PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH SEBAGAI DEBITUR ATAS PENGGUNAAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

Ni Putu Arista Ratna Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:

[email protected]

Putu Devi Yustisia Utami, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan artikel ini untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum bagi nasabah sebagai debitur atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan instrument hukum atau produk hukum dan pendekatan analisis konsep hukum. Sumber bahan hukum yang adalah Bahan Hukum Primer berupa peraturan yang berkaitan dengan perjanjian baku maupun perjanjian kredit bank dan bahan hukum sekunder yang digunakan didapat dari buku hukum maupun jurnal ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik penulisan pada artikel menggunakan studi kepustakaan dengan menganalisis buku-buku yang menitikberatkan pada data-data sekunder dan hukum tertulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi nasabah atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank telah diatur secara preventif dalam ketentuan Pasal 18 UUPK, pasal 21 dan 22 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa, serta diatur pula dalam SE Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku sedangkan secara represif diatur dalam Pasal 29 dan 30 ayat (1) UU OJK selain itu diatur juga dalam Pasal 40 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Pasal 4 huruf a POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Nasabah, Perjanjian Baku, Kredit Bank

ABSTRACT

The purpose of this article is to identify and analyze legal protection for customers as debtors for using standard agreements in bank credit agreements. This study uses normative legal research methods with a legal instrument or legal product approach and a legal concept analysis approach. The sources of legal materials are Primary Legal Materials in the form of regulations relating to standard agreements and bank credit agreements and the secondary legal materials used are obtained from law books and scientific journals related to the problem under study. The writing technique for the article uses literature study by analyzing books that focus on secondary data and written law. The results of the study show that legal protection for customers for the use of standard agreements in bank credit agreements has been regulated preventively in the provisions of Article 18 UUPK, articles 21 and 22 POJK Number 1/POJK.07/2013 concerning Consumer Protection in the Service Sector, and also regulated in the SE. Financial Services Authority Number 13/SEOJK.07/2014 Concerning Standard Agreements while repressively regulated in Articles 29 and 30 paragraph (1) of the OJK Law besides that it is also regulated in Article 40 POJK Number 1/POJK.07/2013 concerning Consumer Protection in the Service Sector Finance and Article 4 letter a POJK Number 1/POJK.07/2014 concerning Alternative Dispute Resolution Institutions in the Financial Services Sector.

Key Words: Legal Protection, Customer, Standard Agreement, Bank Credit

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mengimplementasikan tujuan daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui pemerintah Indonesia, mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia sangatlah erat kaitannya dengan perekonomian.1 Satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan masyarakat seiring berjalannya waktu akan mengalami peningkatan yang signifikan. Dengan demikian, masyarakat semakin gencar berupaya meningkatkan kualitas hidupnya, berbagai usaha terus dilakukan oleh masyarakat untuk menjamin terpenuhinya berbagai macam kebutuhan yang ada saat ini seperti misalnya kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Salah satu solusi di tengah-tengah permasalahan pendanaan agar terpenuhinya kebutuhan masyarakat tersebut ialah melalui bank. Tujuan Bank sebagaimana tepatnya termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ialah untuk ikut serta dalam proses pembangunan nasional untuk mensejahterakan seluruh masyarakat indonesia. Agar tercapainya tujuan dari amanat pasal tersebut sudah semestinya bank melaksanakan peran utamanya sebagai penghimpun serta penyalur dana masyarakat.

