GAMBARAN PENERIMAAN IBU DENGAN ANAK AUTISME SERTA PENERAPAN TERHADAP DIET BEBAS GLUTEN DAN KASEIN
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Psikologi Positif, 72-86
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
GAMBARAN PENERIMAAN IBU DENGAN ANAK AUTISME SERTA PENERAPANTERHADAP DIET BEBAS GLUTEN DAN KASEIN
Putu Sonia Insani Sudarmintawan dan Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Abstrak
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang berawal sebelum anak berusia 2,5 tahun yang ditandai dengan masalah dalam kemampuan sosial dan emosional, kekurangan komunikasi, dan adanya tindakan repetitif dan ritualistik. Penerimaan dari orangtua yang memiliki anak dengan autisme diperlukan agar anak dengan autisme mendapat penanganan yang tepat, sehingga prognosis anak dapat membaik. Salah satu penanganan atau terapi yang dapat diberikan bagi anak dengan autisme adalah diet bebas gluten dan kasein. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran penerimaan ibu dengan anak autisme, serta melihat bagaimana penerapan diet bebas gluten dan kasein untuk anak dengan autisme.Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Responden dalam penelitian ini adalah dua orang ibu yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Pengambilan data terhadap kedua responden dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi.Hasil penelitian ini adalah kedua ibu telah menunjukkan penerimaan terhadap anak dengan autisme, namun hanya satu satu orang ibu yang menerapkan diet bebas gluten dan kasein. Perbedaan tersebut akan dijelaskan dalam tiga tema besar penelitian ini, yaitu gambaran penerimaan orangtua dengan anak autisme, penerapan diet bebas gluten dan kasein, dan faktor lain yang mendukung penerapan diet bebas gluten dan kasein.
Kata kunci: Penerimaan orangtua, autisme, diet bebas gluten dan kasein
Abstract
Autism is a pervasive developmental disorder that begins before children aged 2.5 years, characterized by problems in social and emotional abilities, lack of communication, and their repetitive and ritualistic acts. Acceptance from parents toward children with autism is needed so that children with autism receive appropriate treatment, so the prognosis of children can be improved. One treatment or therapy that can be administered to children with autism is gluten-free and casein-free diet. This study aims to see how the acceptance of parents toward children with autism, as well as see how their role in the implementation of gluten-free and casein-free diet. This study used a qualitative method with case study approach. Respondents in this study were two mothers were selected by purposive sampling. Data from to respondents was collected using interview and observation techniques.The results of this study are two mothers show acceptance of children with autism, but only one of those mothers who follows a gluten-free and casein-free diet. Few differences will be explained in three major themes of this study, the description of parents’ acceptance toward child with autism, the application of gluten-free and casein-free diet, and other factors that affect the application of gluten-free and casein-free diet.
Keywords: Acceptance of parents, autism, gluten-free and casein-free diet
LATAR BELAKANG
Kehadiran seorang anak merupakan saat yang dinantikan oleh pasangan suami istri yang telah menikah. Anak yang terlahir sempurna dan sehat merupakan harapan dari semua orangtua. Orangtua juga pasti memiliki harapan-harapan untuk anak dimasa depan, namun tidak semua anak yang terlahir ke dunia tumbuh dan berkembang dalam keadaan normal sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orangtua (Astutik, 2014). Ada juga anak yang terlahir berbeda dengan anak-anak pada umumnya akibat adanya gangguan ataupun penyebab lainnya. Klasifikasi yang termasuk gangguan dimasa kanak-kanak antara lain, gangguan pemusatan perhatian hiperaktivitas, gangguan tingkah laku, disabilitas, retardasi mental, dan anak dengan gangguan autistik (Davison, Neale, & Kring, 2014).
Di Indonesia, salah satu yang menjadi fokus pembahasan terkait gangguan yang terjadi pada anak adalah autisme. Menurut direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan diperkirakan terdapat 112.000 anak dengan autisme tersebar di seluruh Indonesia dengan rentang usia sekitar 5 tahun hingga 19 tahun (Melisa & Hazliansyah, 2013). Berdasarkan jumlah penduduk Indonesia yang terhitung besar, peningkatan angka kejadian autisme juga merupakan suatu hal yang menjadi perhatian. Pada bulan Januari sampai Desember tahun 2013, ada sekitar 15% anak dengan autisme dari 6.600 kunjungan di Instalasi Kesehatan Jiwa Soeharto Heerdjan dengan rata-rata usia lebih dari tiga tahun dan dari 15% anak dengan autisme yang ditemukan, paling banyak dialamioleh anak laki-laki sebesar 86,9% dan pada perempuan sebesar 13,1% (Syarifah, 2014).
Autisme merupakan suatu jenis gangguan dalam perkembangan pervasif anak yang kompleks dan berat yang biasanya tampak sebelum anak berusia tiga tahun (Soetjiningsih & Ranuh, 2015). Perilaku autisme dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) yang ditandai dengan perilaku yang hiperaktif dan tantrum serta perilaku defisit (berkekurangan) seperti adanya gangguan dalam bicara ataupun kurangnya perilaku sosial dengan lingkungan sekitar (Pratiwi & Dieny, 2014). Anak dengan autisme juga tidak mampu untuk berkomunikasi seperti anak-anak pada umumnya, tidak mampu mengekspresikan perasaan maupun keinginan sehingga perilaku dan hubungan anak dengan lingkungannya menjadi terganggu (Ginting, Ariani & Sembiring, 2004).
Autisme dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain adanya pengaruh psikososial terkait dengan pengasuhan orangtua, masalah saat kehamilan, saat melahirkan dan ketika sesudah proses melahirkan, adanya riwayat penyakit autoimun yang berasal dari orangtua, pengaruh genetik, terdapat
masalah dalam neuroanatomi dan neurotransmiter serta adanya pertumbuhan jamur berlebih yang menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan anak dengan autisme (Soetjiningsih & Ranuh, 2015).
Mengingat sifat gangguan autisme yang kompleks dan mengenai hampir seluruh aspek perkembangan pada anak, maka gangguan autisme tidak dapat dipandang sebelah mata dan anak dengan autisme memerlukan perhatian dan penanganan yang khusus dari orangtua maupun orang-orang disekitar anak. Maka dari itu, anak dengan autisme memerlukan dukungan ekstra dari orangtua disemua aspek kehidupan anak dengan autisme, seperti ekstra perhatian, ekstra finansial, dan ekstra perlindungan untuk membuat anak dengan autisme dapat tumbuh dan berkembang lebih baik lagi (Liputan6, 2013).
Tidak bisa dipungkiri reaksi orangtua khususnya ibu ketika pertama kali mengetahui anak yang terlahir mengalami autisme akan merasa sedih maupun kecewa. Puspita (2004) menjelaskan bahwa reaksi yang biasanya ditampilkan pertama kali ketika mengetahui anak didiagnosis mengalami autisme adalah tidak percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Umumnya terdapat jugarasa sedih dan kecewa karena memiliki harapan yang tinggi terhadap anak, sehingga ibu yang memiliki anak dengan autisme pada awalnya akan menolak dan tidak sedikit yang kemudian memilih untuk tidak terbuka mengenai keadaan sang anak. Selain itu, masih banyak terdapat orangtua yang belum mampu menerima dan bahkan malu ketika mengetahui sang anak mengalami autisme, sementara penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua merupakan aspek yang penting untuk anak dengan autisme (Priherdityo, 2016).
Banyak hal yang dapat terjadi sebagai bentuk dari sikap penolakan orangtua terhadap anak dengan autisme yang masih sering terjadi. Sikap penolakan dari orangtua dapat terlihat pada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti kasus penelantaran anak dengan autisme yang dilakukan oleh seorang ibu di Pidie Jaya, Aceh akibat keluarga berasal dari ekonomi lemah dan kurangnya wawasan mengenai keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak (Ismail, 2015). Kasus penelantaran terhadap anak dengan autisme juga terjadi di Bengkulu akibat orangtua yang tidak mau mengakui sang anak dengan kondisi anak mengalami autisme (Suara Indonesia, 2017). Kasus yang lebih parah lagi terjadi di Cilegon, yaitu kasus pembunuhan anak dengan autisme oleh sang ayah dengan cara membuang anak ke sungai karena sang ayah sudah lelah mengurus sang anak yang mengalami autisme (Ali, 2015).
Bagaimanapun kondisi anak, orangtua terlebih seorang ibu harus menerima keadaan sang anak dengan segala
keterbatasan yang dimiliki, karena sikap ibu yang terlihat tidak menerima kondisi sang anak hanya akan memperburuk perkembangan psikologis anak (Hurlock, 1980). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Astutik (2014), tingginya penerimaan orangtua akan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif bagi anak, serta mampu mengatasi kendala yang dihadapi anak dengan memberikan tritmen sederhana sesuai dengan kebutuhan anak, sehingga optimalisasi perkembangan dapat diupayakan dengan lebih efektif untuk menjadikan anak yang memiliki kebutuhan khusus lebih mandiri. Anak dengan autisme yang diterima oleh orangtua akan lebih mampu untuk bekerjasama dengan orang lain, bersahabat, ceria, dan bersikap optimis (Fakhiroh, 2011). Penerimaan dari orangtua khususnya ibu sangat memengaruhi perkembangan anak dengan autisme di kemudian hari. Penerimaan yang ditunjukkan oleh seorang ibu dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu pengalaman masa lalu terkait pola asuh dan sikap orangtua sebelumnya, nilai-nilai yang dianut oleh ibu, tipe kepribadian ibu, kehidupan perkawinan ibu, dan alasan ibu memiliki anak (Gunarsa & Gunarsa, 2008).
