GAMBARAN PENERIMAAN DIRI PADA PEREMPUAN BALI PENGIDAP HIV-AIDS
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Cultural Health Psychology, 21-32
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN:2354 5607
GAMBARAN PENERIMAAN DIRI PADA PEREMPUAN BALI PENGIDAP HIV-AIDS Ida Ayu Karina Putri dan David Hizkia Tobing
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Maraknya perkembangan epidemi penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) beberapa tahun belakangan ini telah menjadi momok yang cukup menakutkan bagi masyarakat dunia (Zarpatista, 2012). Di Indonesia saat ini terdapat 75 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi HIV-AIDS yang sangat tinggi, antara lain karena penularan dari suami ke istri yang meningkat (Wardah, 2013). Provinsi Bali sendiri termasuk salah satu dari enam provinsi yang berstatus epidemi HIV-AIDS selain Papua, Riau, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur (Suriyani, 2006). Dalam banyak kasus perempuan yang terinfeksi HIV dari pasangannya terjadi karena perempuan tidak memiliki kekuatan baik secara sosial maupun ekonomi untuk melindungi dirinya (Nainggolan, 2004). Berdasarkan studi awal yang dilakukan peneliti di Yayasan Citra Usadha (YCUI), pada tiga kabupaten wilayah program yaitu Buleleng, Jembrana dan Karangasem, gambaran perilaku diskriminatif serupa diakui memang terjadi pada beberapa kasus ODHA di Bali khususnya perempuan. Salah satu masalah dalam kehidupan ODHA tidak hanya terkait dengan adanya stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar semata, namun juga terhadap penerimaan akan kondisi dirinya (Rasyida, 2008). Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mencari tahu mengenai gambaran penerimaan diri pada perempuan Bali pengidap HIV-AIDS.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi, menggunakan responden sebanyak 5 orang perempuan Bali pengidap HIV-AIDS dengan teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan in depth-interview yang dilakukan selama 7 bulan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat 9 gambaran penerimaan diri pada perempuan Bali pengidap HIV-AIDS yaitu selalu bersyukur, optimis dan selalu melakukan yang terbaik, menghargai diri sendiri, pembuktian diri, memiliki hak dan merasa sejajar dengan orang lain, tidak ingin diperlakukan berbeda, ingin membantu serta dapat berbagi dengan orang lain, introspeksi diri, mendekatkan diri dengan Tuhan.
Kata Kunci: HIV-AIDS, Penerimaan Diri, Perempuan Bali
Recent years, development of the epidemic disease of AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) has become quite frightening for the people of the world (Zarpatista, 2012). In Indonesia there are currently 75 regencies/cities which have a very high prevalence of HIV-AIDS, among others due to the increasing of transmission from husband to wife (Wardah, 2013). The province of Bali including is one of the six provinces that has status of epidemic HIV-AIDS besides Papua, Riau, Jakarta, Jawa Barat, and Jawa Timur (Suriyani, 2006). In many cases, women infected with HIV from her partner/husband because women did not have power of both socially and economically to protect herself (Nainggolan, 2004). Based on pre eliminary study that conducted by researchers in Yayasan Citra Usadha (YCUI) on the three regencies area program that is Buleleng, Jembrana, and Karangasem, discrimination recognized did occur in some cases of ODHA in Bali especially women. One of the problem in ODHA’s life is not only related to the stigma and discrimination from the around environment, but also with their self condition acceptance (Rasyida, 2008). This situation attracts researcher to find out the self acceptance in Balinese woman who lives with HIV-AIDS.
This study use qualitative method with phenomenological approach and 5 Balinese women who lives with HIV-AIDS as the respondents, the data collected with observation and in depth-interview conducted during 7 months. The result shows that there 9 representation of self-acceptance in Balinese woman who lives with HIV-AIDS which are be grateful, optimistic and always trying to do the optimum, have the right and feel equal with others, do not want to treated differently, want to help and sharing with others, self introspection, being closer with God.
Keywords: HIV-AIDS, Self-Acceptance, Balinese Woman
LATAR BELAKANG
Sebagai wilayah tujuan wisata dunia yang terkemuka, Bali tentu rentan terhadap penyebaran berbagai penyakit termasuk sindroma AIDS (Sutrisno, 2006). Provinsi Bali sendiri termasuk salah satu dari enam provinsi yang berstatus epidemi HIV-AIDS terkonsentrasi selain Papua, Riau, Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Suriyani, 2006). Penyebaran HIV-AIDS di Bali memang sepatutnya mendapat perhatian mendalam dan respon tindakan nyata secepatnya oleh semua pihak. Hal ini dirasa sangat penting mengingat penyebaran virus HIV di Bali dari tahun ke tahun, baik secara geografis maupun demografis meluas hingga ke desa pakraman tanpa mengenal perbedaan status sosial maupun usia (Sumarta, Sena, Anaya, & Suarmiartha, 2013).
Kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) – AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) telah ditemukan sejak beberapa dekade lalu, namun tetap saja stigma maupun perilaku diskriminatif masih terjadi dan kerap dirasakan para Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) khususnya bagi kaum perempuan bila dibandingkan dengan laki-laki, hal inilah yang diungkapkan dapat menimbulkan beban yang berlipat pada kaum perempuan dengan HIV-AIDS tersebut (Jawa Pos Network, 2012). Perempuan memang sangat rentan untuk terinfeksi HIV karena beberapa faktor yaitu faktor biologis, faktor ketidaksetaraan gender. Selain rentan tertular HIV, perempuan juga rentan akan kekerasan yang dilakukan pasangannya. Posisi perempuan sangat lemah untuk menolak hubungan seks atau untuk meminta pasangannya memakai kondom demi mencegah risiko menularkan IMS dan HIV (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2008).
Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki warisan budaya yang khas, salah satunya adalah masyarakat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal (kapurusa) yang menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa (laki-laki) yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga (Sumarta, dkk., 2013). Di dalam kesehariannya, perempuan Bali mengambil peranan melebihi peran yang seharusnya di lakukan. Di rumah dapat bertindak sebagai perempuan, sebagai istri, sebagai ibu dan terkadang sebagai bapak (Windia, dkk., 2009).
Sejauh ini, perlakuan secara adat krama (warga Bali-Hindu yang teregistrasi dan menetap di desa pakraman) dengan HIV-AIDS di Bali masih banyak mengandung diskriminasi (adanya pembedaan perlakuan), baik semasa hidup maupun sesaat setelah meninggal. Berdasarkan studi awal yang dilakukan peneliti di Yayasan Citra Usadha (YCUI), pada tiga kabupaten wilayah program yaitu Buleleng, Jembrana dan Karangasem, gambaran perilaku diskriminatif serupa diakui memang terjadi pada beberapa kasus ODHA di Bali khususnya perempuan. Seperti kasus di wilayah Buleleng
yang terjadi pada perempuan pengidap HIV-AIDS yang berstatus ibu rumah tangga, perempuan pengidap HIV-AIDS ini telah ditinggal mati oleh suaminya yang juga positif HIV, namun ternyata mendapatkan perlakuan diskriminatif dari keluarga suaminya. Keluarga suami menuduh sang istri yang menjadi penyebab kematiannya, setelah dilakukan penelusuran sang suami yang ternyata memiliki perilaku berisiko. Selain dari pada itu, keluarga suami juga melakukan tindakan diskriminatif seperti memisahkan dan membedakan alat makan serta tempat tidur hingga melakukan tindakan penelantaran saat perempuan pengidap HIV-AIDS tersebut mengalami penurunan terhadap kondisi kesehatannya (Wawancara Pre Eliminary Study, 2014).
