RESILIENSI PEREMPUAN JANDA NYEROD YANG PERNAH MULIH DEHA
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Cultural Health Psychology, 92-104
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
RESILIENSI PEREMPUAN JANDA NYEROD YANG PERNAH MULIH DEHA Ida Ayu Pradnya Paramitha dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Perkawinan dalam masyarakat Bali erat kaitannya dengan Wangsa yang ada di Bali. Pada perkawinan beda Wangsa, perempuan akan turun Wangsa mengikuti Wangsa suami yang disebut dengan nyerod. Menjalani kehidupan rumah tangga tidak terlepas dari bahtera rumah tangga hingga putusnya pernikahan yang dapat disebabkan karena perceraian maupun kematian suami. Bagi Perempuan berstatus janda nyerod yang kembali ke rumah bajang dan diterima kembali oleh keluarga kandung maka statusnya adalah mulih deha. Individu yang mengalami kegagalan dalam berumah tangga, ada yang mampu melewati situasi yang menekan namun tidak sedikit juga yang sulit melewatinya. Individu yang mampu merespon dengan carayang sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma disebut dengan resiliensi. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini ingin mengetahui resiliensi perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi pada dua orang perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha. Teknik analisis data melalui tiga tahapan, yaitu open coding, axial coding dang selective coding. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi dua kali kondisi menekan, sehingga terjadi delapan fase, yaitu adverse event (nyerod), succumbing, survival, adverse event (kehilangan pasangan hidup, succumbing, survival, recovery,dan thriving.Selain itu, faktor yang mendukung terbentuknya resiliensi berasal dari dalam diri, yaitu motivasi dan harapan, sedangkan faktor dari luar yaitu, anak, keluarga dan lingkungan.
Kata kunci: resiliensi, perempuan janda, nyerod, mulih deha
Abstract
Marriage in Balinese society is closely related to the existing Wangsa in Bali. According to different marriage of Wangsa in Bali, women’s Wangsa will be dropped to follow her husband’s Wangsa which is known as nyerod. Living a family life can’t be separated from household matters that can lead into the end of marriage that can be caused by divorce or death of the husband. For nyerod widow who return back to her bajang house and accepted by the biological family, the status becomes mulih deha. Individuals who have failed in household, some were able to get through stressful situations, but not a little were difficult to pass it. Individuals who are able to respond in a way that is healthy and productive when facing adversity or trauma called resilience. Based on these explanation, this study aim to know the resilience nyerod widow who have hadmulih deha.
This study use qualitative research method with case study approach. Respondents in this study are two persons. The techniques of collecting the data were interviews and observation in two nyerod's widow that already mulih deha. Data analysis techniques through three stages, namely open coding, axial coding and selective coding.
The results of this study indicated there were occurs twice pressing conditions, breakdown into eight phases, namely adverse events (nyerod), succumbing, survival, adverse events (loss of a spouse), succumbing, survival, recovery, and thriving. Besides that some of internal factors that can support resilient are motivation and hope, from external factors are children, family and social.
Keywords: resilience, widow, nyerod, mulih deha
LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan dasar bagi kehidupan, karena melalui perkawinan diharapkan ada keturunan yang akan melanjutkan kehidupan serta menjalankan segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat. Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan berarti membangun sebuah keluarga baru dengan hak dan kewajiban yang baru ditentukan oleh hukum dari keluarga itu sendiri. Menurut Pendit (1995) dalam ajaran agama Hindu, perkawinan adalah salah satu perwujudan masa kehidupan seseorang yang disusun dalam empat jenjang dan disebut dengan “catur asrama”.
Perkawinan dalam hukum adat Bali menurutWindia, dkk (2009)terdapat dua cara dalam melangsungkan perkawinan menurut hukum adat Bali, yaitu (1) perkawinan dengan cara memadik (meminang) merupakan perkawinan yang disepakati dari kedua belah pihak baik itu mempelai maupun keluarga dari kedua mempelai, (2) perkawinan ngerorod merupakan perkawinan yang kurang direstui oleh orang tua salah satu pihak sehingga memilih untuk ngerorod (lari bersama) untuk melangsungkan pernikahan.
Pada zaman dahulu masyarakat Bali yang beragama Hindu tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang berasal dari Wangsa yang berbeda dengan dirinya. Pada perkawinan seorang perempuan memiliki Wangsa yang lebih tinggi daripada laki-laki, maka perempuan itu akan turun Wangsa. Perkawinan ini sangat dihindari oleh masyarakat Bali karena pihak dari keluarga perempuan tidak mengijinkan sang anak untuk menikah dengan laki-laki yang memiliki Wangsa lebih rendah (Maharini, 2013). Akibat dari pernikahan yang tidak direstui, maka perkawinan terjadi secara sembunyi-sembunyi atau disebut dengan ngemaling atau kawin lari sebagai alternatif yang dipilih.
Dalam perkawinan, membangun sebuah rumah tangga harus dilandasi kejujuran dan rasa cinta yang tulus agar perkawinan langgeng. Pada kenyataannya dalam hidup berumah tangga sering terjadi gejolak yang bahkan dapat mengakibatkan putusnya sebuah perkawinan. Menurut Undang-Undang RI. No. 1 Tahun 1974 pasal 38 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Pada hukum adat yang berlaku di Bali, bahwa putusnya sebuah perkawinan karena perceraian khususnya dalam awig-awig desa adat disebut dengan nyapian atau palas perabin (Windia & Sudantra, 2006). Apabila perkawinan putus karena kematian suami, maka istri akan tetap tinggal di lingkungan keluarga suami dengan status sebagai balu (janda) dan tetap menjalankan swadharmaning balu(kewajiban seorang janda).
Perempuan berstatus janda sudah banyak terjadi di Bali. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menyatakan bahwa pada tahun 2007, jumlah perempuan janda sebanyak 153.206 orang. Pada tahun 2008, jumlah perempuan berstatus janda yaitu 140.547 orang dan pada tahun 2009 meningkat dengan jumlah 143.925 orang. Secara spesifik, data perempuan karena perceraian pada tahun 2007 di Bali mencapai 1,72% atau setara 24.703 orang, tahun 2008 menurun menjadi 20.622 orang atau 1,41% dan tahun 2009 mencapai angka 1,28 % atau setara dengan 19.205 orang. Pada perempuan janda karena kematian suami menunjukkan angka yang lebih besar dibanding dengan angka perceraian. Pada tahun 2007 jumlah perempuan janda karena kematian suami sebesar 128.503 orang atau 8,94%, tahun 2008 menurun menjadi 119.925 orang atau 8,22% dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 124,720 atau 8,34% (BPS Prov. Bali, Susenas 2007-2009, Monev). Berdasarkan data diatas terlihat bahwa perempuan dengan status janda karena kematian suami mencapai angka yang jauh lebih besar daripada perempuan yang bercerai.
Menurut Atmaja (2008) perempuan nyerod dengan status janda, akan menghadapi permasalahan, biasanya tidak diizinkan pulang lagi ke rumah bajang. Pada kenyataannya ada perempuan nyerod ketika berstatus janda kembali ke rumah bajang karena di terima kembali oleh keluarga kandungseperti saat masih gadis maka statusnya adalah mulih deha. Menurut Ida Pedanda Gede Wayan Tianyar, meskipun ada perempuan janda nyerod yang kembali ke rumah bajang, namun jumlahnya terbilang masih sedikit karena harus ada persetujuan dari keluarga besar. Ida Pedanda Gede Wayan Tianyar menambahkan, meskipun perempuan janda nyerod kembali ke rumah bajang, akan tetapi statusnya tidak lagi sebagai anak danhanya memiliki hak pasif ketika kembali ke rumahbajang serta hak waris juga hilang.