Penerimaan seorang ibu dapat terlihat dari berbagai perhatian maupun sikap yang ditunjukkan kepada anak dengan autisme. Menurut Rachmayanti & Zulkaida (2007), penerimaan seorang ibu terhadap anak dengan autisme dapat dilihat melalui beberapa bentuk sikap, seperti ibu mampu memahami keadaan anak apa adanya dengan segala kekurangan maupun kelebihan anak, ibu mampu memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh anak, ibu mampu menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan oleh anak, ibu memahami penyebab perilaku buruk dan baik anak, ibu membentuk ikatan batin yang kuat dengan anak, dan ibu mampu mengupayakan alternatif penanganan sesuai dengan kebutuhan anak. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustikasari (2016), orangtua khususnya ibu yang telah mampu menerima kondisi anak dengan autisme akan berpengaruh juga pada perilaku yang terlihat dari usaha untuk merawat anak dengan sabar setiap hari, sehingga dapat mengetahui bagaimana perkembangan anak yang sekaligus bermanfaat untuk mengetahui apa saja kebutuhan anak dan mencari penanganan yang tepat untuk anak. Berdasarkan hasil penelitian Rachmayanti & Zulkaida (2007) dan Agustikasari (2016) dapat dikatakan bahwa, penerimaan dari ibu sangat penting bagi tumbuh kembang anak dengan autisme, dan adanya penerimaan seorang ibu terhadap anak dengan autisme dapat membuat ibu berusaha untuk mencari tahu hal-hal apa saja yang terbaik bagi anak yang terbilang khusus, seperti terapi maupun penanganan yang dapat diberikan untuk anak dengan autisme. Salah satu penanganan atau terapi yang dapat diberikan bagi anak dengan autisme adalah menerapkan diet bebas gluten dan kasein (Soetjiningsih & Ranuh, 2015).
Penerapan diet bebas gluten dan kasein di Indonesia terbilang masih kurang, karena masih terdapat orangtua yang ragu dan takut mencoba menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk anak yang mengalami autisme dengan alasan anak sedang dalam masa pertumbuhan dan kurangnya persediaan bahan makanan bebas gluten dan kasein di Indonesia juga membuat orangtua kesulitan menerapkan diet bebas gluten dan kasein (Liputan6, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sofia, Ropi, & Mardhiyah (2012) juga menemukan hasil bahwa, dari 40 ibu yang menjadi responden dalam penelitian, hanya enam orang ibu atau hanya sekitar 15% ibu yang menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk sang anak yang mengalami autisme. Data awal yang diperoleh dari Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Denpasar juga menyebutkan bahwa, dari 81 siswa didik yang mengalami autisme, hanya 13 orang anak saja yang menjalankan diet bebas gluten dan kasein (Sudarmintawan, 2016).
Diet bebas gluten dan kasein merupakan salah satu terapi biomedis yang dapat dilakukan untuk anak dengan autisme, dengan cara menghilangkan asupan makanan yang mengandung gluten dan kasein. Gluten adalah protein (prolamin) yang terdapat pada beberapa jenis gandum, sementara kasein adalah fosfor-protein yang terdapat pada susu dan produk olahan dari susu (Mutianingrum, 2013). Diet bebas gluten kasein bisa menjadi salah satu pilihan penanganan yang dapat diberikan untuk anak dengan autisme, karena pada anak dengan autisme ada masalah dalam metabolisme tubuh seperti adanya peningkatan permeabilitas usus (leaky gut) yang memungkinkan peptida dari gluten dan kasein yang terkandung dalam makanan tidak tercerna dengan baik, sehingga peptida dari gluten dan kasein dapat keluar dari dinding usus dan masuk ke aliran darah (Ramadayanti, 2012). Ketika orangtua ingin menerapkan diet bebas gluten dan kasein sebaiknya dimulai dengan melakukan konsultasi dengan dokter maupun praktisi kesehatan mengenai kondisi tubuh anak, apakah kondisi tubuh anak sesuai dengan aturan penerapan diet bebas gluten dan kasein. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memastikan apakah anak dengan autisme harus menjalankan diet bebas gluten dan kasein atau tidak adalah pemeriksaan melalui urin, feses, darah, maupun rambut anak (Ginting, Ariani, & Sembiring, 2004).
Banyak manfaat yang dapat ditimbulkan dari diet bebas gluten dan kasein pada anak dengan autisme, antara lain untuk mengurangi hiperaktifitas pada anak, anak menjadi lebih peka terhadap rangsangan nyeri, lebih patuh, meningkatkan komunikasi verbal dan nonverbal, peningkatan kemampuan motorik, lebih bisa mengekspresikan emosi, dan perbaikan pola tidur anak (Ginting, Ariani, & Sembiring, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mukhfi, Nugraheni, & Kartini (2014), menunjukkanbahwa anak dengan autisme yang telah melakukan diet bebas gluten dan
kasein menunjukkan keadaan emosi yang lebih stabil dibandingkan dengan anak yang tidak melakukan diet apapun. Didukung pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi & Dieny (2014) yang menunjukkan terdapat perubahan perilaku autisme akibat penurunan frekuensi dalam mengonsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein, seperti anak menjadi lebih tenang, mudah diberikan instruksi, dan anak menjadi tidak mudah menangis ataupun marah.
Orangtua merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penerapan diet bebas gluten dan kasein pada anak dengan autisme, karena pola makan pada anak tidak bisa terlepas dari peran orangtua khususnya seorang ibu yang berperan dalam menyediakan makanan yang baik serta bergizi dan sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh anak (Mulyaningsih, 2008). Ibu merupakan lingkungan pertama dan paling erat dengan anak di masa awal-awal kehidupan dan keterampilan ibu dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan biopsikososial untuk tumbuh kembang sang anak (Soedjatmiko, 2001). Ibu juga menjadi pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan keputusan, terutama yang berhubungan dengan konsumsi makanan di rumah (Mutianingrum, 2013). Menurut Sofia, Ropi, & Mardhiyah (2012), seorang ibu sangat dituntut untuk dapat bersikap selektif dalam mengatur pola makan anak dan juga harus mampu memilah-milah jenis makanan yang diolah, serta seorang ibu harus konsisten dan tegas dalam menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Ramadayanti (2012), yang menunjukkan hasil bahwa peran ibu sangat dibutuhkan dalam pengawasan pada pola makan anak, dikarenakan ibu sebagai orang terdekat dengan anak dan sekaligus menjadi sosok yang menyediakan makanan dalam keluarga.
Berdasarkan pemaparan mengenai pentingnya penerimaan orangtua khususnya ibu dengan anak autisme serta pentingnya ibu dalam penerapan diet bebas gluten dan kasein menjadi hal yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan, yaitu untuk mengetahui bagaimana gambaran penerimaan ibu dengan anak autisme serta bagaimana penerapan diet bebas gluten dan kasein. Responden yang dipilih adalah seorang ibu, karena berkaitan dengan pentingnya peran seorang ibu sebagai sosok yang paling dekat dengan anak dan berperan dalam menyediakan makanan dalam keluarga, sehingga diharapkan penelitian ini dapat memperoleh data yang lebih komprehensif dan akurat mengenai penerimaan seorang ibu dengan anak autisme serta penerapan terhadap diet bebas gluten dan kasein.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah penelitian
mendalam terhadap fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas (Poerwandari, 1998). Studi kasus terdiri dari dua tipe penelitian, yaitu kasus tunggal dan multikasus yang mengkaji suatu masalah yang terdiri lebih dari satu kasus tunggal. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan tipe penelitian multikasus, dengan dasar pertimbangannya adalah untuk melihat bagaimana gambaran penerimaan ibu dengan anak autisme dan melihat bagaimana perbandingan penerapan diet bebas gluten dan kasein antara ibu yang samasama memiliki anak dengan autisme dan sama-sama mengetahui informasi mengenai diet bebas gluten dan kasein. Perbandingan yang dimaksud adalah terdapat ibu yang mampu menerapkan diet bebas gluten dan kasein dengan ibu yang tidak mampu menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk sang anak yang mengalami autisme.
Karakteristik Responden
Penelitian ini menggunakan dua orang responden yang merupakan seorang ibu yang memiliki anak dengan autisme dan telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Kriteria responden dalam penelitian ini antara lain:
-
1. Seorang ibu yang berusia 25 tahun hingga 35 tahun.
-
2. Memiliki anak yang mengalami autisme dengan rentang usia anak satu sampai enam tahun.
-
3. Responden yaitu ibu mengetahui informasi mengenai diet bebas gluten dan kasein untuk anak dengan autisme. Ibu sebagai responden juga dipilih dengan kriteria ada yang menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk anak, serta ada yang tidak menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk anak. Jumlah responden minimal satu orang pada setiap kriteria.
