Jurnal Psikologi Udayana 2023, Vol.10, No.01, 307-317


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2023.v10.i01.p10

Peran kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional terhadap kesejahteraan psikologis siswa SMA

Ni Made Aristi Dwi Yundari1 dan Firmanto Adi Nurcahyo 2

1,2Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]1; [email protected]2

Abstrak

Kesejahteraan psikologis merupakan kondisi ketika individu tidak mengalami tekanan maupun permasalahan mental lainnya. Dengan adanya kesejahteraan psikologis, kesehatan mental yang dimiliki remaja dapat meningkat dan membantu remaja berfungsi secara optimal. Diperlukan pertimbangan tepat agar kesejahteraan psikologis pada remaja dapat ditingkatkan. Faktor yang perlu dipertimbangkan tersebut diantaranya kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif untuk mengetahui peran kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional terhadap kesejahteraan psikologis pada siswa SMA. Sebanyak 165 siswa kelas X hingga XII di salah satu SMA Negeri di Denpasar yang menjadi partisipan dengan menggunakan stratified random sampling. Skala Kesejahteraan Psikologis reliabilitasnya 0,915, Skala Kelekatan dengan Orangtua reliabilitasnya 0,935, dan Skala Kecerdasan Emosional reliabilitasnya 0,845 menjadi alat ukur yang digunakan. Hasil uji regresi berganda menunjukkan F=41,808, p<0,05 yang berarti bahwa variabel kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional secara bersama-sama berperan terhadap kesejahteraan psikologis. Kontribusi kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional secara bersama-sama terhadap kesejahteraan psikologis adalah 33,2%. Berdasarkan hal tersebut, siswa diharapkan mampu menjaga hubungan dengan orangtua serta meningkatkan kecerdasan emosionalnya, guna membantu meningkatkan kesejahteraan psikologis yang dimiliki.

Kata kunci: Kecerdasan Emosional, Kelekatan dengan Orangtua, Kesejahteraan Psikologis, Siswa SMA.

Abstract

Psychological well-being is a condition when the individual is not under stress or other mental health problems. The existence of psychological well-being can improve the adolescent’s mental health and help the adolescents function optimally. Proper consideration is needed for the psychological well-being of adolescents to be enhanced. The factors to consider include parent attachment and emotional intelligence. This study is a quantitative study to determine the role of parent attachment and emotional intelligence for the psychological well-being of high-school student. A total of 165 students of class X, XI, and XII at one of the state high schools in Denpasar were the respondents in this study using stratified random sampling. Psychological Well-Being Scale with a reliability of 0,915, the Parent Attachment Scale with a reliability of 0,935, and a Scale of Emotional Intelligence with a reliability of 0,845 as the measurement tools that used. The multiple regression test revealed F=41,808, p<0,05, indicating that parent attachment and emotional intelligence characteristics both contribute to psychological wellbeing. Parent Attachment and emotional intelligence jointly contribute 33,2% to psychological well-being. Based on these, students are strongly advised to maintain relationships with parents and to increase their emotional intelligence, to help increase their psychological well-being possessed.

Keywords:   Emotional Intelligence, High-School Student, Parent Attachment, Psychological Well-Being

LATAR BELAKANG

Setiap manusia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Berbagai macam perkembangan terjadi, baik dari perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan emosi, hingga perkembangan mental (Mutia & Sukmawati, 2019; Sancahya & Susilawati, 2014). Perkembangan tersebut terjadi seiring dengan perubahan fase perkembangan dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Masing-masing perkembangan memiliki tantangannya tersendiri. Tantangan tersebutlah yang harus dilalui oleh setiap individu agar nantinya mencapai fase perkembangan yang optimal. Fase perkembangan yang paling penting adalah fase remaja. Sebab, adanya krisis identitas pada fase ini (Erikson, 1968). Pada fase inilah remaja akan berusaha mencari jati diri yang sesungguhnya. Keadaan yang demikian dapat menimbulkan masalah antara remaja dengan dirinya sendiri yang akan berdampak buruk pada perkembangan yang dialami remaja di masa mendatang. Hal tersebutlah yang sering memicu timbulnya permasalahan terkait kesehatan mental (Wiguna, 2013).

Individu dikatakan memiliki kesehatan mental yang baik ketika individu tersebut terlepas dari gangguan jiwa serta mampu menjalankan fungsi kehidupan sebagaimana mestinya, khususnya untuk melakukan penyesuaian diri dalam menghadapi permasalahanan-permasalahan yang akan dihadapi selama menjalani kehidupan (Putri et al., 2015). Suatu kondisi dari kesejahteraan yang meliputi pengelolaan stres, produktif dalam bekerja, serta turut berperan dalam komunitas yang dilakukan dengan sadar oleh setiap individu merupakan pengertian kesehatan mental menurut World Health Organization (2018). Kesehatan mental dapat memengaruhi remaja baik dari cara mereka belajar, menjalin persahabatan, mengatasi permasalahan yang ada serta pengambilan keputusan yang nantinya dapat memengaruhi hubungan remaja dengan orang lain dan cara mereka dalam melakukan penilaian diri. Akan tetapi, apabila remaja mengalami masalah mental, maka dapat menghambat bahkan mempersulit penyesuaian diri dan pengalaman hidupnya (Devita, 2020).

Individu yang umurnya lebih dari 15 tahun di Indonesia, yang mempunyai gangguan emosional berada pada persentase 6,0% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Sementara di Bali sendiri, tercatat sebesar 9,8% remaja yang memiliki gangguan mental khususnya gangguan pada emosionalnya (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Menurut Riskesdas, total prevalensi individu di Denpasar yang berusia 15 tahun ke atas dengan gangguan mental emosional yaitu sebanyak kurang lebih 3,7%. Sementara itu, total pemuda Bali (umur 15 sampai 24 tahun) dengan gangguan emosional yakni sebanyak 6,1%. Hal tersebut diakibatkan karena remaja yang berada di Kota Denpasar terbilang beragam, mempunyai taraf komunikasi yang paling dinamis, serta sangat aktif dalam menggunakan sosial media (NusaBali, 2019).

