HUBUNGAN POLA ASUH AUTHORITATIVE DENGAN KECENDERUNGAN HOMOGAMY DALAM PEMILIHAN PASANGAN PADA WANITA BALI DEWASA AWAL WANGSA BRAHMANA DI DENPASAR
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Psikologi Umum, 88-94
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
HUBUNGAN POLA ASUH AUTHORITATIVE DENGAN KECENDERUNGAN HOMOGAMY DALAM PEMILIHAN PASANGAN PADA WANITA BALI DEWASA AWAL WANGSA BRAHMANA DI DENPASAR
Ida Ayu Alit dan Made Diah Lestari
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Di Bali, pemilihan pasangan merupakan hal penting karena masih dipengaruhi oleh faktor budaya yakni sistem catur wangsa. Wangsa berarti keturunan. Catur wangsa terbagi menjadi empat yaitu wangsa brahmana, ksatria, waisya dan sudra. Wanita Bali yang menduduki wangsa teratas yakni brahmana tentunya menjadi lebih selektif dalam memilih pasangan karena takut akan perilaku yang diterima oleh keluarga bila nyerod, yakni pernikahan dimana wangsa wanita lebih tinggi dari wangsa pria. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua memiliki peranan dalam pengambilan keputusan saat individu memilih pasangannya. Pola asuh authoritative merupakan pola asuh yang efektif karena menerapkan keseimbangan yang tepat antara kehangatan dan kontrol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan pada wanita dewasa awal Bali wangsa brahmana. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita wangsa brahmana, usia 20 hingga 30 tahun, belum menikah, dan berdomisili di Denpasar. Jumlah subjek yang digunakan adalah sebanyak 60 orang.
Reliabilitas skala pola asuh authoritative adalah 0,939 dan reliabilitas skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan adalah 0,948. Hasil uji normalitas pola asuh authoritative adalah 0,899 dan pada kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan adalah 0,199. Hasil uji linearitas pada pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan adalah 0,000.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis korelasi product moment. Hasil korelasi dalam penelitian ini adalah 0,575 (p=0,000). Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa ada hubungan positif antara pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan pada wanita dewasa awal wangsa brahmana di Denpasar.
Kata Kunci : Pola Asuh Authoritative, Homogamy, Pemilihan Pasangan, Wanita Bali, Wangsa Brahmana
Abstract
In Bali, partner selection remains an important issue since it is still influenced by a cultural factor that is the existence of the catur wangsa (four-caste) system. Wangsa has means descendant. Catur wangsa (four castes) are divided into four, namely Brahmin, Kshatriya, Vaishya and Shudra. Balinese women who occupy the top caste that is Brahmin would be more selective in choosing a partner for fear of their family’s attitude towards them if they are nyerod, meaning having a marriage where the wangsa (caste) of the woman is higher than that of her partner. The parenting styles applied by parents have a role in decision making when individuals choose their partners. Authoritative parenting style is an effective parenting style because it applies stability properly between acceptance/responsiveness and demandingness/control.
This study aims to determine the relationship between authoritative parenting style and the tendency of homogamy in partner selection by young adult women from the Brahmin caste. The subjects used in this study were women from the Brahmin caste, aged 20 to 30 years old, unmarried, and residing in Denpasar. The number of subjects used was as 60 people.
The authoritative-parenting-scale reliability was 0.939 and the tendency-of-homogamy-in-partner-selection-scale reliability was 0.948 . The result of the normality test on the authoritative parenting was 0.899 and the result of the normality test on the tendency of homogamy in partner selection was 0.199. The linearity test result on the authoritative parenting towards the tendency of homogamy in partner selection was 0.000.
The analytical methods used was the product moment correlation analysis. The correlation result in this study was 0.575 (p=0.000). Based on these results, it was found out that there is a relationship between authoritative parenting and the tendency of homogamy in partner selection by young adult women from the Brahmin caste in Denpasar.
Keywords: Autoritative Parenting, Homogamy, Partner Selection, Balinese Women, Brahmin Wangsa (Caste)
LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya tidak dapat hidup sendiri atau dengan kata lain manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia tentunya memiliki kebutuhan-kebutuhan dan termotivasi untuk memenuhinya. Salah satunya terdapat kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai (belongingness and love needs), karena setiap manusia pasti ingin memiliki suatu hubungan yang hangat, akrab, saling membantu, bertukar pikiran, bahkan untuk kesejahteraan dan menghasilkan keturunan (Maslow dalam Hergenhahn, 2009).
