HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEBERAGAMAAN DAN INTERAKSI SOSIAL ASOSIATIF PADA REMAJA YANG MENGIKUTI GERAKAN KESADARAN KRISHNA (HARE KRISHNA) DI BALI
on
Jurnal Psikologi Udayana
2018, Vol.5, No.1, 110-115
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEBERAGAMAAN DAN INTERAKSI SOSIAL ASOSIATIF PADA REMAJA YANG MENGIKUTI GERAKAN KESADARAN KRISHNA
(HARE KRISHNA) DI BALI
Putu Srie Wedha Yanthi dan Putu Nugrahaeni Widiasavitri
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Abstrak
Interaksi sosial asosiatif merupakan interaksi yang mengarah pada proses keharmonisan dalam sebuah hubungan, dengan bentuk kerjasama, upaya penyelesaian konflik, dan upaya mengurangi perbedaan. Interaksi sosial asosiatif akan membawa kelompok menuju ke arah hubungan yang positif dengan masyarakat terutama out group. Interaksi sosial asosiatif penting dikembangkan pada saat usia remaja. Interaksi sosial asosiatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah aspek keberagamaan. Keberagamaan cenderung memberikan batasan antara in group dan out group sehingga terjadi ketidak harmonisan dalam hubungan antar masyarakat. Remaja merupakan individu yang belum bisa dikatakan matang, termasuk pada proses keberagamaannya. Gerakan Kesadaran Krishna atau Hare krishna merupakan salah satu komunitas keagamaan berbasis agama Hindu yang diikuti remaja. Remaja yang mengikuti Hare krishna diharapkan dapat mampu membentuk interaksi sosial yang asosiatif dengan out group, mengingat salah satu tugas perkembangan remaja adalah membangun hubungan sosial yang positif dengan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidak hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif pada remaja yang mengikuti Hare krishna di Bali. Penelitian menggunakan metode kuantitatif. Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Responden dalam penelitian ini adalah remaja Hare krishna yang berdomisisli di Bali berjumlah 96 responden. Alat ukur dalam penelitian ini adalah skala tingkat religiusitas dan interaksi sosial asosiatif. Koefisien reliabilitas skala religiusitas adalah 0,970 dan skala interaksi sosial adalah 0,940. Penelitian ini menggunakan analisis data korelasi pearson product moment. Hasil dari penelitian diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,811 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 (0,000<0,05), sehingga dapat dinyatakan terdapat hubungan yang negatif antara religiusitas dengan interaksi sosial, artinya semakin tinggi tingkat religiusitas, maka semakin tidak baik interaksi sosial asosiatif pada remaja Hare krishna terhadap out-group.
Kata kunci: religiusitas, remaja, interaksi sosial, Hare krishna.
Abstract
Associative social interaction is an interaction that leads to the harmony in a relationship, with the forms of cooperation, conflict resolution and efforts to reduce the difference. Associative social interaction will lead the group towards a positive relationship with the community, especially out group. Associative social interaction is important to be developed during adolescence. Associative social interaction can be influenced by many things, one of which is the aspect of religiosity. Religiosity tends to leave the boundaries between in group and out group, causing disharmony in relations between peoples. Adolescents are individuals who can not be considered mature, including the process of religiosity. Krishna Consciousness Movement or Hare krishna is a Hindu religious communities that based on religion, followed by the adolescents. Adolescents who follow the Hare krishna are expected to be capable of shaping associative social interaction with the out group, considering one of the tasks of the adolescent development is to build positive social relationships with the community.
The research aimed to find out whether or not a relationship between the level of religiosity and the associative social interaction in adolescents who follow Hare krishna movement in Bali. Research was conducted by using quantitative methods. The sampling technique is simple random sampling. Respondents in this study were young Hare krishna domiciled in Bali as many as 96 respondents. The measurement in this research was the scale of the level of religiosity and associative social interaction. Reliability coefficient of religiosity scale was 0.970 and the scale of social interaction was 0,940. This study used data analysis of Pearson product moment correlation. The results of the study showed a correlation coefficient of -0.811 with a probability value of 0.000 (0.000 <0.05), so it can be stated that there is a negative relationship between religiosity and social interaction, meaning that the higher the level of religiosity, the lesser the associative social interaction in adolescents of Hare krishna against the out-group.
Keywords: religiosity, adolescents, social interaction, Hare krishna.