Bagi para ODHA untuk menerima kenyataan bahwa diri mengidap suatu virus yang tidak dapat disembuhkan bukanlah hal yang bisa dianggap biasa-biasa saja, terutama secara psikologis (Demartoto, 2006). Kubler-Ross (dalam Sarafino, 2010) menjelaskan bahwa terdapat lima tahapan reaksi emosi yang dialami individu ketika harus berhadapan dengan penyakit yang menyebabkan kematian yaitu reaksi penyangkalan (denial), kemarahan (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan penerimaan diri (selfacceptance).
Individu yang baru mengetahui statusnya sebagai ODHA, cenderung tidak menerima dirinya sendiri yang telah menjadi seorang HIV positif. Hasan (2008) mengungkapkan bahwa para ODHA memiliki tiga tantangan utama yaitu menghadapi reaksi terhadap penyakit yang mengandung stigma, kemungkinan waktu kehidupan yang terbatas serta mengembangkan strategi untuk mempertahankan kondisi fisik dan emosi.
Menurut Ryff (1996), penerimaan diri merupakan suatu keadaan yang menunjukkan bahwa individu memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya, menerima dan mengakui segala kelebihan maupun keterbatasan yang dimiliki tanpa merasa malu atau bersalah terhadap kodrat dirinya. Maka dari itu, individu yang telah merasa mempunyai kepastian terhadap kelebihan serta kekurangan yang dimiliki dalam diri merupakan individu yang telah melakukan penerimaan diri dan akan semakin baik apabila mendapat dukungan dari lingkungan terdekat individu yaitu keluarga.
Ketika individu telah melakukan penerimaan diri, maka akan dapat melihat masa depan dengan lebih baik dan bersemangat, namun proses terhadap penerimaan diri tidak lah mudah. Hal ini lah yang kemudian membuat peneliti tertarik untuk melihat gambaran penerimaan diri yang dialami pada perempuan Bali yang positif mengidap HIV-AIDS.
METODE
Tipe penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya yang dilakukan pada setting dan objek alamiah (Sugiyono, 2012). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Menurut Husserl (dalam Moleong, 2004) fenomenologi mengacu pada penelitian yang terkait dengan kesadaran dari perspektif pertama seseorang. Peneliti dalam pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Pemahaman itu akan bergerak dari dinamika pengalaman sampai pada makna pengalaman sehingga akan menggambarkan makna pengalaman responden akan fenomena yang sedang diteliti.
Unit Analisis
Dalam penelitian ini, unit analisis yang digunakan adalah pada level individual yang tergabung dalam kelompok kategori karena fokus pada penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana gambaran penerimaan diri pada ODHA khususnya perempuan Bali. Untuk mendapatkan pemahaman yang unik dan khas mengenai gambaran dari penerimaan diri pada perempuan Bali pengidap HIV-AIDS, maka peneliti menggali pemahaman tersebut langsung dari individu yang memiliki status ODHA khususnya kaum perempuan Bali.
Gambaran mengenai penerimaan diri tersebut akan dilihat berdasarkan ketujuh karakteristik dari individu yang telah melakukan penerimaan terhadap dirinya yang dipaparkan oleh Sheerer (dalam Cronbach, 1963), namun tidak menutup kemungkinan jika akan ada aspek lain yang terungkap dan hal tersebut akan disesuaikan dengan hasil yang diperoleh peneliti di lapangan. Unit analisis ini akan diperoleh melalui in-depth interview dengan menggunakan panduan pertanyaan terkait dengan karakteristik-karakteristik penerimaan diri tersebut.
Responden Penelitian
Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah para perempuan Bali yang positif mengidap HIV-AIDS. Dalam penelitian ini, perempuan Bali pengidap HIV-AIDS menjadi responden dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai penerimaan diri berdasarkan sudut pandang individu yang mengalami kondisi positif mengidap HIV-AIDS. Adapun beberapa kriteria dari responden penelitian ini:
-
a. Lima orang perempuan Bali dengan rentang usia 20-45 tahun. Faktor usia dalam penelitian ini dibatasi karena penderita HIV-AIDS kebanyakan adalah usia produktif.
-
b. Keaktifan dalam kegiatan yang berkaitan dengan lingkup HIV-AIDS. Kelima responden dalam penelitian ini merupakan para staf maupun aktivis yayasan yang bergerak di lingkungan HIV-AIDS.
-
c. Kurun waktu mengetahui status diatas 1 tahun. Hal tersebut dilakukan peneliti bertujuan atas dasar ketersediaan serta kesediaan dari responden.
Teknik Penggalian Data
Untuk mendapatkan data yang reliabel, beberapa teknik penggalian data akan digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti mengandalkan observasi dan wawancara dalam proses penggalian data selama di lapangan, oleh karena itu peneliti juga menggunakan catatan lapangan (field note) sebagai alat perantara dengan catatan yang sebenarnya. Proses pembuatan catatan lapangan akan peneliti lakukan setiap kali peneliti selesai melakukan wawancara dan observasi.
Teknik pertama adalah dengan wawancara, penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur yang termasuk ke dalam kategori in-depth interview. Metode wawancara ini dipilih oleh peneliti untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam dari sumber data sehingga semakin memperkaya data, serta untuk menggali lebih lanjut data-data yang disampaikan oleh sumber yang dianggap menarik dan merupakan suatu jawaban baru yang bahkan mungkin kontradiktif terhadap permasalahan yang dikemukakan oleh responden.
Teknik selanjutnya yang digunakan peneliti adalah observasi. Tipe observasi yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi moderat. Dalam observasi ini, terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dengan orang luar. Peneliti mengumpulkan data dengan mengikuti beberapa kegiatan responden, namun tidak semuanya (Ghony & Almanshur, 2012).
Pada penelitian ini, teknik pencatatan yang digunakan peneliti adalah teknik pencatatan naratif khususnya teknik pencatatan anecdotal record, yaitu sebuah pencatatan yang tidak memerlukan kerangka waktu, pengkodean dan pengkategorian tertentu serta mencakup apapun yang relevan bagi peneliti (Sattler, 2002). Hal-hal yang diamati peneliti merupakan hal yang dapat merepresentasikan ke tujuh karakteristik penerimaan diri menurut Sheerer (dalam Cronbach, 1963) namun tidak menutup kemungkinan jika didapat perilaku lain yang dapat merepresentasikan karakteristik penerimaan diri lainnya.