Pada sebagian perempuan, menyandang status janda menjadi suatu fenomena yang traumatik, memberikan efek melemahkan diri dan kehidupan ketika menjalani kehidupan tanpa pasangan. Pada sebagian perempuan lainnya, kehidupan setelah kehilangan pasangan dapat menjadi suatu media diri untuk berkembang menuju pada kematangan diri, hampir tanpa diiringi oleh munculnya suatu problem psikologis jangka panjang yang dapat menghilangkan kesejahteraan hidup perempuan (Sholichatun, 2009).
Individu yang mengalami kegagalan dalam berumah tangga, ada yang mampu melewati situasi yang menekan namun tidak sedikit juga yang sulit melewatinya. Bagi individu yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya, resiliensi membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, dan bahkan dengan tekanan hebat yang melekat pada masa sekarang (Desmita dalam Anggraeni, 2008).
Individu mengalami proses untuk dapat merespon secara positif dan bangkit dari keterpurukan. Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individuuntuk meresponsecara sehatdan produktifketika menghadapitantang hidup, dan resiliensi sangat pentingdigunakan untuk mengelolastres dalam kehidupan sehari-hari. Grotberg (1999)menyebutkan bahwa terdapat tiga sumber dari resiliensi (three sources of resilience), yakni I have (Aku punya) termasuk didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk mandiri (otonomi); I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak orang, bangga dengan dirinya sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain; I can (Aku dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Menurut O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) terdapat empat kemungkinan yang dapat terjadi ketika individu mengalami kondisi yang menekan, yaitu succumbing, survival, recovery,dan thriving.
Sebagian perempuan menyandang status janda dijadikan sebagai suatu media untuk menuju kematangan diri. Pada sebagian perempuan tidak mudah menyandang status sebagai seorang janda, terlebih bagi perempuan yang pernah melangsungkan perkawinan nyerod, Perkawinan yang awalnya tidak direstui oleh orangtua, akhirnya terjadi bahtera rumah tangga hingga putusnya perkawinan yang dapat terjadi karena perceraian maupun kematian suami. Perempuan janda nyerod sebagian ada yang kembali ke rumah bajang dengan status mulih deha, jika keluarga kandung menerima kembali. Perempuan janda nyerod yang mulih deha ada yang mampu bangkit dari kondisi yang penuh tekanan dan tetap melanjutkan kehidupan, bahkan menjadi pribadi yang lebih baik. Berdasarkan paparan diatas, peneliti tertarik untuk mendapatkan informasi secara mendalam terkait dengan bagaimana resiliensi perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha.
METODE
Tipe penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah (Tohirin, 2012). Penelitian kualitatif bertujuan untuk memperoleh sebuah pemahaman menyeluruh dan utuh mengenai fenomena yang diteliti. Pemahaman menyeluruh atau holistik dimaksudkan agar keseluruhan fenomena yang diteliti perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks dan lebih bermakna daripada penjumlahan bagian-bagian (Poerwandari, 1998).
Pendekatan dalam penelitian kualitatif yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan studi kasus. Desain studi kasus digunakan dalam penelitian ini, sesuai berdasarkan pendapat Yin (2008), bahwa studi kasus digunakan ketika: pertama, dalam konteks penelitian yang khusus, yaitu perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha baik itu akibat perceraian maupun kematian suami, kedua, fokus dari penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”, dimana penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana resiliensi perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha?”, dan ketiga, manipulasi tidak dapat dilakukan terhadap variabel atau perilaku yang dilibatkan dalam penelitian ini. Hal ini bertujuan agar peneliti mendapatkan hasil yang natural berdasarkan pendapat, cara pandang dan tingkah lakuresponden penelitian dan juga informan.
Karakteristik responden
Penelitian ini menggunakan dua orang perempuan yang pernah memiliki status janda yang pernah melakukan pernikahan nyerod, kemudian karena sesuatu hal kembali kerumah bajangataumulih deha. Adapun beberapa faktor yang membedakan kedua responden penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 1.
Karakteristik responden
Indikator pembeda |
Responden pertama |
Responden kedua |
Inisial |
Responden Dw |
Responden DN |
Usia |
26 Tahini |
48 Tahun |
JVatigsa awal |
Ksatria |
Brahmana |
Penyebab janda |
Perceraian |
Kematian suami |
Pendidikan terakhir |
SMA |
PGAH |
Usia saat pernikahan pertama |
19 Tahmi |
25 Tahun |
Alasan pernikahan |
Tanpa cinta |
Cinta |
Usia pernikahan |
1 Tahun |
12 Tahun |
Usia saat menjanda |
20 Tahun |
37 Tahun |
Larna waktu menjanda |
4 Tahun |
7 ahiui |
Usia saat menikah lagi |
24 Tahini |
44 tahun |
Frekuensi mulih deha |
2 |
1 |
Lokasi pengumpulan data
Penelitian ini mengambil lokasi yang berdekatan yaitu di Sidemen, Karangasem. Tempat tinggal kedua responden berdekatan sekitar kurang lebih 5 km, tetapi kedua responden berbeda banjar. Responden pertama berinisial Dw menyandang status janda nyerod yang pernah mulih dehakarena bercerai. Saat iniresponden tinggal bersama keluarga besar dan anak perempuan responden.
Responden kedua berinisial DN yaitu perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha karena kematian suami tinggal bersama keluarga besar saat mulih deha dan membuka usaha salon di rumah bajang yang berada tepat di depan rumah. Responden menikah lagi, kemudian tinggal di Klungkung, akan tetapi tempat usaha salon dan anak responden tetap di rumah bajang.
Teknik pengambilan data
Pengumpulan data dengan wawancara
Dalam penelitian ini, peneliti memilih jenis wawancara mendalam (in-depth interview) serta wawancara semi terstruktur untuk memperoleh data dari responden penelitian. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk memperoleh data secara mendalam dan detail dari partisipan sehingga data yang diperoleh semakin kaya serta untuk menggali lebih lanjut terkait dengan data–data yang telah disampaikan oleh partisipan yang dianggap menarik serta merupakan suatu jawaban baru yang bahkan bisa kontradiktif terhadap permasalahan yang dikemukakan. Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur agar memudahkan peneliti dalam melakukan proses wawancara karena tidak bersifat kaku serta akan memperoleh data yang mendalam. Tipe wawancara semi terstruktur adalah jenis wawancara yang masuk ke dalam kategori in-dept interview (Kaelan, 2012). Wawancara ini dilakukan secara individual karena hanya melibatkan peneliti dan responden penelitian selama proses wawancara.
Proses wawancara dengan responden Dw berlangsung dari bulan April sampai November 2014. Waktu untuk proses wawancara menyesuaikan dengan kegiatan dan kondisi responden. Peneliti melakukan proses wawancara dengan responden Dw sebanyak lima kali dan satu kali wawancara pada setiap informan. Pada responden DN, proses wawancara berlansung dari bulan April 2013 hingga bulan agustus 2014. Wawancara dengan responden DN dilakukan sebanyak empat kali, dan wawancara dengan informan dilakukan satu kali pada setiap informan. Hasil wawancara pada kedua responden kemudian ditulis dalam bentuk verbatim dan fieldnote wawancara penelitian.
