HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SELF EFFICACY DENGAN TINGKAT STRES PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
on
Jurnal Psikologi Udayana
2018, Vol.5 , No.1, 145-157
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SELF EFFICACY DENGAN
TINGKAT STRES PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
Putu Surya Parama Putra dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Surya.parama@gmail.com
Abstrak
Stres merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap manusia termasuk perawat. Stres berkaitan dengan pemberian dukungan yang dapat menjadikan individu yang menerima merasa diterima dalam kelompok dan dicintai. Disamping itu, stres juga berkaitan dengan keyakinan individu pada kemampuannya sendiri dalam melaksanakan serangakaian kegiatan untuk mendapatkan hasil yang ingin dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan self efficacy dengan tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sedangkan subyek penelitiannya adalah 341 orang perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Pengambilan data dilakukan dengan skala tingkat stres, skala dukungan sosial, dan skala self efficacy. Hasil penelitian memperlihatkan nilai F = 86,426 dengan sig = 0,000. Terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres, serta terdapat hubungan negatif antara self efficacy dengan tingkat stres. Berdasarkan hasil regresi berganda didapatkan hasil, bahwa semakin tinggi dukungan sosial dan self efficacy, maka semakin rendah tingkat stres yang dialami.
Kata kunci: Dukungan Sosial, Self Efficacy, Tingkat Stres, Perawat
Abstract
Stress is something that is happened towards everyone including nurse. Stress related with support giving can make an individual that received the support feel acceptable in the group and loved. Other than that, stress also related to individual faith at their own ability to do several activities to get the result they want to achieve. The purpose of this study was to know the correlation between the social support and self-efficacy with the level of stress of nurses at Sanglah General Hospital.
This research used quantitative method with multiple regression analysis. Meanwhile the experiment subjects are 341 nurses at Sanglah General Hospital. The data is taken with stress level scale, social support scale, and self efficacy scale. Result of experiment shows F value = 86,426 with sig = 0,000. There is a negative relationship between social support with stress levels, as well as negative relationship between self efficacy with stress levels. Based on the results of multiple regression, it showed that the higher the social support and self efficacy, the lower the level of stress that would have happened.
Keywords: Social Support, Self Efficacy, Level Of Stress, Nurse
LATAR BELAKANG
Pembangunan bidang kesehatan merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional, seperti yang tercantum dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 dikatakan tujuan pembangunan kesehatan ialah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Perdhaki, 2009). Untuk mewujudkan pembangunan kesehatan bagi warga negara Indonesia, maka setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Institusi yang berperan penting bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan ialah rumah sakit, seperti yang tertuang dalam undang-undang no 44 tahun 2009, bahwa rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, kehidupan sosial, dan ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (RSUD Wangaya Kota Denpasar, 2015).
Berdasarkan profil kesehatan provinsi Bali tahun 2014 didapatkan informasi, bahwa provinsi Bali memiliki 55 rumah sakit milik pemerintah maupun swasta yang terdiri dari berbagai kelas (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2016). Salah satu rumah sakit kelas A yang dimiliki oleh Depkes pusat adalah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah (Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali, 2014). Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah berperan penting di wilayah NTB, NTT, dan Bali, karena berperan sebagai sebuah institusi yang bergerak pada bidang kesehatan, serta berfungsi sebagai rumah sakit rujukan utama untuk masyarakat yang tinggal di wilayah provinsi Bali, provinsi NTB, dan provinsi NTT (Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, 2015). Dalam rencana strategi bisnis RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015-2019 dijelaskan, bahwa visi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah adalah “menjadi rumah sakit rujukan nasional kelas dunia tahun 2019” (To Be A World Class National Referral Hospital In 2019) (RSUP Sanglah Denpasar, 2014). Visi ini diupayakan untuk dicapai melalui misi, maka misi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan interprofesi yang paripurna bermutu untuk seluruh lapisan masyarakat, menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan yang profesional dan berdaya saing serta menyelenggarakan penelitian dalam bidang kesehatan berbasis rumah sakit, menyelenggarakan kemitraan dengan pemangku kesehatan terkait, dan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman (RSUP Sanglah Denpasar, 2014). Selain memiliki visi dan misi, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah juga memiliki falsafah, yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan penelitian (RSUP Sanglah Denpasar, 2014).
Tenaga keperawatan merupakan sumber daya manusia yang memiliki jumlah yang paling besar dibandingkan dengan jenis tenaga yang lain yang bertugas di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, 2015). Berdasarkan undang-undang nomor 38 tahun 2014 perawat sebagai tenaga yang penting di dalam suatu rumah sakit termasuk dalam hal ini Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah juga memiliki tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan, penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang, dan pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu (Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2015).
Hasil wawancara awal Putra (2016) dengan perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah menunjukkan, bahwa perawat memiliki tugas yang cukup banyak, karena selain memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, juga harus mengerjakan administrasi, mengambil obat pasien ke Depo, mengambil hasil ronsen, mengambil hasil lab, mengantar pasien pulang, mengantar pasien operasi, membersihkan ruangan, membersihkan peralatan, mengantar pasien konsul, membawa resep, membersihkan alat-alat, dan membawa pasien. Hasil ini didukung dengan hasil penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (dalam Prihatini, 2007), yang menyatakan, bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas kebersihan, 63,6% melakukan tugas administrasi dan lebih dari 90% melakukan tugas non keperawatan (misalnya menetapkan diagnosa penyakit, membuat resep, dan melakukan tindakan pengobatan) dan hanya 50% yang melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsinya. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang berperan terhadap stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (Suryaningrum, 2015).
Dalam menjalankan pengabdiannya sebagai salah satu tenaga yang bekerja di rumah sakit perawat dapat berisiko dan rentan terkena stres. Menurut Tawale, Budi, dan Nurcholis (2011) perawat dapat rentan terkena stres, karena seorang perawat sering dihadapkan pada suatu usaha penyelamatan nyawa seseorang, perawat dihadapkan dengan hal-hal yang monoton, ruang kerja yang sesak, harus bertindak cepat dalam melayani keluhan pasien, tingkat kebutuhan yang tinggi dari pasien, dan semakin beragamnya penyakit.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Putra (2016) dengan tiga orang perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah didapatkan informasi, bahwa perawat mengalami gejala stres dari Hardjana (1994) seperti sakit kepala, sakit punggung, pola makan tidak teratur, lupa, gelisah, dan lelah. Gejala stres yang dialami perawat dipicu oleh aktivitas yang dilakukan oleh perawat seperti mencuci di
rumah, menyapu di rumah, membikin banten, mengepel di rumah, bekerja di klinik swasta, melaksanakan operan, memberi penjelasan kepada pasien, memberikan orientasi kepada mahasiswa, memeriksa dokumen pasien, mengecek alat dan fasilitas, rapat, membikin jadwal dinas rutin, dan membikin laporan bulanan (Putra, 2017).
Hasil wawancara Putra (2016) dengan tiga orang perawat dan satu staf Infection Prevention Clinical Nurse di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah didapatkan hasil, bahwa selama bekerja perawat merasakan bising saat bekerja, suara penunggu pasien yang keras, ada peralatan yang kurang, tenaga cleaning service yang kurang, komplain dengan nada keras, keluarga pasien yang kurang kooperatif, harapan tinggi dari keluarga pasien, resiko penularan penyakit, macet, kematian pasien, tenaga bagian keperawatan yang kurang, pasien kurang kooperatif, ruangan yang panas, ruangan yang kecil, keluarga pasien yang ramai, keluarga pasien yang panik, ruangan yang sesak, kekerasan dari keluarga pasien kepada perawat, fasilitas yang terkadang tidak ada, fasilitas terkadang rusak, dan fasilitas yang terbatas. Semua kondisi yang dialami oleh perawat berdasarkan wawancara diatas dapat berpengaruh terhadap stres. Hasil ini sejalan dengan pernyataan dari Priyoto (2014) yang menyatakan, bahwa hal-hal yang dirasakan oleh perawat, baik yang bersumber dari lingkungan atau hubungan interpersonal dapat berpengaruh terhadap stres.
