Jurnal Psikologi Udayana

2017, Vol.4, No.2, 320-332


Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

PERAN DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEBAYA DAN KONSEP DIRI TERHADAP PENYESUAIAN DIRI DI SEKOLAH PADA SISWA SMP KELAS VII DI

KECAMATAN TABANAN

Putu Indah Sukasari, Ni Made Ari Wilani Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Penyesuaian diri di sekolah adalah kemampuan individu dalam menghadapi perubahan pada lingkungan sekolah yang baru dan di dalamnya terdapat usaha untuk mencapai hubungan harmonis antara tuntutan lingkungan sekolah yang baru dengan tuntutan yang berasal dari dalam diri individu. Penyesuaian diri di sekolah dipengaruhi oleh faktor lingkungan teman sebaya dan konsep diri. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri terhadap penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan. Subjek penelitian ini adalah siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan yang diwakili oleh SMP Negeri 1 Tabanan sebanyak 308 subjek. Metode pengambilan data menggunakan skala dukungan sosial teman sebaya, skala konsep diri, dan skala penyesuaian diri di sekolah. Teknik pengambilan sampel menggunakan two stage cluster sampling. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan F=77,030; dengan signifikansi 0,000 (p<0,05) hal ini berarti bahwa dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri secara bersama-sama berperan terhadap penyesuaian diri di sekolah. Koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,336 artinya sumbangan efektif dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri terhadap penyesuaian diri di sekolah sebesar 33,6% sedangkan sisanya sebesar 66,4% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Kata kunci: dukungan sosial teman sebaya, konsep diri, penyesuaian diri di sekolah, siswa SMP kelas VII

Abstract

Personal adjustment at school is the ability of individuals in the face of changes in the new school environment in which there is an attempt to achieve a harmonious relationship between the demands of new school environment and the demands that comes from within the individual. Personal adjustment at school is influenced by environmental factors of peers and self concept. This study aimed to look at the role of peers social support and self concept to the personal adjustment at school in Junior High School students of grade VII in Tabanan District. The subjects were Junior High School students of grade VII in the District of Tabanan represented by SMP Negeri 1 Tabanan totaling 308 subjects. The instruments in this study were peers social support scale, self concept scale, and personal adjustment at school scale. The sampling technique used a two stage cluster sampling. The results of multiple regression analysis showed F=77,030, with sig. 0,000 (p<0,05) indicating that peers social support and self concept jointly contributed to the personal adjustment at school. The coefficient of determination (R Square) was 0,336 meaning an effective contribution of peers social support and self concept to the personal adjustment at school was 33,6% and the remaining 66,4% was influenced by other factors which not examined in this study.

Keywords: peers social support, self concept, personal adjustment at school, junior high school students of grade VI

LATAR BELAKANG

Salah satu tahapan perkembangan masa remaja adalah masa remaja awal. Masa remaja awal merupakan masa transisi keluar dari masa kanak-kanak dan termasuk periode yang sangat berisiko serta berlangsung dalam waktu yang relatif singkat yaitu usia 12 sampai 15 tahun. Memasuki masa remaja awal terdapat gejala-gejala yang disebut dengan fase negatif dan ditampilkan dalam perilaku seperti tidak tenang, kurang suka bekerja, dan pesimistik (Papalia dkk, 2011; Monks & Knoers, 2002; Mappiare, 1982 ).

Remaja awal termasuk dalam kategori siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama). Memasuki masa SMP, siswa sudah mulai mengenal sistem pendidikan baru yang berbeda saat mereka duduk di SD (Sekolah Dasar). Sistem pendidikan yang baru diantaranya terdapat berbagai mata pelajaran yang harus dipelajari dengan guru-guru yang berbeda sifat dan karakteristiknya, selain itu siswa SMP juga memiliki teman sebaya yang semakin luas lingkungannya sehingga mulai mengenal teman lain dengan berbagai latarbelakang (Fatimah, 2010). Memasuki masa transisi dari SD menuju SMP, maka siswa SMP mengalami top dog phenomenon (Santrock, 2002). Top dog phenomenon merupakan suatu keadaan yang bergerak dari posisi teratas yaitu ketika di SD mereka adalah siswa yang paling tua, besar, dan paling berkuasa menuju posisi yang paling rendah yaitu di SMP mereka menjadi siswa paling muda, kecil, dan paling lemah di sekolah.

Menurut Hargreaves, Earl, dan Ryan (2003) siswa yang memasuki masa SMP mengalami permasalahan penyesuaian diri di tahun pertama sekolah. Permasalahan penyesuaian diri di sekolah memengaruhi penurunan prestasi dan motivasi belajar, kurang menikmati sekolah, kurang memiliki keinginanan untuk sekolah, serta siswa mengalami kecemasan. Kecemasan yang dialami terkait dengan hubungan dengan kakak kelas, tugas-tugas sekolah, serta guru. Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa remaja yang menjadi siswa SMP kelas VII perlu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi pendidikan baru yang lebih beragam dan kompleks.

Kemampuan penyesuaian diri merupakan hal yang dibutuhkan setiap individu karena penyesuaian diri terjadi kapan saja saat dihadapkan pada kondisi lingkungan baru yang membutuhkan suatu respon (Desmita, 2009). Penting bagi individu untuk melakukan penyesuaian diri dengan baik di lingkunganya salah satunya adalah lingkungan sekolah (Fatimah, 2010). Kegagalan siswa dalam melakukan penyesuaian diri di sekolah akan menimbulkan delapan tanda bahaya yaitu a) tidak bertanggungjawab yang tampak dalam perilaku mengabaikan pelajaran misalnya muncul perilaku malas sekolah dan mencontek, b) sikap yang agresif, c) perasaan yang tidak aman, d) merasa ingin pulang bila berada jauh dari lingkungan yang dikenal, e) muncul perasaan menyerah, f) terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi

ketidakpuasan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari, g) mundur ke tingkat perilaku yang sebelumnya agar disenangi dan diperhatikan, h) menggunakan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi, proyeksi, dan berkhayal (Hurlock, 1980). Menurut Schneiders (1964) siswa yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan baik di sekolah akan menunjukkan sikap tidak tertarik pada sekolah, bolos sekolah, hubungan kurang baik dengan guru-guru dan teman, serta kurang menaati peraturan sekolah.

Sebuah harian surat kabar (Liputan6.com) memberitakan mengenai razia yang dilakukan oleh petugas gabungan dari kepolisisan, Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas), dan Dinas Pendidikan Kota Tegal, Jawa Tengah kepada siswa sekolah. Hasilnya ditemukan sebanyak 32 siswa sedang membolos saat jam pelajaran sekolah masih berlangsung. Berita yang hampir serupa mengenai perilaku siswa SMP di Kecamatan Tabanan yang kurang menaati peraturan guru seperti yang diberitakan pada sebuah harian surat kabar (Beritabali.com) mengenai masalah yang terjadi pada SMP Negeri 3 Tabanan, yaitu seorang siswa SMP Negeri 3 Tabanan tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya sehingga membuat guru sangat marah dan memberikan hukuman fisik berupa dijemur selama satu jam hingga siswa tersebut sakit.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada tiga guru BK (Bimbingan Konseling) kelas VII di SMP yang ada di Kecamatan Tabanan yaitu SMP Negeri 1 Tabanan, SMP Negeri 2 Tabanan, dan SMP Negeri 3 Tabanan menunjukkan bahwa siswa kelas VII mengalami permasalahan dalam penyesuaian diri di sekolah yang ditampilkan dalam perilaku melanggar peraturan sekolah seperti salah mennggunakan seragam, menggunakan sepatu yang tidak sesuai aturan, potongan rambut yang melanggar aturan, membolos saat jam pelajaran berlangsung karena tidak suka dengan pelajarannya, terlambat datang ke sekolah dengan alasan bangun tidur yang kesiangan maupun terlambat mendapatkan mobil tumpangan menuju sekolah, membawa rokok, dan mencuri (Sukasari, 2016).