Tabel 2.
Pelaksanaan wawancara
Pelaksanaan w awancara |
Tanggal wawancara |
Reponden Dw |
9 April 2014 23 April 2014 15 Juni 2014 1 Agustus 2014 3 November 2014 |
Informan AD (VIIfoDw 01) |
1 Agustus 2014 |
Informan ID (VIIfoDwOl) |
23 April 2014 |
Responden DX |
5 April 2013 8 Desember 2013 24 April 2014 |
Informan DU (VIIfoDNOl) |
17 Juli 2014 |
Informn DP (VIIfoDNOl) |
1 Agustus 2014 |
Informan DR (VIIfoDN03) |
18 Agustus 2014 |
Pengumpulan data dengan observasi
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan observasi nonpartisipan yang bersifat tertutup yaitu observasi yang dilakukan tidak diketahui oleh responden, sehingga meminimalisir munculnya tingkah laku yang berbeda atau dibuat-buat dari responden penelitian. Pada penelitian ini, peneliti melakukan observasi saat proses wawancara dan
mengobservasi setiap tingkah laku yang dimunculkan oleh partisipan pada situasi tertentu. Hal-hal yang akan diobservasi oleh peneliti meliputisetting lokasi, penampilan fisik, sikap responden terhadap peneliti, sikap responden selama wawancara, ekspresi wajah responden selama wawancara ataupun saat berinteraksi dengan orang lain.Adapun lembar observasi yang telah disusun peneliti dapat dilihat pada bagian lampiran.
Pelaksanaan observasi pada kedua responden dilakukan dengan cara yang berbeda. Pada responden Dwproses observasi dilaksanakan ketika proses wawancara berlangsung dan memberikan responden Dw sebuah buku tulis yang digunakan responden menulis kegiatan, hal yang dirasakan serta interaksi dengan keluarga. Pada responden DN, peneliti melakukan observasi selama responden bekerja di salon. Observasi dilaksanakan tanpa sepengetahuan responden, sehingga perilaku yang dimunculkan apa adanya dan tidak di buat-buat. Hasil observasi kemudian dicatat ke dalam fieldnote observasi penelitian dan disajikan dalam bentuk narasi.
Tabel 3.
Pelaksanaan observasi
Responden |
Tanggal Observasi |
Responden Dw |
10 Agustus 2014 17 Agustus 2014 |
Responden DN |
5 April 2013 8 September 2013 8 Desember 2013 13 Juli 2014 17 Juli 2014 |
Analisis data
Analisis yang digunakan yaitu model analisis data dikembangkan olehStrauss dan Corbin (2003), terdiri dari tiga tahapan dalam melakukan pengkodean, yaitu open coding, axial coding dan selective coding.
Proses open coding, merupakan tahap awal dalam pemberian kode-kode data yang telah terkumpulkan. Pemberian label ini berdasarkan hasil dari wawancara dan observasi, kemudian dilakukan pengkategorian yaitu proses pengelompokan konsep yang sementara dianggap berhubungan dengan fenomena yang sama. Dilanjutkan dengan pemberian nama terhadap kategori-kategori yang telah ditemukan sebelumnya, agar dapat mengingat, membahas dan mengembangkan secara analitik.
Proses axial coding, merupakan prosedur untuk mengatur data kembali secara bersama-sama menggunakan cara-cara yang baru dengan membuat hubungan diantara kategori dan subkategori.
Proses selective coding, pada tahap ini proses pemilihan kategori inti berupa pengaitan kategori inti terhadap kategori lainnya secara sistematis, pengabsahan hubungannya, dan mengganti kategori yang perlu diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut.
Teknik Pemantapan kredibilitas data penelitian
Sugiyono (2012) menyatakan bahwa uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan enam cara, tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan empat teknik yaitu: ketekunan atau keajegan pengamatan, triangulasi (sumber, metode, peneliti, teori), Diskusi rekan sejawat dan kecukupan referensi.
Isu etika penelitian
Adapun beberapa isu-isu etis yang terkait dengan proses pengambilan data agar penelitian dapat berlangsung dengan baik dan tidak merugikan responden penelitian, yaitu meminta persetujuan individu untuk menjadi responden dan informan penelitian untuk memberikan informasi dalam proses pengambilan data; menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan responden kepada peneliti. Identitas responden dan informan berupa nama responden menggunakan inisial; tidak merugikan atau membahayakan responden penelitian dan informan penelitian atas data yang telah dan akan diberikan; menjaga atau menyimpan rekaman hasil wawancara; responden memiliki hak untuk mundur di tengah-tengah penelitian; pemberian imbalan berupa materi maupun nonmateri selama proses pengambilan data.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan desain penelitian yang menggunakan studi, maka hasil penelitian akan dipaparkan secara terpisah tiap kasus responden. Setiap kalimat yang dipaparkan pada bagian hasil penelitian merupakan fakta yang terbentuk dari rangkaian kode-kode hasil pengumpulan data yang telah melalui tahapan dalam analisis data.
Resiliensi perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha
Pra-Pernikahan
Perkenalan awal responden dengan suami pertama diawali oleh suami pertama yang menelepon bermaksud mengajak untuk bertemu membicarakan mengenai pacar responden. Awalnya, responden memiliki pacar yang merupakan teman dari suami responden. Usai pertemuan, responden memiliki keinginan untuk terus bertemu dan
menelepon suami tanpa didasari sebab yang jelas. Selama menjalin hubungan dengan suami, responden tidak menyadari secara penuh hubungan yang terjalin dan aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan dengan suami saat berstatus pacaran.
Pernikahan
Suami responden menanyakan kesediaan responden untuk menikah ketika responden berada di rumah suami dan takut untuk pulang ke rumah. Reaksi ibu responden langsung lemas dan tidak bisa berkata-kata saat mengetahui responden telah menikah karena saat pernikahan umur responden masih sangat muda sehingga belum dapat membedakan baik dan buruk. Reaksi ayah responden lebih memperlihatkan perasaan marah karena melaksanakan pernikahan nyerod dan tidak mengetahui laki-laki yang menjadi suami responden sehingga responden pernah tidak diakui sebagai anak lagi.
Selain itu, saudara-saudara responden juga merasa kaget dan tidak percaya sehingga berinisiatif untuk mendatangkan paranormal asal banyuwangi untuk bertemu dengan ayah responden. Hasil penerawangan yang dikatakan paranormal bahwa responden menikah bukan atas dasar keinginan sendiri, tetapi karena ada sesuatu yang menyebabkan responden akhirnya menikah.Pernikahan responden yang dilakukan secara mendadak juga mengakibatkan beredarnya gosip negatif di lingkungan sekitar rumah asal responden yang mengatakan bahwa responden sedang hamil.
Hubungan responden dengan ibu responden membaik ketika responden hamil usia tiga bulan kandungan. Ibu responden menjenguk secara diam-diam dan membawakan responden makanan.
Pasca Pernikahan
Hubungan responden dengan keluarga kandung setelah pernikahan, awalnya sempat renggang hingga putus kontak. Perasaan sayang ibu kandung begitu besar kepada responden membuat ibu kandung memberanikan diri mengunjungi responden tanpa sepengetahuan ayah kandung. Keluarga kandung akhirnya menerima responden dengan suami dan mengajak untuk tinggal bersama. Orangtua kandung merasa kasihan kepada responden dan suami melihat kondisi ekonomi yang rendah, sehingga orangtua responden membantu dengan menyediakan fasilitas yang diminta oleh suami responden seperti dana untuk membuka usaha.