Stres merupakan sesuatu hal yang tak bisa terelakan dalam kehidupan manusia (Asmadi, 2008). Tingkat stres yang dialami oleh individu dapat terjadi dalam berbagai tingkat. Individu yang memiliki tingkat stres yang rendah sampai menengah akan dapat melakukan tugas secara lebih baik dan menjadi tekun, sedangkan tingkat stres yang tinggi dapat menurunkan kinerja (Robbins & Judge, 2008). Tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah perlu diperhatikan, karena apabila perawat mengalami stres yang tergolong tinggi, maka dapat berpengaruh kepada kualitas perawat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kondisi stres pada individu termasuk juga perawat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dukungan sosial merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi stres. Seperti yang dijelaskan oleh Smet (1994), bahwa faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu seperti variabel sosio kognitif (dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial, kontrol pribadi yang dirasakan) dan hubungan dengan lingkungan sosial (dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial). Menurut Smet (1994) dukungan sosial didefinisikan sebagai sebuah pertolongan dan bantuan yang diterima individu dari interaksinya dengan lingkungan. Dukungan sosial dapat memberikan berbagai manfaat bagi individu yang menerima. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Garmenzy dan Rutter (dalam Putri, 2011), menyebutkan
manfaat dukungan sosial, yakni dukungan sosial dapat mengurangi kecemasan, dimana kecemasan merupakan salah satu indikator munculnya stres (Priyoto, 2014). Selain itu Taylor (2009) juga menjelaskan, bahwa dukungan sosial dapat memberikan manfaat, yaitu dapat melindungi jiwa seseorang dari akibat yang ditimbulkan oleh stres.
Hubungan dukungan sosial dengan stres juga didukung oleh hasil penelitian dari Susilowati (2007) yang mendapatkan hasil, bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan tingkat stres, korelasi yang dihasilkan adalah negatif yang mempunyai arti semakin besar dukungan sosial, maka semakin rendah tingkat stres yang muncul, dan semakin rendah dukungan sosial, maka semakin tinggi pula tingkat stres yang muncul.
Faktor kedua yang mempengaruhi stres adalah faktor internal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu seperti yang dijelaskan oleh Smet (1994), bahwa sejumlah variabel yang diidentifikasi berpengaruh pada stres, yaitu variabel dalam kondisi individu (umur, jenis kelamin, faktor genetik, pendidikan, status ekonomi, kondisi fisik), karakteristik kepribadian, dan strategi penanggulangan (coping). Self efficacy menurut Puspitasari (2014) merupakan salah satu bagian dari faktor internal, yang merupakan bagian dari karakteristik kepribadian yang dimiliki individu. Menurut Bandura (dalam Prestiana & Purbandini, 2012) self efficacy adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu.
Menurut Octary (dalam Prestiana & Purbandini, 2012), seseorang yang memiliki self efficacy tinggi percaya, bahwa individu dapat menanggulangi kejadian dan situasi secara efektif. Tingginya self efficacy menurunkan rasa takut akan kegagalan, meningkatkan aspirasi, meningkatkan cara penyelesaian masalah, dan kemampuan berpikir analitis. Menurut Bandura (dalam Prestiana & Purbandini, 2012) orang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan mempunyai semangat yang lebih tinggi dalam menjalankan suatu tugas tertentu dibandingkan dengan orang yang memiliki self efficacy yang rendah. Menurut Bandura (dalam Prestiana & Purbandini, 2012) self efficacy yang rendah akan memiliki dampak bagi individu, yakni merusak motivasi, menurunkan aspirasi, mengganggu kemampuan kognitif, dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan fisik. Selanjutnya self efficacy yang rendah dapat menyebabkan seseorang kurang tepat dalam menentukan sikap seperti pengambilan keputusan, kemudian bagaimana melakukan pekerjaan dengan cara yang baik (Kusnadi, 2014). Hal ini, karena seseorang merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri untuk dapat mengerjakan tugasnya dengan baik (Kusnadi, 2014).
Hubungan self efficacy dengan tingkat stres juga didukung oleh beberapa hasil penelitian, yakni penelitian dari Vaezi & Fallah (2011) yang mendapatkan hasil, yakni terdapat
korelasi negatif antara self efficacy terhadap tingkat stres, yang memiliki makna, bahwa semakin tinggi self efficacy, maka tingkat stres akan semakin menurun begitu juga sebaliknya semakin rendah self efficacy, maka tingkat stres akan semakin meningkat.
Berdasarkan pemaparan yang telah dipaparkan terkait dengan stres, dukungan sosial, dan self efficacy, serta wawancara yang telah peneliti lakukan, membuat peneliti tertarik untuk melihat hubungan dukungan sosial dan self efficacy dengan tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
METODE PENELITIAN
Variable dan Definisi Operational
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial dan self efficacy. Definisi operasional dari variabel dukungan sosial adalah pemberian bantuan atau dukungan yang melibatkan satu atau lebih aspek yang terdiri dari dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi yang dapat menjadikan individu yang menerima dukungan sosial menjadi bagian dari kelompok, mendapatkan kesan yang menyenangkan, merasa dicintai, merasa diperhatikan, dan merasa dihargai. Definisi operasional dari variabel self efficacy adalah keyakinan individu pada kemampuan dirinya sendiri dalam mengatur, mengerjakan, dan melaksanakan serangkaian kegiatan untuk menghasilkan hasil yang ingin dicapai.
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah tingkat stres. Definisi operasional dari variabel tingkat stres adalah tingkat reaksi individu terhadap lingkungan dalam menghadapi situasi mengancam atau membahayakan yang dapat dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan dari sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial.
Subyek Penelitian
Populasi penelitian ini adalah perawat yang masih aktif bertugas di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah yang berjumlah 1150 orang (Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, 2015). Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah tercatat sebagai perawat yang masih aktif bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan bersedia mengikuti seluruh proses pengambilan data. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah cluster sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 341 orang yang merupakan perawat yang masih aktif bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dengan populasi perawat yang masih aktif bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dengan memakai 11 instalasi yang dipilih dengan teknik cluster
sampling, yakni Instalasi Rawat Inap A, Instalasi Rawat Inap B, Instalasi Rawat Inap C, Instalasi Rawat Inap D, Instalasi Wing International, Instalasi Rawat Darurat, Instalasi Bedah Sentral, Instalasi Pelayanan Jantung Terpadu, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Intensif, dan Instalasi Pelayanan Dialisis.
Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan skala tingkat stres, skala dukungan sosial, dan skala self efficacy. Skala tingkat stres digunakan untuk mengetahui tingkat stres subyek. Skala dukungan sosial digunakan untuk mengetahui tingkat dukungan sosial subyek. Skala self efficacy digunakan untuk mengetahui tingkat self efficacy subyek.