Berikut adalah tabel yang menguraikan karakteristik kedua responden dalam penelitian ini:
TabelL
Identitas Pembeda
Inisial
Usia
Pendidikan terakhir
Agama
Pekerjaan
Alamat rumah
Status penerapan diet bebas gluten dan kasein
Karakteristik Responden
Responden Pertama ER 29 tahun SNLA Budha
Ibu rumah tangga Denpasar
Tidak menerapkan diet bebas gluten dan kasein
Responden Kedua
SM
31 tahun
SMA
Islam
Ibu rumah tangga
Denpasar
Menerapkan diet bebas gluten dan kasein
Lokasi Pengumpulan Data
Lokasi pengumpulan data dalam penelitian, khususnya yang melibatkan kedua responden dilakukan di Bali yaitu diseputaran wilayah Kota Denpasar. Lokasi pengumpulan data penelitian dilakukan di Kota Denpasar karena kedua responden yang diperoleh dalam penelitian ini sama-sama berdomisili diseputaran Kota Denpasar. Responden pertama
bertempat tinggal di daerah Jalan Raya Sesetan, Denpasar, sementara responden kedua bertempat tinggal di daerah Jalan Wr. Supratman, Denpasar. Pengumpulan data terhadap kedua responden dilakukan di tempat tinggal masing-masing responden. Lokasi pengumpulan data juga ditentukan sepenuhnya oleh responden.
Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi. Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dengan maksud tertentu oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan terwawancara (Moleong, 2014). Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur yaitu teknik wawancara yang sudah termasuk dalam in-depth interview yang dalam pelaksanaan wawancara diawali dengan menyiapkan daftar pertanyaan untuk diajukan kepada narasumber, namun tetap tidak menutup kemungkinan ditengah proses wawancara muncul pertanyaan yang tidak terdapat di dalam daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Selanjutnya metode yang digunakan adalah observasi. Observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat setiap peristiwa yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam peristiwa tersebut (Poerwandari, 1988). Dalam penelitian kualitatif, observasi dapat diartikan sebagai pengamatan secara langsung terhadap objek untuk mengetahui keberadaan objek, situasi, konteks dan maknanya dalam upaya untuk mengumpulkan data penelitian (Satori dan Komariah, 2011). Observasi dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk catatan lapangan atau fieldnote yang dilakukan selama wawancara berlangsung.
Jika pengambilan data telah selesai dilakukan, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data. Apabila data yang telah diperoleh dirasa kurang lengkap, maka peneliti dan responden merencanakan pertemuan kembali untuk melengkapi data. Berikut adalah tabel waktu pengambilan data yang telah dilakukan dalam penelitian ini:
Tabd 2.
Waktu pelaksanaan wawancara dan observasi dengan responden
Responden |
Waktu Pelaksanaan Wau ancara dan Obsen asi |
Durasi |
Lokasi |
Responden |
Senin, 5 Desember 2016 |
39 menit |
Rumah responden |
ER |
Seiuiti. 19 Desember 2016 |
39 menit |
Rumah responden |
Rabu. 4 Januari 2017 |
18 menit |
Rumah Belajar Turiya | |
Responden |
Rabu1 5 Oktober 2016 |
55 menit |
Rumah responden |
SM |
Senin. 10 Oktober 2016 |
2j≡ |
Rumah responden |
Senin, 12 Desember 2016 |
I^ ir.er.it |
Rumah responden | |
Rabu. 4 Januan 2017 |
12 menit |
Rumah responden |
Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan Model Miles and Huberman (dalam Sugiyono, 2014)
yang terbagi atas tiga aktifitas, yaitu reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan atau verifikasi.
-
1. Reduksi data
Tahap pertama dalam reduksi data adalah dengan melakukan open coding. Hampir seluruh teks yang diperoleh dari verbatim maupun fieldnote ditandai, untuk kemudian dibuatkan kategori-kategori sesuai makna dan maksud dari teks tersebut. Tahap selanjutnya, hubungan dari kategori-kategori teks yang telah disusun sebelumnya dilihat lalu dikumpulkan dengan kategori-kategori yang saling berkaitan. Tahap terakhir dalam reduksi data adalah selective coding, yaitu memilih kategori-kategori yang memiliki kaitan dan sesuai dengan fokus dalam penelitian.
-
2. Penyajian data
Setelah melakukan reduksi data, hal yang selanjutnya dilakukan adalah memilih cara untuk menyajikan data. Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel yang berisi hasil pengumpulan data dari kedua responden dan telah disusun sesuai dengan kategori-kategori yang saling berkaitan.
-
3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
Penarikan kesimpulan kemudian dilakukan setelah menyelesaikan hasil penelitian dan pembahasan yang berupa narasi maupun yang disajikan dalam bentuk tabel-tabel.
Kredibilitas Penelitian
Menurut Sugiyono (2014), uji kredibilitas data pada penelitian kualitatif dilakukan dengan cara perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, analisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, dan mengadakan member check. Pada penelitian ini, uji kredibilitas data dilakukan dengan metode:
-
1. Perpanjangan Pengamatan
Perpanjangan pengamatan dilakukan dengan cara kembali ke lapangan dan melakukan pengamatan serta wawancara dengan sumber data secara terus menerus.
-
2. Peningkatan Ketekunan
Peningkatan ketekunan dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara lebih cermat dengan
membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti.
-
3. Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu melalui triangulasi sumber dan triangulasi teknik pengumpulan data. Dalam penelitian ini juga melakukan triangulasi pengamat dengan melibatkan pembimbing serta peer review yang ikut serta memeriksa hasil data dan memberikan masukan terhadap penelitian ini guna kesempurnaan hasil penelitian.
-
4. Analisis Kasus Negatif
profesional, bijaksana, dan jujur dengan memerhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam melakukan pelaporan maupun publikasi hasil penelitian untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa layanan psikologi.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini akan dipaparkan berdasarkan tiga tema yakni, gambaran penerimaan ibu dengan anak autisme, penerapan diet bebas gluten dan kasein, dan faktor lain yang mendukung penerapan diet bebas gluten dan kasein.
-
1. Tema 1: Gambaran penerimaan ibu dengan anak autisme
Menganalisis kasus negatif, dilakukan dengan cara mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya.
5. Bahan Referensi
Bahan referensi dikumpulkan sebagai pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan. Bahan referensi dapat berupa rekaman wawancara, foto, atau hasil alat perekam lainnya
Kedua responden dalam penelitian ini menunjukkan berbagai respon penerimaan terhadap sang anak yang mengalami autisme yang terbagi menjadi reaksi ibu ketika mengetahui anak mengalami autisme, faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan ibu dengan anak autisme, serta bentuk penerimaan ibu dengan anak autisme. Terdapat beberapa hasil yang menunjukkan persamaan antara kedua responden, dan terdapat pula hasil yang membedakan kedua responden dalam penelitian ini. Berikut adalah uraian hasil yang ditemukan mengenai gambaran penerimaan ibu dengan anak autisme:
6. Mengadakan Member Check
Member check dilakukan dengan cara melakukan proses pengecekan kembali data yang diperoleh kepada pemberi data. Tujuan dari member check ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.
Isu Etik
Berikut beberapa isu etik yang diperhatikan dalam penelitian ini berdasarkan pada kode etik Himpunan Psikologi Indonesia, (2010), seperti perlindungan responden penelitian dari konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau penarikan diri atau pengunduran dari keikutsertaan. Sebelum pengambilan data dilakukan, peneliti memberikan informed consent yang menjelaskan kepada calon responden tentang penelitian yang akan dilakukan, serta mengenai asas kesediaan sebagai responden penelitian yang bersifat sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat. Selanjutnya, peneliti bersikap
mengetahιu
2 VeEXrpr-Okan
Krtiadap anak j VeiisesafaLi
!Menerapkan diet bebas gluten dan kasein)
(Menerapkan diet bebas gjnten dan
fakιor van?
PeneruaaaD
orang lain vans nga memiliki
3 Venela=JLMi
kepada Ieeliiarga
2. Tema 2: Penerapan diet bebas gluten dan kasein
Penerapan diet bebas gluten dan kasein pada kedua responden dibagi menjadi empat topik hasil penelitian, yaitu status penerapan diet bebas gluten pada anak dengan autisme,
proses bagaimana ibu yang tidak mampu menerapkan dan ibu yang mampu menerapkan diet bebas gluten dan kasein, kendala yang dialami selama penerapan diet bebas gluten dan kasein, serta upaya yang dilakukan dalam penerapan diet bebas gluten dan kasein untuk anak dengan autisme.
Tabol 9.
Faktcz Lxa yua I∙!⅛id∙mj Paaaiapan Elι⅜t BabayG-Iuten dia rima FerEeSaan
Faktorlaiii
TjroFT
Kases 2
IiieiMtdtiiiis (Tidak menerapkan diet bebas gluten Menerapkan diet bebas duten ' ~ dan kasein) dan kasein)
Tipe 1 TmggglberugL'λ÷.ll~,':*ur Kelsarga ι JimJetfJtswiyX yairu tinggal
tersama StuoiL dua anak serta satu ι□ertuj IiIaoi satu rumah.