Responden sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari suami responden, seperti tidak pernah mengantarkan responden melakukan pemeriksaan kehamilan, jarang berada dirumah, dan tidak pernah memberikan nafkah karena suami responden tidak memiliki pekerjaan. Suami responden juga mengambil semua uang tabungan pensiun ayah responden yang ada di ATM dan tersisa hanya lima puluh ribu rupiah. Usai mengambil semua uang pensiunan ayah responden,
suami responden meminta izin untuk pulang ke rumah asal karena ada upacara adat, namunsuami responden langsung menghilang tanpa kabar.
Hubungan responden dengan mertua juga kurang baik, seperti tidak peduli atas kehadiran responden dan membicarakan yang tidak benar tentang responden. Responden berpikir bahwa keluarga suami bersikap tidak peduli karena belum mengenal baik responden. Seiring berjalannya waktu keluarga suami tidak menunjukkan sikap baik terhadap responden sehingga merasa seperti tamu yang tidak diundang. Mertua menunjukkan sikap tidak setuju terhadap pernikahan anaknya dengan responden. Hal itu ditunjukkan dari perilaku yang suka melihat responden dengan pandangan sinis.
Kondisi Penuh Stres
Suami responden pergi tanpa kabar selama enam bulan membawa semua uang tabungan ayah responden. Selama suami menghilang, status responden menjadi tidak jelas. Suami responden menghilang tanpa kabar menyebabkan suasana hati responden menjadi tidak menentu, seperti ingin bertemu dengan suami, akan tetapi keinginan tersebut tidak dapat terwujud. Selama menghilang, suami responden meninggalkan sejumlah hutang kepada beberapa orang dan mereka mengikhlaskan hutang dari suami responden karena mengetahui kondisi responden. Hanya saja bank keliling terus menagih hutang yang dipinjamkan oleh suami responden sehingga membuat responden merasa takut keluar rumah. Responden sampai mengunci semua pintu yang ada dirumah ketika mendengar suara motor karena berpikir bank keliling yang datang untuk menagih hutang. Ayah kandung yang tidak tega melihat kondisi responden yang mengalami perasaan takut, akhirnya memutuskan untuk meminjam uang di bank BRI agar hutang di bank keliling bisa dilunasi. Responden akhirnya memutuskan untuk bekerja dan melunasi semua hutang di Bank BRI agar ayah bisa fokus membiayai sekolah adik-adik responden.
Responden membulatkan tekad untuk bercerai karena mengetahui suami menghilang bersama dengan seorang perempuan. Selain itu suami tidak bertanggungjawab terhadap keluarga. Selama menyandang status janda, responden banyak mendapatkan perlakuan negatif terutama dari lingkungan sekitar rumah asal responden. Responden dianggap sebagai perempuan murahan yang mau dengan semua laki-laki. Laki-laki lansia tersebut menawarkan responden untuk menjadi istri kedua, akan tetapi responden tidak menerima permintaan laki-laki lansia tersebut.
Akibat dari perlakuan negatif orang-orang disekitar rumah, responden memilih untuk tidak keluar rumah. Selain itu, akibat perlakuan negatif membuat responden sempat memiliki keinginan untuk bunuh diri. Responden akan melakukan bunuh diri di Desa Tabola. Responden akan
melakukan bunuh diri bersama anak responden yang masih bayi.
Adaptasi
Ayah responden datang ke Balian tempat dimana suami responden membeli alat guna-guna dengan cara berpura-pura membeli alat guna-guna yang sama untuk memikat hati seorang perempuan yang disukai. Ayah merasa kaget ketika Balian mengatakan alat yang diberikan sudah terbukti oleh perempuan asal Sidemen karena orang yang dikatakan Balian adalah responden. Ayah langsung bereaksi dengan menginjak dan mencekek Balian sembari meminta obat kepada Balian agar responden bisa sembuh dari guna-guna. Obat yang diberikan oleh Balian berupa telur ayam.
Responden setelah sembuh dari guna-guna tidak mengingat hal-hal yang pernah dipelajari dan ketika berusaha mengingat kembali hal-hal yang dipelajari dahulu, membuat kepala menjadi sangat sakit. Responden mengalami kondisi seperti ini selama dua bulan setelah sembuh dari guna-guna.Responden menjadi sadar terhadap diri, sadar telah memiliki anak dan responden juga sudah bisa bekerja.Kondisi ekonomi yang sulit pada saat itu, membuat responden membulatkan tekad untuk mencari pekerjaan di Kota. Responden meninggalkan anak yang pada saat itu berusia dua tahun untuk bekerja di sebuah restaurant daerah Kuta. Responden bertemu dengan laki-laki ditempat kerja dan menjalin hubungan yang lebih serius yang sebelumnya telah meminta izin kepada orangtua.
Pernikahan Kedua
Responden dan calon suami akhirnya melanjutkan hubungan kejenjang yang lebih serius. Selama menjalani hubungan pernikahan, responden merasakan kebahagiaan. Keluarga dari suami kedua menerima keberadaan responden menjadi anggota baru dan responden merasa disayang dan dimanja oleh keluarga suami kedua, seperti tidak diizinkan bekerja dan diminta untuk tinggal dirumah saja dan apapun yang diinginkan pasti akan diberikan oleh keluarga suami kedua.
Kondisi Penuh Stres
Penyakit suami kedua diketahui kanker setelah stadium akhir kemudian menjalani pengobatan kemoterapi, namun akhirnya suami kedua responden meninggal dunia. Selama suami kedua sakit, kondisi responden semakin hari semakin menurun. Ayah kandung berinisiatif membawa responden kerumah asal untuk dirawat yang sebelumnya meminta izin kepada keluarga suami. Namun, setelah responden kembali kerumah keluarga suami, responden mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari keluarga suami karena menganggap responden meninggalkan suami yang sedang sakit.Responden merasakan sakit hati dengan
perlakuan keluarga suami kedua responden karena dijauhkan dari anak kedua dan tidak diizinkan untuk memegang anak kedua hasil pernikahan dengan almarhum suami. Anak kedua responden akhirnya tinggal bersama keluarga almarhum suami kedua dan responden tidak diizinkan membawa anak kedua.
Kondisi Pasca Kejadian Penuh Stres
Paman almarhum suami menyarankan responden agar kembali ke rumah bajangdaripada tetap tinggal dengan keluarga alamarhum suami dengan perlakuan yang negatif. Responden menerima masukan dari paman almarhum suami dan memutuskan untuk mulih deha.
Saat ini, responden merasa bersalah karena responden menjadi penyebab kesedihan orang-orang terdekat responden. Responden juga tidak bisa membantu keluarga kandung terutama orangtua dalam hal ekonomi karena responden saat ini belum juga bekerja. Responden merasa bersalah kepada kedua orangtua karena sampai saat ini responden sudah dewasa, tetapi masih saja meminta kepada orangtua. Responden juga merasa bersalah dan amat sedih karena responden selalu memikirkan keadaan anak kedua yang tinggal bersama keluarga almarhum suami. Responden memiliki rencana bersama ayah responden membuka sebuah kelompok sejenis LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang bergerak di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan berupa pengobatan dengan akupuntur dan pemberian sosialisasi mengenai pendidikan seks kepada masyarakat yang akan diberikan secara gratis kepada masyarakat lokal.