Skala penelitian ini menggunakan skala tipe likert yang memiliki 4 alternatif jawaban, yaitu: (1) sangat sesuai (SS), (2) sesuai (S), (3) tidak sesuai, dan (4) sangat tidak sesuai (STS). Skala tingkat stres merupakan skala yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada gejala-gejala stres oleh Hardjana (1994), yaitu: gejala fisikal, gejala emosional, gejala intelektual, dan gejala interpersonal. Hasil uji coba skala tingkat stres memiliki nilai koefisien korelasi yang bergerak dari 0,387 hingga 0,704, serta nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,910. Skala dukungan sosial merupakan skala yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada aspek-aspek dukungan sosial oleh House (dalam Smet, 1994), yaitu: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif. Hasil uji coba skala dukungan sosial memiliki nilai koefisien korelasi yang bergerak dari 0,357 hingga 0,830, serta nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,953. Skala self efficacy merupakan skala yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada aspek-aspek self efficacy oleh Bandura (1997), yaitu level, strength, dan generality. Hasil uji coba skala self efficacy memiliki nilai koefisien korelasi yang bergerak dari 0,321 hingga 0,795, serta nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,901. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap 3 variabel penelitian, yaitu tingkat stres, dukungan sosial, dan self efficacy. Ketiga variabel diukur dengan menggunakan skala penelitian, yaitu skala tingkat stres, skala dukungan sosial, dan skala self efficacy yang sudah di uji cobakan terlebih dahulu. Untuk memastikan subyek mengisi seluruh kuesioner tanpa ada satupun kuesioner yang terlewati, maka peneliti tidak memberikan batas waktu untuk mengisi kuesioner yang telah dibagikan.
Metode Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan teknik analisis regresi berganda. Metode analisis regresi berganda digunakan dalam penelitian ini untuk melihat hubungan antara variabel bebas, yaitu dukungan sosial dan self efficacy dengan variabel tergantung, yaitu tingkat
stres. Regresi berganda dalam penelitian ini digunakan juga untuk memprediksikan seberapa jauh perubahan nilai variabel dukungan sosial terhadap variabel tingkat stres, untuk memprediksikan seberapa jauh perubahan nilai variabel self efficacy terhadap variabel tingkat stres, dan untuk mengetahui seberapa besar variabel independen berkontribusi terhadap variabel dependen.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subyek
Karakteristik subyek penelitian menunjukkan, bahwa subyek yang berjenis kelamin perempuan berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan subyek berjenis kelamin laki-laki. Karakteristik subyek berdasarkan rentang usia menunjukkan, bahwa mayoritas subyek berada pada rentang usia 20-29 tahun. Karakteristik subyek berdasarkan masa kerja menunjukkan, bahwa mayoritas subyek memiliki masa kerja < 6 tahun. Karakteristik subyek berdasarkan status pernikahan menunjukkan, bahwa mayoritas subyek telah menikah. Karakteristik subyek berdasarkan status pegawai menunjukkan, bahwa mayoritas subyek memiliki status pegawai tetap.
Deskripsi Data Penelitian
Pada variabel tingkat stres diperoleh mean teoretis sebesar 42,5 yang lebih besar daripada mean empiris sebesar 34,03. Hal ini memperlihatkan, bahwa rata-rata subyek dalam penelitian memiliki tingkat stres yang rendah. Sedangkan mean teoretis dukungan sosial sebesar 77,5 lebih kecil daripada mean empiris sebesar 97,92 dan pada variabel self efficacy diperoleh mean teoretis sebesar 55 yang lebih kecil daripada mean empiris sebesar 66,13. Hal ini menunjukkan, bahwa rata-rata subyek dalam penelitian memiliki tingkat dukungan sosial yang tinggi dan self efficacy yang tinggi. Selanjutnya deskripsi data penelitian tiap variabel dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel. 1.
Deskripsi Data Penelitian Tiap Variabel | |||
Variabel |
N |
Mean Teoretis |
Mean Empiris |
Tingkat Stres |
341 |
42,5 |
34,03 |
Dukungan Sosial |
341 |
77,5 |
97,92 |
SelfEfficacy |
341 |
55 |
66,13 |
Uji Asumsi Klasik
Hasil uji normalitas menunjukkan, bahwa sebaran data pada variabel tingkat stres, dukungan sosial, dan self efficacy bersifat normal Asymp.Sig. (2-tailed) ketiga variabel penelitian memiliki probabilitas sebesar 0,232 (p>0,05). Hasil uji linieritas dukungan sosial dan stres didapatkan hasil yang menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat dikatakan hubungan antara variabel dukungan sosial dan variabel tingkat stres adalah linier. Hasil
uji linieritas self efficacy dan tingkat stres didapatkan hasil yang menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat dikatakan hubungan antara variabel self efficacy dan variabel tingkat stres adalah linier. Hasil uji multikolinearitas menunjukkan Tolerance sebesar 0,755 dan VIF sebesar 1,324. Nilai Tolerance pada uji multikolinearitas tidak kurang dari 0,1 dan nilai VIF tidak lebih dari 10, sehingga tidak ada korelasi yang sangat tinggi antarvariabel bebas. Penelitian ini juga terbebas dari asumsi klasik heteroskedastisitas, karena titik-titik data menyebar diatas dan dibawah scatterplot secara tidak berpola.
Uji Hipotesis
Hasil pengolahan data dengan analisis regresi berganda menghasilkan nilai F sebesar 86,426 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Karena nilai probabilitas 0,000 (p < 0,050), maka dukungan sosial dan self efficacy secara bersama-sama mempengaruhi tingkat stres. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara dukungan sosial dan self efficacy dengan tingkat stres. Selanjutnya hasil uji model regresi dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel. 2.
IlasilUjiANOVA
Sum OfSquares |
Df |
Mean Square |
F |
Sig | |
Regression |
2430.353 |
2 |
1215.176 |
86.426 |
.000a |
Residual |
4752.410 |
338 |
14.060 | ||
Total |
7182.762 |
340 |
Hasil pengolahan data dengan analisis berganda ditemukan hasil, bahwa besarnya hubungan antara dukungan sosial dan self efficacy, jika dikorelasikan bersama-sama dengan variabel tingkat stres akan menghasilkan korelasi sebesar 0,582. Angka R Square sebesar 0,338. Ini berarti, bahwa sumbangan efektif yang diberikan oleh dukungan sosial dan self efficacy dengan tingkat stres sebesar 33,8%. Selanjutnya hasil uji koefisien determinan dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel. 3.
Koefisien Determinan
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
.5824 |
.338 |
.334 |
3.750 |
Hasil pengolahan data dengan analisis regresi berganda didapatkan hasil, bahwa bilangan konstanta pada penelitian ini adalah 71,826. Bilangan konstanta pada penelitian ini memiliki makna, bahwa apabila tidak ada peningkatan nilai dukungan sosial dan self efficacy, maka nilai prediksi tingkat stres 71,826. Koefisien regresi X1 sebesar 0,142 dengan probabilitas signifikansi 0,000 (p < 0,05) mengindikasikan, bahwa setiap penambahan satu poin dukungan sosial, maka akan menurunkan tingkat stres sebesar 0,142. Koefisien regresi X2 sebesar 0,361 dengan probabilitas signifikansi 0,000 (p < 0,05) mengindikasikan, bahwa setiap penambahan
satu poin self efficacy, maka akan menurunkan tingkat stres sebesar 0,361. Selanjutnya hasil koefisen korelasi beta dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel. 4.
Koefisien Korelasi Beta
ModeL |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
T |
SifS- | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
(Constant) |
71.826 |
2.942 |
24.414 |
.000 | |
Dukungan Sosial |
-.142 |
.030 |
-.238 |
-4.670 |
.000 |
Self EfFicacy |
-361 |
.043 |
-.426 |
-8.369 |
.000 |
Kategorisasi Skor Skala
Berdasarkan hasil kategorisasi skor skala pada skala tingkat stres diketahui, bahwa subyek lebih banyak berada pada kategori sedang sebanyak 211 orang atau 61,88%. Kategorisasi skala tingkat stres dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel. 5.
Kategorisasi Skala Tingkat Stres
Variabel |
Kriteria |
Kategorl |
Frekuensi |
Presentase |
Tingkat Stres |
X>51 |
Tinggi |
0 |
0% |
34-51 |
Sedang |
211 |
61,88% | |
X <34 |
Rendah |
130 |
38,12% | |
Jumlah |
341 |
100% |
Berdasarkan hasil kategorisasi skor skala pada skala dukungan sosial diketahui, bahwa subyek lebih banyak berada pada kategori tinggi sebanyak 198 orang atau 58,06%. Kategorisasi skala dukungan sosial dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel. 6.
