Jurnal Psikologi Udayana

2015, Vol. 2 No. 2, 300-310

Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

Perbedaan Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran Berdasarkan Pola Komunikasi dalam Keluarga

Cokorda Istri Indraswari Pemayun dan Putu Nugrahaeni Widiasavitri Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Permasalahan pada masa berpacaran dapat menimbulkan kekerasan seperti emotional abuse yang biasanya dapat memicu timbulnya physical abuse dan sexual abuse. Peran orang tua diperlukan dalam mengontrol dan memberikan contoh perilaku kepada remaja baik secara langsung maupun tidak langsung. Anak akan membawa yang dicontohkan orang tua ke dalam lingkungan sosial seperti pola komunikasi. Pola komunikasi keluarga dibedakan menjadi empat yaitu Pluralistic, Consensual, Laissez-Faire, dan Protective. Pola komunikasi yang berbeda pada setiap keluarga secara tidak langsung akan membentuk kepribadian berbeda pada setiap remaja. Berdasarkan pemaparan tersebut, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan emotional abuse pada remaja yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga.

Subjek dalam penelitian ini adalah 75 orang remaja akhir yang berpacaran dan tinggal bersama orang tua di Universitas Udayana. Instrumen dalam penelititan ini adalah skala emotional abuse dan skala Revised Family Communication Pattern (RFCP). Hasil analisis One Way ANOVA menunjukan p=0,031 (F=3,138; p<0,05) dengan demikian dapat disebutkan bahwa terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga. Perbedaan juga terlihat dari pola komunikasi kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire terdapat nilai probabilitas p=0,043 (p<0,05) yang berarti Ho ditolak atau terdapat perbedaan antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire. Remaja yang dibesarkan dengan pola komunikasi Laissez-Faire memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam melakukan emotional abuse pada pasangan dibandingkan remaja yang dibesarkan dengan pola komunikasi Pluralistic.

Kata Kunci: emotional abuse, pola komunikasi keluarga, remaja akhir, RFCP, Pluralistic, Consensual, Laissez-Faire, Protective

Abstract


Problems in dating relationship may lead to violence such as emotional abuse that usually can lead to physical abuse and sexual abuse. The need for the role of parents in control and give examples of behaviour to adolescents directly or indirectly. Children will bring exemplified parents into the social environment as communication patterns. Family communication patterns is divided into four, namely Pluralistic, Consensual, Laissez-Faire, and Protective. Communication patterns are different in every family will indirectly establish a different personality for each adolescents. Based on the exposure, this study has the objective to determine differences in emotional abuse in adolescents who are dating is based on communication patterns within the family.

Subjects in this study were 75 people late adolescents who are dating and live with parents at Udayana University. Instruments in this research is the Emotional Abuse scale and Revised Family Communication Pattern (RFCP) scale. One Way ANOVA analysis results showed p=0,031 (F=3,138; p<0,05) can thus be noted that there are differences in emotional abuse in adolescents who are dating is based on communication patterns within the family. Differences are also evident from the pattern of Pluralistic group communication and Laissez-Faire contained probability value p=0,043 (p<0,05), which means that Ho is rejected or there is a difference between communication patterns within the family group pluralistic and Laissez-Faire. Adolescents who grew up with communication patterns Laissez-Faire has a higher tendency to do emotional abuse in couples than adolescents who grew up with pluralistic communication patterns.

Keywords: emotional abuse, family communication pattern, late adolescents, RFCP, Pluralistic, Consensual, Laissez-Faire, Protective


LATAR BELAKANG

Masa remaja pada umumnya diawali dengan pubertas. Dalam sebuah penelitian Frannery, Rowe, & Gulley (dalam Santrock, 2007) anak laki-laki dan perempuan yang lebih cepat mengalami pubertas cenderung melakukan aktivitas seksual dan  kenakalan  yang lebih tinggi

dibandingkan dengan remaja laki-laki dan perempuan yang mengalami keterlambatan pubertas.  Pubertas merupakan

proses seseorang mencapai perkembangan seksual dan kemampuan untuk bereproduksi (Papalia, Olds, & Feldman, 2006). Efek pubertas mempengaruhi remaja dalam gambaran tubuh, tingkah laku seksual dan minat berpacaran. Minat berpacaran remaja muncul karena adanya ketertarikan interpersonal. Berpacaran memiliki arti membina hubungan romantik dengan lawan jenis. Begitupula pada perubahan remaja akhir terlihat dari meningginya emosi (Hurlock, 1980). Menurut Lauren (dalam Papalia, dkk, 2009) bahwa kedekatan sesama jenis akan meningkat pada remaja awal, sedangkan kedekatan lawan jenis meningkat pada remaja akhir. Membina hubungan berpacaran dalam remaja akhir, memandang lawan jenis sebagai orang yang dicintai tanpa pamrih (Feist & Feist, 2010). Menurut Hurlock (1980), menyebutkan bahwa masa remaja akhir merupakan langkah awal menuju masa dewasa awal, pada masa remaja akhir individu menyiapkan perubahan minat yaitu dari status belum menikah menjadi status menikah pada dewasa awal. Hubungan berpacaran pada remaja akhir bukan lagi bertujuan untuk rekreasi namun untuk menyiapkan ke arah yang lebih serius atau status menikah.

Membina hubungan berpacaran merupakan pencarian kebutuhan memperoleh cinta dari seseorang. Kebutuhan akan cinta ini, menghasilkan kenyamanan dan kesenangan bagi individu yang mendapatkannya namun dalam hubungan berpacaran biasanya selalu berisi permasalahan. Permasalahan biasanya sedikit pada masa awal pacaran dan menjadi meningkat dalam hubungan pacaran yang serius (Brakier dan Kelley dalam Taylor, 2009). Permasalahan yang dipicu oleh kekerasan remaja dapat dilakukan oleh semua jenis kelamin. Menurut Taylor (2009), jenis kelamin laki-laki mendominasi peran kekerasan dalam berpacaran yang berujung pada konflik, dimana jenis kelamin perempuan sering menjadi korban dalam kekerasan berpacaran.

Perempuan sering mengganggap kekerasan yang diberikan oleh pasangannya diartikan sebagai simbol cinta dan kecemburuan, namun semakin lama perilaku kekerasan muncul menimbulkan over agresif. Kecemburuan memiliki arti reaksi terhadap pesaing yang dianggap mengancam hubungan, yang dapat memunculkan rasa cemas, marah, dan depresi. Menurut Santrock (2002), terdapat perbedaan gaya komunikasi laki-laki dan perempuan yang dapat dilihat dari gaya berinteraksi, penggunaan kata dalam berbicara, dan perbedaan power dalam hubungan. Perempuan lebih memiliki perhatian khusus dalam mempertahankan hubungan. Sebuah

survei di Amerika tahun 2010 terkait kekerasan dalam pacaran, 28% dari remaja laki-laki usia 11 sampai 14 tahun menampilkan bentuk kecemburuan dengan memeriksa ponsel pasangan lebih dari 10 kali per hari dan 24% melaporkan bahwa menampilkan bentuk kecemburuan dengan memeriksa ponsel pasangan lebih dari 20 kali per hari (Break the Cycle, 2010).

