkan dengan perasaan bersyukur, ikhlas, tenang dan dapat berbagi pengalaman terkait HIV yang dimiliki gay kepada ODHA lainnya ataupun kepada orang lain yang tidak berstatus HIV positif. Berdasarkan hasil yang didapat dalam penelitian ini maka dapat digambarkan dalam bentuk kurva berikut. Kurva temuan hasil penelitian ini merupakan hasil dari peneliti mengintegrasikan data hasil dari wawancara dengan ketiga responden. Wawancara dilakukan kepada ketiga responden dengan bantuan kurva pada masing-masing responden. Setelah dikonfirmasi kepada ketiga responden, kurva tersebut lalu digabungkan menjadi satu sesuai dengan tahun mengetahui status HIV positif. Berdasarkan hal tersebut maka didapat berupa kurva temuan hasil proses penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif berikut:

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa proses penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif berjalan seiring pengobatan yang dijalani. Proses

penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif dibagi menjadi dua fase, yaitu Fase I (setelah mengetahui status HIV positif namun belum menjalani terapi) dan Fase II (setelah mengetahui status HIV positif dan sudah menjalani terapi).

  • 1.    Fase I : Setelah Mengetahui Status HIV Positif dan Sebelum Menjalani Terapi ARV (Tahun ke-01)

Fase I adalah fase dimana gay baru mengetahui hasil tes HIV positif. Reaksi awal yang ditunjukkan gay saat mengetahui hasil tes HIV positif adalah adanya penolakan terhadap status HIV positif. Gay tidak percaya terhadap hasil tes HIV dan tidak percaya bahwa orang yang berstatus HIV positif dapat hidup sehat. Penolakan terhadap status HIV positif tersebut disertai dengan respon perilaku seperti tercengang, kaget dan menangis. Penolakan terhadap status HIV positif tidak hanya dilakukan oleh gay tetapi juga pada populasi lainnya. Yunita (2016) menyatakan bahwa pada populasi Ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif, reaksi awal yang ditunjukkan adalah melakukan mekanisme penolakan terhadap hasil tes yang diekspresikan dalam bentuk respon kognitif yang ditunjukkan dengan kepercayaan bahwa hasil tes adalah negatif disertai dengan respon shock, pikiran tidak percaya dan pikiran tentang kematian.

Penolakan terhadap kondisi yang dialami merupakan hal yang umum dilakukan oleh kebanyakan orang yang mengalami penyakit terminal (Hackett & Weisman, dalam Sarafino, 2011). Reaksi awal yang ditunjukkan oleh gay terhadap status HIV positif tersebut sejalan dengan tahap penolakan (Denial) dalam tahap-tahap seseorang menghadapi kondisi grieving oleh Kübler-Ross (1998). Pada tahap penolakan, seseorang akan cenderung menolak segala fakta, informasi dan realita yang berhubungan dengan situasi yang sedang terjadi. Menurut Kübler-Ross (dalam Sarafino, 2011) penolakan terhadap kondisi yang dialami akan segera memudar pada kebanyakan orang dan digantikan oleh amarah.Hal yang dirasakan ketika mengetahui status HIV positif pada gay adalah down, sedih, terpuruk, hancur dan stress. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rifani (2016) yang menyatakan bahwa emosi yang muncul pertama kali pada orang yang hidup dengan HIV-AIDS (ODHA) saat positif terinfeksi HIV dan AIDS adalah emosi sedih, takut dan marah. Hal yang dirasakan gay setelah mengetahui status HIV positif tersebut dipicu oleh adanya ketakutan-ketakutan yang dipikirkan oleh gay terhadap status HIV positifnya. Ketakutan-ketakutan tersebut antara lain, takut meninggal, takut kehilangan orang-orang terdekat, takut adanya penolakan dari masyarakat, takut tidak berguna serta takut tidak memiliki masa depan dan keturunan.

Setelah adanya penolakan terhadap situasi yang terjadi, gay yang berstatus HIV positif mengembangkan emosi-emosi negatif. Emosi negatif tersebut cenderung diekspresikan kepada diri sendiri, seperti rasa kecewa karena bisa terkena HIV dan kecewa terhadap diri sendiri karena tidak bisa membentengi diri. Kekecewaan yang dialami oleh gay tersebut muncul menggantikan penolakan terhadap status yang dilakukan oleh gay. Kekecewaan terhadap diri sendiri juga didapat dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari & Hayati (2015) yang menyatakan bahwa salah satu respon pertama kali responden penelitiannya yang muncul ketika mengetahui status HIV adalah sedih dan kecewa pada diri sendiri. Kekecewaan yang dirasakan oleh gay yang berstatus HIV positif tersebut sejalan dengan tahap kemarahan (anger) dalam tahap-tahap seseorang menghadapi kondisi grieving oleh Kübler-Ross (1998).