LATAR BELAKANG
Proses sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling memengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidup terutama didalam kehidupan bermasyarakat. Soekanto (2012) menyatakan bahwa, proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial. Apabila ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi sosial terjadi sejak manusia dilahirkan hingga menjelang kematian.
Soekanto (2012) mengklasifikasikan Interaksi sosial menjadi dua proses, yaitu proses asosiatif (mendekat) dan disosiatif (menjauh). Interaksi sosial asosiatif merupakan interaksi yang mengarah pada proses keharmonisan dalam suatu hubungan, dengan bentuk kerjasama, upaya penyelesaian konflik, dan upaya mengurangi perbedaan. Interaksi sosial asosiatif akan membawa individu menuju arah hubungan yang positif dengan lingkungan masyarakat. Interaksi sosial asosiatif penting dikembangkan pada saat usia remaja, menurut Erikson (dalam Gunarsa, 2006) masa remaja merupakan masa yang mempunyai peranan penting terutama dalam hubungan sosial, remaja dituntut untuk mengetahui siapa dirinya dan belajar bagaimana terjun ke tengah masyarakat.
Selama perjalanan hidupnya, remaja berhadapan dengan berbagai macam situasi. Bila remaja memiliki kemampuan berinteraksi yang positif, remaja akan mudah menyesuaikan diri dan mudah mengantisipasi setiap kondisi dan situasi, namun sebaliknya, remaja yang sulit berinteraksi dalam lingkungan sosial cenderung sulit bergaul, memiliki sedikit teman, merasa rendah diri, dan dampak psikologis yang ditimbulkan remaja akan
mengalami perasaan tertekan, merasa dikucilkan dari pergaulan, serta merasa tidak nyaman dengan lingkungan sosialnya (Gunarsa, 2006).
Interaksi sosial asosiatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah keberagamaan. Keberagamaan dapat menjadi salah satu faktor timbulnya prasangka antar kelompok (Putra & Wongkaren, 2010). Prasangka dapat meningkatkan potensi terbentuknya proses sosial yang bersifat disosiatif atau perpecahan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Nuqul (2004) yang mengungkapkan bahwa dimensi ideologis dalam keberagamaan memiliki korelasi signifikan yang bersifat positif dengan prasangka. Senada dengan Nuqul, Stouffer (1992) menyatakan bahwa kelompok yang melakukan kegiatan keagamaan secara rutin atau sering cenderung bersikap intoleransi dengan kelompok yang memiliki ideologi berbeda.
Menurut Allport, terdapat dua tipe individu yang beragama, yang disebut sebagai intrinsically religious (religius secara intrinsik) dan extrinsically religious (religius secara ekstrinsik) (Altemeyer & Hunsberger, 1992). Allport dan Ross (1967) menemukan bahwa individu yang religius secara intrinsik lebih rendah kecenderungannya untuk berprasangka terhadap orang lain, sedangkan individu yang religius secara ekstrinsik akan lebih tinggi kecenderungannya untuk berprasangka kepada orang lain. Keberagamaan cenderung memberikan batasan antara in group dan out group, sehingga terjadi ketidak harmonisan dalam hubungan antar masyarakat. Secara umum in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana seseorang mempunyai perasaan “memiliki” sedangkan out group diartikan sebagai suatu kelompok yang dipersepsikan berbeda dengan in group (Jackson & Smith, 1999).
Remaja merupakan individu yang belum bisa dikatakan matang, namun sedang dalam proses pematangan diri untuk menjadi individu dewasa. Hal tersebut juga berlaku pada proses keberagamaan remaja. Pertanyaan mengenai idientitas diri dan eksistensi Tuhan menjadi topik utama dalam pikiran remaja (Desmita, 2008). Lebih lanjut Desmita (2008) menjelaskan bahwa rasa penasaran tersebut membuat remaja mencoba serta mencari hal baru untuk memuaskan hasrat keingintahuannya, seperti mengikuti forum keagamaan, mengikuti pendidikan kilat keagamaan, menikuti sekte atau aliran agama tertentu, hingga melakukan konversi agama.
