PIRAMIDA Vol. IX No. 2 : 59 - 71

ISSN : 1907-3275

DISTRIBUSI ALOKASI SUMBER DAYA DALAM RUMAH TANGGA DI INDONESIA: ANAK SEKOLAH ATAU BEKERJA?

Ni Putu Wiwin Setyari

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana

email address: [email protected]

ABSTRAK

Rotten Kid theorem dari Gary Becker menegaskan bahwa jika semua anggota keluarga menerima hadiah atau penghasilan dari anggota rumah tangga lain, maka sekalipun ada anggota keluarga yang egois, mereka tetap akan memaksimalkan pendapatan total keluarga. Sehingga, kesejahteraan anggota keluarga tidak akan terpengaruh pada siapapun yang memegang power dalam keluarga karena adanya asumsi preferensi homogen (unitary approach). Namun asumsi tersebut dapat dikatakan tidak realistis, terlebih studi-studi terbaru dalam collective model menunjukkan perbedaan yang sistematis antara cara laki-laki dan perempuan mendistribusikan power yang dimilikinya dalam rumah tangga. Paper ini mencoba untuk menganalisis prilaku rumah tangga di Indonesia dalam mendistribusikan sumber daya yang mereka miliki, khususnya dalam menentukan pembentukan human capital anak. Memanfaatkan data dari IFLS4, dapat dikatakan rumah tangga di Indonesia pada umumnya memiliki sistem alokasi yang bersifat unitary approach. Distribusi dilakukan secara bersama-sama tidak tergantung pada siapa yang memegang power didalamnya. Secara khusus juga diperoleh indikasi bahwa semakin tinggi pendidikan istri, maka semakin baik pendidikan yang dimiliki oleh anak dan semakin menurunnya probabilitas pekerja anak.

Kata kunci: intrahoushold resources allocation, child human capital, unitary vs collective model

ABSTRACT

Rotten Kid theorem of Gary Becker asserts that if all members of the family received the gift or income of other household members , then even if there are family members who are selfish , they still will maximize total family income . Thus, the welfare of the family members will not be affected at anyone who holds power in the family because of the assumption of homogeneous preferences (unitary approach) . However, these assumptions can be said to be unrealistic , especially recent studies in collective models show systematic differences between the way men and women distribute its power in the household . This paper tries to analyze the behavior of households in Indonesia in distributing the resources they have, especially in determining the child’s human capital formation . Utilizing data from IFLS4 , it can be said in Indonesian households in general have an allocation system that is unitary approach . Distribution is done together does not depend on who holds the power in it . In particular also an indication that the higher the wife’s education , the better the child’s education and are owned by the decline in the probability of child labor .

Keywords : intrahoushold resources allocation , child human capital , unitary versus collective models

PENDAHULUAN

Dalam kerangka analisis neo klasik, setiap invidu diasumsikan homogen, termasuk dalam hal preferensi yang dimiliki semua inividu yang kemudian dianggap sama. Salah satunya yang melatarbelakangi adalah rotten kid theorem dari Gary Becker, yang menegaskan bahwa jika semua anggota keluarga menerima hadiah atau penghasilan dari anggota rumah tangga lain, maka sekalipun ada anggota keluarga yang egois, mereka tetap akan memaksimalkan pendapatan total keluarga (Bergstorm, 1989). Asumsi homogen yang digunakan neo klasik menjadi tidak sesuai ketika berbicara mengenai

perilaku manusia, dimana setiap individu memiliki preferensi yang berbeda-beda dalam mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya untuk memaksimalkan utilitas. Literatur-literatur terbaru yang ada menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan mengalokasikan sumber daya yang dapat mereka kendalikan dengan cara yang berbeda secara sistematis terutama dalam pengalokasian sumber daya dalam rumah tangga. Misalnya studi yang dilakukan Thomas (1994) dalam analisis intrahousehold resources allocation di tiga negara, Amerika Serikat, Brazil dan Ghana yang menunjukkan adanya perbedaan alokasi sumber daya rumah tangga yang tergantung pada gender anak dan perbedaan ini bervariasi dengan gender orang

tua1.

Beberapa aspek dalam model intrahousehold resources allocation sangat penting bagi pembuat kebijakan karena dua alasan (Fuwa et al, 2006). Pertama, menaruh perhatian pada kesejahteraan individu dibandingkan dengan kesejahteraan pada level rumah tangga dapat mempengaruhi pandangan mereka tentang siapa dan dimana letak kemiskinan itu. Hal ini mungkin, misalnya, pada beberapa rumah tangga yang memiliki pendapatan per kapita di atas garis kemiskinan bisa jadi masih memiliki anggota rumah tangga yang standar hidup aktualnya di bawah garis kemiskinan karena adanya ketidakseimbangan dalam pengalokasian sumber daya. Kedua, cara anggota rumah tangga mengalokasikan sumber daya antar mereka berpotensi mempengaruhi efektivitas intervensi kebijakan dan menyebabkan konsekuensi yang tidak diharapkan oleh pembuat kebijakan. Beberapa intervensi kebijakan diikuti oleh respon rumah tangga yang tidak diantisipasi oleh pembuat kebijakan, misalnya dalam pengenalan teknologi pertanian baru dan program kredit mikro yang membawa pada peningkatan penggunaan tenaga kerja anak dalam usaha keluarga dan turunnya partisipasi sekolah anak dari keluarga tersebut (Islam & Choe 2009, Hazarika & Sarangi, 2005).

Intrahousehold resources allocation model dapat dibedakan dalam dua pendekatan, yaitu unitary approch dan collective approach. Perbedaan diantara keduanya bukan pada aspek mekanisme internal distribusi rumah tangga namun dalam hal mekanisme interaksi preferensi antar anggota rumah tangga (Roushdy & Namoro, 2007). Studi tradisional dalam model perilaku rumah tangga dianalisis di bawah asumsi bahwa anggota rumah tangga sepakat dalam hal bagaimana mengkombinasikan waktu mereka dan sumber daya lain untuk mencapai kesejahteraan maksimum yang mungkin dicapai antar anggota rumah tangga, yang kemudian dikenal dengan unitary household model (Fuwa et al, 2006). Unitary approach seringkali diidentikkan dengan tulisan Becker (1974) “ A Theory of Social Interaction” dengan istilah social income yang merujuk pada jumlah pendapatan seseorang (penghasilan, dan dalam bentuk lain) dan nilai moneter dari karakteristik yang dimilikinya yang digunakan secara bersama-sama. Kepala keluarga sendiri tidak didefinisikan dari jenis kelamin atau umur, melainkan (satu) anggota keluarga yang mentransfer purchasing power secara umum kepada seluruh anggota keluarga karena dia “peduli” akan kesejahteraan mereka. Properties yang kemudian muncul adalah: 1) redistribusi pendapatan antar anggota keluarga tidak mempengaruhi konsumsi atau kesejahteraan anggota keluarga manapun;