Pada tahap kemarahan (anger) seseorang akan mengembangkan emosi-emosi negatif seperti kemarahan, kebencian ataupun kekecewaan. Emosi-emosi negatif tersebut dapat ditujukan kepada diri sendiri ataupun orang lain (Kübler-Ross, 1998). Kekecewaan yang ditujukan pada diri sendiri tersebut membuat gay yang berstatus HIV positif mengembangkan perasaan penyesalan. Penyesalan yang dirasakan oleh gay terhadap perilaku yang dilakukan sebelum mengetahui status HIV positif, seperti menyesal tidak melakukan hubungan seksual dengan aman, putus asa dengan diri sendiri serta merasa terpuruk dengan status HIV positif yang dimiliki. Penyesalan yang dialami gay yang berstatus HIV positif juga didapat dalam penelitian yang dilakukan oleh Arriza, Dewi, & Kaloeti (2011) menyatakan bahwa kebahagiaan yang dirasakan oleh ODHA tetap tidak lepas dari perasaan cemas dan penyesalan masa lalu.

Menurut Kübler-Ross (1998) adanya penyesalan, rasa putus asa dan terpuruk merupakan tahap depresi (depression) ketika seseorang menghadapi kondisi grieving. Pada gay rasa penyesalan, putus asa dan terpuruk muncul karena adanya kesadaran pada diri sendiri bahwa perilaku seksual yang dilakukan sebelum mengetahui status HIV positif tersebut berisiko. Kübler-Ross (1998) mengatakan bahwa tahap depresi ini merupakan tahap yang penting dalam proses penyembuhan dari menghadapi kesedihan. Adanya depresi juga menjadi hal wajar yang menandakan bahwa individu mulai menerima kenyataan yang ada.

Ketika gay yang berstatus HIV positif berada pada kondisi terpuruk, dibutuhkan hal-hal yang dapat membantu gay untuk bangkit dari keterpurukan dan mencapai penerimaan terhadap status HIV positif. Hal-hal tersebut antara lain adanya dukungan dari orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, pasangan, ataupun praktisi kesehatan. Dukungan yang diberikan oleh orang-orang terdekat gay,

seperti mendampingi ketika merasa terpuruk dan down, memberi semangat untuk hidup, selalu mengingatkan hidup dengan sehat dan saling mengingatkan dengan teman yang memiliki kondisi yang sama. Adanya dukungan sosial yang diberikan oleh orang-orang terdekat gay tersebut membantu gay memunculkan perilaku mencapai penerimaan diri terhadap status HIV positif. Anwar (2016) menyatakan bahwa adanya hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada ODHA. Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi penerimaan diri ODHA.

Selain adanya dukungan sosial, hal yang membuat gay yang berstatus HIV positif perlahan bangkit dari keterpurukan dan mulai menerima status HIV positifnya adalah melihat dan mengidentifikasi orang lain yang memiliki kondisi yang sama dan hidup dengan sehat. Melihat dan mengidentifikasi orang lain yang memiliki kondisi yang sama membuat gay yang awalnya tidak percaya bahwa ODHA dapat hidup dengan sehat, perlahan percaya bahwa tidak selamanya ODHA muncul dengan kondisi sakit dan terpuruk. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1973) bahwa ketika individu mengidentifikasi dirinya dengan orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kondisinya, maka hal tersebut dapat membantu individu untuk membangun sikap positif terhadap diri sendiri dan berperilaku baik yang dapat menimbulkan penilaian diri yang positif.

Adanya kesadaran dari diri sendiri bahwa status HIV positif yang dimiliki saat ini merupakan hasil dari perilaku seksual yang berisiko dan tidak aman merupakan salah satu hal yang membuat gay mulai menerima status HIV positif. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arriza, dkk. (2011), salah satu faktor yang memengaruhi rekonstruksi kebahagiaan pada ODHA adalah adanya kesadaran diri berisiko dan memperbaiki kehidupan. Ketiga hal yang membantu gay bangkit dari perasaan terpuruk terkait status HIV positif tersebut membuat gay mengembangkan perilaku mencapai penerimaan terhadap status HIV positif. Adapun perilaku mencapai penerimaan tersebut yakni, memberitahu orang-orang terdekat gay seperti keluarga dan pasangan. Menurut Galuh & Novani (2015) pentingnya pengungkapan status HIV kepada orang-orang terdekat pada ODHA erat kaitannya dengan sumber informasi yang diperoleh ODHA mengenai status HIV itu sendiri meliputi pengertian, pengobatan, cara penularan dan pencegahan HIV-AIDS, sehingga menyebabkan ODHA mengetahui betapa pentingnya pengungkapan status HIV sebagai tindakan untuk pengobatan dan pencegahan penularan HIV-AIDS.