Gerakan Kesadaran Krishna atau masyarakat biasa menyebutnya dengan istilah Hare krishna merupakan salah satu komunitas keagamaan yang berbasis agama Hindu, lahir petama kali di Indonesia pada tahun 1977, dengan jumlah pengikut terbanyak berada di Bali (Yanthi,2016). Hare krishna memiliki perbedaan yang signifikan dengan agama Hindu yang ada di Bali ditinjau dari segi ritual, ideologi, dan budaya, hal ini dikarenakan Hare krishna banyak mengadopsi kebudayaan dari India atau Hindustan, seperti ritual yang dilakukan, pakaian yang digunakan saat melakukan pemujaan, dan makanan yang dipersembahkan (Yanthi, 2016). Hare krishna mengajarkan pengikutnya untuk hidup sederhana, mengamalkan kebajikan, kasih sayang mahluk hidup dengan menjadi vegetarian atau tidak memakan daging dan telur, dan mengendalikan hasrat keduniawian (Yanthi, 2016).
Hasil preliminary study mengungkapkan bahwa banyak remaja yang mengikuti Hare krishna atas kehendak sendiri dengan alasan ingin menemukan kedamaian, tertarik dengan kebudayaan, gaya hidup yang diajarkan dan ketidakpuasan dengan ajaran agama sebelumnya. Perbedaan budaya antara Hindu di Bali dengan Hindu pada komunitas Hare krishna, juga tidak membuat remaja Hare krishna merasa kesulitan untuk mengikuti ritual pemujaan yang diterapkan, bahkan kebudayaan dan ideologi yang berbeda ini
menjadi salah satu daya tarik bagi remaja Hare krishna untuk lebih memperdalam ajaran Hare krishna (Yanthi, 2016).
Jackson dan Smith (1999) menyatakan, bahwa adanya daya tarik in group dapat membantu remaja dalam membentuk identitas sosial di masyarakat. Namun tidak bisa dipungkiri, perasaan in group pada remaja sering menimbulkan in group bias, yaitu kecenderungan untuk menganggap baik kelompoknya sendiri (Jackson & Smith, 1999). Perbedaan budaya, ideologi dalam agama, serta tujuan antara Hindu Bali dengan Hindu Hare krishna, membuat para anggota, khususnya remaja yang sedang dalam proses pembentukan idientitas diri dan indentitas sosial, mengkategorikan komunitas Hare krishna sebagai in group dan lingkungan luar yang tidak tergabung dalam komunitas sebagai out group, hal tersebut tampak dari cara pengikut Hare krishna menyebut orang-orang di luar komunitasnya sebagai orang karmi yang berarti orang yang hidup untuk pemuasan fisik dan kesenangan diri sendiri (Yanthi, 2016).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, interaksi sosial yang asosiatif adalah proses interaksi yang bertujuan untuk menciptakan harmonisasi antar masyarakat yang heterogen, dengan melakukan upaya kerjasama, mengurangi konflik dan menghindari perbedaan. Agama Hindu dalam Hare krishna memiliki banyak perbedaan dengan agama Hindu Bali, baik dari segi ideologi, ritual maupun kebudayaannya. Remaja yang mengikuti Hare krishna diharapkan untuk dapat membentuk interaksi sosial yang asosiatif dengan out group, mengingat salah satu tugas perkembangan remaja adalah membangun hubungan sosial yang positif dengan masyarakat.
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif pada remaja yang mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna (Hare krishna) di Bali. Untuk itulah penulis mengambil judul, hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif pada remaja yang mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna (Hare krishna) di Bali
METODE
Variabel dan definisi operasional
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu tingkat religiusitas. Definisi operasional dari variabel tingkat religiusitas adalah ukuran kedalaman keyakinan remaja Hare krishna terhadap ajaran agama yang dianut, yang diekspresikan melalui lima dimensi keberagamaan diantaranya: ideologi, ritual, pengalaman, pengetahuan dan konsekwensi. Variabel tergantung dalam penelitian ini yaitu interaksi sosial asosiatif. Definisi operasional dari variabel interaksi sosial asosiatif adalah hubungan sosial yang
konstruktif dengan out group (individu atau kelompok yang berbeda) yang bertujuan untuk menciptakan harmonisasi di masyarakat.
Subjek penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini,adalah remaja yang mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna (Hare krishna) berusia 12-20 tahun dan berdomisili di Bali. Metode sampling dalam penelitian ini adalah probability sampling dengan teknik undian. Sebelum dilakukan pengundian, terlebih dahulu dilakukan pendataan terkait jumlah remaja yang ada di masing-masing kabupaten di Provinsi Bali, setelah ditemukan, ditentukan jumlah sampel penelitian menggunakan tabel Krecjie-Morgan (Sugiyono, 2010), dengan taraf kesalahan 5%. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 123 remaja, dengan rincian seluruh subjek didapat dari keseluruhan peshraman yang ada di Bali.
