Jurnal Psikologi Udayana 2017, Vol.4. , No.1, 1-8


Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI ANTARA PENDENGAR MUSIK HARDCORE DENGAN PENDENGAR MUSIK KLASIK

Virgina Dharmasasmitha, Putu Nugrahaeni W.

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana virg.dhatha@yahoo.com

Abstrak

Musik dapat menjadikan seseorang berintraksi dengan orang lain, dan juga bisa mempengaruhi suasana hati seseorang (Schwartz & Fouts, 2003). Kecerdasan emosi dapat distimulasi oleh musik. Para ilmuwan sering membicarakan bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu korteks (kadang-kadang disebut neokorteks) sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurangi emosi yaitu sistem limbik, padahal keduanya mempunyai hubungan. Interaksi yang disebabkan rangsangan bunyi musik dapat menentukan kecerdasan emosi. Musik hardcore yang termasuk dalam musik keras dan musik klasik yang termasuk dalam musik lembut merupakan jenis musik yang berbeda. Irama musik yang berbeda akan menyebabkan kondisi emosi yang berbeda pula.

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparasi. Subjek penelitian ini adalah remaja akhir yang mendengarkan musik hardcore dan musik klasik di Bali sebanyak 100 orang dengan kriteria sering mendengarkan musik, berusia antara 18-21. Metode pengambilan sampelnya dengan metode Simple Random Sampling. Metode pengambilan datanya dengan Skala Kecerdasan Emosi dengan reliabilitas 0,939. Normalitas variabel kecerdasan emosi sebesar 0,925 dan homogenitas variabel kecerdasan emosi adalah 0,204. Metode analisis datanya dengan teknik independent sample t test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik dengan nilai t -0,020 dan nilai signifikansi 0.984. Artinya tidak ada perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik.

Kata kunci : Kecerdasan Emosi , Pendengar Musik, Hardcore, Klasik

Abstract

Music is capable of making people interact with each other; it also capable of affecting someone’s mood and feeling (Schwartz & Fouts, 2003). Emotional quotient can be stimulated by music. Scientist often said brain part that used to think is cortex (sometimes can be said as neo-cortex) as a different part of brain section that reduce the emotion which is limbic system, whereas both of them is related. Interaction caused by music stimulation can define the emotional quotient. Hardcore music which is one of the loud kinds of music and classic music is the slow one; they are a very different kind of music. Different music rhythm will cause a different emotional condition as well.

This research is a comparative quantitative research. The subjects are late teenager who is listening to hardcore and classic music in Bali, about 100 of them with criteria like listening to music often and 18-21 years old in age. Method of collecting sample is Simple Random Sampling. Method of collecting data is using the EI Scale with reliability score is 0,939. Normality score of EI variable is 0,925 and the homogeneity score of EI variable is 0,204. Method of analysis data is using independent sample t test. The result shows that there is no difference of emotional quotient between hardcore and classic music listeners with t score is -0,020 and level of significant is 0.984. It can be concluded that there is no difference of the emotional quotient of hardcore and classic music listeners.

Keywords: Emotional Quotient, Music Listeners, Hardcore, Classic

LATAR BELAKANG

Musik merupakan media universal yang mampu berbicara dalam berbagai bentuk, dan musik juga dapat menyuarakan isi hati para pendengarnya. Musik dapat pula mengkomunikasikan dan membangkitkan serangkaian emosi, misalnya dalam menyampaikan perasaan terhadap seseorang atau sesuatu. Dari sekian banyak jenis musik, terdapat dua pembagian besar jenis musik, yakni musik keras dan musik lembut (Schwartz & Fouts, 2003). Musik keras merupakan musik dengan beat yang keras (hingar bingar) dan tempo yang cepat, sedangkan musik lembut merupakan musik dengan irama yang lembut dan teratur sehingga dapat menimbulkan perasaan tenang.

Dari berbagai jenis musik keras yang ada, salah satunya yaitu musik hardcore, dan dari berbagai jenis musik lembut yang ada, salah satunya yaitu musik klasik. Semenjak tahun 1980-an, musik hardcore mulai populer di Indonesia (Samsayogi, 2006). Kepopuleran jenis musik ini didukung dengan adanya konser-konser besar atau turut sertanya kelompok musik hardcore di acara musik yang bersifat umum di kota-kota besar di Indonesia. Semenjak kemunculan jenis musik hardcore di kalangan masyarakat, jenis musik hardcore dan jenis musik klasik menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. Penelitian yang membandingkan antara kedua jenis musik dengan kecerdasan mulai bermunculan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ivan Pavlov yang melakukan percobaan mengenai efek musik terhadap perilaku pada anjing yang menemukan bahwa ketika irama yang cepat seperti musik hardcore dimainkan, anjing bereaksi dengan tingkah laku kegembiraan, ketika irama yang lambat seperti musik klasik dimainkan, efek yang ditimbulkan adalah tingkah laku anjing menjadi tenang (Bacchioccho, dkk., 2000).