Menurut guru BK hal yang paling sering terjadi ketika berinteraksi dengan teman sebaya adalah siswa kelas VII sering saling mengejek hingga berujung perkelahian dan saling memukul serta ada yang mengancam teman. Guru BK juga menjelaskan terdapat siswa yang kurang hormat bila bertemu guru yaitu siswa tersebut tidak peduli jika berpapasan dengan guru, tidak mendengarkan penjelasan guru, ribut di kelas jika tidak ada guru. Selanjutnya terdapat siswa yang pemalu dan mendapat nilai dibawah standar sehingga harus diadakan pemanggilan orang tua siswa (Sukasari, 2016). Berdasarkan berita dan hasil wawancara yang dilakukan kepada tiga guru BK SMP kelas VII yang ada di Kecamatan Tabanan, maka dapat disimpulkan bahwa siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan mengalami permasalahan

penyesuaian diri di sekolah. Siswa yang kurang mampu menyesuaikan diri di sekolah akan menunjukkan perilaku-perilaku negatif yang pada akhirnya akan menemui kesulitaan-kesulitan selama menjalani kegiatan di sekolah.

Menurut Fatimah (2010) siswa dalam melakukan penyesuaian diri di sekolah dipengaruhi oleh faktor-faktor diantaranya faktor fisiologis; faktor psikologis yang terdiri dari pengalaman, belajar, determinasi diri, konflik; faktor perkembangan dan kematangan; faktor lingkungan yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya; serta faktor budaya dan agama. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang memengaruhi siswa dalam melakukan penyesuaian diri. Salah satu faktor eksternal yaitu lingkungan teman sebaya.

Lingkungan teman sebaya menjadi penting bagi remaja karena pengaruh kuat teman sebaya mencapai puncaknya pada masa remaja awal dan merupakan tempat pertama dalam menjalani aktivitas bersama disertai dengan norma-norma yang diterapkan dalam kelompok teman sebaya (Mappiare, 1982; Papalia dkk, 2011). Norma-norma yang diterapkan di dalam kelompok teman sebaya membuat remaja akan berusaha untuk mengikuti norma tersebut agar terhindar dari penolakan teman sebaya. Hal tersebut membuat bahwa kebutuhan yang penting dalam masa remaja adalah kemampuan dalam menjalin hubungan yang erat dengan teman sebaya. Penolakan dan pertentangan dengan teman sebaya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pikiran, sikap, perasaan, dan penyesuaian diri remaja. Remaja yang ditolak oleh lingkungan teman sebaya atau kelompok teman sebaya akan menimbulkan perilaku tidak percaya diri, suka menantang orang lain, suka berdebat, memfitnah, menyendiri, mencuri dan bahkan bunuh diri (Mappiare, 1982; Fatimah, 2010; Papalia dkk, 2011).

Sebuah harian surat kabar (detiknews.com) menyatakan bahwa seorang remaja yang terkenal pendiam bunuh diri karena merasa tak lagi nyaman bergaul dengan teman-temannya. Remaja tersebut kerap kali merasa dikucilkan dan tidak disenangi oleh teman-temannya sehingga menimbulkan perasaan frustrasi dan memilih untuk bunuh diri. Berdasarkan berita tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya penolakan dan tidak adanya dukungan dari teman sebaya dapat menyebabkan remaja melakukan perilaku-perilaku negatif.

Bagi remaja yang mengalami masa transisi dari SD menuju SMP adanya penolakan dari teman sebaya merupakan hal yang berat, sehingga adanya penerimaan dan dukungan sosial dari teman sebaya merupakan hal yang penting pada masa remaja. Dukungan sosial teman sebaya dapat diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh kelompok teman sebaya berupa afeksi, simpati, dan pengertian. Memasuki masa

transisi sekolah merupakan hal yang menyebabkan stres bagi remaja, sehingga melalui adanya dukungan sosial yang berasal teman sebaya akan membantu untuk mengurangi stres. Remaja yang kurang mendapatkan dukungan sosial teman sebaya dapat menyebabkan munculnya gangguan psikologis. Dukungan sosial teman sebaya berupa pengertian dan saran-saran yang diberikan akan membantu remaja dalam menerima keadaan dirinya serta memahami hal-hal yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin remaja mengerti mengenai dirinya maka semakin meningkat keadaan untuk menerima dirinya sendiri, mengetahui kekuatan, dan kelemahan, sehingga remaja akan menemukan cara untuk melakukan penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi yang dimiliki (Fatimah, 2010).

Remaja yang melakukan penyesuaian diri di sekolah selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan teman sebaya, penyesuaian diri juga dipengaruhi oleh faktor pengalaman (Fatimah, 2010). Terdapat dua jenis pengalaman yaitu pengalaman yang menyenangkan dan pengalaman traumatik (Fatimah, 2010). Pengalaman yang menyenangkan adalah peristiwa menyenangkan yang dialami oleh siswa, pengalaman ini akan membantu siswa dalam dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan baru. Pengalaman traumatik adalah peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh siswa sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, pengalaman ini dapat menimbulkan penyesuaian diri yang buruk pada siswa.

Pengalaman berhubungan dengan konsep diri yaitu jika siswa mengalami pengalaman yang menyenangkan akan memunculkan konsep diri positif dan perasaan berharga, sebaliknya siswa yang mengalami pengalaman traumatik akan memunculkan konsep diri negatif dan perasaan tidak berharga (Fitts dalam Agustiani, 2009). Bentuk pengalaman yang mampu memunculkan konsep diri positif atau negatif adalah keberhasilan maupun kegagalan dalam menyelesaikan suatu tugas di sekolah (Hurlock, 1980). Pembentukan konsep diri berdasarkan pengalaman ini karena remaja cenderung menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan didapatkan dari lingkungan. Konsep diri menjadi hal yang penting dalam menentukan penyesuaian diri di sekolah, hal ini disebabkan konsep diri termasuk aspek penting dalam diri yang dapat menjadi kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga konsep diri berpengaruh kuat terhadap perilaku (Fitts dalam Agustiani, 2009).

Sebuah harian surat kabar (Kompas.com) menyebutkan bahwa seorang siswa SMP yang melakukan bunuh diri karena merasa tidak berguna. Perasaan tidak berguna dipicu karena kegagalan masuk olimpiade tenis pada pekan olahraga daerah. Berdasarkan berita tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa tersebut memiliki konsep diri yang negatif. Terbentuknya konsep diri yang negatif pada remaja karena remaja memiliki cita-cita yang tidak realistik terkait

dengan kemampuannya. Siswa yang memiliki konsep diri negatif akan menampilkan perilaku tidak percaya diri, takut akan kegagalan sehingga tidak berani untuk mencoba hal baru, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa tidak berguna, pesimis, serta perasaan inferior lainnya (Desmita, 2009). Siswa dengan konsep diri negatif juga akan memandang dirinya tidak mampu dalam melaksanakan tugas-tugas sekolah, sehingga adanya perasaan tidak mampu tersebut akan memengaruhi proses penyesuaian diri di sekolah. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka penelitian ini mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai “peran dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri terhadap penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan”.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri di sekolah.

Definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini sebagai berikut :

  • 1.    dukungan sosial teman sebaya adalah kenyamanan, kepedulian, dan bantuan yang diterima individu dari teman sebaya sehingga mampu membuat individu merasa bahwa dirinya dicintai, diperhatikan, dihargai, dihormati, bernilai, dan menjadi bagian dari kelompok. Dukungan sosial teman sebaya diukur dengan skala dukungan sosial teman sebaya, semakin tinggi skor total maka semakin tinggi dukungan sosial teman sebaya.

  • 2.    konsep diri adalah pandangan individu terhadap dirinya secara keseluruhan mencakup penilaian individu terhadap dirinya dengan melakukan evaluasi di bidang akademik, atletik, penampilan fisik, dan sebagainya yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari

interaksi dengan lingkungan. Konsep diri diukur dengan skala konsep diri, semakin tinggi skor total maka semakin positif konsep diri.

  • 3.    penyesuaian diri di sekolah adalah kemampuan individu dalam menghadapi perubahan pada lingkungan sekolah yang baru dan di dalamnya terdapat usaha untuk mencapai hubungan yang harmonis antara tuntutan lingkungan sekolah yang baru dengan tuntutan yang berasal dari dalam diri individu. Penyesuaian diri di sekolah diukur dengan skala penyesuaian diri di sekolah, semakin tinggi skor total maka semakin tinggi penyesuaian diri di sekolah.

Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja awal yang sedang menempuh pendidikan SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan yang berjumlah 1.607 siswa. Karakteristik populasi yaitu remaja yang sedang berada di

kelas VII, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, remaja yang sedang menempuh pendidikan SMP Negeri maupun Swasta di Kecamatan Tabanan. Teknik pengambilan sampel menggunakan two stage cluster sampling. Pada proses pengambilan data jumlah skala yang tersebar sebanyak 313 skala, namun hanya 308 skala yang memenuhi syarat untuk dianalisis.

Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Tabanan dengan delapan kelas yang terpilih melalui random yaitu kelas VII A, C, D, F, G, I, J, dan K. Pengambilan data dilakukan dua hari yaitu pada tanggal 28 april 2016 subjek diberikan skala penyesuaian diri di sekolah dan skala konsep diri, kemudian tanggal 29 april 2016 subjek diberikan skala dukungan sosial teman sebaya.

Alat Ukur

Alat ukur penelitian ini menggunakan tiga skala yaitu skala dukungan sosial teman sebaya, skala konsep diri, dan skala penyesuaian diri di sekolah. Skala dukungan sosial teman sebaya dimodifikasi dari skala Sasmita (2015) yang mengacu pada aspek dukungan sosial Sarafino dan Smith (2011), skala konsep diri dimodifikasi dari skala Putra (2014) yang mengacu pada aspek konsep diri Fitts (dalam Agustiani, 2009), dan skala penyesuaian diri di sekolah disusun sendiri oleh peneliti yang mengacu pada aspek penyesuaian diri Schneiders (1964). Skala dukungan sosial teman sebaya terdiri dari 38 aitem pernyataan, skala konsep diri terdiri dari 42 aitem pernyataan, skala penyesuaian diri di sekolah dari 48 aitem pernyataan. Metode skala yang digunakan yaitu skala likert dan terdapat empat pilihan jawaban terdiri dari aitem favorable dan aitem unfavorable. Empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).

Validitas suatu alat ukur menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Riduwan, Rusyana, & Enas, 2013). Pengujian validitas pada penelitian ini menggunakan expert judgement dan skor corrected total item correlation. Suatu aitem dapat dikatakan valid apabila skor corrected total item correlation lebih besar daripada 0,30 (Azwar, 2013). Azwar (2014) menyebutkan bahwa apabila jumlah aitem yang lolos ternyata tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria skor corrected total item correlation menjadi 0,25, sehingga pada penelitian ini menggunakan batas minimum skor corrected total item correlation sebesar 0,25. Pengujian reliabilitas menggunakan teknik alpha cronbach dan suatu alat ukur dikatakan reliabel jika skor reliabilitasnya lebih besar dari 0,70 (Ghozali, 2011).

Pengambilan data untuk uji coba alat ukur penelitian dilakukan di SMP Negeri 2 Kerambitan pada

tanggal 21, 23, dan 24 Maret 2016 dengan subjek kelas VII A, B, dan C sejumlah 72 subjek. Pengambilan data selanjutnya dilakukan di SMP Negeri 5 Tabanan pada tanggal 30, 31 Maret dan 1 April 2016 dengan subjek kelas VII A, B, dan C sejumlah 59 subjek. Total keseluruhan skala yang tersebar di dua sekolah pada saat uji coba alat ukur penelitian sebanyak 131 skala, namun hanya 118 skala yang memenuhi syarat untuk dianalisis.

Hasil uji validitas skala dukungan sosial teman sebaya menunjukkan nilai koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0,260-0,614. Hasil uji reliabilitas skala dukungan sosial teman sebaya menunjukkan koefisien alpha (α) adalah sebesar 0,924, yang berarti skala ini mampu mencerminkan 92,4% variasi skor subjek adalah skor murni. Hal tersebut menggambarkan bahwa skala dukungan sosial teman sebaya dapat digunakan untuk mengukur dukungan sosial teman sebaya. Hasil uji validitas skala konsep diri menunjukkan nilai koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0,252-0,606. Hasil uji reliabilitas skala konsep diri menunjukkan koefisien alpha (α) adalah sebesar 0,909 yang berarti skala ini mampu mencerminkan 90,9% variasi skor subjek adalah skor murni. Hal tersebut menggambarkan bahwa skala konsep diri dapat digunakan untuk mengukur konsep diri. Hasil uji validitas skala penyesuaian diri di sekolah menunjukkan nilai koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0,257-0,608. Hasil uji reliabilitas skala penyesuaian diri di sekolah menunjukkan koefisien alpha (α) adalah sebesar 0,921 yang berarti skala ini mampu mencerminkan 92,1% variasi skor subjek adalah skor murni. Hal tersebut menggambarkan bahwa skala penyesuaian diri di sekolah dapat digunakan untuk mengukur penyesuaian diri di sekolah.

Teknik Analisis Data

Pengujian hipotesis dilakukan setelah data penelitian melewati syarat uji asumsi yaitu uji normalitas, uji linearitas, dan uji multikolinearitas. Pada penelitian ini uji normalitas menggunakan uji kolmogorov-smirnov, uji linearitas menggunakan uji compare mean dengan melihat nilai deviation from linearity, dan uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF) dan tolerance. Setelah melakukan uji asumsi, untuk menguji hipotesis maka data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis regresi berganda melalui program statistical package for social service (SPSS) 16.0 for windows.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Berdasarkan data karakteristik subjek diperoleh total subjek secara keseluruhan sebanyak 308 subjek yang terdiri dari 141 laki-laki dengan persentase 45,8% dan 167 perempuan dengan persentase 54,2%. Mayoritas subjek

berusia 13 tahun sebanyak 215 subjek dengan persentase 69,8% dan mayoritas subjek merupakan anak sulung sebanyak 119 subjek dengan persentase 38,6%.

Deskripsi Data Penelitian

Hasil deskripsi data penelitian yaitu dukungan sosial teman sebaya, konsep diri, dan penyesuaian diri di sekolah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabell.

Deskripsi statistik data penelitian

Variabel

N

Mean

Teoretis

Mean Empiris

Std.

Deviasi Teoretis

Std.

Deviasi

Empiris

Sebaran Teoretis

Sebaran

Empiris

Dukungan sosial teman sebaya

308

95

118,95

19

10326

38-152

68-147

Konsep diri

308

105

128,08

21

10,272

42-168

97-161

Penyesuaian diri di sekolah

308

120

155,05

24

9,982

48-192

124-181

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa dukungan sosial teman sebaya memiliki mean empiris yang lebih besar dari mean teoretis (mean empiris>mean teoretis), hal ini berarti bahwa subjek memiliki dukungan sosial teman sebaya yang tinggi. Rentang skor subjek penelitian yaitu antara 68 sampai dengan 147. Berdasarkan penyebaran frekuensi 98,1% subjek pada penelitian ini berada di atas mean teoretis. Mayoritas subjek penelitian berada dalam kategori dukungan sosial teman sebaya yang tinggi sebanyak 190 subjek dengan persentase 61,7%.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsep diri memiliki mean empiris yang lebih besar dari mean teoretis (mean empiris>mean teoretis), hal ini berarti bahwa subjek memiliki konsep diri yang positif. Rentang skor subjek penelitian yaitu antara 97 sampai dengan 161. Berdasarkan penyebaran frekuensi 99% subjek pada penelitian ini berada di atas mean teoretis. Mayoritas subjek penelitian berada dalam kategori konsep diri positif sebanyak 205 subjek dengan persentase 66,6%.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa penyesuaian diri di sekolah memiliki mean empiris yang lebih besar dari mean teoretis (mean empiris>mean teoretis), hal ini berarti bahwa subjek memiliki penyesuaian diri di sekolah yang tinggi. Rentang skor subjek penelitian yaitu antara 124 sampai dengan 181. Berdasarkan penyebaran frekuensi 100% subjek pada penelitian ini berada di atas mean teoretis. Mayoritas subjek penelitian berada dalam kategori penyesuaian diri di sekolah yang tinggi sebanyak 166 subjek dengan persentase 53,9%.

Uji Asumsi

Uji asumsi terdiri dari uji normalitas, uji linearitas, dan uji multikolinearitas. Uji asumsi penelitian menggunakan program statistical package for social service (SPSS) 16.0 for windows.