Break the Cycle (2010), mengungkapkan kekerasan dalam hubungan tidak hanya menjadi masalah pada orang dewasa yang telah menikah, namun sekarang remaja dan dewasa muda mengalami jenis yang sama dalam penyalahgunaan hubungan mereka. Satu dari tiga remaja perempuan di Amerika Serikat adalah korban kekerasan fisik dan emosional dari pasangan, lebih tinggi daripada jenis kekerasan seksual. Satu dari empat remaja dalam suatu hubungan mengatakan bahwa mereka telah menerima perlakuan dalam bentuk pelecehan nama dengan mengucapkan “binatang” yang ditujukan kepada pasangan, dilecehkan oleh pasangan mereka melalui ponsel, Short Message Service (SMS), dan verbal. Tidak berbeda jauh dengan kondisi di atas, di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Ayu, Hakimi, & Hayati (2012) gambaran physical abuse dalam hubungan berpacaran yang dialami oleh remaja putri di Kabupaten Purworejo yaitu dipukul oleh pacar atau pasangannya sebanyak 30,83%. Gambaran sexsual abuse dalam hubungan berpacaran yang dialami oleh remaja putri di Kabupaten Purworejo yaitu dicium paksa oleh pacar atau pasangan sebesar 34,17%.

Gambaran emotional abuse dalam pacaran yang dialami oleh remaja putri di Kabupaten Purworejo yaitu tanpa kerelaan membelikan pulsa untuk pacar atau pasangan sebanyak 25,83%. Gambaran emotional abuse dalam pacaran yang dialami oleh remaja putri di Kabupaten Purworejo yaitu merasa tersinggung atas perlakuan pacar atau pasangan yang menjadikannya sebagai bahan tertawaan di depan umum sebanyak 17,50%. Secara umum jumlah kasus kekerasan dalam berpacaran di Indonesia mencapai 33 kasus pada tahun 2012. Kini jumlahnya telah mencapai 21 kasus selama periode Februari hingga Agustus 2013 (Antara, 2013). Isa Anshori, ketua Telepon Sahabat Anak (TeSA) 129 Jatim menyatakan sejak Januari hingga Juli 2013 di Jatim terdapat 14 kasus kekerasan dalam pacaran (Musadah, 2013).

Break the Cycle (2010), mengungkapkan bahwa dampak kekerasan dalam berpacaran menjadi pengalaman traumatis bagi korban. Menjadi korban kekerasan dalam hubungan berpacaran lebih mungkin terjadi pada remaja, dibandingkan adanya perkelahian dengan teman hingga terlibat dalam hubungan kekerasan fisik. Kekerasan pada masa remaja dapat memiliki konsekuensi serius, yang akan menempatkan korban pada risiko tinggi untuk penyalahgunaan zat, gangguan makan, perilaku seksual berisiko, bunuh diri dan reviktimisasi dewasa. Menurut Taylor (2009)

menyebutkan bahwa untuk menilai cinta, tidak hanya dari kata-katanya namun juga dari tindakan. Idealnya dalam berpasangan akan memberikan hal positif pada masing-masing individu.

Terdapat tiga macam kekerasan dalam hubungan berpacaran, dilihat dari jenis kekerasan yang terjadi. Pertama, kekerasan seksual (sexual abuse) yaitu memaksa kegiatan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksakan melakukan hubungan seksual (Murray, 2007). Kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 38 kasus (Fadhli, 2013). Kedua, kekerasan fisik (physical abuse) seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik yang lain. Ketiga, kekerasan emosional (emotional abuse) meliputi kekerasan kemarahan atau emosional, menggunakan status sosial, intimidasi, menyangkal atau menyalahkan, ancaman, tekanan teman sebaya pemaksaan seksual, isolasi pengucilan. Emotional abuse pada hubungan berpacaran sering terjadi namun jarang untuk dilakukan penelitian karena sebagian orang menganggap dalam suatu hubungan tidak pernah terjadi emotional abuse. Bentuk kekerasan emotional abuse sering tidak disadari karena tidak ada bukti nyata seperti kekerasan fisik, namun jika dibiarkan korban akan mengalami trauma psikologis.

Berikut merupakan kutipan wawancara terhadap salah satu remaja yang melakukan emotional abuse dalam berpacaran.

Ijak (19 Tahun): (Komunikasi Personal, 5 September 2014) “Kalau aku berantem sama cowokku aku harus menang gak peduli sapa yang salah. Ya, gimana caranya aku menang aku menggunakan kata-kata biasanya agak kasar ya maklum orang berantem kayak gimana sering keceplosan. Aku juga gak ngubungin cowokku kalo aku ngambek biar dia yang rengek-rengek. Misalnya ya, pacarku buat malu di depan umum ya aku ledekin ketawain dia. Aku juga mengontrol masalah sikap, pakaian dan lain-lain ke dia. Aku suka menyindir-nyindir dia kalo dia gak mau nurutin apa yang aku mauin. Apabila aku lagi berada sama temen dan ada pacarku, aku fokus ke temen pacarku gak peduliin bahkan kadang ku goda-godain dan ku ledekin, aku terkadang sebel is sampe-sampe aku sering menyalahkan dia kalo dia tu gak becus ku mintain tolong.”

Berdasarkan kutipan hasil wawancara dapat dilihat bahwa Ijak memperlakukan pasangan dengan tidak hormat dan membatasi diri pasangannya.

Contoh lain, pada kasus perseteruan artis, Ardina Rasti dengan Eza Gionnino yang terlibat kasus kekerasan dalam berpacaran. Kekerasan yang dilakukan Eza berupa physical abuse seperti melemparkan seluruh barang yang

berada di sekitarnya ke tubuh Rasti hingga adanya pemukulan oleh Eza terhadap Rasti. Terdapat juga emotional abuse yang dilakukan Eza berupa melemparkan kata-kata “binatang” kepada Rasti (Farouk, 2013). Emotional abuse biasanya diikuti juga dengan physical abuse dan sexual abuse (Jantz dan McMurray, 2003). Emotional abuse dapat menyebabkan masalah psikologis dan fisik yang serius pada perempuan seperti depresi, kecemasan, sakit kepala, dan masalah pada tulang belakang (Health Canada, 1996).