Kategorisasi Skala Dukungan Sosial
Variabel |
Kriteria |
Kategori |
Frekuensi |
Presentase |
Dukungan Sosial |
X >93 |
Tinggi |
198 |
58,06% |
62-93 |
Sedang |
143 |
41,94% | |
X <62 |
Rendah |
0 |
0% | |
Jumlah |
341 |
100% |
Berdasarkan hasil kategorisasi skor skala pada skala self efficacy diketahui, bahwa subyek lebih banyak berada pada kategori sedang sebanyak 251 orang atau 73,61%. Kategorisasi skala self efficacy dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel. 7.
Kategorisasi Skala Self Efficacy
Variabel |
Kriteria |
Kategori |
Frekuensi |
Presentase |
SelfEfficacy |
X>66 |
Tinggi |
90 |
26,39% |
44-66 |
Sedang |
251 |
73,61% | |
X < 44 |
Rendah |
0 |
0% | |
Jumlah |
341 |
100% |
Uji Beda pada Data Tambahan
Berdasarkan hasil uji beda pada kelompok jenis kelamin diketahui pada variabel tingkat stres diperoleh nilai probabilitas (p) sebesar 0,530 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini mengartikan, bahwa tidak ada perbedaan tingkat stres antara perawat yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pada variabel dukungan sosial
diketahui nilai probabilitas (p) sebesar 0,097 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini memiliki makna, bahwa tidak ada perbedaan dukungan sosial antara perawat yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selanjutnya diketahui, bahwa nilai probabilitas (p) untuk variabel self efficacy adalah 0,442 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Dapat disimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan self efficacy antara perawat yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hasil uji beda pada kelompok jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel. S.
Ujl Beda Pada KeLompok Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Mann Whitney U |
Wikoxon W |
Z |
Asymp Sig (2tailed) | |
Tingkat Stres |
8926.000 |
46054.000 |
-.628 |
530 |
Dukungan Sosial |
8174.000 |
105 89.000 |
-1.662 |
.097 |
SelfEfFicacy |
8 826.000 |
11241.000 |
-.769 |
.442 |
Berdasarkan |
hasil |
uji beda |
pada |
kelompok status |
pegawai diketahui pada variabel tingkat stres diperoleh nilai probabilitas (p) sebesar 0,993 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini mengartikan, bahwa tidak ada perbedaan tingkat stres antara perawat yang memiliki status pegawai tetap dan pegawai kontrak. Pada variabel dukungan sosial diketahui nilai probabilitas (p) sebesar 0,207 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini memiliki makna, bahwa tidak ada perbedaan dukungan sosial antara perawat yang memiliki status pegawai tetap dan pegawai kontrak. Selanjutnya diketahui, bahwa nilai probabilitas (p) untuk variabel self efficacy adalah 0,119 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Dapat disimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan self efficacy antara perawat yang memiliki status pegawai tetap dan pegawai kontrak. Hasil uji beda pada kelompok status pegawai dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel. 9.
Uji Beda Pada KeLompok Status Pegawai
Status Pegawai | ||||
Mann Whitney U |
Wilcoxon W |
Z |
Asymp Sig (2tailed) | |
Tingkat Stres |
10250.000 |
44966.000 |
-.009 |
.993 |
Dukungan Sosial |
9295.500 |
44011.500 |
-1.263 |
207 |
Self Efficacy |
9075.000 |
43791.000 |
-1.558 |
.119 |
Berdasarkan hasil uji beda pada kelompok status pernikahan diketahui pada variabel tingkat stres diperoleh nilai probabilitas (p) sebesar 0,208 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini mengartikan, bahwa tidak ada perbedaan tingkat stres antara perawat yang sudah menikah dan belum menikah. Pada variabel dukungan sosial diketahui nilai probabilitas (p) sebesar 0,936 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini memiliki makna, bahwa tidak ada perbedaan dukungan sosial antara perawat yang sudah menikah dan belum menikah. Selanjutnya diketahui, bahwa nilai probabilitas (p) untuk variabel self efficacy adalah 0,309 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Dapat
disimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan self efficacy antara perawat yang sudah menikah dan belum menikah. Hasil uji beda pada kelompok status pernikahan dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel. 10.
Uji Beda Pada Kelompok Status Pernikahan
Status
Pernikahan
Mann Whitney U |
Wilcoxon W |
Z |
Asymp Sig (2tailed) | |
Tingkat Stres |
10052.000 |
42437.000 |
-1.260 |
208 |
Dukungan Sosial |
10986.000 |
43371.000 |
-.080 |
J36 |
SelfEfScacy |
10247.500 |
42632.500 |
-1.018 |
309 |
Berdasarkan hasil uji beda pada kelompok usia diketahui pada variabel tingkat stres diperoleh nilai probabilitas (p) sebesar 0,207 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini mengartikan, bahwa tidak ada perbedaan tingkat stres pada ketiga kelompok usia. Pada variabel dukungan sosial diketahui nilai probabilitas (p) sebesar 0,434 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini memiliki makna, bahwa tidak ada perbedaan dukungan sosial pada ketiga kelompok usia. Selanjutnya diketahui, bahwa nilai probabilitas (p) untuk variabel self efficacy adalah 0,543 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Dapat disimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan self efficacy pada ketiga kelompok usia. Hasil uji beda pada kelompok usia dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel. 11. Uji Beda Pada Kelompok Usia | |||
Usia | |||
Chi Square |
Df |
Asymp. S⅛ | |
Tingkat Stres |
3.146 |
2 |
207 |
Dukungan Sosial |
1.669 |
2 |
.434 |
Self EfScacy |
1.223 |
2 |
543 |
Berdasarkan hasil uji beda pada kelompok masa kerja diketahui pada variabel tingkat stres diperoleh nilai probabilitas (p) sebesar 0,566 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini mengartikan, bahwa tidak ada perbedaan tingkat stres pada kelompok masa kerja. Pada variabel dukungan sosial diketahui nilai probabilitas (p) sebesar 0,455 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Hal ini memiliki makna, bahwa tidak ada perbedaan dukungan sosial pada kelompok masa kerja. Selanjutnya diketahui, bahwa nilai probabilitas (p) untuk variabel self efficacy adalah 0,217 yang lebih besar dari nilai signifikansi (p>0,05). Dapat disimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan self efficacy pada kelompok masa kerja. Hasil uji beda pada kelompok masa kerja dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel. 12.
Uji Beda Pada Kelompok Masa Kerja
Masa Kerja | |||
Chi Square |
Df |
Asymp. SiB | |
Tingkat Stres |
1.139 |
2 |
566 |
Dukungan Sosial |
1.577 |
2 |
.455 |
Self Efficacy |
3.060 |
2 |
217 |
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji hipotesis melalui analisis regresi berganda pada penelitian ini diperoleh hasil, bahwa semua hipotesis diterima, yakni hipotesis mayor dan hipotesis minor yang pertama dan kedua. Adapun hipotesis mayor dalam penelitian ini, yaitu ada hubungan negatif antara dukungan sosial dan self efficacy dengan tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Hipotesis minor pada penelitian yang pertama, yakni ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dan hipotesis minor yang kedua, yaitu ada hubungan negatif antara self efficacy dengan tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
Hasil uji ANOVA dari analisis regresi yang dilakukan menunjukkan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,050) yang berarti, garis regresi dapat dipercaya untuk memprediksi variabel tergantung, yakni tingkat stres dari variabel bebas, yakni dukungan sosial dan self efficacy. Koefisien regresi (B) bernilai negatif (B = -0,142 dan -0,361) yang memiliki makna, bahwa kedua variabel bebas saling berkorelasi negatif atau berlawanan arah, yang berarti jika terjadi peningkatan nilai pada variabel dukungan sosial dan self efficacy, maka akan terjadi penurunan nilai pada variabel tingkat stres. Begitu pun sebaliknya, jika terjadi penurunan nilai pada variabel dukungan sosial dan self efficacy, maka akan terjadi peningkatan nilai pada variabel tingkat stres. Nilai koefisien korelasi (r) dalam penelitian adalah 0,582. Berpedoman pada interpretasi koefisien korelasi Sugiyono (2013) dapat dinyatakan, bahwa nilai koefisien korelasi berada pada kategori tingkat hubungan yang sedang, karena berada pada interval 0,40-0,599.