  • a.    Uji normalitas

Uji normalitas berfungsi untuk menunjukkan bahwa data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal (Gunawan, 2013). jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05

(p>0,05) artinya data berdistribusi normal (Santoso, 2005; Ghozali, 2011; & Gunawan, 2013). Hasil uji normalitas data penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2,

Hasil uji normalitas__________________________________________________________________________

Variabel                   Signifikansi                Keterangan

Ihjkungansosialtemansebaya         0,937 (pX),05)                 Nomial

_____________Konsep diri__________________0,642 (p>0,05)_________________Normal_____________

Penyesuaiandiridisekolah          0,189 (p>0,05)                 Normal

Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial teman sebaya memiliki signifikansi 0,937 (p>0,05), konsep diri memiliki signifikansi 0,642 (p>0,05), dan penyesuaian diri di sekolah memiliki signifikansi 0,189  (0>0,05) yang berarti bahwa ketiga variabel

berdistribusi normal.

  • b.    Uji linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang linear antara kedua variabel (Sugiyono, 2012). Uji linearitas menggunakan uji compare mean dengan melihat signifikansi pada deviation from linearity jika lebih besar dari 0,05 (p>0,05) maka data linear (Gunawan, 2013). Hasil uji linearitas data penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3.

Hasil uji Iinearitas____________________________________________________________________________________

Signifikansi           Keterangan

Penyesuaian diri di        Z½vurt⅛>nJ>om

sekolah*Dukungan sosial        Jinearify            0,072 (p>0,05)             linear

teman sebaya

Penyesuaiandiridi        Dexiationfrowi

⅛ekolah*Konsep diri Jinearify’            Linear

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa penyesuaian diri di sekolah dengan dukungan sosial teman sebaya memiliki signifikansi 0,072  (p>0,05) dan

penyesuaian diri di sekolah dengan konsep diri memiliki signifikansi 0,148 (p>0,05). Pada uji linearitas dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang linear antara penyesuaian diri di sekolah dengan dukungan sosial teman sebaya dan penyesuaian diri di sekolah dengan konsep diri c. Uji multikolinearitas

Uji multikolinearitas adalah uji untuk melihat apakah variabel bebas memiliki hubungan atau tidak (Santoso, 2005). Mendeteksi keadaan multikolinearitas dilihat dari nilai variance inflation factor (VIF) dan collinierity tolerance. Tidak terjadi multikolinearitas apabila nilai variance inflation factor (VIF) lebih kecil dari 10 (<10) dan nilai collinierity tolerance lebih besar dari 0,1 (>0,1) (Yudiaatmaja, 2013). Hasil uji multikolinearitas data penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini :

label 4.

Hasil uji multikolinearitas__________________________________________________________________________

A ariabel                  f ⅛"ikh>',∕∙ ⅛riiri:--                Keterangan

Tolerance        JZF

Dukungan so sial teman seb aya        0,8 77          1,141       Tidak taj a di multikolinearita s

Konsep diri                 0,8 77          1,141       Tidak terj a di multikolinearita s

a Variabel tergantung : Penyesuaian diri di sekolah

Berdasarkan data Tabel 4 menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri memiliki nilai tolerance masing-masing sebesar 0,877 lebih besar dari 0,1 (>0,1) serta nilai variance inflation factor

(VIF) masing-masing sebesar 1,141 lebih kecil dari 10 (<10). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas yaitu dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri. Berdasarkan hasil uji asumsi yang telah dilakukan, diperoleh bahwa data penelitian ini memiliki distribusi normal, memiliki hubungan yang linear, dan tidak terjadi multikolinearitas antara variabel bebas.

Uji Hipotesis

Menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis regresi berganda melalui program statistical package for social service (SPSS) 16.0 for windows. Hasil uji regresi berganda dapat dilihat pada Tabel 5, 6, 7 berikut ini :

Tabel 5.

Hasil uji regresi berganda dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri Ierhadappenyesuaian diri di sekolah___________________________________________________________________________________________

R                 R Square         Adjusted R Square Std. Error of the

Estimate

0,579-                   0,336                  0,331                   S 163

  • a.    Prediktor                    : Dukungan sosial teman sebaya, konsep diri

  • b.    Variabeltergantung           : Penyesuaian diri di sekolah

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien regresi (R) sebesar 0,579 dengan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,336. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri memiliki peran sebesar 33,6% terhadap penyesuaian diri di sekolah sedangkan sisanya 66,4% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini (Riduwan dkk, 2013).

Tabel 6.

Hasil uji regresi berganda signifikansi nilai F_________________________________________________________

Model          -Siiwto/          Df       AfιαnS⅞uαre F         Signifikansi

-Square

Regression       10266,072         2          5133,036       77,030         0,000a

Residual 20324,197        3 05          66,637

Total________30590,269________307___________________________________________________

  • a.    Prediktor                     : Dukungansosial teman sebaya,konsep diri

  • b.    VariabelTergantimg         ZPenyesuaiandiridisekolah

Tabel 6 menunjukkan nilai F hitung sebesar 77,030 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) maka model regresi berganda dapat digunakan untuk memprediksi penyesuaian diri di sekolah atau bisa dikatakan variabel dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri secara bersama-sama berperan terhadap penyesuaian diri di sekolah (Riduwan dkk, 2013).

Tabel T.

Hasil uji regresi berganda nilai koefisien beta dan nilai t variabel konsep diri dan dukungan sosial teman sebaya_______________________________________________________________________________

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients         t

Signifikansi

B

Std. Error

Beta

(Constant)

70,835

6,826

10378

0,000

Dukungan sosial teman sebaya

0,355

0,048

0,367

7,364

0,000

Konsep diri

0,328

0,048

0,338

6,772

0,000

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa dukungan sosial teman sebaya memiliki koefisien beta tidak terstandarisasi sebesar 0,355 dan nilai t sebesar 7,364 dengan nilai signifikansi 0,000 lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) yang berarti bahwa dukungan sosial teman sebaya berperan secara signifikan terhadap penyesuaian diri di sekolah (Santoso, 2005). Konsep diri memiliki koefisien beta tidak terstandarisasi sebesar 0,328 dan nilai t sebesar 6,772 dengan nilai signifikansi 0,000 lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) yang

berarti bahwa konsep diri berperan secara signifikan terhadap penyesuaian diri di sekolah (Santoso, 2005).

Berdasarkan Tabel 7, hasil regresi berganda dapat memprediksi penyesuaian diri di sekolah dengan melihat nilai konstan dan koefisien beta tidak terstandarisasi (Santoso, 2005). Memprediksi penyesuaian diri di sekolah dapat dilihat melalui nilai konstan sebesar 70,835 menyatakan bahwa jika tidak ada variabel dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri, maka variabel penyesuaian diri di sekolah adalah sebesar 70,835. Nilai koefisien beta tidak terstandarisasi pada variabel dukungan sosial teman sebaya sebesar +0,355 menyatakan bahwa setiap penambahan 1% dari nilai dukungan sosial teman sebaya maka akan meningkatkan nilai penyesuaian diri di sekolah sebesar 0,355%. Nilai koefisien beta tidak terstandarisari pada variabel konsep diri sebesar +0,328 menyatakan bahwa setiap penambahan 1% dari nilai konsep diri maka akan meningkatkan nilai penyesuaian diri di sekolah sebesar 0,328%.

Ringkasan hasil uji hipotesis dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini :

TabelS.

Hasiluji hipotesis penelitian__________________________________________________________________________ No.                           Hipotesis                                        Hasil

  • 1.    Hipatesis alternatif (Ha) :

Dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri berperan

terhadap p enyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII              Diterima

di Kecamatan Tabanan.

  • 2.    Hipotesis nol (HO):

Dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri tidak berperan              Ditolak

terhadap p enyesuaian diri di Sekolahpada siswa SMPkelasXTI di Kecamatan Tabanan.

Analisis Tambahan

Analisis tambahan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dukungan sosial teman sebaya, konsep diri, dan penyesuaian diri di sekolah pada kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Analisis tambahan dilakukan dengan menggunakan program statistical package for social service (SPSS) 16.0 for windows. Berikut ini adalah tabel hasil uji independent sample t test :

Tabd 9.