Hardcore adalah salah satu jenis musik underground yang ada saat ini. Jenis musik underground yang lain adalah punk, metal, grindcore, dan masih banyak yang lainya. Hardcore adalah keturunan dari salah satu jenis musik underground yaitu punk tetapi dengan tempo musik yang lebih cepat dan agresif. Lirik-lirik pada lagunya kebanyakan berbicara tentang kebersamaan, solidaritas, perdamaian, kesetaraan, HAM, lingkungan hidup dan bahkan kampanye sosial- politik, dari isu personal hingga ke global (Samyayogi, 2006). Musik hardcore memiliki karakter musik punk, cepat dan bersemangat tetapi memiliki karakter vokal yang diubah. Vokal dalam hardcore terkesan kehabisan napas dan terengah-engah yang menimbulkan kesan emosional dan lelah. Terkadang vokal dalam aliran musik ini juga menggunakan jeritan dan teriakan yang sangat keras di puncak lagu-lagu mereka (Radin, 2008). Menurut Diamond (dalam Merritt, 2003), musik yang memiliki ritme yang tidak teratur, memberikan tekanan pada irama terakhir, memiliki jeda yang pendek sebelum memasuki irama pertama yang biasa disebut musik anapestik, memiliki pola irama yang tidak sama dengan

pola irama tubuh manusia pada umumnya dan dapat menyebabkan gangguan-gangguan terhadap sistem saraf dan sistem kekebalan tubuh, stres, depresi, perilaku hiperaktif dan kelelahan bagi pendengarnya.

Musik klasik adalah musik yang memiliki tempo yang lambat, beat yang ringan. Musik klasik Eropa dibedakan dari bentuk musik non-Eropa dan musik populer terutama oleh sistem notasi musiknya, yang sudah digunakan sejak sekitar abad ke-16. Notasi musik barat digunakan oleh komponis untuk memberi petunjuk kepada pembawa musik mengenai tinggi nada, kecepatan, metrum, ritme individual, dan pembawaan tepat suatu karya musik. Hal ini membatasi adanya praktik-praktik seperti improvisasi dan ornamentasi ad-libitum. Musik klasik dapat memiliki banyak bentuk, termasuk simfoni, konserto, oratorio, opera, sonata, fuga atau kombinasi dari gerakan tari seperti suite. Musik klasik bisa untuk instrumen atau untuk suara. Para orkestra simfoni adalah kelompok yang paling umum dari instrumen untuk memainkan musik klasik. Orkestra simfoni memiliki empat keluarga instrumen yaitu instrumen string yang meliputi biola, biola alto, cello, dan bass ganda, instrumen woodwind yang meliputi seruling, oboes, klarinet, dan bassons, instrumen kuningan yang berupa terompet, trombon, tuba, dan terompet Prancis, instrumen perkusi yang hampir selalu mencakup simfoni serta banyak instrumen lain yang dipukul dan digoyangkan. Instrumen yang memainkan musik klasik biasanya tidak diperkuat secara elektronik (Harvard Dictionary of Music, 2003). Musik klasik memiliki kecenderungan untuk menenangkan tubuh dan merangsang pikiran. Jenis musik ini telah daitemukan dapat mengurangi stres (bahkan untuk orang yang tidak terlalu menyukai musik klasik) dan meningkatkan kecerdasan tertentu seperti kemampuan verbal dan penalaran spasial-temporal bagi pendengarnya. Musik klasik memberikan kesan dan perasaan nyaman dan tenang bagi para pendengarnya sehingga individu yang menyukai musik jenis ini akan menunjukkan emosi yang tenang dan stabil pula. Selain itu pendengar musik klasik bersikap lebih teliti dan berhati-hati dalam melakukan sesuatu sehingga tidak terlihat adanya masalah emosional pada mereka (Schwartz & Fouts, 2003). Musik klasik ada yang memiliki ritme anapestik (Pandjaitan, 2008). Penutup pada lagu Rite of Spring dari Igor Stravinsky, memiliki ritme yang serupa dengan music hardcore. Saat pertama kali lagu ini dimainkan dalam konser di Paris 1913, terjadi kerusuhan dan pengerusakan gedung konser yang mana perkelahian terjadi dalam waktu 10 menit (Pandjaitan, 2008).