Menurut Erikson dalam Papalia (2009), dewasa awal berada dalam tahapan intimasi versus isolasi dimana pada masa ini individu berusaha menjalin atau membangun keintiman dengan orang lain seperti menjadi pribadi yang hangat, ramah, mencari teman, mudah akrab dengan orang lain. Dewasa awal merupakan periode transisional antara masa remaja dan masa dewasa, biasanya memiliki rentang waktu antara masa remaja akhir hingga usia pertengahan dua puluh (Papalia, 2009). Individu yang memasuki masa dewasa awal memiliki beberapa tugas perkembangan, salah satunya adalah membentuk keluarga. Sebelum membentuk sebuah keluarga, yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh setiap individu adalah memilih pasangan (Hurlock, 1980).
Memilih pasangan merupakan salah satu keputusan terpenting yang akan dibuat oleh setiap individu sepanjang hidup mereka. Pemilihan pasangan ialah suatu proses penyaringan memilih calon pasangan hidup yang dilakukan individu sampai akhirnya terpilih satu calon pasangan hidup individu tersebut (Degenova, 2008). Individu memiliki strategi beragam dalam pemilihan pasangan, misalnya individu yang memiliki latar belakang pendidikan serta status sosial ekonomi tinggi memilih pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan dan status sosial ekonomi yang tinggi juga. Dari contoh tersebut dapat dilihat individu cenderung memilih pasangan yang memiliki kesamaan atribut dengan diri individu tersebut. Dalam teori pemilihan pasangan, hal ini disebut dengan homogamy. Di sisi lain, ada juga individu yang dalam memilih pasangan cenderung mencari atribut berbeda dari diri individu tersebut dengan tujuan untuk melengkapi kekurangan yang dimiliki, seperti individu dari status sosial ekonomi rendah memilih pasangan dari status sosial ekonomi tinggi, ada pula individu yang pendidikannya hanya tamat SMA memilih pasangan yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Hal tersebut dalam teori pemilihan pasangan disebut dengan complementary (Olson & DeFrain, 2003).
Di Bali, pemilihan pasangan menjadi suatu hal yang penting karena masih dipengaruhi oleh faktor budaya, yakni sistem catur wangsa. Menurut Wiana (2006), sistem wangsa lebih dikenal dengan sistem “kasta” dan “gelar”. Wangsa berasal dari kata ‘vamsa’ yang artinya keturunan. Pemahaman
konsep wangsa berubah menjadi pemahaman baru yaitu begitu seorang lahir otomatis masuk dalam wangsa ayahnya sampai dia meninggal. Bagi wanita, wangsanya akan otomatis turun (nyerod) jika menikah dengan laki-laki yang wangsanya lebih rendah. Catur wangsa terbagi menjadi empat yaitu wangsa brahmana, wangsa ksatria, wangsa waisya dan wangsa sudra. Penelitian ini menitikberatkan pada wanita bali dewasa awal golongan wangsa brahmana karena wangsa brahmana merupakan wangsa yang kedudukannya paling atas sehingga pilihan dalam mencari pasangan hanya ada satu pilihan saja jika tidak ingin melepaskan wangsanya terkait dengan pemahaman konsep wangsa, namun dapat menjadi banyak pilihan bila pemahaman konsep wangsa tidak mempengaruhi dalam pemilihan pasangan. Wanita bali adalah adalah perempuan yang sudah mencapai dewasa, bersuku Bali, memiliki garis keturunan orang Bali dan berdomisili, tinggal, atau menetap di Denpasar.
“Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah atau batu sandungan. Di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi.” (Wira, 2011)
Dari tulisan Made Wira tersebut, bisa disimpulkan bahwa orang tua secara turun temurun memberikan ajaran, pengetahuan, pemahaman terkait nilai-nilai dan keyakinan wangsa dengan tujuan keturunan mampu menjaga kelestarian wangsa. Salah satu caranya adalah dalam hal memilih pasangan dan menikah dengan orang yang sama wangsa, dalam teori pemilihan pasangan disebut dengan homogamy. Pada kenyataannya individu di Bali yang berwangsa, tidak selalu memilih pasangan dari wangsa yang sama dengan diri individu tersebut. Ada individu yang memilih pasangan dari wangsa yang sama ada pula sebaliknya. Berikut adalah contoh nyata cerita pernikahan beda wangsa.