Selain memberitahu orang-orang terdekat gay, hal yang dilakukan adalah konseling dengan konselor untuk mengurangi rasa terpuruk akan hasil tes HIV positif. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Binarti

& Amar (2013) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan sikap positif bagi pengunjung VCT setelah melakukan koseling. Selain melakukan konseling, gay yang berstatus HIV positif juga mencari informasi tambahan terkait HIV-AIDS di internet, brosur, buku, konselor, maupun dokter. Perilaku mencari informasi mengenai HIV dapat membantu ODHA memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan menjawab ketidakpastian informasi tentang kesehatan (Winata, 2015).

Bertambahnya pemahaman mengenai kondisinya tersebut membuat gay yang berstatus HIV positif mengubah perilaku seksual yang sebelumnya berisiko menjadi lebih aman. Menurut Kübler-Ross (dalam Taylor, 2015), berubahnya perilaku seksual gay yang berstatus HIV positif tersebut merupakan tanda bahwa gay tersebut sedang mencoba untuk melakukan tawar-menawar terhadap dirinya. Diharapkan ketika gay yang berstatus HIV positif tersebut mengubah perilaku seksualnya, mereka akan menjaga kesehatan selama gay tersebut belum mendapatkan obat ARV. Selain mengubah perilaku seksual, gay yang berstatus HIV positif juga mulai berkomitmen untuk bangkit dari rasa putus asa dan terpuruk akibat status HIV positif. Hal ini ditunjukkan dengan mulai merubah perilaku yang dapat memengaruhi kesehatan, seperti mengurangi minum minuman beralkohol dan dugem, lebih memikirkan berhubungan seksual dengan banyak orang, berkomitmen untuk melakukan hubungan seksual secara aman. Adanya komitmen tersebut dikarenakan adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, pasangan dan konselor.

Hal yang dilakukan gay yang berstatus HIV positif tersebut sejalan dengan tahap penerimaan dalam proses grieving oleh Kübler-Ross (1998). Pada tahap ini individu juga mengembangkan strategi yang tepat untuk menghadapi situasi yang terjadi. Strategi yang dilakukan oleh gay adalah dengan melakukan konseling dengan konselor, mencari informasi tentang HIV di internet, buku, brosur, konselor maupun dokter. Strategi yang dilakukan oleh gay serta diperkuat dengan adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat membuat pemaknaan pada gay terhadap status HIV berubah menjadi positif.

  • 2.    Fase II : Setelah Menjalani Terapi (Tahun ke-1-8)

Setelah gay mulai menerima status HIV positif, perlahan perilaku untuk mencapai penerimaan diri semakin berkembang. Pemaknaan terhadap status HIV positif juga berubah kearah yang lebih positif. Satu tahun setelah mengetahui status HIV positif, gay baru mulai menjalani terapi. Selama menjalani terapi, gay mendapatkan pengalaman negatif yang membuat gay merasa sedih dan sempat memiliki keinginan untuk putus obat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Shintawati (2014) efek samping obat yang

dialami orang dengan HIV positif dapat menghambat ODHA menjalani terapi ARV.

Ketika gay yang berstatus HIV positif mendapat efek samping obat, diperlukan kembali hal-hal yang dapat membantu gay bangkit dari rasa sedih terkait status HIV positif. Hal ini dilakukan agar efek samping obat tersebut tidak menjadi penghambat gay dalam menjalani terapi. Adanya dukungan sosial dari teman, keluarga, pasangan dan konselor membuat gay yang berstatus HIV positif tersebut bangkit kembali. Dukungan sosial yang diberikan antara lain, konselor memberi semangat untuk tetap menjalani terapi, keluarga dan pasangan membantu saat proses efek samping obat terjadi, dan saling menguatkan dan mengingatkan dengan teman yang memiliki kondisi yang sama.

