Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Cultural Health Psychology, 155-167

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

ISSN:2354 5607

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI KERAUHAN Bagus Ari Nugraha Suela dan Yohanes K. Herdiyanto Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Aspek kualitas hidup yang relevan pada setiap individu akan berbeda-beda. Salah satu yang dapat mempengaruhi hal tersebut adalah pengalaman hidup yang dialami oleh individu tersebut. Salah satu pengalaman penting yang dapat mengubah hidup seseorang adalah pengalaman ketika seorang individu mengalami kerauhan. Kerauhan hanyalah sebuah istilah lokal Bali yang digunakan untuk menunjuk suatu keadaan tertentu dari seseorang yang dianggap atau diyakini dirasuki roh tertentu, selain roh asli yang mendiami tubuh itu sejak lahir (Swadiana & Putrawan, 2006). Ketika individu mengalami momen kerauhan, hal tersebut akan memunculkan beberapa perubahan dalam aspek kehidupannya yang mempengaruhi pencapaian terhadap kualitas hidupnya sebagai seorang individu. Berdasarkan hal inilah, peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kualitas hidup pada individu yang mengalami momen kerauhan dalam kehidupannya.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk mendeskripsikan aspek-aspek apa saja dalam kualitas hidup yang terkena pengaruh dari momen kerauhan dalam kehidupan individu. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi yang dilakukan pada 5 individu dengan dua kategori. Kategori pertama adalah individu dengan momen kerauhan yang dimaksudkan untuk tujuan tertentu seperti ritual, dan kategori kedua adalah individu dengan momen kerauhan yang tidak diharapkan oleh individu tersebut.

Hasil dalam penelitian ini menunjukan bahwa kerauhan tidak secara langsung mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Tapi kerauhan mampu meningkatkan atau menurunkan beberapa aspek dalam hidup seseorang yang pada akhirnya merubah hidup orang tersebut menjadi lebih baik atau bahkan merugikan bagi individu tersebut. Hasil yang lebih lengkap akan dibahas dalam konteks aspek kualitas hidup apa saja yang dipengaruhi oleh kerauhan.

Kata kunci: kerauhan, aspek kualitas hidup, masyarakat Bali

Abstract

Quality of life’s aspect on every individual will be vary. One of the important experiences that may change Balinese ’s people life is when they have an event called as kerauhan. Kerauhan is a term used to address a certain situation when someone is believed or taken as being possessed by a soul, other than the soul that has been living that body since it was born (Swadiana & Putrawan, 2006). There will be some changes occurred in someone’s life aspect which affects the achievements on their life by experienced kerauhan. Based on this, researchers wanted to know the picture of someone’s life-quality who experienced kerauhan.

The qualitative research method with phenomenological approach is used in this research to describe the aspects of life that got affected someone’s life who have experienced kerauhan. The data collection that is used in this research is an in-depth interview and observation which were examined toward 5 Balinese individuals of two categories. Individuals with a kerauhan experience based on intentional purposes such as ritual purposes, falls under the first category. While individuals who had an unexpected kerauhan, falls under the second category.

The result of this research shows that kerauhan doesn’t have a direct impact on someone’s life quality. But kerauhan can increase or decrease some aspects of someone’s life which at the end would change that person’s life into a better or even a disadvantageous one. Detailed result will be discussed under the context of the aspects of life that are affected by kerauhan.

Keyword: possession-trance, kerauhan, quality of life aspect, Balinese


LATAR BELAKANG


Fenomena kesurupan masih menjadi suatu perdebatan dan pertanyaan yang muncul dalam masyarakat hingga saat ini. Kesurupan menurut pandangan tradisional adalah peristiwa masuknya satu kekuatan ke dalam tubuh seseorang yang kemudian menjelma menjadi tokoh lain di luar diri seseorang tersebut. Sebagian masyarakat menganggap kesurupan sebagai fenomena mistik yang luar biasa dan aneh (Apriyana, 2010). Menurut pemahaman masyarakat bila seseorang sedang kesurupan maka orang tersebut akan bertindak atau berperilaku bukan seperti dirinya yang biasa. Seakan-akan ada pribadi atau makhluk lain yang sedang menguasai orang ini. Pribadi atau mahkluk ini ada yang bisa diajak komunikasi, ada yang memiliki nama, maupun yang tidak. Biasanya akan terjadi perubahan yang jelas pada aspek fisik misalnya cara bicara, suara, bahasa tubuhnya akan berbeda dari biasanya. Sering terjadi, saat kesurupan, orang bisa berbicara dengan bahasa yang biasanya tidak pernah digunakan (Gunawan, 2009).

Berbeda budaya dan kepercayaan masyarakat, berbeda pula penamaan serta pemaknaan tentang konsep kesurupan itu sendiri. Salah satu daerah yang kental dengan budaya spiritualitas dan mistik adalah Bali. Di Bali sendiri, istilah kesurupan lebih dikenal dengan istilah kerauhan. Kerauhan hanyalah sebuah istilah yang digunakan untuk menunjuk suatu keadaan tertentu dari seseorang yang dianggap atau diyakini dirasuki roh tertentu, selain roh asli yang mendiami tubuh itu sejak lahir. Kerauhan merupakan istilah yang spesifik dengan nuansa Bali (Putrawan & Swadiana, 2006).

Istilah kerauhan ini berasal dari kata rauh yang berarti datang. Hal ini sangat identik dengan kedatangan roh-roh yang merasuki tubuh seseorang manusia. Di Bali, kerauhan sudah menjadi bagian yang terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya yang berkaitan dengan upacara adat maupun upacara agama (Anonim, 2008). Pada prinsipnya kerauhan disebabkan oleh masuknya energi ke dalam tubuh seseorang. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut menyebabkan energi ini tidak dapat diolah oleh tubuh, maka terjadilah kebalikannya. Energi ini yang malah akan mengolah tubuh. Energi yang tidak terkendali ini mempengaruhi pikiran dan membawa efek kepada tubuh hingga akhirnya terjadilah kerauhan (Putrawan & Swadiana, 2006).

Pada beberapa kalangan, kerauhan dikatakan dapat terjadi pada orang tertentu saja dikarenakan kerauhan ini merupakan suatu fenomena sakral yang erat kaitannya dengan keagamaan. Akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena kejadian kerauhan telah terbukti banyak terjadi pada orang-orang biasa yang tidak dapat didefinisikan sebagai orang dengan spiritualitas yang tinggi. Seperti banyak diberitakan di media bahwa terjadi semacam “kesurupan

massal” pada siswa-siswa sekolah ketika sedang mengikuti kegiatan pembelajaran.

Di dalam kebudayaan Bali sendiri, kerauhan bisa menjadi suatu bentuk ritual yang sengaja dilaksanakan dengan tujuan-tujuan tertentu seperti misalnya dalam suatu proses pengobatan, atau ritual ‘pemanggilan’ roh atau dewa. Ritual ‘pemanggilan’ roh atau dewa tersebut dilakukan oleh seseorang yang dipercaya dapat memberikan informasi dari alam gaib atau niskala dan berperan sebagai perantara leluhur. Untuk orang-orang seperti itu disebut sebagai jro dasaran. Kerauhan yang dilakukan oleh jro dasaran tersebut merupakan suatu bentuk kerauhan yang ‘disituasikan’. Para jro dasaran sebelumnya telah mempersiapkan segala peralatan upacara berupa banten dengan jenis tertentu dan mantra-mantra yang harus diucapkan yang disebut mantra-mantra sesontengan yang membuat roh asing akan datang dan memasuki tubuh jro dasaran sebagai media. Hal ini adalah wajar adanya karena merupakan keahlian dari jro dasaran karena sebelumnya para jro dasaran ini sudah menyatakan kesiapan dirinya untuk ngiring sesuunan untuk nasarin (menjadi jro dasaran).