Kasus Eza Gionnino, telah menyeret Eza Gionino menjadi tersangka. Pada dasarnya kekerasan dalam berpacaran telah memiliki sangsi hukum yang tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti: pelecehan seksual dapat dituntut dengan pasal 289-298,506 KUHP, tindak pidana terhadap kesopanan pasal 281-283, 532-533 KUHP, kekerasan fisik dapat dituntut dengan pasal penganiayaan (pasal 351-358 KUHP), pelaku pemerkosaan bisa dituntut dengan pasal 285 KUHP, persetubuhan dengan perempuan di bawah umur dapat dituntut dengan pasal 286288 KUHP, dan perkosaan terhadap anak dapat dituntut dengan pasal 81-82 UUPA (Ipmawati, 2012). Namun sangat disayangkan sanksi hukum ini belum sepenuhnya diketahui dan disadari oleh remaja, sehingga diperlukan peran keluarga khususnya orang tua yang memiliki fungsi sebagai pengontrol tindakan dan pembentukan karakter anak khususnya dalam berkomunikasi (Jantz & McMurray, 2003).

Orang tua memberikan contoh perilaku kepada anaknya secara langsung maupun tidak langsung, dan anak membawa perilaku tersebut ke lingkungannya (Papalia, dkk, 2006). Apabila perilaku kekerasan mulai diperkenalkan sejak masa kecil dalam lingkungan keluarga, akan memiliki dampak negatif terhadap anak. Kekerasan yang merupakan suatu aspek kritis dalam fungsi keluarga seringkali mempengaruhi perkembangan struktur keluarga terhadap remaja (Santrock, 2002). Menurut Friedman (1998), tindakan preventif dimulai dari keluarga, khususnya keluarga inti yang memiliki fungsi dalam memenuhi kebutuhan dan pembentukan karakter anggota keluarga. Peran anggota keluarga penting untuk menjaga stabilitas dan keutuhan keluarga. Keluarga dapat mempengaruhi karakter setiap individu yang menjadi bagian di dalam keluarga.

Perubahan fungsi keluarga dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, pemberian status, pendidikan, sosialisasi anak, agama, rekreasi, reproduksi perawatan dan afektif. Orang tua menjadi hal utama karena orang tua yang memperkenalkan lingkungan dan masyarakat kepada anak-anaknya. Pola interaksi penting dan diperlukan untuk membangun sebuah keluarga yang sehat. Apabila tidak ada kesesuaian dalam interaksi keluarga dapat menyebabkan timbulnya kekerasan, misalnya hubungan orang tua yang tidak baik, pola asuh orang tua terhadap anak serta pola komunikasi orang tua dengan anak atau keluarga. Pola komunikasi dalam

setiap keluarga berbeda-beda, menurut Fitzpatrick & Ritchie (1994) dalam (Segrin dan Jeanne, 2011) pola komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi empat yaitu Pluralistic, Consensual, Laissez-Faire, dan Protective.

Pola komunikasi Pluralistic adalah pola komunikasi yang membebaskan anggota keluarga aktif berpendapat. Pola komunikasi Consensual adalah adanya tekanan untuk menurut dengan aturan yang ada di keluarga pada saat komunikasi terbuka, hal ini dapat menyebabkan timbulnya perasaan negatif apabila terjadi konflik keluarga. Pola komunikasi Laissez-Faire adalah pola komunikasi yang memiliki tingkat kepedulian antar anggota keluarga yang rendah dan dapat menurunkan resiko konflik di dalam keluarga. Sedangkan pada pola komunikasi Protective yaitu aggota keluarga diberi tekanan pada ketaatan dan kesesuaian untuk mengikuti value, belief dan attitude yang berlaku dikeluarga, biasanya keluarga dengan pola komunikasi seperti ini lebih terhindar dari konflik. Pola komunikasi yang tidak baik atau tidak sesuai dengan kebutuhan anak dapat menyebabkan konflik, seperti depresi dalam diri anak (Zuhri, 2009).

Disamping itu pola komunikasi keluarga juga mempengaruhi perkembangan emosi pada anak (Setyowati, 2005). Anak membawa pola komunikasi keluarga ke dalam lingkungan sosial. Contoh, pada kasus Eza Gionnino, Eza adalah korban perceraian dan hidup dengan orang tua tunggal (Pangesti, 2014). Pola komunikasi pada keluarga Eza berubah pasca perceraian orang tua Eza, dan hal tersebut yang dapat mempengaruhi emosi Eza. Contoh lain seperti kutipan wawancara terkait salah satu pola komunikasi dalam keluarga remaja yang dapat menyebabkan terjadinya emotional abuse dalam berpacaran.

Ijak (19 Tahun): (Komunikasi Personal, 5 September 2014)

“Ibuku kalo ngomong selalu make nada tinggi, belum apa-apa uda marah duluan. Orang tuaku juga sekarang punya jejaring sosial misalnya, aku ada buat status apa gitu pasti di komen. Eh, komenannya itu lo isinya nge-bully aku. Aku juga harus menuruti semua yang dikasi tau sama orang tuaku. Kalo ngelawan ya habis ku diomelin. Ibuku tu cerewetnya duh banget. Terkadang papaku aja sampe iya-iyain aja. Tapi mereka sama-sama suka bully aku. Opiniku sih kadang didengerin kadang ya diabaikan saja hahaaha, makanya jarang aku ngomong sama ortuku soalnya males aku harus nurut.”

Berdasarkan kutipan wawancara dengan Ijak (19 Tahun), Ijak yang melakukan emotional abuse terhadap pacarnya ternyata juga memiliki pola komunikasi keluarga yang tidak baik. Berdasarkan contoh diatas, peneliti melihat adanya perbedaan pola komunikasi yang dapat mempengaruhi emotional abuse dalam berpacaran remaja. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh salah satu pola komunikasi

yang tidak baik, jika dikaitkan dengan emotional abuse dalam berpacaran remaja, dapat menghasilkan asumsi bahwa pola komunikasi dalam keluarga berkaitan dengan emotional abuse pada remaja yang berpacaran. Selanjutnya terkait dengan hal tersebut, juga diasumsikan bahwa akan terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga. Hal ini terlihat orang tua dan keluarga sebagai model untuk anak berinteraksi sosial seperti berkomunikasi dengan pasangan.

Jika ditinjau dari dampak negatif dari pola komunikasi yang tidak baik yang telah disebutkan sebelumnya yaitu dapat menyebabkan konflik seperti depresi dalam diri anak dan mempengaruhi emosi anak. Berdasarkan pemaparan di ataslah peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga. Karena asumsi peneliti bahwa terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga. Oleh karena itu maka hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan psikologi perkembangan dalam hal emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran. Hasil penelitian ini juga dapat sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya dengan tema yang tidak jauh berbeda. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah membantu orang tua dalam memilih pola komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar dapat menjadikan anak menjadi individu yang lebih baik khususnya dalam aspek emosional remaja akhir, bagi remaja akhir dapat membantu remaja untuk mengetahui dan menginformasikan kepada orang tua tentang pola komunikasi dalam keluarga yang sesuai kebutuhan.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel bebas yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah konformitas dan kecerdasan emosional sedangkan variabel tergantung yang di dalam penelitian ini adalah agresivitas. Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

  • 1.    Pola Komunikasi Dalam Keluarga

Pola komunikasi dalam keluarga adalah cara anggota keluarga mengkomunikasikan ide-ide atau masalah yang ingin dibicarakan kepada anggota keluarga lainnya. Penggolongan pola komunikasi dalam keluarga ditentukan dengan skala Revised Family Communication Pattern (RFCP).