Teknik Pengorganisasian Data dan Analisis Data
Setelah seluruh data temuan terkumpul, peneliti akan mengorganisasikan data temuan ke dalam suatu folder, agar tersusun rapi. Data temuan berupa rekaman suara akan ditransfer ke dalam bentuk teks dalam format dokumen, dengan mengetik setiap suara yang terdengar. Data pengamatan yang berupa tulisan dan simbol juga ditransfer ke
dalam bentuk teks dalam format dokumen, dengan mengetik setiap data yang tertulis, kemudian memilih data yang memiliki makna. Seluruh data temuan yang telah berbentuk teks akan disusun untuk masing-masing responden penelitian. Data temuan yang telah tersusun, akan dikategorisasikan sesuai dengan tema dalam penelitian ini, yaitu tujuh karakteristik individu yang telah melakukan penerimaan diri (Sheerer dalam Cronbach, 1963).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode analisis data dari Miles dan Huberman (dalam Ghony & Almanshur, 2012) serta teknik analisis tematik yang dikemukakan oleh Tobing (2006). Menurut Miles dan Huberman (dalam Ghony & Almanshur, 2012) proses analisis data meliputi tiga tahapan yaitu :
-
1. Proses Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses dalam melakukan pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang diperoleh peneliti dari catatan tertulis di lokasi penelitian. Dengan demikian, data yang telah di reduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan (dalam Sugiyono, 2013). Reduksi data ini bahkan berjalan hingga setelah penelitian di lokasi penelitian berakhir dan laporan akhir penelitian lengkap tersusun.
-
2. Data Display (Proses Penyajian Data)
Proses penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian data, peneliti akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasarkan atas pemahaman yang di dapat peneliti dari penyajian tersebut. Adapun beberapa jenis penyajian data yang dapat digunakan peneliti adalah dengan teks yang bersifat naratif, grafik, matriks, network, dan chart.
-
3. Conclusion Drawing (Proses Menarik Kesimpulan)
Pada proses ini peneliti mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab-akibat, dan proposisi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal di dukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (dalam Sugiyono, 2013)
Teknik selanjutnya adalah teknik analisis tematik. Di dalam teknik analisis tematik ini, pemberian kode adalah dua kegiatan bersamaan yaitu pengurangan data mekanis dan kategorisasi analisis dari data ke dalam tema. Peneliti akan memulai dengan melakukan teknik open coding, yaitu penguraian data tertulis dari verbatim, catatan lapangan serta
hasil observasi yang dilakukan untuk mencari segala kemungkinan makna yang dapat muncul. Dalam proses open coding ini akan ditentukan juga makna-makna awal dari temuan-temuan yang telah disusun ke dalam kalimat yang lebih baku tersebut.
Teknik selanjutnya yang dilakukan adalah axial coding, dengan menyatukan kembali kalimat hasil dari pencarian makna pada open coding agar terlihat sebuah hubungan awal antar kategori awal. Pada tahap ini, peneliti merangkum kalimat-kalimat hasil pada open coding yang saling terkait dan masih berhubungan dengan ketujuh karakteristik penerimaan diri.
Selective coding merupakan tahap akhir dari tahapan analisis tematik. Pada tahapan ini, peneliti akan merangkai suatu kalimat hasil temuan yang merupakan inti dari kalimat pada axial coding. Kategori inti ini juga diperkuat dengan data observasi yang mampu merepresentasikan karakteristik penerimaan diri, yang didapatkan peneliti di lapangan. Setelah mendapatkan inti kalimat tersebut, peneliti akan melakukan pengecekan ulang pada responden wawancara dan tenaga profesional, sehingga kategori inti tersebut merupakan hasil dari rangkuman kenyataan di lapangan dan terlepas dari interpretasi peneliti (Tobing, 2006).
Teknik Pemantapan Kredibilitas
Dalam penelitian ini, teknik pemantapan kredibilitas penelitian menggunakan teknik triangulasi data dan dengan menggunakan bahan referensi. Berikut adalah paparan teknik uji kredibilitas menurut Sugiyono (2012) yang digunakan dalam penelitian ini:
-
1. Triangulasi
Metode pengecekan data yang dilakukan peneliti dari berbagai sumber, dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Peneliti akan melakukan triangulasi sumber yang merupakan pengumpulan data dari beberapa sumber, yaitu 5 orang perempuan Bali pengidap HIV-AIDS serta 5 orang informan dari masing-masing responden. Triangulasi teknik juga dilakukan peneliti dengan melakukan beberapa metode pengumpulan data yang berbeda, yaitu, in-depth interview, dan teknik observasi. Triangulasi waktu dilakukan peneliti dengan melakukan proses wawancara serta observasi dalam waktu serta situasi yang berbeda
-
2. Bahan Referensi
Penelitian ini menggunakan rekaman wawancara sebagai pendukung yang menyatakan bahwa data hasil wawancara dalam bentuk verbatim adalah benar adanya dan berdasarkan dari responden.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan temuan yang di dapatkan pada saat observasi dan in-depth interview, peneliti mendapatkan tujuh karakteristik penerimaan diri bagi perempuan Bali yang mengidap HIV-AIDS yaitu keyakinan akan kemampuan diri, menganggap diri berharga dan memiliki derajat yang sama, tidak merasa diri aneh, tidak malu atau hanya memperhatikan diri sendiri, berani memikul tanggung jawab, menerima celaan atau pujian secara objektif, tidak menyalahkan diri atas keterbatasan maupun mengingkari kelebihan.
Sebelum mendapatkan ketujuh karakteristik penerimaan diri, peneliti telah melakukan proses analisis tematik sehingga temuan-temuan dalam penelitian ini terbagi ke dalam beberapa tema yang selanjutnya peneliti sebut dengan karakteristik dari penerimaan diri. Peneliti juga melakukan pengecekan melalui rekan-rekan sesama peneliti yang menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat netral (peer review). Berikut adalah penjelasan terhadap temuan yang didapatkan dari masing-masing responden selama penelitian berlangsung:
-
1. Keyakinan akan kemampuan diri
Keyakinan akan kemampuan din |
Memiliki impian besar
Mendekatkan diri pada Tuhan
Melakukan hal yang terbaik
Usaha untuk mewujudkan
Rasa optimis
Terdapat beberapa hal terkait dengan keyakinan akan kemampuan diri yang membuat responden memiliki pandangan bahwa dirinya mampu untuk dapat menghadapi kondisi dengan status positif mengidap HIV-AIDS. Memiliki impian besar merupakan salah satunya, dengan adanya impian besar tersebut membuat responden mempunyai suatu pandangan bahwa melihat sesuatu harus secara luas agar dapat melihat peluang lain yang tersedia. Mendekatkan diri pada Tuhan juga menjadi hal yang responden lakukan untuk dapat menghadapi kondisi yang dialami. Keyakinan di dalam diri selalu dimiliki responden karena menyerahkan segalanya pada Tuhan. Selain dari mendekatkan diri dengan Tuhan, adanya keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi diri sendiri maupun teman-teman, disebutkan responden juga dapat membantu untuk dapat memiliki rasa optimis agar dapat menjalani situasi yang dihadapi.
Keyakinan akan kemampuan diri untuk dapat menghadapi kondisi yang dialami, diungkapkan responden juga harus diikuti dengan adanya usaha untuk dapat mewujudkannya. Responden menganggap bahwa dibalik keyakinan tetap harus ada usaha yang dilakukan. Adanya rasa optimis dalam diri sendiri membuat responden memiliki keyakinan dapat hidup dengan baik serta mempunyai impian untuk keluarga dan keyakinan tersebut muncul di dalam diri responden salah satunya karena mendapat dukungan dari suami.