Berdasarkan hasil survei di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Denpasar pada studi pendahuluan yang dilakukan, terlihat bahwa di salah satu SMA menunjukkan lebih banyak siswa-siswi yang mengalami berbagai permasalahan, baik di rumah maupun di sekolah. Dari 20 siswa yang mengisi survei di sekolah tersebut terdapat 6 siswa yang menunjukkan adanya permasalahan relasi baik dengan orangtua, saudara, teman, maupun orang lain yang ditujukkan dengan kurangnya komunikasi dengan saudara, tidak terbuka dengan orangtua, kurang bergaul, serta merasa takut dan panik ketika bertemu orang banyak. Selanjutnya, terdapat 6 siswa yang menyatakan mengalami kesulitan dalam memahami materi karena pembelajaran dilakukan secara daring (dalam jaringan), serta adapula 4 siswa yang menyatakan kurangnya memiliki konsentrasi dalam belajar, merasa malas, dan tidak termotivasi. Selain itu, terdapat pula 3 siswa yang mengalami permasalahan dalam mengatur waktu sehari-hari, dan 2 siswa yang memiliki emosi dan pikiran negatif serta kurang dapat memahami emosi yang dirasakan tersebut.

Tidak hanya itu, ketika melakukan wawancara kepada salah satu guru BK di sekolah tersebut memang benar terdapat beberapa masalah yang cukup sering dikeluhkan oleh siswa-siswi di sana, seperti permasalahan terkait dengan kurang mampunya siswa untuk mengatur waktu dan kesibukan mengikuti kegiatan di luar sekolah sehingga membuat tugas-tugas yang diperoleh siswa menjadi menumpuk. Permasalahan perundungan pun terjadi di sekolah tersebut yang menurut guru BK hal tersebut dapat disebabkan karena status sosial ekonomi dan kurangnya siswa dalam bergaul. Dikatakan pula beberapa siswa sempat mengeluhkan terkait dengan tujuan kuliah maupun karir kedepannya, walaupun cukup jarang permasalahan tersebut ditemui oleh guru BK yang bersangkutan. Selain itu, ada pula siswa yang menceritakan permasalahannya saat di rumah, seperti kurangnya perhatian dari orangtua dan perasaan kesepian karena ditinggal oleh ayahnya. Permasalahan-permasalahan tersebut mengarah pada kurangnya kesehatan mental pada remaja.

Kondisi well-being atau kesejahteraan seorang individu yang dapat memengaruhi kemampuan individu tersebut untuk menyadari kemampuannya, bekerja secara produktif, membangun dan memelihara hubungan, serta membuat keputusan sehari-hari merupakan definisi dari kesehatan mental menurut WHO (2012). Individu dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang dikatakan baik, tidak hanya sebatas pada tidak adanya permasalahan psikologis pada diri individu tersebut, melainkan dimaknai secara lebih luas. Kesejahteraan psikologis juga mencakup kemampuan dalam mempersepsikan diri ketika berhubungan dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan, kemandirian, dan juga memiliki tujuan dalam hidup, serta pengembangan emosi secara sehat (Ryff & Keyes, 1995). Maka dari itu, hasil survei yang telah disebutkan tersebut bertolak belakang dengan aspek-aspek kesejahteraan psikologis. Beberapa aspek tersebut diantaranya yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, pengendalian lingkungan, mempunyai tujuan dalam hidup, dan pengembangan diri (Ryff, 1989).

Kesejahteraan psikologis adalah kesanggupan yang dimiliki individu untuk dapat menerima keadaan diri, menjalin relasi yang baik dengan individu lain, mampu menghadapi lingkungan sosial dengan mandiri, mampu untuk mengelola lingkungan luar, menetapkan tujuan hidup yang akan dicapai, serta mampu mewujudkan kemampuan diri secara berkelanjutan. Kemampuan-308

kemampuan tersebut dapat diwujudkan dengan berfokus pada aktualisasi diri dan penegasan diri serta mewujudkan potensi diri yang memungkinkan individu untuk berfungsi secara aktif dan bahagia (Ryff, 1989). Dengan kata lain, konsep dari kesejahteraan psikologis ini yaitu keadaan dimana seseorang tidak mengalami stress, kecemasan maupun permasalahan mental lainnya (Wijaya et al., 2020). Tak dipungkiri pula bahwa kesejahteraan yang dirasakan pada remaja berpengaruh cukup banyak dalam masa perkembanganya, terutama secara psikologis, seperti dapat menumbuhkan emosi positif, merasa puas dalam hidup, dapat merasakan kebahagiaan, serta dapat mengurangi perilaku depresi dan negatif pada remaja (Prabowo, 2016).

Kesejahteraan dapat tercapai dengan terpenuhinya beberapa kebutuhan dasar, seperti keterkaitan atau relatedness (Ryan & Deci, 2001). Namun tak hanya itu, kesejahteraan juga memiliki keterikatan yang kuat terhadap kelekatan dan intimasi. Kelekatan yang cenderung tinggi dapat memicu timbulnya kesejahteraan dengan porsi yang besar (Maharani, 2017). Berbagai riset yang ada juga menunjukkan bahwa kelekatan individu dengan orangtua erat kaitannya dengan kesejahteraan psikologis pada anak maupun remaja (Wahyuningsih et al., 2020). Ternyata, untuk berbagai kondisi (dengan kebutuhan khusus maupun tidak), kelekatan dengan orangtua juga tetap berperan penting dalam kesejahteraan psikologis remaja (Abubakar et al., 2013). Selain itu, para peneliti selama 10 tahun belakangan ini juga berpendapat bahwa remaja yang cenderung memiliki kompetensi sosial dan kesejahteraan, juga memiliki kelekatan yang tinggi dengan orangtuanya. Hal tersebut terlihat dari karakteristik remaja itu sendiri, seperti harga diri, penyesuaian diri dan emosi, serta kesehatan fisiknya (Maharani, 2017).

Bowlby (1982) memaparkan bahwa individu yang memiliki kelekatan yang memadai dengan individu lain, maka akan menunjukkan fungsi psikologis dan sosial yang lebih baik daripada individu yang tidak memiliki kelekatan seperti itu. Mereka yang tidak memiliki kelekatan yang memadai justru cenderung akan mengalami lebih banyak tekanan psikologis dan hasil sosial yang lebih negatif. Studi empiris yang telah dilakukan pun mendukung konsep ini (He et al., 2018). Menurut Puteri & Wangid (2017), semakin tinggi kelekatan, semakin tinggi interaksi sosialnya, begitupun sebaliknya. Menurutnya pula, remaja maupun orang dewasa yang pada masa kecilnya kurang memiliki kelekatan dengan orangtuanya akan mengalami tantangan saat membangun hubungan dengan orang lain sehingga menyebabkan interaksi sosialnya rendah. Sementara itu, Natalia & Lestari (2015) menyatakan bahwa kematangan emosi yang dimiliki oleh remaja akan tinggi jika memiliki kelekatan yang tinggi dengan orangtuanya. Tidak hanya itu, studi yang dilakukan oleh Abubakar et al. (2013) pada remaja di Kenya menunjukkan bahwa identitas dan kesejahteraan psikologis pada remaja terbentuk karena adanya kelekatan yang baik dengan orangtua dan juga teman sebaya.