Hadirnya suatu induk pendanaan yaitu bank di tengah masyarakat merupakan komponen penting dalam menyokong perekonomian nasional saat ini khususnya bagi masyarakat luas. Secara garis besar bank mempunyai 2 (dua) fungsi penting diantaranya yaitu sebagai agent of development yaitu berkaitan dengan kegiatan bank dalam mengumpulkan dana dan penyaluran kredit sera bank sebagai agent of trust yaitu berkaitan dengan kegiatan bank dalam pelayanan maupun jasa-jasa yang diberikan oleh bank2 Di antara fungsi bank tersebut, kegiatan usaha yang paling banyak digunakan oleh masyarakat ialah fungsi bank sebagai agent of development yaitu dalam hal bank untuk memberikan kredit. Kredit dapat dikatakan sebagai produk utama bank karena melalui kegiatan usaha dalam bentuk kredit dapat memberikan profit bagi bank, sehingga bank senantiasa memberikan kredit terus menerus untuk meningkatkan volume bisnis dan sehubungan dengan keberlangsungan operasional bank. Bank melalui kegiatan usaha perkreditan serta didukung dengan bermacam-macam pelayanan yang diberikan mampu memenuhi hajat orang banyak dalam hal pendanaan juga mampu memperlancar mekanisme sistem pembayaran di seluruh sektor perekonomian.3

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada pokoknya mengamanatkan siapapun dapat diberikan kredit oleh pihak bank asalkan pihak terkait sanggup melakukan perjanjian utang-piutang antara pemberi hutang atau yang sering disebut dengan kreditur dan penerima utang yang disebut dengan debitur. Kredit yang diberikan oleh pihak bank tentunya bukan dengan cara cuma-cuma melainkan harus ada syarat-syarat yang dituangkan dalam akta perjanjian atau sering disebut akta kredit. Aspek hukum sangat berperan penting dalam proses pemberian kredit karena menimbulkan hubungan hukum yang disertai dengan segala dampak yuridis akibat perjanjian tersebut, untuk selanjutnya bank dan nasabah akan menjalin hubungan hukum. Dalam perjanjian kredit bank, tentunya menimbulkan hubungan hukum berupa utang-piutang yang mana

memberi dampak bahwa kreditur dan debitur sama-sama memikul hak serta kewajiban.4 Timbulnya hubungan secara hukum akibat dari perjanjian kredit yang sedemikian rupa seringkali menyebabkan pihak bank mengabaikan hak-hak pihak nasabahnya.

Pertama kali dimulainya sistem perjanjian, prinsip penting yang harus diteguhkan oleh para pihak adalah freedom of contract atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ialah kebebasan berkontrak. Prinsip tersebut secara ringkas mengartikan bahwa kedudukan diantara dua pihak dalam membuat perjanjian berkedudukan seimbang dan suatu kesepakatan tercapai harus melalui negosiasi dari kedua belah pihak. Seiring berkembangnya ilmu di bidang ekonomi, para pihak dalam membuat perjanjian menggunakan bentuk yang praktis. Sebagai contoh di antara kedua pihak telah mempersiapkan syarat-syarat yang sudah distandarisasi dalam suatu format untuk selanjutnya dilakukan pencetakan, hasil perjanjian yang telah dicetak tersebut yaitu berupa lembaran atau sering disebut dengan formulir yang selanjutnya dibagikan kepada pihak satunya untuk disetujui.

Secara umum perjanjian dapat dibagi menjadi beberapa jenis, akan tetapi jika ditinjau dari bentuk perjanjiannya terbagi ke dalam dua bentuk yakni perjanjian tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis atau sering disebut dengan perjanjian standard (baku) inilah yang seringkali diaplikasikan dalam perjanjian kredit bank, perjanjian baku yang seringkali digunakan oleh bank akan mengefisienkannya dari segi pengeluaran biaya, tenaga, dan waktu namun bank tetap mendapatkan keuntungan yang besar. Umumnya perjanjian baku dibuat dengan cara kolektif dan massal sehingga “vera Bolger” menyebutnya dengan “take it or leave it” (jika setuju terima, jika keberatan tinggalkan saja).5 Jika debitur setuju dengan seluruh syarat serta ketentuan yang dibuat oleh bank maka debitur wajib menandatanganinya, namun sebaliknya jika debitur tidak setuju maka tidak perlu ditandatangani.