  • 2.    Emotional Abuse

Emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran adalah kekerasan yang dilakukan oleh remaja akhir kepada pasangannya dalam bentuk emosional yang berfokus pada kontrol dan dominasi didalam hubungan berpacaran. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala emotional

abuse. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi emotional abuse dalam berpacaran.

Responden

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja akhir di Universitas Udayana. Krtiteria subjek pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Usia 18-21 tahun

  • 2.    Mengikuti perkuliahan di Universitas Udayana

  • 3.    Tinggal bersama dengan orang tua

  • 4.    Terkait dengan pola komunikasi yang terus-menerus diterapkan.

  • 5.    Memiliki pacar

Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu sampling purposive. Sampling purposive merupakan pengambilan sampel dari populasi dilakukan dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013). Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 75 orang.

Tempat Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Denpasar, pada remaja akhir di Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015.

Alat Ukur

Skala yang digunakan pada kuisioner adalah skala The Revised Family Communication Pattern Instrument oleh Fitzpatrick dan Koerner (dalam Gudykunst, 2002) yang dimodifikasi peneliti, skala emotional abuse yang disusun oleh peneliti. Skala pola komunikasi dalam keluarga terdiri dari 24 aitem dengan menggunakan model skala likert dengan lima kategori pilihan jawaban. Skala likert ini digunakan karena dengan menggunakan skala ini dapat terlihat perbedaan yang menunjukkan intensitas pada setiap pilihan jawaban. Selain itu kuesioner ini juga terdiri dari aitem favorable dan aitem unfavourable.

Hasil pengujian validitas skala pola komunikasi dalam keluarga didapatkan hasil koefisien korelasi item total pada dimensi conversation orientation yaitu bergerak dari 0,341-0,732 dan pada dimensi conformity orientation yaitu 0,266-0,612. Hasil pengujian reliabilitas skala pola komunikasi dalam keluarga pada dimensi conversation orientation sebesar 0,895 dan pada dimensi conformity orientation sebesar 0,727, hal ini menunjukkan bahwa skala ini mampu mencerminkan 89,50% dan 72,7 % variasi yang terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan sehingga alat ukur layak digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur variabel pola komunikasi dalam keluarga.

Pada hasil pengujian validitas skala emotional abuse didapatkan hasil koefisien korelasi item total bergerak dari 0,298-0,732. Hasil pengujian reliabilitas skala emotional abuse pada saat uji coba adalah 0,924 yang menunjukkan bahwa skala ini mampu mencerminkan 92,40% variasi yang terjadi

pada skor murni subjek yang bersangkutan sehingga alat ukur layak digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur variabel emotional abuse.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis OneWay ANOVA. Analisis ini bertujuan untuk membuktikan apakah terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga. Pengujian ini dibantu dengan SPSS 17.0. Sebelum melakukan analisis OneWay ANOVA, peneliti melakukan uji normalitas, uji homogenitas. Pada penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov, uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan Levene’s Test of Equality Error Variances.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Peneliti melihat karakteristik subjek penelitian yang berjumlah 150 responden dengan 63 orang berjenis kelamin laki-laki dan 87 orang berjenis kelamin perempuan. Subjek didominasi pada usia berpacaran 1-24 bulan yaitu 104 mahasiswa, usia berpacaran 25-48 bulan yaitu 30 mahasiswa, usia berpacaran 49-72 bulan yaitu 12 mahasiswa, usia berpacaran 73-96 bulan yaitu 3 mahasiswa, dan usia berpacaran 97-120 bulan yaitu 1 mahasiswa. Subjek pada penelitian ini merupakan remaja akhir yang memiliki rentang usia dari 18 hingga 21 tahun.

Deskripsi Data Penelitian

Tabel 1.

Deskiipsi Statislik Data Peuelitiau

Eniolioiiai

Conversation

Conformity

Abuse

Orienration

orientation

75

75

75

Mean Euipiiis

74.1867

51.4800

27.4267

Mean Teoritis

111

45

27

Sid. Deviation

21.22129

15,53232

7,92562

Miiiiniiuii

45

16

14

Maxiiuuiu

145

75

45

t

30.275

28.703

29.969

(p-0.000)

(p=0.000)

(p=0.000)

Perbedaan mean teoritis dan mean empiris pada variabel emotional abuse dalam berpacaran sebesar 36,8133. Mean empiris lebih rendah dari mean teoritis, dengan nilai t sebesar 30,275 (p=0,000) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean toritis dan mean empiris pada emotional abuse. Hal ini menunjukkan rata-rata subjek penelitian tergolong rendah melakukan emotional abuse dalam berpacaran.

Perbedaan mean teoritis dan mean empiris pada variabel pola komunikasi dalam keluarga pada dimensi conversation orientation dalam berpacaran sebesar 6.48. Mean

empiris lebih tinggi dari mean teoritis, dengan nilai t sebesar 28,703 (p=0,000) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean teoritis dan mean empiris pada dimensi conversation orientation. Hal ini menunjukkan rata-rata subjek penelitian tergolong memiliki skor yang tinggi pada dimensi conversation orientation.

Perbedaan mean teoritis dan mean empiris pada variabel pola komunikasi dalam keluarga pada dimensi conformity orientation dalam berpacaran sebesar 6,48. Mean empiris lebih tinggi dari mean teoritis, dengan nilai t sebesar 29,969 (p=0,000) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean teoritis dan mean empiris pada dimensi conformity orientation. Hal ini menunjukkan rata-rata subjek penelitian tergolong memiliki skor yang tinggi pada dimensi conformity orientation.

Uji Asumsi

Tabel 2.

Hasil Uji Noriiialilas

V7Iirhibel

KoIm ogorof-snι irn oi1

Asγmp. Sig. (2∙tailed) '        (P)

Emotional Abuse

1,123

0.160

Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan teknik Kolmogorof Smirnov pada program spss (Santoso, 2005). Jika hasil p>0.05 maka data dapat dikatakan normal. Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa dari variabel emotional abuse dalam berpacaran menghasilkan nilai Kolmogorof-smirnov sebesar 1,123 dengan signifikansi 0,160 (p>0,05). Hal ini menunjukkan data pada variabel emotional abuse dalam berpacaran memiliki distribusi normal.

Tabel 3.

IIasil Homogenitas_________________________________________________________________________

N SampeJ               Levene Siaiislic              Asymp. Sig- (2-tailed)

(Pi 75                                                                   (>.U5I

Pada tabel diatas terlihat N subjek sebanyak 75, bahwa menunjukkan angka 2,711 dengan signifikansi (p=0,051). Oleh karena p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data memiliki variansi yang sama (homogen). Berdasarkan hasil dari uji normalitas dan uji homogenitas dapat terlihat bahwa di data dalam penelitian ini ditribusi normal dan bersal dari varians yang sama (homogen). Analisis dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu analisis OneWay ANOVA.