Faktor lainnya yang diduga dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu kecerdasan emosional. Menurut Samad (2014), kemampuan individu dalam mengetahui dan mengenali emosi diri adalah definisi dari kecerdasan emosional. Selain itu, Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosi dapat dikembangkan serta dimiliki oleh setiap orang, dimana setiap orang nantinya dapat mengawasi keadaan emosi yang dirasakan. Individu yang mampu untuk mengelola, mengontrol, mengendalikan, dan mempersepsikan emosi dirinya dan orang lain, serta mampu menyelaraskan tindakan dan pikirannya sedemikian rupa sehingga terjadi perilaku yang memenuhi kebutuhan dan tuntutan lingkungannya. dengan kebutuhan maupun tuntutan lingkungan berarti individu tersebut memiliki tingkat kecerdasan emosional yang terbilang baik (Kiftiya, 2017). Namun, apabila remaja tidak dapat menanggulangi permasalahan yang dihadapi, remaja cenderung akan memiliki emosi yang negatif. Bahkan, keadaan ini justru dapat menimbulkan perasaan tidak puas dalam hidup dan juga remaja yang bersangkutan merasa tidak bahagia (Hurlock, 2012). Salovey et al. (2004) mengemukakan bahwa adanya kecerdasan emosional tidak hanya melindungi kita dari emosi negatif, tetapi juga berhubungan langsung dengan emosi positif dan kesejahteraan psikologis. Tak hanya itu, Sari dan Desiningrum (2016) juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan kesejahteraan psikologis secara signifikan berhubungan positif.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, diduga bahwa kelekatan orangtua dengan remaja dan kecerdasan emosi yang dimiliki oleh remaja berperan terhadap kesejahteraan psikologis remaja itu sendiri. Namun, fenomena yang terjadi di lapangan memperlihatkan bahwa belum terpenuhinya kesejahteraan psikologis pada siswa di salah satu SMA Negeri di Denpasar. Maka dari itu, terdapat hipotesis alternatif dan hipotesis nol dalam penelitian ini. Hipotesis alternatif dalam penelitian ini yaitu ada peran kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional terhadap kesejahteraan psikologis siswa SMA. Sementara itu, hipotesis nol dalam penelitian ini yaitu tidak ada peran kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional terhadap kesejahteraan psikologis siswa SMA.

METODE PENELITIAN

Metode Sampling

Sampel diambil dengan stratified random sampling, yaitu teknik sampling yang digunakan untuk memastikan bahwa sampel yang diambil mewakili populasi dengan baik. Metode ini membagi populasi menjadi beberapa strata (subkelompok) berdasarkan karakteristik tertentu yang relevan, seperti usia. Setiap strata kemudian dipilih secara acak untuk membentuk sampel yang mewakili seluruh populasi. Sampel dipilih secara acak pada beberapa siswa yang sedang tidak ada kegiatan belajar-mengajar (jam kosong) untuk dijadikan partisipan penelitian. Jumlah minimal sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 55 siswa yang diperoleh berdasarkan GPower.

Subjek Penelitian

Populasi peneltian ini merupakan siswa kelas X hingga XII di salah satu SMA Negeri di Denpasar. Berdasarkan data karakteristik partisipan, total partisipan yang diperoleh sebanyak 165 orang dengan 73 orang wanita dan 92 orang pria. Sebagian besar partisipan memiliki usia 17 tahun, sejumlah 52 orang.

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa alat ukur yaitu skala kesejahteraan psikologis, skala kelekatan dengan orangtua, dan skala kecerdasan emosional. Skala kesejahteraan psikologis disusun oleh peneliti menggunakan dimensi kesejahteraan psikologis dari Ryff (1989). Skala kelekatan dengan orangtua disusun oleh peneliti menggunakan dimensi kelekatan dari Armsden & Greenberg (1987). Skala kecerdasan emosional dibuat menggunakan dimensi kecerdasan emosional dari Goleman (1995) oleh peneliti.

Terdapat 34 item pernyataan dari skala kesejahteraan psikologis, 22 item pernyataan dari skala kelekatan dengan orangtua, dan 22 aitem dari skala kecerdasan emosional. Skala tersebut memuat aitem favorable serta aitem unfavorable dengan beberapa opsi, seperti Sangat Tidak Sesuai, Tidak Sesuai, Sesuai, dan Sangat Sesuai. Suatu alat ukur dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang baik jika nilai Alpha Cronbach berada diatas 0,70 (Ghozali, 2018). Semakin tinggi nilai Alpha Cronbach, maka instrumen penelitian yang digunakan semakin reliabel. Sementara itu, uji validitas pada alat ukur ini dilakukan dengan 15 orang rater. Nilai V minimum yang dibutuhkan adalah 0,67 (Aiken, 1985). Pemilihan aitem kemudian dibuat berdasarkan korelasi aitem total setelah dilakukan pengujian alat ukur. Aitem dianggap memuaskan jika dapat mencapai nilai koefisien korelasi minimal 0,30. Namun, jika ternyata jumlah aitem yang mencapai batas penerimaan tidak mencukupi, dapat dipertimbangkan pengurangan batas kriteria menjadi 0,25 (Azwar, 2021).

Skala uji coba alat ukur disebar pada 15 Desember 2022 hingga 20 Desember 2022 pada siswa-siswi di dua SMA Negeri di Denpasar. Setelah dilakukannya uji coba skala, diperoleh hasil nilai Aiken’s V untuk skala kesejahteraan psikologis yakni berkisar dari 0,683 hingga 0,933, skala kelekatan dengan orangtua berkisar dari 0,667 hingga 0,917, dan skala kecerdasan emosional berkisar dari 0,667 hingga 0,917.

Total nilai korelasi aitem untuk skala kesejahteraan psikologis berkisar antara 0,318 hingga 0,638. Koefisien Alpha pada skala kesejahteraan psikologis yakni sebesar 0.915. Hal tersebut mencerminkan variasi skor murni subjek sebesar 91,5%, yang berarti pula bahwa skala kesejahteraan psikologis yang diperoleh dapat mengukur taraf kesejahteraan psikologis.

Total nilai korelasi aitem untuk skala kelekatan dengan orangtua berkisar antara 0,372 hingga 0,792. Koefisien Alpha pada skala kelekatan dengan orangtua yakni sebesar 0,935. Hal tersebut mencerminkan variasi skor murni subjek sebesar 93,5%, yang berarti pula bahwa skala kelekatan dengan orangtua yang diperoleh dapat mengukur taraf kelekatan dengan orangtua.