Tempat penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah di Provinsi Bali. Terdapat 7 pashraman Hare krishna di Bali yang tersebar di seluruh kabupaten di Bali yakni, Kotamadya Denpasar, Badung, Tabanan, Negara, Buleleng, Gianyar, dan Klungkung. Pengambilan data dilakukan setelah mendapatkan ijin dari pihak pashraman, dengan menunjukkan surat pengambilan data dari universitas. Pengisian kuesioner dilakukan di masing-masing pashraman yang tersebar di Bali.
Alat ukur
Penelitian ini menggunakan skala interaksi sosial asosiatif berdasarkan bentuk-bentuk interaksi sosial asosiatif dari Setiadi & Kolip (2010). Sedangkan untuk mengukur tingkat keberagamaan, skala yang digunakan adalah berdasarkan dari dimensi keberagamaan menurut Glock dan Stark dalam Rakhmat (2014). Skala yang digunakan dalam kuesioner penelitian ini adalah berjenis skala Likert. Pernyataan-pernyataan dalam skala interaksi sosial asosiatif dan tingkat keberagamaan akan disajikan dalam dua arah yaitu aitem favorabel dan aitem unfavorable. Untuk skala tingkat keberagamaan dan interaksi sosial asosiatif, akan disajikan 4 alternatif jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (S), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Hasil uji kesahihan skala interaksi sosial asosiatif memiliki nilai koefisien validitas yang bergerak dari 0,375 hingga 0,862 dengan nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,940, sedangkan untuk skala tingkat keberagamaan memiliki nilai koefisien validitas yang bergerak dari 0,421 hingga 0,922 serta nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,970.
Metode pengumpulan data
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer dengan cara menyebar kuesioner kepada remaja yang mengikuti Hare krishna. Kuesioner dalam penelitian yang berisi serangkaian daftar pernyataan tertutup yaitu bentuk pernyataan dimana subjek hanya dapat memilih jawaban yang telah tersedia dalam kuesioner tersebut. Subjek diharuskan untuk jujur dalam memilih jawaban dari pernyataan yang diajukan tanpa bantuan orang lain. Instrumen penelitian tersebut terdapat skala pengukuran yang merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan interval yang terdapat dalam alat ukur sehingga jika alat ukur tesebut digunakan akan menghasilkan data kuantitatif. Dalam kuesioner ini terdapat dua data yang dikumpulkan. Kuesioner yang pertama adalah kuesioner interaksi sosial asosiatif dan kuesioner yang kedua adalah kuesioner tingkat keberagamaan. Kedua skala tersebut disusun berdasarkan teori yang relevan dan telah diuji validitas dan reliabilitasnya.
Metode analisis data
Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui hubungan antara tingkat keberagamaan dan interaksi sosial asosiatif pada remaja Hare krishna, penelitian ini menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment. Analisis korelasi Pearson Product Moment digunakan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung serta melihat arah dan kekuatan hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung.
HASIL PENELITIAN
Data demografi
Remaja yang menjadi subjek penelitian ini berjumlah 123 remaja yang mengikuti Grerakan Kesadaran Krsna (Hare krishna) berasal dari berbagai kabupaten di Bali, diantaranya Kotamadya Denpasar, Badung, Gianyar, Klungkung, Buleleng, Tabanan dan Negara. Kuesioner yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 96 kuesioner, dengan subjek berjenis kelamin laki-laki sebanyak 49 orang, dan subjek berjenis kelamin perempuan sebanyak 47 orang. Rentang usia subjek yakni 14 tahun hingga 20 tahun, dan lamanya subjek mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna adalah 1 tahun hingga 20 tahun.
Uji asumsi data penelitian
Hasil uji normalitas menunjukan bahwa sebaran data pada variabel interaksi sosial asosiatif memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas 0,068 (p>0,05), maka dapat
dikatakan bahwa sebaran pada variabel interaksi sosial asosiatif adalah normal. Selanjutnya, sebaran data pada variabel tingklat keberagamaan memiliki nilai signikansi dengan probabilitas (p) 0,200 (p>0,05), dapat dikatakan bahwa sebaran pada tingkat keberagamaan bersifat normal. Hasil uji linearitas menunjukkan bahwa hubungan interaksi sosial asosiatif dengan tingkat keberagamaan adalah linear karena memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas sebesar 0,000 (p<0,05). Berdasarkan uji normalitas dan uji linearitas yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa data penelitian bersifat normal dan linear.