Banyak pula kasus-kasus di Bali yang melibatkan para individu yang mengalami kerauhan tidak dipersiapkan sebelumnya, dengan arti kata bahwa individu tersebut tidak mengetahui dan tidak siap untuk mengalami kerauhan. Seperti banyak kejadian yang terjadi ketika seseorang sedang menjalani persembahyangan di suatu tempat, tiba-tiba orang tersebut merasakan kehilangan kontrol akan tubuhnya dan mulai mengalami kerauhan. Hal tersebut terjadi tanpa sebelumnya dipersiapkan oleh orang tersebut.

Setiap kejadian kerauhan yang dialami oleh individu akan memberikan pengaruh yang besar dalam perubahan hidup individu tersebut. Seperti contohnya adalah kasus yang terjadi pada Murni, seorang gadis berusia 18 tahun. Murni pertama kali mengalami kesurupan ketika sedang melakukan perkemahan di Gresik, Jawa Timur. Awal kejadian yang menimpa pada Murni dimulai ketika salah seorang temannya mengalami kesurupan dan akhirnya kesurupan tersebut menular sampai pada Murni. Sejak saat itu, setiap melihat pohon besar murni akan mengalami kesurupan. Semenjak kejadian itu selama 4 bulan Murni tidak berani keluar dan dalam kesehariannya murni menjadi murung, cemas dan ketakutan (Indriani, 2013).

Hal yang hampir sama juga terjadi pada Made. Ada suatu kekuatan yang membuatnya sering kerauhan. Made jadi memiliki kemampuan untuk melihat makhluk-makhluk gaib setiap made melewati tempat-tempat angker. Made merasa takut dengan semua yang dilihatnya. Sehari Made kadang kerauhan dua sampai tiga kali. Made merasakan bahwa keadaan yang dialaminya sangat menyiksanya. Selain Made tidak dapat berkonsentrasi belajar dan tidak memiliki teman karena semua teman-teman Made menganggap bahwa Made adalah orang yang aneh. Made kerap kali menerima kata-kata

yang memojokkan ketika dirinya mengalami kerauhan. Made mengaku ada suatu energi yang luar biasa yang mengendalikannya membuat dirinya tak mampu menolaknya. Akan tetapi, setelah Made belajar meditasi, Made mampu mengendalikan kekuatan energi itu. Made kini mampu memanfaatkan kelebihan indra keenamnya untuk kehidupannya sehari-hari. Bahkan kesuksesan dirinya raih dalam segala bidang mulai dari prestasi di kampus, dunia organisasi, pekerjaan, termasuk urusan jodoh (Astiti, 2009). Kasus yang dialami oleh Murni dan Made menunjukan bagaimana kondisi dan kejadian kerauhan yang dialami oleh mereka membuat kehidupan mereka berubah. Perubahan tersebut menunjukan bahwa pengalaman kerauhan yang mereka alami memberikan pengaruh secara langsung terhadap penerimaan diri mereka serta kebahagiaan mereka dalam menjalani hidup.

Kebahagiaan dan penerimaan diri seseorang merupakan salah satu indikator dalam memperlihatkan bagaimana kehidupan seseorang dapat dikatakan berkualitas. Felce dan Perry (dalam Nofitri, 2009) menyebutkan tiga komponen dalam pengukuran kualitas hidup seseorang. Komponen pertama adalah komponen objektif yang berkaitan dengan data objektif atau kondisi kehidupan yang sebenarnya pada berbagai aspek kehidupan. Komponen kedua yaitu komponen subjektif yang merupakan penilaian individu mengenai kondisi kehidupannya saat ini pada berbagai aspek kehidupan. Terakhir adalah komponen kepentingan yang merupakan seberapa penting suatu aspek kehidupan dapat mempengaruhi kualitas hidup individu. Ketiga komponen tersebut menyebutkan bahwa kondisi kehidupan seseorang, penilaian tentang kehidupan yang dialaminya, dan seberapa penting aspek kehidupan tersebut membentuk suatu pemahaman pada individu tentang bagaimana kehidupan mereka dapat dikatakan berkualitas atau tidak.

Dengan fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini, kerauhan masih merupakan suatu fenomena yang erat kaitannya dengan mistik dan spiritual dan menyimpan paradigma tertentu di masyarakat. Dalam masyarakat banyak muncul anggapan-anggapan, baik secara positif maupun negatif, tentang kerauhan itu sendiri. Anggapan-anggapan tersebut yang memunculkan komentar-komentar dari masyarakat di sekitar individu yang mengalami kerauhan sehingga mempengaruhi cara pandang individu tersebut tentang kerauhan dan tentang dirinya yang mengalami kerauhan. Selain itu, pengalaman kerauhan itu sendiri menyebabkan perubahan dalam kehidupan individu yang mengalami hal tersebut dan pada akhirnya mempengaruhi beberapa aspek dalam kehidupannya yang akan mempengaruhi sejauh mana hidupnya bisa dikatakan sebagai hidup yang berkualitas.

Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui aspek apa sajakah yang terkait dalam

kualitas hidup yang dipengaruhi oleh pengalaman individu dalam mengalami kerauhan, bagaimana perjalananya, serta bagaimana persepsi individu yang mengalami kerauhan terhadap pandangan dan penilaian lingkungan mempengaruhi kehidupannya.

METODE

Tipe penelitian

Tipe dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2004) mendefiniskan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh responden penelitian secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2004). Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Metode ini juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui. Metode kualitatif dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Strauss, Anselm; Corbin, Juliet;, 2003).

Menurut Husserl dalam Moleong (2004) fenomenologi dapat diartikan sebagai pengalaman subyektif atau pengalaman fenomenologikal, dan suatu studi tentang kesadaran dari prespektif pokok seseorang. Penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu.

Unit Analisis

Unit analisis mempengaruhi keputusan tentang penentuan sampel, besarnya dan strategi sampling. Unit analisis dapat berupa individual atau perseorangan maupun kelompok. Pada unit analisis individual pengumpulan data dipusatkan pada sekeliling individu yaitu apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana sikapnya dan lain sebagainya. Sementara unit analisis kelompok dilakukan bila menghendaki adanya perbandingan antara sekelompok orang tertentu dengan kelompok lainnya (Moleong, 2004).

Dalam penelitian ini, unit analisis yang digunakan adalah pada level individual yang tergabung dalam kelompok kategori karena fokus pada penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana suatu kondisi kerauhan dapat mempengaruhi kualitas kehidupan individu baik itu dipengaruhi dari kepercayaan masyarakat dan budaya

mengenai kondisi kerauhan serta pendangan dalam dirinya sendiri mengenai kondisi kerauhan yang dialaminya. Ketika sampai pada proses pembahasan, hal-hal tersebut akan dibahas dan dikumpulkan berdasarkan kelompok kategori yang telah ditentukan sebelumnya supaya mendapatkan hasil perbandingan antara satu kelompok kategori dengan kelompok kategori lainnya.

Responden

Penelitian ini difokuskan untuk melihat dan mengetahui bagaimana gambaran kualitas hidup pada orangorang yang mengalami kerauhan, maka penelitian ini membagi responden berdasarkan dua kategori yaitu:

  • 1.    Responden yang mengalami kerauhan secara tidak sengaja (tidak dimaksudkan untuk kerauhan) dengan karakteristik: a. Usia tidak dibatasi,

  • b.    Jenis kelamin tidak dibatasi,

  • c.    Penduduk Bali,

  • d.    Pernah mengalami kerauhan dalam suatu proses ritual yang tidak dimaksudkan dan responden tidak memiliki kesediaan untuk mengalami kerauhan,

  • e.    Pendidikan tidak dibatasi.