Dalam perjanjian standaard yang dibuat oleh satu pihak yaitu pihak bank tentunya memuat syarat serta ketentuan yang wajib dipatuhi oleh debitur sehingga perjanjian tersebut memiliki kekuatan mengikat. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh perjanjian baku yang dibuat oleh pihak bank secara satu pihak menyebabkan nasabah tidak dalam posisi tawar-menawar dan nasabah pun tidak diuntungkan dalam posisi yang demikian hal tersebut dikarenakan formulir perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank dibuat tanpa sepengetahuan nasabah sebagai debitur, melainkan sudah dipersiapkan sebelumnya oleh pihak bank.6 Maka jika debitur ingin benar-benar mendapatkan kredit dari bank, mau tidak mau debitur wajib membubuhi tanda tangannya dalam perjanjian kredit dalam bentuk perjanjian baku yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh bank. Tentunya isi klausula di dalam perjanjian tersebut dibuat oleh bank sehingga nasabah sebagai debitur tidak dapat merubah isi dari klausulanya dengan kata lain debitur hanya tinggal membubuhkan tanda tangannya saja. Selanjutnya, pihak kreditur dan debitur yang telah menyetujui serta menyepakati setiap kredit tersebut wajib dituangkan dalam akad kredit secara tertulis.7 Klausula yang tidak ditaati oleh pihak debitur maka kreditur berhak untuk

memberitahukan segala akibat hukumnya seperti kelalaian, tidak mencairkan kredit yang telah disetujui, dan mempercepat penyelesaian kredit tersebut. Isi dari perjanjian tersebut tentunya banyak memberatkan salah satu pihak dalam hal ini ialah nasabah debitur. Banyak beredar dikalangan masyarakat tentang keluhan bahwa debitur sangat dirugikan akan perjanjian seperti itu. Dengan demikian, penerapan perjanjian baku dalam kredit perbankan menunjukan suatu keadaan yang membahayakan banyak orang khususnya masyarakat Indonesia karena kurangnya pemahaman aspek hukum khususnya mengenai akibat dari pelaksanaan perjanjian baku.

Perihal state of art, bahwa penulis menemukan penelitian yang ditulis oleh Moh. Nur Muliatno Abbas dengan judul “Penyalahgunaan Keadaan Dalam Kontrak Baku Perjanjian Kredit Bank” tahun 2020.8 Di dalam penelitian tersebut hanya membahas secara umum mengenai bentuk penyalahgunaan dalam perjanjian kredit bank serta solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut disertai dengan beberapa contoh putusan. Selanjutnya ialah penelitian oleh Mohammad Wisno Hamin dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Bank Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko Dalam Perjanjian Kredit Bank” tahun 2017.9 Dimana dalam penelitian tersebut menitikberatkan pembahasan terhadap tanggungjawab bank terkait risiko perjanjian kredit. Dengan demikian, kedua penelitian tersebut memiliki pembahasan yang berbeda dengan dengan penelitian ini yang cenderung mengarah kepada perlindungan secara hukum bagi nasabah sebagai debitur atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh penulis akan menjadi peran penting bagi pemerintah dalam melindungi dan menjaga kepentingan subjektif antara pelaku usaha dan nasabah sebagai konsumen, untuk selanjutnya perjanjian baku yang dibentuk dalam perjanjian kredit bank memuat hak dan kewajiban yang seimbang sehingga terjamin pula keadilan dan kepastian hukum di antara dua belah pihak. Berangkat dari permasalahan diatas, maka penulis memilih pembahasan ini dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Sebagai Debitur Atas Penggunaan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Bank”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana kedudukan nasabah sebagai debitur atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank?

  • 2.    Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah sebagai debitur atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank?

  • 1. 3. Tujuan

  • 1.    Untuk mengetahui dan memberikan pembahasan secara terperinci mengenai kedudukan nasabah sebagai debitur atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank

  • 2.    Untuk mengetahui dan memberikan pembahasan secara terperinci mengenai perlindungan hukum bagi nasabah sebagai debitur atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank

  • 2.    Metode Penelitian

Metode untuk penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan instrument hukum atau produk hukum yang berarti pendekatan dengan meneliti berbagai jenis peraturan perundang-undangan dan regulasi berkaitan, dengan tujuan untuk mencari kebenaran dengan pembuktian melalui hukum tertulis serta menggunakan pasal-pasal yang berhubungan dengan topik yang terkait dengan penelitian. Disamping pendekatan tersebut diatas, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis konsep hukum. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer berupa peraturan yang berkaitan dengan perjanjian baku maupun perjanjian kredit bank dan bahan hukum sekunder didapat dari buku hukum maupun jurnal ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.10 Teknik penulisan pada artikel menggunakan studi kepustakaan dengan menganalisis buku-buku yang menitikberatkan pada data-data sekunder dan hukum tertulis. Teknik analisis data serta bahan hukum dilakukan secara kualitatif, yang menganalisa data-data yang bersifat deskriptif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kedudukan Nasabah Sebagai Debitur Atas Penggunaan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Bank

Nasabah Debitur sesuai dengan yang diartikan dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada pokoknya dalam ketentuan tersebut bank dalam memberikan kredit wajib berdasarkan pada persetujuan dan kesepakatan dua pihak dengan kata lain subjek dalam perjanjian kredit bank tersebut harus dilakukan oleh dua belah pihak. Tanpa adanya dua belah pihak yang saling mengikatkan diri atau umumnya disebut sebagai subjek hukum maka perjanjian kredit bank tersebut tidak akan terlaksana. Dua belah pihak tersebut terdiri dari pihak pemberi kredit yaitu bank sedangkan pihak penerima kredit yaitu dapat berupa perorangan ataupun badan hukum (nasabah). Pemberi kredit seringkali disebut sebagai kreditur sedangkan penerima kredit disebut sebagai debitur, berdasarkan hal tersebut dapat dipastikan bahwa suatu perjanjian akan diikuti oleh dua pihak yang dibarengi dengan hubungan timbal-balik dari dua pihak tersebut yaitu pihak yang wajib berprestasi dan pihak yang berhak atas prestasi.11

Awal mula diperkenalkannya suatu perjanjian harus berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak dengan demikian sudah seharusnya di antara para pihak berkedudukan seimbang serta harus ada kata sepakat oleh para pihak, hal tersebut penting agar perjanjian terjadi melalui proses negosiasi diantara para pihak. Seiring berjalannya waktu, banyak dijumpai dimasyarakat perjanjian yang bukan melalui teknik tawar-menawar yang seimbang di antara para pihak, melainkan perjanjian yang banyak beredar dimasyarakat saat ini perjanjian yang telah dibuat oleh salah satu pihak dengan syarat serta ketentuan yang telah ditetapkan yang selanjutnya disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui, tentunya perjanjian seperti itu tidak memberikan akses negosiasi atas syarat-syarat dalam perjanjian tersebut, serta

tidak mencerminkan prinsip asas kebebasan berkontrak. Perjanjian dengan cara diatas dinamakan sebagai perjanjian baku.12

Perjanjian kredit dengan menggunakan bentuk perjanjian baku merupakan salah satu cara pihak bank (kreditur) bebas berkehendak yang bertujuan untuk mencapai tujuan ekonomis. Masyarakat disebut sebagai konsumen atau nasabah karena ikut berperan dalam penggunaan fasilitas kredit, penggunaan dana yang dilakukan oleh nasabah secara otomatis akan membuat kedudukan nasabah menjadi lemah dan selanjutnya akan mendongkrak posisi bank menjadi lebih tinggi sebagai pihak yang dominan dengan kedudukan yang kuat. Kedudukan dua pihak tersebut tentunya tidak seimbang, nasabah sebagai pihak yang lemah pun tidak dalam keadaan yang bebas untuk menentukan yang diinginkannya dalam perjanjian, hal tersebut sangat melenceng dari apa yang diamanatkan oleh Pasal 1320 juncto Pasal 1338 KUHPer yang pada intinya menentukan kebebasan setiap individu atau dalam hal ini para pihak/pihak-pihak diutamakan dalam membuat suatu perjanjian.