Hasil uji WepgftdM sample t rest

LtfVtfittf ⅛ test for equality of variances

Γ-test for

equality of means

Dukungan Sosial Teman Sebava

Equal variances assumed

F

t 0,142

Sig. (2 tailed) 0.887

Equal variances not assumed

0,138

0,891

Konsep Dm

Eq ual variances assumed

F

sis'.

-0.210

Sig. (2 tailed) 0,834

Equal variances not assumed

-0,209

0,835

Penyesuaianlhn di ’ Sekolah

Equal variances assumed

F

2,356

Sig. (2 tailed) 0,019

Eq ual variances not assumed

19,016

0,000   ■

2 299

0,022

Hasil uji indenpedent sample t test diawali dengan melihat nilai levene's test for equality of variances masing-masing variabel pada tabel 9. Hasil uji levene's test for equality of variances didapatkan bahwa variabel konsep diri memiliki varians yang tidak identik atau berbeda, variabel dukungan sosial teman sebaya memiliki varians yang identik atau sama, dan variabel penyesuaian diri di sekolah memiliki varians yang tidak identik atau berbeda. Setelah mendapatkan hasil uji levene's test for equality of variances, maka untuk melihat perbedaan dengan melihat t test for

equality of means dan didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri berdasarkan jenis kelamin, namun terdapat perbedaan penyesuaian diri di sekolah berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan nilai mean penyesuaian diri di sekolah berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 10.

TabdlO.

Perbedaan nilai mean penyesuaian diri di Sekolahberdasarkan jenis kelamin

Variabel             Jeniskelamin             N                Mean

Penyesuaiandiridisekolah         Laki-laki                141                156,50

Perempuan               167                153,83

Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai mean antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan yaitu nilai mean laki-laki sebesar 156,50 lebih besar dari nilai mean perempuan sebesar 153,83. Hal ini berarti penyesuaian diri laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan penyesuaian diri perempuan.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uji hipotesis melalui uji regresi berganda, dapat diketahui bahwa terdapat peran dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri terhadap penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan. Dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri memiliki peran sebesar 33,6% terhadap penyesuaian diri di sekolah, sedangkan sisanya sebesar 66,4% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Dukungan sosial teman sebaya berperan secara signifikan terhadap penyesuaian diri di sekolah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Novitasari (2013) menunjukkan bahwa dukungan sosial teman sebaya berpengaruh terhadap adekuasi penyesuaian diri di sekolah. Berperannya dukungan sosial teman sebaya terhadap penyesuaian diri di sekolah karena remaja memiliki kebutuhan untuk menjalin interaksi terhadap teman sebaya dan selama remaja berada di sekolah terjadi interaksi sosial yang tidak bisa dihindari antara remaja dengan teman sebayanya (Hargreaves dkk, 2003). Dukungan sosial teman sebaya adalah sumber dukungan yang paling penting bagi remaja karena pada masa remaja mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya dibandingkan dengan orangtua. Melalui dukungan sosial dari teman sebaya maka remaja akan mendapatkan saran dan pengertian yang akan membantu remaja untuk menerima dan memahami keadaan dirinya sehingga menyebabkan remaja akan menemukan cara untuk melakukan penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi yang dimilikinya (Fatimah, 2010).

Konsep diri berperan secara signifikan terhadap penyesuaian diri di sekolah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sariningrum (2016) menemukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan penyesuaian diri pada remaja kelas VII SMP. Konsep diri memiliki peran yang cukup penting

dalam menentukan tingkah laku individu sehingga pandangan individu terhadap dirinya akan tercermin dari seluruh perilakunya (Desmita, 2009). Salah satu aspek dari konsep diri adalah harapan individu terhadap dirinya yang meliputi tujuan dan cita-cita (Calhoun & Acocella). Tujuan dan cita-cita berkaitan dengan ideal self dan ideal self belum tentu sesuai dengan kenyataan sebenarnya sehingga dapat memengaruhi konsep diri individu. Ketika individu menetapkan tujuan dan cita-cita yang terlalu tinggi bagi dirinya dan tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan (ideal self) maka akan menghasilkan konsep diri negatif bagi individu. Konsep diri negatif berupa munculnya perasaan inferior yaitu perasaan tidak mampu dan tidak percaya diri sehingga membuat individu menarik diri dari lingkungan dan akan memengaruhi individu dalam melakukan penyesuaian diri di sekolah.

Hasil deskripsi statistik dan kategorisasi data menunjukkan bahwa penyesuaian diri di sekolah tergolong tinggi. Individu dengan penyesuaian diri yang tinggi memiliki karakteristik mampu mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya, mampu menerima dirinya, memiliki tujuan dan arah yang jelas dalam mencapai tujuan, memiliki rasa humor, bertanggungjawab, bebas dari gangguan mental, bersikap realistis, dan mampu bekerjasama dengan orang lain (Schneiders, 1964).

Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2016) menemukan bahwa dalam waktu kurang lebih enam bulan, kemampuan siswa tahun pertama dalam melakukan penyesuaian diri di sekolah akan berangsur-angsur berkembang sejalan dengan perkembangan kemandirian dan kecerdasan emosional siswa, hal ini menyebabkan kemampuan penyesuaian diri siswa di sekolah setelah enam bulan pertama tergolong tinggi. Ketika melakukan penyesuaian diri di sekolah faktor eksternal memengaruhi penyesuaian diri siswa. Faktor eskternal tersebut yaitu lingkungan fisik sekolah, lingkungan sosial sekolah, dan lingkungan keluarga (Willis, 2014; Fatimah, 2010). Menurut Willis (2014) lingkungan fisik sekolah memengaruhi siswa dalam melakukan penyesuaian diri di sekolah. Ketika sekolah mampu menyediakan fasilitas seperti gedung, alat-alat sekolah, dan lingkungan sekolah yang tenang maka akan membuat siswa merasa nyaman ketika berada di sekolah. Faktor selanjutnya yang mampu memengaruhi penyesuaian diri di sekolah yitu lingkungan sosial sekolah. Lingkungan sosial sekolah diantaranya hubungan dengan guru dan teman sebaya. Menurut Desmita (2009) bahwa hubungan yang diciptakan guru kepada siswanya akan menentukan keberhasilan siswa dalam penyesuaian diri di sekolah.

Lingkungan sosial lainnya adalah teman sebaya, menurut Fatimah (2010) lingkungan teman sebaya mampu memengaruhi siswa dalam penyesuaian diri di sekolah. Yusuf (2014) menjelaskan bahwa sekolah memiliki upaya dalam membantu siswa mengembangkan kemampuan interpersonal

salah satunya adalah memberikan kesempatan untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan kelompok seperti ekstrakurikuler ataupun organisasi sekolah. Adler (dalam Agustiani, 2009) menyatakan bahwa salah satu kriteria siswa yang memiliki penyesuaian diri yang tinggi adalah mampu bergaul di dalam lingkungan sosialnya. Melalui kegiatan ektrakurikuler siswa mampu berinteraksi dan bergaul dengan teman sebaya lainnya yang berasal dari berbagai kelas. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan tambahan diluar jam pelajaran biasa agar memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan siswa serta mampu meningkatkan kesehatan mental siswa (Suryosubroto, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Darling, Caldwell, dan Smith (2005) menemukan bahwa kegiatan ekstrakurikuler memengaruhi penyesuaian diri.

Keberhasilan siswa dalam melakukan penyesuaian diri di sekolah tidak terlepas dari peran lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama dalam kehidupan individu sehingga unsur-unsur keluarga seperti konstelasi keluarga dan hubungan dengan anggota keluarga yaitu orangtua dan saudara memiliki peranan yang besar dalam penyesuaian diri individu (Ali & Asrori, 2014). Menurut Ali dan Asrori (2014) konstelasi keluarga seperti urutan kelahiran menjadi faktor yang kuat dalam menentukan kepribadian dan penyesuaian diri individu. Kepribadian dan penyesuian diri individu berdasarkan urutan kelahiran tergantung dari sikap dan harapan orangtua yang secara jelas direfleksikan dalam peranan yang diciptakan orangtua terhadap anaknya. Orangtua berperan penting dalam perkembangan penyesuaian diri individu.