Dukungan sosial yang diberikan oleh orang-orang terdekat gay tersebut membantu gay tetap menjalani terapi walaupun mendapatkan efek samping obat. Menurut Yuniar, Handayani & Aryastami (2013) faktor yang mendukung kepatuhan orang yang berstatus HIV positif dalam minum obat ARV adalah adanya dukungan keluarga, rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap anak, keinginan menikah, dukungan teman-teman di KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), LSM dan dari tokoh agama serta hubungan baik dengan tenaga kesehatan.

Selain adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat gay, adanya keinginan untuk sehat dan hidup lebih lama membuat gay yang berstatus HIV positif tetap melanjutkan terapi dan dapat bangkit dari perasaan sedih karena efek samping obat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Noerliani, Sudaryani & Istikomah (2016) yang menyatakan bahwa adanya motivasi keinginan untuk sehat dan keinginan untuk hidup lebih lama merupakan faktor internal yang mendukung orang yang hidup dengan HIV positif untuk patuh menjalani terapi ARV. Ketika gay yang berstatus HIV positif mendapatkan efek samping obat, hal yang dilakukan gay adalah melakukan konseling kembali untuk mengurangi perasaan sedih karena efek samping obat dan untuk menambah pemahaman terkait efek samping obat. Adanya pemahaman yang lebih baik daripada sebelumnya membuat gay yang berstatus HIV positif tetap menjalani terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Martoni, Arifin, & Raveinal (2013) menyatakan bahwa pengetahuan tentang terapi ARV merupakan faktor yang paling kuat dalam memengaruhi kepatuhan terapi ARV. Konseling sangat diperlukan untuk memberikan pengetahuan terhadap ODHA dan penerimaan pasien terhadap sakitnya. Pengetahuan itu meliputi pengertian tentang terapi ARV, kepatuhan terapi, efek samping yang mungkin terjadi serta lama pengobatan.

Adanya pemahaman yang lebih mendalam setelah melakukan konseling membuat gay yang berstatus HIV positif menghindari hal-hal yang dapat memengaruhi jalannya terapi seperti dugem dan minum dan mengurangi kumpul-kumpul bersama teman hingga larut malam. Penghindaran yang dilakukan oleh gay tersebut merupakan salah satu cara untuk gay menjaga kondisi kesehatannya selama menjalani terapi. Penghindaran tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Reed (dalam Taylor, 2009). Reed mengatakan bahwa penghindaran merupakan salah satu strategi coping pada gay dan orang yang hidup dengan AIDS. Penghindaran ini dilakukan untuk mengalihkan fokus pikiran pasien, yang awalnya fokus pada kondisi AIDS dialihkan pada fokus lainnya. Hal ini juga yang dilakukan gay yang berstatus HIV positif. Menghindari hal-hal yang dapat memengaruhi jalannya terapi dan dapat memperburuk kondisi kesehatan dan melakukan hal-hal yang dapat mendukung kondisi kesehatan, seperti menjaga pola makan, hidup sehat, dan lebih memilih makanan.

Penghindaran yang dilakukan oleh gay yang berstatus HIV positif tersebut sejalan dengan tahap pengindaran (aversion) dalam proses penerimaan diri oleh Germer (2009). Penghindaran dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti pertahanan, perlawanan ataupun perenungan (Germer,2009). Setelah mendapatkan pengetahuan dari sesi konseling dan efek samping obat tidak dirasakan kembali, hal yang dilakukan gay yang berstatus HIV positif adalah menjalani pengobatan yang ada. Pemahaman yang didapat oleh konselor saat mengalami efek samping dan adanya dukungan dari orang-orang terdekat membuat gay yang berstatus HIV positif menjalani terapi dan pengobatan yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiharti, Yuniar, & Lestary (2014) mengatakan bahwa dukungan sosial dari keluarga, teman dan tenaga kesehatan memberikan pengaruh penting terhadap kepatuhan ODHA dalam minum ARV.

Adanya kesadaran bahwa hanya dengan menjalani pengobatan tersebut yang dapat meningkatkan kesehatan dan keinginan untuk melanjutkan hidup, membuat gay menjalani terapi, menjaga pola hidup sehat, dan melakukan pengecekan CD4 tiga bulan sekali. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Noerliani, dkk. (2016) menyatakan bahwa faktor internal yang mendukung kepatuhan minum obat pada ODHA selain adanya motivasi keinginan untuk sehat dan keinginan untuk hidup lebih lama adalah menganggap ARV sebagai kebutuhan pokok dan vitamin dan adanya kesadaran yang tinggi akan fungsi dan manfaat dari ARV. Hal yang dilakukan oleh gay yang berstatus HIV positif tersebut sejalan dengan tahap toleransi dalam proses penerimaan diri oleh Germer (2009). Pada tahap ini, walaupun gay mendapatkan efek samping obat, tetapi dapat bertahan dan mentolerir kondisi tubuh akibat efek samping dan tidak putus obat.