“My father did not approve of this marriage to a boy from lower caste, so cok, my husband kidnapped me three weeks ago according to old Balinese custom. Klian and my husband uncle’s tried to persuade my father. Eventually he relented but refused to come to the wedding.”
(Suriati, 1992)
Ajaran, pengetahuan, dan pemahaman tentang wangsa yang diberikan orang tua bertujuan agar anak dapat melestarikan wangsa namun tujuan tersebut tidak selalu sesuai harapan. Hal demikian dapat terjadi tergantung bagaimana cara orang tua dalam memberikan ajaran, pengetahuan, dan pemahaman tentang wangsa kepada anaknya. Pemberian ajaran, pengetahuan, dan pemahaman tentang wangsa
termasuk di dalam pengasuhan orang tua atau biasa disebut dengan pola asuh.
Pola asuh merupakan cara yang dilakukan orang tua dalam memberikan perawatan, penjagaan dan pendidikan terhadap anaknya agar dapat tumbuh menjadi pribadi yang baik. Dalam hal pendidikan, yang termasuk adalah transfer nilai-nilai dan keyakinan (Baumrind dalam Santrock 2007).
Pola asuh terbentuk dari adanya dua dimensi, yaitu Acceptance/Responsiveness dan Demandingness/Control. Dimensi Acceptance/Responsiveness menggambarkan bagaimana orang tua berespon kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni dukungan, sensitivitas, perhatian, kesediaan untuk meluangkan waktu, dan kesediaan untuk memberikan kasih sayang. Dukungan menggambarkan sejauh mana orang tua memberikan dukungan kepada anaknya. Sensitivitas menggambarkan sejauh mana orang tua sensitif terhadap emosi dan kebutuhan anaknya. Perhatian menggambarkan sejauh mana orang tua memperhatikan kesejahteraan anaknya. Kesediaan untuk meluangkan waktu menggambarkan sejauh mana orang tua bersedia untuk meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama dengan anaknya. Kesediaan untuk memberikan kasih sayang menggambarkan sejauh mana orang tua orang tua bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka (Darling & Steinberg dalam Sigelman & Rider, 2011).
Dimensi demandingness/control menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua yang berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua. Mengacu pada 5 aspek, yakni batasan, tuntutan, sikap ketat, campur tangan dan kekuasaan. Batasan menggambarkan sejauh mana orang tua membatasi tingkah laku anak dan bagaimana orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak serta memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak. Tuntutan menggambarkan sejauh mana anak harus memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab sosial sesuai dengan standar yang berlaku dan keinginan orang tua. Sikap ketat menggambarkan sejauh mana orang tua bersikap ketat dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Campur tangan menggambarkan sejauh mana orang tua terlibat dalam pembuatan keputusan, rencana dan relasi anak serta sejauh mana orang tua memberikan kesempatan bagi anaknya untuk berpendapat terhadap keputusan dan rencana orang tuanya. Kekuasaan menggambarkan sejauh mana orang tua berkuasa terhadap anak dan sejauh mana orang tua menerapkan kendali pada anak (Darling & Steinberg dalam Sigelman & Rider, 2011).
Ada beberapa jenis pola asuh yang biasa diterapkan orang tua, di antaranya pola asuh authoritative. Menurut Reuter & Conger (dalam Santrock, 2007) pola asuh authoritative merupakan gaya pengasuhan yang paling efektif.
Dikatakan efektif karena orang tua menerapkan keseimbangan yang tepat antara kendali dan otonomi, sehingga memberi anak kesempatan untuk membentuk kemandirian sembari memberikan standar perilaku yang harus ditaati, batasan tingkah laku, dan apa yang dibutuhkan anak.
Pola asuh authoritative adalah gaya pengasuhan yang mendorong anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan anak, ada diskusi, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak (Baumrind dalam Santrock, 2007). Bila dikaitkan dengan penerapan ajaran wangsa maka orang tua authoritative akan memberikan penjelasan dan pemahaman ajaran wangsa, namun anak diberikan kebebasan dalam mengikuti ajaran tersebut dan kebebasan untuk memutuskan sendiri pilihannya. Ada proses negosiasi dan diskusi yang terjadi antara anak dan orang tua dalam menentukan pasangan hidupnya, anak juga diberikan tanggung jawab untuk memilih pasangan yang berasal dari wangsa yang sama (kecenderungan homogamy) atau wangsa yang berbeda dan anak mengetahui konsekuensi yang akan diterima bila memilih pasangan dari wangsa yang berbeda.