Total nilai korelasi aitem untuk skala kecerdasan emosional berkisar antara 0,258 hingga 0,696. Koefisien Alpha pada skala kecerdasan emosional yakni sebesar 0.845. Hal tersebut mencerminkan variasi skor murni subjek sebesar 84,5%, yang berarti pula bahwa skala kecerdasan emosional yang diperoleh dapat mengukur taraf kecerdasan emosional.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional design. Metode ini diartikan sebagai metode penelitian yang mengumpulkan data dari sampel populasi pada saat yang sama atau pada waktu yang bersamaan. Data yang dikumpulkan dapat berupa usia dan skor pada skala penelitian.

Prosedur Pengambilan Data

Proses uji coba alat ukur penelitian dilakukan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan untuk mengambil data penelitian. Pada proses uji coba alat ukur penelitian, alat ukur penelitian disajikan dalam bentuk skala yang terdiri dari bagian pendahuluan berupa informed consent dan identitas responden, petunjuk pengisian, Skala Kesejahteraan Psikologis (SKP), Skala Kelekatan dengan Orangtua (SKDO), dan Skala Kecerdasan Emosional (SKE). Proses uji coba dilakukan pada 15 Desember 2022 hingga 20 Desember 2022. Menurut Azwar (2015), semakin tinggi validitas pada suatu alat ukur atau instrumen ukur, maka fungsi pengukuran menghasilkan kesalahan pengukuran yang minimal. Artinya, perolehan skor dari setiap partisipan tidak memiliki perbedaan dengan skor yang sebenarnya. Validitas dalam penelitian ini yaitu validitas isi. Validitas isi menggunakan formula Aiken’s V berlandaskan hasil pengukur dari penilai profesional terhadap suatu aitem. Formula ini digunakan untuk menghitung content-validity coefficient, bagaimana pernyataan-pernyataan tersebut dapat mewakili konstrak yang diukur (Azwar, 2012). Kemudian dilanjutkan dengan seleksi aitem berdasarkan korelasi aitem total setelah dilakukannya uji coba alat ukur. Aitem yang dianggap memuaskan yaitu aitem yang mencapai minimal 0,30 pada nilai koefisien korelasi. Sementara itu, standar nilai koefisien korelasi diubah ke 0,25 ketika jumlah aitem yang mencapai batas kriteria tidak mencukupi (Azwar, 2021). Reliabilitas pada penelitian ini diukur menggunakan teknik Croncbach Alpha. Jika nilai Croncbach Alpha berada di atas 0,70, variabel dikatakan reliabel (Ghozali, 2018). Oleh karena itu, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini sudah valid dan juga reliabel.

Pada bulan Januari 2023 dilaksanakan penelitian di salah satu SMA Negeri di Denpasar. Penelitian ini dimulai dengan berdiskusi pada pihak sekolah terkait dengan pemilihan sampel. Kemudian dipilih secara acak beberapa siswa yang sedang tidak ada kegiatan belajar-mengajar (jam kosong) untuk menjadi responden penelitian. Setelah responden dipilih, responden dijelaskan mengenai tujuan dan tata cara pengisian kuesioner yang akan dikerjakan. Total kuesioner yang tersebar ada 165 kuesioner.

Setelah pengambilan data selesai dilakukan, dilanjutkan dengan melakukan analisis data penelitian menggunakan uji asumsi dan uji hipotesis. Uji asumsi dilakukan dengan menggunakan uji normalitas, linieritas, dan multikolinearitas. Sedangkan metode yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah regresi berganda.

Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini dilakukan uji asumsi (uji normalitas, linearitas, dan multiloniearitas) dan uji hipotesis (uji regresi berganda). Kolmogorov Smirnov merupakan uji yang digunakan dalam uji normalitas, Compare Means merupakan uji yang digunakan dalam uji linearitas, nilai dari Variance Inflation Factor (VIF) dan Tolerance merupakan penentu dalam uji multikolinearitas. Analisis data dilakukan menggunakan SPSS 26.00 for windows. Tingkat signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% atau 0,05. Jika nilai F dengan signifikansi kurang dari 0,05 (p>0,05), maka Ho diterima, yaitu variabel independen tidak berperan dalam variabel dependen. Begitu pun sebaliknya.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian terhadap variabel kesejahteraan psikologis, kelekatan dengan orangtua, dan kecerdasan emosional dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.

Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi Data

Kesejahteraan Psikologis

Kelekatan

Kecerdasan Emosional

N

165

165

165

Rata-rata Teoretis

85

55

55

Rata-rata Empiris

99.53

63.11

62.33

SD Teoretis

17

11

11

SD Empiris

8,315

5,061

5,673

Xmin

82

50

50

Xmax

118

74

75

Sebaran Teoretis

34 - 136

22 - 88

22 - 88

Sebaran Empiris

82 - 118

50 - 74

50 - 75

Tabel 1 menunjukkan bahwa selisih rata-rata teoritis dan empiris variabel kesejahteraan psikologis adalah 14,53, dengan rata-rata teoritis lebih kecil dari rata-rata empiris. Ini berarti kesejahteraan psikologis subjek tinggi. Skor yang dimiliki oleh subjek penelitian berkisar antara 82 hingga 118. Sebanyak 72,4% subjek sudah berada di atas rata-rata teoritis.

Tabel 1 menunjukkan bahwa selisih rata-rata teoritis dan empiris variabel kelekatan dengan orangtua adalah 8,11, dengan rata-rata teoritis lebih kecil dari rata-rata empiris. Ini berarti kelekatan dengan orangtua subjek tinggi. Skor yang dimiliki oleh subjek penelitian berkisar antara 50 hingga 74. Sebanyak 68,5% subjek sudah berada di atas rata-rata teoritis.

Tabel 1 menunjukkan bahwa selisih rata-rata teoritis dan empiris variabel kecerdasan emosional adalah 7,33, dengan rata-rata teoritis lebih kecil dari rata-rata empiris. Ini berarti kecerdasan emosional subjek tinggi. Skor yang dimiliki oleh subjek penelitian berkisar antara 50 hingga 75. Sebanyak 61,9% subjek sudah berada di atas rata-rata teoritis.

Kategorisasi Data Penelitian

Hasil kategorisasi data penelitian terhadap variabel kesejahteraan psikologis, kelekatan dengan orangtua, dan kecerdasan emosional dapat dilihat pada tabel 2, tabel 3, dan tabel 4.

Tabel 2.

Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis

Rentang Nilai

Kategori

Jumlah

Persentase

X < 76,5

Rendah

0

0%

76,5 ≤ X < 93,5

Sedang

45

27,3%

93,5 ≤ X

Tinggi

120

72,7%

Hasil kategorisasi data penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa pada variabel kesejahteraan psikologis, tidak ada responden yang memiliki taraf kesejahteraan psikologis rendah. Responden dengan taraf kesejahteraan psikologis sedang berjumlah 45 orang (27,3%) dan taraf kesejahteraan psikologis tinggi berjumlah 120 orang (72,7%). Kesimpulan yang diperoleh adalah responden mempunyai taraf kesejahteraan psikologis yang tinggi.

Tabel 3.

Kategorisasi Kelekatan dengan Orangtua

Rentang Nilai

Kategori

Jumlah

Persentase

X < 49,5

Rendah

0

0%

49,5 ≤ X < 60,5

Sedang

63

38,2%

60,5 ≤ X

Tinggi

102

61,8%

Kategorisasi data dalam penelitian ini (tabel 3) memperlihatkan bahwa pada variabel kelekatan dengan orangtua, tidak ada responden yang memiliki taraf kelekatan dengan orangtua yang rendah. Responden dengan taraf kelekatan dengan orangtua sedang berjumlah 63 orang (38,2%) dan taraf kelekatan dengan orangtua tinggi berjumlah 102 orang (61,8%). Kesimpulan yang diperoleh adalah responden dalam penelitian ini memiliki taraf kelekatan dengan orangtua yang tinggi.

Tabel 4.

Kategorisasi Kecerdasan Emosional

Rentang Nilai

Kategori

Jumlah

Persentase

X < 49,5

Rendah

0

0%

49,5 ≤ X < 60,5

Sedang

52

31,5%

60,5 ≤ X

Tinggi

113

68,5%

Kategorisasi data dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa pada variabel kecerdasan emosional, kecerdasan emosional responden tidak berada pada taraf rendah. Responden dengan taraf kecerdasan emosional sedang berjumlah 52 orang (31,5%) dan taraf kecerdasan emosional tinggi sebanyak 113 orang (68,5%). Hal ini terlihat pada tabel 4. Kesimpulan yang diperoleh adalah responden mempunyai taraf kecerdasan emosional yang tinggi.

Uji Asumsi

Kolmogorov Smirnov digunakan untuk uji normalitas dalam penelitian ini, dimana data terdistribusi normal jika nilai p>0,05 (Ghozali, 2018). Dalam penelitian ini, diperoleh nilai Kolmogorov Smirnov adalah 0,62 dan signifikansinya adalah 0,200 (p>0,05). Ini berarti bahwa data kesejahteraan psikologis terdistribusi secara normal. Nilai Kolmogorov Smirnov berdasarkan data kelekatan dengan orangtua adalah 0,65 dengan signifikansi 0,086 (p>0,05). Artinya, data kelekatan dengan orangtua terdistribusi secara normal. Nilai kecerdasan emosional Kolmogorov Smirnov adalah 0,66 dengan signifikansi 0,075 (p>0,05). Artinya data kecerdasan emosional berdistribusi normal. Data unstandardized residual memiliki skor Kolmogorov Smirnov 0,44 dan signifikansinya 0,200 (p>0,05). Ini berarti bahwa data unstandardized residual juga berdistribusi normal.

Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah prediktor atau variabel independen memiliki hubungan linear dengan variabel dependen (Sugiyono, 2013). Uji compare means digunakan dalam uji linearitas berdasarkan nilai signifikansi pada deviation from linearity dan dikatakan linear jika p>0,05. Diperoleh taraf signifikansi sebesar 0,496 (p>0,05), yang berarti terdapat hubungan linear antara kelekatan dengan orang tua dengan kesejahteraan psikologis. Sementara itu, taraf signifikansi antara kecerdasan emosional dengan kesejahteraan psikologis sebesar 0,699 (p>0,05), artinya ada hubungan linear antar keduanya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa antara variabel kelekatan dengan orangtua dengan kesejahteraan psikologis dan kecerdasan emosional dengan kesejahteraan psikologis bersifat linear.

Dilakukannya uji multikolineritas untuk melihat adakah korelasi antara variabel independen yang digunakan. Terjadinya korelasi antar variabel bebas akan menyebabkan sulitnya membedakan peran variabel bebas terhadap variabel tergantung secara parsial. Hal ini tercermin dari nilai VIF kurang dari sama dengan 10 (≤10) dan nilai Tolerance lebih dari sama dengan 0.1 (≥0,1) (Ghozali, 2018). Pada uji multikolinearitas, nilai Tolerance menunjukkan angka 0.974 (≥0,1) dan nilai VIF menunjukkan 1,026 (≤10), maka dikatakan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel independen yang digunakan pada penelitian ini yaitu pada variabel kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional.

Setelah dilakukan uji asumsi, terlihat bahwa data terdistribusi normal, linear, dan tidak terjadi multikolinearitas. Maka dari itu, bisa dilakukannya uji hipotesis dengan menggunakan regresi berganda.

Uji Hipotesis

Dilakukannya uji hipotesis guna menguji bukti dari suatu hipotesis yang nantinya akan menjadi acuan untuk melakukan penerimaan maupun penolakan suatu hipotesis. Uji hipotesis yang digunakan yaitu uji regresi berganda dengan program SPSS 26.00 for windows. Diperoleh F=41.808, p<0,05. Itu berarti kesejahteraan psikologis dapat diprediksi dengan model regresi tersebut. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat dikatakan variabel kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional berperan secara bersama-sama terhadap kesejahteraan psikologis. Dengan kata lain, hipotesis alternatif dalam penelitian ini diterima dan hipotesis nol dalam penelitian ini ditolak.

Diperoleh koefisien regresi (R) sebesar 0,583 dan Adjusted R Square sebesar 0,332. Artinya, kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional berperan secara bersama-sama terhadap kesejahteraan psikologis sebesar 33,2%. Akan tetapi, masih terdapat 66.8% variabel lain yang memengaruhi variabel dependen.

Tabel 5.

Garis Linear Regresi Berganda

Model

Unstandardized        t              Sig

coefficients

B        Std. Error

1        (Constant)

34,740      8,210         4,231         0,000

Kelekatan

0,091       0,095         0,955         0,341

Kecerdasan emosional

0,937       0,106         8,824         0,000

Hasil dari uji regresi berganda juga dapat memprediksi tingkat kesejahteraan psikologis tiap partisipan (tabel 5). Adapun persamaan dari garis regresi, sebagai berikut:

Y= 34,740 + 0,091X1+0,937X2

Keterangan:

Y = Kesejahteraan psikologis

X1 = Kelekatan

X2 = Kecerdasan emosional

Berdasarkan persamaan garis regresi yang diperoleh ditemukan arti bahwa konstanta sebesar 34,740 menunjukkan bahwa jika tidak ada penambahan atau pengurangan skor (konstan) pada kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional, kesejahteraan psikologis yang dimiliki siswa yaitu sebesar 34,740. Koefisien regresi pada X1 bernilai 0,091 berarti jika nilai dari kelekatan dengan orangtua bertambah, maka nilai kesejahteraan psikologis akan meningkat sebanyak 0,091 satuan. Koefisien regresi pada X2 bernilai 0,937 berarti bahwa jika nilai dari kecerdasan emosional bertambah, maka nilai kesejahteraan psikologis akan meningkat sebesar 0,937 satuan.