Adanya penerimaan orangtua yang diwujudkan dalam bentuk perhatian, kasih sayang, dan kehangatan akan memberikan sumbangan yang berarti untuk perkembangan penyesuaian diri yang baik pada individu. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sagita, Erlamsyah, dan Syahniar (2013) menemukan terdapat hubungan yang positif antara perlakuan orangtua dengan kemampuan penyesuaian diri individu yaitu individu yang mendapatkan perlakuan yang baik dari orangtua akan menunjukkan perilaku memiliki hubungan yang baik dengan sebaya, mampu mengikuti proses pembelajaran dengan baik, serta mampu menaati peraturan sekolah.

Seperti anak sulung yang diharapkan memiliki peran otoritas dan tanggungjawab sehingga akan membantu proses kematangan dan kedewasaan dalam penyesuaian diri. Adler (dalam Feist & Feist, 2010) menyatakan bahwa anak sulung menempati posisi yang unik dan memiliki sifat positif seperti senang melindungi orang lain dan merupakan organisator yang baik. Anak sulung biasanya memperoleh lebih banyak rangsangan intelektual dan mendapatkan kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan kemampuannya. Mendapatkan kesempatan yang lebih banyak dan memperoleh perlakuan khusus, maka sejak memasuki

masa sekolah anak sulung lebih banyak berperan sebagai pemimpin (Hurlock, 1980). Besarnya harapan yang diberikan oleh orangtua kepada anak sulung membuat anak sulung lebih banyak menjadi teladan bagi adik-adiknya. Anak sulung juga cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil risiko serta cenderung lebih cerdas dan berprestasi lebih tinggi dibandingkan adik-adiknya (Hurlock, 1980).

Terkait dengan pola pengasuhan anak yang di dalamnya mengandung pembelajaran nilai kebudayaan Bali akan memengaruhi penyesuaian diri individu. Berdasarkan hasil studi etnografi yang dilakukan oleh Wihantari (2013) menemukan bahwa pola pengasuhan anak dalam kebudayaan Bali dimulai dari sebelum anak dilahirkan dengan melalui beberapa tradisi seperti gedong-gedongan, tiga bulanan, satu oton, mesangih, serta pemberian pendidikan agama seperti etika salam “om swastiastu”, ajaran tat twam asi yang artinya cerminan dari rasa cinta kasih pada perbedaan, ajaran tri kaya parisudha yang artinya tiga perbuatan yang suci dalam pola pengasuhan anak sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian anak.

Hasil penelitian oleh Wihantari (2013) juga menemukan bahwa makna anak dalam budaya Bali yaitu anak sebagai purusa yang artinya anak laki-laki bertanggungjawab penuh sebagai penerus keluarga. Purusa mendapatkan berbagai pembelajaran dari orangtuanya mengenai cara-cara bersikap dan bertanggung jawab dengan mempelajari berbagai peraturan, ketentuan, serta nilai-nilai budaya yang mengatur peranannya. Menurut Sunarto dan Hartono (2013) lingkungan budaya tempat individu berada dan berinteraksi akan memengaruhi pola-pola penyesuaian diri. Mayoritas yang mengikuti penelitian ini adalah anak sulung, namun pengolahan data mengenai anak sulung hanya sebatas mengolah data deskriptif dan belum dilakukan uji lanjutan. Hal ini bisa menjadi masukan bagi peneliti selanjutnya agar melakukan uji lanjutan antara urutan kelahiran dengan penyesuaian diri di sekolah.

Hasil deskripsi statistik dan kategorisasi data menunjukkan bahwa dukungan sosial teman sebaya tergolong tinggi. Individu yang memiliki tingkat dukungan sosial yang tinggi dari keluarga dan teman-teman akan memiliki hidup yang lebih sehat dan memiliki kualitas hubungan sosial yang lebih baik (Sarafino & Smith, 2011). Ketika siswa berada di sekolah maka bagi siswa sumber dukungan sosial yang utama berasal dari teman sebaya (Antonio, 2004). Papalia dan Feldman (2014) menyatakan bahwa pengaruh teman sebaya normalnya mencapai puncak pada masa remaja awal yaitu sekitar umur 12 tahun sampai 13 tahun. Kuatnya pengaruh teman sebaya pada masa remaja awal membuat remaja lebih banyak meluangkan waktunya untuk teman sebaya (Santrock, 2002). Remaja awal yang duduk di bangku SMP umumnya menghabiskan waktunya selama 7 jam sehari di sekolah, hal ini berarti selama 7 jam pula remaja akan bersama teman

sebayanya. Pengaruh teman sebaya terhadap remaja seperti dalam hal sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku.

Pengaruh teman sebaya berkaitan dengan terbentuknya kelompok teman sebaya. Remaja dalam bergaul biasanya akan membentuk sebuah kelompok-kelompok dan di dalam kelompok teman sebaya tersebut akan diterapkan aturan-aturan kelompok (Mappiare, 1982). Salah satu kebutuhan remaja awal adalah kebutuhan akan adanya kasih sayang di antara teman-temannya (Hargreaves dkk, 2003). Agar remaja mendapatkan kasih sayang dan dukungan sosial dari teman sebayanya maka remaja akan mengikuti norma-norma kelompok agar diterima oleh kelompok teman sebaya tersebut (Hurlock, 1980). Misalnya sebagian besar remaja mengetahui apabila remaja menggunakan model pakaian yang sama dengan anggota kelompok yang lain maka dukungan yang diberikan oleh teman sebaya juga akan semakin tinggi.

Hasil deskripsi statistik dan kategorisasi data menunjukkan bahwa konsep diri tergolong positif. Menurut Desmita (2009) individu dengan konsep diri positif akan bersikap optimis, berani mencoba hal baru, berani gagal, percaya diri, merasa diri berharga, dan berpikir positif. Salah satu kebutuhan masa remaja awal adalah mengembangkan konsep diri yang positif. Terbentuknya konsep diri yang positif maupun negatif pada siswa dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti memiliki cita-cita yang realistik (Hurlock, 1980). Siswa yang memiliki cita-cita yang realistik akan lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan, apabila siswa juga mengalami kegagalan maka siswa tersebut tidak menyalahkan orang lain atas kegagalannya karena siswa sudah memahami kemampuannya. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar sehingga mengembangkan konsep diri positif.

Faktor eksternal pembentuk konsep diri yaitu lingkungan. Perkembangan konsep diri dimulai dari lingkungan keluarga, sehingga lingkungan keluaga yang harmonis dan sedikit konflik mampu membantu dalam pembentukan konsep diri positif bagi individu. Orangtua yang memiliki harapan yang realistis terhadap anaknya akan mampu membentuk konsep diri positif bagi anak (Hurlock, 1980). Harapan orangtua yang realistis terhadap anaknya yaitu disesuaikan dengan kemampuan dan kelebihan anak akan membantu anak ketika menghadapi kegagalan, sehingga ketika anak mengalami kegagalan anak tidak mengembangkan konsep diri negatif. Contohnya adalah orangtua tidak memaksakan anaknya untuk memiliki banyak prestasi dalam hal menari, sementara anak tidak memiliki bakat dalam menari.

Pembentukan konsep diri positif maupun negatif dapat dipengaruhi pula oleh kondisi sekolah seperti tidak ada pembagian kelas biasa dan unggulan. Penelitian yang

dilakukan oleh Barker Lund (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa siswa yang bersekolah di sekolah yang tidak menerapkan pembagian kelas memiliki konsep diri yang lebih positif dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di sekolah yang menerapkan adanya pembagian kelas. Konsep diri positif juga dapat terbentuk melalui penilaian masyarakat mengenai sekolah seperti sekolah unggulan. Adanya penilaian yang positif dari masyarakat bahwa remaja bersekolah disekolah unggulan maka akan membuat remaja melakukan penilaian positif terhadap dirinya (Burns, 1993; Calhoun & Acocella, 1990; & Hurlock, 1980). Penelitian yang dilakukan oleh Higgins (dalam Burns, 1993) bahwa terdapat perbedaan konsep diri antara siswa yang bersekolah di sekolah unggulan dengan sekolah biasa.