Penerapan pola asuh authoritative diharapkan dapat meningkatkan kecenderungan homogamy pada wanita berwangsa, namun pada kenyataannya masih ada saja wanita berwangsa yang memilih pasangan dari wangsa yang berbeda. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini secara khusus ingin melihat apakah ada hubungan antara pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan pada wanita Bali dewasa awal wangsa Brahmana di Denpasar.
METODE
Hipotesis penelitian
Ho : Tidak ada hubungan yang positif antara pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan pada wanita Bali wangsa brahmana di Denpasar.
Ha : Ada hubungan yang positif antara pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan pada wanita Bali wangsa brahmana di Denpasar.
Variabel dan definisi operasional
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pola asuh authoritative dan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan sebagai variabel tergantung. Definisi operasional dari pola asuh authoritative adalah cara yang dilakukan orangtua dalam memberikan perawatan, penjagaan dan pendidikan terhadap anaknya, dimana orang tua memberikan kontrol dan batasan yang diimbangi dengan pemberian
dukungan dan kehangatan. Dalam hal pendidikan, termasuk di dalamnya adalah transfer nilai-nilai dan keyakinan mengenai ajaran, pengetahuan, pemahaman budaya wangsa yang dapat diukur dengan skala pola asuh authoritative. Definisi operasional dari kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan adalah kecenderungan individu memilih pasangan yang memiliki kesamaan atribut dengan diri individu tersebut, atribut yang dimaksud adalah wangsa yang dapat diukur dengan skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan.
Karakteristik responden
Populasi dalam penelitian ini adalah wanita Bali dewasa awal wangsa brahmana di Denpasar. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, wanita berusia 2030 tahun, berwangsa Brahmana, berdomisili di Denpasar, dan belum menikah. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009). Jumlah populasi dari wanita wangsa brahmana tidak diketahui, maka dari itu untuk menentukan jumlah sampel dengan menggunakan saran tentang ukuran sampel Roscoe (dalam Sugiyono, 2010) yaitu ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 60 orang.
Alat Ukur
Pada penelitian ini menggunakan skala pola asuh authoritative dan skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan. Skala pola asuh authoritative terdiri dari pernyataan favorable dan unfavorable yang disusun berdasarkan 2 dimensi yaitu acceptance/responsiveness dan demandingness/control yang berjumlah 43 item. Skala ini terdiri dari 4 alternatif jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Hasil uji validitas item pada skala pola asuh authoritative memperoleh koefisien korelasi yang bergerak dari -0,598 hingga 0,691. Skala pola asuh authoritative dalam penelitian ini memiliki nilai alpha (α) 0,939, nilai ini menunjukkan bahwa skala mampu mencerminkan 93,9 % variasi yang terjadi pada skor murni sampel yang bersangkutan sehingga dapat digunakan untuk mengukur pola asuh authoritative.
Skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan disusun secara keseluruhan hanya mengukur homogamy yang berjumlah 10 item. Skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan ini terdiri dari 2 alternatif jawaban yaitu:(1) ya dan (2) tidak. Hasil uji validitas item pada skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan memperoleh koefisien korelasi yang bergerak dari -0,247 hingga 0,901. Skala kecenderungan
homogamy dalam pemilihan pasangan dalam penelitian ini memiliki nilai alpha (α) 0,948, nilai ini menunjukkan bahwa skala mampu mencerminkan 94,8 % variasi yang terjadi pada skor murni sampel yang bersangkutan sehingga dapat digunakan untuk mengukur kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan.
Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan skala pola asuh authoritative dan skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan. Skala pola asuh authoritative digunakan untuk mengetahui seberapa tinggi pola asuh authoritative yang diterapkan. Skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan digunakan untuk mengetahui seberapa tinggi kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangannya. Dalam skala pola asuh pola asuh authoritative dan skala kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan terdapat petunjuk pengisian, nama, alamat, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, asal daerah yang akan digunakan sebagai data karakteristik subjek.