Terkait dengan diterimanya hipotesis mayor, perawat yang menerima dukungan sosial yang tinggi dan memiliki self efficacy yang tinggi, maka akan cenderung mengalami tingkat stres yang rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan dari Bandura (dalam Feist & Feist, 2010) yang menyatakan, bahwa self efficacy dan lingkungan yang responsif dapat memprediksi tingkah laku, yakni apabila self efficacy yang dimiliki individu tinggi dan lingkungan yang tersedia responsif, maka tingkah laku yang dapat diprediksi akan dapat melaksanakan tugas sesuai dengan hasil yang diharapkan dan sebaliknya apabila self efficacy yang dimiliki individu rendah dan dikombinasikan dengan lingkungan yang tidak responsif, maka seseorang akan cenderung menjadi tidak berdaya atau helplessness. Individu yang tidak berdaya menurut National Safety Council (2004) dapat diakibatkan oleh harga diri yang rendah, dimana harga diri yang rendah berhubungan dengan tingginya tingkat stres yang dialami oleh individu.
Berdasarkan penelitian ini diketahui, bahwa besarnya nilai koefisien determinasi (r²) memperlihatkan seberapa
variabel bebas, yakni dukungan sosial dan self efficacy dapat menjelaskan terhadap variabel tergantung, yakni tingkat stres dalam persen sebesar 33,8%, sedangkan sisanya 66,2% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar variabel yang diteliti. Menurut asumsi peneliti, variabel-variabel lain yang memiliki kontribusi terhadap tingkat stres adalah locus of control, hardiness, dan strategi coping (Smet, 1994).
Hasil analisa dengan menggunakan regresi berganda diketahui, bahwa terbukti ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres (r = -0,142, p < 0,05). Hasil ini memperlihatkan, bahwa nilai hubungan negatif yang signifikan, yakni ketika dukungan sosial seseorang tinggi, maka tingkat stres yang dialami rendah dan sebaliknya, sehingga hipotesis minor pertama diterima. Berdasarkan nilai korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dan tingkat stres, dapat diungkapkan salah satu faktor yang ikut berperan dalam tingkat stres adalah dukungan sosial. Hasil ini sejalan dengan pendapat Smet (1994) yang menjelaskan, bahwa reaksi terhadap stres bervariasi antara individu satu dengan individu yang lainnya dan perbedaan ini sering disebabkan oleh faktor psikologis dan faktor sosial yang dapat merubah stresor bagi individu, dimana salah satu dari faktor sosial ialah dukungan sosial.
Menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994) dukungan sosial merupakan informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapat karena orang lain. Sumber-sumber dukungan sosial bisa diperoleh dari lingkungan sekitar, seperti keluarga, pasangan, rekan kerja, dokter, atau komunitas organisasi (Sarafino & Smith, 2012). Perawat sebagai individu yang bekerja hakikatnya memerlukan dukungan sosial, dimana dengan menerima dukungan sosial, maka akan membuat perawat yang menerima dukungan sosial menjadi merasa dicintai, diperhatikan, terhormat, dan dihargai (Taylor, 2009). Menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994) dukungan sosial juga bermanfaat bagi individu yang menerima, karena individu yang menerima mendapatkan saran atau kesan menyenangkan yang bermanfaat dalam menyelesaikan masalah. Selanjutnya perawat sebagai individu, apabila memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan cenderung mengalami tingkat stres yang rendah dan menjadi lebih mampu untuk berhasil dalam mengatasi stres dibanding dengan individu yang kurang memperoleh dukungan sosial (Taylor, 2009). Adapun cara yang digunakan oleh individu yang menerima dukungan sosial yang tinggi adalah dengan cara mengubah respon terhadap stressor, dengan begitu individu akan merasakan, bahwa ada orang-orang terdekat dan disekitar yang dapat membantu misalnya, ketika perawat mendapatkan masalah akan pergi ke seorang teman untuk membicarakan masalahnya (Smet, 1994).
Dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi optimisme (Wardiyah, Afiyanti, & Budiati, 2014). Menurut Seligman (dalam Ekasari & Susanti, 2009)
optimisme ialah suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik, berpikir positif, dan mudah memberikan makna bagi diri. Perawat sebagai individu apabila memiliki optimisme tinggi, maka akan memiliki tingkat stres yang rendah (Ekasari & Susanti, 2009). Hal ini terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Scheier dan Carver (dalam Ekasari & Susanti, 2009) yang menyatakan, bahwa individu optimisme biasanya akan bekerja keras menghadapi stress dan tantangan sehari-hari secara efektif, berdoa, dan mengakui adanya faktor keberuntungan dan faktor lain yang mendukung keberhasilan.
Smestha (2015) menyatakan, bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi resiliensi. Menurut Kendall (dalam Dewi, Djoneaina, & Melisa, 2004) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dan menempatkan diri dengan baik terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan atau dalam situasi permasalahan yang berat. Perawat sebagai salah satu tenaga sebaiknya memiliki resiliensi. Selanjutnya Willda, Nazriati, & Firdaus (2016) menyatakan, bahwa individu yang mempunyai resiliensi yang baik akan mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri, dan mampu mengelola stres secara baik dengan cara mengubah cara berfikir ketika berhadapan dengan masalah.
Selanjutnya dukungan sosial yang tinggi dapat berperan untuk meningkatkan harga diri (Nurmalasari & Putri, 2015). Harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai, dengan cara menganalisis seberapa jauh perilaku individu sesuai dengan ideal diri (Sunaryo, 2004). Harga diri sangat penting dan efektif dalam mengurangi tingkat stres bagi perawat, karena individu yang memiliki harga diri tinggi akan memperlihatkan keyakinan diri dan antusiasme, serta dapat mengatasi rasa frustasi dengan baik (National Safety Council, 2004).
Dukungan sosial juga memiliki hubungan dengan kecemasan (Putri, Erwina, & Hilma, 2014), dimana kecemasan memiliki keterkaitan dengan stres (Priyoto, 2014). Nilai hubungan dukungan sosial dengan kecemasan adalah negatif yang memiliki arti semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin rendah tingkat kecemasan atau sebaliknya (Putri, dkk, 2014). Selain itu hasil ini juga sesuai dengan pernyataan dari Sarason (dalam Putri, dkk, 2014) yang menyatakan, bahwa dukungan sosial secara psikologis dapat mengurangi tingkat kecemasan.
Hasil analisa dengan menggunakan regresi berganda didapatkan hasil, bahwa terbukti ada hubungan negatif antara self efficacy dengan tingkat stres (r = -0,361, p < 0,05). Hasil ini menunjukkan, bahwa nilai hubungan yang dihasilkan oleh self efficacy dan tingkat stres adalah hubungan negatif yang signifikan, yakni apabila self efficacy individu tinggi, maka tingkat stres yang dialami rendah dan sebaliknya, sehingga hipotesis minor kedua diterima. Hal ini sesuai dengan pendapat Robbins & Judge (2008) yang menyatakan, bahwa
self efficacy yang tinggi membuat individu bereaksi lebih positif terhadap masalah daripada individu yang memiliki self efficacy yang rendah, sehingga individu yang memiliki self efficacy yang lebih tinggi memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri yang mampu menurunkan tingkat stres.