Uji Hipotesis

Uji OneWay ANOVA

Peneliti menggunakan analisis One Way ANOVA untuk melihat seberapa besar skor perbedaan. Pada tabel ANOVA terlihat nilai F test 3,138 dengan signifikansi (p=0,031), hal tersebut menunjukkan bahwa (p<0,050), hal ini berarti menyatakan Ho ditolak, dengan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rata-rata emotional

abuse dalam berpacaran remaja akhir pada keempat pola komunikasi dalam keluarga tersebut memiliki perbedaan yang signifikan.

TabeL4.

Deskripsi OneWavANOVA_______________________________________________________

________N Subjek________________F______________________P__________________ 75 3,138 0,031

Tabel.5.

Deskripsi mean dan standar deviasi______________________________________________________________

Pola Komunikasi _________N_______ Mean_____________ Standar Deviasi_________

PhiiaHstic____________.___________17________ 67.2353_____________ 11.72353__________________

Consensual___________________23_______ 69,0870____________ 15,09640________________

Laissez-Faire__________________20________85,3000_____________28,54194________________

Protective____________.___________15________ 75,0667_____________ 21.92998__________________

Total 75 74,1867 21,22129

Tabel tersebut menunjukkan bahwa N setiap kelompok berbeda. Pada kelompok Pluralistic memiliki N sebanyak 17 orang dengan mean kelompok 67,2353 dengan standar deviasi 11,72353. Pada kelompok Consensual memiliki N sebanyak 23 orang dengan mean kelompok 69,0870 dan standar deviasi 15,09640. Pada kelompok Laissez-Faire memiliki N sebanyak 20 orang dengan mean kelompok sebesar 85,3000 dan standar deviasi 28,54194. Sedangkan pada kelompok Protective sebanyak 15 orang dengan mean kelompok sebesar 75,0667 dan standar deviasi 21,92998.

Tabel.6.

Deskiipsi perbandingan setiap kelompok pola komunikasi dalam keluarga

Kelompok

Mean Difference

P

Makna

Pluralistic dan Consensual

-1.85166

0.992

Tidak Berbeda

Pluralistic dan Laissez-Faire

-18.06471*

0.043

Berbeda

Pluralistic dan Protective

-7.83137

0.699

Tidak Berbeda

Consensual dan Laissez-Faire

-16.21304

0.053

Tidak Berbeda

Consensual dan

Protective

-5.97971

0.813

Tidak Berbeda

Laissez-Faire dan Protective

10,23333

0.460

Tidak Berbeda

Pada tabel 6 diatas menunjukkan pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Consensual terdapat nilai probabilitas 0,992 dikarenakan nilai probabilitas sebesar diatas 0,05, yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau, tidak ada perbedaan antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Consensual. Pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire terdapat nilai probabilitas 0,043 dikarenakan nilai probabilitas dibawah 0,05, yang menunjukkan bahwa Ho ditolak atau, ada perbedaan antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire. Pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Protective terdapat nilai probabilitas 0,699 dikarenakan nilai probabilitas sebesar 0,05, yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau, tidak ada perbedaan antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Protective. Pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Laissez-Faire terdapat nilai probabilitas 0,053 dikarenakan nilai probabilitas sebesar 0,05, yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau, tidak ada perbedaan antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Laissez-Faire.

Pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Protective terdapat nilai probabilitas 0,813

dikarenakan nilai probabilitas sebesar diatas 0,05, yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau, tidak ada perbedaan antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Protective. Pola komunikasi dalam keluarga kelompok Laissez-Faire dan Protective terdapat nilai probabilitas 0,460 dikarenakan nilai probabilitas sebesar diatas 0,05, yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau, tidak ada perbedaan

antara

ola komunikasi

dalam

keluarga kelompok Laissez-

Faire dan Protective.

Tabel.7

Deskiipsi Tttkey HSD

Pola Komunikasi dalam Keluarga

Tukey Phtralistic

HSDii Consensual

17

23

1

67.2353

69,0870

2

69.0870

Protective

15

75,0667

75.0667

Laissez-Faire Sig.

20

0,652

85.3000

0,085

Pada tabel 7 yang dapat dilihat pada subset 1, terlihat hanya grup pada anggota kelompok Pluralistic, Consensual, Protective. Dengan kata lain dapat dikatakan kelompok Pluralistic, Consensual, Protective tidak memiliki perbedaan yang signifikan satu dengan yang lainnya.

Pada subset 2, terlihat hanya grup pada anggota kelompok Consensual, Protective, dan Laissez-Faire. Dengan kata lain dapat dikatakan kelompok Pluralistic, Consensual, Protective tidak memiliki perbedaan yang signifikan satu dengan yang lainnya.

Berikut ini peneliti merangkum hasil uji hipotesis mayor dan minor ke dalam tabel 8.

Tabel 8.

Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Penelitian__________________________________________________

.NO                         HIPOTESIS HASlI

  • 1.    Hipotesis Mayor:

Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran         Diterinia

berdasarkan pola komunikasi keluar ga________________________________________________

  • 2.    Hipotesis Minor:

a.Terdapat perbedaan emotional abase pada remaja akhir yang berpacaran Diterima antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire.

b.Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran Ditolak antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pkualistic dan Consensual.

c.Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran Ditolak antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok PkuaEstic dan Piotective.

d.Terdapar perbedaan emotional abase pada remaja akhir yang berpacaran Ditolak antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Protective.

e.Terdapat perbedaan emotional abase pada remaja akhir yang berpacaran Ditolak antara pola koimmikasi dalam keluarga kelompok Conseusual dan Laissez-Faire.

  • f. Terdapat perbedaan emotional abase pada remaja akhir yang berpacaran Ditolak antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Protective dan Laissez-Faire.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Hasil dari uji analisis One Way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan dari pola komunikasi dalam keluarga. Perbedaan terlihat dari nilai F test sebesar 3,138 dan signifikansi sebesar 0,031 (p<0,05), dengan demikian hipotesis alternatif (ha) dalam penelitian ini yang berbunyi “terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga” diterima dan hipotesis nol (ho) ditolak. Hasil perhitungan Tukey HSD juga mendukung secara statistik

bahwa terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran disetiap kelompok pola komunikasi dalam keluarga.