2) seluruh anggota keluarga (tidak hanya kepala keluarga) bertindak kalau mereka “mencintai” seluruh anggota keluarga. Karenanya utility function seorang anggota keluarga hanya tergantung pada karakteristik keluarga. Utility function ini akan sama dengan yang dimiliki oleh kepala keluarga, bukan karena dia memiliki kekuatan diktator, tapi lebih karena dia peduli akan kesejahteraan anggota keluarga lainnya, sekalipun dia memiliki sifat egois. Karenanya seluruh utility function saling terintegrasi menjadi satu family function yang konsisten. Beberapa studi empiris yang mendukung teori ini diantaranya adalah Thomas et al (1999) yang menguji distribusi power dalam rumah tangga di Indonesia dalam hal kesehatan anak, yang mendapati selain Jawa dan Sumatra, pola yang terjadi adalah unitary approach (bukti adanya collective approach juga relatif lemah). Dalam unitary approach, siapapun yang menghasilkan pendapatan seharusnya menjadi tidak penting terhadap pola konsumsi rumah tangga karena pendapatan dikatakan pooled sebelum didistribusikan.

Hanya saja model perilaku rumah tangga dengan unitary approach dikatakan tidak cukup untuk menganalisis alokasi sumber daya dalam rumah tangga, bahkan asumsi yang digunakan dalam model ini tidak bisa dijelaskan dengan baik dalam realitas ketika adanya beberapa studi empiris menunjukkan bahwa setiap anggota rumah tangga bisa tidak sepakat dalam prioritas dan preferensi2. Dengan demikian, ada beberapa model alternatif yang telah dikembangkan dengan merileksasi asumsi kunci dari unitary approach. Model-model tersebut secara umum disebut collective model, dimana unitary model menjadi kasus khusus (Alderman et al 1995). Pada dasarnya mereka mengasumsikan setiap anggota rumah tangga memiliki preferensi dan atau bargaining power yang berbeda, dan outcome dari pengalokasian sumber daya dalam rumah tangga muncul dari hasil interaksi antar berbagai elemen tersebut. Secara eksplisit berbasis pada individu, yang preferensinya bisa jadi bersifat altruistic (dimana private consumption masuk ke area utility function orang lainnya), caring (seseorang yang peduli dengan private consumption partnernya, sejauh konsumsinya mempengaruhi utilitas partner) atau egoistic ((orang yang hanya peduli dengan private consumption sendiri) (Browning et al, 1994). Banyak studi literatur kemudian yang memperkuat adanya collective model, dan menolak keberadaan unitary approach. Model ini juga sering dikatakan sebagai keputusan rumah tangga yang pareto efficient, dimana ketika seorang anggota rumah tangga menerima lebih baik, maka anggota rumah tangga lainnya menerima lebih buruk. Perbedaan utama

dari outcome yang dihasilkan dari kedua pendekatan itu adalah unitary model memprediksi orang tua akan selalu memperhatikan anak-anak mereka, sementara dalam collective model menunjukkan orang tua bisa selalu memperhatikan, tidak memperhatikan bahkan netral terhadap kesejahteraan anak-anak mereka (Ejrnaes & Portner, 2004).

Beberapa studi empiris dalam kerangka intrahousehold resources allocation yang pernah dilakukan di Indonesia banyak terfokus pada kesehatan sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Diantaranya yang dilakukan oleh Beegle et al (2001) dan Thomas et al (1999) yang sama-sama menyimpulkan kesehatan anak dipengaruhi oleh dimensi kekuasaan relatif yang dimiliki oleh orang tua mereka, hanya saja hasil pengujian dari Thomas et al tidak memberikan hasil yang kuat untuk menolak unitary model, terutama untuk daerah selain Jawa dan Sumatra. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh perempuan, semakin baik tingkat kesehatan anak. Sedangkan studi oleh Quisumbing & Maluccio (2002), mengambil lokasi di Bangladesh, Ethiopia, Indonesia dan Afrika Selatan fokus pada pola pengeluaran rumah tangga, terutama pendidikan, dan menyimpulkan share aset yang dimiliki oleh perempuan meningkatkan pengeluaran pendidikan. Namun, framework ini belum banyak dieksplorasi untuk melihat dampak alokasi sumber daya dalam rumah tangga terhadap keputusan rumah tangga untuk membiarkan anak-anak bersekolah atau bekerja, khususnya pada kondisi di Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting karena banyak keputusan yang mempengaruhi hasil pembangunan ekonomi diambil pada level rumah tangga, termasuk pembangunan manusia dalam membentuk human capital.

Sekarang ini ada sekitar 215 juta anak di seluruh dunia yang bekerja dan sebagian besar penuh waktu, dimana 115 juta diantaranya bekerja di bidang yang sangat berbahaya (ILO, 2011). Mayoritas tenaga kerja anak ini merupakan anggota keluarga yang tidak dibayar. Di sektor pertanian, persentasenya bisa lebih besar ditambah lagi dengan usia masuk kerja yang sangat dini, yang terkadang sudah mulai bekerja dari usia 5 - 7 tahun. Sesuai dengan konvensi ILO, pekerja anak didefinisikan berdasarkan usia anak, jam dan kondisi kerja, kegiatan yang dilakukan dan bahaya yang terlibat. Keterlibatan tenaga kerja anak adalah pekerjaan yang mengganggu wajib belajar, kesehatan, dan pengembangan pribadi. Namun penting untuk menyadari bahwa beberapa partisipasi anak dalam kegiatan yang tidak berbahaya dapat berdampak positif karena memberikan kontribusi untuk transfer keterampilan antar-generasi dan ketahanan pangan untuk anak-anak.