Seluruh syarat perjanjian yang dibuat oleh bank untuk selanjutnya disodorkan kepada pihak kreditur (nasabah) kurang merefleksikan rasa keadilan karena nasabah tidak mempunyai hak melakukan tawar-menawar terhadap syarat dan ketentuan yang sudah ditetapkan dalam perjanjian oleh bank.13 Indonesia sebagai salah satu negara yang berdampak terhadap perkembangan IPTEK seperti sekarang ini dengan leluasanya syarat-syarat perjanjian yang dibakukan tidak dapat dihindari. Pihak bank barangkali menganggap hal tersebut siasat yang cepat untuk memperoleh keuntungan dengan tidak bertele-tele, namun bagi nasabah sebagai debitur justru sebaliknya, bagi nasabah metode seperti ini merupakan pilihan yang tidak menguntungkan apalagi dalam keadaan terdesak nasabah hanya mempunyai satu pilihan yaitu dengan berat hati menerima isi dari perjanjian tersebut.

Industri perbankan dengan segala problematikanya seperti informasi yang kurang jelas bahkan tidak lengkap mengakibatkan konsumen dalam hal ini nasabah semakin terpuruk, kedudukan nasabahpun semakin melemah. Bank memang semakin dipandang penting dalam kehidupan masyarakat, namun bank sebagai fasilitator jasa keuangan saja tidak tidaklah cukup harus dibarengi dengan menciptakan rasa aman dan adil bagi masyarakat.14 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kedudukan nasabah yang diharapkan seimbang dengan kreditur pada nyatanya adalah lebih lemah karena berada dalam posisi “take it or leave it”, dimana karena adanya kebutuhan mendesak dari nasabah, nasabah dengan berat hati menerima isi dalam perjanjian baku yang sepenuhnya telah disiapkan oleh bank dengan kata lain bahwa nasabah hanya dalam posisi menerima atau tidak menerima, dan ketika menerima maka dianggap sepakat.

  • 3.2.    Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Sebagai Debitur Atas Penggunaan

    Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Bank

Serangkaian Klausula atau covenant yang dimuat dalam perjanjian baku kredit bank, sebagian besar hanya diperuntukkan untuk melindungi pihak bank (kreditur) dalam memberikan kredit. Ditinjau dari aspek finansial, adanya klausula dapat

memberikan perlindungan kepada bank untuk menuntut ataupun menarik kembali fasilitas kredit sebagai contoh uang yang telah diberikan kepada nasabah dapat ditarik kembali jika debitur dalam keadaan yang tidak sesuai dengan isi perjanjian, sedangkan jika ditinjau dari aspek hukum klausula dapat dijadikan sebagai sarana penegakan hukum yang digunakan untuk kepentingan bank bahwa debitur benar-benar mematuhi syarat serta ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian kredit.15

Pada awalnya perjanjian baku (standaard) berkembang karena adanya perbedaan dari segi sosial-ekonomi para pihak, lain halnya dengan perjanjian baku perbankan yang bertujuan untuk membangkitkan pertumbuhan pengusaha ekonomi lemah. 16 Namun pihak nasabah sebagai debitur umumnya berada pada kedudukan ekonomi lemah hal tersebut dikarenakan ketidaktahuan nasabah yang kemudian hanya menyetujui perjanjian mengakibatkan kurangnya perlindungan hukum bagi pihak debitur. Perlindungan secara hukum merupakan suatu jaminan hukum yang diberikan kepada masyarakat dalam melindungi hak-haknya, dengan demikian perlindungan hukum wajib diberikan apalagi terhadap pihak dengan posisi lemah. Hal tersebut merupakan urgensi bagi pemerintah agar nasabah sebagai debitur tidak dengan terpaksa menerima suatu perjanjian yang dengan sengaja dibuat oleh bank sebagai posisi dominan. Debitur harus mendapat perlindungan secara hukum yang nantinya akan memberikan suatu kepastian hukum dan harus mencerminkan rasa keadilan dalam hal debitur mempertahankan ataupun membela hak-haknya jika dilanggar oleh pihak bank (kreditur).17