Musik dapat menstimulasi emosi para pendengarnya, termasuk jenis musik hardcore dan musik klasik. Emosi yang dialami oleh pendengar musik hardcore dan klasik perlu dikelola sedemikian rupa sehingga individu yang mampu melakukannya dikatakan mempunyai kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi atau dikenal dengan istilah Emotional

Intelligence (EI) adalah kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain di sekitarnya. Salovery dan Mayer (dalam Shapiro, 1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan dalam mengendalikan dan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, serta memakai perasaan-perasaan tersebut untuk mengarahkan tindakan dan pikiran dalam menghadapi permasalahan. Bar-On (dalam Goleman, 2000) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tekanan dari lingkungan. Shapiro (1998) berpendapat bahwa kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan sehingga membuka kesempatan bagi orang tua untuk mendidik lebih besar meraih keberhasilan. Menurut Salovey (dalam Goleman, 2000) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti mengasumsikan bahwa berbedanya jenis musik yang didengar, yaitu musik hardcore dan musik klasik, akan pula membedakan kecerdasan emosi pada pendengar kedua jenis musik tersebut. Untuk itu, pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan kecerdasan emosional antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik di Bali. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi edukasi di dunia akademis khususnya dalam aspek kecerdasan emos dan dapat menjadi dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti lainnya yang melakukan penelitian dengan objek yang sama dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada khalayak pendengar musik terkait ada tidaknya perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dan pendengar musik klasik sehingga masyarakat dapat mempertimbangan dalam menikmati atau mengkonsumsi kedua jenis musik tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pendengar musik hardcore dan klasik sebagai bahan evaluasi diri untuk para pendengar musik hardcore dan klasik dengan melatih kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain yaitu dengan cara melatih kemampuan yang dimiliki, mengungkapkan pikiran, perasaan dan suasana hati, belajar mengendalikan emosi dengan latihan dan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, mengeksplorasi rasa dalam diri untuk memotivasi diri sendiri yang dimulai dari hal-hal kecil di dalam kehidupan, dan menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri secara harmonis dengan melatih kemampuan dari otak kanan dan otak kiri seperti mencoba hal-hal baru yang positif, banyak bertanya

dan selalu ingin tahu, membaca buku, membangun komunitas tertentu serta kegiatan positif lainnya.

METODE PENELITIAN

Variabel dan definisi operasional

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat. Disebut juga obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh si peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini, peneliti menetapkan dua jenis variabel, yakni variabel bebas dan variabel tergantung.

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan timbulnya variabel dependen atau terikat (Sugiyono, 2009).. Variabel bebas pada penelitian ini adalah pendengar musik hardcore dan pendengar musik klasik. Variabel tergantung merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2009). Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kecerdasan emosi.

Definisi operasional dari variabel pendengar musik hardcore adalah orang-orang yang mendengarkan salah satu jenis musik Underground dengan lirik-lirik pada lagunya kebanyakan berbicara tentang kebersamaan, solidaritas, perdamaian, kesetaraan, HAM, lingkungan hidup dan bahkan kampanye sosial- politik, dari isu personal hingga ke global dengan karakter musik yang diperkuat secara elektronik, tempo yang cepat, suara gitar tebal dan berat serta lirik yang keras dan tajam yang mengedepankan penekanan vokal (grawl) dan teriakan (scream). Pendengar musik klasik adalah orang-orang yang mendengarkan musik yang memiliki tempo yang lambat, beat yang ringan dengan notasi musik yang digunakan oleh komponis untuk memberi petunjuk kepada pembawa musik mengenai tinggi nada, kecepatan, metrum, ritme individual, dan pembawaan tepat suatu karya musik yang dimainkan tanpa diperkuat secara elektronik.

Definisi operasional dari kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain.