Di Indonesia, istilah pekerja anak mencakup semua anak yang bekerja pada usia 5 – 12 tahun tanpa memperhatikan jam kerja mereka, pekerja anak berusia 13 – 14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu dan pekerja anak usia 15 – 17 tahun yang bekerja lebih

dari 40 jam per minggu. Hasil survei BPS menunjukkan temuan kuat adanya tenaga kerja anak yang berpendidikan dan berketrampilan rendah. Data survei tahun 2009, kerjasama ILO dan BPS, menunjukkan adanya sekitar 4.05 juta atau sekitar 6.9% dari 58.8 juta anak di Indonesia yang masuk kategori umur 5–17 tahun merupakan anak yang bekerja dimana 1,76 juta (43.3% dari seluruh anak) masuk kategori pekerja anak. Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah (81.8%), bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga, serta terlibat dalam bidang pekerjaan pertanian, jasa dan manufaktur (ILO, 2010).

Studi ini ditujukan untuk memberikan pengayaan pada studi literatur empiris mengenai intrahousehold resources allocation terutama dalam upaya melihat fenomena banyaknya pekerja anak yang terjadi di dunia, termasuk Indonesia. Hasilnya diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan dinamis internal rumah tangga dalam domain pengambilan keputusan serta dampaknya terhadap kesejahteraan anak, terutama dalam hal keputusan rumah tangga untuk memberikan anak kesempatan bersekolah sebagai invetasi masa depan mereka dan keluarga. Selain itu, studi ini juga mencoba mengatas isu endogeneity yang muncul dari keberadaan efek fertility decisions orang tua ke dalam model intrahousehold resources allocation yang belum banyak dieksplorasi. Memanfaatkan data Indonesian Family Life Survey (IFLS), tujuan umum dari penulisan paper ini adalah guna mengetahui model pengambilan keputusan dalam pengalokasian sumber daya pada rumah tangga di Indonesia. Tujuan khusus yang ingin diperoleh dari hasil studi ini adalah untuk mengetahui apakah perempuan dengan posisi tawar yang relatif lebih tinggi akan lebih mampu mempengaruhi alokasi sumber daya dalam rumah tangganya untuk memberikan pendidikan yang lebih baik dan mengurangi jumlah pekerja anak di Indonesia

Pengujian dilakukan pada dua pendekatan yang masing-masing mengasumsikan adanya unitary approach dan collective approach. Indikator yang digunakan sebagai proksi kekuasaan adalah pihak yang memegang peran dalam mengambil keputusan pada beberapa urusan rumah tangga (makanan, pendidikan, dan lainnya). Siapa yang mengambil keputusan dilaporkan sendiri oleh responden. Dibawah asumsi unitary model, pemegang keputusan (suami dan istri) seharusnya tidak berdampak terhadap tingkat kesejahteraan anak (Thomas et al, 1999). Bila hipotesis itu ditolak, maka akan dilanjutkan pada pengujian model kedua yang mengasumsikan alokasinya adalah Pareto efficient. Model ini diinterpretasikan dalam konteks pengambilan keputusan rumah tangga dibuat dalam dua tahap. Tahap pertama, sumber daya dibagi antar anggota berdasarkan sharing rule, yang diasumsikan dibagi berdasarkan kekuasaan mereka. Tahap kedua, setiap individu mengalokasikan sumber daya secara optimal dari sudut pandangnya masing-masing. Karena itu kekuasaan

hanya memiliki income effect terhadap permintaan dan efeknya pastilah sama untuk semua alokasi yang menyebabkan ratio dari pengaruh kekuasaan suami ke kekuasaan istri menjadi konstan.

KERANGKA TEORI

Pendidikan merupakan trade off antara pencapaian pendapatan di masa depan dengan hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan selama mengikuti proses pendidikan. Pendidikan juga dapat dipandang sebagai sebuah konsumsi dan sekaligus investasi. Dalam studi intrahousehold resources allocation sangatlah penting untuk mengobservasi konsumsi level individu, yang hasil akhir pada umumnya adalah labor supply (atau leisure demand). Diasumsikan setiap individu memiliki kepedulian tidak hanya pada konsumsi komoditas dan leisure dirinya sendiri, tapi juga rangkaian indikator kesejahterannya dan anggota keluarga lainnya, θ. Karakteristik spesifik individu dan rumah tangga bisa mempengaruhi selera dan karenanya menpengaruhi utilitas. Semua set outcome, konsumsi (X), leisure (l), dan child human capital (θ) dimasukkan dalam vector . Fungsi sub utilitas individu diasumsikan quasi-concave, non decreasing dan strictly increasing paling tidak untuk satu argumen. Agregasi fungsi kesejahteraan dari sub utility functions dari sejumlah m anggota rumah tangga (Thomas et al, 1999):

W = W[U1(0>μ,ε)...Um(0-,μ,ε)] 1)

Rumah tangga akan memaksimalkan fungsi kesejahteraan, W, yang tergantung pada budget constraint rumah tangga:

P^ = ∑m[wm(T — lm) + Jmlyo + 2)

dimana vector p adalah set harga semua barang pada vector X. Harga waktu untuk setiap individu adalah upah, wm, sehingga total pendapatan individu menjadi nilai pendapatan yang dihasilkan dari bekerja wm(T-lm) ditambah non labor income ym. Pendapatan gabungan dari anggota rumah tangga dimasukkan dalam y0. Elemen vector θ tidak dibeli di pasar, tapi diasumsikan diproduksi dengan mengkombinasikan input dalam fungsi produksi. Untuk setiap outcome, θki dari θ, dimana k adalah indeks outcome dan i adalah individu, fungsi produksi dimodelkan sebagai hubungan antara outcome dan set input pilihan, Mki, seperti halnya endowmentki. Fungsi produksi akan tergantung pada teknologi yang digunakan dan mungkin juga dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga dan komunitas, µ, seperti pendidikan orang tua atau ketersediaan infrastruktur di komunitas. Fungsi produksinya menjadi:

¾i — ^k^kvPhi^ki) 3)

Penyelesaian model ini akan menghasilkan reduce form dari fungsi permintaan untuk ketiga kelompok outcome, permintaan komoditas, labor supply dan human capital. Secara umum fungsi permintaan tergantung pada pendapatan atau sumber daya individual anggota rumah tangga, ym, karakteristik semua anggota keluarga beserta karakteristik komunitas, µ, dan harga, p.

0ki = 0ki(yoJi, -tyM>μ>p>^kO 4)

Semua karakteristik individu dan rumah tangga yang tidak terobservasi masuk dalam, , yang menangkap tidak hanya variasi selera karena fungsi produksi melibatkan heterogeneity dan endowment anak, δki. Bagian dari heterogeneity umum terjadi dalam keluarga yang dikatakan menjadi bagian yang idiosyncratic pada anak secara individual. Satu hal yang penting untuk digaris bawahi disini adalah adanya asumsi well-defined household. Jelasnya komposisi keluarga merupakan sebuah pilihan dan karenanya semua analisis membutuhkan interpretasi sebagai kondisional terhadap komposisi.