Perlindungan hukum merupakan salah satu konsep hukum yang mendunia, yang mana terkait dengan pengertiannya dikemukakan oleh salah satu ahli yaitu Philipus M. Hadjon, melalui pendapatnya dapat ditarik bahwa inti dari perlindungan hukum ialah usaha yang dilakukan untuk melindungi seluruh subjek hukum dengan sarana perangkat hukum.18 Indonesia sebagai negara hukum sudah seharusnya menerapkan konsep perlindungan hukum sebagai suatu bentuk pelayanan serta andil pemerintah dalam memberikan rasa aman kepada seluruh masyarakat. Sesuai dengan dengan amanat dari Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945. Didukung dengan konsep yang mendunia tersebut maka perlindungan hukumpun dapat dapat dikategorikan kedalam dua sifat yakni perlindungan hukum dengan sifat preventif dan represif. Dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum preventif sebagai pencegah timbulnya suatu sengketa sedangkan perlindungan hukum represif diperuntukkan sebagai penyelesai suatu sengketa, termasuk penanganannya di dalam Lembaga peradilan.

Perlindungan hukum preventif jika dihubungkan dengan aspek perjanjian baku dalam kredit bank merupakan suatu jaminan hukum yang diberikan kepada nasabah, agar nasabah paham dan cermat terlebih dahulu akan isi dari perjanjian baku dalam kredit bank sebelum ditandatangani dan disetujui tujuannya agar kelak pihak nasabah sebagai debitur tidak dirugikan. Pengaturan terkait dengan

perbankan di Indonesia, sebenarnya sudah diatur sedemikian rupa dalam Undang-Undang Perbankan selanjutnya disingkat menjadi “UUP”, namun apabila ditelaah dalam UUP tidak diatur secara gamblang terkait dengan ketentuan mengenai perlindungan nasabah sebagai debitur dalam kredit perbankan, terkhusus dalam pengaturan perjanjian baku yang dilakukan oleh bank. Pemerintah sebagai payung pelindung masyarakat serta bank sebagai pengayom masyarakat khususnya terkait dengan pendanaan sudah seharusnya memperhatikan secara khusus pengaturan mengenai perjanjian standaard dalam bentuk perjanjian kredit karena perjanjian kredit akan berpengaruh nantinya terhadap hubungan hukum kedua belah pihak.

Nasabah sebagai debitur dalam perjanjian kredit bank dapat pula dikatakan sebagai konsumen, hal tersebut terkandung sedemikian rupa dalam ketentuan pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa pada pokoknya konsumen merupakan pemakai barang dan/jasa dan tidak untuk diperdagangkan.19 Berangkat dari ketentuan tersebut maka dapat dipersamakan dengan debitur dalam perjanjian kredit bank karena debitur memakai fasilitas kredit dari bank yaitu berupa dana yang tidak untuk diperdagangkan. UUPK sebagai penjaga dan pelindung hak-hak dan kewajiban konsumen dengan demikianpun UUPK telah menguraikan secara tegas bentuk-bentuk perlindungan terhadap konsumen. perlindungan hukum secara preventif bagi nasabah disini dapat dilihat dalam Pasal 18 UUPK, yang secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengatur tentang batasan-batasan penggunaan klausula baku.

Perlindungan hukum secara preventif lainnya dapat dilihat dari POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang termaktub dalam pasal 21 dan 22 pada intinya mengatur mengenai bagaimana penerapan syarat-syarat dalam membuat perjanjian baku. Pada Pasal 21 menyatakan bahwa “pelaku usaha wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen”, lebih lanjut dalam Pasal 22 mengatur tentang syarat-syarat dalam pembuatan perjanjian baku. Sejalan dengan ketentuan tersebut, OJK senantiasa melakukan pengawasan secara aktif terhadap bank-bank yang masih melanggar ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam POJK tersebut tepatnya dalam Pasal 53 ayat (1) yaitu mengatur mengenai penjatuhan sanksi administratif terhadap pelaku usaha jasa keuangan yang melampaui batas dari aturan POJK tersebut. Selanjutnya, OJK menerbitkan peraturan khusus yang mengatur tentang perjanjian baku yaitu SE Otoritas Jasa Keuangan No. 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, secara khusus perlindungan hukum preventif dapat dilihat dalam bagian II yang mengatur mengenai klausula dalam perjanjian baku dan bagian III mengatur mengenai format perjanjian baku. Perjanjian Standar SEOJK tersebut merupakan pedoman pelaksanaan POJK Perlindungan Konsumen khususnya mengenai klausula dalam perjanjian standar. Maka, pengaturan Perjanjian Baku dalam SEOJK tersebut berlaku bagi pelaku jasa keuangan termasuk sektor perbankan.20