2 TiF-SSir beruar. keluarga un (πuriαιrJ⅛ΛZ⅛χ yaitu
i’JZ *ra⅛ ⅜⅛ am r.nrnh
Tibel 4.
⅝⅛∣a⅛ιaa PnnanpimCiBt 5abι; ⅛⅛aa dan Kaiam
Penerapan diet bebas elu ten dan kasein
Persamaaa
Perbedaan
(Tidak menera pka n diet bebas sluten dan
Inseini
Kasus 2 (Menerapkan diet bebas sluten dan kasta)
Kaια,. 1
(Tidak menerapkan diet bebas gluten dan kasau)
Ka -. u: 2 (Menerapkan diet bebas sluten dan kasein?
Ada atau Cidakiivi Duknngan Sosial
2 Cobaaensnpkan
3 Tkdal xuquikiii
Eaensemi diet betas gluten dm
Status penerapan diet bebas Shitendan kasein
Proses penerapan diet bebas Sluten dan
2. Mencobabebagai ι⅞>ep yang sesuai
3. Menenpkandiet bebas Slurendin
Fi⅜I∏r>r ⅛ehhtp¾ dan k^h>m∏r n⅜r^n⅜i^
Mengaahui SiezisetiSE 1 Menolak inixmasi 1. Cobamenenipikan
T.Lu. E⅛ttirjkv. M^esezeIv. i⅛∙ diet bebas shier bebas sluten dan dan kasein kasein
lUi d⅞C Hikvy
≡hιt⅞c dan k asan
penetapan diet bebas Slutendan Iiasein
1 Tecm meirbenkan muk Eakmais
gluten ⅛∏ kasein
2 Mencoba
Eukaικn
3 MeEZ1SiEmkm kehiatp
Upaya y“'s dilakukan dalam penerapan diet bebas sluten dan kasein
ma⅛,ιrMτι
3 MecsKIEbumikan makanan
4 Mecnsak untuk anak sesuaidensan Mmi diet bebas Shcec dan kasein
I DukungaE unruk menerapkan diet bebas shiten dan kasein hanva diperoleh dan terapi=
-
1. BeETtlk ⅛⅛tπnr
-
1. Methbenkaai Jisocmasi mengenai Jiaaiosis anak dan penerapan diet bebas gluten dan kasein
-
2. Menihenkmi SermrLiE dan iur Eaanhacrj mengomel perkembangm anak EHiipin pola makan anak
-
2 DukunsaE dan keluarga di rumah JEFik Eaausipkan dia bebas ghrren dan kasein masih kurang
a Penlakukehiarga
-
1. Masih InemnenkiE makanan vang mengandung gluten dan kasein kepada anak
-
2. IL=Iuarga kurang Da=Eihenkin kontrol terhadap pola makan acak, sehingga konπol IatadiL pola makan arak tanya pada ibu
-
1 ZhikJEgin uruk menerapkan diet bebas gluten dan kasein. <⅛⅛ro⅛h dari keluarga ion ■ ijγj suami
a Bentuk dukungan
1 Membantu mencari mfocmasi mengenai diagnosis anak dan penerapan diet bebas ghiren din kasein
-
2 Membanru mengouiroloola QHkan mail
-
3 . Memharri (⅛lgan membagi waktu dalam mengasuh amk
3. Tema 3: Faktor lain yang mendukung penerapan diet bebas gluten dan kasein
Hasil penelitian ini menemukan bahwa, terdapat perbedaan status penerapan diet bebas gluten dan kasein yang terjadi pada responden pertama dan responden kedua. Perbedaan status penerapan diet bebas gluten dan kasein antara kedua responden terjadi akibat adanya beberapa hal, yaitu dipengaruhi oleh tipe keluarga dimana responden tinggal dan dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya dukungan sosial yang diberikan kepada responden untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein pada anak responden yang mengalami autisme.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Penelitian ini akan membahas mengenai hasil yang telah diperoleh dari dua orang responden dengan dua kasus yang berbeda. Kasus pertama yaitu seorang ibu berinisial ER yang tidak menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk sang anak yang mengalami autisme. Selanjutnya kasus kedua adalah seorang ibu berinisial SM yang menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk sang anak yang mengalami autisme.
Kedua responden dalam penelitian ini memiliki anak pertama berjenis kelamin laki-laki yang mengalami autisme. Autisme memang lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan perbandingan angka kejadian sebesar 4:1 (Soetjiningsih & Ranuh, 2015). Usia anak dari masing-masing responden yaitu enam tahun. Responden pertama yaitu ER, mengajak anak untuk melakukan assessment ke psikolog saat anak berusia empat tahun, sementara pada responden kedua yaitu SM, assessment dilakukan saat usia anak dua tahun. Intervensi yang dilakukan sedini mungkin akan mencegah anak dari masalah tambahan dan dapat membantu keluarga untuk menyesuaikan diri dengan diagnosis yang diberikan untuk anak (Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2009). ER dan SM mengatakan bahwa, ketika anak memasuki usia dua tahun sang anak menunjukkan kemunduran kemampuan dalam beberapa hal. Kemunduran kemampuan yang dimaksud yaitu seperti berkurangnya kemampuan komunikasi anak, kemampuan anak untuk berinteraksi dengan sosial, serta munculnya perilaku anak yang berulang. Menurut Davison, Neale, & Kring (2014) autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif
-
yang berawal sebelum anak berusia 2,5 tahun yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain, masalah dalam komunikasi, dan adanya suatu keinginan obsesif untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari.
Hasil penelitian yang diperoleh dari responden ER dan SM menemukan bahwa, berbagai respon awal kedua responden ketika mengetahui sang anak mengalami autisme. Pada responden pertama yaitu ER terlihat bahwa respon pertama yang muncul adalah anggapan ER yang masih terus merasa bahwa perilaku sang anak masih normal yang menjadi salah satu bentuk sikap penolakan ER terhadap kondisi anak. ER juga sempat mengalami shock dan sering menangis dimasa awal mengetahui diagnosis anak. Respon selanjutnya adalah ER sempat menyalahkan diri sendiri atas kondisi yang dialami anak sebelum hingga akhirnya ER merasa kenyataan yang terjadi sudah tidak bisa diubah dan membuat ER mulai untuk mampu menerima kondisi anak.Reaksi yang ditunjukkan ER sesuai dengan yang dijelaskan Hallahan, Kauffman, & Pullen (2009), ketika orangtua khususnya ibu mengetahui sang anak didiagnosis memiliki kebutuhan khusus, reaksi awal yang ditunjukkan oleh orangtua yaitumenolak,shock, sedih, cemas, ketakutan, marah, merasa bersalah, dan hingga pada akhirnya orangtua mampu beradaptasi dengan kondisi sang anak.
Selanjutnya pada responden kedua yaitu SM, respon pertama yang muncul adalah menolak diagnosis anak yang membuat SM sempat melakukan konsultasi ke beberapa dokter dan psikolog untuk meyakinkan diagnosis anak. SM juga pernah mengalami shock yang membuat SM masih sering menangis saat awal mengetahui anak didiagnosis mengalami autisme. Respon SM selanjutnya adalah tetap menyangkal diagnosis yang telah diberikan kepada anak sebelum pada akhirnya SM merasa pasrah dan kemudian menerima kondisi anak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Agustikasari (2016) yang menjelaskan bahwa, orangtua akan menunjukkan berbagai bentuk reaksi ketika mengetahui anak mengalami autisme, salah satunya adalah penolakan terhadap diagnosis anak yang dapat terlihat dari sikap orangtua yang tetap menganggap kondisi anak yang normal dan terus melakukan berbagai cara untuk meyakinkan diagnosis anak.
Penerimaan terhadap kondisi anak dengan autisme yang ditunjukkan oleh ER dan SM sama-sama dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mendukung. Faktor yang pertama adalah ER dan SM sama-sama dipengaruhi oleh pengalaman orang lain yang juga memiliki anak dengan autisme. Pada responden ER, melihat pengalaman orang lain yang juga memiliki anak dengan autisme diperoleh dari kebiasaan ER yang suka membaca buku maupun kisah-kisah yang menginspirasi di internet mengenai orangtua yang juga
memiliki anak dengan autisme. Sikap ER sejalan dengan pernyataan Futuhiyat (2004), yaitu semakin orangtua mampu bersikap terbuka menerima informasi dari berbagai sumber mengenai diagnosis anak, maka penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua akan semakin baik. Selanjutnya pada responden SM, melihat pengalaman orang lain yang juga memiliki anak dengan autisme diperoleh dari mengikuti kegiatan-kegiatan yang melibatkan orangtua yang juga memiliki anak dengan autisme. Upaya orangtua untuk saling berbagi pengalaman dengan orang lain yang juga memiliki anak dengan autisme dapat menjadi wadah untuk saling mendukung antara orangtua yang memiliki anak dengan autisme (Rachmayanti dan Zulkaida, 2007).