Berdasarkan hasil analisis tambahan dengan menggunakan uji independent sample t test pada variabel dukungan sosial teman sebaya diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan dukungan sosial teman sebaya berdasarkan jenis kelamin. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sasmita (2015) menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan dukungan sosial teman sebaya berdasarkan jenis kelamin pada remaja. Pola pencarian dukungan yang dilakukan remaja laki-laki dan perempuan secara umum sama (Santrock, 2003). Pada dasarnya remaja dalam berteman menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, seperti yang dapat mengerti, membuatnya merasa aman, yang dapat diajak untuk membicarakan masalah-masalah serta dapat diajak membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua maupun guru (Hurlock, 1980). Hal ini menunjukkan bahwa siswa laki-laki maupun perempuan mempunyai keinginan yang sama untuk menjalin pertemanan.

Berdasarkan hasil uji independent sample t test pada variabel konsep diri diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan konsep diri berdasarkan jenis kelamin. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ybrandt dan Armelius (2003) menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan konsep diri antara remaja laki-laki dan perempuan. Salah satu teori mengenai pembentukan konsep diri yaitu teori interaksi simbolik (West & Turner, 2008). Teori tersebut menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang diperlakukan secara berbeda dan dituntut untuk melakukan aktivitas yang berbeda akan menghasilkan perbedaan dalam konsep diri antara laki-laki dan perempuan.

Salah satu yang berperan dalam pembentukan kepribadian siswa dalam lingkungan sekolah adalah guru. Karakteristik pribadi dan kompetensi guru sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran di kelas dan pada akhirnya memengaruhi keberhasilan siswa. Perilaku guru yang berpengaruh pada keberhasilan siswa adalah mampu bersikap adil dan objektif dalam memperlakukan siswa laki-laki maupun perempuan (Yusuf, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Palfrey (dalam Burns, 1993) menunjukkan bahwa

perilaku guru memengaruhi konsep diri siswa laki-laki dan perempuan di sekolah menengah. Penelitian tersebut di adakan di dua sekolah, sekolah pertama guru yang memberikan pengharapan-pengharapan positif kepada seluruh siswa perempuan dan sekolah kedua guru yang mengkomunikasikan hal-hal negatif kepada siswa laki-laki. Hasil yang didapatkan respon dari siswa perempuan lebih positif dalam mengevaluasi diri mereka dibandingkan dengan siswa laki-laki. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakukan yang adil kepada siswa laki-laki dan perempuan dapat membantu dalam menciptakan konsep diri yang sama.

Berdasarkan hasil uji independent sample t test pada variabel penyesuaian diri di sekolah diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan penyesuaian diri di sekolah berdasarkan jenis kelamin. Nilai mean menunjukkan bahwa penyesuaian diri laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tangkudung (2014) bahwa terdapat perbedaan penyesuaian diri antara laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian tersebut yaitu penyesuaian diri laki-laki dalam proses belajar mengajar lebih tinggi daripada perempuan, laki-laki lebih mudah dalam melakukan penyesuaian diri di lingkungan dibandingkan dengan perempuan, dan perempuan lebih banyak mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian diri. Hasil yang serupa juga ditemukan oleh Hidayat (2012) yaitu penyesuaian diri laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

Ali dan Asrori (2014) menyatakan bahwa kualitas penyesuaian diri setiap individu berbeda-beda tergantung pada tingkat perkembangan dan kematangan individu salah satunya adalah kematangan emosi. Meskipun dalam suatu studi menemukan bahwa perempuan memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang lebih tinggi daripada laki-laki, namun hal ini tidak berarti bahwa semua laki-laki tidak peka secara sosial. Adanya faktor belajar yang memengaruhi kemampuan penyesuaian diri laki-laki menjadi lebih tinggi daripada perempuan (Sunarto & Hartono, 2013). Dalam proses penyesuaian diri faktor belajar merupakan suatu proses modifikasi perilaku yang berlangsung terus sepanjang hayat dan diperkuat dengan kematangan. Proses belajar merupakan dasar yang fundamental dalam proses penyesuaian diri, karena melalui belajar akan berkembang pola-pola respon yang akan membentuk kepribadian. Sebagian besar respon-respon dan ciri-ciri kepribadian lebih banyak yang diperoleh melalui proses belajar. Faktor lain yang memengaruhi penyesuaian diri yaitu faktor fisiologis yang berkaitan dengan bentuk tubuh. Menjelang masa remaja, perempuan biasanya lebih mengalami permasalahan dengan bentuk tubuhnya dibandingkan dengan laki-laki sehingga membuat perempuan lebih banyak mengalami masalah psikologis seperti kurang percaya diri yang akan berpengaruh pada penyesuaian diri (Papalia dkk, 2011).

Keterbatasan penelitian ini adalah pada saat pengambilan data penelitian dilakukan selama dua hari yaitu hari pertama dua skala penelitian dan hari kedua satu skala penelitian hal ini menyebabkan pada hari kedua ada beberapa siswa yang absen dan tidak dapat lagi mengikuti penelitian sehingga jumlah subjek menjadi berkurang. Keterbatasan lain yaitu penelitian ini hanya sebatas mengolah data deskriptif mengenai urutan kelahiran dan penelitian ini tidak memiliki data mengenai prestasi siswa yang dapat digunakan untuk memprediksi penyesuaian diri di sekolah. Setelah melakukan prosedur analisis data penelitian, karya tulis ini telah mencapai tujuan penelitian yaitu mengetahui peran dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri terhadap penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan.

Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa (a) dukungan sosial teman sebaya dan konsep diri secara bersama-sama berperan terhadap penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan, (b) dukungan sosial teman sebaya berperan terhadap penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan, (c) konsep diri berperan terhadap penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan, (d) dukungan sosial teman sebaya tergolong tinggi pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan, (e) konsep diri tergolong positif pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan, (f) penyesuaian diri di sekolah tergolong tinggi pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan, (g) tidak terdapat perbedaan dukungan sosial teman sebaya pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan dilihat berdasarkan jenis kelamin, (h) tidak terdapat perbedaan konsep diri pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan dilihat berdasarkan jenis kelamin, dan (i) terdapat perbedaan penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan dilihat berdasarkan jenis kelamin.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka terdapat beberapa saran yang perlu disampaikan yaitu :

  • 1.    Siswa diharapkan mengikuti norma-norma yang ada di dalam kelompok teman sebaya agar diterima oleh teman sebaya sehingga mampu mempertahankan dukungan sosial teman sebaya yang sudah tinggi. Siswa diharapkan tetap terlibat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Ketika merancang tujuan dan cita-cita sebaiknya siswa mampu untuk menyesuaikan dengan kelemahan dan kelebihan dari dalam dirinya sehingga akan mampu mempertahankan konsep diri positif. Siswa perempuan sebaiknya lebih belajar mengenai penyesuaian diri di sekolah kepada siswa laki-laki dan mengambil hal-hal positif dari siswa laki-laki ketika melakukan penyesuaian diri di sekolah seperti misalnya dalam area perubahan bentuk tubuh.

  • 2.    Orangtua dapat membantu anak untuk mempertahankan konsep diri positif yang telah dimiliki anak melalui tetap memberikan perhatian dan memberikan harapan yang realistis kepada anak. Contohnya adalah orangtua tidak memaksakan anaknya untuk memiliki banyak prestasi dalam hal menari, sementara anak tidak memiliki bakat dalam menari. Orangtua diharapkan dapat menjadi pendamping siswa perempuan ketika melakukan penyesuaian diri di sekolah dengan memberikan pemahaman mengenai perubahan bentuk tubuh yang di alami siswa perempuan sehingga mampu meningkatkan penyesuaian diri di sekolah.

  • 3.    Mengingat pentingnya kegiatan ekstrakurikuler terhadap penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII, maka diharapkan pihak sekolah mampu mempertahankan kegiatan esktrakurikuler yang telah ada. Guru diharapkan mampu mengembangkan metode pembelajaran untuk menyeimbangkan penyesuaian diri di sekolah antara siswa laki-laki dan perempuan. Metode pembelajaran dapat dilakukan dengan membuat kelompok diskusi yang membahas mengenai bentuk tubuh karena menjelang remaja, siswa perempuan lebih banyak memiliki masalah dengan bentuk tubuh dibandingkan dengan siswa laki-laki.