-
2. Menganggap diri berharga dan memiliki derajat yang sama dengan orang lain Menganggap diri berharga |
Meughargai din
Pembuktian din
Sejajar dengan orang lain
Memiliki hak yang
sama
Gambar. 2 Bagan aspek menganggap diri berharga
Berkaitan dengan karakteristik menganggap diri berharga serta memiliki derajat yang sama terlihat dari keyakinan responden untuk dapat berguna atau berarti bagi orang lain tanpa memiliki rasa rendah diri karena masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan dalam diri, untuk dapat menganggap diri berharga harus memiliki pandangan yang sederhana yaitu untuk terlebih dahulu dapat menghargai dirinya sendiri.
Memiliki pandangan bahwa diri berharga juga ditunjukkan dengan memberi pembuktian bahwa dirinya masih mampu untuk berbuat baik dan juga dapat membantu orang lain walaupun dengan status positif mengidap HIV-AIDS. Berusaha berbuat baik serta tidak lagi mengecewakan orang-orang disekitar juga dilakukan untuk dapat menjadi pembuktian bahwa responden masih pantas untuk dihargai.
Selalu merasa diri sejajar serta merasa memiliki hak yang sama untuk hidup juga memperlihatkan bahwa responden memiliki pandangan dirinya tetap berharga serta memiliki derajat yang sama dengan orang lain. Responden merasa tetap pantas untuk dapat mempertahankan kehidupannya karena merasa tidak pernah melakukan hal yang merugikan orang lain dan selalu mensejajarkan diri dengan orang lain. Pandangan bahwa tiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup ditunjukkan dengan membuktikan bahwa responden memiliki kemampuan untuk mengurus keluarga serta menyekolahkan anak-anak responden. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup, yang membedakan adalah kebutuhan yang dimiliki masing-masing individu. Kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh orang lain namun harus dicari dan diketahui oleh individu itu sendiri.
-
3. Tidak merasa diri aneh dan tidak merasa akan ditolak oleh orang lain
Tidak merasa din aneh/akan ditolak orang lain
Tidak terlalu memikirkan perkataan orang lain
status sepenuhnya
Tidakingin diperlakukan berbeda
Gambar. 3
Bagan aspek tidak merasa din aneh dan tidak akan ditolak oleh orang Iam
Faktor ini dapat muncul baik secara internal yaitu dari dalam diri responden sendiri maupun eksternal yaitu dari lingkungan atau orang yang berada disekitar responden. Rasa akan penolakan dianggap responden telah menjadi hal yang lumrah terjadi, namun tidak membuat responden terlalu memfokuskan diri dalam menanggapi perilaku orang lain terhadap dirinya. Hal yang dilakukan justru lebih kepada
memfokuskan diri untuk melakukan hal yang terbaik serta selalu mengingatkan untuk tidak berpikiran mendiskriminasi diri sendiri.
Belum membuka status positif mengidap HIV-AIDS secara sepenuhnya juga menjadi faktor penting yang membuat responden merasa kehadiran dirinya tidak ditolak oleh orang lain. Terdapat dua responden yang mengungkapkan bahwa dirinya belum membuka status positif mengidap HIV sepenuhnya. Salah satu responden hanya membuka status positif mengidap HIV pada keluarga inti, hal tersebut yang membuat responden tidak pernah merasa diperlakukan berbeda maupun kehadirannya ditolak ketika berada di lingkungan keluarga besar.
Di sisi lain, ada juga responden yang hanya membuka status dirinya positif mengidap HIV pada lingkungan yang berkaitan dengan dunia HIV-AIDS. Keputusan untuk belum berani membuka status sepenuhnya terutama pada keluarga dilatar belakangi oleh beban yang dirasakan responden karena adanya derajat berupa kasta Brahmana yang dimiliki. Responden masih memiliki rasa takut untuk membuka status positif mengidap HIV karena merasa dampaknya juga akan berimbas pada keluarga besar.
Fokus untuk menjalani kehidupan serta tidak terlalu memikirkan apa yang orang lain katakan juga dapat membuat responden, tidak merasa diri aneh maupun ditolak kehadirannya di lingkungan. Selain dari pada itu, adapula responden yang mengungkapkan bahwa hingga saat ini masih ada orang-orang yang menganggap responden tidak pantas ada di lingkungan dimana responden tinggal atau berada. Menanggapi pandangan tersebut membuat responden memiliki pemikiran untuk dapat melakukan apa yang orang lain bisa lakukan, walaupun dengan kondisi responden yang positif mengidap HIV-AIDS. Dengan kata lain, responden tidak ingin diperlakukan berbeda hanya karena mengidap HIV-AIDS.
Terdapat dua responden yang lebih dulu memfokuskan diri untuk tetap menjaga kesehatan, yang bertujuan untuk dapat mencapai impian lain seperti membantu dan berbagi informasi dengan orang lain. Hal ini tergambar dari kegiatan sehari-hari responden di lingkungan kerja seperti melakukan kegiatan testimoni, sesi pendampingan serta penguatan pasien ODHA. Dari kelima responden, terdapat satu responden yang masih fokus terhadap pemulihan dirinya karena merasa belum sepenuhnya pulih dari ketergantungan narkoba yang kemudian membuat responden positif mengidap
HIV. Berkaitan dengan hal lain ke depan seperti pekerjaan cenderung responden biarkan mengikuti proses yang terjadi.
Memiliki keinginan agar organisasi yang dibangun salah satu responden dapat memiliki penerus ke depannya, juga menjadi gambaran bahwa responden telah memiliki orientasi yang tidak hanya terfokus pada pengembangan dirinya. Terungkap pula adanya keinginan dari responden agar suatu saat masyarakat dapat menerima para ODHA, hal tersebut terlebih dahulu dibuktikan dengan menunjukkan bahwa gambaran orang HIV saat ini sudah tidak lagi sama seperti dulu dan justru dapat hidup sehat serta dapat melakukan yang terbaik.
Keberanian untuk memikul tanggung jawab yang dilakukan responden terdiri dari dua jenis yaitu secara materi maupun non materi. Secara materi, responden lebih memilih untuk memiliki tabungan serta jaminan kesehatan yang bertujuan untuk mempermudah mendapatkan pelayanan kesehatan jika nanti dalam kondisi sakit maupun ketika ditinggal menikah dengan anak yang menjadi tulang punggung keluarga dari salah satu responden.
Diluar secara materi adapula persiapan secara non materi yang beberapa responden persiapkan seperti memikirkan keberlangsungan masa depan anak ketika suatu saat nanti responden meninggal, menjadikan kesalahan yang lalu sebagai sebuah pengalaman dan tetap berusaha untuk mengambil semua hal positif dari kondisi yang responden alami, serta yang utama adalah tetap memiliki rasa optimis untuk dapat melangkah ke depan dengan lebih baik. Selain itu, banyaknya pengalaman yang telah dipelajari responden selama berada di lapangan juga dapat membantu diri mengembangkan keberanian untuk dapat memikul tanggung jawab yang akan dihadapi ke depan.
-
6. Menerima celaan atau pujian secara objektif
Menermia celaan pujian secara objektif
Pembuktian din
Semangat untuk din
Instrospeksi diri
Tetap berpegang pada prinsip
Gambar. 6 Bagan aspek Iiieneruna celaan atau pujian secara objektif
Terdapat beberapa pandangan yang responden miliki terkait dengan menanggapi celaan, komentar, maupun pujian yang ditujukan pada diri responden. Hal ini tampak dari
perilaku individu yang mau menerima pujian, saran dan kritikan yang berasal dari orang lain untuk pengembangan diri. Ada yang menganggap celaan yang selama ini diterima sebagai sebuah pembuktian kepada lingkungan bahwa dirinya memiliki kemampuan dan power untuk dapat bertahan hidup.