Faktor kedua adalah, melihat sang anak yang terus mengalami perkembangan kearah yang lebih baik juga menjadi penguat ER dan SM untuk semakin menerima kondisi anak dengan autisme. Responden ER merasa bersyukur ketika melihat perkembangan DV jauh lebih baik dibandingkan ketika dulu pertama kali didiagnosis mengalami autisme. Semakin baik perkembangan yang ditunjukkan anak dengan autisme, makan orangtua akan semakin menunjukkan penerimaan yang semakin baik terhadap kondisi anak (Astutik, 2014). Selanjutnya pada responden SM, ketika melihat perkembangan BR menunjukkan peningkatan, SM merasa masih tetap memiliki harapan atas kondisi anak. Penting bagi orangtua yang memiliki anak dengan autisme untuk tetap memiliki kepercayaan bahwa suatu saat nanti anak akan mengalami kemajuan, karena kepercayaan orangtua atas kondisi anak akan berpengaruh juga terhadap penerimaan orangtua terhadap anak dengan autisme (Agustikasari, 2016)
Faktor ketiga adalah, keyakinan terhadap agama. Responden ER dan SM memiliki keyakinan bahwa dititipkan anak dengan autisme merupakan rencana Tuhan, dan memiliki anak dengan autisme membuat kedua responden semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Perilaku yang ditunjukkan kedua responden terkait keagamaan sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hurlock (1980), yaitu orang-orang yang cemas akan suatu hal dan sangat memikirkan hal tersebut cenderung akan lebih memperhatikan agama. Orangtua yang mengutamakan segi rohani yang dalam hal ini adalah mendekatkan diri dengan Tuhan dengan cara berdoa, juga akan memengaruhi cara orangtua dalam sikap dan usaha orangtua untuk mengasuh anak (Gunarsa & Gunarsa, 2008).
Faktor keempat adalah, adanya dukungan dari orang lain juga menjadi salah satu penguat kedua responden dalam menerima kondisi sang anak. Responden pertama yaitu ER memperoleh dukungan untuk terus semangat dari terapis sang anak. Rupu (2015) menjelaskan bahwa dukungan sosial dapat menimbulkan pengaruh positif bagi orangtua dalam menerima kondisi sang anak, dan semakin tinggi dukungan sosial maka
penerimaan orangtua terhadap anak semakin baik. Responden kedua yaitu SM, selama ini memperoleh dukungan utama yang berasal dari sang suami. Rupu (2015) juga menyebutkan bahwa, orangtua dengan status keharmonisan perkawinan yang baik dapat menerima anak dengan lebih baik, karena adanya perhatian dan dukungan antar suami istri dapat membuat pasangan suami istri saling bahu membahu dalam mengasuh anak.
Bentuk penerimaan ibu yang ditunjukkan oleh kedua responden terlihat dari berbagai sikap dan perilaku terhadap anak. Ketika mengetahui sang anak mengalami autisme, ER dan SM sama-sama berusaha mencari informasi mengenai bagaimana sebenarnya autisme dan apa penanganan yang bisa dilakukan. Upaya yang dilakukan ER dan SM seperti banyak bertanya kepada ahli, membaca buku, dan mengikuti seminar. Menambah pengetahuan mengenai diagnosis anak dapat dilakukan dengan membaca buku dan mengikuti seminar mengenai autisme (Rachmayanti dan Zulkaida, 2007).
Penanganan yang diberikan ER selama ini untuk anak adalah mengikutsertakan anak untuk terapi, melatih kembali di rumah, dan mengatur pola makan anak. Selanjutnya, upaya penanganan yang dilakukan SM adalah mengikutsertakan anak untuk terapi, melakukan terapi sederhana di rumah, melatih kemampuan sosial anak, dan menerapkan diet bebas gluten dan kasein. Menurut Hallahan, Kauffman, & Pullen (2009), upaya awal yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk anak yang baru didiagnosis mengalami kebutuhan khusus yaitu mencari penanganan sesuai yang dapat diberikan untuk anak, agar prevalensi anak untuk tumbuh dan berkembang kearah yang lebih baik semakin tinggi.
Tidak jarang muncul reaksi dan kritik yang diberikan oleh orang lain terkait anak dengan berkebutuhan khusus, sehingga membuat orangtua merasa beban (Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2009). Upaya yang dilakukan ER dan SM ketika ada anggota keluarga atau orang lain yang memandang sebelah mata anak responden yang mengalami autisme adalah berusaha untuk menjelaskan bagaimana kondisi anak, apa hal yang anak belum bisa lakukan dan apa kelebihan yang anak miliki, agar orang lain paham dan tidak meremehkan sang anak dengan keterbatasan yang dimiliki. Khususnya pada responden SM, menjelaskan kondisi anak pada lingkungan sangat sering dilakukan oleh SM. Hal ini dilakukan karena orang-orang dilingkungan SM masih banyak yang meremehkan kondisi anak dengan autisme. Rufaidah (2014) menyebutkan bahwa, menjelaskan bagaimana kondisi anak dengan autisme kepada lingkungan merupakan salah satu cara agar lingkungan tidak menganggap anak dengan autisme berbeda dan membuat lingkungan pada akhirnya bisa menerima keberadaan anak dengan autisme.
ER dan SM juga tidak membedakan pola asuh antara anak pertama yang mengalami autisme dan anak kedua responden yang normal. Sikap responden terhadap sang anak dipengaruhi oleh sikap orangtua kedua responden sebelumnya. ER mengatakan sikap orangtua ER yang dulu lebih sering membela adik yang usianya lebih kecil, membuat ER tidak mau mengulangi hal tersebut kepada sang anak. Sementara SM memiliki pengalaman diasuh dengan baik oleh sang ibu, membuat SM berusaha untuk menunjukkan sikap yang sama kepada sang anak saat ini. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2008), dalam mendidik anak orangtua cenderung untuk mengulangi sikap ataupun pola asuh orangtua sebelumnya, dan sebaliknya orangtua cenderung pula tidak mengulangi sikap atau pola asuh orangtua sebelumnya bila tidak dirasakan manfaatnya. ER dan SM juga mengatakan bahwa selama ini berusaha untuk bersikap adil kepada kedua anak dan tidak memihak pada siapapun. Orangtua penting untuk menerapkan keadilan dalam mendidik anak, karena dengan memperlakukan anak secara adil akan membuat anak merasa istimewa (Woolfson, 2003).
Sikap ER dan SM yang sama-sama mengetahui bagaimana perkembangan anak dari dulu ketika didiagnosis mengalami autisme dan hingga sekarang sudah menunjukkan berbagai perkembangan juga menjadi salah satu bentuk penerimaan yang ditunjukkan oleh ibu terhadap kondisi anak. ER dan SM mampu menceritakan bagaimana dan apa saja perubahan yang dialami oleh anak hingga saat ini. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Zulkaida (2007), mengetahui bagaimana perkembangan anak, seperti apa yang belum mampu dilakukan anak ataupun hal-hal yang sudah mampu dilakukan anak dan memahami penyebab prilaku anak merupakan salah satu sikap yang menunjukkan bahwa orangtua mampu menerima kondisi anak.
Berikutnya adalah bentuk penerimaan ibu yang menunjukkan hasil berbedaan antara responden ER dan SM. Pada responden pertama ER, sikap yang ditunjukkan adalah memberi kesempatan anak untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Sikap yang ditunjukkan ER sesuai dengan pernyataan Porter (dalam Straus & Brown, 1978), yaitu orangtua yang mengakui kebutuhkan anak untuk dapat hidup dengan mandiri merupakan salah satu sikap orangtua dalam menerima sang anak. Menjadikan anak dengan autisme mandiri agar tidak merepotkan orang lain merupakan salah satu usaha untuk membuat anak dengan autisme berkualitas dibalik keterbatasan yang dimiliki (Rufaidah, 2014). Hurlock (1980) juga menjelaskan bahwa, tugas perkembangan pada usia anak enam tahun sudah seharusnya mampu untuk mengembangkan keterampilan dasar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sesuai dengan sikap ER yang mengajarkan anak untuk mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Selanjutnya pada responden kedua yaitu SM, terlihat bahwa SM menunjukkan sikap mampu membentuk ikatan batin dengan anak. Ikatan batin yang terbentuk antara SM dengan sang anak ditunjukkan dengan sikap SM yang sering memeluk anak, mengelus anak, tidur bersama, dan ketika SM dengan sang anak tidak bersama, sang anak menjadi lebih patuh selama berada di rumah. Menurut Rachmayanti dan Zulkaida (2007), membentuk ikatan batin yang kuat dengan anak dapat bermanfaat untuk perkembangan anak dimasa mendatang. Ikatan batin yang kuat dapat terbentuk dari aktivitas orangtua dengan anak seperti, bermain dengan anak, tidur bersama anak, mengajak anak jalan-jalan ketika libur dan mengurus segala keperluan anak yang belum bisa dilakukan sendiri oleh sang anak.