  • 2.    Responden yang mengakami kerauhan secara sengaja (dimaksudkan untuk kerauhan) dengan karakteristik:

  • a.    Usia tidak dibatasi,

  • b.    Jenis kelamin tidak dibatasi,

  • c.    Penduduk Bali,

  • d.    Pernah mengalami kerauhan baik dalam proses ritual maupun tidak dalam proses ritual yang dimaksudkan untuk mengalami kerauhan dan responden bersedia dan mempersiapkan dirinya untuk dapat mengalami kerauhan,

  • e.    Pendidikan tidak dibatasi.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling sebagai teknik sampling karena peneliti hanya akan mencari responden yang sesuai dengan tujuan dari penelitian dalam hal ini yaitu responden yang mengalami kerauhan, baik yang dimaksudkan maupun yang tidak dimaksudkan. Teknik snowball sampling juga digunakan karena salah satu faktor seseorang dapat mengalami kerauhan itu sendiri adalah karena faktor keturunan atau keluarga sehingga dengan menggunakan teknik snowball sampling memungkinkan peneliti untuk mendapatkan responden yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini jenis kelamin tidak dibatasi agar lebih memperkaya data.

Aspek usia dalam penelitian ini tidak dibatasi karena kejadian kerauhan dapat terjadi secara universal tanpa memperhatikan usia yang mengalaminya serta keunikan kasus kerauhan ini yang tidak dapat terjadi pada sembarang orang.

Status kependudukan dan agama akan peneliti batasi dengan hanya penduduk Bali karena peneliti mengambil prespektif kerauhan dari sudut pandang budaya Bali. Peneliti tidak membatasi pendidikan dalam rangka untuk memperkaya data.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, metode pengumpulan data yang paling umum digunakan adalah wawancara dan observasi (Santoso & Royanto, 2009). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi dan wawancara.

Observasi adalah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung (Basrowi & Suwandi, 2008).

Dalam penelitian ini, teknik observasi yang digunakan adalah non-participant observation dan observasi tidak terstruktur. Non-participation observation adalah peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen. Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi dan dalam melakukan pengamatan peneliti tidak menggunakan instrument yang telah baku. Non-participant observation digunakan karena keterbatasan peneliti dalam aspek waktu pengamatan dan perbedaan tempat antara peneliti dan responden serta tempat pengamatan. Observasi tidak terstruktur digunakan untuk tidak membatasi aspek kualitas hidup karena luasnya aspek kualitas hidup yang tidak hanya bisa diukur dari munculnya beberapa perilaku saja.

Keseluruhan hasil pengamatan akan dicatat dalam bentuk fieldnote yang ditulis tepat setelah proses pengamatan dan wawancara dilakukan sehingga akan didapatkan suatu catatan-catatan penting tentang prilaku yang ditunjukkan responden dalam menggambarkan bagaimana pengalaman dan pandangan responden tentang kualitas kehidupan yang dimiliki dengan kondisi responden yang mengalami kerauhan. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut Lincoln dan Guba dalam Suwandi dan Basrowi (2008) maksud diadakannya wawancara adalah mengonstruksi perihal orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, merekonstruksi kebulatan-kebulatan harapan pada masa yang akan mendatang, memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi dari orang lain baik manusia maupun bukan manusia, dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara

semi terstruktur ini pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari jenis wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, yang mana pihak yang diajak wawancara dimintai tentang pendapat dan ide-idenya. Dalam melaksanakan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informannya (Sugiyono, 2012).

Bentuk wawancara semi terstruktur ini, peneliti sebelumnya sudah menyusun terlebih dahulu pertanyaan sesuai dengan masalah yang diangkat pada penelitian ini namun pedoman pertanyaan dari wawancara ini tidak akan terlalu terstruktur dan peneliti akan bertanya lebih lanjut lagi apabila didapatkan jawaban dari pertanyaan kepada responden yang dianggap belum cukup representatif.

Teknik Analisis Data

Proses analisis data merupakai proses mengurai (memecah) sesuatu ke dalam bagian-bagiannya (Tripp, 1996). Untuk menyajikan data agar lebih bermakna dan mudah dipahami, langkah analisis data yang peneliti gunakan yaitu proses analisa data kualitatif yang dikembangkan oleh Strauss dan Corbin (2003). Ada tiga langkah besar dalam melakukan analisis data kualitatif, yaitu open coding, axial coding, dan selective coding.

  • 1.    Open Coding

Pada tahap ini peneliti akan berupaya menemukan selengkap dan sebanyak mungkin variasi data yang ada termasuk di dalamnya perilaku responden penelitian, situasi sosial lokasi penelitian. Ada lima langkah prosedur:

  • a.    Breaking Down. Merinci kelengkapan dan kecukupan data yang ada dengan mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan partisipan.

  • b.    Examining. Proses memeriksa dan mengelompokan bentuk-bentuk tindakan informan.

  • c.    Comparing. Membandingkan bentuk tindakan partisipan beserta sejumlah faktor yang mempengaruhi.

  • d.    Conceptualizing. Proses menjelaskan konsep lokal yang sering dan diucapkan dan dilakukan partisipan.

  • e.    Categorizing. Proses pengkategorian data menjadi tema-tema yang sifatnya masih terbuka.

  • 2.    Axial Coding

Hasil yang diperoleh dari open coding diorganisasikan kembali berdasarkan kategori-kategori untuk dikembangkan ke arah proporsi-proporsi. Pada tahap ini dilakukan analisis antar kategori.

  • 3.    Selective Coding

Peneliti menggolongkan kategori menjadi kriteria inti dan pendukung serta mengaitkan antara kategori inti dan pendukungnya. Kategori ini ditemukan melalui perbandingan hubungan antar kategori dengan menggunakan model paradigma lalu memberikan hubungan antar kategori dan akhirnya menghasilkan kesimpulan yang kemudian diangkat menjadi general design.

Teknik pemantapan kredibilitas data penelitian

Pada penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (Sugiyono, 2012). Uji kredibilitas data kualitatif dalam dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, teknik triangulasi data, menggunakan bahan referensi, analisis kasus negatif, dan membercheck. Dalam penelitian ini, teknik pemantapan kredibilitas penelitian menggunakan teknik triangulasi data dan dengan menggunakan bahan referensi.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2004). Terdapat tiga teknik triangulasi yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu. Teknik triangulasi yang digunakan adalah dengan teknik triangulasi sumber dan triangulasi teknik pengumpulan data. Teknik triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Dalam penelitian ini, dilakukan pengecekan antara masing-masing responden dalam dua kelompok kategori sebagai sumber data dalam penelitian ini.

Teknik triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama (Moleong, 2004). Teknik triangulasi ini mengharuskan peneliti menggunakan metode dan instrumen wawancara yang sama kepada dua kelompok kategori dalam penelitian ini.

Teknik pemeriksaan keabsahan data yang kedua adalah dengan menggunakan bahan referensi. Bahan referensi yang dimaksud dalam penelitian inii adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti (Sugiyono, 2012). Penelitian ini menggunakan rekaman wawancara sebagai pendukung yang menyatakan bahwa data hasil wawancara dalam bentuk verbatim adalah benar adanya dan berdasarkan dari responden.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan 5 orang sebagai responden penelitian yang kelima orang ini merupakan orang yang pernah mengalami kerauhan. Jumlah lima orang ini telah

berdasarkan konsep kejenuhan data yaitu data yang didapatkan dari responden penelitian yang satu telah dibandingkan dengan responden lainnya dan menemukan kejenuhan informasi.