Subjek

Populasi merupakan seluruh objek atau variabel yang terkait masalah penelitian. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua masyarakat di Bali yang mendengarkan musik Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah masyarakat di Bali yang mendengarkan jenis musik hardcore dan jenis musik klasik yang berusia 18 sampai 21 tahun yang mana usia 18 tahun merupakan rentang usia pada masa remaja akhir dan 21 tahun merupakan awal dari rentang usia masa dewasa awal. Metode pengambilan sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik Purposive Random Sampling. Teknik ini digunakan bila pemilihan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi (Sugiyono, 2009). Sampel akan diambil secara random dan sesuai proporsi dari perhitungan jumlah sampel minimum yang sudah dilakukan dan sampel yang memenuhi kriteria inklusi (Kountur, 2004).

Tempat penelitian

Subjek dalam penelitian ini merupakan masyarakat di Bali yang mendengarkan jenis musik hardcore dan jenis musik klasik yang berusia 18 sampai 21 tahun.

Dalam menentukan jumlah populasi pada penelitian ini menggunakan rumus jumlah sampel minimum berdasarkan rumus jumlah sampel minimun oleh Kountur (2004). sehingga diperoleh hasil minimum sampel dalam penelitian ini yaitu 13 orang namun peneliti menggunakan sampel sebanyak 100 orang.

Alat ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuisioner. Kuisioner tersebut dimodifikasi oleh peneliti dari penelitian tentang kecerdasan emosi yang sebelumnya diteliti oleh Simarmata (2005). Validitas dari kuisioner ini adalah >0,3 atau lebih besar dari 0,3 dan reliabilitas dari kuisioner ini adalah α=0,95. Kuisioner menggunakan pertanyaan tertutup dan setiap pertanyaan diberi empat alternatif jawaban, yakni ‘sangat tidak setuju’, ‘tidak setuju’, ‘setuju’, dan ‘sangat setuju’. Dalam setiap kuisioner, responden diminta untuk mencantumkan usia, inisial, jenis kelamin dan jenis musik yang didengar (hardcore dan klasik).

Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan satu alat ukur, yaitu kuesioner kecerdasan emosi. Kuesioner kecerdasan emosi digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi pada pendengar musik hardcore dan pendengar musik klasik Pada saat pengumpulan data, peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian pada responden. Setelah disetujui, barulah peneliti memberikan kuisioner penelitian.

Teknik analisis data

Menurut Azwar (2004), validitas adalah sejauh mana sebuah alat ukur mampu melakukan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang akurat dan tepat sesuai dengan tujuan pengukuran tersebut, serta mempunyai kecermatan yang tinggi dalam mengenali perbedaan-perbedaan kecil pada hal yang diukurnya. Penelitian ini menggunakan uji validitas isi dengan menggunakan pendapat dari ahli (profesional judgment). Setelah instrumen dimodifikasi dari penelitian Simarmata (2005), selanjutnya peneliti berkonsultasi dengan

dosen statistika. Setelah mendapatkan hasil, peneliti selanjutnya menggunakan rumus koefisien korelasi item total dengan melihat nilai rix minimal 0,3 untuk uji kesahihan butir item. Untuk mengetahui validitas instrument pada penelitian ini, digunakan program IBM SPSS 21.0 for mac.

Uji reliabilitas merupakan uji kehandalan yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh suatu alat ukur dapat diandalkan atau dipercaya. Kehandalan berkaitan dengan estimasi sejauh mana suatu alat ukur dilihat dari stabilitas atau konsistensi internal dari informasi, jawaban atau pernyataan, jika pengukuran dilakukan atau pengamatan dilakukan berulang. Penelitian ini memfokuskan pada pendekatan konsistensi internal, yaitu pendekatan yang didasarkan pada data dari pengenaan satu bentuk alat ukur pada sekelompok subyek (single trial administration) (Azwar, 2004). Reliabilitas pada penelitian ini diuji dengan menggunakan Alpha Cronbach’s dengan dengan alat bantu perangkat lunak IBM SPSS 21.0 for Mac. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh bahwa koefisien alpha (α) pada skala kecerdasan emosi pada saat uji coba adalah 0,941, hal ini menunjukkan bahwa alat ukur intensitas komunikasi dalam penelitian ini memiliki reliabilitas yang baik, sehingga memungkinkan dan layak untuk digunakan dalam penelitian ini. Koefisien alpha (α) sebesar 0,941 ini juga menunjukkan bahwa skala ini mampu mencerminkan 94,1% variasi yang terjadi pada skor murni subyek yang bersangkutan, sehingga dapat digunakan untuk mengukur atribut kecerdasan emosi. Untuk hasil yang lebih maksimal, peneliti mengkaji kembali skor koefisien korelasi item total (rix) di setiap item dan menemukan skor dibawah 0,3 sehingga peneliti memutuskan untuk mengugurkan item-item yang memiliki skor dibawah 0,3 agar setiap item yang digunakan peneliti lebih sempurna. Ditemukan bahwa terdapat 17 item yang gugur dikarenakan nilai dari rix item tersebut dibawah 0,3 dan setelah melakukan penguguran item peneliti menemukan hasil koefisien alpha (α) alat ukur kecerdasan emosi ini adalah 0,939, hal ini menunjukkan bahwa alat ukur kecerdasan emosi dalam penelitian ini memiliki reliabilitas yang sangat baik karena menunjukan bahwa skala tersebut mampu mencerminkan 93,9% variasi yang terjadi pada skor murni subyek.