Terdapat perbedaan status penerapan diet bebas gluten dan kasein pada kedua responden dalam penelitian ini. Status penerapan diet bebas gluten dan kasein pada responden pertama yaitu ER adalah belum menerapkan. ER mengatakan bahwa, ER sebenarnya mengetahui informasi bahwa anak dengan autisme dianjurkan untuk melakukan diet bebas gluten dan kasein, hanya saja hingga saat ini ER belum mampu untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein pada sang anak yang mengalami autisme. Ramadayanti (2012) menjelaskan bahwa, terdapat orangtua khususnya ibu yang mengetahui informasi mengenai diet bebas gluten dan kasein untuk anak dengan autisme namun belum menerapkan diet bebas gluten dan kasein. Hal ini dapat dikarena penerapan diet bebas gluten dan kasein dapat dipengaruhi banyak faktor selain hanya ibu sudah mengetahui informasi mengenai diet bebas gluten dan kasein.
Selanjutnya, pada responden kedua yaitu SM sudah menerapkan diet bebas gluten dan kasein terhadap sang anak yang mengalami autisme selama satu tahun terakhir. SM memilih untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk sang anak karena melihat keseharian sang anak yang menunjukkan perilaku sangat aktif dan sulit diatur. Menerapkan diet bebas gluten dan kasein membuat perubahan yang positif terhadap kondisi anak, seperti anak menjadi lebih tenang dan anak menjadi lebih mudah untuk tidur. Dampak penerapan diet bebas gluten dan kasein yang muncul pada anak responden SM sesuai dengan manfaat diet bebas gluten dan kasein yang diungkapkan oleh Whiteley, Earnden, & Robinson (2014), yaitu perbaikan dalam masalah perilaku anak yang hiperaktif.
Kondisi yang dialami oleh anak dengan autisme seperti pada anak dari kedua responden dapat digolongkan dalam hipersensitivitas terhadap makanan. Webster-Gandy, Madden, & Holdsworth (2016) menjelaskan bahwa, hipersensitifitas terhadap makanan bisa diakibatkan karena adanya pantangan
terhadap makanan tertentu akibat kondisi tubuh. Prevalensi hipersensitivitas makanan lebih besar terjadi sejak masa anak-anak, yaitu sebesar empat sampai delapan persen (Webster-Gandy, Madden, & Holdsworth, 2016).
Ketika mengetahui informasi mengenai diet bebas gluten pertama kali dari terapis sang anak DV, responden pertama yaitu ER sempat menolak dan enggan untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk DV. Penolakan ER karena, pada saat itu ER masih menganggap bahwa DV baik-baik saja dan tidak perlu melakukan diet bebas gluten dan kasein. Upaya yang dilakukan terapis DV pada saat itu adalah selalu mengingatkan dan memberikan informasi mengenai diet bebas gluten dan kasein hingga membuat ER mau untuk mencoba menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk DV. Menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk DV hanya dilakukan satu kali saja oleh ER, karena DV tidak bisa dihentikan untuk meminum susu sapi setiap harinya. Hallahan, Kauffman, & Pullen (2009) menjelaskan bahwa, penanganan yang seharusnya diperoleh anak harus diberikan sedini mungkin, agar dapat memberikan dukungan kepada anak dan dapat mencegah anak untuk menentang terhadap intervesi yang diberikan.
Berbeda dengan responden pertama, responden kedua yaitu SM ketika pertama kali mengetahui informasi mengenai diet bebas gluten dari internet dan seminar yang diberikan oleh narasumber yang juga menerapkan diet bebas gluten dan kasein, SM langsung mencoba untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk sang anak BR. Aritonang, Pardede, & Ervika (2009) menyebutkan bahwa sebagian besar ibu yang memiliki anak dengan autisme memperoleh informasi mengenai diet bebas gluten dan kasein dari media publik dan pengalaman ibu lain yang juga memiliki anak dengan autisme. Awal menerapkan diet bebas gluten dan kasein, SM berusaha untuk mencoba berbagai resep makanan yang dapat diterima oleh anak, mengingat banyak bahan makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh anak dengan autisme. Makanan yang tidak boleh dikonsumsi antara lain, segala jenis makanan dan produk olahan yang berasal dari gandum, serta makanan ataupun minuman yang berasal dari susu hewani, seperti susu murni ataupun susu kemasan (Lord, 2009). Butuh waktu hingga enam bulan untuk membuat BR mampu menerima pola diet bebas gluten dan kasein yang diterapkan oleh SM.
Tidak mudah untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein terhadap anak dengan autisme. ER dan SM mengatakan bahwa, melihat sang anak dibatasi untuk mengonsumsi makanan-makanan yang sebenarnya digemari anak seusianya membuat kedua responden merasa kasihan dan tidak tega. ER mengatakan, perilaku anak yang sering mengamuk dan menangis menjadi kendala selama ini. Selanjutnya pada anak SM, perilaku yang menjadi kendala adalah kebiasaan anak
yang sering memilih-milih makanan dan apabila makanan yang disiapkan SM tidak sesuai dengan keinginan anak maka memilih untuk tidak makan. Ramadayanti (2012) mengatakan bahwa, hambatan yang sering terjadi dalam menerapkan diet bebas gluten dan kasein adalah adanya perilaku anak seperti tantrum dan memilih-milih makanan ataupicky eaters. Tidak jarang akibat perilaku anak yang sulit dikontrol, membuat orangtua mengalah karena tidak tega dan membuat penerapan diet bebas gluten dan kasein tidak berjalan sebagaimana mestinya (Sofia, Ropi, & Mardhiyah, 2012).
Kendala selanjutnya yang dialami kedua responden yaitu, pada responden pertama ER, faktor keluarga dan lingkungan di rumah juga menjadi alasan sulit untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein hingga saat ini. Sikap dan perilaku keluarga di lingkungan rumah terhadap pola makan anak masih kurang. Keluarga masih kurang mengontrol makanan yang dikonsumsi anak dan masih sering memberikan makanan-makanan yang mengandung gluten dan kasein pada anak, sehingga membuat ER juga kesulitan untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk sang anak. Menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk anak dengan autisme harus memperhatikan orang dilingkungan anak, karena orang lain dilingkungan anak akan menjadi role model bagi anak dan anak akan mengamati serta meniru apa yang dilihat (Sofia, Ropi, & Mardhiyah, 2012).
Selanjutnya, kendala yang dialami responden kedua yaitu SM adalah khawatir dengan asupan nutrisi sang anak. Anak usia prasekolah seperti anak dari SM, merupakan kelompok usia anak yang rawan masalah gizi, karena pada usia prasekolah sedang berlangsung proses tumbuh kembang fisik dan mental yang memerlukan asupan makanan gizi yang sesuai dan seimbang (Adriani & Wirjatmadi, 2014). Menerapkan diet bebas gluten dan kasein membuat anak menjadi kekurangan asupan nutrisi yang berasal dari tepung terigu dan susu sapi. Menurut SM, dampak yang terlihat dari fisik sang anak ketika menerapkan diet bebas gluten dan kasein adalah berat badan anak menjadi turun dan kulit anak menjadi kering. SM juga mengatakan, turunnya berat badan dan kulit anak menjadi kering diakibatkan oleh asupan makanan anak yang terbatas karena harus sesuai dengan ketentuan diet bebas gluten dan kasein .
Berdasarkan kendala yang dialami oleh ER dan SM untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein, upaya yang dilakukan kedua responden antara lain adalah dengan memberikan sedikit makanan yang diinginkan anak untuk mengontrol perilaku anak. Pada responden pertama yaitu ER, memberikan anak makanan yang mengandung gluten dan kasein hampir dilakukan setiap hari, yaitu setiap kali anak mengalami tantrum. Ketika anak tantrum, anak akan tahu bahwa dirinya akan mendapatkan makanan yang diinginkan.
Makanan dalam hal ini menjadi sebuah hadiah yang akan didapat oleh anak, namun sikap orangtua yang menerapkan disiplin dengan memberikan hadiah berupa makanan untuk anak hanya akan membuat anak manja dan merupakan teknik disiplin yang buruk untuk anak (Hurlock, 1980).
Selanjutnya pada responden kedua yaitu SM, upaya yang dilakukan adalah tetap berusaha menghindarkan anak dari makanan yang mengandung gluten dan kasein, walaupun SM pernah sesekali harus memberikan anak makanan yang mengandung gluten dan kasein. Hal ini hanya dilakukan SM ketika anak mulai menunjukkan perilaku mogok makan. Mogok makan pada anak tidak muncul setiap hari, melainkan hanya muncul ketika SM menyediakan makanan yang tidak sesuai dengan keinginan anak saat itu. SM mengatakan, lebih khawatir ketika anak mogok makan dibandingkan khawatir dengan efek yang akan ditimbulkan apabila anak mengkonsumsi makanan mengandung gluten dan kasein. Perilaku SM sesuai dengan pernyataan Aritonang, Pardede, & Ervika (2009) yang mengatakan, ibu tidak selalu mematuhi aturan diet untuk anak dengan autisme apabila dampak yang ditumbulkan dari pelanggaran diet anak masih bisa diatasi oleh ibu.