  • 4.    Bagi peneliti selanjutnya diharapkan ketika melakukan pengambilan data dalam dua hari sebaiknya melakukan antisipasi di hari pertama dengan menegaskan kepada siswa bahwa hari kedua diharapkan tidak ada yang absen. Ketika tetap ada yang absen maka peneliti dapat mendatangi sekolah pada hari selanjutnya untuk memberikan kuesioner pada siswa yang absen pada hari kedua. Sumbangan efektif pada penelitian ini sebesar 33,6% sedangkan sisanya sebesar 66,4% dijelaskan oleh faktor lain. Peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai penyesuaian diri di sekolah diharapkan mampu untuk menggunakan faktor lain yang memengaruhi penyesuaian diri di sekolah dengan menambah jumlah variabel bebas agar memperdalam hasil penelitian. Seperti melakukan uji lanjutan antara urutan kelahiran dengan penyesuaian diri di sekolah dan menggunakan data prestasi atau data evaluasi hasil belajar siswa untuk memprediksi penyesuaian diri di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, H. (2009). Psikologi perkembangan: pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT Refika Aditama.

Ali, M., & Asrori, M. (2014). Psikologi remaja: perkembangan peserta didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Antonio, D.M.S. (2004). Adolescent live in transition: how social class influences the adjustment to middle school. United States: University of New York Press.

Azwar .  (2013). Reliabilitas dan validitas. Edisi Keempat.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____ .    (2014). Penyusunan skala psikologi. Edisi Kedua.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Beritabali.com. (2015). Anak dijemur guru hingga sakit, ortu siswa protes.                   Diunduh                   dari

http://beritabali.com/read/2015/04/17/201504170002/Anak-Dijemur-Guru-Hingga-Sakit-Ortu-Siswa-Protes.html%20diunduh%2018%20Agustus%202015 pada tanggal 21 Januari 2016.

Burns, R.B. (1993). Konsep diri: teori, pengukuran, perkembangan, dan perilaku. Terjemahan: Eddy. Jakarta: Arcan.

Calhoun, J.F., & Acocella, J.R. (1990). Psychology of adjustment and human Relationship. Third Edition. New York : Mac Graw-Hill. Inc.

Darling, N., Caldwell, L.L., & Smith, R. (2005). Participation in school-based extracurricular activities and adolescent adjustment. Journal of leisure research, 37(1), 51-76.

Desmita. (2009). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Detiknews.com. (2014). Gantung diri di kamar, Sahrul dikenal pemuda berprestasi dan rajin beribadah. Di unduh dari http://news.detik.com/jawatimur/2683447/gantung-diri-di-kamar-sahrul-dikenal-pemuda-berprestasi-dan-rajin-beribadah pada tanggal 04 Juli 2016.

Fatimah, E. (2010). Psikologi perkembangan: perkembangan peserta didik. Bandung: CV Pustaka Setia.

Feist, J. & Feist, G.J. (2010). Teori kepribadian: theories of personality. Terjemahan: Handriatno. Jakarta: Salemba Humanika.

Ghozali, I. (2011). Aplikasi analisis multivariate dengan program IBM SPSS. Semarang: Universitas Diponegoro.

Gunawan, M.A. (2013). Statistik untuk penelitian pendidikan. Yogyakarta: Parama Publishing.

Hargreaves, A., Earl, L., & Ryan, J. (2003). Schooling for change: reinveting education for early adolescents.Washington, D.C: The Falmer Press.

Hidayat, D. A. Y. (2012). Perbedaan penyesuaian diri santri di pondok pesantren tradisional dan modern. Jurnal talenta psikologi, 1(2), 106-126.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentan kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Kompas.com. (2008). Merasa tak berguna, siswa SMP gantung diri. Di                    unduh                    dari

http://nasional.kompas.com/read/2008/05/13/17343048/mer asa.tak.berguna.siswa.smp.gantung.diri pada tanggal 04 Juli 2016.

Liputan6.com. (2013). Puluhan siswa bolos terjaring razia. Diunduh dari http://news.liputan6.com/read/523975/puluhan-siswa-bolos-sekolah-terjaring-razia pada tanggal 30 November 2015.

Mappiare, A. (1982). Psikologi remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Monks & Knoers, A.M.P. (2002). Psikologi perkembangan dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Novitasari, D.A. (2013). Kontribusi dukungan sosial teman sebaya terhadap adekuasi penyesuaian diri di sekolah pada siswa kelas VIII SMPN 3 Kawedanan tahun pelajaran 2013/2014. Skripsi tidak dipublikasikan. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Papalia, D.E. & Feldman, R.D. (2014). Menyelami perkembangan manusia. Edisi Kedua Belas. Terjemahan: Fitriana Wuri Herarti. Jakarta: Salemba Humanika.

Papalia, D.E., Old S.W.,  & Feldman R.D. (2011). Human

development (psikologi perkembangan). Edisi Kesembilan. Terjemahan: A.K. Anwar. Jakarta: Kencana.

Putra, I.D.G.U. (2014). Hubungan antara perilaku menolong dengan konsep diri pada remaja akhir yang menjadi anggota tim bantuan medis janar duta fakultas kedokteran universitas udayana. Skripsi tidak dipublikasikan. Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar.

Riduwan, Rusyana, A., & Enas. (2013). Cara mudah belajar SPSS 17.0 dan aplikasi statistik penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sagita, D.D., Erlamsyah, & Syahniar. (2013). Hubungan antara perlakuan orangtua dengan penyesuaian diri siswa di sekolah. Jurnal imliah konseling, 1(1), 1-10.

Santoso, S. (2005). Mengatasi berbagai masalah statistik dengan SPSS versi 11.5. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Santrock, J.W. (2002). Adolescence: perkembangan remaja. Edisi Kelima. Terjemahan: Achmad Chusairi & Juda Damanik. Jakarta: Erlangga.

___________. (2003). Adolescence perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Terjemahan: Shinto B. Adelar, Sherly Saragih. Jakarta: Erlangga.

Sarafino, E.P.,  & Smith, T.W. (2011). Health psychology:

biopsychosocial interaction. Seventh Edition. United States: Wiley.

Sariningrum. (2016). Hubungan antara konsep diri  dengan

penyesuaian diri siswa kelas VII SMP N 1 Sleman

Yogyakarta tahun pelajaran 2015 / 2016. Skripsi tidak dipublikasikan. Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI, Yogyakarta.

Sasmita, I.A.G.H.D. (2015). Peran efikasi diri dan dukungan sosial teman sebaya terhadap penyesuaian diri mahasiswa tahun pertama program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas udayana. Skripsi tidak dipublikasikan. Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar.

Schneiders, A.A. (1964). Personal adjustment and mental health. United States: Holt Renehart and Wiston.

Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo.

Sugiyono. (2012). Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Sukasari, P.I. (2016). Penyesuaian diri di sekolah pada siswa SMP kelas VII di Kecamatan Tabanan. Studi Pendahuluan tidak dipublikasikan. Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar.

Sunarto & Hartono, A. (2013). Perkembangan peserta didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryosubroto, B. (2009). Proses belajar mengajar di sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Tangkudung, J. P. M. (2014). Proses adaptasi menurut jenis kelamin dalam menunjang studi mahasiswa fisip universitas sam ratulangi. Jurnal Acta Diurna, 3(4), 1.

West, R., & Turner, L.H. (2008). Teori komunikasi; analisis dan aplikasi. Edisi ketiga. Terjemahan:  Maria Natalia

Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.

Wihantari, B. (2013). Studi etnografi penanaman nilai agama hindu pada anak oleh anggota banjar surabaya. AntroUnairDotNet, 2(1), 238-254.

Willis, S. (2014). Remaja & masalahnya: mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja, narkoba, free sex dan pemecahannya. Bandung: Alfabeta.

Wulandari, N.K. (2016). Peran kemandirian dan kecerdasan emosional terhadap penyesuaian diri pada siswa asrama tahun pertama SMK Kesehatan Bali Medika Denpasar. Skripsi tidak dipublikasikan. Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar.

Ybrandt, H. Ö.,  & Armelius. B.A. (2003). Self-concept in

adolescence. a study of age and gender differences in groups of normal and antisocial adolescents. Umeå Psychology Reports, 3, 1650-8653.

Yudiaatmaja, F. (2013). Analisis regresi dengan menggunakan aplikasi komputer statistik SPSS. Jakarta: Kompas Gramedia Building.

Yusuf, S. (2014). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

332