Responden setelah menikah mendapatkan pelajaran dari pernikahan pertama dan kedua. Responden menyadari, bahwa saat menikah responden tidak hanya menikah dengan sang suami akan tetapi dengan keluarga besar kedua belah pihak. Responden juga mulai belajar untuk berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Responden bisa bersandiwara di depan orang lain mengenai perasaan yang dirasakan. Hasil dari pelajaran hidup yang didapat, pikiran responden menjadi berubah bahwa ketika menghadapi suatu permasalahan tidak boleh terus terpuruk agar dapat melanjutkan hidup yang lebih baik.
2. Responden DN
Resiliensi perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha
Pra-pernikahan
Awal perkenalan responden berawal ketika mengikuti kursus salon. Responden mengenal suami pertama karena tempat kursus salon tersebut adalah milik suami pertama. Kursus salon dijalani selama tiga bulan, saat itu suami pertama menyukai responden dan memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran selama dua bulan. Responden merasa senang menjalin hubungan berpacaran dengan suami pertama. Hal itu dikarenakan responden dan suami pertama memiliki profesi yang sama sehingga merasa cocok karena memiliki kegemaran yang sama.
Pernikahan
Responden dan suami pertama melangsungkan pernikahan dengan cara kawin lari karena orangtua tidak menyetujui pernikahan sehingga responden tidak meminta restu kepada orangtua. Responden merasakan perasaan senang setelah melangsungkan pernikahan dengan suami pertama dan menganggap bahwa pernikahan terjadi memang karena berjodoh dengan suami pertama sehingga responden nyaman menjalani kehidupan rumah tangga dengan suami pertama.
Pasca pernikahan
Responden setelah menikah awalnya merasa kaget dengan perbedaan adat yang selama ini dianut oleh responden. Responden melakukan proses adaptasi dengan melihat dan meniru adat yang dilaksanakan oleh keluarga suami pertama. Awal pernikahan keluarga kandung responden merasa terkejut dan sedih terhadap pernikahan yang dilakukan responden dengan suami pertama dan sempat tidak diizinkan pulang ke rumah oleh keluarga karena melangsungkan pernikahan nyerod. Responden bertemu dengan keluarga kandung setelah usia pernikahan dua tahun. Responden bertemu dengan keluarga kandung ketika responden menjenguk paman yang sedang dirawat di rumah sakit.
Kondisi penuh stres
Suami responden meninggal secara mendadak karena penyakit jantung. Responden belum kuat menerima kenyataan suami telah meninggal dunia. Beberapa bulan responden masih terus menangis, ketika melihat pakaian dan foto suami responden langsung menangis. Responden sampai tidak membuka usaha salon selama satu bulan karena masih larut dalam kesedihan setelah suami meninggal. Usaha salon dibuka setelah satu bulan kematian suami, namun responden hanya duduk dan memperhatikan pegawai yang sedan bekerja.
Keluarga responden secara perlahan-lahan mulai menunjukkan sikap yang berbeda dan responden merasa tertekan tinggal bersama keluarga almarhum suami. Keluarga almarhum suami selalu berpikiran negatif kepada responden
karena menyandang status janda. Responden setiap melakukan sesuatu hal, pasti dianggap salah oleh keluarga almarhum suami. Responden merasakan perasaan tidak nyaman karena sikap keluarga almarhum suami yang membuat ruang gerak responden menjadi sempit sehingga responden memiliki pemikiran untuk mulih deha.
Adaptasi
Responden mulai menerima kenyataan suami meninggal dengan menguatkan diri sendiri. Responden mulai berpikir bahwa semua orang pasti akan meninggal dan mungkin suami responden sudah saatnya harus meninggal dunia. Responden mulai menerima kematian suami sekitar tiga tahun setelah kematian suami.
Responden selama tinggal bersama keluarga almarhum suami, merasa tertekan sehingga responden semakin yakin memutuskan untuk mulih deha.Responden merasa aman dan nyaman setelah pulang ke rumah gadis karena tinggal bersama keluarga kandung dan memutuskan memutuskan membuka usaha salon. Responden setelah pulang ke rumah bajang, menjalin hubungan baik dengan keluarga almarhum suami, seperti tetap menghubungi anak responden untuk menanyakan kabar, hal itu dilakukan untuk menjaga silaturahmi. Komunikasi responden dan keluarga almarhum suami hanya dilakukan melalui telepon saja.
Responden pertama kali kenal dengan calon suami kedua dari usaha salon milik responden. Calon suami kedua merupakan pelanggan salon yang saat itu sedang bertugas di tiga kecamatan dekat dengan rumah responden. Calon suami kedua masih memiliki seorang istri yang sedang sakit dan akhirnya meninggal dunia.Responden sudah mulai bisa membuka hati untuk orang lain, sehingga tidak ada perasaan takut ketika akan menjalin hubungan dengan calon suami kedua. Responden juga sudah merasa ikhlas dan berani menjalin hubungan dengan orang baru setelah tujuh tahun kematian suami pertama
Pernikahan kedua
Responden karena terikat adat sehingga perlu seorang laki-laki yang bertanggungjawab terhadap responden kelak ketika responden sudah tua dan meninggal sehingga responden memutuskan untuk menikah.
Hubungan responden dengan keluarga suami kedua sangat baik. Keluarga dari suami kedua sering berkunjung ke rumah responden sebelum melangsungkan pernikahan. Responden juga menjalin hubungan baik dengan anak-anak suami kedua dari pernikahan dengan istri pertama.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh setiap responden melewati proses melalui beberapa fase hingga mampu melewati kondisi yang menekan. Menurut O ’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) terdapat empat kemungkinan yang dapat terjadi ketika individu mengalami kondisi yang menekan, yaitu, succumbing(mengalah), survival(bertahan), recovery(pulih)dan thriving(berkembang dengan pesat). Pada penelitian ini, perempuan janda nyerod yang mulih deha karena bercerai maupun kematian suami melewati delapan tahapan yang berbeda dari yang dikemukakan oleh O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998). Pada delapan tahapan yang dilalui untuk mampu bangkit dari kondisi menekanpada perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha,terdapat beberapa perbedaan dinamika yang akan dipaparkan sejalan dalam pembahasan hasil penelitian ini.
deha
1. Dinamika muncul kondisi menekan (nyerod) pada perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha
Resiliensi Perempuan janda nyerod yang pernahmulih
Berpacaran (dating) dikenal sebagai bentuk keintiman antara laki-laki dan perempuan (Ardhianita & Andayani, 2005). Menurut Ardhianita dan Andayani (2005), pacaran memiliki andil yang besar dalam terwujudnya kepuasan pernikahan. Penelitian ini mengkaji dua perempuan dengan latarbelakang menjalin keintiman yang berbeda sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, yaitu berpacaran dan tidak berpacaran. Pada perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena perceraian, sebelum menuju pernikahan tidak ada komitmen untuk berpacaran dan saat pernikahan terjadi secara mendadak. Pada perempuan jandanyerod yang pernah mulih deha karena kematian suami berkomitmen untuk berpacaran dan menjalani hubungan berpacaran selama tiga bulan.