Selama proses mencapai penerimaan diri tidak selalu berjalan dengan mudah bagi gay yang berstatus HIV positif. Ada kondisi-kodisi yang membuat gay merasa down kembali, seperti pengalaman negatif yang terjadi pada tahun ketiga hingga kelima setelah mengetahui status HIV positif. Pengalaman negatif yang dialami gay tersebut antara lain, terbatasnya lapangan pekerjaan yang menerima ODHA, mendapatkan pengalaman stigma dari orangtua teman serta penurunan kondisi tubuh secara tiba-tiba. Adanya pengalaman negatif terkait status HIV positif tersebut membuat gay yang sudah mulai menerima kondisinya, kembali mengalami down. Hal ini sejalan dengan stadium klinis HIV-AIDS, pada tahun ketiga hingga kelima jumlah CD4 dalam tubuh individu yang berstatus HIV positif mengalami penurunan. Penurunan jumlah CD4 tersebut menimbulkan kondisi tubuh individu yang berstatus HIV positif rentan mengalami penyakit lain.

Selain adanya penurunan kondisi tubuh, faktor psikologis yang membuat gay mengalami down kembali adalah adanya pengalaman penolakan baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Pengalaman penolakan yang dialami gay tersebut menimbulkan stigma terhadap diri sendiri (selfstigma). Stigma terhadap diri sendiri muncul karena adanya pengalaman penolakan terkait status HIV positif. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa pada tahun ketiga hingga kelima merupakan tahun kritis bagi gay yang berstatus HIV positif dalam proses mencapai penerimaan diri.

Ketika gay yang berstatus HIV positif berada pada tahun kritis tersebut, perlu adanya hal yang membantu gay untuk tidak berlarut dalam kesedihan akibat pengalaman negatif. Perlunya dukungan sosial dari orang-orang terdekat kembali untuk membantu gay yang berstatus HIV positif dapat menjalani kehidupannya. Menurut Broman (dalam Taylor, 2009) dukungan sosial akan efektif dalam mengatasi tekanan psikologis pada masa-masa sulit dan menekan. Adanya dukungan sosial yang diberikan orang terdekat tersebut juga membantu gay yang berstatus HIV positif tetap menjalani terapi ARV, sehingga membuat virus HIV yang ada di dalam tubuh gay yang berstatus HIV positif tidak berkembang menjadi fase AIDS.

Dukungan sosial yang diberikan oleh orang-orang terdekat gay ketika mengalami pengalaman penolakan tersebut juga membuat gay memperkenankan kesedihan yang dirasakan akibat pengalaman penolakan tersebut tanpa mengganggu proses jalannya terapi. Hal ini sejalan dengan tahap memperkenankan (allowing) pada proses penerimaan diri oleh Germer (2009). Pada tahap memperkenankan (allowing), individu akan memperkenankan perasaan yang tidak nyaman untuk datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka memperkenankan perasaan itu mengalir. Gay

secara terbuka memperkenankan hal yang dirasakan tersebut dan bertahan tanpa mengganggu proses jalannya terapi.

Adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat gay membuat gay yang berstatus HIV positif tetap mengembangkan perilaku mencapai penerimaan diri meskipun mendapatkan pengalaman penolakan terkait status HIV positif. Adapun perilaku mencapai penerimaan diri yang dikembangkan yaitu rutin menjalani terapi, menjaga kesehatan dengan cara memikirkan pola makan sehat, melakukan pengecekan CD4 tiga bulan sekali, menjalani pengobatan yang ada dan saling mengingatkan untuk minum obat dengan teman yang memiliki kondisi yang sama. Seiring berjalannya waktu, gay yang berstatus HIV positif perlahan mulai menerima status HIV positif dan berdamai dengan kenyataan saat ini. Selain itu gay yang berstatus HIV positif juga bersyukur, ikhlas dan tenang atas kondisi yang dialami. Hal ini sejalan dengan tahap persahabatan (friendship) oleh Germer (2009) yang menyatakan bahwa ketika individu mencapai penerimaan diri terhadap kondisi yang dialami, tidak hanya bangkit dari perasaan tidak menyenangkan tetapi individu juga mencoba untuk memberi penilaian atas permasalahan dan situasi yang dihadapi individu. Individu melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit menimpanya.