Kelima orang ini dibagi ke dalam dua kelompok kategori yang sebelumnya telah ditetapkan oleh peneliti. Berdasarkan penentuan kelompok kategori tersebut, maka didapatkan tiga orang responden termasuk dalam kelompok kategori pertama dan dua orang responden termasuk dalam kelompok kategori pertama.

Tabel 1. Kaiakteristik Responden

Kelompok Kategori 1

Kelompok Kategori 2

Responden S (Rl) Usia : 21 tahun Jenis kelamin: Wanita Alamat: Denpasar Agama: Hindu

Responden R (R4) Usia : 52 tahun Jenis kelamin : Pria Alamat: Pupuan Agama: Hindu

Responden G (R2) Usia : 21 tahun Jenis kelamin: Wanita Alamat: Kuta Utara Agama: Hindu

Responden J (R5) Usia : 35 tahun Jenis kelamin : Pria Alamat: Pupuan Agama: Hindu

Responden P (R3)

Usia : 18 tahun

Jenis kelamin: Wanita

Alamat: Padang Sambian Agama: Hindu

Tahap pengumpulan data diawali dengan pelaksanaan pre eliminary study yang dilaksanakan kepada tiga responden. Pre eliminary study dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur dan tanpa guideline wawancara. Pertama kali sebelum proses wawancara pre eliminary study dilakukan, peneliti akan memberikan inform consent kepada responden dan menjelaskan sekilas mengenai penelitian apa yang peneliti lakukan, bagaimana tujuan dan manfaatnya, serta risiko apa saja yang mungkin dialami oleh responden. Seluruh hal tersebut telah tercantum dalam formulir inform consent yang apabila responden telah bersedia maka inform consent tersebut akan ditandatangani oleh responden sebagai bentuk persetujuan.

Setelah tahap pre eliminary study dilakukan, tahap selanjutnya adalah menyusun guideline wawancara berdasarkan dari hasil pre eliminary study tersebut. Setelah guideline wawancara tersusun, selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah melakukan wawancara mendalam terhadap responden.

Pelaksanaan observasi dilakukan ketika dilakukannya wawancara terhadap responden baik pada wawancara pre eliminary study maupun pada tahap wawancara mendalam dengan responden. Pencatatan hasil observasi dituangkan dalam bentuk fieldnote.

Setelah melalui proses analisis data, didapatkan 6 tema pokok yang akan dibahas secara mendalam dalam penelitian ini. Enam tema pokok tersebut adalah:

Definisi Kerauhan Menurut Responden

Responden Kelompok Kategori 1

Kerauhan merupakan kejadian yang menunjukkan badan individu dirasuki atau dipinjam oleh suatu kekuatan (bisa merupakan dewa, leluhur, bhutakala, atau makhluk gaib lainnya) yang fungsinya untuk memberikan nasehat atau melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu. Seseorang mengalami kerauhan apabila orang tersebut memiliki tingkat spiriritualitas tinggi, sensitivitas tinggi namun bisa juga terjadi sebaliknya yaitu karena orang tersebut kotor, pikiran sedang tidak konsentrasi, atau sedang dalam kondisi yang tidak baik.

Responden Kelompok Kategori 2

Kerauhan berasal dari kata rauh. Dalam kerauhan, ida bhatara akan memasuki tubuh seseorang untuk menjalankan tugas tertentu dalam suatu ritual. Tetapi kerauhan bisa terjadi karena kondisi emosi seseorang yang tidak baik atau kondisi

jiwa yang lemah.

Perasaan Individu Ketika Mengalami Kerauhan

Responden Kelompok Kategori 1

Ketika mengalami kerauhan, responden akan merasakan perubahan fisik dalam dirinya seperti merinding, pusing, dan merasakan adanya energi yang masuk. Ketika merasakan hal tersebut, responden merasakan keanehan, ketakutan akan apa yang terjadi pada dirinya, ketidaknyamanan bahwa dirinya telah berperilaku aneh dan merepotkan orang-orang disekitarnya.

Responden Kelompok Kategori 2

Ketika mengalami kerauhan, responden akan merasakan kehilangan kesadaran dan merasakan ada perubahan dalam dirinya seperti merasakan ada getaran. Setelah mengalami kerauhan, responden merasakan ketakutan karena ketidaksadaran dan prilaku ngurek yang dilakukan responden.

Penyebab Responden Bisa Mengalami Kerauhan


Responden Kelompok Kategori 1

Latar belakang keluarga responden membuat responden memiliki kemampuan untuk dapat mengalami kerauhan. Responden juga merasa bahwa diri mereka mampu menarik kekuatan khusus untuk merasuki dirinya. Selain itu, responden merupakan orang yang berbeda dan cenderung memiliki kelebihan dibandingkan orang lain.

Responden Kelompok Kategori 2

Orang yang bisa mengalami kerauhan adalah orang istimewa yang sudah ditujuk oleh ida bhatara atau bisa juga karena orang tersebut memiliki jiwa lemah sehingga roh jahat dapat memasuki dirinya.


Pengaruh Kerauhan Terhadap Kehidupan Dan Kualitas Hidup

Responden Kelompok Kategori 1

Pengaruh Kerauhan Kepada Kehidupan dan Kualitas Hidup: Dengan mengalami kerauhan, responden merasakan perubahan dalam kehidupannya seperti responden menjadi lebih sensitive dan peka terhadap hal-hal tertentu dan perubahan diluar lingkungan responden seperti munculnya karakter tertentu pada diri responden. Perubahan positif yang dialami responden adalah responden menjadi merasa perlu untuk meningkatkan spiritualitasnya, baik dalam segi pengetahuan dan pemahaman maupun secara ritual, dan dengan mengalami hal tersebut menguatkan responden tentang keberadaan Tuhan dan kekuasaannya.

Responden juga menjalani proses penyesuaian diri dengan kondisinya, responden harus menyesuaikan dengan lingkungan dan batasan-batasan yang dimilikinya ketika akhirnya responden mengalami kerauhan. Responden merasakan ketidaknyamanan dengan kondisinya yang berasal dari munculnya perubahan pandangan lingkungan terhadap responden. Perubahan pandangan juga memberikan beban tersendiri bagi responden dikarenakan responden merasa belum mampu untuk menjalani hal tersebut. Selain itu responden juga harus menghadapi pandangan orang-orang yang tidak semuanya percaya dengan apa yang responden alami. Kerauhan memunculkan kesadaran terhadap diri responden tentang bagaimana dirinya sebenarnya dan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang manusia.

Responden Kelompok Kategori 2

Responden merasakan banyak perubahan positif dalam dirinya seperti meningkatnya perekonomian responden, memunculkan kepercayaan diri pada diri responden, keyakinan dan spiritualitas responden semakin meningkat, perubahan dalam kehidupan prilaku responden yang lebih terkontrol, perasan bahwa dirinya menunaikan suatu tugas yang lebih membuat dirinya merasa menjadi manusia yang sebenarnya.

Sisi negatif yang dialami responden adalah perasan malu yang dirasakan sebelumnya ketika responden masih belum terbiasa serta keterbatasan yang didapatkan dengan menjadi jero dasaran dengan konsekuensi responden harus terus mempertahankan kesucian dan kebersihan dirinya.