Pada masyarakat Bali khususnya beragama Hindu, perkawinan berbeda Wangsamasih sangat dihindari. Cara melangsungkan perkawinan menurut hukum adat Bali, salah satunya perkawinan ngerorod merupakan perkawinan yang kurang direstui oleh orang tua salah satu pihak sehingga memilih untuk ngerorod (lari bersama) untuk melangsungkan pernikahan (Windia, dkk., 2009). Pada penelitian ini, kedua perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha melangsungkan pernikahan dengan cara kawin lari karena melangsungkan perkawinan nyerod, tanpa adanya restu dari orangtua. Perkawinan nyerod mengakibatkan renggangnya hubungan yang terjalin antara pihak perempuan dengan keluarga kandung.
Tabel 4.
Dinainika muncul kondisi menekan (nyerod) pada perempuan janda inerodyang peimahmnfiA (Ieha
Dinamika
Komimien
Alasan menikah
Cara melangsungkan pernikahan
Nyerod
Perempuan janda Jtyerod yang Perempuan janda Jtyerod yang
peruah tindih delta karena bercerai
Tanpa ada komitmen berpacaran Tidak didasari atas cinta
Kawinlari
pernah Ittttlih delta karena ke matian suami
Ada komitmen berpacaran
Didasari atas cinta
Kawin lari
Tanpa restu orangtua
Tanpa restu orangtua
-
2. Dinamika mengalahpada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha
Menurut O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) mengatakan bahwa succumbing digambarkan sebagai sikap mengalah atau menyerah terhadap tekanan hidup yang terjadi pada diri individu. Tahapan ini dapat terjadi ketika individu mengalami tantangan hidup yang terlalu besar. Pada penelitian ini, perempuan yang melangsungkan perkawinan nyerod merasa bahwa keputusan untuk menikah nyerod memang sudah menjadi nasib yang harus dijalani, meskipun hubungan dengan orangtua menjadi tidak baik. Orangtua perempuan janda nyerod karena bercerai merasakan perasaan marah, kecewa sampai sempat tidak menganggap anak karena melangsungkan perkawinan nyerod. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh orangtua perempuan janda nyerodkarena kematian suami yang sempat tidak mengizinkan untuk datang ke rumah bajang.
Menurut Hurlock (2006), menjaga hubungan baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan
ipar perempuan, memungkinkan menimbulkan percekcokan dan ketegangan diantara keluarga. Pada penelitian ini, perempuan janda nyerod karena perceraian memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga suami, hal itu ditunjukkan dari sikap keluarga suami yang tidak ramah. Perempuan janda nyerod karena kematian suami justru diterima dengan baik dan memiliki hubungan yang baik dengan keluarga suami.
Tabel j.
Dinamika Iiieiigalalipada perempuan jauda ιtyeτodyang pernabwn∕⅛ delta
Dinamika |
Perempuan jauda Ttyerod yang pernah Mtulih delta karena bercerai |
Perempuan janda uyerod yang pernah JttuIili deha karena ke matian suami |
Sikap orangtua Sikap keluarga suami |
Maralr kecewa, tidak diakui sebagai anak. Tidakramah |
Kecewa, sedih, marak tidak diizinkan pulang ke rumah bajang. Menerima dengan baik |
-
3. Dinamika bertahan dalam kondisi menekan pada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha
Menurut O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) mengatakan bahwa pada tahap bertahan (survival) ini individu mampu bertahan dari kondisi yang menekan. Akan tetapi, beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran, seperti mengalami perasaan-perasaan negatif, dan perilaku-perilaku negatif. Efek dari pengalaman yang menekan membuat individu gagal untuk kembali berfungsi secara wajar (recovery).Individu pada kondisi ini dapat mengalami perasaan, perilaku, dan berpikir negatif berkepanjangan seperti, menarik diri, berkurangnya kepuasan kerja, dan depresi. Pada penelitian ini, perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha baik itu karena perceraian maupun kematian suami memilih untuk mempertahankan pernikahan meskipun hubungan dengan orangtua menjadi renggang.
Menurut Papalia, Olds dan Feldman, (2009) kebahagiaan pernikahan secara positif dipengaruhi oleh peningkatan sumber daya ekonomi, kesetaraan pengambilan keputusan, sikap gender yang nontradisional, dan dukungan terhadap norma pernikahan yang langgeng. Pada penelitian ini, perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena kematian suami merasakan perasaan bahagia selama pernikahan yang dijalani karena diawal hubungan didasari atas cinta dan mencari nafkah dilakukan secara bersama-sama dengan membuka usaha salon. Lebih lanjut Papalia, Olds dan Feldman, (2009) kebahagiaan pernikahan secara negatif dipengaruhi oleh tinggal bersama sebelum menikah, perselingkungan diluar pernikahan, tuntutan pekerjaan istri, dan jam kerja istri yang panjang. Perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena bercerai, memutuskan untuk mengakhiri kehidupan berumah tangga karena suami melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain dan suami menunjukkan sikap yang tidak bertanggungjawab terhadap keluarga.
Tabel 6.
Diuamika bertahan dalam kondisi menekan pada perempuan janda nyerodyang peruahmwΛ'Λ delta
Dinamika |
Perempuan janda Ityerod yang pernah Iititlih deha karena bercerai |
Perempuan janda nyerod yang pernah MiiiIih deha karena kematian suami |
Koniitmen dalam pernikahan Emosi |
Benahan Sakit hati dan sedih |
Bertahan Bahagia terhadap pernikahan |
-
4. Dinamika muncul kondisi menekan (kehilangan pasangan hidup) pada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha
Menurut Robertson (2012), risk factors pada dasarnya terkait dengan berbagai permasalahan kehidupan yang dapat menyebabkan gejala atau gangguan kesehatan mental yang lebih serius dan dapat mengganggu kualitas hidup. Risk factors yang dialami perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena bercerai sudah dirasakan selama menjalani kehidupan berumah tangga, seperti tidak memberikan nafkah dan jarang berada di rumah. Selain itu, perselingkuhan menjadi salah satu faktor yang menguatkan tekad perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha untuk bercerai. Sedangkan, risk factors yang dialami perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena kematian suami yaitu saat suami meninggal dunia secara mendadak yang mengakibatkan terganggunya rutinitas sehari-hari sampai mengganggu kesehatan.
Hurlock (2006) mengatakan bahwa individu yang menikah karena terpaksa, memiliki kemungkinan bercerai jauh lebih besar dibandingkan dengan orang biasa. Pada penelitian ini, perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena bercerai saat mengambil keputusan untuk menikah tidak didasari perasaan cinta yang saat itu berada di bawah pengaruh guna-guna. Berbeda dengan perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena kematian suami, pernikahan bisa terjadi karena memiliki perasaan saling suka.
-
5. Dinamika menyerahpada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha
Salah satu aspek yang disebutkan oleh Reivich dan Shatte(2002) yaitu pengendalian emosi (emotion regulation) merupakan kemampuan seseorang tetap berada pada keadaan tenang dan terkendali meskipun berada pada kondisi yang menekan. Individu yang kurang mampu meregulasi emosi dengan baik, akan cenderung tidak mampu dalam membina persahabatan dan mengalami kesulitan dalam bekerja karena individu akan lebih cenderung mengatasi konflik dengan cara emosional.Pada penelitian ini, perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha karena bercerai merasakan perasaan marah dan kecewa karena suami tidak bertanggungjawab dan merasa bahwa suami telah menghancurkan hidupnya. Pada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha karena kematian suami merasa sangat sedih dan beberapa kali pingsan. Kehidupan rumah tangga yang bahagia, namun secara tiba-tiba suami meninggal membuat perempuan janda merasa kaget dan sulit
menerima kenyataan. Pasca kehilangan pasangan perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha karena bercerai kembali ke rumahbajang dengan status mulih deha. Pada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha karena kematian suami masih tetap tinggal bersama keluarga almarhum suami dengan menyandang status janda.