Gay yang berstatus HIV positif bersyukur dan ikhlas atas kondisi yang dialami saat ini karena, gay dapat membenahi perilaku yang dilakukan sebelum mengetahui status HIV positif dan dapat lebih waspada dengan kesehatan tubuh. Tenang atas kondisi yang dialami saat ini karena sudah semakin lengkap fasilitas yang diberikan pemerintah, terutama untuk fasilitas kesehatan ODHA. Perasaan bersyukur, ikhlas dan tenang tersebut membuat gay mau berbagi pengalaman dengan ODHA lainnya, seperti membuka status pada klien atau pasien yang ditangani, membentuk kelompok sebaya dengan kondisi yang sama dengan responden, menjadi narasumber dalam kelompok sebaya, dan menjadi relawan di LSM. Tidak hanya menjadi narasumber pada kelompok ODHA, salah satu responden pernah berbagi pengalamannya menjadi ODHA di salah satu sekolah di Denpasar.

Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa proses penerimaan diri pada gay yang mengidap HIV positif berjalan seiring dengan tahun pengobatan yang dijalani. Proses penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif dibagi menjadi dua fase, yaitu Fase I (setelah mengetahui status HIV positif namun belum menjalani terapi) dan Fase II (Setelah mengetahui status HIV positif dan sudah menjalani terapi). Proses yang dilalui oleh gay yang berstatus HIV positif pada Fase I antara lain, penolakan terhadap status HIV, kekecewaan dan penyesalan terhadap diri, dan penerimaan status HIV. Proses yang dilalui oleh gay yang berstatus HIV positif pada Fase II antara lain,

adanya kondisi menurun akibat efek samping obat, penerimaan kembali status HIV setelah terapi, adanya pengalaman penolakan terkait status HIV positif, kondisi memperkenankan dan kondisi bersahabat dengan status HIV positif.

Faktor-faktor yang mendukung gay yang berstatus HIV positif untuk mencapai penerimaan diri dibagi berdasarkan Fase I dan Fase II. Pada Fase I yang menjadi faktor pendukung gay yang berstatus HIV positif untuk mencapai penerimaan diri, antara lain adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat, adanya kesadaran perilaku berisiko HIV positif dan dengan mengidentifikasi orang lain yang memiliki kondisi yang sama dan masih hidup sehat. Pada Fase II yang menjadi faktor pendukung gay yang berstatus HIV positif untuk mencapai penerimaan diri, antara lain adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat, keinginan untuk sehat dan hidup lebih lama, adanya kesadaran dan pemahaman pentingnya ARV, tetap menjalani terapi ARV, sudah dapat menerima dan berdamai dengan status HIV, bersyukur dan ikhlas serta tenang dengan kondisi saat ini.

Terdapat sejumlah saran yang diajukan dalam penelitian ini. Saran untuk gay yang berstatus HIV positif adalah mengantisipasi hal-hal yang dapat menghambat gay mencapai penerimaan diri dengan menambah pemahaman terkait HIV terutama mengenai efek samping terapi ARV dan mengikuti pelatihan yang dapat menurunkan stigma terhadap diri sendiri, sehingga nantinya dapat membantu gay yang berstatus HIV positif dalam menjalani terapi ARV dengan baik. Saran untuk orang terdekat gay ialah dapat mempertahankan dukungan sosial yang diberikan, sehingga gay dapat mempertahankan penerimaan diri dan mecapai kesejahteraan psikologis. Saran untuk masyarakat umum adalah diharapkan mampu menjadi cerminan bagi masyarakat dalam melihat proses penerimaan diri gay yang mengidap HIV positif, hambatan-hambatan yang dilalui, serta hal-hal apa saja yang dapat mendukung penerimaan diri pada gay yang mengidap HIV positif, sehingga dengan demikian dapat mengurangi prasangka buruk dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelompok gay yang mengidap HIV.

Saran untuk praktisi kesehatan dan pemerintah adalah diharapkan dapat mengembangkan intervensi, baik secara fisik terkait jumlah CD4 dan virus dalam tubuh maupun psikologis terkait dengan pengalaman-pengalaman negatif yang didapat gay yang berstatus HIV positif. Diharapkan nantinya, ketika berhadapan dengan gay yang berstatus HIV positif dapat memberikan intervensi seperti psikoedukasi mengenai terapi ARV, psikoedukasi mengenai cara berhadapan dengan stigma dan penolakan serta psikoedukasi kepada masyarakat sekitar mengenai HIV-AIDS dan stigma. Saran bagi peneliti selanjutnya ialah diharapkan dapat menambah responden

penelitian sehingga hasil dari penelitian dapat digunakan untuk pengembangan teori mengenai proses penerimaan diri pada gay yang berstatus HIV positif yang berguna dalam pengembangan intervensi-intervensi untuk individu yang berstatus HIV positif, khususnya berorientasi seksual gay.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2015). Memotret kondisi kesehatan Indonesia. Nasional Sindo          News.          Diunduh          dari

http://nasional.sindonews.com/read/1062428/18/memotret-kondisi-kesehatan-indonesia-1447790073 2 Maret 2016.