Pengaruh keranhan pada kehidupan dan kualitas hidup


Kondisi fisik Eino si Penyesuaian diri Memiliki kemampuan merasakan hal lain Pandangan Pemahaman Aktifitas dan pemahaman Spirinial Keluarga Konsep diri Kepercayaan diri Finansial .Akrifitas keseharian Beban dan Ianggtmgjawab Pandangan positif tentang keadaan Pandangan negatif rentang keadaan



Persepsi Responden Terhadap Pandangan Lingkungan Kepada Responden

Responden Kelompok Kategori 1

Dari orang-orang sekitar responden mendapatkan pandangan beragam, mulai dari yang mendukung hingga yang tidak mendukung atau malah tidak mempercayai. Responden mendapatkan dukungan dari keluarga terdekat, akan tetapi

tidak semua anggota keluarga berpendapat bahwa apa yang responden alami itu baik dan benar.

Dari teman-teman terdekat responden, apa yang dialami responden sering dijadikan bahan bercandaan. Tetapi dalam beberapa hal, responden dipandang lingkungannya memiliki kemampuan dalam hal spiritual sehingga responden sering dimintai pertolongan yang menyebabkan responden merasakan ketidaknyamanan dengan hal tersebut.


Responden Kelompok Kategori 2

Kejadian kerauhan yang dialami responden membuat responden akhirnya didaulat sebagai jero dasaran dan karena kemampuannya tersebut, responden dihormati oleh masyarakat dan lingkungan responden. Tetapi penghormatan tersebut akan menimbulkan tanggung jawab. Pokok tanggung jawab yang paling besar diterima oleh responden adalah dengan kewajiban mereka untuk mengabdi dalam prosesi ritual bagaimanapun keadaan saat itu.

Harapan Dan Penerimaan Terhadap Kondisi Kerauhan

Responden Kelompok Kategori 1

Responden merasakan bahwa kerauhan yang dialami memiliki dampak baik positif dan negative sehingga ada yang menginginkan bahwa kondisi kerauhannya menghilang namun tetap mempunyai kepekaan diri, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa dengan mengalami kerauhan hidupnya menjadi lebih baik. Saat ini responden sudah mulai menerima kondisi dirinya dan berusaha mengambil hal positif yang bisa didapatkan dari keadaannya tersebut.

Responden Kelompok Kategori 2

Responden sudah memahami betul tentang kondisinya yang tidak bisa memilih dan apa yang dijalaninya sehingga responden sangat menerima kondisi dan keberadaan dirinya dengan semua tugas dan tanggung jawab yang diterimanya walaupun hal tersebut masih terasa berat. Akan tetapi hal tersebut membawa sesuatu yang positif bagi diri responden sehingga responden juga dapat mensyukuri hal tersebut.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Banyak ahli berpendapat jika cakupan dari konsep dan pengukuran kualitas hidup seseorang harus berfokus kepada persepsi respondentif individu mengenai kualitas hidup dan kehidupannya sendiri (Mendlowicz & Murray dalam Nofitri, 2009). Kualitas hidup itu sendiri merupakan interaksi antara penghayatan respondentif dan bobot kepentingan dalam atau dari aspek-aspek kehidupan tertentu, dengan beberapa faktor kondisi kehidupan yang dapat berpengaruh ataupun tidak tergantung dari berbagai persepsi individu mengenai berbagai kondisi kehidupan (Nofitri, 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka penggambaran kualitas hidup individu yang mengalami kerauhan akan melihat pada kondisi dan perubahan yang terjadi pada individu, persepsi individu terhadap pandangan dan penilaian lingkungan yang akan mempengaruhi kualitas hidup individu yang mengalami kerauhan, hingga pada akhirnya aspek kualitas hidup apa yang dipengaruhi oleh kondisi tersebut.

Perubahan adalah suatu proses mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, dan seseorang akan beradaptasi dan menyesuaikan diri untuk mempertahankan dan meneruskan hidupnya (Ardini, 2009). Pada individu yang mengalami kerauhan, perubahan kehidupan terjadi sangat jelas terlihat yang ditunjukkan dengan adanya banyak hal yang tidak bisa dilakukannya setelah individu tersebut mengalami kerauhan. Setelah individu tersebut mengalami kerauhan, mereka akan memiliki imej tersendiri yang melekat pada dirinya yang artinya pandangan lingkungan yang mengetahui apa yang dialami oleh individu tersebut akan berubah.

Lewin (dalam Swansburg, 2000) mengungkapkan bahwa perubahan dapat dibedakan menjadi 3 tahapan yaitu pencairan (unfreezing), bergerak (moving), dan pembekuan (refresing). Berdasarkan hal tersebut, responden yang mengalami kerauhan telah menjalani ketiga tahapan tersebut. Pada tahapan awal, yaitu ketika responden pertama kali mengalami kerauhan, mereka menyadari bahwa ada yang berubah pada diri mereka. Setelah mereka mengalami kerauhan pertama pun perubahan yang mereka rasakan semakin terlihat, seperti bagaimana responden menggambarkan bahwa dirinya menjadi memiliki sensitivitas yang tinggi, mampu melihat hal-hal yang berbau gaib dan mistis, semakin peka terhadap mimpi yang dialami, merasakan

panggilan-panggilan untuk menuju ke pura, bahkan memiliki kemampuan berkomunikasi dengan alam gaib. Hal tersebut sangat wajar dimiliki oleh mereka yang mengalami kerauhan, karena orang yang mengalami kerauhan biasanya lebih peka dan bisa memperoleh wangsit, bisa berupa mimpi yang bermakna dan insting yang lebih tajam (Putrawan & Swadiana, 2006).

Pada tahap kedua, responden menunjukan perbedaan akan proses mereka memilih untuk akhirnya berubah. Responden pada kelompok kategori pertama terlihat lebih sulit pada awalnya untuk menerima keadaannya. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan hal tersebut adalah kurangnya informasi yang mereka miliki tentang apa itu sebenarnya kerauhan dan bagaimana sebenarnya orang bisa mengalami kerauhan. Selain itu para responden merasa bahwa dirinya belum mampu dan belum bisa untuk memberikan apa yang diinginkan oleh lingkungan tentang kondisi yang dialaminya.

Pada responden yang tergolong dalam kategori kedua, mereka juga merasakan hal tersebut pada awalnya. Pandangan pada kondisi kerauhan yang menyebabkan diri mereka menjadi seorang jero dasaran menyebabkan mereka memiliki tanggung jawab dan beban yang harus dipikul. Selain itu keterbatasan dan hal-hal yang tidak boleh lagi mereka lakukan demi menjaga kesucian diri mereka agar sewaktu-waktu tubuh mereka dapat dipergunakan sebagai medium untuk ida bhatara menyebabkan mereka harus mengurangi atau bahkan menghilangkan beberapa aktifitas dalam kehidupannya, termasuk terkadang aktifitas yang paling terpenting dalam kehidupan mereka, yaitu pekerjaan yang akan memberikan penghasilan bagi keluarga mereka.

Ketika para responden pada akhirnya sampai pada tahap ketiga, mereka akhirnya memiliki kesadaran tentang apa yang dialami dan mulai menerima keadaan dirinya, walaupun pada beberapa responden, hal tersebut belum dilakukan secara sepenuhnya. Responden pada kelompok kategori pertama belum merasakan kesimbangan dalam perubahan yang sedang dijalaninya. Hal yang paling utama yang membuat mereka belum merasa nyaman adalah pandangan orang-orang disekitar mereka, terutama pada orang-orang yang masih belum mengetahui kemampuan mereka tersebut. Pada responden kelompok kategori kedua, mereka sudah mencapai suatu tahap kemampuan kerauhan yang mereka alami sudah tidak akan lepas dari kehidupan mereka dan mereka menikmati hal tersebut sebagai suatu bagian dari hidupnya. Faktor yang mempengaruhi adalah dengan pemberian gelar jero dasaran pada diri mereka sehingga kemampuan mereka pun sudah diakui oleh lingkungan. Selain itu, kemampuan tersebut dirasa memiliki manfaat dalam kehidupan mereka sehingga hal tersebut membuat mereka telah mencapai suatu kehidupan yang cukup stabil berkaitan dengan kondisi kerauhan mereka.