Self efficacy adalah keyakinan individu atas kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian kegiatan yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang ingin dicapai (Bandura, 1997). Apabila perawat memiliki keyakinan yang tinggi, maka akan dapat melaksanakan tugas dengan baik dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga ketika menghadapi situasi kurang kondusif, seperti pasien yang tiba-tiba kejang atau pasien yang mengalami luka yang cukup serius, perawat masih mampu menanggulangi situasi secara efektif tanpa terlihat ragu-ragu dan cemas (Srihandayani, 2016). Selanjutnya Prestiana & Purbandini (dalam Srihandayani, 2016) menyatakan, bahwa self efficacy yang tinggi membantu individu untuk menyelesaikan tugas dan mengurangi beban kerja secara psikologis maupun fisik.
Perawat yang memiliki self efficacy yang tinggi akan menurunkan rasa takut akan kegagalan dan tidak ragu-ragu dalam bertindak, karena perawat lebih berani mengambil resiko, sehingga pada saat menolong pasien akan berpikir cepat dan mengatasi pasien secara efektif (Srihandayani, 2016). Prestiana & Purbandini (dalam Srihandayani, 2016) menyatakan, bahwa perawat yang memiliki keyakinan yang tinggi juga percaya, bahwa akan mampu untuk mengontrol ancaman maupun stressor yang datang baik dari dalam diri maupun dari lingkungan, sehingga perawat memiliki strategi koping yang efektif, dimana strategi koping yang efektif bermanfaat untuk menurunkan tingkat stres (Ariasti & Pawitri, 2016). Perawat sebagai salah satu tenaga tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu aset terpenting bagi rumah sakit dalam memberikan pelayanan sebaiknya memiliki self efficacy yang tinggi. Apabila individu memiliki self efficacy yang tinggi, maka kecenderungan tingkat stres yang dialami menjadi rendah, dimana tingkat stres yang tergolong rendah memiliki manfaat dalam meningkatkan kinerja menjadi lebih tinggi (Robbins & Judge, 2008).
Menurut Octary (dalam Srihandayani, 2016) perawat yang memiliki keyakinan rendah tidak akan melakukan upaya untuk mengatasi hambatan yang ada, karena percaya, bahwa tindakan yang dilakukan tidak akan membawa pengaruh apapun. Apabila perawat memiliki keyakinan yang rendah dalam melaksanakan tugas, maka akan memiliki kecenderungan tingkat stres yang meningkat. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Feist & Feist (2010) yang menjelaskan, bahwa individu yang memiliki self efficacy yang rendah, maka individu akan memiliki ketakutan yang kuat, kecemasan yang akut, atau tingkat stres yang tinggi.
Self efficacy dapat mempunyai hubungan yang erat dengan penyesuaian diri (Irfan & Suprapti, 2014). Menurut Schneiders (dalam Ekasari & Susanti, 2009) penyesuaian diri merupakan suatu proses yang melibatkan proses mental dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk menguasai dan mengatasi dengan baik segala tuntutan lingkungan sekitarnya. Apabila individu mengalami penyesuaian diri yang tinggi, maka tingkat stres yang dialami cenderung rendah (Ekasari & Susanti, 2009). Hal ini sejalan dengan pernyataan Tyrer (dalam Ekasari & Susanti, 2009) yang menentukan stres pada individu adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Intinya apabila perawat memiliki penyesuaian diri yang baik, maka perawat akan mampu beradaptasi dengan lingkungannya, baik penyesuaian fisik, psikologis, dan sosial dari perawat (Ekasari & Susanti, 2009).
Perawat merupakan profesi yang bertugas untuk memberikan pelayanan di bidang kesehatan, apabila memiliki self efficacy yang tinggi, maka kecenderungan mengalami tingkat burnout yang rendah (Prestiana & Purbandini, 2012). Menurut Pines & Maslach (dalam Harnida, 2015) burnout adalah sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental yang termasuk di dalamnya berkembang konsep diri yang negatif, kurangnya konsentrasi, serta perilaku kerja yang negatif. Burnout dapat berhubungan dengan stres, karena keadaan stres terjadi dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi, maka akan ditandai dengan kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan kelelahan mental, sehingga akan mengakibatkan perawat mengalami gejala burnout (Tawale, dkk, 2011).
Pada deskripsi data penelitian tampak, bahwa variabel tingkat stres diperoleh mean teoritis sebesar 42,5 dan mean empiris sebesar 34,03. Hal ini menunjukkan, bahwa rata-rata subyek dalam penelitian ini memiliki tingkat stres yang rendah (mean teoritis > mean empiris). Pada variabel kedua dalam penelitian ini, yakni dukungan sosial diperoleh mean teoritis sebesar 77,5 dan mean empiris sebesar 97,92. Hal ini menunjukkan, bahwa rata-rata subyek dalam penelitian ini memiliki tingkat dukungan sosial yang tinggi (mean teoritis < mean empiris). Selanjutnya pada variabel self efficacy diperoleh mean teoritis sebesar 55 dan mean empiris sebesar 66,13. Hal ini menunjukkan, bahwa rata-rata subyek dalam penelitian ini memiliki tingkat self efficacy yang tinggi (mean teoritis < mean empiris).
Berdasarkan dari norma kategorisasi yang telah disusun menunjukkan, bahwa tingkat stres yang dimiliki oleh perawat yang bertugas di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah sebagian besar berada pada kategori sedang. Hal ini tidak terlalu masalah, karena tingkat stres yang rendah dan sedang sama-sama memberikan manfaat, yakni perawat dapat melaksanakan tugas secara baik, perawat akan menjadi tekun, dan kinerja yang dihasilkan akan menjadi lebih tinggi
(Robbins & Judge, 2008). Hal ini juga menunjukkan, bahwa sebagian besar perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dapat meminimalisir stres dengan baik terbukti, karena perawat yang menjadi subyek penelitian belum ada yang masuk ke dalam kategori tingkat stres yang tinggi.
Tingginya persentase stres sedang yang dialami oleh perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah menurut asumsi peneliti dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah beban kerja perawat yang tinggi, yakni selain mengerjakan tugas keperawatan perawat juga harus melaksanakan tugas tambahan, yaitu membawa pasien, membersihkan alat-alat, membawa resep, mengantar pasien konsul, membersihkan peralatan, membersihkan ruangan, mengantar pasien operasi, mengantar pasien pulang, mengambil hasil lab, mengambil hasil ronsen, mengambil obat pasien ke Depo, dan melaksanakan tugas administrasi (Putra, 2016). Pendapat ini sejalan dengan Kusbiantoro (2008) yang menyatakan, bahwa perawat yang mengerjakan banyak tugas tambahan dapat meningkatkan beban kerja perawat, dimana beban kerja dapat berhubungan dengan tingkat stres pada perawat (Ferdiansyah, 2014). Faktor kedua adalah stres pada perawat dapat bersumber dari lingkungan kerja, seperti kematian pasien, resiko tertular penyakit, bising, ruangan yang panas, ruangan yang kecil, ruangan yang sesak, keluarga pasien yang ramai, dan keluarga pasien yang panik (Putra, 2016). Hal ini sejalan dengan pendapat dari Hardjana (1994) yang menyatakan, bahwa lingkungan kerja merupakan salah satu dari lingkungan pokok yang dapat menjadi sumber stres (Hardjana, 1994). Faktor ketiga adalah aktivitas yang dilakukan oleh perawat di luar pekerjaan seperti menjaga toko, menjadi ibu rumah tangga, menjadi praktisi perawat, mengikuti ngayah, menyama braya, mengikuti arisan di banjar, ikut organisasi di desa, menjadi pengawas koperasi, menjadi pendidik, dan menjadi pelatih (Putra, 2016). Hal ini sejalan dengan pernyataan Ariyanto, Wahyuning, dan Desrianty (2015) yang menyatakan, bahwa aktivitas di luar pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat stres. Faktor keempat adalah hubungan interpersonal yang dialami oleh perawat, seperti pasien yang kurang kooperatif, suara penunggu pasien yang keras, komplain dengan nada keras, keluarga pasien yang kurang kooperatif, harapan tinggi dari keluarga pasien, dan kekerasan dari keluarga pasien kepada perawat (Putra, 2016). Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Priyoto (2014) yang menyatakan, bahwa hubungan interpersonal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stres.