Unitary Model

Model ekonomi yang paling sederhana secara implisit mengasumsikan seluruh anggota keluarga memliki preferensi yang persis sama secara sempurna, sehingga sub utility function menjadi identik. Asumsi alternatif lainnya adalah dengan menyatakan salah satu anggota keluarga, seorang “diktator”, yang membuat semua keputusan alokasi. Kedua asumsi tersebut berimplikasi bahwa rumah tangga diperlakukan sebagaimana menjadi satu unit. Hal ini berarti distribusi pendapatan dalam rumah tangga tidak memiliki dampak terhadap permintaan (selama “diktator” tidak berubah). Implikasi empirisnya adalah, jika unitary model benar-benar terjadi, maka fungsi permintaan tidak tergantung pada sumber daya individual, tapi pada sumber daya rumah tangga,

‰ = 0ki(∑^=oym,μ>p^ki) 4a)

Pengujian hipotesis ini dapat dilakukan secara langsung, kondisional terhadap pendapatan total rumah tangga, pengukuran power individual (atau resources) harusnya tidak berdampak pada outcome pendidikan anak.

Bargaining Model

Sebuah bargaining model yang sederhana menyatakan setiap individu menghabiskan pendapatan yang dapat dikontrolnya tanpa memperhatikan anggota lainnnya. Model lainnya menyatakan bahwa keputusan alokasi rumah tangga merupakan hasil dari proses tawar menawar dimana anggotanya berusaha mengalokasikan sumberdaya terutama untuk barang-barang yang mereka inginkan.

Sekalipun nature dari proses tawar menawar dan keseimbangan yang terjadi bisa dalam beberapa bentuk, namun intuisi dari model ini relatif sederhana.

Setiap anggota keluarga memiliki fall-back position (level utilitas) dan akan keluar jika kesejahteraannya jatuh di bawah point kritisnya. Setiap utilitas yang melebihi dan berada di atas jumlah point kritis individu yang dibagi antar anggota rumah tangga diasumsikan berhubungan dengan kemampuan posisi tawar mereka. Seorang istri yang membawa aset lebih saat menikah kemungkinan memiliki power lebih untuk “memaksakan” pereferensi mereka dalam pengambilan keputusan, dengan mengontrol aset suami yang dibawa saat menikah. Focus group yang dilaksanakan dalam studi Thomas et al (1999) di Indonesia mengkonfirmasi bahwa jika seseorang datang dari keluarga dengan status lebih tinggi dibandingkan pasangannya cenderung untuk memiliki power lebih besar dalam rumah tangga karena dia dapat mengontrol aset yang dibawanya saat menikah.

Power seringkali berevolusi dengan lamanya waktu pernikahan dan sangat terkait dengan pendapatan indvidu, baik dari bekerja maupun tidak. Jika pengaruh aset saat pernikahan terhadap power yang dimiliki seorang individu semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pernikahan, maka kekuatan indikator power akan diukur error dan estimasi efeknya akan bias. Karenanya pemilihan aset sebagai indikator relatif kurang stabil dibandingkan dengan indikator lain yang dapat menentukan bargaining power dalam rumah tangga. Beberapa studi empiris menggunakan pendidikan individu dan pasangannya sebagai indikator yang dianggap lebih stabil. Penyelesaian dengan melakukan optimisasi dengan budget constraint (persamaan 2), dan fungsi produksi (persamaan 3), diperoleh fungsi permintaan:

<⅛l = 0ki(∑m=O‰.^P^ki) 4b)

dimana bargaining power ( tergantung dengan distribusi sumber daya dalam rumah tangga (), pendidikan () dan karakter individual lainnya, serta karakteristik keluarga dan lingkungan (). Menurut model ini, setelah mengontrol sumber daya rumah tangga, permintaan untuk pendidikan anak tergantung pada pendidikan ibu dan ayah dalam rumah tangga serta karakteristik rumah tangga dan komunitas, harga dan unobservable component ( yang merefleksikan heterogeneity dalam preferensi atau selera dan teknologi. Model yang di atas belum memperhitungkan adanya endogeneity dalam keputusan memiliki anak yang tergantung dari fertility decision orang tua. Ketidakmampuan mengontrol endogeneity ini akan menimbulkan bias dalam estimasi. Beberapa studi literatur dalam intrahousehold resources allocation menegaskan pentingnya mengontrol karakteristik anak dalam mengestimasi keputusan rumah tangga dalam mendistribusikan resources mereka antar anak (Ejrnes

2002, 2004; Horton 1988).

Perbandingan antara persamaan 4a) dan 4b) mengindikasikan bahwa implikasi kunci dari bargaining model berbeda dengan unitary model dimana permintaan dipengaruhi oleh distribusi power dalam rumah tangga dan tidak hanya dari pendapatan total rumah tangga. Berdasarkan asumsi bahwa pendapatan dapat dikontrol sepenuhnya, satu-satunya alasan mengapa pendidikan mempengaruhi alokasi rumah tangga adalah karena pendidikan merupakan indikasi dari bargaining power dalam rumah tangga. Penolakan terhadap unitary model tidak serta merta berarti penerimaan terhadap bargaining model. Karenanya penolakan dari unitary model hanya memberikan informasi yang sedikit sekali tentang model apa yang tepat dalam menggambarkan sistem pengambilan keputusan dalam rumah tangga.

Chiappori (1992) mengajukan individualistic model yang berbeda dimana anggota-anggota mengalokasikan sumber daya dengan cara dimana tidak ada alokasi yang menyebabkan satu anggota menjadi lebih baik tanpa mengorbankan anggota lainnya, yang dikenal dengan pareto efficient. Jika alokasinya adalah pareto efficient, rumah tangga bisa jadi dikatakan sebagai satu unit tunggal yang memaksimalkan sejumlah bobot tertentu (λ) dari total semua fungsi utilitas indvidu. Fungsi permintaannya akan terlihat identik dengan yang dimiliki dalam asumsi unitary model kecuali faktor pembobotannya (λ). Jika alokasinya adalah pareto efficient, maka optimasasi program dapat ditulis ke dalam dua tahap proses. Tahap pertama, rumah tangga bisa diperlakukan dimana seluruh anggota mengumpulkan pendapatan mereka dan merealokasinya antar mereka berdasarkan aturan pembagian (sharing rule) tertentu. Tahap kedua, setiap anggota rumah tangga memaksimalkan utilitasnya sendiri sesuai dengan bagian pendapatan mereka. Sharing rule sangat terkait dengan bobot (λ), selain menjadi interpretasi yang baik sebagai bargaining power relatif anggota keluarga; semakin besar power individual, semakin besar bagian yang diterimanya pada tahap pertama.