Proses adaptasi yang terjadi pada setiap individu yang mengalami kerauhan juga berbeda-beda, tergantung pada kondisi lingkungan yang menyertai individu karena pada proses adaptasi, dibutuhkan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (Pieter, 2010). Cara seseorang beradaptasi adalah dengan menunjukan mekanisme pertahanan diri dengan harapan bisa menghindari kejadian yang tidak menyenangkan dan kembali pada kondisi yang stabil (Gunarya, 2011). Pada responden dalam kategori pertama, mereka pada awalnya melakukan penolakan dalam upaya untuk menghindari hal tersebut terjadi pada diri mereka. Penolakan tersebut biasanya berujung pada kegagalan dan akhirnya menyebabkan mereka mengalami rasa sakit seperti sesak atau bahkan pingsan. Selain itu penolakan yang mereka lakukan juga termasuk dalam upaya agar kerauhan yang terjadi pada mereka tidak terjadi di depan umum supaya tidak akan merepotkan orang lain. Setelah pada akhirnya responden menerima keadaannya sehingga proses adaptasinya bukan lagi tentang penolakan, tetapi berupa rasa pasrah dan pada akhirnya berusaha menikmati dan menyadari manfaat yang diterima dengan kondisinya serta menjalani kehidupannya dengan optimal.

Memandang seseorang sebagai anggota kelompok atau ketegori tertentu akan menyebabkan seseorang membuat penilaian sosial yang stereotip (Taylor, Peplau & Sears, 2009). Ketika orang-orang disekitar responden melihat bagaimana responden mengalami kerauhan, hal tersebut dipandang oleh orang tersebut sebagai suatu keadaan yang melekat pada responden sehingga mereka akan menilai responden sebagai orang yang mempunyai kemampuan khusus. Pemahaman tersebut tidaklah aneh, mengingat bahwa kerauhan sendiri telah menjadi suatu kebudayaan di Bali. Seperti pada ritual keagamaan di Bali itu sendiri, beberapa daerah di Bali merasakan apabila ritual tersebut belum ada orang yang mengalami keruhan, maka ritual tersebut dianggap belum tuntas dan belum sah (Putrawan & Swadiana, 2006). Kondisi tersebut disebut dengan central trait atau karakter utama yaitu sebuah karakteristik yang diasosiasikan dengan karakteristik lainnya (Asley dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Adanya kondisi seperti itu menyebabkan terbentuknya suatu proses pemahaman masyarakat bahwa karakteristik orang yang yang memiliki kemampuan kerauhan memiliki kemampuan-kemampuan khusus yang berhubungan dengan hal magis.

Pada responden dalam kategori pertama, kondisi kerauhan yang dialami oleh responden menimbulkan imej tersendiri yang membuat responden dipandang sebagai orang ‘magis’ dan memiliki kemampuan tertentu. Pandangan tersebut yang membuat beberapa orang dalam lingkungan responden mensyukuri keadaan responden dan memandang bahwa hal tersebut adalah hal yang baik dan positif. Terlebih pandangan masyarakat yang menganggap bahwa ketika seseorang mengalami kerauhan, mereka akan menyampaikan

nasihat-nasihat dan petuah-petuah tertentu yang dianggap bermanfaat bagi masyarakat. Karakteristik kerauhan itu sendiri yang tidak bisa terjadi pada sembarangan orang membuat responden dipandang sebagai orang yang istimewa dan memiliki kelebihan.

Ada banyak pandangan negatif yang muncul tentang keadaan responden tersebut. Diantaranya muncul dari dalam keluarga sendiri, dengan adanya rasa malu akan kondisi responden yang mengalami kerauhan ketika responden kehilangan kontrol dari pergerakan badannya. Selain itu, kerauhan yang memang masih menimbulkan perdebatan akan kebenarannya itu sendiri menyebabkan beberapa orang tidak percaya akan kondisi yang dialami responden sehingga responden merasa kesulitan ketika responden harus menjelaskan dan meyakinkan kepada keluarga tentang apa yang sebenarnya dialami oleh responden. Ketidaktahuan masyarakat yang tidak mengalami kerauhan akan hal tersebut menyebabkan mereka mencari tahu bagaimana sebenarnya kerauhan itu dan makhluk-makhluk seperti apa yang muncul. Hal tersebut dipertanyakan kepada responden yang pada dasarnya masih belum yakin sepenuhnya tentang keadaan dan kondisi dirinya sendiri menyebabkan beban tersendiri bagi para responden.

Sedikit berbeda dengan responden pada kategori pertama, responden pada kelompok kategori kedua dengan segala pengalaman dan pengetahuannya menyebabkan mereka lebih mampu mengatasi hal tersebut. Sebuah peran adalah informatif, meringkas banyak informasi untuk berbagai situasi. Peran juga lebih menonjol ketimbang sifat, menimbulkan banyak asosiasi (Taylor, Peplau & Sears, 2009). Peran mereka sebagai jero dasaran/ tapakan yang memiliki kemampuan kerauhan dan mengabdikan diri mereka dalam proses ritual keagamaan menyebabkan masyarakat mengasosiasikan bahwa mereka adalah orang-orang terpilih. Menjadi jero dasaran / tapakan juga berarti orang tersebut sudah siap untuk membersihkan dirinya dan menjadi dasar atau tapak, tempat untuk turunnya ida bhatara. Gambaran seperti   itu menyebabkan masyarakat memberikan

penghormatan dan penghargaan khusus pada mereka sehingga hal tersebut membuat responden menjadi seseorang yang memiliki kepercayaan diri dan mampu menjalani kehidupannya sebagai jero dasaran / tapakan. Akan tetapi, seperti pisau bermata dua, hal tersebut pula yang menjadikan mereka memiliki tanggung jawab kepada warga tempat dimana responden menjadi dasaran / tapakan yang mana mereka harus mengabdikan diri dalam ritual keagamaan apapun dan bagaimanapun kondisi saat itu.

Secara spesifik, penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dalam kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa yang menjadi perhatian individu (Larasati, 2012). Bagi individu, mendapatkan

pengalaman kerauhan akan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pandangan akan kualitas hidupnya menjadi berubah dengan memasukkan kondisi yang dialaminya tersebut.

Berdasarkan pembagian aspek kualitas kehidupan menurut Felce dan Perry (dalam Monalisa, 2010) gambaran aspek kualitas hidup yang dipengaruhi oleh keadaan kerauhan dapat digambarkan sebagai berikut:

Kesejahteraan Fisik

Dimensi ini terfokus pada aspek kesehatan. Beberapa aspek spesifik dalam dimensi ini seperti kebugaran, mobilitas, dan keamanan personal. Dalam aspek ini, perubahan fisik terjadi pada responden yang mengalami kerauhan walaupun pada masing-masing orang tidak terjadi sama.

Responden pada kategori pertama merasakan perubahan pada fisiknya ketika mengalami kerauhan yaitu dada yang berdebar-debar, merasa pusing, merasa tidak enak badan, dan hal yang mengganggu lainnya. Setelah mengalami kerauhan pun responden akan meraskan lemas dan kelegaan ketika yang memasuki responden keluar dari badan responden. Akan tetapi, hal tersebut tidak mampu mengaruhi perubahan fisik responden dalam kehidupan sehari-hari dan tidak membuat responden tidak mampu melakukan aktifitas kesehariannya.