Selain itu, terdapat pula responden yang memandang semua komentar yang diberikan baik pujian maupun celaan sebagai suatu acuan dan semangat untuk lebih memandang ke depan, harus melakukan hal apa untuk dapat menjadi individu yang lebih baik lagi. Tetap berpegang pada prinsip untuk memilah mana yang dianggap baik dan buruk juga diungkapkan responden masih seringkali dilakukan untuk melihat kesesuaian dengan kondisi yang sedang dihadapi. Lain hal dengan yang diungkapkan salah satu responden, yang mengaku akan merasa lebih baik bila dihujat karena hal tersebut dijadikan sebagai suatu sarana untuk melakukan introspeksi terhadap dirinya.
Salah satu responden terlihat jelas masih memiliki rasa bersalah terhadap dirinya, walaupun diakui responden situasinya sudah jauh berkurang bila dibandingkan dulu. Hal tersebut terjadi karena responden merasa statusnya yang mantan pecandu dan positif mengidap HIV merupakan sebuah konsekuensi yang harus ia tanggung dari perilakunya.
Beberapa responden lain justru mengungkapkan bahwa saat ini dirinya sudah tidak lagi menyalahkan diri maupun kondisi atas apa yang harus di jalani saat ini, karena saat ini dirinya justru memiliki banyak impian-impian lain yang ingin di wujudkan. Ada pula responden yang mengaku bahwa dirinya sudah tidak lagi menyalahkan diri maupun keadaan setelah menikah kembali dan memutuskan untuk berpindah agama, hal yang responden lakukan saat ini justru meminta pencerahan serta pengampunan dari Tuhan dan memiliki keyakinan bahwa Tuhan memberikan cobaan karena dirinya mampu untuk melewati hal tersebut.
Tidak menutupi status positif mengidap HIV pada lingkungan juga membuktikkan bahwa responden tidak merasa ruang geraknya terbatas ataupun mengingkari kelebihan yang dimiliki, justru responden ingin berbagi pengalaman dengan orang lain. Hal ini tergambar ketika responden melakukan sesi penguatan kepada pasien dampingan, responden selalu mengingatkan untuk rutin dan tepat waktu mengkonsumsi ARV serta menyarankan agar
lebih banyak sharing dengan teman atau keluarga sehingga tidak menjadi beban dan membuat kondisi terpuruk. Tidak lagi menyalahkan diri atas kondisi yang dialami terjadi pada salah satu responden karena adanya dukungan dari anak-anak. Dukungan yang diberikan lebih kepada ungkapan kebanggaan anak-anak pada responden karena dapat melakukan banyak hal melebihi orang lain yang justru memiliki pendidikan yang tinggi.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan karakteristik responden penelitian, peneliti menemukan beberapa kriteria yang memengaruhi gambaran penerimaan diri pada keseluruhan responden yaitu faktor risiko penularan HIV-AIDS, faktor agama, serta faktor kasta. Temuan berdasarkan karakteristik responden tersebut akan peneliti jelaskan sejalan dengan pembahasan mengenai gambaran penerimaan diri perempuan Bali pengidap HIV-AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran penerimaan diri yang dialami oleh perempuan Bali pengidap HIV-AIDS berdasarkan karakteristik-karakteristik dari individu yang telah melakukan penerimaan diri.
Ketujuh karakteristik ini dapat dijelaskan secara umum melalui teori yang dikemukakan oleh Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengenai karakteristik-karakteristik individu yang telah dapat melakukan penerimaan terhadap diri. Berikut ini merupakan gambaran penerimaan diri dari perempuan Bali pengidap HIV-AIDS yang peneliti laporkan secara rinci dari masing-masing karakteristik :
-
1. Individu memiliki keyakinan terhadap kemampuannya untuk dapat menghadapi persoalannya
Secara keseluruhan, responden telah memiliki keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki masing-masing individu untuk dapat menghadapi persoalan yang dihadapi. Hal tersebut ditandai dengan beberapa perilaku maupun pandangan yang dimiliki responden. Memiliki impian besar, berusaha untuk melakukan hal yang terbaik bagi diri sendiri serta selalu berusaha untuk membantu orang lain merupakan contoh perilaku yang merepresentasikan bahwa individu memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya untuk dapat menghadapi kondisi yang dialami dan berusaha untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Data tersebut juga ditunjang dengan informasi yang diperoleh dari informan, yang menyebutkan bahwa salah satu responden menjadi sosok yang mengalami banyak perubahan terutama setelah terlibat aktif dalam organisasi sehingga memiliki semangat hidup luar biasa dan menjadi motivasi bagi banyak orang.
Hal tersebut juga dipertegas oleh pernyataan Allport (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) yang mengungkapkan bahwa orang yang menerima dirinya merupakan individu yang memiliki gambaran positif tentang dirinya, dalam artian
individu tidak berhenti pada kebiasaan dan keterbatasan serta aktivitas yang hanya berhubungan dengan kebutuhan serta keinginan dirinya sendiri.
Lain halnya dengan yang diungkapkan tiga responden lain yang memandang keyakinan akan kemampuan dirinya, lebih kepada usaha-usaha yang dilakukan untuk mewujudkannya. Adanya usaha untuk mewujudkan, mendekatkan diri dengan Tuhan, serta selalu memiliki rasa optimis karena adanya dukungan suami merupakan pandangan yang dimiliki para responden.
Berkaitan dengan adanya rasa optimis yang dimiliki responden karena adanya dukungan dari suami, menggambarkan bahwa responden memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya karena adanya dukungan dari orang-orang maupun lingkungan sekitar. Baron dan Byrne (dalam Nurbani, 2009) menjelaskan bahwa stres dalam skala tinggi serta berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit pada individu, namun dengan adanya dukungan sosial yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu.
Mendekatkan diri dengan Tuhan merupakan salah satu usaha yang individu dapat lakukan untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh situasi atau kondisi penuh tekanan yang dialami. Hal tersebut diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (dalam Paputungan, 2013) yang menjelaskan bahwa emotion focused coping dapat dilakukan melalui positive reappraisal, yaitu usaha individu untuk mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri yang biasanya melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
-
2. Menganggap diri berharga dan memiliki derajat yang sama dengan orang lain
Karakteristik ini tergambar pada keseluruhan responden yang menunjukkan sikap serta memberikan pembuktian bahwa responden memiliki kemampuan untuk tetap dapat melakukan yang terbaik baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Berusaha untuk selalu berbuat baik juga dibuktikan responden dengan tidak lagi mengecewakan orang lain yang ada di sekitarnya. Gambaran karakteristik tersebut dipertegas oleh Jersild (dalam Leometa, 2007) yang menjelaskan bahwa individu yang telah menerima dirinya merupakan individu yang memiliki penilaian realistis terhadap kemampuan diri yang berkesinambungan dengan penghargaan terhadap keberhargaan dirinya.