Pembobotan (λ) memainkan peran peran kunci dalam model ini dan karenanya menjadi fungsi dari semua karakteristik yang mempengaruhi pentingnya relativitas utilitas setiap anggota dalam optimisasi program. Selain itu, λ juga menentukan pembagian pendapatan yang dihabiskan oleh setiap anggota. Bobot tersebut akan tergantung pada pendapatan dan harga individual, karakteristik individual, karakteristik keluarga dan komunitas yang berkorelasi dengan preferensi seseorang. Sehingga, bobot akan tergantung pada apapun yang mempengaruhi kekuatan tawar menawar termasuk pendidikan.

DATA DAN STRATEGI EMPIRIS

Studi empiris dalam paper ini menggunakan data Indonesian Family Live Surveys (IFLS4) dalam

periode 2007. IFLS merupakan survei longitudinal dan berlanjut di bidang sosial ekonomi dan kesehatan. Survei dilakukan terhadap sampel yang mewakili 83% populasi penduduk di Indonesia yang tinggal di 13 provinsi. Survei mengumpulkan data individu, termasuk keluarga, rumah tangga, komunitas masyarakat terkecil di tempat mereka tinggal serta fasilitas kesehatan dan pendidikan yang mereka gunakan. IFLS gelombang pertama dilakukan pada tahun 1993 dengan responden sebanyak 72.444 rumah tangga. IFLS2 pada tahun 1997 mewawancara ulang responden yang sama. Survei lanjutan (IFLS2+) dilakukan tahun 1998 dengan 25% sampel untuk mengukur dampak jangka pendek krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Selanjutnya, IFLS3 dengan sampel penuh dilakukan pada tahun 2000, dan IFLS 4 dilaksanakan diakhir 2007 sampai awal 2008 untuk respoden yang sama pada tahun 1993. Sebanyak 13.535 rumah tangga dan 44.103 individu telah diinterview (Strauss, et.al, 2009). Dari sampel ini akan dikeluarkan dua kelompok grup, yaitu: 1) rumah tangga yang pindah ke komunitas yang tidak termasuk dalam survei IFLS; 2) rumah tangga yang masuk daftar IFLS namun telah pindah dan tidak terlacak sehingga tidak bisa memberikan informasi lanjutan.

Mengukur “kekuasaan” terbukti rumit dalam kajian empiris pengambilan keputusan rumah tangga. Anggota rumah tangga dapat memperoleh kekuasaan dari berbagai sumber yang beberapa diantaranya bisa berasal dari luar rumah tangga. Sumber kekuasaan yang paling menonjol adalah kontrol mereka terhadap sumber daya ekonomi atau kesejahteraan rumah tangga. Salah satu hal yang paling menarik dalam collective household model yaitu penekanan pada pentingnya diferensial kontrol kesejahteraan dalam rumah tangga dan apa determinan kontrol tersebut yang sering disebut endowment, extra enviromental parameters, public goods, dan human capital (Pitt & Lavy 1992, McElroy 1990, Lundberg & Pollak 1997, Pitt & Lavy 1992; dalam Guyer 1997). Sumber-sumber kekuasaan bisa bervariasi dengan konteks sosial, ekonomi dan budaya. Beberapa studi menggunakan pendapatan suami dan istri sebagai ukuran kekuasaan relatif (seperti yang digunakan oleh Hopkins et al 1994, Koolwal & Ray 2002). Walaupun secara intuisi ide tersebut benar, namun dalam model alokasi barang dan waktu antar anggota rumah tangga, labor supply individu (oleh karena itu pendapatan) dapat dikatakan sebagai sebuah hasil dari proses tawar menawar antara suami dan istri. Karenanya beberapa studi menggunakan non labor income, atau nilai aset sebagai ukuran kekuasaan (ide dasar dengan memasukkan labor supply ke dalam collective model dikembangkan oleh Chiappori (1992) dan didukung oleh Apps & Rees (1997). Indikator kekuasaan lain yang juga sering digunakan adalah share sumber daya (aset dari warisan orang tua) yang dibawa masing-masing oleh suami dan istri saat mereka menikah. Sumber kekuasaan lain bisa berasal dari level pendidikan yang dimiliki oleh orang

tua atau kepala rumah tangga (misalnya yang digunakan oleh Kurosaki et al (2006), Roushdy & Namoro (2007), Thomas (1994). Studi empiris yang dilakukan Beegle et al (2001) memberikan inovasi dalam mengeksplorasi indikator alternatif dari kekuasaan dengan menggunakan perbedaan bentangan domain sejarah kehidupan pasangan, latar belakang dan posisi keluarga di masyarakat dengan memasukkan status sosial relatif keluarga suami dan istri.

Model dalam studi ini menggunakan indikator penentu atau yang memiliki power relatif dalam rumah tangga diambil dari data mengenai siapa pihak yang mengambil keputusan untuk beberapa urusan rumah tangga (makanan, pendidikan dan lainnya). Pihak penentu keputusan dalam rumah tangga ini dilaporkan sendiri oleh kepala keluarga dan anggota keluarga dewasa lainnya. Karenanya, kemungkinan adanya endogeneity sangatlah besar karena kemungkinan adanya beberapa variabel yang mempengaruhi posisi relatif tersebut, antara lain seperti yang sudah disebutkan sebelumnya yaitu aset relatif sebelum menikah, pendidikan, pendapatan dari bekerja, dan domain kultur keluarga masing-masing pihak. Posisi relatif aset saat awal pernikahan merupakan indikator kemandirian ekonomi dalam pernikahan dan karenanya menjadi sumber penting kekuasaan. Pada beberapa kelompok masyarakat, aset yang dikumpulkan sebelum menikah dipertahankan sebagai properti individu. Jika kontrol untuk sumber daya ekonomi ini menjadi sumber kekuasaan yang penting dalam keputusan negosiasi, posisi aset relatif pada awal pernikahan seharusnya mempengaruhi keseimbangan kekuasaan selama menikah3. Selain aset yang dibawa saat menikah, informasi yang juga penting digunakan adalah pada level komunitas yaitu budaya dan adat istiadat asal suami istri. Karenanya, regresi akan menggunakan dummy yang membedakan responden berdasarkan adat yang paling dominan dalam keseharian mereka, antara lain yang berasal dari Jawa, Sumatra, Bali, Lombok, Sumbawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Pertimbangan dari pembagian ini adalah adanya perbedaan pola organisasi keluarga secara umum. Beberapa studi antropologi telah mendokumentansikan peran sentral perempuan Jawa dalam manajemen ekonomi keluarga (Williams 1990, dalam Thomas et al 1999). Sama halnya di Sumatera, khususnya Minangkabau, yang bersistem matrilineal dimana perempuan memiliki akses lebih ke sumber daya dibandingkan dengan suami mereka. Struktur keluarga seperti itu sangat kontras dengan struktur patrilineal dari keluarga Bugis dan Bali, Dayak, Sasak dan Makasar yang masuk pada wilayah 2 dimana persentase pemisahan aset dan kebebasan perempuan untuk membelanjakan pengeluaran mereka sendiri sesuai pilihan mereka sangat kecil.