Perlindungan hukum represif jika dikaitkan dengan dengan aspek perjanjian baku dalam kredit bank, merupakan perlindungan secara hukum yang diberikan kepada debitur apabila dirugikan oleh perjanjian standaard yang dilakukan oleh pihak bank, berkaca dari hal tersebut maka debitur berhak mengajukan pengaduan

kepada OJK. Dari sekian banyaknya peraturan terkait dengan jasa keuangan yang paling berkaitan dengan perlindungan nasabah terhadap bank ialah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2022 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dimana melalui peraturan tersebut pemerintah telah membentuk Otoritas Jasa Keuangan atau masyarakat pada umumnya menyebut OJK yang senantiasa dibentuk sebagai pengayom masyarakat dibidang keuangan. Perlindungan hukum represif yang diberikan OJK ialah secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 29 UU OJK yang pada pokoknya dalam ketentuan tersebut mengatur mengenai tugas OJK dalam hal memberikan pelayanan pengaduan terhadap konsumen atau dalam hal ini yaitu nasabah yang dirugikan, selanjutnya dalam Pasal 30 ayat (1) pada pokoknya mengatur mengenai wewenang OJK dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen serta masyarakat dalam bentuk pembelaan hukum dan dalam ayat (2) mengatur mengenai “pembayaran ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan”.

Seringkali debitur dirugikan oleh aktivitas dari Lembaga Jasa Keuangan, jika terjadi hal semacam itu debitur sebagai pihak yang dirugikanpun dapat mengadukan hal tersebut dalam bentuk pengaduan sengketa kepada OJK sesuai prosedur yang diatur secara rinci dalam Pasal 40 POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dalam hal prosedur sebagaimana digunakan dalam penyelesaian pengaduan gagal maka dilanjutkan dengan penyelesaian sengketa dengan tahap mediasi, ajudikasi, dan arbitrase yang ditetapkan oleh OJK sesuai ketentuan Pasal 4 huruf a POJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan. Adanya peraturan-peraturan tersebut diatas merupakan upaya pemerintah sebagai pengayom masyarakat dalam hal memberikan suatu proteksi dalam bentuk perlindungan secara hukum terhadap konsumen jasa keuangan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh pelaku usaha jasa keuangan.

  • 4.    Kesimpulan

Kedudukan nasabah sebagai debitur atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank, ialah lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan bank. Kedudukan bank lebih tinggi dari nasabah hal tersebut dikarenakan adanya fasilitas dari bank yang dimanfaatkan oleh pihak nasabah, posisi bank sebagai pihak yang dominan dengan kedudukan yang kuat sedangkan pihak nasabah dalam posisi yang lemah. Kedudukan dua pihak tersebut tentunya tidak seimbang, nasabah sebagai pihak yang lemahpun tidak dalam keadaan yang bebas untuk menentukan yang diinginkannya dalam perjanjian tentunya hal tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan berkontrak. Perlindungan hukum bagi nasabah sebagai debitur atas penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu perlindungan hukum secara preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif bagi nasabah terkait dengan perjanjian baku kredit bank diatur dalam Pasal 18 UUPK yang mengatur tentang batasan-batasan penggunaan klausula baku, selain itu diatur juga dalam Pasal 21 dan 22 Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penggunaan syarat-syarat dalam pembuatan perjanjian baku serta diatur pula dalam SE Otoritas Jasa Keuangan No. 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku tepatnya dalam bagian II yang mengatur mengenai klausula dalam perjanjian baku dan bagian III yang mengatur mengenai format perjanjian baku. Sedangkan perlindungan hukum represif lebih lanjut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 29 dan 30 ayat (1) UU OJK selain itu diatur pula dalam Pasal 40 POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Pasal