Sebelum melangkah pada uji analisis data, peneliti terlebih dahulu melakukan uji asumsi yang terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas sebagai syarat melakukan uji analisis statistik. Uji normalitas dilakukan untuk melihat penyimpangan frekuensi observasi distribusi gejala yang diteliti dari frekuensi teoritik kurva normal, atau untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran skor variabel kecerdasan emosi. Uji normalitas sebaran data penelitian akan menggunakan teknik Kolmogorov–Smirnov. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 0,05 atau 5%. (dalam Azwar, 2005).

Menurut Santoso (2004), homogenitas dilakukan dengan menggunakan Levene’s Test untuk mengetahui kedua ragam (varians) memiliki nilai sama atau berbeda. Jika tidak ada perbedaan yang nyata dari kedua varians, membuat penggunakaan ragam untuk membandingkan rata-rata populasi atau test untuk Equality of Means menggunakan t-test dengan dasar Equal Variance Assumed atau dapat diasumsikan kedua varians sama

Penelitian ini merupakan jenis penelitian perbandingan atau studi komparasi, yaitu membandingkan perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan uji t (independent sample t test).

HASIL PENELITIAN

Peneliti menggunakan try out terpakai sehingga subjek yang digunakan sebagai uji coba alat ukur penelitian digunakan sebagai subjek dalam penelitian. Uji coba alat ukur dalam penelitian ini dilakukan terhadap subjek penelitian, yaitu remaja akhir yang mendengarkan musik hardcore dan musik klasik, berusia 18-21 tahun. Pengambilan data dalam uji coba penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 100 remaja yang mendengarkan musik hardcore dan musik klasik. Data yang telah diperoleh pada saat melakukan uji coba alat ukur penelitian akan dianalisis untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner terdiri dari 4 bagian, yaitu inform concern, petunjuk pengisian kuisioner, lembar identitas subjek, dan skala alat ukur kecerdasan emosi. Melalui uji coba alat ukur pada skala kecerdasan emosi, terdapat 75 aitem dengan reliabilitas 0.941 dimana setelah dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach’s melalui perangkat lunak IBM SPSS 21.0 for Mac menunjukkan bahwa terdapat 17 aitem yang gugur. Pada alat ukur kecerdasan emosi penelitian ini jumlah aitem yang digunakan adalah 58 aitem dengan reliabilitas 0.939

Dari hasil uji normalitas dengan sampel 100 orang, diketahui bahwa sebaran data pada variabel kecerdasan emosi memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas (p) 0.925 atau memiliki probabilitas diatas 0,05 (p > 0,05). Dengan mengacu kepada pedoman penentuan normalitas data menunjukkan bahwa sebaran data pada variabel kecerdasan emosi dalam penelitian ini bersifat normal. Untuk sebaran data variabel memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas (p) 0,000 atau memiliki probabilitas dibawah 0,05 (p < 0,05), hal tersebut menunjukkan bahwa data berdistribusi tidak normal. Hasil uji homogenitas, diketahui bahwa varians pada setiap kelompok penelitian memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas (p) 0,204 atau memiliki probabilitas di atas 0,05 (p > 0,05). Dengan mengacu kepada pedoman penentuan homogenitas,

nilai probabilitas (p) 0,204 tersebut menunjukkan bahwa

varians skor variabel yang diukur pada setiap kelompok yang diuji dalam penelitian ini adalah bersifat homogen. Kedua syarat uji asumsi sudah terpenuhi, untuk itu peneliti menggunakan uji statistik parametrik. Uji statistik parametrik yang digunakan yaitu Independent simple t-test.