PEMBAHASAN

Hasil dari regresi berganda adalah kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional berperan terhadap timbulnya kesejahteraan psikologis. Variabel kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional memberikan sumbangan secara bersama-sama sebesar 33.2% terhadap kesejahteraan psikologis. Hal itu berarti bahwa masih terdapat 66,8% sumbangan dari faktor lainnya yang dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis. Adanya peran kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional secara bersama-sama dalam kesejahteraan psikologis didukung oleh pendapat Ryff (2013) yang mengatakan bahwa adanya kepuasan terhadap kebutuhan psikologis berkontribusi pula pada kesejahteraan yang lebih tinggi. Dalam hal ini adanya kelekatan dengan orangtua dan kecerdasaan emosional dapat membantu remaja dalam memenuhi kebutuhan perkembangannya, baik secara kognitif, sosial, maupun emosional.

Kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional merupakan faktor yang secara bersama-sama berperan terhadap kesejahteraan psikologis siswa SMA. Orangtua memegang peranan penting bagi remaja terutama pada perkembangan emosinya (Yanti & Mariyati, 2023). Peran orangtua diperlukan pada pengembangan kecerdasan emosional anak untuk melatih mengenali, mengintegrasikan, serta memahami emosi sehingga anak dapat terhubung dengan orang lain (Iftinan & Junaidin, 2021). Walaupun masa remaja merupakan waktu untuk remaja belajar menjalankan kehidupan otonominya, namun remaja juga tetap membutuhkan kehadiran orangtua yang dapat mengerti mengenai perkembangan emosi dari remaja itu sendiri (Hermasanti, 2009).

Menurut Yanti & Mariyati (2023), siswa SMA dengan kelekatan yang tinggi terhadap orangtuanya lebih mampu untuk mengoptimalkan perkembangan emosi yang dimiliki. Remaja akan memiliki lebih banyak emosi positif, lebih menyadari emosi yang sedang dirasakan, memiliki sikap empati, lebih peka terhadap orang lain, serta mampu untuk membangun lingkungan sosial yang lebih luas. Interaksi siswa SMA dengan orangtuanya juga akan membantu siswa untuk belajar bagaimana bersikap dan

berperilaku dalam menghadapi situasi sosialnya. Hal tersebut akan menjadikan siswa merasa lebih nyaman dan aman dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Hal itu pula yang dapat membantu siswa SMA dalam mengembangkan kesejahteraan psikologisnya.

Tidak hanya itu, pengelolaan emosi ini juga berkaitan dengan pengembangan kesejahteraan psikologis. Apabila individu memiliki perasaan pencapaian dan penguasaan yang tinggi serta dapat membentuk harga diri yang positif, maka individu tersebut dikatakan berhasil dalam mengelola emosi yang dimiliki. Selain itu, terciptanya relasi sosial yang baik dan adanya peningkatan pada kesejahteraan psikologis juga menunjukkan bahwa pengelolaan emosi sudah berjalan dengan efektif (Ningrum, 2021). Kedua faktor ini saling berkaitan dikarenakan kelekatan dengan orangtua yang tinggi dapat membantu remaja dalam membangun kecerdasan emosional. Sementara itu, kecerdasan emosional yang tinggi dapat membantu individu mempertahankan kelekatannya dengan orangtua dan membentuk hubungan sosial yang lebih sehat secara umum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional secara bersama-sama dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis, seperti tingkat kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kesehatan mental yang lebih baik (Extremera et al., 2019; Garcia-Sancho et al., 2013). Dengan demikian, kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional harus dilihat secara beriringan sebagai faktor yang terlibat pada kesejahteraan psikologis remaja. Perlu pula untuk memperhatikan dan mengembangkan dua faktor tersebut secara bersama-sama untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa SMA.

Setelah uji regresi berganda dilakukan, terlihat bahwa terdapat 66,8% faktor lain yang berperan terhadap munculnya kesejahteraan psikologis, selain variabel yang diteliti. Faktor tersebut dapat berasal dari internal individu maupun eksternal. Faktor internal ini meliputi efikasi diri dan optimisme. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi cenderung memiliki efikasi diri yang lebih tinggi dan lebih optimis dalam menghadapi tantangan hidup. Hal ini pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan psikologis. Menurut Putri & Rustika (2017) dikatakan bahwa efikasi diri menjadi kontributor penting kesejahteraan psikologis. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa remaja akan bersikap lebih tenang dan optimis, terutama saat menghadapi tantangan maupun hambatan dalam mencapai tujuan yang dimiliki ketika remaja tersebut memiliki efikasi diri yang baik. Hal tersebut dapat meningkatkan rasa percaya remaja terhadap dirinya sendiri sehingga mengarah pada tercapainya kesejahteraan psikologis. Selain itu, Ramadhiani (2022) juga mengatakan bahwa efikasi diri yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin tinggi pula munculnya kesejahteraan psikologis.

Sementara itu, Harpan (2021) menyebutkan bahwa antara optimisme dan kesejahteraan psikologis ada peran secara langsung antar keduanya. Dalam penelitiannya pun dijelaskan bahwa individu dengan optimisme akan menjadi lebih percaya diri dan akan melihat dunia secara lebih positif. Individu yang optimis dan memiliki semangat yang tinggi juga akan memperoleh kesejahteraan psikologis. Adanya hubungan antara optimisme dan kesejahteraan psikologis juga dijelaskan oleh Sari & Eva (2021). Semakin positif pola pikir dan optimisme, semakin baik kesejahteraan. Namun sebaliknya, ketika individu selalu berpikiran negatif dan kurang adanya sikap optimisme, maka kesejahteraan psikologisnya juga akan mengalami penurunan.