Uji hipotesis
Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan menggunakan
analisis korelasi Pearson Product Moment diketahui bahwa
nilai koefisien korelasi sebesar -0,811. Koefisien korelasi yang bernilai negatif menyatakan arah hubungan yang negatif antara variabel interaksi sosial asosiatif dengan variabel tingkat keberagamaan. Hasil tersebut berarti bahwa semakin tinggi tingkat keberagamaan yang dirasakan remaja, maka interaksi sosial asosiatif akan semakin rendah. Begitu pula sebaliknya, apabila tingkat keberagamaan yang dirasakan remaja rendah, maka interaksi sosial asosiatif akan tinggi.
TaLel 1.
Tabel korelasi
_________________________________________________Interaksi Sosial______keberagamaan
Interaksi Sosial Pearson Correlafion 1-.811
Tingkat Pearson Correlation
-.811
.000
Nilai koefisien korelasi 0,811 menunjukkan tingkat korelasi yang kuat. Kuatnya korelasi antara variabel interaksi sosial asosiatif dan variabel tingkat keberagamaan ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,811 lebih besar dari 0,5 dan hampir mendekati 1. Menurut Santoso (2005) apabila nilai dari koefisien korelasi lebih dari 0,5, maka terdapat hubungan yang kuat.
Nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,000 kurang dari dari 0,05 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara variabel interaksi sosial asosiatif dan variabel tingkat keberagamaan. Sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara variabel interaksi sosial asosiatif dan variabel tingkat keberagamaan. Antara variabel interaksi sosial asosiatif dan variabel tingkat keberagamaan berhubungan secara negatif dan hubungan antara kedua variabel menunjukkan hubungan yang kuat.
Kategorisasi skor skala
Berdasarkan hasil kategorisasi skor skala pada skala interaksi sosial asosiatif tersebut menunjukkan bahwa subjek yang termasuk dalam kategori sangat tinggi sebanyak 18 orang, kategori tinggi sebanyak 65 orang, dan kategori sedang
sebanyak 13 orang. Tidak ditemukan subjek pada kategori sangat rendah dan kategori rendah.
Tal> el 2.
HasiI Kategorisasi Skor Subjek pada Variabel Interaksi Sosial Asosiatif
Variabet |
Rentang Nilai |
Kategori |
Subjek |
Persentase |
X <42 |
Sangat Rendah |
O |
0% | |
42 < X < 54 |
Rendah |
O |
0% | |
Interaksi Sosial |
54 < X ≤ 66 |
Sedang |
13 |
13.5% |
66<X<78 |
Tinggi |
65 |
67.7% | |
78 < X |
Sangat Tinggi |
18 |
18.8% | |
Jumlah |
96 |
100% |
Kategorisasi variabel tingkat keberagamaan menunjukkan bahwa subjek yang termasuk dalam kategori sangat rendah sebanyak 0 orang, kategori rendah sebanyak 2 orang, kategori sedang sebanyak 58 orang, kategori tinggi sebanyak 36 orang, dan kategori sangat tinggi adalah 0 orang.
label 3.