TabeLl

Hasil Uji T

Uji T

Nilai t             -0.020

Nilai Sig. (2-tailed) 0.984

Berdasarkan pedoman penentuan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan dalam sebuah penelitian, diketahui bahwa nilai signifikansi p sebesar 0,984 (Levene test = 0.204), tersebut adalah lebih besar dari 0,05 (p>0.05),

sehingga hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini yang berbunyi “Ada perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik” ditolak, sedangkan hipotesis nol (Ho) dalam penelitian ini yang berbunyi “Tidak ada perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik” dapat diterima

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis perbandingan dengan menggunakan independent samples t test, diketahui bahwa nilai signifikansi p adalah sebesar 0,984 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik, atau dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif (Ha) yang diajukan dalam penelitian ini ditolak dan hipotesis nol (Ho) yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima.

Terkait dengan tidak adanya perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik, dapat diperjelas dengan adanya penelitian-penelitan pendukung yang menjelaskan tidak adanya perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dengan pendengar musik klasik. Menurut Stuart Cadwallader (dalam Warwick, 2007), tidak ada perbedaan kecerdasan emosi antara pendengar musik klasik maupun hardcore, namun para penikmat musik keras (hardcore) cenderung mengalami kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain baik keluarga maupun teman-teman disekitarnya sehingga dapat dikatakan bahwa pendengar musik hardcore kesulitan pula dalam mengenali emosi orang lain karena pendengar musik hardcore cenderung kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain.

Proses mendengar musik merupakan salah satu bentuk komunikasi afektif dan dapat memberikan pengalaman emosional. Emosi yang merupakan suatu pengalaman subjektif yang inheren terdapat pada setiap manusia. Untuk dapat merasakan dan menghayati serta mengevaluasi makna dari interaksi dengan lingkungan, ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan perkembangannya melalui beberapa faktor yang juga menjelaskan hasil dari penelitian ini.

Kecerdasan emosi atau dikenal dengan istilah Emotional Intelligence (EI) adalah kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain di sekitarnya. EI bukan merupakan bakat, tapi aspek emosi di dalam diri kita yang bisa dikembangkan dan dilatih. Pengalaman, pendidikan, dan latihan merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang (Stein & Book, 2002). Keluarga sebagai seseorang yang paling dekat adalah tempat pertama untuk pembelajaran emosi dan keterampilannya (Goleman, 2002). Jadi menurut peneliti, kecerdasan emosi tidak semata-mata berkembang begitu saja namun harus dilatih melalui pendidikan, pengalaman dan latihan. Hal ini dapat diperoleh melalui imitasi (modelling) dalam keluarga, khususnya pada orang tua, tidak semata-mata didapat karena mendengarkan musik yang disukai.

Kebiasaan sehari-hari yang dilakukan subjek yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosinya. Kegiatan yang dilakukan terus-menerus secara berulang-ulang akan memunculkan kebiasaan, dan kebiasaan rutin ini akan menghasilkan pengalaman yang akan berakhir pada pembentukan nilai (value) (Agustian, 2007). Reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Dalam penelitian ini, peneliti tidak meneliti lebih jauh mengenai kebiasaan-kebiasaan subjek dalam kehidupan sehari-hari dimana kebiasaan subjek tersebut dapat memiliki pengaruh positif terhadap kecerdasan emosi subjek karena selain mendengarkan musik, subjek memiliki aktivitas lainnya yang dapat melatih kecerdasan emosi. Penelitian yang dilakukan oleh Herlinawati (2005) mengenai kecerdasan emosi yang baik tidak semata-mata penyebab dari tingkat agresivitas verbal remaja yang menurun. Pendengar musik hardcore memiliki agresivitas verbal yang lebih tinggi daripada pendengar musik klasik, hal ini bukan dikarenakan kecerdasan emosi yang dimiliki oleh pendengar musik hardcore lebih buruk daripada pendengar musik klasik.

Faktor usia dapat mempengaruhi kematangan emosi yang dimiliki subjek dengan rentang usia remaja akhir yaitu 18-21 tahun. Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun. Anna Freud berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang

berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan (Hurlock, 1990). Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik dari segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini. Peneliti berasumsi bahwa umur responden berhubungan dengan kematangan dalam kecerdasan emosi responden. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fidiana dan Lidya (2009) yang mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang. Menurut Monks (1991) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan menjadi dewasa. Pada fase ini terjadi pendewasaan diri yang ditandai dengan perubahan yang terjadi dari ketergantungan menjadi kemandirian, dan mempunyai pemikiran untuk menentukan pilihan sendiri dan juga mempunyai pandangan masa depan yang sudah lebih realistis sehingga kecerdasan emosi subjek tidak hanya dikarenakan mendengarkan musik yang disenangi.