Tingkat stres sedang yang dialami oleh mayoritas perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah memang memiliki manfaat, namun menurut peneliti, tingkat stres yang mayoritas sedang pada perawat perlu untuk diturunkan menjadi rendah, karena tingkat stres yang rendah juga memiliki manfaat lebih, dimana individu yang memiliki
tingkat stres rendah akan memiliki ciri-ciri, yakni semangat meningkat, penglihatan tajam, energi meningkat, dan kemampuan menyelesaikan pekerjaan meningkat. (Priyoto, 2014). Selain itu tingkat stres yang tergolong rendah juga berguna, karena dapat memacu individu berpikir dan berusaha lebih tangguh untuk menghadapi tantangan hidup (Priyoto, 2014).
Hasil norma kategorisasi pada skala dukungan sosial didapatkan hasil, bahwa mayoritas perawat yang bertugas di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah berada pada kategori tinggi. Ini berarti mayoritas perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah telah merasa dicintai, dihargai, terhormat, dan merasa, bahwa orang lain bersedia memberikan perhatian. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial juga mempengaruhi subyek, dimana menurut Sarafino & Smith (2012) dukungan sosial dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni struktur jaringan sosial, penerima dukungan, dan pemberi dukungan. Hal ini berarti mayoritas perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah telah memperoleh dukungan sosial seperti yang diharapkannya, memperoleh kesediaan dari seseorang yang diharapkan menjadi penyedia dukungan yang dibutuhkan, dan mendapatkan kedekatan hubungan yang dimiliki dengan orang-orang di dalam lingkungannya.
Hasil norma kategorisasi pada skala self efficacy didapatkan hasil, bahwa mayoritas perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan, bahwa sebagian besar perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah cukup memiliki keyakinan mengenai kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagaimana dinyatakan Bandura (1997) yang mendefinisikan, bahwa self efficacy adalah keyakinan individu atas kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan serangakaian kegiatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan hasil yang ingin dicapai. Bandura dalam (Feist & Feist, 2010) berpendapat, bahwa individu yang memiliki keyakinan dapat disebabkan, karena individu mengamati keberhasilan orang lain yang sama dengannya, kondisi fisik dan emosi yang dialami, pengalaman yang dimiliki, dan nasihat dari sumber yang terpercaya. Menurut peneliti, tingkat self efficacy yang mayoritas sedang perlu untuk ditingkatkan menjadi tinggi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Setiawan (dalam Srihandayani, 2016) yang menyatakan, bahwa self efficacy yang tinggi memiliki manfaat, dimana seorang perawat yang memiliki self efficacy yang tinggi juga akan mengembangkan sikap-sikap positif, seperti percaya diri dan berkomitmen yang tinggi, selain itu dengan memiliki self efficacy yang tinggi, maka perawat akan mampu menjalankan peran dan menjalankan fungsinya dengan baik.
Peneliti juga melakukan analisis tambahan, yakni uji komparasi statistik dengan uji mann whitney untuk
mengetahui perbedaan tingkat stres, dukungan sosial, dan self efficacy berdasarkan status pegawai, status pernikahan, dan jenis kelamin. Selanjutnya peneliti juga melakukan analisis tambahan, yaitu uji komparasi statistik dengan uji kruskal wallis untuk mengetahui perbedaan tingkat stres, dukungan sosial, dan self efficacy berdasarkan masa kerja dan usia. Hasilnya tidak terdapat perbedaan antara tingkat stres, dukungan sosial, dan self efficacy berdasarkan status pegawai, status pernikahan, jenis kelamin, masa kerja, dan usia yang ditunjukkan dengan skor probabilitas yang lebih besar dari 0,05. Tidak adanya perbedaan dapat dimungkinkan terjadi, karena jumlah sampel yang belum terlalu banyak, sehingga diversitas subyek menjadi tidak terlalu signifikan.
Setelah melalui prosedur penelitian dan analisis data yang sesuai, maka tujuan dari penelitian ini telah terpenuhi, yakni untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan self efficacy dengan tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, namun penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan pada penelitian ini terletak pada subyek penelitian yang hanya menggunakan perawat. Keterbatasan selanjutnya terletak pada tempat penelitian yang hanya menggunakan 11 instalasi, yakni Instalasi Rawat Inap A, Instalasi Rawat Inap B, Instalasi Rawat Inap C, Instalasi Rawat Inap D, Instalasi Wing International, Instalasi Rawat Darurat, Instalasi Bedah Sentral, Instalasi Pelayanan Jantung Terpadu, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Intensif, dan Instalasi Pelayanan Dialisis. Selain itu peneliti tidak dapat memungkiri, bahwa ada variabel lain yang berkaitan dengan tingkat stres, maka bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih memperhatikan variabel-variabel lain selain dukungan sosial dan self efficacy yang berkaitan dengan tingkat stres.
Berdasarkan keseluruhan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial dan self efficacy secara bersama dengan tingkat stres. Hal ini menunjukkan, bahwa semakin tinggi dukungan sosial dan self efficacy, maka semakin rendah tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Dukungan sosial secara mandiri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres. Hal ini menunjukkan, bahwa semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin rendah tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Self efficacy secara mandiri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres. Hal ini menunjukkan, bahwa semakin tinggi self efficacy, maka semakin rendah tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Rata-rata subyek dalam penelitian memiliki tingkat stres yang rendah. Rata-rata subyek dalam penelitian memiliki tingkat dukungan sosial yang tinggi. Rata-rata subyek dalam penelitian memiliki tingkat self efficacy yang tinggi.
Saran praktis yang dapat peneliti ajukan kepada perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah adalah perawat
di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah hendaknya mempertahankan tingkat dukungan sosial yang tinggi dengan cara terbuka terhadap lingkungan, menjalin hubungan baik dengan lingkungan sekitar, dan tidak sungkan untuk meminta bantuan baik dengan keluarga, rekan kerja, maupun pimpinan. Selanjutnya kepada perawat yang bertugas di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah disarankan juga untuk mempertahankan tingkat self efficacy yang tinggi dengan cara mencari teman yang dapat meningkatkan rasa optimis dalam melaksanakan tugas, karena teman yang mampu melaksanakan tugas dengan baik dapat berfungsi sebagai panutan yang dapat meningkatkan keyakinan untuk berhasil dalam melaksanakan tugas.
Saran praktis yang dapat peneliti ajukan kepada pimpinan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah adalah pimpinan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah diharapkan untuk selalu berupaya memberikan dukungan sosial kepada perawat agar dapat meminimalisir tingkat stres yang dialami. Adapun cara yang dapat dilakukan misalnya dengan mengadakan kegiatan yang menyenangkan tanpa memandang strata agar perawat lebih merasa dipedulikan, memberikan pujian kepada perawat ketika berhasil dalam melaksanakan tugas, memberikan pertolongan ketika perawat mengalami musibah, dan memberikan kritikan yang bersifat positif agar perawat dapat bekerja lebih maksimal. Selanjutnya kepada pimpinan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah disarankan untuk mengadakan seminar dan program pelatihan kepada perawat, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, meningkatkan wawasan, meningkatkan kompetensi perawat dalam menjalankan perannya sebagai tenaga kesehatan, dan meningkatkan keyakinan perawat akan kemampuannya dalam melaksanakan tugas.