Kedua responden juga mencoba untuk mengganti jenis makanan agar bisa diterima oleh sang anak. Responden pertama yaitu ER pernah mencoba mengganti susu sapi yang biasa dikonsumsi anak dengan susu kedelai, namun respon sang anak adalah menolak. Selanjutnya pada responden kedua yaitu SM, mengganti jenis makanan dilakukan hingga saat ini agar sang anak tetap memperoleh asupan nutrisi yang cukup walaupun sedang menjalankan diet bebas gluten dan kasein. SM juga mengatur sendiri pola makan anak dengan memasak makanan khusus untuk anak setiap hari. Makanan yang diganti oleh SM yaitu seperti, kerupuk yang berasal dari tepung beras, memasak sayur tanpa MSG, jajanan anak diganti dengan jajanan yang berasal dari tepung beras. Lord (2009) mengatakan bahwa, makanan yang mengandung gluten dapat diganti dengan bahan makanan seperti makanan yang berasal dari, beras ataupun nasi, jagung, kedelai, kentang, dan makanan yang berasal dari tepung tapioca.
Selanjutnya pada responden ER, upaya yang juga dilakukan adalah memperingatkan keluarga untuk ikut mengontrol pola makan anak. ER selalu berusaha memperingatkan suami, mertua, maupun anggota keluarga untuk tidak memberikan anak makanan yang mengandung gluten dan kasein. Memperingatkan keluarga dengan memberikan saran mengenai cara memperbaiki kebiasaan makan anak merupakan upaya penting dalam meningkatkan kesehatan anak (Santrock, 2007a).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, selain faktor penerimaan orangtua terhadap anak dengan autisme, terdapat faktor lain yang memengaruhi perbedaan penerapan diet bebas gluten dan kasein pada kedua responden. Faktor lain yang dimaksud yaitu tipe keluarga dimana responden tinggal dan ada atau tidaknya dukungan sosial untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein.
Tipe keluarga pada responden pertama yaitu ER adalah tinggal dengan keluarga besar (extended family), yaitu tinggal bersama suami, dua anak, dan satu orang mertua dalam satu rumah. Selanjutnya, tipe keluarga pada responden kedua yaitu SM adalah tinggal dengan keluarga inti saja (nuclear family), yaitu tinggal hanya dengan suami dan dua orang anak dalam satu rumah. Perbedaan tipe keluarga pada kedua responden dalam penelitian ini ternyata berpengaruh pada keberhasilan penerapan diet bebas gluten dan kasein. Tinggal bersama keluarga besar membuat ER sulit untuk mengontrol pola makan anak, terlebih suami, mertua serta orang lain di lingkungan ER tinggal sering memberikan makanan-makanan yang mengandung gluten dan kasein untuk anak. Sebaliknya, pada responden SM penerapan diet bebas gluten dan kasein lebih bisa dilakukan karena kontrol terhadap pola makan anak di rumah hanya berada pada SM dan suami saja. Adanya campur tangan orang lain selain orangtua kandung dalam pengasuhan anak, sering menimbulkan perbedaan pandangan yang berdampak pada perbedaan cara dalam memperlakukan anak (Yuliono, 2013). Santrock (2007b) mengatakan bahwa, pengasuhan bersama antar anggota keluarga dalam satu rumah merupakan hal yang penting dalam memengaruhi perkembangan anak. Pengasuhan bersama dilakukan dengan memberikan kehangatan pada anak, dukungan antar anggota keluarga dalam merawat anak, koordinasi yang baik, dan kerja sama dalam mengontrol anak. Apabila antar anggota keluarga tidak terdapat koordinasi dan kerjasama yang baik dalam merawat anak, anak akan menghadapi risiko perkembangan (Santrock, 2007b).
Faktor selanjutnya yang memengaruhi perbedaan penerapan diet bebas gluten dan kasein pada kedua responden yaitu ada atau tidaknya dukungan sosial untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein. Keberhasilan untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang mendukung, seperti keterlibatan orang-orang dilingkungan rumah dalam membantu mengontrol asupan makanan anak (Sofia, Ropi, & Mardhiyah, 2012). Dukungan yang berasal dari lingkungan rumah hanya diperoleh oleh responden kedua yaitu SM, oleh karena itu hingga saat ini SM mampu menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk sang anak yang mengalami autisme. Dukungan dari rumah berasal
dari suami SM, dan bentuk dukungan yang diberikan yaitu ikut aktif membantu SM dalam mengawasi dan mengontrol asupan makanan anak. Selanjutnya pada responden pertama yaitu ER, dukungan untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk anak hanya diperoleh dari terapis sang anak, sementara dukungan yang berasal dari lingkungan rumah seperti suami dan keluarga kurang diperoleh oleh ER. Kurangnya dukungan dari keluarga terlihat dari sikap keluarga yang kurang ikut serta mengontrol pola makan anak dan masih memberikan makanan yang mengandung gluten dan kasein untuk anak.
Kesimpulan
Ketika pertama kali mengetahui anak mengalami autisme, ibu akan menunjukkan reaksi menolak, shock, menyangkal, menyalahkan diri sendiri, sebelum pada akhirnya pasrah dan menerima bagaimanapun kondisi anak. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi penerimaan seorang ibu terhadap anak dengan autisme, yaitu melihat pengalaman orang lain juga memiliki anak dengan autisme, mengetahui bahwa anak terus menunjukkan perkembangan kearah yang lebih baik, selalu mendekatkan diri dan berdoa kepada Tuhan, serta adanya dukungan dari suami maupu terapis anak. Seorang ibu yang mampu menerima kondisi anak yang mengalami autisme akan terlihat dari sikap dan perilaku ibu terhadap anak. Sikap dan perilaku tersebut antara lain mencari informasi mengenai diagnosis anak dan mencari penanganan yang tepat untuk anak, menjelaskan bagaimana kondisi anak pada lingkungan, tidak membedakan pola asuh antara anak dengan autisme dengan saudara kandung yang normal, mengetahui setiap perkembangan anak, memberi kesempatan anak mandiri, dan mampu membentuk ikatan batin dengan anak.
Seorang ibu yang telah menerima kondisi anak dengan autisme akan berupaya memberikan penanganan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menerapkan diet bebas gluten dan kasein. Terdapat beberapa kendala yang dialami dalam menerapkan diet bebas gluten dan kasein, yaitu sikap ibu yang tidak tega melihat anak yang dibatasi untuk mengkonsumsi makanan maupun minuman tertentu, perilaku anak yang tantrum dan memilih-milih makanan, sikap keluarga yang masih kurang ikut mengontrol pola makan anak, dan kekhawatiran ibu mengenai gizi anak. Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan ibu untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein adalah berusaha mengindarkan anak dari makanan yang mengandung gluten dan kasein, sesekali tetap memberikan anak makanan mengandung gluten dan kasein untuk mengontrol perilaku anak dan mencegah anak dari mogok makan, menganti jenis makanan, memperingatkan keluarga untuk tidak memberikan
makanan dan minuman mengandung gluten dan kasein, serta memasak makanan setiap hari untuk anak.
Selanjutnya, ditemukan faktor lain yang ternyata dapat mendukung penerapan diet bebas gluten dan kasein. Faktor yang dimaksud adalah tipe keluarga dan ada atau tidaknya dukungan sosial untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein. Faktor pertama adalah tipe keluarga responden, yaitu tipe keluarga yang tinggal dengan keluarga besar atau tipe keluarga yang hanya tinggal dengan keluarga inti. Hal ini berkaitan dengan kontrol terhadap pola makan anak, semakin banyak anggota keluarga yang terlibat dalam pengasuhan anak, makan kontrol terhadap pola makan anak menjadi semakin sulit. Faktor kedua adalah ada atau tidaknya dukungan dari keluarga di rumah terhadap ibu dalam menerapkan diet bebas gluten dan kasein untuk anak dengan autisme. Dukungan yang berasal dari keluarga di rumah sangat penting untuk ibu dalam menerapkan diet bebas gluten dan kasein. Hal ini karena pola makan anak sebagian besar diatur oleh ibu di rumah, apabila ibu memperoleh dukungan dari lingkungan di rumah maka ibu akan terbantu dan tidak merasa sendiri dalam bertanggungtawab atas pola makan anak.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka peneliti memberikan saran kepada orangtua khususnya ibu dengan anak autisme agar dapat menunjukkan sikap dan perilaku penerimaan terhadap anak secara konsisten dibandingkan memerhatikan anggapan negatif orang lain mengenai anak autisme, agar anak dengan autisme tetap dapat tumbuh dalam lingkungan yang positif yang sekaligus berdampak pada perkembangan anak kearah yang lebih baik. Bagi orangtua yang berkeinginan untuk menerapkan diet bebas gluten dan kasein bagi anak dengan autisme, sebaiknya melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada dokter maupun praktisi kesehatan untuk memastikan kondisi tubuh anak. Perlu dilakukan serangkaian tes untuk memastikan apakah anak perlu atau tidak melakukan diet bebas gluten dan kasein.