Indikator outcome kesejahteraan anak dalam rumah

tangga dilihat dari dua indikator yaitu pencapaian sekolah dan status kerja anak. Sampel anak yang dimasukkan disini adalah anak berusia 5 – 15 tahun tanpa memperhatikan jam kerja mereka. Tidak hanya tenaga kerja anak yang dibayar, tapi juga yang tidak dibayar dalam rumah tangga (usaha keluarga dan domestic work). Outcome pendidikan diambil dari analisis deviasi tahun sekolah yang diselesaikan oleh anak dari rata-rata cohort. Sedangkan status kerja dilihat dari status bekerja yang dilaporkan sendiri oleh anak atau orang dewasa dalam rumah tangga apabila mereka pernah bekerja untuk memperoleh pendapatan, bekerja pada usaha keluarga yang tidak dibayar, ataupun melakukan pekerjaan domestik rumah tangga.

Dalam intrahousehold resources allocation model, keputusan outcome sepenuhnya merupakan hasil interaksi dan bargaining power dalam rumah tangga disertai dengan preferensi yang ada di dalamnya. Isu endogeneity menjadi hal yang krusial khususnya yang berkaitan dengan fertility decisions orang tua untuk memiliki anak dan berapa anak yang akan mereka miliki. Mengatasi endogeneity sangatlah penting untuk diperhatikan, bila tidak akan menyebabkan bias dalam hasil estimasi karena ada keterkaitan observed dan unobserved heterogeneity yang tidak dikontrol dan menyebabkan kemungkinan adanya hubungan antara error dengan variabel penjelas.

Ada dua variabel endogen yang masuk dalam persamaan utama, yaitu distribusi power relatif masing-masing pihak dan birth order anak. Distribusi power akan dikontrol dengan cara memasukkan berbagai variabel yang mungkin mempengaruhinya menjadi variabel penjelas dalam persamaan, sehingga kemudian diasumsikan distribusi power sepenuhnya menjadi eksogen karena seluruh variabel yang secara teori dinyatakan mempengaruhi sudah dikontrol. Sekalipun kemungkinan adanya endogenity bisa saja terjadi akibat perbedaan preferensi. Beberapa studi-studi terbaru menekankan bahwa karakteristik anak bersifat endogen, diantaranya endowment, sex, dan birth of order, yang ditentukan oleh fertility decision orang tua (Ejrnaes, 2002). Efek birth order terhadap alokasi resources bersifat ambigu dimana secara teori (biologi, psikologi dan culture) menyatakannya adanya efek negatif urutan lahir dengan alokasi resources yang artinya anak sulung akan mendapatkan keuntungan lebih dibandingkan adik-adiknya (Ejrnaes, 2002). Sedangkan secara empiris didapatkan relative order memberikan dampak positif artinya anak yang lahir belakangan, mendapatkan alokasi resources yang lebih baik dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lahir lebih dulu (Ejrnes 2002, 2004; Horton 1988). Ketidakseimbangan alokasi sumber daya antar anak menjadi konklusi yang kuat dalam beberapa studi yang khusus membahas efek birth order dalam intrahouseold resources allocation. Birth order murni merupakan variabel endogen yang dipengaruhi oleh fertility decision orang tua. Ketika orang tua memiliki ketakutan tidak bisa menyeimbangkan alokasi sumber

dayanya, baik waktu maupun materi, maka kecenderungan orang tua akan memilih untuk memiliki hanya satu anak. Pengukuran birth order dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara absolut dimana anak tertua atau sulung memiliki order terendah dan semakin muda anak ordernya akan semakin besar. Pengukuran lainnya adalah relative yang dibentuk dengan cara memberikan order nol untuk anak sulung dan satu untuk anak terakhir, nilainya diperoleh dari p-1/n-1, dimana p adalah birth order dan n adalah jumlah anak dalam keluarga.

Paper ini akan menggunakan ukuran absolut dalam mengukur birth order seperti yang digunakan oleh Ejrnes (2002, 2004). Guna mengatasi endogeneity ada dua metode yang bisa digunakan, yaitu fixed effect pada level rumah tangga serta instrumental variable. Menggunakan fixed effect akan menjadi ampuh bila unobserved variables yang akan dikontrol bersifat time invariant4. Namun, dalam kasus ini penggunaan fixed effect pada level rumah tangga sekaligus akan menghilangkan pengaruh perbedaan karakteristik orang tua yang tidak variatif antar anak. Selain itu, preferensi yang dimiliki orang tua terhadap anak bisa jadi tidak bersifat tetap. Dengan demikian, pilihan metode guna mengatasi endogeneity kemudian adalah instrumental variable. Menemukan instrumental variable (IV) yang tepat tidaklah mudah karena penggunaan IV haruslah memenuhi dua kriteria, yaitu dapat menjadi variabel penjelas yang tepat bagi variabel endogen yang menjadi fokus dan tidak berkorelasi dengan error pada persamaan utama. Pendekatan IV dilakukan dengan dua tahap sehingga dikatakan sebagai two stage least square (2SLS). Variabel yang akan digunakan sebagai IV haruslah dipastikan eksogen dari pilihan anak dan tidak berkorelasi langsung dengan variabel outcome. Posisi anak dalam keluarga, apakah anak tunggal atau tidak, dianggap memenuhi kriteria sebagai IV yang baik. Anak tunggal atau tidak merupakan murni keputusan orang tua, dan tidak ada hubungannya dengan pilihan anak. Hasil pengujian pada tahap pertama juga menunjukkan bahwa variabel ini bisa menjadi variabel penjelas yang baik untuk birth order.