Pada pola komunikasi kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire terdapat nilai probabilitas 0,043 (p<0,05) yang berarti Ho ditolak atau ada perbedaan antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire. Perbedaan yang signifikan terlihat dari tabel deskripsi mean, skor emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara kedua pola komunikasi keluarga, yaitu pada tipe Pluralistic memiliki rata-rata skor emotional abuse sebesar 67,2353 dan tipe Laissez-Faire yang memiliki rata-rata skor emotional abuse sebesar 85,3000. Maka dapat disimpulkan bahwa remaja akhir yang dibesarkan dengan pola komunikasi keluarga Laissez-Faire memiliki kecenderungan untuk melakukan emotional abuse terhadap pacarnya lebih tinggi dibandingkan remaja akhir yang dibesarkan dengan pola komunikasi keluarga Pluralistic. Pola komunikasi Pluralistic dan Laissez-Faire memiliki kecenderungan conformity orientation yang rendah. Skor conformity orientation pada kedua pola komunikasi ini sama namun pada kedua pola komunikasi keluarga memiliki perbedaan pada conversation orientation. Pada pola komunikasi Pluralistic memiliki skor orientation conversation yang tinggi yang berarti menunjukkan komunikasi terbuka dan tidak dibatasi dalam keluarga serta seluruh anggota keluarga didorong untuk berpikir secara mandiri. Sedangkan pada pola komunikasi Laissez-Faire memiliki skor conversation orientation yang rendah yang berarti menunjukkan komunikasi tertutup dan dibatasi dalam keluarga serta seluruh anggota keluarga tidak didorong untuk berpikir secara mandiri.

Skor conversation orientation yang lebih tinggi pada pola komunikasi keluarga menyebabkan skor pada emotional abuse menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pola komunikasi Laissez-Faire. Rendahnya skor conversation orientation pada pola komunikasi Laissez-Faire terlihat pula dari penjelasan Fitzpatrick & Ritchie, 1994 (dalam Segrin dan Jeanne, 2011) bahwa anggota keluarga dalam pola Laissez-Faire memiliki sedikit interaksi untuk mendiskusikan sejumlah topik yang membuat keterlibatan emosional antar anggota menjadi rendah dan membuat anggota keluarga mencari hubungan emosional di luar keluarga untuk menghindari konflik di dalam keluarga. Hal ini menunjukkan conversation yang tinggi dapat membuat rendahnya tingkat emotional abuse remaja akhir yang berpacaran. Oleh karena itu pola komunikasi dalam keluarga dengan dimensi conversation orientation pada pola komunikasi dalam keluarga memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran.

Emotional abuse dalam pacaran menurut Worell (2002) yaitu berbagai bentuk tekanan, agresifitas, atau trauma yang lebih bersifat psikologis dibandingkan bersifat fisik,

walaupun pasangan tidak memiliki kontrol kemungkinan terjadinya emotional abuse tetap ada. Menurut Alberta (2008), emotional abuse adalah tindakan untuk mendominasi, mengisolasi, dan emosional yang berlebihan yaitu secara verbal. Paludi (2011) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah pengaruh keluarga. Pengaruh keluarga tersebut adalah remaja cenderung untuk mengikuti apa yang dilihat di rumah. Remaja yang tumbuh di lingkungan keluarga yang penuh kekerasan memiliki kecenderungan melihat kekerasan menjadi hal yang normal. Remaja juga mengidentifikasi apa yang dilihatnya di rumah termasuk gaya berkomunikasi orang tua dan cara orang tua menghadapi konflik. Emotional abuse yang dilakukan pasangannya lebih kearah kekerasan verbal memiliki kaitan dengan dimensi conversation orientation, dikarenakan dalam conversation orientation juga lebih mengarah pada bentuk komunikasi verbal yang dilakukan oleh keluarga. Peran keluarga khususnya orang tua memiliki fungsi sebagai pengontrol tindakan dan pembentukan karakter anak khususnya dalam berkomunikasi (Jantz & McMurray, 2003). Pernyataan tersebut menjelaskan pola komunikasi dalam keluarga khususnya pada dimensi conversation orientation yang diterapkan orang tua dapat menjadi model yang akan ditiru oleh remaja untuk diterapkan ke lingkungan sosial.

Hasil penelitian Koerner dan Fitzpatrick (1997), menunjukkan bahwa conversation orientation merupakan partisipasi yang tidak terbatas seperti anggota keluarga dapat berpendapat secara bebas. Dijelaskan pula bahwa individu yang dibesarkan dalam pola komunikasi dengan skor conversation orientation rendah akan cenderung mendapat konflik dikehidupannya. Begitu pula sebaliknya, hal ini tercermin pada pola komunikasi Lassiez-Faire yang memiliki skor conversation orientation yang rendah menyebabkan meningkatnya skor emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran. Dijelaskan juga menurut Koerner dan Cvancara (2002), remaja yang dibesarkan dalam pola komunikasi dengan skor conversation orientation tinggi akan cenderung lebih berorientasi pada dirinya, khususnya dalam berpendapat, memberi saran, interpretasi, dan pertanyaan-pertanyaan dalam komunikasi mereka. Remaja yang dibesarkan dalam pola komunikasi dengan conversation orientation yang rendah akan cenderung berkomunikasi untuk mengkonfirmasi, pengakuan, dan refleksi pada percakapan mereka. Menurut Nurhajati dan Wardyaningrum (2012), dengan conversation orientation yang rendah pada keluarga mengakibatkan anak akan mencari figur orang lain diluar keluarga inti seperti paman, teman, pacar, atau orangtua pacar sebagai teman untuk berbagi. Namun hasil penelitian Wardyaningrum (2012) menunjukkan bahwa remaja lebih menyukai penyelesaian konflik dengan conversation orientation. Hal ini membuktikan bahwa conversation

orientation dapat menjadi penyebab salah satu timbulnya emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran.

Pada pola komunikasi Pluralistic memiliki skor mean sebesar 67,2353 dan Consensual memiliki skor mean sebesar 69,0870, yang menjelaskan bahwa skor remaja akhir dari pola komunikasi Consensual yang melakukan emotional abuse terhadap pacarnya lebih tinggi daripada skor remaja akhir dari pola komunikasi Pluralistic yang melakukan emotional abuse terhadap pacarnya. Apabila ditinjau dari nilai probabilitas pada kedua pola komunikasi keluarga ini sebesar 0,992 (p<0,05) menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Consensual. Nilai p=0,992 yang hampir mendekati p=1 memiliki arti bahwa kedua kelompok hampir tidak memiliki perbedaan. Pada skor pola komunikasi Pluralistic dan pola komunikasi Consensual memiliki skor pada dimensi conversation orientation yang tinggi, sedangkan pada dimensi conformity orientation pola komunikasi Consensual memiliki kecenderungan conformity orientation yang tinggi. Kedua pola komunikasi ini hampir tidak memiliki perbedaan dimana didukung oleh pernyataan Fitzpatrick dan Koerner (2004), yang menyebutkan bahwa remaja yang dibesarkan dalam pola komunikasi Pluraistic dan Consensual sama-sama didorong untuk memiliki ide-ide sendiri.

Skor mean pada pola komunikasi Protective sebesar 75,0667 lebih tinggi dibandingkan dengan pola komunikasi Pluralistic sebesar 67,2353 dengan nilai probabilitas 0,699 (p<0,05) menunjukkan tidak terdapat perbedaan dalam kedua kelompok ini. Skor pada kedua pola komunikasi ini memiliki perbandingan skor yang terbalik. Pada pola komunikasi Protective memiliki skor conversation orientation yang rendah sedangkan pola komunikasi Pluralistic memiliki skor conversation orientation yang tinggi. Rendahnya skor conversation orientation pada pola komunikasi protective menjelaskan adanya tekanan pada kesesuaian dan ketaatan serta membuat anggota keluarga menghindari konflik, yang mengakibatkan anggota keluarga melampiaskan menjadi perasaan negatif.