Analisa data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan uji korelasi product moment. Uji korelasi product moment digunakan oleh peneliti bila peneliti bermaksud mencari hubungan dan membuktikan hipotesis hubungan dua variabel bila data kedua variabel berbentuk interval atau rasio, dan sumber data dari dua variabel tersebut adalah sama (Sugiyono, 2009). Dalam melakukan korelasi product moment terdapat dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu uji asumsi berupa uji normalitas dan linearitas. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov dan uji linearitas menggunakan Compare Means.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Berikut ini adalah hasil dari data karakteristik subjek yang menunjukkan bahwa sebagian besar subjek berusia 20 hingga 24 tahun, sebagian besar berpendidikan S1, sebagian besar adalah mahasiswa dan sebagian besar berasal dari Denpasar.
Deskripsi Data Penelitian
Tabel 1
Deski ipsi Data Penelitian
N |
Mean teoretis |
Meati empiri; |
Std. Deviation |
Sebaran teoritis |
Sebaran empiris |
NUaiT | |
PAA |
60 |
92,5 |
113,93 |
11,300 |
37-148 |
85-133 |
14,692 (p=0,000) |
KH |
60 |
4 |
4,70 |
2,919 |
0-8 |
0-8 |
1,858 (p=0,068) |
Perbedaan mean teoretis dan mean empiris variabel pola asuh authoritative sebesar 41,93, mean empiris lebih tinggi dari mean teoretis dengan nilai T sebesar 14,692 (p=0,000), hal ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara mean empiris dengan mean teoretis pada variabel pola asuh authoritative. Rentang skor subjek penelitian antara 85 hingga 133. Berdasarkan penyebaran frekuensi 93,3% subjek penelitian berada di atas mean teoretis (92,5). Ini berarti taraf pola asuh authoritative orang tua subjek penelitian tergolong tinggi atau baik.
Perbedaan mean teoretis dan mean empiris variabel kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan sebesar 0,70, mean empiris lebih tinggi dari mean teoretis dengan nilai T sebesar 1,858 (p=0,068), hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara mean empiris dengan mean teoretis pada variabel kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan. Rentang skor subjek penelitian antara 0 hingga 8. Berdasarkan penyebaran frekuensi 58,3% subjek penelitian berada di atas mean teoretis (4), namun mean empiris tidak jauh berbeda dengan mean teoretis yakni sebesar 0,70. Ini berarti sebesar 58,3% subjek penelitian memiliki kecenderungan homogamy yang tinggi, sebaliknya 41,7% subjek penelitian memiliki kecenderungan homogamy yang rendah.
Uji Asumsi
Berdasarkan hasil uji normalitas terlihat bahwa sebaran data pola asuh authoritative memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas (p) sebesar 0,899 dan sebaran data kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas (p) sebesar 0,199 yang artinya nilai probabilitas di atas 0,05 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data pola asuh authoritative dan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan terdistribusi dengan normal. Hasil uji linearitas menunjukkan bahwa hubungan pola asuh authoritative dan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan adalah linear karena memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas (p) sebesar 0,000 yang artinya nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p< 0,05). Berdasarkan uji normalitas dan uji linearitas yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa data penelitian bersifat normal dan linear sehingga korelasi product moment dapat dilanjutkan.
Uji Hipotesis
Berikut ini adalah hasil dari uji korelasi product moment variabel pola asuh authoritative dengan variabel kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan:
label 2
Hasil Uji Korelasi Product Moment
Pola Asuh Otoritatif |
Prestasi Akademik | ||
Pola Asuh Authoritative |
Pearson Correlation |
1 |
0,575" |
Sig. (1-tailed) |
0,000 | ||
N |
60 |
60 | |
Kecenderungan |
Pearson Correlation |
0,575" |
1 |
Homogamy dalam |
Sig. (1-tailed) |
0,000 | |
Pemilihan Pasangan |
N |
60 |
60 |
Berdasarkan tabel hasil uji korelasi product moment didapatkan bahwa nilai Sig (1-tailed) = 0,000 karena nilai Sig (1-tailed) < 0,05 maka disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan. Untuk melihat seberapa kuat hubungannya dapat dilihat dari nilai Pearson Correlation, dari tabel hasil uji korelasi product moment di dapatkan nilai r = 0,575, antara variabel pola asuh authoritative dengan variabel kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan memiliki nilai positif, yang artinya hubungan pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan adalah hubungan yang searah. Hubungan yang searah yang dimaksud adalah jika terjadi peningkatan dalam pola asuh authoritative, maka kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan juga akan mengalami peningkatan sedangkan jika pola asuh authoritative mengalami penurunan, maka kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan juga akan mengalami penurunan.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Penelitian ini dilakukan di Denpasar mengenai pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan pada wanita Bali dewasa awal wangsa brahmana. Berdasarkan paparan hasil penelitian di atas dengan menggunakan teknik korelasi product moment dapat dikatakan bahwa pengujian hipotesis adanya hubungan yang positif antara pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan pada wanita Bali dewasa awal wangsa brahmana di Denpasar dapat diterima. Pengujian hipotesis tersebut terbukti dengan adanya hasil koefisien korelasi antara pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan sebesar 0,575 (p=0,000) dan tidak terdapat tanda negatif pada koefisien korelasi menyatakan bahwa pola asuh authoritative memiliki hubungan yang searah dan positif dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan. Hal tersebut juga menyimpulkan bahwa semakin tinggi pola asuh
authoritative yang diterima maka semakin tinggi kecenderungan homogamynya dalam pemilihan pasangan.