Adapun responden yang mengungkapkan untuk dapat merasa diri berharga, terlebih dahulu harus mengembangkan pandangan untuk menghargai dirinya sendiri. Selalu merasa
diri sejajar serta merasa memiliki hak yang sama untuk hidup juga memperlihatkan bahwa responden memiliki pandangan dirinya tetap berharga serta tetap merasa pantas untuk terus mempertahankan kehidupannya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Myers (2012) mengenai empat karakteristik yang selalu terdapat pada individu yang memiliki kebahagiaan dalam hidup, salah satunya adalah kemampuan individu untuk dapat menghargai diri sendiri.
-
3. Tidak merasa diri aneh dan tidak merasa akan ditolak oleh orang lain
Kemunculan dari karakteristik ini dapat dipicu baik secara internal, yang berasal dari dalam diri sendiri maupun secara eksternal yaitu muncul dari keadaan, baik lingkungan maupun orang-orang yang ada di sekitar. Secara internal, lebih kepada mengingatkan diri untuk terlebih dahulu meyakini agar tidak mendiskriminasi diri sendiri, tidak terlalu fokus untuk memikirkan perkataan orang lain serta belum membuka status secara sepenuhnya. Secara eksternal lebih kepada keinginan untuk tidak diperlakukan berbeda hanya karena positif mengidap HIV-AIDS. Hal ini berkaitan dengan salah satu ciri dari individu yang telah melakukan penerimaan diri, yang diungkapkan oleh Jersild (dalam Leometa, 2007) yaitu memiliki keyakinan akan standar-standar serta pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain.
Faktor secara eksternal ini juga dapat muncul yang dipicu oleh adanya perlakuan diskriminatif yang diterima beberapa responden selama ini, baik dari lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar. Beberapa fenomena diskriminasi yang dialami responden seperti diperlakukan secara berbeda, melarang untuk datang ke tempat pemujaan leluhur (sesuhunan), diskriminasi dari pihak tenaga kesehatan yang akan membakar peralatan medis yang pernah digunakan salah satu responden, kemudian ada juga yang mengalami pengucilan dan pengusiran oleh pihak keluarga mertua serta perilaku diskriminasi dari lingkungan masyarakat pura.
Gambaran diskriminasi yang diterima tentunya dapat memengaruhi penerimaan diri responden terhadap kondisi serta memengaruhi kondisi fisik serta psikologis. HIV-AIDS menurut Green dan Setyowati (dalam Arriza, Dewi & Kaloeti, 2011) juga dapat memunculkan masalah psikologis seperti ketakutan, keputusasaan yang disertai oleh prasangka buruk serta diskriminasi dari orang lain dan kemudian mengakibatkan munculnya tekanan psikologis kepada individu.
Belum membuka status secara sepenuhnya baik kepada keluarga besar maupun masyarakat luas juga dapat mengembangkan pandangan pada responden bahwa dirinya tidak merasa aneh maupun tidak merasa ditolak kehadirannya oleh orang lain. Keengganan responden untuk dapat membuka status sepenuhnya, dilatar belakangi oleh rasa takut bahwa kondisi responden yang positif mengidap HIV akan
berdampak besar tidak hanya pada perlakuan lingkungan sekitar terhadap responden namun juga pada keluarga besar mengingat salah satu responden merupakan seorang perempuan Bali dengan kasta Brahmana. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan Sumarta, dkk. (2013) yang mengungkapkan bahwa ketidakpahaman terhadap HIV-AIDS cenderung menimbulkan stigma bagi para ODHA yang kemudian mengakibatkan ODHA untuk nyingidang (menyembunyikan) statusnya, bahkan kepada keluarga dekat sekali pun, terlebih lagi pada prajuru (fungsionaris) adat.
-
4. Tidak malu atau tidak hanya memperhatikan diri sendiri
Untuk dapat menjalankan hal tersebut individu terlebih dahulu harus memiliki keikatan diri (self commitment) seperti yang dijelaskan Bastaman (dalam Khotimah, 2010) yakni individu harus memiliki komitmen terhadap tujuan hidup yang telah ditetapkan yang dapat dilakukan dengan bertindak positif, selalu konsisten dalam berusaha dan tidak mengenal kata menyerah serta putus asa. Hal ini tergambar dari dua responden yang mengungkapkan bahwa dirinya saat ini fokus untuk terus menjaga kesehatan yang bertujuan untuk dapat mencapai hal-hal lain seperti membantu sesama serta dapat terus berbagi informasi mengenai HIV-AIDS kepada orang lain.
Ada satu responden yang mengungkapkan harapannya ke depan yang lebih kepada kemajuan organisasi yang telah dibangun. Hal ini menggambarkan adanya upaya yang dilakukan individu baik secara sadar dan sengaja untuk melakukan pengembangan potensi-potensi pribadi yang bersifat positif serta memanfaatkan relasi antar pribadi untuk dapat menunjang tercapainya tujuan hidup (Bastaman dalam Khotimah, 2010). Memiliki keinginan agar masyarakat dapat menerima para ODHA, harapan tersebut diwujudkan dengan terlebih dahulu menunjukkan pada masyarakat bahwa gambaran orang HIV saat ini sudah tidak lagi sama seperti dulu namun tetap dapat hidup sehat serta selalu dapat melakukan hal yang terbaik.
Hal tersebut mungkin akan terhambat pencapaiannya mengingat saat ini pemahaman masyarakat mengenai HIV-AIDS masih kurang. Surahma, Taufik dan Asmidir (2012) mengungkapkan bahwa kurangnya pemahaman masyarakat dan ditambah dengan adanya momok menyeramkan saat divonis sebagai ODHA yaitu kematian, membuat penderita sering menerima perlakuan tidak adil atau bahkan mengalami diskriminasi dari lingkungan keluarga dan masyarakat.
Lain halnya dengan responden yang positif mengidap HIV karena dilatar belakangi oleh statusnya sebagai mantan pecandu narkoba. Responden mengungkapkan bahwa fokusnya saat ini adalah untuk dapat segera pulih dari ketergantungan terhadap narkoba, sedangkan hal-hal lainnya seperti pekerjaan cenderung responden biarkan mengikuti proses yang terjadi. Bila dilihat dari karakteristik individu
yang telah melakukan penerimaan diri dari Sheerer (dalam Cronbach, 1963) yaitu tidak hanya memperhatikan diri sendiri tetapi memiliki orientasi keluar dari diri memang belum tercapai, namun menurut Bastaman (dalam Khotimah, 2010) responden sudah mulai melakukan pemahaman terhadap diri (self insight). Dalam hal ini responden setidaknya telah melakukan upaya untuk mengusahakan kehidupan yang lebih baik dengan segera pulih dari ketergantungan narkoba.
-
5. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilaku/situasi yang dihadapi
Rasa akan tanggung jawab yang kelima responden tunjukkan terdiri dari dua jenis yaitu secara materi dan non materi. Bila dilihat dari sisi materi, persiapan yang dilakukan responden lebih pada tabungan untuk masa depan serta tanggungan jaminan kesehatan. Secara non materi lebih kepada kesiapan diri dan kelangsungan hidup anak-anak serta selalu memiliki rasa optimis untuk menghadapi masa depan. Campbell (dalam Hurlock, 1990) mengungkapkan, tingkat keberhasilan individu dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi akan menentukan kepuasan dan memengaruhi kebahagiaan individu tersebut. Hurlock (1990) kemudian menambahkan bahwa keberhasilan individu dalam menghadapi masalah yang dihadapi, berpengaruh terhadap konsep diri serta pembentukan kepribadian.