Pola komunikasi keluarga Consensual dan Laissez-Faire memiliki nilai probabilitas 0,053 (p>0,05) yang menunjukkan hampir terdapat perbedaan dalam kedua kelompok ini. Apabila dilihat dari signifikansi maka Ho diterima atau tidak ada perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi pada kelompok Consensual dan Laissez-Faire. Skor mean pada pola komunikasi Consensual sebesar 69,0870 yang lebih tinggi daripada mean pada pola komunikasi Laissez-Faire sebesar 85,300. Kedua pola ini memiliki kecenderungan skor conversation orientation dan skor conformity orientation yang berbanding terbalik. Pada pola komunikasi Consensual memiliki skor conversation orientation tinggi sedangkan pada

pola komunikasi Laissez-Faire memiliki skor conversation orientation yang rendah. Namun pada dimensi conversation orientation pada pola komunikasi Consensual memiliki kecenderungan skor yang tinggi dan pada pola komunikasi Laissez-Faire memiliki kecenderungan skor conversation orientation yang rendah. Menurut Fitzpatrick dan Koerner (2004), menyebutkan bahwa remaja yang dibesarkan dalam pola komunikasi Consensual dan Laissez-Faire memiliki karaktersistik perilaku yang dipengaruhi oleh faktor sosial. Pola komunikasi Consensual remaja akan cenderung mengadopsi perilaku dari interaksi dengan orang tua, sedangkan remaja yang dibesarkan dalam pola komunikasi Laissez-Faire akan cenderung mengadopsi perilaku dari interaksi dengan sosial eksternal seperti teman sebaya.

Pola komunikasi keluarga Consensual dan Protective memiliki nilai probabilitas 0,813 (p>0,05) menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada perbedaan antara pola komunikasi keluarga Consensual dan Protective. Skor mean pada pola komunikasi Consensual sebesar 69,0870 yang lebih rendah daripada mean pada pola komunikasi Protective sebesar 75,0667. Skor conformity orientation yang sama tinggi membuat pola komunikasi Protective memiliki skor emotional abuse yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan pola komunikasi Consensual. Apabila ditinjau dari conversation orientation kedua pola komunikasi ini memiliki skor conversation orientation yang berbanding terbalik. Pada pola komunikasi Consensual memiliki skor conversation orientation tinggi sedangkan pada pola komunikasi Protective memiliki skor conversation orientation rendah. Paludi (2011), menjelaskan bahwa gaya perilaku orang tua akan ditiru oleh anak dan dijadikan model dalam penyelesaian masalah. Hal ini yang mendukung bahwa pola komunikasi Protective memiliki skor emotional abuse yang lebih tinggi daripada Consensual. Menurut Fitzpatrick dan Koerner (2004), pola komunikasi Protective membuat remaja menjadi sangat gampang untuk dipengaruhi dan dipersuasi oleh lingkungan luar dikarenakan remaja yang dibesarkan dalam pola komunikasi ini tidak diberikan bekal persiapan diri untuk dunia luar.

Pola komunikasi keluarga Laissez-Faire dan Protective memiliki nilai probabilitas 0,460 (p<0,05) menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada perbedaan antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Laissez-Faire dan Protective. Skor mean pada pola komunikasi Laissez-Faire sebesar 85,300 mebih besar daripada mean pada pola komunikasi Protective sebesar 75,0667. Skor conversation orientation yang sama rendah membuat pola komunikasi Protective memiliki skor emotional abuse yang tidak jauh berbeda dan berada diposisi skor yang lebih tinggi pada emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran dibandingkan dengan pola komunikasi lain. Namun, apabila ditinjau dari conformity orientation kedua pola komunikasi ini memiliki skor conformity orientation yang berbanding

terbalik. Pada komunikasi Laissez-Faire skor conformity orientation yang rendah sedangkan Protective memiliki skor conformity orientation yang tinggi. Pada pola komunikasi Protective dan Laissez-Faire memiliki perbedaan yang sangat kecil dalam skor emotional abuse, menurut Fitzpatrick dan Koerner (2004) menyatakan bahwa kedua pola komunikasi ini sama-sama memiliki dampak yang membuat remaja sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitar yang dikarenakan rendahnya interaksi dengan keluarga sehingga anak akan lebih cenderung untuk mencari interaksi ke lingkungan luar.

Perbedaan keempat pola komunikasi keluarga ini terlihat jelas pada tabel homogeneous subset. Kelompok Pluralistic, Consensual, dan Protective tidak memiliki perbedaan yang signifikan satu dengan yang lainnya. Dan pada kelompok Consensual, Protective, dan Laissez-Faire tidak memiliki perbedaan yang nyata. Perbedaan yang nyata hanya terlihat pada kelompok Consensual dan Laissez-Faire. Hal ini terjadi karena rata-rata mean yang sama di dalam setiap subset, pada subset pertama merupakan kategori yang dapat digolongkan rendah skor emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran dan pada subset kedua merupakan kategori yang dapat digolongkan tinggi skor emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran.

Pola komunikasi Pluralistic memiliki skor mean terendah yaitu sebesar 67,2353 dibandingkan dengan pola komunikasi keluarga Consensual yang memiliki skor 69,0870, Laissez-Faire dengan skor 85,300 dan juga Protective dengan skor 75,0667. Hal ini menunjukkan bahwa apabila sebuah keluarga memiliki skor conversation orientation yang tinggi dan skor conformity orientation rendah, maka emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran akan lebih rendah dibandingkan dengan pola komunikasi keluarga yang lain. Sedangkan pola komunikasi keluarga Consensual, memiliki nilai terendah kedua yang disebabkan oleh skor conversation orientation yang tinggi dan skor conformity orientation yang tinggi. Conformity orientation yang tinggi menjadi penyebab adanya emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran jika dikaitkan dengan pola komunikasi keluarga, maka pola komunikasi Consensual lebih tinggi jika dibandingkan dengan pola komunikasi Pluralistic.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga. Diperkuat dengan terdapatnya adanya hasil terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire dimana Pola komunikasi dalam keluarga Laissez-Faire memiliki skor emotional abuse yang lebih tinggi daripada pola komunikasi dalam keluarga Pluralistic. Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan

Consensual. Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Protective. Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Protective. Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Laissez-Faire. Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Protective dan Laissez-Faire. Pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic memiliki skor emotional abuse dalam berpacaran remaja akhir yang paling rendah diantara pola komunikasi dalam keluarga yang lainnya. Pola komunikasi dalam keluarga kelompok Laissez-Faire memiliki skor emotional abuse dalam berpacaran remaja akhir yang paling tinggi diantara pola komunikasi dalam keluarga yang lainnya. Mayoritas emotional abuse yang dilakukan subjek penelitian kepada pasangannya adalah sangat rendah.