Penelitian yang dilakukan oleh Professor Adrian North dari Heriot-Watt University, Edinburgh, UK menemukan bahwa karakteristik penikmat musik hardcore dan klasik tidak ada bedanya. Penikmat musik hardcore dan klasik memiliki karakteristik yang sama (North, 2008). Penikmat musik hardcore dan penikmat musik klasik merupakan pribadi yang introvert, kreatif, dan tenang. Namun, perbedaannya terletak dari cara mereka bersosialisasi. Penikmat musik hardcore memiliki self-esteem yang rendah sehingga memiliki masalah dengan perasaan diterima dan dihargai sedangkan penikmat musik klasik memiliki self-esteem yang tinggi. Menurut Coopesmith (dalam Yanuar, 2004), individu yang memiliki self-esteem rendah sering khawatir tentang apa yang orang lain mungkin pikirkan mengenai mereka karena mereka menghindari untuk menunjukkan siapa mereka sebenarnya sehingga sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Membina hubugan dengan orang lain merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosional yang diungkapkan oleh Goleman (2000). Terkait dengan penjelasan inilah peneliti berasumsi, jenis kepribadian dari penikmat musik juga mempengaruhi kecerdasan emosi.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil dari penelitian terbaru yang dilansir oleh Sciencedaily (2007) menyebutkan bahwa penggemar musik keras atau hardcore ternyata lebih mampu dalam meredam emosi negatif, lebih ekspresif dan lebih bisa meluapkan kemarahannya, karena dengan menggunakan musik yang keras dan agresif, pendengar musik

bisa keluar dan lepas dari rasa frustrasi dan kemarahan. Penelitian yang dilakukan oleh Stuart Cadwallader (dalam Warwick, 2007) berhasil membuktikan bahwa musik keras dapat meredakan suasana hati atau mood yang sedang buruk. Stuart Cadwallader (dalam Warwick, 2007) menyebutkan bahwa persepsi negatif mengenai pendengar musik keras yang selama ini beredar adalah salah. Persepsi di masyarakat selama ini beranggapan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan cerdas didominasi oleh orang-orang yang menyukai jenis musik klasik. Penelitian Stuart Cadwallader (dalam Warwick, 2007) menemukan bahwa pendengar musik keras pun memiliki kecerdasan emosi yang baik walaupun kurang dalam mengenali emosi orang lain sehingga lebih susah dalam membina hubungan dengan orang lain.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yakni diantaranya keterbatasan dari segi alat ukur, skala kecerdasan emosi yang digunakan bukanlah skala yang peneliti buat sendiri melainkan memodifikasi dari penelitian Simarmata (2005) yang menggunakan subjek karyawan, yang menyebabkan kurang tajam dalam mengukur kecerdasan emosi pada remaja pada penelitian ini.

Saran praktis yang ditujukan agi remaja, mendengarkan musik yang disukai baik untuk kecerdasan emosi. Disarankan untuk melatih kecerdasan emosional diri dengan memahami diri sendiri dengan membuat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki diri agar dapat mengenali emosi diri sendiri, mampu mengelola emosi diri sendiri dengan baik, mampu memotivasi diri sendiri. Disarankan pula untuk meningkatkan kemampuan empati agar dapat mengenali emosi orang lain dan memudahkan dalam berhubungan dengan orang lain. Disarankan pula bagi remaja untuk melatih keseimbangan otak kiri dan otak kanan agar harmonis dengan mengemukakakan pendapat dalam diskusi, menulis jadwal kegiatan sehari-hari, ikut dan aktif dalam organisasi, kegiatan lainnya yang berkaitan dengan logika, rasionalis, analitis, objektif, parsial, dan berpikir secara berurutan. Kegiatan yang dapat melatih kemampuan otak kanan seperti melakukan hal-hal baru, melakukan kegiatan relaksasi, mengikuti kursus musik. Bagi masyarakat diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengurangi anggapan negatif terhadap musik keras bahwa ternyata kecerdasan emosi antara pendengar musik hardcore dan pendengar musik klasik sama atau tidak berbeda.