Hasil Kategorisasi Skor Variabel Tingkat Keberagamaan
Variabel |
Rentang Nilai |
Kategori |
Subjek |
Persentase |
X < 64.75 |
Sangat Rendah |
0 |
0% | |
64,75 <X< 83.25 |
Rendah |
2 |
2,1% | |
kebersamaan |
83.25< X <101.75 |
Sedang |
58 |
60.4% |
101,75 <X< 120,25 |
Tinggi |
36 |
37,5% | |
120.25 < X |
Sangat Tinssi |
0 |
0% | |
Jumlah |
96 |
100% |
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis menggunakan Pearson Product Moment, didapat bahwa nilai koefisien korelasi adalah sebesar -0,811. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif pada remaja yang mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna di Bali. Tanda (-) atau negatif bermakna hipotesis memiliki hubungan yang negatif, ini berarti antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif memiliki hubungan yang berlawanan. Semakin tinggi tingkat keberagamaan maka semakin rendah interaksi sosial. Begitu pula sebaliknya, apabila keberagamaan rendah, maka semakin tinggi pula interaksi sosial. Sugiyono (2010) menyatakan bahwa nilai koefisien yang bergerak dalam rentang 0,70-0,89 dapat digolongkan sebagai korelasi yang sangat kuat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nuqul (2004), yang menemukan adanya korelasi positif antara tingkat ideologis dalam beragama dengan prasangka. Penelitian Nuqul (2004) menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat ideologi yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi prasangka yang timbul terhadap out group. Prasangka yang timbul dikarenakan ideologi dalam beragama dapat melemahkan interaksi sosial asosiatif, karena prasangka akan membuat in group dengan out group berbeda kedudukannya dan menjadikan kelompok tidak mau bergabung atau bersosialisasi Rosenberg dan Simmons, (1971)
Selaras dengan Decety (2015), yang juga menemukan bahwa ada hubungan negatif antara keberagamaan dengan perilaku menolong pada anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga religius. Anak-anak yang religius justru kurang suka berbagi dengan orang lain, hubungan negatif antara keberagamaan dan alturisme akan semakin besar seiring
dengan bertambahnya usia. Menurut Decety (2015), anak-anak yang religius lebih banyak menghakimi dan menghukum teman-temannya apabila bersalah.
Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa keberagamaan memengaruhi individu secara negatif. Allport menyebutkan bahwa peran agama adalah paradoksikal, dapat membawa pada prasangka dan dapat membawa pula pada keadaan harmoni (Hood, Hill & Spilka, 2009). Agama merupakan suatu fenomena sosial, karena setiap agama memiliki aturan sosial yang berlaku untuk umatnya (James & Wells 1985). Agama mengajarkan sistem nilai yang mengatur hubungan manusia yang didalamnya banyak diajarkan tentang nilai-nilai pergaulan dan juga perikemanusiaan. Agama memberikan pengaruh-pengaruh psikologis, seperti rasa superior dalam diri individu yang menganggap agamanya paling berkuasa atau paling benar, sehingga memengaruhi pola interaksi sosial antar pemeluk agama (Rizqiani, 2008).
Allport dan Ross (1946) menemukan bahwa kaitan intetaksi sosial dengan keagamaan sangat berhubungan erat dengan orientasi keberagamaan seseorang. Terdapat dua tipe orientasi keberagamaan, yaitu orientasi keberagamaan intrinsik dan orientasi keberagamaan ekstrinsik, individu dengan tipe orientasi keberagamaan ekstrinsik terbukti lebih bersikap intoleran terhadap kelompok lain. Sedangkan individu dengan tipe orientasi keberagamaan intrinsik justru membuktikan hal sebaliknya, yaitu mendukung toleransi.
Penelitian ini menemukan sebanyak 67% remaja memiliki skor interaksi sosial asosiatif yang tinggi. Hasil tersebut menandakan bahwa sebagian besar interaksi sosial asosiatif remaja Hare krishna tergolong tinggi. Selaras dengan Micuci (1998), yang menyatakan bahwa kelompok remaja usia tengsh tidak lagi konformis seperti masa sebelumnya, remaja lebih toleransi terhadap perbedaan individu dalam penampilan, dan keyakinan dalam memeluk agama. Toleransi yang timbul di masa remaja terutama toleransi perbedaan dalam berkeyakinan membuat remaja mampu melakukan interaksi sosial yang asosiatif terhadap out group.
Dacey dan Keny (1997) menyatakan bahwa remaja memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam sebuah hubungan, yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana berinteraksi dengan remaja. Interaksi sosial asosiatif berkaitan erat dengan perilaku menolong, bekerja sama, prososial dan bersedia berbaur dengan out group (asimilasi). Interaksi sosial asosiatif juga berkaitan positif dengan kemampuan empati remaja (Suneni, 2006). Remaja yang memiliki interaksi sosial tinggi, dapat bersikap peduli pada orang lain, menjaga rasa aman, memiliki tanggung jawab, dapat memercayai orang lain dan memiliki sikap yang terbuka (Djalali, Farid & Yunistiati, 2014).
Kategori tingkat keberagamaan ditemukan bahwa 60% remaja memiliki skor tingkat keberagamaan yang sedang, dan sebanyak 37% memiliki skor tingkat keberagamaan tinggi. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, remaja Hare krishna memiliki kecenderungan terhadap agama, dari data dapat diketahui bahwa remaja Hare krishna menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama ini tampak dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajarran agama di sekolah,mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai ritual keagamaan (Hurlock, 2003).