Paparan di atas sesuai dengan pernyataan beberapa ahli, salah satunya oleh Baumrind (dalam Santrock, 2007) authoritative adalah tipe pengasuhan yang mendorong anak agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka, orang tua memberikan kesempatan untuk berdiskusi, juga bersifat hangat dan mengasuh. Ditinjau dari dimensi pola asuh, tipe authoritative memiliki dimensi acceptance/responsiveness dan demandingness/control yang tinggi. Bila kontrol yang diberikan tinggi maka anak akan cenderung mematuhi apa yang diinginkan orang tua dalam hal ini melestarikan wangsa salah satu caranya adalah memilih pasangan, sehingga kecenderungan homogamynya tinggi. Berbeda bila kontrolnya rendah maka anak akan bertindak sesuka hati sesuai kehendaknya tanpa ada batasan dalam hal ini memilih pasangan sesuai kehendaknya sendiri tanpa ada tuntutan dari orang tua sehingga kecenderungan homogamynya rendah.
Hal tersebut juga didukung oleh hasil deskripsi data penelitian dimana frekuensi penyebaran sebesar 58,3% subjek penelitian memiliki kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan yang tinggi, sedangkan sisanya sebesar 41,7% subjek penelitian memiliki kecenderungan homogamy yang rendah. Jika dilihat dari karakteristik pola asuh authoritative, maka orang tua akan memberikan kebebasan terhadap anaknya dalam menentukan pilihan namun masih memberikan batasan dan kendali. Penulis memperkirakan terdapat faktor lain yang menyebabkan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan selain pola asuh authoritative yaitu berasal dari extended family dan dampak yang akan diterima wanita wangsa brahmana apabila memilih pasangan yang berasal dari wangsa yang berbeda atau lebih rendah sehingga mempengaruhi psikologis wanita wangsa brahmana. Dampak yang diterima apabila wanita wangsa brahmana tidak mendapat pasangan yang berasal dari wangsa yang sama maka akan mendapat perlakuan yang berbeda dari extended family seperti cara berbicara. Sebelum wanita wangsa brahmana menikah, extended family menggunakan bahasa bali halus (sor singgih basa) ketika berbicara dengan wanita wangsa brahmana, namun ketika wanita wangsa brahmana menikah dengan lelaki yang berasal dari wangsa yang berbeda maka extended family tidak menggunakan bahasa bali halus (sor singgih basa) ketika berbicara. Selain itu dampak lain yang akan diterima apabila tidak mendapat pasangan yang berasal dari wangsa yang sama adalah tidak diperbolehkan pulang ke rumah asal (Biya, 2013). Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Putra, dkk (2013) dimana dampak yang diterima wanita berwangsa ketika tidak mendapat pasangan yang berasal dari wangsa yang sama akan mendapat perlakuan yang berbeda dari keluarga dan masyarakat sehingga menyebabkan dinamika psikologis dalam
diri wanita berwangsa. Dinamika psikologis yang terjadi antara lain adalah rasa sedih, rasa bersalah, dan rasa takut terhadap keluarga apabila tidak mendapat pasangan yang berasal dari yang sama.
Kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan juga didukung oleh teori endogamy yaitu tradisi untuk memilih pasangan dari dalam kelompok sendiri. Kelompok dalam hal ini adalah wangsa brahmana. Hal ini sejalan dengan pendapat Bhopal (dalam Olson & DeFrain, 2003) yakni pertimbangan garis keturunan dan status keluarga umumnya lebih penting daripada perasaan cinta dan sayang dalam keputusan memilih pasangan. Individu yang memilih pasangan berdasarkan kesamaan garis keturunan dalam hal ini disebut wangsa memiliki tujuan lebih baik mempertahankan wangsa daripada nyerod yakni pernikahan beda wangsa dimana wangsa wanita lebih tinggi dari wangsa pasangannya dalam hirarki catur wangsa. Alasan mempertahankan wangsa dalam memilih pasangan adalah untuk memperkuat hubungan dengan keluarga lain pada kelompok wangsa yang sama dan memperkuat ketertiban dalam mentaati budaya yang selama ini sudah turun temurun. Bagi mereka yang menganggap wangsa merupakan hal yang utama dalam memilih pasangan, perasaan cinta dan sayang bukan merupakan hal yang penting bagi pasangan sebelum menikah, mereka percaya bahwa perasaan, ketertarikan, dan rasa menghargai akan tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat McGoldrick (dalam Olson & DeFrain, 2003) bahwa pasangan beda etnis lebih rentan bercerai dan memiliki masalah pernikahan dan keluarga yang beragam. Jadi semakin besar perbedaan etnis antar individu, semakin besar kesulitan pasangan untuk penyesuaian satu sama lain. Yang dimaksud etnis dalam hal ini adalah wangsa.
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola asuh authoritative dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan pada wanita Bali dewasa awal wangsa brahmana di Denpasar, pola asuh authoritative memiliki hubungan yang searah dan positif dengan kecenderungan homogamy dalam pemilihan pasangan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat disampaikan saran kepada orang tua, wanita wangsa brahmana dan peneliti selanjutnya. Saran bagi orang tua yaitu orang tua menyadari bahwa proses pemilihan pasangan pada wanita ditentukan oleh pola asuh yang diterapkan orang tua. Orang tua sebaiknya mengetahui karakteristik pola asuh authoritative sehingga dapat menerapkan secara tepat ke anak.
Saran bagi wanita wangsa brahmana yaitu wanita wangsa brahmana sebaiknya berdiskusi dengan orang tua ketika akan menentukan pilihan pasangannya. Wanita wangsa brahmana ketika akan menentukan pilihan pasangan sebaiknya juga mempertimbangkan extended family.
Saran bagi peneliti selanjutnya yaitu peneliti selajutnya dapat menggunakan wanita dewasa awal wangsa brahmana yang berada di luar Bali untuk melihat apakah ada perbedaan pola asuh dalam penerapan wangsa dengan memilih pasangan. Menggunakan subjek penelitian bukan hanya dari wangsa brahmana tetapi ke empat wangsa khususnya wangsa ksatria, karena wangsa ksatria menduduki posisi ke dua setelah wangsa brahmana dan memiliki karakteristik yang serupa dengan wangsa brahmana. Meneliti secara kualitatif bagaimana dinamika dimensi pola asuh yaitu acceptance/responsiveness dan
demandingness/control dalam pemilihan pasangan.
DAFTAR PUSTAKA
Biya, C.I.M.J., Putri, I.A.K., Lakshmi, P.A.V., Tobing, D.H. (2013). Beban psikologis wanita bali wangsa ksatria dalam pemilihan pasangan. Naskah tidak dipublikasikan, Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar.
Degenova, M.K. (2008). Intimate relationships, marriages & families. New York: The Mc Graw – Hill Companies.
Hergenhahn, B.R. (2009). An introduction to the history of psychology. Australia: Wadsworth Cengage Learning.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Olson, D.H., & DeFrain, J. (2003). Marriages and families: intimacy, strengths, and diversity (ed.4). New York: McGraw-Hill.
Papalia, D.E., Olds, S.W.,& Feldman, R.D. (2009). Human development : perkembangan manusia (ed.10). Jakarta: Salemba Humanika.
Putra, I.D.G.U., dkk. (2013). Dinamika psikologis perempuan bali triwangsa dalam pemilihan pasangan. Naskah tidak dipublikasikan, Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak. Jakarta. Erlangga.
Sigelman, C., & Rider, E. (2011). Life-span human development (ed.7). United States: Wadsworth Cengage Learning
Sugiyono. (2009). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Sugiyono. (2010). Statistika untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Wiana, I.K. (2006). Memahami perbedaan catur varna, kasta, dan wangsa. Surabaya. Penerbit Paramita.
Wira, I.M. (2011, Oktober). Sistem kasta di bali. Imadewira. Diakses dari http://www.imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/
tanggal 21 Oktober 2013.
94
Discussion and feedback