Sebelum pada estimasi efek distribusi power relatif orang tua (suami dan istri), maka pengujian awal dilakukan untuk melihat variabel-variabel apakah yang mempengaruhi distribusi power tersebut. Pengujian dilakukan dengan menggunakan ordinary least square untuk melihat efek masing-masing karakteristik individual yang diawal dikatakan memiliki indikasi keterkaitan erat dengan distribusi power dalam rumah tangga, yaitu pendidikan, pendapatan dan kultur atau suku, dari masing-masing pihak. Model regresi yang digunakan adalah:

0ki = 0kt(∑m=o‰.^P^kJ 5)

dimana adalah distribusi power relatif yang dimiliki oleh suami dan istri, dikatakan dipengaruhi oleh pendidikan suami dan istri (), pendapatan (), dan karakteristik masing-masing individual (). Hasilnya akan memperlihatkan variabel apa yang paling menentukan bargaining power masing-masing.

Estimasi berikutnya adalah menguji efek distribusi power tersebut terhadap outcome pendidikan anak dan status bekerja yang dilaporkan sendiri oleh anak. Model yang akan digunakan adalah regresi linier:

educ-diffil — a + β td-powermh + β2d_powerfh + δXih + γCih + εih 6)

dimana educ_diffih adalah perbedaan pendidikan anak dengan rata-rata cohort, d_powermh adalah power yang dimiliki oleh pihak laki-laki atau ayah, d_powerfh adalah power yang dimiliki oleh pihak perempuan atau ibu, Xih adalah vector karakteristik orang tua (umur, pendidikan), Cih adalah vector karakteristik anak (umur, jenis kelamin, urutan kelahiran), dan εih adalah error term. Jika tidak ada korelasi antara measurement error dalam pelaporan outcome anak dengan unobservable, , maka β akan konsisten. Selanjutnya, untuk model kedua akan menggunakan linear probability model (LPM) untuk melihat pengaruh distribusi power dalam rumah tangga terhadap probabilitas status bekerja anak. Model ini digunakan karena variabel dependen merupakan variabel diskrit dengan nilai 0 dan 1, yang menunjukkan status kerja anak (d = 1, jika bekerja).

Pada pengujian di bawah asumsi unitary model, aset yang dibawa oleh masing-masing pihak saat menikah harusnya tidak berpengaruh terhadap alokasi sehingga β12=0. Penolakan terhadap hipotesis nol berarti penolakan adanya unitary model. Dengan demikian, jika kemudian distribusi aset itu berpegaruh, maka akan diuji apakah alokasinya tersebut Pareto efficient, dimana ratio β12 harus konstan untuk semua outcome. Karena ratio akan mejadi infinite jika β2 mendekati nol, maka pengujiannya ditransformasikan menjadi: β1s β1w – β2s β2w=0. Jika hipotesis nol diterima, maka dapat dikatakan dalam rumah tangga telah terjadi alokasi rumah tangga yang bersifat Pareto efficient. Penting untuk ditekankan disini bahwa pengujian ini bukan untuk melihat apakah distribusi power orang tua mempengaruhi kesejahteraan anak tapi lebih pada apakah ada perbedaan dampak yang diperoleh anak apabila distribusi power dipegang oleh ayah atau ibu.

HASIL PENGUJIAN

Beberapa studi empiris mengenai distribusi power dalam rumah tangga di Indonesia antara lain oleh Thomas

et al (1999), Beegle et al (2001) dan Quisumbing & Mauluccio (1999) memberikan hasil yang tidak konklusif. Dua penelitian pertama sama-sama menggunakan data IFLS. Thomas et al (1999) dalam studinya menemukan bahwa selain Jawa dan Sumatra, daerah di Indonesia lainnya mengkonfirmasi adanya unitary model dalam menentukan tingkat kesehatan anak. Sementara untuk Jawa dan Sumatra sendiri, dari empat variabel outcome (jenis penyakit dalam jangka pendek) hanya dua yang menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai yang relatif rendah. Hasilnya menunjukkan bahwa ibu yang memiliki power lebih besar akan cenderung mengalokasikan sumber daya pada barang-barang dan jasa yang dinilai berbeda oleh suami mereka serta merefleksikan bahwa anak laki-laki mengalami periode sakit yang lebih rendah daripada anak perempuan. Ayah dan ibu di Jawa dan Sumatra tampaknya tidak memiliki preferensi yang sama. Sedangkan hasil studi dari Beegle et al (2001) dengan menggunakan empat indikator pengukuran power menolak adanya unitary model dalam penentuan pemanfaatan fasilitas kesehatan saat mengandung. Selain itu, bukti empiris menunjukkan bahwa bargaining power perempuan tidak cukup hanya diinstrumentasikan dengan indikator tunggal, melainkan dengan berbagai dimensi kehidupan pasangan, termasuk aspek ekonomi dan sosial. Hasilnya hampir serupa dengan yang disimpulkan oleh Quisumbing & Mauluccio (1999) yang melakukan studi lapangan di dua desa daerah Sumatra Barat yang berkarakteristik matrilinieal. Hasil pengujiannya juga menunjukkan penolakan terhadap unitary model.

Dari data IFLS 4 yang digunakan dalam paper ini, tercatat ada 6,949 orang yang masuk kategori anak (berusia 5 – 15 tahun) dimana 40% melaporkan pernah bekerja baik untuk menerima pendapatan atau pekerjaan domestik lainnya (status bekerja tidak dibedakan berdasarkan jam kerja). Sedangkan dalam status bekerja yang mereka laporkan sendiri, 48.04% adalah anak laki-laki dan 51.97% anak perempuan. Dari data anak yang bekerja tersebut, rata-rata pendidikan yang dicapai oleh orang tua adalah sekolah menengah pertama. Statistik deskriptif dari sampel disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 merupakan ringkasan dari statistik deskriptif semua variabel yang digunakan dalam studi ini. Variabel educ_diff merupakan perbedaan pencapaian sekolah anak dibandingkan dengan rata-rata cohort sesuai standar nasional, sedangkan educ_diff1 adalah perbedaan pencapaian sekolah anak dibandingkan dengan rata-rata cohort dalam sampel. Status bekerja sendiri adalah laporan dari anak sendiri atau orang dewasa lainnya yang menyatakan bahwa anak pernah atau sedang bekerja untuk mendapatkan penghasilan maupun pekerjaan rumah lainnya. Ketiga variabel tersebut akan menjadi variabel outcome. Pendidikan dibedakan menjadi dua untuk mengatasi kemungkinan adanya perbedaan rata-rata pencapaian pendidikan anak sesuai standar nasional