Berbeda dengan responden pada kategori pertama, kondisi kerauhan yang dialami responden yang mengakibatkan responden menjadi jero dasaran / tapakan menyebabkan responden harus siap dan bersedia mengalami kerauhan ketika dilaksanakannya suatu ritual. Ketika hal tersebut terjadi, responden merasakan adanya suatu perubahan energi badan yang dirasakannya berupa badan menjadi lebih sehat dan lebih kuat. Selain itu, pada beberapa kejadian, responden merasakan kesembuhan dan kekuatan ketika responden merasakan sakit secara fisik. Akan tetapi sekali lagi, hal tersebut tidak menjadikan keseluruhan kehidupan kesehatan responden menjadi seperti itu, yang mana hal tersebut berkaitan dengan pengabdian dan kehidupannya sebagai jero dasaran / tapakan.

Kesejahtaraan Material

Sub-dimensi dari kesejahteraan ini adalah pendapatan, kualitas lingkungan hidup, privasi, kepemilikan, makanan, alat transportasi, lingkungan tempat tinggal, keamanan atau kedudukan, dan stabilitas sebagai bagian dari kelompok aspek kesejahteraan material.

Secara material, responden kelompok kategori pertama sama sekali tidak merasakan adanya perubahan. Berbeda dengan responden pada kategori kedua. Pada aspek material, responden merasakan adanya peningkatan pada

kehidupannya. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak serta merta terjadi begitu saja. Pada awalnya, responden mengalami kebingungan karena dengan kondisinya mereka harus meninggalkan pekerjaan yang selama ini ditekuninya untuk menghidupi keluarga. Mereka pada akhirnya mau melaksanakan tugasnya menjadi seorang jero dasaran/ tapakan dan setelah itu disanalah mereka menemukan perkembangan terhadap kondisi materi mereka dan pada akhirnya menganggap itu memang sebagai suatu rejeki dari jalan pengabdian yang telah mereka lakoni.

Kesejahteraan Sosial

Dua dimensi utama dalam kesejahteraan sosial adalah dimensi hubungan interpersonal dan keterlibatan dalam masyarakat. Dimensi hubungan interpersonal tidak hanya mengacu pada hubungan dengan orang terdekat seperti keluarga, rumah tangga, atau kerabat dalam keluarga besar, tetapi juga mencakup dalam hubungan dengan sahabat atau rekan. Luasnya hal tersebut bergantung pada beberapa faktor pendukung seperti derajat keintiman, dukungan, hubungan timbal balik, dan keseimbangan. Sedangkan untuk keterlibatan dalam masyarakat dapat dilihat dari adanya penerimaan yang dilakukan oleh lingkungan.

Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini, tidak terjadi perubahan dengan lingkungan, keluarga, maupun kerabat yang berubah secara signifikan. Walaupun terjadi perubahan cara pandang baik dari keluarga maupun dari teman, hal tersebut tidak mempengaruhi kedekatan yang sudah ada sebelumnya.

Untuk keterlibatan dalam masyarakat, hal yang berbeda hanyalah pada responden kategori kedua. Responden semakin terlibat dalam kegiatan ritual keagamaan yang dilaksanakan di desanya. Dalam kegiatan ritual tersebut responden memiliki peran penting dalam kesuksesan berlangsungnya acara tersebut.

Kesejahteraan Pengembangan dan Aktivitas

Dimensi ini terkonsentrasi pada pengembangan dan pertumbuhan seseorang yang mencakup kemampuan untuk menggunakan waktu secara konstruktif sesuai dengan prinsipnya, kepemilikan dan penggunaan keahlian baik dalam hubungannya dengan self-determination, kemandirian, dan kemampuan untuk memilih dan mengontrol. Aspek-aspek tersebut dinyatakan dalam aktivitas seperti pekerjaan, pendidikan, rumah tangga, maupun rekreasi.

Dalam aspek ini, tidak terlihat pengaruh kerauhan kepada kehidupan individu. Kerauhan tidak mempengaruhi bagaimana individu melaksanakan aktifitas keseharian dan merubah individu menjadi lebih baik ataupun lebih buruk dalam aspek ini.

Kesejahteraan Emosional

Dimensi ini terdiri dari beberapa aspek seperti afek, status atau respek, kesehatan mental, stress, seksualitas, pemenuhan kebutuhan, spiritualitas, dan kepercayaan diri. Peningkatan secara signifikan terjadi pada aspek spiritualitas. Seluruh responden merasakan bahwa dirinya semakin lebih memperhatian tentang kehidupan spiritualitasnya. Schreurs (2002) mendefinisikan spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas memberikan keberanian dan motivasi untuk menghadapi kesulitan dan keterbatasan, maka spiritualitas memberi perlindungan psikologis dan membantu orang mengembangkan kebiasaan untuk menahan kesulitan emosi, seperti kelemahan tekad, frustasi, merasa kalah, depresi dan marah (Ray dalam Shiraev & Levy, 2012)

Pengalaman kerauhan yang dialami oleh responden menyebabkan mereka semakin menumbuhkan keyakinan bahwa adanya suatu kekuatan besar diluar kekuasaan manusia. Ketika individu mempercayai hal tersebut, individu akan semakin menguatkan perilaku mereka yang mengarahkan pada bentuk pengabdian kepada Tuhan.

Hal yang terjadi pada keseluruhan responden adalah peningkatan tingkat kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk pendalaman pemahaman mereka terhadap proses-proses ritual yang dilaksanakan. Para responden tidak ingin sembarangan dalam pelsanaan ritual yang mereka jalani karena menganggap hal tersebut malah akan memunculkan kondisi kerauhan yang tidak baik.

Peningkatan kepercayaan serta spiritualitas responden juga ditunjukkan dengan perilaku yang dibentuk oleh responden itu sendiri. Pada responden kelompok kategori kedua, mereka membentuk suatu kebiasaan untuk selalu menjaga kesucian karena kepercayaan mereka bahwa sebagai jero dasaran/ tapakan mereka harus selalu mempersiapkan diri mereka agar ketika sewaktu-waktu mereka dibutuhkan, mereka akan siap untuk menjadi wadah bagi ida bhatara menyampaikan maksud dan tujuannya.

Pada responden kelompok kategori pertama, tidak terjadi pembentukan kebiasaan seperti pada responden pada kelompok kategori kedua. Akan tetapi, kesadaran mereka akan adanya kekuatan diluar kekuasaan manusia menyebebkan mereka memiliki keinginan untuk lebih mendalami pemahaman spiritualitas mereka. Beberapa langkah yang mereka lakukan seperti meditasi, memahami proses ritual, serta melakukan proses melukat atau pembersihan diri merupakan bentuk peningkatan spiritual mereka.

Pada responden kategori kedua, peningkatan kepercayaan diri terjadi pada diri mereka. Kesadaran mereka akan diri sendiri dan konsep diri semakin meningkat dengan munculnya pemahaman tentang kondisi yang terjadi pada dirinya, mengapa mereka mengalami kerauhan, dan apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka.

Secara keseluruhan, masing-masing aspek dalam kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh kondisi seseorang yang dapat mengalami kerauhan. Akan tetapi, kondisi kerauhan tidak serta merta dan secara langsung akan mempengaruhi kualitas kehidupan seseorang. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti bagaimanakah individu memandang keadaan dirinya itu sendiri, dapatkah individu menerima keadaannya, serta bagaimana masyarakat memberikan penilaian kepada mereka yang akhirnya memberikan suatu tekanan dan tanggung jawab tersendiri kepada mereka.

Penelitian ini menghadapi beberapa kesulitan diantaranya pencarian responden yang sesuai dengan kategori yang sebelumnya telah ditetapkan serta masalah dan kendala bahasa yang terjadi. Selain itu, pencarian literatur yang berkaitan dengan kerauhan itu sendiri tidaklah mudah, dikarenakan kerauhan merupakan suatu bentuk kebudayaan dan tidak tercantum dalam ajaran agama sehingga literatur yang ada pun berdasarkan dari pengalaman respondentif seseorang.