Faktor lainnya yang diduga berperan dalam kesejahteraan psikologis remaja yakni faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut meliputi faktor dukungan sosial dan budaya. Dukungan sosial dapat membantu seseorang untuk mengatasi situasi stres dan meningkatkan kesejahteraan psikologis, sedangkan budaya dapat memberikan pandangan dan nilai-nilai yang membentuk persepsi individu terhadap kelekatan dan dukungan sosial. Variabel dukungan sosial dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis. Penelitian Indrawati (2017) juga mendukung hal tersebut, yang menyatakan bahwa dukungan sosial dapat memprediksi munculnya kesejahteraan psikologis. Selain itu, Oktavia (2021) juga menjelaskan dalam penelitiannya bahwa dukungan sosial secara signifikan berperan dalam memengaruhi kesejahteraan psikologis. Apabila kesejahteraan psikologis yang dimiliki tinggi, itu berarti karena dukungan sosial yang diperoleh tinggi. Begitu pun sebaliknya, apabila kesejahteraan psikologis yang dimiliki rendah, itu berarti kujrangnya dukungan sosial yang diperoleh. Penelitian Gustine & Nurhadianti (2021) juga menyatakan hal yang serupa, dimana adanya hubungan siginifikan positif antara dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis. Tingginys kesejahteraan psikologis siswa, maka tinggi pula dukungan sosial yang diperoleh siswa tersebut.

Budaya turut memainkan peran penting dalam membentuk kesejahteraan psikologis (Ryff, 2013). Terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis dalam budaya individualistik dan kolektivistik. Pada budaya individualistik, dimensi penerimaan diri dan otonomi yang mengarah pada diri sendiri memiliki nilai yang lebih menonjol dibandingkan dengan budaya kolektivistik. Sementara itu, dimensi hubungan positif dengan orang lain yang lebih mengarah pada individu lain, memiliki nilai yang lebih dominan pada budaya kolektivistik (Pedhu, 2022). Gaya budaya yang diasosiasikan dengan kemandirian dapat mengurangi kepuasan dan kesejahteraan (Ryan & Deci, 2001). Penelitian lintas budaya juga telah menunjukkan bahwa kemandirian yang tinggi (kontrol pribadi) memprediksi kesejahteraan yang lebih tinggi di budaya individualistik, sedangkan ketergantungan yang tinggi (relasional) memprediksi kesejahteraan yang lebih tinggi di budaya kolektivistik (Ryff, 2013). Selain itu, budaya individualistik lebih mencegah melakukan penekanan emosi dibandingkan budaya kolektivistik, dimana persepsi terhadap penekanan emosi yang tinggi dapat menurunkan pengaruh positif, yang pada gilirannya dapat menyebabkan rendahnya kesejahteraan psikologis yang dirasakan (Kwon & Kim, 2019).

Penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan, seperti saat pemilihan sampel penelitian. Sesuai dengan kesepakatan dan kebijakan sekolah, sampel penelitian yang dapat digunakan adalah siswa kelas X hingga XII yang sedang tidak ada kegiatan

belajar mengajar (jam kosong). Oleh karena itu, pemilihan sampel tidak dapat dipilih secara acak menggunakan absensi, melainkan berdasarkan ketersediaan waktu pada saat itu. Tidak hanya itu, aitem yang terpilih dalam penelitian ini juga tidak semua memiliki nilai korelasi aitem total sebesar 0.30, melainkan ada yang sebesar 0,258. Hal tersebut dikarenakan apabila aitem tersebut dihilangkan, maka akan mengakibatkan hilangnya seluruh aitem unfavorable yang ada pada skala tersebut. Maka, bagi peneliti pada penelitian selanjutnya sebisa mungkin melakukan randomisasi dan memilih aitem yang memiliki nilai korelasi aitem total sebesar 0,30 agar reliabilitas skala menjadi meningkat.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional memiliki hubungan yang positif dan mampu memprediksi munculnya kesejahteraan psikologis. Kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional memiliki peran sebesar 33,2% terhadap kesejahteraan psikologis. Sementara itu, terdapat 66,8% faktor lain yang berperan dalam kesejahteraan psikologis pada remaja. Selain itu, tingkat kesejahteraan psikologis, kelekatan dengan orangtua dan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa SMA yang menjadi lokasi penelitian juga tergolong tinggi.

Ucapan Terima Kasih

Melalui kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah mendukung serta membantu peneliti yang tidak dapat sebutkan satu per satu.

Kontribusi Penulis

Penelitian ini sebagai skripsi dari penulis 1 dibimbing penulis 2.

REFERENSI

Abubakar, A., Alonso-Arbiol, I., Van de Vijver, F. J. R., Murugami, M., Mazrui, L., & Arasa, J. (2013). Attachment and psychological well-being among adolescents with and without disabilities in Kenya: The mediating role of identity formation. Journal of Adolescence, 36(5), 849–857. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2013.05.006

Aiken, L. R. (1985). Three coefficients for analyzing the reliability and validity of ratings. Educational and Psychological Measurement, 45.

Armsden, G. C., & Greenberg, M. T. (1987). The inventory of parent and peer attachment: Individual differences and their relationship to psychological well-being in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 16(5), 427–454.

https://doi.org/10.1007/BF02202939

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas (4th ed.). Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2015). Dasar-Dasar Psikometrika (2nd ed.). Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2021). Penyusunan Skala Psikologi (3rd ed.). Pustaka Pelajar.

Bowlby, J. (1982). Attachment and loss: Retrospect and prospect. American Journal of Orthopsychiatry, 52(4), 664–678. https://doi.org/10.1111/j.1939-0025.1982.tb01456.x

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013.

Devita, Y. (2020). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Masalah Mental Emosional Remaja. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 20(2), 503. https://doi.org/10.33087/jiubj.v20i2.967

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. W.W. Norton.

Extremera, N., Rey, L., & Pena, M. (2019). Perceived emotional intelligence and well-being in adolescents: The role of attachment to parents and peers. Journal of Happiness Studies, 20(2), 485–503.

Garcia-Sancho, E., Salguero, J. M., & Fernandez-Berrocal, P. (2013). Relationship between emotional intelligence and aggression: A systematic review. Aggression and Violent Behavior, 18(2), 271–282.

Ghozali, I. (2018). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 25 (9th ed.). Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence A Bantam Book. Bantam Books.

Gustine, E., & Nurhadianti, R. D. D. (2021). The Relationship Between Gratitude and Social Support with Psychologicall WellBeing of Class XII Science Students At SMAN 113 East Jakarta. Jurnal Psikologi Kreatif Inovatif, 1(1).

Harpan, A. (2021). Peran Religiusitas dan Optimisme terhadap Kesejahteraan Psikologis pada Remaja. Empathy: Jurnal Fakultas Psikologi, 3(1). https://doi.org/10.12928/empathy.v3i1.3198

He, J., Chen, X., Fan, X., Cai, Z., & Hao, S. (2018). Profiles of parent and peer attachments of adolescents and associations with psychological     outcomes.      Children     and     Youth     Services     Review,     94,      163–172.

https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2018.10.001

Hermasanti, W. K. (2009). Hubungan antara Pola Kelekatan dengan Kecerdasan Emosi pada Remaja Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Karanganyar [Skripsi]. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (terjemahan). Erlangga.