Remaja dengan keberagamaan yang tinggi memiliki sejumlah pengetahuan akan ajaran agamanya mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci, aturan peribadatan yang menjadi pegangan individu ketika akan melaksanakan ibadah (Ancok, 2001). Melaksanakan apa yang diperintahkan agama tidak muncul hanya dalam ibadah wajib saja, namun juga bagaimana individu menjalankan pengetahuan yang dimiliki ke dalam segala aspek kehidupannya. Perilaku menolong, bekerjasama dengan orang lain, menghindari konflik, dan toleransi adalah sedikit dari apa yang bisa dilakukan individu sebagai cerminan dari apa yang dipelajari dan diyakininya.
Rakhmat (2011), menjelaskan bahwa tingkat keberagamaan remaja pada agama sangat dipengaruhi oleh kemampuan remaja dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya. Dalam upaya mengatasi konflik batin, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer groups-nya dalam rangka berbagi rasa dan pengalaman. Kondisi ini akan memengaruhi keyakinan dan ketaatan remaja pada agama.
Setelah melalui prosedur penelitian dan analisis data yang sesuai, maka tujuan dari penelitian ini telah terpenuhi yaitu untuk mengetahui hubungan antara tingkat
keberagamaan dengan interaksi social asosiatif pada remaja yang mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna ( Hare krishna) di Bali. Hasil analisis dapat membuktikan hipotesis penelitian yaitu terdapat hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif.
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G. W., & Kramer, B. M. (1946). Some roots of prejudice. The Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied, Vol 22, 9-39.
Altemeyer, B. H. (1992). Authoritarianism, Religious Fundamentalism, Quest, dan Prejudice. The International Journal For The Psychology Of Religion, 113-133.
Ancok, D. (2005). Religiusitas Sebagai Keberagaman. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Dacey, J., & Kenny, M. (1997). Adolescent Development. Cichago: Brown & Benchmark.
Decety, J. (2015). The Negative Association between Religiousness and Children’s Altruism across the World. Current Biology , 2951–2955.
Desmita, R. (2008). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Djalali, Farid, & Yunistiati. (2014). Keharmonisan Keluarga, Konsep Diri dan Interaksi Sosial Remaja. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, 71-82.
Gunarsa, S., & Gunarsa, Y. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Hood, R. W., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The Psychology of Religion Fourth Edition An Empirical Approach. New York: Guilford Publications.
Hurlock, E. B. (1992). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan . Jakarta: Erlangga.
Jackson, J. W., & Smith, E. R. (1999). Conceptualizing Social Identity: A New Framework and Evidence for the Impact of Different Dimensions. Personality and Social Psychology Bulletin, vol. 25 no. 1 , 120-135.
James, A., & Wells, A. (2003). Religion and mental health: Towards a cognitive-behavioural framework. British Journal of Health Psychology, 359–376.
Micucci, J. (1998). The adolescent in family theraphy: Breaking the cycle of conflict and control. New York: Guilford.
Nuqul, F. L. (2004). Hubungan antara Religiusitas dengan Prasangka pada Etnis China.
Putra, I., & Wongkaren, Z. (2010). Konstruksi Skala
Fundamentalisme Islam di Indonesia. Jurnal Ilmiah Psikologi,, 151-160.
Rakhmat, J. (2013). Psikologi Agama : Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan Pustaka.
Rizqiyani, N. (2008). Sikap penerimaan keberagaman agama dengan interaksi sosial pada remaja. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rosenberg, M., & Simmons, R. (1971). Black and White self-esteem: The urban school child (Arnold and Caroline Rose Monograph Series). Washington, DC: American
Sociological Association.
Santoso. (2005). Metodologi Penelitian Kuantitatf dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Setiadi, E. M., & Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana.
Soekanto, S. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada (Rajawai Perss).
Stouffer, S. A. (1992). Communism, Conformity, and Civil Liberties: A Cross-Section of the Nation Speaks Its Mind. Transactions Publishers.
Sugiyono. (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suneni, D. (2006). Hubungan Antara Empati dengan Kemampuan Interaksi Sosial Pada Remaja di SMU Islam Pujon Malang. Malang: tidak dipublikasikan.
Yanthi, P. S. (2016, 05 24). Selayang Pandang Hare krishna di Bali (tidak dipublikasikan).
115
Discussion and feedback