Pada penelitian ini, penentuan kerauhan yang dialami seseorang menjadi kesulitan tersendiri. Ditemukan banyak istilah-istilah yang terkait dengan hal tersebut seperti ngiring, melik, sesuunan, dan dresta yang ternyata mempengaruhi persepsi dan pandangan terhadap kerauhan itu sendiri. Pada prinsipnya, baik itu ngiring maupun melik menyebabkan hal yang sama yaitu kerauhan. Akan tetapi, penamaan tersebut mendasari siapa yang akan merasuki dan bagaimana prosesnya itu dapat terjadi. Hal ini pada akhirnya diabaikan oleh peneliti karena secara prinsip yang mereka alami tetaplah sama yaitu pengalaman kerauhan.

Dari segi lingkungan dan daerah tempat tinggal juga berpengaruh kepada persepsi individu dan masyarakat dalam mengalami kerauhan. Pembedaan tersebut disebut dengan dresta. Pada setiap daerah, dresta yang berlaku akan berbeda-beda tergantung pada apa kepercayaan dan peraturan yang telah ditetapkan di desa tersebut. Sebagai contoh, dresta tempat peneliti mendapatkan responden kategori kedua yaitu Pupuan, Tabanan, dresta yang berlaku adalah bahwa suatu ritual harus menjalani proses yang mengharuskan ada orangorang yang mengalami kerauhan dan ngurek sehingga ritual tersebut dapat dikatakan selesai dan tuntas. Tetapi, berdasarkan apa yang peneliti dapatkan dari responden, dresta di daerah Gianyar tidak mengharuskan seperti itu dan bahkan ritual tersebut dianggap tidak baik atau tidak suci. Hal tersebut sebenarnya akan mempengaruhi persepsi seseorang tentang kerauhan.

Berdasarkan kesulitan dan keterbatasan dalam penelitian ini, maka diharapkan untuk peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian yang memiliki tema yang sama agar memperhatikan bahwa setiap daerah di Bali memiliki pandangan dan aturan berbeda mengenai tentang kerauhan yang semakin memberikan keunikan terhadap kondisi dan latar belakang seseorang yang mengalami kerauhan. Selain itu, perhatikan kondisi dan istilah yang dialami individu tersebut sehingga semakin memberikan warna dalam penelitian yang berkaitan dengan kerauhan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2008, January 19). 'Kerauhan' sugesti dalam balutan religi.

Diakses          dari          Devari's          Corner:

http://www.devari.org/2008/01/19/kerauhan-sugesti-dalam-balutan-religi/#ixzz2K9gdXjpu

Apriyana, I. (2010, April 3). Memahami fenomena kesurupan pada siswa. Diakses dari Kompasiana.com: http://edukasi.kompasiana.com/2010/04/03/memahami-fenomena-kesurupan-pada-siswa/

Ardini, R. (2009). Persepsi wajib pajak terhadap kualitas pelayanan perpajakan pasca reformasi administrasi perpajakan pada kantor wilayah DJP Jawa Tengah I. Jakarta: Binus University.

Astiti, W. (2009, Maret 16). Misteri kerauhan (bagian-1). Diakses dari Kesehatan Harta Paling Berharga: http://rathikumara.blogspot.com/2009/03/misteri-kerauhan-bag-1.html

Basrowi, & Suwandi. (2008). Memahami penelitian kualitatif.

Jakarta: Rineka Cipta.

Bogdan, & Taylor. (2004). In L. Moleong, Metodologi penelitian kualitatif (p. 4). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Chiu, S. (2000). Historical, religious, and medical perspectives of possession phenomenon. Hong Kong Journal of Psychiatry, 14-18.

Cohen, E. (2008). What is spirit possession? Defining, comparing, and explaining two possession forms. Ethnos, 73:I.

Gunarya, A., Tamar, M., & Ibnu, I. (2010). Bersahabat Dengan Stress.                    Diakses                    dari

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3 4/10%20MD%2010%20-

%20Bersahabat%20dengan%20stress.pdf?sequence=1

Gunawan, W. A. (2009, April 6). Memahami fenomena kesurupan dari sudut ilmu hipnoterapi. Diakses dari Pembelajar.com: http://www.pembelajar.com/memahami-fenomena-kesurupan-dari-sudut-ilmu-hipnoterapi

Indriani, N. (2013, January 23). Pengalaman murni: kesurupan kalau ada pohon besar. Diakses dari Detik Health: http://health.detik.com/read/2013/01/23/154733/2150842/7 75/pengalaman-murni-kesurupan-kalau-ada-pohon-besar?880004755

Klimo, J. (1998). Channeling: Investigations on receiving information from paranormal sources. California: North Atlantic Books.

Larasati, T. (2012). Jurnal kualitas hidup pada wanita yang sudah memasuki masa menopause.

Moleong, L. (2004). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Monalisa. (2010). Gambaran kualitas hidup pada perempuan lajang lansia. Jakarta: Universitas Kristen Krida Wacana.

Nofitri, N. (2009). Gambaran kualitas hidup penduduk dewasa pada lima wilayah di jakarta. Jakarta: Universitas Indonesia

Nurlailah, N. (2010). Hubungan antara persepsi tentang dampak merokok terhadap kesehatan dengan tipe perilaku merokyarif hidayatullah jakartaok mahasiswa universitas islam negeri s. Jakarta: Universitas Negeri Islam Hidayatullah.

Pieter, Herri Zan, et al. (2010). Pengantar psikologi untuk bidan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

Putrawan, N., & Swadiana, J. (2006). Kesurupan: Membahas tradisi kerauhan di Bali. Denpasar: Majalah Hindu Raditya.

Rubbyana, U. (2012). Hubungan antara strategi koping dengan kualitas hidup pada penderita skizofrenia remisi simptom. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 59-66.

Sari, D. M., & Basri, S. A. (2007). Gambaran kecemasan dan depresi pada siswi yang pernah mengalami kesurupan massal. JPS VoL. 13 No. 02 , 111-125.

Schreurs, A. (2002). Psychotherapy and spirituality: Integrating the spiritual dimension into therapeutic practice. United Kingdom: Jessica Kingsley Publisher.

Shiraev, E., & Levy, D. (2012). Psikologi lintas kultural: Pemikiran kritis dan terapan moderen. Jakarta: Kencana.

Silitonga, R. (2007). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita penyakit parkinson di poliklinik saraf RS dr Kariadi.                    Diakses                    dari

eprints.undip.ac.id/19152/1/ROBERT_SILITONGA.pdf

Spiegel, H. (2007). The neural trance: A new look at hypnosis. Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 387-410.

Springate, L. (2009). Kuda lumping dan fenomena kesurupan massal: Dua studi kasus tentang kesurupan dalam kebudayaan Jawa. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang

Strauss, Anselm; Corbin, Juliet;. (2003). Dasar-dasar penelitian kualitatif (Kamdani ed.). (M. Shodiq, & I. Muttaqien, Trans.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sutrisno, H., Dharmayuda, T., & Rena, R. (2010, Mei). Gambaran kualitas hidup pasien kanker limfoma non hodgkin yang dirawat di RSUP sanglah Denpasar (Studi pendahuluan). J Penyn Dalam, 11.

Swansburg, R. C. (2000). Pengantar kepemimpinan dan manajemen keperawatan untuk perawat klinis. Jakarta: EGC.

Taylor, S., Peplau, L. A., & Sears, D. (2009). Psikologi sosial. (F. Interpratama, Trans.) Jakarta: Prenada Media Group.

167