Saran bagi penelitian selanjutnya untuk dapat mempertimbangkan berapa hal contohnya kontrol terhadap subjek, disarankan pula untuk membuat instrumen sendiri agar lebih tajam dalam mengukur kecerdasan emosi. Penelitian ini fokus kepada responden di Bali dengan tingkat usia remaja akhir. Disarankan bagi peneliti lain untuk menggunakan rentang usia yang berbeda misalnya remaja awal yang dalam tahap pencarian jati diri dan lokasi penelitian selain di Bali.

Peneliti lain juga disarankan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam, dapat ditambahkan dengan metode wawancara dan observasi. Penelitian ini menggunakan tryout terpakai untuk mengefesiensikan waktu, sehingga disarankan bagi peneliti selanjutnya agar melakukan tryout tidak terpakai jika melakukan penelitian dengan skala yang sama untuk hasil penelitian yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A. G. (2007). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: ARGA Publishing

Azwar, S. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Azwar, S. (2004). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Fidiana & Setyawardani, Lidya. (2009). Perbedaan kecerdasan emosi, perilaku belajar,  dan tingkat

stress mahasiswa akuntansi junior dan senior. Ekuitas, 13(4), pp 427-445 diakses pada tanggal 13 Februari                 2013                 dari

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/13409427445_ 1411-0393.pdf

Goleman, Daniel. (2000). Working with Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: Gramedia

Goleman, D. (2002). Emotional Intelligence (terjemahan).

Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Herlinawati, L. (2005). Pengaruh pelatihan kecerdasan emosional terhadap penurunan tingkat agresifitas verbal remaja. Skripsi. Yogyakarta:  Fakultas

Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Hurlock, EB. (1990). Developmental psychology: a lifespan approach. Boston: McGraw-Hill.

Kelly, D. Schwartz & Gregory, T. Fouts. (2003). Music Preferences, Personality Style, and Developmental Issues of Adolescents, Journal of Youth and Adolescence, 32(3), pp 205-213 diakses pada tanggal 20           Mei           2012           dari

http://familywise.ca/documents/MusicPreferencesPer sonalityStyle.pdf

Kountur, R. (2004). Metode penelitian untuk penulisan skripsi dan tesis. Jakarta: PPM

Merrit, Stephanie. (2003). Simfoni Otak. Bandung: Kaifa

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Haditono, S.R. (1998). Psikologi

Perkembangan:Pengantar     dalam     berbagai

bagiannya. Edisi kesebelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

North, A. C. and Hargreaves, D. J. (2008). The social and applied psychology of music. Oxford: Oxford University Press.

Pandjaitan. Sondang, A. (2008). Efek Musik pada tubuh manusia. Diakses pada 24 April 2013 dari http://gema.sabda.org/efek_musik_pada_tubuh_manu sia

Papalia, DE, Olds SW, Feldman RD. (2001). Human Development. 8th ed. Boston: McGraw-Hill

Radin. (2008). What The Heck is Underground. Diakses pada tanggal 23 Mei 2012 dari www.Radin.com

Samuele, Bacchiocchi et al. (2000). The Effect of Rock Music for The Christian and Rock Music. USA. Diakses pada 12 Mei 2012 dari www.biblicalperspectives.com

Samyayogi, Bimo D. (2006). Edisi November. Crossover Genre Bongkar Batas. Crushing Magz, 26-27

Shapiro, Lawrence E. (1997). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Terjemahan: Kantjono, A.T. Jakarta: Gramedia

Santoso, Singgih. (2004). SPSS Statistika Multivariat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Simarmata, N.  (2005). Hubungan  antara  Kecerdasan

Emosional dan Kepuasan Kerja pada Karyawan. Skripsi  (tidak diterbitkan).  Fakultas Psikologi.

Universitas Sanata Dharma. Yogyakart

Stein, J., Steven & Howard, E., Book,. (2002). Ledakan EQ (15 Prinsip dasar kecerdasan emosional meraih sukses). Bandung: KAIFA

Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alphabeta

University of Warwick (2007, March 22). Gifted Students Beat The Blues With Heavy Metal. ScienceDaily. Retrieved     February     21,     2013,     from

http://www.sciencedaily.com/releases/2007/03/0703 21130834.htm

Yanuar, Eka Putra. 2004. Hubungan antara harga diri dengan gaya hidup konsumtif pada remaja SMU Muhammadiyah 1 klaten. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang

8