Iftinan, Q., & Junaidin. (2021). Hubungan antara Kelekatan Orang Tua (Ibu) terhadap Kecerdasan Emosi pada Siswa Kelas XII Jurusan IPA SMAN 1 Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat. Jurnal Psimawa, 4(1), 61–68.

Indrawati, T. (2017). Peranan Kecerdasan Emosi dan Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Siswa SMP Terbuka di Cirebon. Edukasia Islamika, 70. https://doi.org/10.28918/jei.v2i1.1630

Kementerian Kesehatan RI. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018.

Kiftiya. (2017). Hubungan Kecerdasan dengan Penyesuaian Diri pada Siswa Baru SMP Islam Al-Maarif 01 Singosari Malang [Skripsi]. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Kwon, H., & Kim, Y. (2019). Perceived emotion suppression and culture: Effects on psychological well‐being. International Journal of Psychology, 54(4), 448–453. https://doi.org/10.1002/ijop.12486

Maharani, R. (2017). Hubungan antara Kelekatan pada Orang Tua dengan Kesejahteraan Psikologis Remaja [Skripsi]. Universitas Muhammadiyah Malang.

Mutia, A. T., & Sukmawati, I. (2019). Relationship Between Peer Pressure and Self Esteem in Adolescents. Self Esteem, 1(1), 8.

Natalia, C., & Lestari, M. D. (2015). Hubungan antara Kelekatan Aman pada Orang Tua dengan Kematangan Emosi Remaja Akhir di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 2(1), 78–88.

Ningrum, W. (2021). Kecerdasan Emosional Sebagai Moderator Hubungan antara Relasi Interpersonal Guru-Siswa dengan Kesejahteraan Siswa [Tesis]. Universitas Muhammadiyah Malang.

NusaBali. (2019). 9,8 Persen Pemuda di Bali Idap Gangguan Emosional. https://www.nusabali.com/berita/52576/98-persen-pemuda-di-bali-idap-gangguan-emosional

Oktavia, L. (2021). HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA DI MASA PANDEMI COVID-19. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA.

Pedhu, Y. (2022). Kesejahteraan psikologis dalam hidup membiara. Jurnal Konseling dan Pendidikan,  10(1),  65.

https://doi.org/10.29210/162200

Prabowo, A. (2016). Kesejahteraan Psikologis Remaja di Sekolah. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 4(2).

Puteri, M., & Wangid, M. N. (2017). Hubungan antara Kelekatan dengan Interaksi Sosial pada Siswa. PSIKOPEDAGOGIA Jurnal Bimbingan dan Konseling, 6(2), 84. https://doi.org/10.12928/psikopedagogia.v6i2.9439

Putri, A. W., Wibhawa, B., & Gutama, A. S. (2015). Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia (Pengetahuan, dan Keterbukaan Masyarakat terhadap Gangguan Kesehatan Mental). Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 2(2), 2. https://doi.org/10.24198/jppm.v2i2.13535

Putri, P. N. A., & Rustika, I. M. (2017). PERAN POLA ASUH AUTORITATIF, EFIKASI DIRI, DAN PERILAKU PROSOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA REMAJA AKHIR DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA. Jurnal Psikologi Udayana, 4(1). https://doi.org/10.24843/JPU.2017.v04.i01.p16

Ramadhiani, I. N. (2022). Hubungan Efikasi Diri dengan Kesejahteraan Psikologis pada Mahasiswa di Masa Pandemi Covid-19 [Skripsi]. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On Happiness and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being. Annual Review of Psychology, 52(1), 141–166. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.52.1.141

Ryff, C. D. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being. American Psychological Association, 57(6), 1069–1081.

Ryff, C. D. (2013). Psychological Well-Being Revisited: Advances in the Science and Practice of Eudaimonia. Psychotherapy and Psychosomatics, 83(1), 10–28. https://doi.org/10.1159/000353263

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. American Psychological Association, 69(4), 719–727.

Salovey, P., Brackett, M. A., & Mayer, J. D. (2004). Emotional Intelligence: Key Readings on the Mayer and Salovey Model. National Professional Resources Inc./Dude Publishing.

Samad, H. A. (2014). Emotional intelligence the theory and measurement of EQ. European Scientific Journal, ESJ, 10(10).

Sancahya, A., & Susilawati, L. (2014). Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Jurnal Psikologi Udayana, 3(2). https://doi.org/10.24843/JPU.2016.v03.i02.p13

Sari, A. T., & Eva, N. (2021). Hubungan Optimisme dan Kesejahteraan Psikologis Pada Mahasiswa Fresh Graduate yang sedang Mencari Pekerjaan: Sebuah Literature Review. Seminar Nasional Psikologi UM, 1(1), 143–148.

Sari, L. S. S., & Desiningrum, D. R. (2016). KECERDASAN EMOSIONAL DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA TARUNA SEMESTER III POLITEKNIK ILMU PELAYARAN SEMARANG. 5, 4.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RD. Alfabeta.

Wahyuningsih, H., Novitasari, R., & Kusumaningrum, F. A. (2020). Kelekatan dan Kesejahteraan Psikologis Anak dan Remaja: Studi Meta-Analisis. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(2), 267–284. https://doi.org/10.15575/psy.v7i2.6426

Wiguna, T. (2013). IDAI | Masalah Kesehatan Mental Remaja di Era Globalisasi. https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/masalah-kesehatan-mental-remaja-di-era-globalisasi

Wijaya, R., Putri, G. S., & Pandjaitan, L. N. (2020). Efektifitas Pelatihan Kecerdasan Emosional untuk Meningkatkan Kesejahteraan    Psikologis    Remaja    Panti    Asuhan.    Jurnal Psikohumanika,    12(1),    60–78.

https://doi.org/10.31001/j.psi.v12i1.791

World  Health  Organization.  (2012). Risks  to mental health: An overview of vulnerabilities and risk factors.

https://www.who.int/publications/m/item/risks-to-mental-health

World Health Organization. (2018). Mental health: Strengthening our response. https://www.who.int/news-room/fact-

sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response

Yanti, R. A. P., & Mariyati, L. I. (2023). Relationship of Secure Attachment to Fathers and Mothers with Emotional Intelligence in Junior High School Adolescents. Indonesian Journal of Innovation Studies, 21. https://doi.org/10.21070/ijins.v21i.800

317