  • 4 huruf a POJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badrulzaman, Mariam D. Aneka Hukum Bisnis (Bandung: Alumni, 2014)

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2011)

Kosasih, Johannes Ibrahim. Akses Perkreditan dan Ragam Fasilitas Kredit Dalam Perjanjian Kredit Bank (Jakarta: Sinar Grafika, 2019)

Muhaimin. Metode Penelitian Hukum (Mataram: Mataram University Press, 2020)

Widijantro, J. Hukum Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Di Era Otoritas Jasa Keuangan (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2019)

Jurnal

Abbas, Moh. Nur Muliatno. “Penyalahgunaan Keadaan Dalam Kontrak Baku Perjanjian Kredit”, Jurnal Spektrum Hukum Vol. 3, No. 2 (2020): 192-197

Aliffa, U. “Penerapan Perjanjian Baku Pada Perbankan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, Jurnal Kertha Semaya Vol. 02, No. 06 (2018): 2

A. Korah, Pricylia. “Kedudukan Nasabah Dalam Perjanjian Baku Yang Dilakukan Oleh Bank”, Jurnal Lex Privatum Vol. I, No. 1 (2013): 6

Aprima, Tifany Dwi. “Keabsahan Hukum Perjanjian Kredit Di Bawah Tangan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) Vol. 6, No. 4 (2022): 2788

Hamin, Mohammad Wisno. “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Bank Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko Dalam Perjanjian Kredit Bank”, Jurnal Lex Crimen Vol. VI, No. 1 (2017): 50

Jahri, Ahmad. “Perlindungan Nasabah Debitur Terhadap Perjanjian Baku Yang Mengandung Klausula Eksonerasi Pada Bank Umum di Bandar Lampung”, Jurnal Fiat Justisia Vol. 10, No. 2 (2016): 131

Kasih, Desak Putu Dewi dan Utami, Putu Devi Yustisia. “Standard Contracton Banking Sector: Regulation and Description in Internal Banking Regulations”, Jurnal Magister Hukum Universitas Udayana Vol. 10, No. 2 (2021): 257

Marsidah. “Bentuk Klausula-Klausula Baku Dalam Perjanjian Kredit Bank”, Jurnal Solusi

Vol. 17, No. 3 (2019): 286

Pasangka, Ferdian Nicholas. “Risiko Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Kaitannya Dengan Perlindungan Nasabah”, Jurnal Kertha Samaya Vol. 6, No. 10 (2018): 4

Pasaribu, Samuel Wasley. “Penerapan Hukum Terhadap Wanprestasi Atas Perjanjian Hutang Piutang (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 24/pdt.G.S/2020/PN Mdn)”, Jurnal Rectum Vol. 4, No. 1 (2022): 269

Putera, A. Persada. “Keagenan Bank Dalam Perspektif Common Law System”, Jurnal

Perspektif Hukum Vol. 16, No. 2 (2016): 176

Susanto. “Perjanjian Kredit Bank Yang Dibuat Secara Baku Pada Kredit Perbankan Dan Permasalahan Pilihan Domisili Hukum Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 4, No. 1 (2017): 123

Utari Umar, Dhira. “Penerapan Asas Konsensualisme Dalam Perjanjian Jual Beli Menurut Perspektif Hukum Perdata”, Jurnal Lex Privatum Vol. VIII, No. 1 (2020): 39

Wulandari, R. Eka. “Perjanjian Baku Kredit Dalam Alokasi Kredit Bank Perkreditan Rakyat”, Jurnal Mimbar Keadilan Vol. 12, No. 2 (2016): 114

Zakiyah. “Klausula Eksonerasi Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen”, Jurnal

Al’Adl Vol. IX, No. 9 (2017): 444

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang–Undang nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangam Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 2 Tahun 2023 hlm 173-183

183