Agweda, T.O. & Dibua, V. A. (2010). The impact of stigmatization on the acceptance and care for people living with HIV-AIDS (PLWHA) in the society: a case study of civil servants in Auchi. Journal Social , 129-134.

Anwar, F. F. (2016). Pengaruh dukungan sosial terhadap penerimaan diri ODHA di Kota Banjarmasin. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Antasari Banjarmasin. Kalimantan Selatan.

Arriza, B. K., Dewi, E. K., Kaloeti, D. V. S. (2011). Memahami rekonstruksi kebahagiaan pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Jurnal Psikologi Undip Vol. 10 No. 2 , 153-162.

Atwater, E. (1983). Psychology of adjustment second edition. United States of America: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs.

Binarti, D. W. & Amar, A. (2013). Pengaruh konseling terhadap sikap klien VCT tentang HIV-AIDS di Puskesmas Mentikan Kota Mojokerto. Jurnal Penelitian Kesehatan Vol. 4 No. 1 , 152-166.

Burhan, F. R., Fourianalistyawati, E. & Zuhroni. (2014). Gambaran kebermaknaan hidup Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) serta tinjauannya menurut Islam. Jurnal Psikogenesis Vol. 2 No. 2 , 110-122.

Chaplin, J. (2015). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2015). Analisis situasi epidemiologi HIV-AIDS. Denpasar.

Djoerban, Z. D. (2014). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi vi. Jakarta: Interna Publishing.

Fields, E. L. (2009). Racial identity, masculinity, and homosexuality in the lives of young black men who have sex with men : implication for HIV risk. United State: Proquest.

Fizriyani, W. (2016). SGRC UI: Kami bukan komunitas LGBT.

Republika.com.              Diunduh              dari

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/ 22/o1c80r282-sgrc-ui-kami-bukan-komunitas-lgbt 15 Maret 2016.

Fri. (2016). 4 Alasan untuk menolak LGBT, ini penjelasannya. jpnn.com. Diunduh dari m.jpnn.com/news/4-alasan-untuk-menolak-lgbt-ini-penjelasannya 16 Mei 2017.

Galuh, M. & Novani, D. (2015). Pentingnya pengungkapan status HIV-AIDS ODHA pada orang terdekat . Jurnal Berkala Kesehatan Vol. 1 No. 1 , 47-51.

Germer, C. K. (2009). The mindful path to self-compassion: freeing yourself from destructive thoughts and emotions. New York: The Guilford Press.

Hermawanti, P., Widjanarko, M.. (2011). Penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi status HIV positif di Pati Jawa Tengah. Psikobuana , 94-103.

Hurlock, E. B. (1973). Personality development. New Delhi: McGraw-Hill.

Kübler-Ross, E. (1998). Kematian sebagai bagian kehidupan. Jakarta: PT Grameda Pustaka Utama.

Laksana, A. S. D. & Lestari, D. W. D. (2010). Faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS pada laki-laki dengan orientasi seks heteroseksual dan homoseksual di Purwokerto. Mandala of Health Vol.4 No. 2, 113-123.

Larasati, M. (2012). Hubungan antara persepsi terhadap dukungan sosial dan depresi pada homoseksual usia dewasa muda. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta.

Lehmiller, J. J. (2014). The psychology of human sexuality. United Kingdom: Willey Blackwell.

Martoni, W., Arifin, H., Raveinal (2013). Faktor - Faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HIV/AIDS di Poliklinik Khusus Rawat Jalan Bagian Penyakit Dalam RSUP dr. M. Djamil Padang Periode Desember 2011- Maret 2012. Jurnal Farmasi Andalas Vol. 1 No. 1 , 48-52.

Mboi, N. (2014, Oktober 17). Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia No. 82 tahun 2014. Penyakit Menular. Jakarta.

Meyer, I. (2003). Prejudice, social stress, and mental health in lesbian, gay, and bisexual populations: conceptual issues and research evidence. Psychological Bulletin Vol. 127 No.5, 674-697.