Rasa optimis untuk dapat menjalani kehidupan ke depan dengan lebih baik diakui salah satu responden muncul karena telah mendapatkan banyak pengalaman berarti selama bekerja membantu sesama di lapangan. Selain karena faktor pengalaman yang dimiliki selama di lapangan, rasa optimis juga membuat responden memiliki pandangan untuk melangkah dengan lebih baik dan menjadikan kesalahan di masa lalu sebagai sebuah pengalaman di dalam perjalanan hidup. Fournier dalam penelitiannya (2004) mengungkapkan bahwa optimisme membuat seorang penderita penyakit kronis, seperti HIV-AIDS, lebih mudah untuk beradaptasi dengan keadaannya dan lebih dapat mengontrol keadaannya. Segerstrom (dalam Hasan, Lilik & Agustin, 2013) menyebutkan pula bahwa optimisme dapat menolong individu untuk meningkatkan kesehatan psikologis, memiliki perasaan yang baik sehingga dapat melakukan penyelesaian masalah dengan cara yang logis.
-
6. Menerima celaan atau pujian secara objektif
Untuk dapat dikatakan sebagai individu yang telah melakukan penerimaan diri, Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengungkapkan individu harus dapat menerima celaan maupun pujian yang ditujukan kepada diri secara objektif. Sikap kelima responden terhadap pandangannya dalam menerima celaan hampir senada, memandang celaan maupun komentar yang ditujukan pada responden sebagai sebuah acuan serta semangat untuk melakukan introspeksi diri
sehingga dapat menjadi individu yang lebih baik lagi dan bukan menganggap sebagai suatu hal yang bersifat negatif, namun diungkapkan salah satu responden dirinya akan tetap berpegang pada prinsip yang di miliki untuk dapat memilah komentar yang diterima.
Ada pula responden yang menggunakan celaan yang ditujukan kepada dirinya sebagai sebuah hal untuk membuktikan diri kepada lingkungan, bahwa dirinya mampu untuk dapat bertahan hidup serta memiliki power. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan Helmi, dkk (dalam Solikhah, Lilik & Priyatama, 2014) bahwa sikap penerimaan diri terlihat dari pengakuan individu terhadap kelebihan serta kekurangan tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang bersifat terus menerus untuk mengembangkan diri.
-
7. Tidak menyalahkan diri atas keterbatasan maupun mengingkari kelebihan
Berdasarkan dari hasil yang telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya, hanya terdapat satu orang responden yang masih memiliki rasa bersalah terhadap diri. Hal tersebut diungkapkan responden timbul karena merasa kondisi yang dialami saat ini merupakan sebuah konsekuensi yang harus ditanggung atas perilakunya di masa lalu yang pernah menjadi seorang pecandu narkoba. Pancawati (2013) mengungkapkan dalam penelitiannya yang berjudul “Penerimaan Diri dan Dukungan Orangtua Terhadap Anak Autis” bahwa penerimaan diri tidak terjadi karena responden belum mampu untuk menyelesaikan beban psikologisnya atau konflik yang ada di dalam diri sehingga membuat diri kurang dapat menerima dan merasa berat untuk menjalani kondisi yang dialami.
Berbeda halnya dengan yang diungkapkan empat responden lain yang saat ini sudah tidak lagi menyalahkan, baik diri sendiri maupun kondisi yang dihadapi. Secara spiritual ada juga dua responden yang memutuskan untuk berpindah keyakinan karena menikah kembali, mendapatkan kenyamanan dan lebih diterima setelah berpindah keyakinan. Hal tersebut berkaitan dengan penjelasan yang diungkap Bastaman (dalam Khotimah, 2010) yaitu dengan melakukan pendekatan pada Tuhan, individu akan menemukan berbagai makna dan tujuan hidup yang dibutuhkan. Hurlock (1990) kemudian mengungkapkan, pada usia dewasa individu cenderung sudah memiliki pandangan hidup yang didasarkan pada agama yang dianggap memberikan kepuasan bagi diri atau dapat pula terjadi, individu meninggalkan agama yang dianut keluarga karena dirasa agama tersebut tidak memberikan kepuasan terhadap dirinya.
Tidak menutupi status positif mengidap HIV pada lingkungan juga membuktikan bahwa responden tidak merasa ruang geraknya terbatas ataupun mengingkari kelebihan yang dimiliki, justru responden ingin berbagi pengalaman dengan
orang lain. Dukungan yang diberikan anak-anak berupa ungkapan kebanggaan pada salah satu responden yang memperlihatkan bahwa responden tidak lagi merasa diri
terbatas, namun justru dapat melakukan banyak hal bahkan melebihi orang lain yang memiliki pendidikan tinggi. Salah satu bentuk dukungan sosial yang dapat diberikan dan diterima oleh individu yang diungkap Sarafino (2010) yaitu emotional support, yakni bentuk dukungan yang melibatkan ekspresi empati, perhatian, pemberian semangat, kehangatan pribadi, cinta maupun bantuan secara emosional.
22
Selalu bersyukur
Optimis & selalu melakukan yang terbaik
Menghargai diri sendiri
Pembukuan dm
MemilikiIiak & sejajar dengan orang Isin
Tidak Ingindipeilakukan berbeda
lugui membantu & berbagi
Faktor Individu
Riiiko Penulaian
HRr-AID-S
Agama
dengan orang lain
Introspeksi &
Inennaritkiu diri
selalu ■
Mendekatkan din dengan Tuhan I
Penerimaan Diri Pereinpuan Bnli Pengidap HTV-AIDS
Proses penerimaan diri yang dilalui
Kasta
Dukungan keluarga
-jeHΞtιni -LLiS-YTiiiStSi
kerja
Hasil PeneLman
Pengaruh stigma & diskriminasi terhadap penerimaan diri pengidap HIV-AIDS
Jaktor Individu
Kurur waktu mengetahui status positif Iiiaiigidap HIV-AIDS
: yang diteliti
HIV-AIDS
yang tidak memengaruhi gambaran penerimaan din. perempuan Bah pengidap JffV-AIDS
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti kemudian menyimpulkan bahwa terdapat sembilan gambaran penerimaan diri pada perempuan Bali pengidap HIV-AIDS yaitu selalu bersyukur, optimis dan selalu melakukan yang terbaik, menghargai diri sendiri, pembuktian diri, memiliki hak dan merasa sejajar dengan orang lain, tidak ingin diperlakukan berbeda, ingin membantu serta dapat berbagi dengan orang lain, introspeksi diri, mendekatkan diri dengan Tuhan. Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan keunikan bahwa terdapat beberapa faktor yang memengaruhi gambaran penerimaan diri pada perempuan Bali pengidap HIV-AIDS yaitu faktor risiko penularan HIV-AIDS, faktor agama dan faktor kasta. Hal tersebut terlihat berpengaruh pada karakteristik tidak merasa diri aneh dan tidak merasa akan ditolak oleh orang lain, tidak malu atau hanya memperhatikan
diri sendiri, dan tidak menyalahkan diri atas keterbatasan dan mengingkari kelebihan.