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan topik stres disarankan untuk memperluas dengan variabel lainnya, yakni hardiness, strategi coping, dan locus of control yang merupakan variabel-variabel dan kemungkinan memiliki hubungan terhadap tingkat stres. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian serupa tidak hanya kepada profesi perawat, melainkan juga pada profesi yang lain seperti dokter, analis, dan apoteker. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melaksanakan penelitian serupa pada rumah sakit yang lain selain Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah agar memperoleh subyek yang berbeda dan bervariasi, sehingga data yang didapat lebih kaya dan beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Ariasti, D., & Pawitri, T. N. (2016). Hubungan antara mekanisme koping terhadap stres dengan kejadian hipertensi pada warga di desa Ngelom Sroyo Jaten Karanganyar. Kosala. Vol. 4, No. 1, 76-82.
Ariyanto, A., Wahyuning, C. S., & Desrianty, A. (2015). Analisis tingkat stres dan performansi masinis daerah operasi II
Bandung. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional. Vol. 1, No. 3, 307-317.
Asmadi. (2008). Teknik prosedural keperawatan konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta: Salemba Medika.
Bandura, A. (1997). Self efficacy the exercise of control. New York: Freeman and Company.
Dewi, I. R. F., Djoneaina, V., & Melisa. (2004). Hubungan antara resiliensi dengan depresi pada perempuan pasca peningkatan payudara (mastektomi). Jurnal Psikologi. Vol. 2, No. 2, 101-120.
Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali. (2014). Data rumah sakit pemerintah tahun 2014.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2016, Juli 21). Profil kesehatan provinsi Bali tahun 2014. Dipetik dari
http://www.diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/Pr ofil%20Kesehatan%20Provinsi%20Bali/Tahun%202014/B ali_profil_2014.pdf
Ekasari, A., & Susanti, D. N. (2009). Hubungan antara optimisme dan penyesuaian diri dengan stress pada narapidana kasus napza di lapas Kelas II A Bulak Kapal Bekasi. Jurnal Soul. Vol. 2, No. 2, 1-32.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.
Ferdiansyah, A. (2014). Analisis hubungan beban kerja dan lama masa kerja dengan stres pada perawat di Puskesmas Blooto kota Mojokerto. Medica Majapahit. Vol. 6, No. 2, 96-107.
Hardjana, A. M. (1994). Stres tanpa distres: seni mengolah stres. Yogyakarta: Kanisius.
Harnida, H. (2015). Hubungan efikasi diri dan dukungan sosial dengan burnout pada perawat. Persona Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 4, No. 1, 31-43.
Irfan, M., & Suprapti, V. (2014). Hubungan self efficacy dengan penyesuaian diri terhadap perguruan tinggi pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Vol. 3, No. 3, 172-178.
Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (2015, Februari 2). UU No 38 Tahun 2014 tentang keperawatan. Dipetik dari
http://www.kemenkopmk.go.id/search/node/uu%20nomor %2038%20tahun%202014
Kusbiantoro, D. (2008). Gambaran tingkat beban kerja dan stres kerja perawat di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Surya. Vol.1, No. 1, 26-40.
Kusnadi, M. A. (2014). Hubungan antara beban kerja dan self efficacy dengan stres kerja pada dosen Universitas X. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol. 3, No. 1, 1-15.
National Safety Council. (2004). Manajemen stress. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC.
Nurmalasari, Y., & Putri, D. E. (2015). Dukungan sosial dan harga diri pada remaja penderita lupus. Jurnal Psikologi. Vol. 8, No. 1, 46-51.
Perdhaki. (2009, Nopember 13). UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Dipetik dari
http://www.perdhaki.org/content/undang-undang-kesehatan-no-36-tahun-2009
Prihatini, L. D. (2007). Analisis hubungan beban kerja dengan stres kerja perawat di tiap ruang rawat inap RSUD Sidikalang. (Tesis tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Priyoto. (2014). Konsep manajemen stres. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prestiana, I. D. N., & Purbandini, D. (2012). Hubungan antara efikasi diri (self efficacy) dan stres kerja dengan kejenuhan kerja (burnout) pada perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi. Journal Soul. Vol. 5, No. 2, 1-14.
Puspitasari, D. A. (2014). Hubungan tingkat self efficacy guru dengan tingkat burnout pada guru sekolah inklusif di Surabaya. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Vol. 3, No. 1, 59-68.
Putra, P. S. P. (2016). Tingkat Stres pada Perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. (Studi Pendahuluan tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
Putra, P. S. P. (2017). Tingkat Stres pada Perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. (Studi Pendahuluan tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
Putri, D. E., Erwina, I., & Hilma, A. (2014). Hubungan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas II A Muaro Padang tahun 2014. Jurnal Keperawatan. Vol. 10, No. 1, 118-134.
Putri, S. A. P. (2011). Hubungan dukungan sosial terhadap stres kerja pada karyawan Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana Semarang. Majalah Ilmiah Informatika. Vol. 2, No. 1, 104114.
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2008). Perilaku organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
RSUD Wangaya Kota Denpasar. (2015, Juni 8). UU No 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit. Dipetik dari
http://denpasarkota.go.id/assets_subdomain/45/download/U NDANG-
UNDANG%20NO.44%20TAHUN%202009%20TENTAN G%20RUMAH%20SAKIT_331252.pdf
RSUP Sanglah Denpasar. (2014, Desember 15). Rencana strategi bisnis RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015-2019. Dipetik dari
http://www.sanglahhospitalbali.com/v1/file/Rencana_Strate gis_Bisnis_RSUP_Sanglah_2015_2019.pdf
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. (2015). Penetapan kinerja RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015. Dipetik dari http://www.sanglahhospitalbali.com/v1/file/TAPJA%20RS UP%20SANGLAH%202015.pdf
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. (2015). Rekapitulasi keadaan ketenagaan RSUP Sanglah Denpasar bulan Mei 2015.
Sarafino, E, P., & Smith, T. (2012). Health psychology
biopsychosocial interactions. USA: John Wiley & Sons.
Smestha, B. S. (2015). Pengaruh self esteem dan dukungan sosial terhadap resiliensi mantan pecandu narkoba. (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.
Srihandayani, I. S. (2016). Hubungan antara self efficacy dengan kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan
di IGD dan ICU-ICCU RSUD Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi S-1 Keperawatan STIKES Kusuma Husada, Surakarta.
Sugiyono. (2013). Statistika untuk penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suryaningrum, T. (2015). Pengaruh beban kerja dan dukungan sosial terhadap stres kerja pada perawat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi Manajemen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Susilowati, A. T. (2007). Hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis. (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tawale, E. N., Budi, W., & Nurcholis, G. (2011). Hubungan antara motivasi kerja perawat dengan kecenderungan mengalami burnout pada perawat di RSUD Serui Papua. Insan. Vol. 13, No. 2, 74-84.
Taylor, S. E. (2009). Health psychology. New York: Mc Graw Hill Companies.
Vaezi, S., & Fallah, N. (2011). The Relationship between self efficacy and stress among Iranian EFL Teachers. Journal of Language and Teaching and Research. Vol. 2, No. 5, 11681174.
Wardiyah, A., Afiyanti, Y., & Budiati, T. (2014). Faktor yang
mempengaruhi optimisme kesembuhan pada pasien kanker payudara. Jurnal Keperawatan. Vol. 5, No. 2, 121-127.
Willda, T., Nazriati, E., & Firdaus. (2016). Hubungan resiliensi diri terhadap tingkat stres pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Jom FK. Vol. 3, No. 1, 1-9.
157
Discussion and feedback