Moleong, L. J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nam, S. L., Fielding, K., Avalos, A.Dickinson, D., Gaolathe, T., Geissler, P. W. (2008). The relationship of acceptance or denial of HIV-status to antiretroviral adherence among adult HIV patients in urban Botswana. Social Science and Medicine , 301-310.

Noerliani, D., Sudaryani, Istikomah (2016). Faktor-faktor pendukung kepatuhan orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dalam minum obat antiretrovoral. Jurnal Keperawatan , 1-13.

Paputungan, K. (2013). Dinamika psikologis pada orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Jurnal Fakultas Psikologi , Vol. 2 No. 1. 1-21.

Pietrangelo, A. & Higuera, V. (2016). How are diseases transmitted?. Healthline.com.              Diunduh              dari

http://www.healthline.com/health/disease-transmission#Overview1 8 Maret 2016.

Purnomo, H. (2014). Negara dengan penduduk terbanyak di-dunia, RI masuk 4 besar. finance.detik.com. Diunduh dari http://finance.detik.com/read/2014/03/06/134053/2517461/ 4/negara-dengan-penduduk-  terbanyak-di-dunia-ri-masuk-

4-besar 2 Maret 2016.

Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. (2006). Situasi HIV/AIDS di Indonesia 1987-2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia 1987-2006.

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan. (2014). Situasi dan analisis HIV AIDS. Situasi dan analisis HIV AIDS 19872014.

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2016). Situasi penyakit HIV-AIDS di Indonesia. Situasi penyakit HIV-AIDS di Indonesia 2016.

Reza. (2016). Makna dukungan sosial bagi gay. Skripsi. Universitas Sanata Dharma.Yogyakarta.

suaminya. Skripsi . Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar.


RSUD Wangaya. (2017). Jumlah gay dengan HIV positif dari Oktober 2005 hingga Maret 2017. Denpasar.

Pew Research Center. (2013). The global divide on homosexuality. pewglobal.org.               Diunduh               dari

http://www.pewglobal.org/2013/06/04/the-global-divide-on-homosexuality/ 9 Maret 2016.

Rifani, R. (2016). Dinamika emosi pada orang dengan HIV AIDS (ODHA) (Studi Kasus di Kota Banjarmasin). Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Antasari Banjarmasin. Kalimantan Selatan.

Sarafino, E. S. (2011). Health psychology : biopsychosocial interactions. United States of America: JOHN WILEY & SONS, INC.

Sari, M.D.I. & Hayati, E. N. (2015). Regulasi emosi pada penderita HIV/AIDS. EMPHATY Jurnal Fakultas Psikologi VOL. 3 No. 1 , 23-30.

Shintawati, I. (2014). Faktor pendukung dan penghambat kepatuhan penggunaan obat: studi kualitatif pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral lini kedua di Provinsi D.I. Yogyakarta. thesis. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Strauss, A. & Corbin, J. (1990). Basic of qualitative research: grounded theory procedures and techniques. USA: Sage Publication.

Sugiharti, Yuniar, Y., Lestary, H. (2014). Gambaran kepatuhan orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dalam minum obat ARV di kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, tahun 2011-2012. Jurnal Depkes , 1-11.

Sugiyono. (2014). Metode penelitian kombinasi (mixed method). Bandung: Alfabeta.

Sutono, S. (2016). Gagalkan pertemuan komunitas gay jaringan islam anti diskriminasi nilai polisi salah paham. Tribunnews.com. Diunduh                                         dari

http://www.tribunnews.com/nasional/2016/02/08/gagalkan-pertemuan-komunitas-gay-jaringan-islam-anti-diskriminasi-nilai-polisi-salah-paham 15 Maret 2016.

Taylor, S. E. (2015). Health psychology 9th edition. New York: MCGraw-Hill Education.

Wagner, G.J., Aunon, F. M., Kaplan, R. L. Karam, R.,Khourl, D., Tohme, J., Mokhbat J. (2013). Sexual stigma, psychological well-being and social engagement among men who have sex with men in Beirut, Lebanon. NIH Public Access , 570-582.

Winata, B. A. (2015). Perilaku penemuan informasi kesehatan di kalangan ODHA (studi deskriptif tentang perilaku penemuan informasi kesehatan ODHA di Surabaya). Skripsi Thesis. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Surabaya.

Yuniar, Y., Handayani, R. S., Aryastami, N. K. (2013). Faktor – faktor pendukung kepatuhan orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dalam minum obat antiretroviral di Kota Bandung dan Cimahi. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 41 No. 2 , 72-83.

Yunita, A. (2016). Proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga berstatus hiv positif yang tertular melalui

113