Ada pun saran-saran yang dapat peneliti berikan kepada individu maupun pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
-
1. Saran bagi individu ODHA
Memperbanyak kegiatan rutin yang dapat mendukung kemampuan psikologis, minat serta bakat yang dimiliki ODHA dan berkaitan terhadap hidup dengan HIV seperti ikut dalam kegiatan group support. ODHA akan menghadapi banyak permasalahan ke depannya, terutama dalam hal kesehatan yang tentu akan semakin kompleks. Oleh karena itu peranan komunikasi antara ODHA, baik dengan LSM/instansi terkait penanggulangan HIV-AIDS maupun dengan keluarga serta masyarakat sangatlah penting terutama dalam hal mendapat dukungan tidak hanya secara materi namun juga dukungan sosial.
-
2. Saran bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga ODHA
Pentingnya peranan dukungan sosial dari keluarga dalam membantu ODHA untuk dapat menerima kondisi diri. Dalam hal ini cara orang terdekat dari ODHA seperti pasangan maupun keluarga dalam memotivasi dan juga mengingatkan ODHA mengenai pentingnya minum obat tepat waktu, dapat memberikan rasa nyaman bagi ODHA tanpa adanya diskriminasi.
-
3. Saran bagi pemerintah/perangkat pemerintahan
Dalam lingkup adat, khususnya di Bali, ada baiknya juga bila prajuru (fungsionaris) adat maupun krama adat bali untuk sama-sama saling memahami beberapa hal penting yang berkaitan dengan HIV-AIDS seperti informasi dasar mengenai penularan, sosialisasi obat ARV, dan mendorong krama adat yang berisiko terjangkit HIV-AIDS untuk bersedia memeriksakan diri secara medis ke layanan kesehatan yang berkompeten, yang bertujuan untuk mengurangi laju jumlah ODHA di desa pakraman Bali.
-
4. Saran bagi masyarakat
Menghilangkan stigma serta diskriminasi terhadap ODHA dapat membantu para ODHA untuk dapat melakukan proses penerimaan terhadap dirinya. Tidak lagi melakukan stigma dan diskriminasi pada ODHA baik terutama di lingkungan desa pakraman di Bali, baik saat ODHA semasa hidup maupun sesaat setelah meninggal juga dapat membentuk munculnya rasa empati masyarakat pada ODHA.
-
5. Saran bagi peneliti lain
Sehubungan penggunaan responden dalam penelitian yang menyasar hanya pada perempuan khususnya perempuan Bali, maka disarankan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian terkait gambaran penerimaan diri pada individu pengidap HIV-AIDS dengan populasi responden yang berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut bertujuan agar mendapatkan pembahasan serta pemahaman mengenai gambaran
penerimaan diri individu pengidap HIV-AIDS secara lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Arriza, B., Dewi, E., & Kaloeti, D. (2011). Memahami rekonstruksi kebahagiaan pada
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Jurnal Psikologi Undip, 10, No. 2, 153-162.
Cronbach, L.J. (1963). Educational psychology (ed. ke-2). New York: Harcourt, Bruce,
and World.
Demartoto, A. (2006). ODHA, masalah sosial dan pemecahannya. Jurnal Penduduk dan
Pembangunan, 6, No. 2, 105-115.
Fournier, M., & Bensing, J. (2003) Is optimism sensitive to the stressor of chronic
disease ? the impact of type I diabetes mellitus and multiple sclerosis on optimistic beliefs. Psychology and Health,18, 277-294.
Ghony, M. D., & Almanshur, F. (2012). Metodologi penelitian kualitatif. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media.
Hasan, A.B.P. (2008). Pengantar psikologi kesehatan islami. Jakarta: Rajawali Pers.
Hasan, A., Lilik, S., & Agustin, R. (2013). Hubungan antara penerimaan diri dan dukungan
emosi dengan optimisme pada penderita diabetes melitus anggota aktif PERSADIA (Persatuan Diabetes Indonesia) cabang Surakarta. Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, 02, No. 02, 60-74.
Hjelle, L. A., & Ziegler, D. J. (1992). Personality theories: basic assumptions, research,
and apllication (ed. ke-3). Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Jawa Pos National Network. (2011). Indonesia taraf epidemi AIDS: diskriminasi ODHA
perempuan lebih tinggi. Diakses: 19 Februari 2013 dari website http://www.jpnn.com/read/2012/12/01/148772/Indonesia-Taraf-Epidemi-HIV/AIDS
Hurlock, E. B. (1990). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan (ed. ke-5). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Khotimah, N. (2010). Penerimaan ibu yang memiliki anak tunarungu. Jurnal Universitas
Gunadarma.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. (2008). Strategi penanggulangan HIV dan AIDS
pada perempuan tahun 2007-2010. Jakarta
Laporan Pre-Eliminary Study mengenai stigma dan diskriminasi ODHA di Bali. (2014).
Tidak Diterbitkan.
Leometa, C. H. (2007). Penerimaan diri penderita systemic lupus erythematosus (SLE) usia
dewasa muda. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Moleong. (2004). Metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi).
Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya.
Myers, D. G. (2012). Exploring social psychology (ed. ke-6). New York: Mc-Graw Hill
International Edition.
Nurbani, F. (2009). Dukungan sosial pada ODHA. Jurnal Psikologi Universitas Guna
Dharma.
Paputungan, K. (2013). Dinamika psikologis pada orang dengan HIV Dan AIDS (ODHA).
EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi, 2, No. 1, 1-21.
Ryff, C. D. (1996) Psychological well being: encyclopedia of gerontology. Madison:
Academic Press, Inc.
Sarafino, E. P., & Smith, T.W. (2010). Health psychology: biopsychosocial interactions
(ed. ke-7). New York: John Wiley & Sons, Inc.
Sattler, J.M. (2002). Assesment of children behavioral and clinical applications (ed. ke-4).
San Diego: Publisher, Inc.
Solikhah, K., Lilik, S., & Priyatama, A. N. (2014). Pengaruh pelatihan penerimaan diri
terhadap peningkatan kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan. Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, 03, No. 01, 53-63.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Penerbit
Alfabeta Bandung.
Sumarta, K., Sena, G. A., Anaya, G. N., & Suarmiartha. (2013). Tuntunan pendampingan
dan penanganan krama dengan HIV-AIDS (KDHA) oleh desa pakraman di seluruh Bali. Denpasar: MUDP Bali
Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Surahma, W., & Taufik., A. I. (2012). Konsep diri dan masalah yang dialami orang
terinfeksi HIV/AIDS. Jurnal Ilmiah Konseling, 1, No. 1, 1-12.
Suriyani, L. D. (2006). Makin banyak ibu rumah tangga terinfeksi HIV. In Muhajir, A.,
Soesanto, M & Erviani, N.K (Eds.), LENTERA: Lembaran Tentang Realita AIDS (hlm. 3-5). Bali: Sloka Institute.
Sutrisno, S. (2006). Antisipasi kaum muda Bali terhadap HIV dan AIDS. In Muhajir, A.,
Soesanto, M & Erviani, N.K (Eds.), LENTERA: Lembaran Tentang Realita AIDS (hlm. 8-10). Bali: Sloka Institute.
Tobing, D. H. (2006). Punk sebagai sebuah jalan hidup/way of life (sebuah studi
eksploratif fenomenologis komunitas punk di Yogyakarta). Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada-tidak dipublikasikan.
Windia, W., Komalasari, G. A., Suartika, G., Sudantra, K., Dyatmikawati, P., Pemayun.,
C., dkk. (2009). Perkawinan pada gelahang di Bali. Denpasar: Udayana University Press.
32
Discussion and feedback