Menurut Hurlock (2006), salah satu permasalahan yang dihadapi perempuan janda yaitu masalah sosial. Menyandang status janda menyebabkan keberadaan di dalam masyarakat akan tersisihkan, karena kehidupan sosial pada perempuan janda hanya terbatas pada sanak saudara dan teman terdekat saja (Hurlock, 2006), Pada perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena berceraimenyandang status janda menjadikan beban tersendiri. Banyak perkataan negatif yang diterima, seperti perempuan murahan dan perempuan kesepian. Perbuatan negatif yang terus diterima dari lingkungan membuat perempuan janda memiliki keinginan untuk bunuh diri bersama anak dengan cara terjun ke dalam sungai. Pada perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena kematian suami mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari keluarga almarhum suami, seperti perasaan tidak nyaman, tidak bebas dan setiap hal yang dilakukan selalu dipandang salah sehingga memutuskan untuk kembali ke rumah bajang dengan status mulih deha.
Tabel 7.
Dinamika meUyeralipada perempuan janda Ityerod yang pernahwfr√rΛ deha
Dinamika
Kondisi psikologis
Pasca kehilangan pasangan
Akibat konflik sosial
Perempuau janda IHvrorfPerempuanjandanreroifyang yang pernah Minlih deha yang pernah m alih deha karena
bercerai
Marah dan kecewa
Mulih deha Keinginan bunuh diri
kemarian suami
Sedili beberapa kali pingsan Tinggal bersama keluarga suami Mulih deha
-
6. Dinamika bertahanpada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha
Menurut O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) mengatakan bahwa pada tahap bertahan (survival),individu mampu bertahan dari kondisi yang menekan. Akan tetapi, beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran, seperti mengalami perasaan-perasaan negatif, dan perilaku-perilaku negatif. Perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena bercerai dan kematian suami mampu bertahan dari kondisi traumatik yang dialami, namun mengalami beberapa kemunduran dalam fungsi psikologis.
Pada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha karena bercerai mengalami perasaan-perasaan negatif, seperti tidak percaya diri, perasaan bersalah kepada orangtua,perasaan marah dengan mantan suami dan mengalami perilaku-perilaku negatif, seperti mengurung diri dirumah. Perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha juga mengalami perasaan dan perilaku negatif, seperti rasa sedih hingga nafsu makan menurun dan tidak melaksanakan aktivitas sehari-hari.
-
7. Dinamika pemulihanpada perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha
Individu yang bahagia dalam pernikahan akan cenderung bereaksi lebih negatif dan beradaptasi lebih lambat terhadap kehilangan pasangan hidup (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Papalia, Old dan Feldman (2009), perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena perceraian, beradaptasi dengan kondisi yang tidak menyenangkan selama kurang lebih tiga bulan. Perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha yang baru saja sembuh dari guna-guna mulai mengulang kembali mengingat hal-hal yang telah dipelajari, seperti belajar bahasa inggris dan mengoperasian handphone.
Ketika individu berada pada kondisi berbahaya, mengancam, atau menantang muncul cara berpikir yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan stres yang disebut dengan coping (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) teradpat dua macam strategi coping, yaitu problem-focused coping yang ditujukan untuk menghilangkan, mengatur, atau memperbaiki situasi yang menyebabkan stresdan emotion-focused coping yang ditujukan untuk mengatur respon emosional pada situasi penyebab stres untuk mengurangi dampak fisik dan sosial.
Pada perempuan janda nyerod yang mulih deha karena bercerai mengembangkan strategi coping yang berfokus pada masalah. Perempuan janda nyerod yang mulih deha karena bercerai, awalnya mengalami kesulitan ekonomi karena suami meninggalkan sejumlah hutang yang harus dilunasi sehingga memutuskan untuk bekerja agar dapat melunasi hutang dan membiayai anak sekolah, meskipunharus berpisah dengan anak.
Perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena kematian suami lebih mengembangkan strategi coping yang berfokus pada emosi. Hal ini ditunjukkansetelah beberapa lama terpuruk karena kehilangan suami, perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha mulai mengalihkan perhatian dari kenyataan dengan terus berpikir bahwa semua yang terjadi adalah takdir. Perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha membuka usaha salon agar dapat membiayai kebutuhan anak dan tidak tergantung kepada orangtua kandung.
Robertson (2012) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan faktor pelindung yang utama. Hal ini sejalan dengan kondisi yang dialami perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena bercerai maupun kematian suami mampu beradaptasi dengan kondisi menekan tidak terlepas dari dukungan dari orang-orang sekitar. Menurut Grotberg (1999) menyatakan bahwa terdapat tiga sumber dari resiliensi, yaitu :
TabtlS.
Sumber-sumber I esiliensipada perempuan janda TtyeroH yang peinahmrftf delta
Indnidu ________JJw_______________I Have_______________I Cait_______
Perempuan Merasa tidak disukai Memiliki keluarga yang Tidak terbuka dengan.
Janthwrenrf dan teman-teman yang Oiangtua
yang pernah mengasihi
JtHtlilr delta
karena bercerai Tidak percaya diri Memiliki keluarga yang Mampu menceritakan mendukung permasalahan kepada
orang lain
Yakin bahwa segala Memiliki cita-cita sesuatu berakhir dengan baik
Motivasi dalam diri
Memiliki keluarga yang berempati
Anak sumber motivasi
Peiempuan janda ayerod yang pernah JiHililt delta
Merasa tidak disukai Memiliki keluarga yang Mengekspresikan oleh keluarga almarhum mengasihi kesedihan
suami
karena Icematian Merasa lingkungan suami menerima kehadiran
Memiliki keluarga dan teman yang memberikan dukungan
Mampu menceritakan permasalahan kepada orang lain
Pribadi yang mandiri Anak sumber motivasi Terbuka terhadap kondisi
Penuh harapan yang dialami
-
8. Dinamika berkembangpada perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha
Menurut O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) Thriving, yaitu individu tidak hanya dapat kembali bangkit ke kondisi semula, namun dapat melampaui fungsi psikologis yang lebih baik. Pada tahapan ini, individu dapat berfungsi lebih baik daripada sebelum terjadinya kondisi traumatik. Kedua perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha mengalami perkembangan yang lebih baik pada beberapa fungsi psikologis.
Perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha karena perceraian menikah karena dibawah pengaruh guna-guna, sedangkan perempuan janda nyerod yang pernah mulih dehakarena kematian suami melakukan perkawinannyerod karena perasaan saling suka dan tidak mempertimbangkan hal lain. Setelah menjadi janda, pemikiran perempuan janda nyerod yang pernahmulih deha mulai berubah dalam memilih kriteria pasangan, yaitu mencari pasangan yang bertanggungjawab.
Perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha kehilangan pasangan hidup baik itu karena bercerai maupun kematian suami, saat pengambilan keputusan untuk masa depan ada yang memilih untuk menikah dan ada yang memilih untuk tidak menikah lagi. Pada penelitian ini, kedua perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha memilih untuk menikah kembali.
Perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena berceraisebelum mengambil keputusan untuk menikah lagi, memperkenalkan calon suami kepada orangtua agar tidak salah dalam memilih pasangan hidup. Pernikahan yang dijalani juga membuat pemikiran perempuan janda mulai berubah. Dahulu berpikir bahwa pernikahan itu antara suami dan istri, akan tetapi sekarang pemahaman tentang pernikahan meluas, yaitu pernikahan terjadi antara istri dan keluarga istri dengan suami dan keluarga suami.
Tabel 9.
Diuamika Verkembangpada perempuan janda nyerod yang pernahwwfrft delta
Dinamika |
Perempuau janda nyerod yang pernah mulih deha karena bercerai |
Perempuan janda nyerod yang pernah mπtiħ deha kareua kematian suami |
Kriteria pasangan Penganibilan keputusan Pemahaman tentang pernikahan |
Bertanggungj a wab Menikah lagi Meminta restu orangtua Pemikahan merupakan penyatuan antara dua keluarga yang berbeda |
Bertanggiingi awab Menikah lagi Meminta restu orangtua Faktor adat istiadat |
Kesimpulan dari penelitian ini, bahwa perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha karena bercerai maupun kematian suamimengalami dua kali peristiwa yang menekan yaitu nyerod dan kehilangan pasangan hidup, sehingga proses resiliensi yang terjadi sebanyak delapan tahap, yaitu adverse evet (nyerod), succumbing, survival, adverse event (kehilangan pasangan), succumbing, survival, recovery, dan thriving. Selain itu, faktor pendukung perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha baik itu karena bercerai maupun kematian mampu beresiliensi karena adanya dukungan. Dukungan yang diperoleh bersumber dari dalam diri, yaitu motivasi dan adanya harapan, dan bersumber dari luar diri, yaitu keluarga, anak dan lingkungan.
Saran praktis yang dapat diberikan kepada perempuan pada umumnya yang telah berumahtangga, hendaknya selalu membina hubungan yang baik diantara keluarga agar dapat terhindar dari bahtera rumahtangga sehingga tidak mengalami risiko negatif yang mungkin terjadi ketika menyandang status janda.
Saran praktis bagi perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha baik itu karena perceraian maupun kematian suami, hendaknya sudah memahami perubahan yang terjadi ketika memutuskan untuk mulih deha sehingga perempuan janda nyerod yang akan kembali kerumah bajang sudah siap dan beradaptasi terhadap kondisi yang berbeda saat dahulu masih menjadi seorang gadis.
Saran praktis untuk keluarga yang merupakan orang terdekat bagi perempuan janda, penting bagi keluarga memberikan dampingan dan dukungan bagi perempuan janda khususnya perempuan janda nyerod yang pernah mulih deha dalam menghadapi kesuitan, sehingga perempuan janda mampu bangkit, bahkan lebih cepat bangkit ketika menghadapi kondisi yang menekan.
Saran praktis untuk masyarakat, hendaknya menghilangkan stereotip negatif yang melekat pada seorang janda, karena tidak semua perempuan janda berperilaku dan bersikap yang negatif. Selain itu, penerimaan masyarakat akan keberadaan perempuan janda sangat memberikan pengaruh yang positif untuk mampu beresiliensi secara optimal.
Saran praktis bagi peneliti selanjutnya, penting untuk lebih mendalami dukungan yang dibutuhkan dan diharapkan oleh perempuan janda, khususnya perempuan janda nyerod yang mulih deha agar pembaca nantinya dapat menerapkan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan dari perempuan janda. Selain itu, dapat menjadikan usia sebagai kriteria responden. Hal itu dikarenakan peneliti menemukan perlakuan
berbeda yang diterima dari lingkungan pada perempuan janda dengan tahapan perkembangan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Rahayu R. (2008). Resiliensi pada penyandang tuna daksa pasca kecelakaan. Fakulas PsikologiUniversitas Gunadarma, Yogyakarta
Anggreni, L. P. (2004). Perceraian dan perlindungan terhadap anak.Diunduh dari:http://lbh-
bali.blogspot.com/2011/09atauprceraian-dan-perlindungan-terhadap_09.htmltanggal 25 Oktober 2013
Ardhianita,I., & Andayani, B. (2005). Kepuasan pernikahan ditinjau dari berpacaran dan tidak berpacaran. Jurnal Psikologi, 32 (2), 101-111
Atmaja, I. D., Atmaja, M. W., Dyatmikawati, P., Windia, I. W., Sudantra, I. K., Astiti, T. I., et al. (2009). Warna-warni pemikiran tentang adat dan budaya bali. Bali: Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Atmaja, Jiwa. (2008). Bias gender: perkawinan terlarang pada masyarakat bali. Bali: Udayana University Press
Badan Pusat Statistik. (2011). Persentase Penduduk Menurut Status erkawinan dan Jenis Kelamin, Provinsi Bali 2011. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali
Carver, C. S. (1998). Resilience and thriving: issues, models, and linkages. Jorunal of Social Issues, 54 (2), pp. 245-266
Creswell, John W. (1998). Qualitative inquiry and research design: choosing among five traditions. Thousand Oaks: Sage Publication
Creswell, John W. (2009). Research design: qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Los Angeles: Sage Publication
Creswell, John W. (2012). Research design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Grotberg, E.H. (1999). Tapping tour inner strength. How to find the resilience to deal with anything. Oakland: New Harbinger Publications,Inc.
Hurlock, E. B. (2006). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.
Kaelan, H. (2012). Metode penelitian kualitatif interdisipliner. Yogyakarta : Paradigma
Maharini, K. (2013). Permasalahan pernikahan beda wangsa dan agama. Diunduh dari: Http://Ayu-
Maha.Blogspot.Com/2013/07atauPermasalahan-
Pernikahan-Beda-Wangsa-Dan.Html tanggal 28 Oktober 2014
Papalia, D. E., Olds, S., & Feldman, R. (2009). Human development. New York: Mc Graw Hill.
Pendit, S. N. (1995). Hindu dalam tafsir modern”. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha
Poerwandari, E. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 keys to finding your inner strength and overcoming life’s hurdles. New York: Three Rivers Press
Republik Indonesia. (1974). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 1
Republik Indonesia. (1974). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 38
Robertson, D. J. (2012). Resilience: teach yourself how to survive and thrive in any situation. London: Hachette UK.
Sholichatun, Y. (2009). Hidup setelah menikah, mengurai emosi positif dan resiliensi pada wanita tanpa pasangan. Vol 4, No 1
Strauss, A.,& Corbin, J. (2003). Dasar-dasar penelitian kualitatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Tohirin. (2012). Metode penelitian kualitatif dalam pendidikan dan bimbingan konseling. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Windia, W. P., & Sudantra, I. K. (2006). Pengantar hukum adat bali. Denpasar: Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana
Windia, W. P., Sudantra, I. K., Komalasari, G. A., Suartika, I. G., Dyatmikawati, P., Pemayun, C. I., et al. (2009). Perkawinan pada gelahang. Denpasar: Udayana University Press.
Yin, R. K. (2008). Case study research: design and methods (applied social research methods series). Thousand Oaks. CA: Sage
104
Discussion and feedback