Saran bagi keluarga dan lingkungan sekitar adalah Keluarga dan orang-orang terdekat disekitar orangtua yang memiliki anak dengan autisme diharapkan dapat merangkul, mendampingi, serta memberikan dukungan kepada orangtua maupun anak dengan autisme agar orangtua dan anak dengan autisme tidak dipandang sebelah mata dan tidak merasa terkucilkan dari lingkungan sosialnya. Keluarga dan orangorang terdekat disekitar anak dengan autisme juga diharapkan dapat ikut membantu mengontrol perilaku makan anak.
Saran bagi praktisi kesehatan dan terapis adalah praktisi kesehatan dan terapis anak dengan autisme diharapkan agar memberikan informasi yang lebih banyak mengenai pentingnya mengontrol pola makan anak dengan autisme yang
tepat dan seimbang, sehingga upaya penyembuhan anak tidak hanya terpusat pada terapi untuk perkembangan kognitif dan motorik anak. Informasi dapat berupa poster atau pesan bergambar mengenai makanan yang tepat untuk anak dengan autisme yang bisa di pasang di klinik maupun tempat terapi anak.
Saran bagi pemerintah adalah pemerintah dapat memberikan edukasi melalui sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai informasi terkait bagaimana autisme melalui media-media publik, sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai gangguan perkembangan yang bisa terjadi pada semua anak dan memungkinkan anak untuk memperoleh penanganan sejak dini. Adanya sosialisasi mengenai autisme pada masyarakat juga dapat mengurangi diskriminasi terhadap anak maupun orangtua yang memiliki anak dengan autisme.
Saran bagi peneliti selanjutnya adalah penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat mengkaji lebih mendalam mengenai pentingnya peran suami bagi ibu yang memiliki anak dengan autisme dalam memengaruhi penerimaan seorang ibu dan memengaruhi penerapan diet bebas gluten dan kasein untuk anak dengan autisme.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M., & Wirjatmadi, B. (2014). Peranan gizi dalam siklus kehidupan. Jakarta: Kencana.
Ali, Yasser. (2015, Oktober 7). Kejam! Ayah ini tega bunuh anaknya yang autis karena lelah mengurusnyaI. Diunduh dari news.detik.com: https://news.detik.com/berita/3038883/kejam-ayah-ini-tega-bunuh-anaknya-yang-autis-karena-lelah-mengurusnya#top
Agustikasari, D. (2016). Penerimaan orangtua kandung pada anaknya yang penyandang autis. (Naskah publikasi). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Aritonang, E., Pardede, A., & Ervika, E. (2009). Pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pola makan anak penderita autis di yayasan tali kasih. Jurnal Kedokteran Indonesia, 1(1), 102107.
Astutik, S. (2014). Penerimaan orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus. (Skripsi tidak dipublikasi). Program Studi Psikologi Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2014). Psikologi abnormal edisi ke-9. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Fakhiroh, E. (2011). Studi deskriptif mengenai penerimaan dan perlakuan orangtua serta keluarga pada anak autis. (Skripsi tidak dipublikasi). Program Studi Psikologi
Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Futuhiyat. (2004). Hubungan antara pengetahuan orangtua tentang autisme dengan sikap penerimaan orangtua terhadap anak penyandang autistik. (Skripsi tidak dipublikasi). Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gandy, J. W., Madden, A., & Holdsworth. (2016). Gizi dan dietika edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Ginting, S. A., Ariani, A., & Sembiring, T. (2004). Terapi diet pada autisme. Sari Pediatri, 6 (1), 47-51.
Gunarsa, S. D., & Gunarsa , Y. D. (2008). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2009). Exceptional learners an introduction to special education. United States of America: Pearson Education, Inc.
HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia
Hurlock, E. B. (1978). Child development 6th edition. New York: McGraw-Hill Book Company.
Hurlock, B. E. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang kehidupan edisi keenam. Jakarta: Erlangga.
Ismail, Idris. (2015, Desember 3). Tega, bocah autis asal pijay ditelantarkan orangtuanya. Diunduh dari
aceh.tribunnews.com:
http://aceh.tribunnews.com/2015/12/03/tega-bocah-autis-asal-pijay-ditelantarkan-orang-tuanya
K. K. (2012, April 16). KEMENKES peringati hari autis internasional. Dipetik April 06, 2016, dari depkes.go.id: http://www.depkes.go.id/article/print/1881/kemenkes-peringati-hari-autis-international.html
Liputan 6. (2013, April 2). Segalanya harus ekstra untuk anak autis.
Diunduh dari health.liputan6.com:
http://health.liputan6.com/read/549979/segalanya-harus-ekstra-untuk-anak-autis?source=search
Liputan 6. (2013, April 2). Ada loh took khusus makanan dan minuman bebas gluten dan kasein. Diunduh dari health.liputan6.com: http://health.liputan6.com/read/550660/ada-lho-toko-khusus-makanan-dan-minuman-bebas-gluten-dan-casein?source=search
Lord, S. (2009). Getting your kid on a gluten-free casein-free diet. London: Jessica Kingsley Publishers.
Melisa, F., & Hazliansyah. (2013, April 9). 112.000 anak Indonesia diperkirakan menyandang autisme. Diunduh dari
republika.co.id:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/ mkz2un-112000-anak-indonesia-diperkirakan-menyandang-autisme
Moleong, L. J. (2014). Metode penelitian kualitatif edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mukhfi, Nugraheni, S. A., & Kartini, A. (2014). Hubungan praktek pengaturan diet dengan perilaku emosionalpada penyandang autism spectrum disorder (ASD) usia 3-7 tahun di kota depok. Jurnal Kesehatan Masyarakat (ejournal), 02, 1-8.
Mulyaningsih, Fitri. (2008). Hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi balita dan pola makan balita terhadap status
gizi balita di kelurahan Srihardono kecamatan Pundong. (Skripsi tidak dipublikasi). Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
Mutianingrum, A. (2013). Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian diet bebas gluten, kasein dan status gizi pada anak autis. (Skripsi tidak dipublikasi). Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana
Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.
Pratiwi, R. A., & Dieny, F. F. (2014). Hubungan skor frekuensi diet bebas gluten bebas casein dengan skor perilaku autis.Journal of Nut rition College, 3, 34-42.
Puspita, D. (2004). Makalah : Peran keluarga pada penanganan individu autistik. Jakarta: Yayasan Autis Indonesia.
Priherdityo, Endro. (2016, April 7). Indonesia masih ‘gelap’ tentang autisme. Diunduh dari cnnindonesia.com:
Rachmayanti, S., & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan diri orangtua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi, 1, 1-11.
Ramadayanti, S. (2012). Perilaku pemilihan makanan dan diet bebas gluten bebas kasein pada anak autis. Artikel Penelitian , 125.
Rufaidah, N. (2014). Penerimaan diri orangtua tunggal yang mempunyai anak autis. (Skripsi tidak dipublikasi). Program studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Rupu, N. Y. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua anak retardasi mental di SLB negeri pohuwato. Jurnal Keperawatan , 1-14.
Santrock, J. W. (2007a). Perkembangan anak edisi kesebelas jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga .
Santrock, J. W. (2007b). Perkembangan anak edisi kesebelas jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Satori, D. & Komariah, A. (2011). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Soedjatmiko. (2001). Deteksi dini gangguan tumbuh kembang balita. Sari Pediatri, 3(3), 175-188.
Soetjiningsih, & Ranuh, I. G. (2015). Tumbuh kembang anak edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Sofia, A. D., Ropi, H., & Mardhiyah, A. (2012). Kepatuhan orang tua dalam menerapkan terapi diet gluten free casein free pada anak penyandang autisme di yayasan pelitan hafizhdan SLBN cileunyi bandung. ejournal, 1(1), 1-15.
Straus, M. A., & Brown, B. W. (1978). Family measurement
techniques abstracts of published instruments, 1935-1974. Don Mills: Canada by Burns & Maceachern.
Suara Indonesia. (2017, Januari 6). Anak ditelantarkan di Bengkulu, komnas perlindungan anak: ini kejahatan kemanusiaan. Diunduh dari suaraindonesia-news.com:
http://suaraindonesia-news.com/anak-diterlantarkan-di-bengkulu-komnas-perlindungan-anak-ini-kejahatan-kemanusiaan/
Sudarmintawan, S. I. (2016). Studi pendahuluan mengenai penerapan diet bebas gluten dan kasein di Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Denpasar pada tahun 2016. (Naskah tidak dipublikasikan). Denpasar: Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Sugiyono, P. D. (2014). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: CV Alfabeta.
Syarifah, F. (2014, April 02). Jumlah anak autis semakin banyak. Dipetik April 06, 2016, dari health.liputan6.com:
http://health.liputan6.com/read/2031441/jumlah-anak-autis-semakin-banyak
Webster-Gandy, J., Madden, A., & Holdsworth, M. (2016). Gizi & Dietetika (A Handbook of Nutrition and Dietetics) Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Whiteley, P., Earnden, M., & Robinson, E. (2014). Autism: exploring the benefit of a gluten- and casein-free diet . New York: Routledge.
Woolfson R. C.(2003). Persaingan saudara kandung. London, Octopus Publishing Group.
Yuliono, M. M. (2013). Memahami pengalaman komunikasi pengasuhan anak dalam extended family. 1-13.
86
Discussion and feedback