Kesimpulan berdasarkan ketegorisasi, pada pola komunikasi dalam keluarga mayoritas subjek memiliki kecenderungan pola komunikasi Consensual yaitu sebanyak 23 orang atau sebesar 30,67 %, dan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran tergolong rendah yaitu sejumlah 94,67% dimana subjek berada di dalam kategori sedang sampai sangat rendah.

Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti memberikan saran kepada orang tua yaitu orang tua mampu menerapkan pola komunikasi Pluralistic yaitu dengan cara meningkatkan intensitas percakapan dikeluarga, komunikasi terbuka, tidak dibatasi dan anggota keluarga khususnya remaja didorong untuk berpikir secara mandiri yang sesuai dengan kondisi, situasi dan yang diharapkan oleh lingkungan sosial serta membantu membekali remaja dengan menjadi model yang baik dalam berperilaku seperti mencontohkan berperilaku kepada pasangan sesuai dengan kondisi, situasi yang dijalani remaja dan diharapkan oleh lingkungan sosial. Saran untuk remaja akhir yaitu Remaja akhir sebaiknya mulai membangun komunikasi yang efektif dengan meningkatkan intensitas berkomunikasi dengan orang tua dan keluarga, serta terbuka dengan orang tua dan keluarga.

Saran untuk peneliti selanjutnya adalah peneliti selanjutnya disarankan mampu menggunakan lebih banyak subjek yang berasal dari berbagai wilayah di Denpasar. Peneliti selanjutnya mampu melakukan penelitian pada remaja awal dan remaja madya sebagai subjek lainnya guna mengetahui perbedaan pola komunikasi dalam keluarga dan emotional abuse dalam berpacaran pada remaja awal, remaja madya, remaja akhir, dewasa, dan pasangan yang telah menikah serta peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian untuk melihat faktor-faktor yang dapat menjadi adanya perbedaan emotional abuse dalam berpacaran remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Alberta. (2008). Dating Abuse. Edmonton: AB

Antara. (2013, November). Tampar Istri, Suami Dilaporkan. Republika        Online.        Diunduh        dari

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/12/01/ mx3wwy-kekerasan-dalam-pacaran-capai-puluhan-kasus 3 Mei 2014.

Ayu, S.M, Hakimi, M, Hayati, N.E. (2012) Kekerasan Dalam Berpacaran Dan Kecemasan Putri Di Kabupaten Purworejo. Jurnal Kesmas UAD. 61-74.

Break the Cycle. (2010). State Law Report Cards: A National Survey Of Teen Dating Violence Laws. Break the Cycle : Los Angeles.

Fadhli, Ed. (2013, Desember). Nurani Tangani 86 Kasus Kekerasan Perempuan. Nurani Perempuan Women's Crisis Center. Diunduh                                         dari

"http://wccnuraniperempuan.blogspot.com/2014/01/nurani-tangani-86-kasus-kekerasan.html" 5 Mei 2014.

Farouk, Yazir. (2013, Januari). Kronologi Penganiayaan versi Ardina Rasti.         Tempo.co.         Diunduh         dari

"http://www.tempo.co/read/news/2013/01/11/219453616/K ronologi-Penganiayaan-versi-Ardina-Rasti" 2 Mei 2014.

Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga : Teori dan Praktik (3th Edition ed.). California: Buku Kedokteran.

Health Canada. (1996). Emotional Abuse. Canada: National Clearinghouse on Family Violance.

Ipmawati. (2012, Maret). Kekerasan Dalam Pacaran Dan Upaya Advokasi.                Diunduh                dari

https://www.facebook.com/notes/ikatan-pelajar-muhammadiyah/kekerasan-dalam-pacaran-dan-upaya-advokasi/10151408511605284 1 Mei 2014

Jantz, G. L., & McMurray, A. (2003). Healing The Scars of

Emotional Abuse (Revised Edition ed.). United states of America: Revell.

Koerner, Ascan & Cvancara, Kristen (2002).The Influence of Conformity Orientation on Communication Patterns in Family Conversations. The Journal Of Family Communication, 2(3). 133-152

Koerner, Ascan & Fitzpatrick, Mary. (1997). Family Type And Conflict: The Impact Of Conversation Orientation And Conformity Orientation On Conflict In Family. Communication Studies. 59-74

Koerner, Ascan & Fitzpatrick, Mary. (2002). Understanding Family Communication Pattern and Family Functioning: The Roles Of conversation Orientation And Conformity Orientation. Dalam Gudykunst (Ed), Communication Yearbook 26 (Hal. 35-65). New Jersey: Lawrence Erlbaum

Murray, J. (2007). But I Love Him: Protecting Your Teen Daughter from Controling, Abusive Dating Relationship. American: Adobe Acrobat eBook Reader October.

Musadah, (2013, Juli), Menonjol, Kaus Kekerasan di Jatim. SuryaOnline.                diunduh                dari

http://surabaya.tribunnews.com/2013/07/23/menonjol-kasus-kekerasan-dalam-pacaran-di-jatim 2 Mei 2014

Paludi, Michele(Ed). 2011. The Psychology of Teen Violence And Victimization (Hal. 93).California: PRAEGER.

Pangesti, W.B. (2014, Mei). All About Muhhammad Reza Pahlevi. Diunduh                                         dari

"http://batariwahyu.blogspot.com/2013/03/eza-gionino-all-about-part1.html" 2 Mei 2014.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2006). A Child's World Infancy Through Adolescence (10th Edition ed.). New York: McGraw-Hill.

Santoso, Singgih. (2002). SPSS Versi 17.0 Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT.Elexmedia Computindo Kelompok Gramedia

Santrock, J. W. (2002). Adolescent (7th ed.). NewYork: McGraw-Hill.

Santrock, J. W. (2007). Remaja (11th Edition ed., Vol. II). Jakarta: Erlangga.

Segrin, C., & Flora, J. (2011). Family Communication (2nd Edition ed.). New York: Routledge.

Setyowati, Y. (2005). Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak. Jurnal Ilmu Komunikasi , II (1), 67-78.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial (12th Edition ed.). Jakarta: Kencana.

Wardyaningrum, D (2013). Komunikasi Untuk Penyelesaian Konflik Dalam Keluarga. Jurnal AL-AZHAR Indonesia Seri Pranata Sosial, 2(1), 47-58.

Wardyaningrum, D & Nurhajati, L (2012). Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Di Usia Remaja. Jurnal AL-AZHAR Indonesia Seri Pranata Sosial, 1(4), 236-248.

Worell, Judith. 2002. Encyclopedia Of Women And Gender. California: Academic Press.

Zuhri, S. (2009). Pola Komunikasi Orang Tua Kandung Terhadap Anak Remaja Yang Mengalami Depresi. Jurnal Ilmu Komunikasi , I (2), 80-93.

310