Tabel 1 Statistik Deskriptif

Variable

Obs                 Mean                      Std.Dev.                   Min          Max

Educ_diff

Educ_diff1

Working_status (=1, bila bekerja)

Karakteristik Orang Tua d_father

6977                 .0004398                    1.034828                  -7.781337       8.218662

6977                 -2.480866                    1.187527                       -11              5

6979                 .0146153                    .1200155                         0              1

6979                .1633472                     .3697086                          0              1

Variabel dummy (1 apabila responden menyatakan keputusan dipegang oleh ayah, 0 bila bukan ayah)

d_mother

6979                .1606247                     .3672108                         0              1

Variabel dummy (1 apabila responden menyatakan keputusan dipegang oleh ibu, 0 bila bukan ibu)

Age_father Age_mother Income_father Income_mother Educ_father Educ_mother

6387              41.26225                    7.936758                       20            82

6636              37.07007                    24.60831                       18           998

6979                1.28e+07                     2.76e+07                         0       1.00e+09

6979               3306393                    1.04e+07                        0       2.76e+08

6927               8.225206                    4.430727                        0            21

6956               7.605233                      4.18937                          0             18

Karakteristik Anak

Status anak

6979                .9711993                     .1672579                         0              1

Variabel dummy (1 jika anak kandung, 0 jika tidak)

Sibling

6979                .3867316       .4870362                                        0              1

Variabel dummy (1 jika anak tunggal, 0 jika tidak)

Birth order

Age

Sex

6979                1.440178                     .6874561                         1              6

6979                9.709271                     3.140521                         5             15

6979                .5166929                     .4997571                         0              1

Variabel dummy (1 jika anak laki-laki, 0 jika anak perempuan)

Sumber: IFLS4, data diolah

Tabel 2 Korelasi Karakteristik Individu dengan Distribusi Power dalam Rumah Tangga

Variables

d_father                                             d_mother

coefficient                        t_stat                        coefficient                        t_stat

Age_father

Age_mother Income_father

.002157 (.0011174)                 1.93**              .0000408 (.0010775)                   0.04

-.0000236 (.0012791)                    -0.02                .003606 (.0012334)                  2.92**

1.90e-10 (3.29e-10)                     0.58                          -4.43e10                    -1.39

(3.18e10)

Income_mother

-1.47e-09 (5.94e-10)                 -2.47**                           2.83e-10                     0.49

(5.73e-10)

Educ_father Educ_mother Jawa

Sunda Minang Bali

Bugis Makasar

.0008321 (.0017306)                     0.48              -.0030978 (.0016689)                   -1.86*

-.0027974 (.0018882)                    -1.48              -.0017956 (.0018209)                    -0.99

-.0243913 (.0126533)                 -1.93**              -.0136562 (.0122021)                    -1.12

.0655529 (.017183)                3.81***              .0679488 (.0165703)                4.10***

.0864635 (.0237493)                3.64***               .050425 (.0229025)                 2.20**

0136278 (.0247012)                   0.55             -.0271819 (.0238204)                   -1.14

.0858462 (.0277593)                 3.09**              .0364726 (.0267694)                   1.36

.3547948 (.0424651)                8.35***              .3396981 (.0409508)                8.30***

Keterangan: standard error dalam kurung. Tanda * berarti sig. pada α=10%, ** sig. pada α=5%, dan *** sig. pada α=1%,

dengan pencapian pendidikan di setiap area. Pencapaian pendidikan di Sumatera dan Jawa bisa berbeda dengan pendidikan yang bisa dicapai oleh anak di area lainnya. Karakteristik orang tua juga dibedakan maasing-masing untuk ayah dan ibu karena fokus utama di sini adalah perbedaan karakteristik ayah dan ibu yang mempengaruhi distribusi power dan variabel outcome anak. Memasukkan karakteristik anak disini dimaksudkan untuk mengontrol adanya endogeneity dari alokasi resources yang mungkin berbeda antar anak.

Pengujian pertama dilakukan dengan mengestimasi dimensi sosial dan ekonomi dari pihak suami dan istri dalam menentukan siapa yang berperan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga. Sesuai dengan

teori, penentu power dalam rumah tangga tidak hanya didasarkan pada satu indikator, melainkan merupakan hasil dari berbagai dimensi dalam kehidupan pasangan. Karenanya pengujian distribusi power untuk pihak suami dan istri dilakukan dengan memasukkan dimensi ekonomi (pendapatan) dan dimensi sosial (pendidikan, usia, dan domain budaya yang melatarbelakanginya). Hasil estimasi dengan OLS memberikan hasil seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi power yang dimiliki oleh salah satu pihak dipengaruhi oleh umur, pendidikan, pendapatan, dan domain kultur adat. Hasil ini menunjukkan bahwa distribusi power yang dipegang oleh salah satu pihak sangat dipengaruhi oleh posisi relatifnya dengan pihak lain, bukan secara absolut. Power yang

Variables

Educ_diff

Educ_diff1

OLS

IV

OLS

IV

d_father

-.0140859 (.0388334)

-.0140502 (.038836)

-.021909 (.0371414)

-.0218632 (.0371458)

d_mother

-.0248953 (.0403037)

-.0239905 (.0403331)

-.0159381 (.0385476)

-.0147771 (.0385777)

educ_mother

.0364526*** (.0050132)

.0361859*** (.0050322)

.0352006*** (.0047948)

.0348584*** (.0048132)

educ_father

.0269331*** (.0045835)

.0270051*** (.0045853)

.0285072*** (.0043838)

.0285995*** (.0043857)

income_mother

-1.23e-09

-1.24e-09

-1.35e-09

-1.37e-09

(1.57e-09)

(1.57e-09)

(1.50e-09)

(1.51e-09)

income_father

1.65e-09**

1.67e-09**

1.68e-09**

1.71e-09**

(8.72e-10)

(8.73e-10)

(8.34e-10)

(8.35e-10)

age_mother

.0070812** (.0035066)

.0075293** (.0035814)

.0070773** (.0033538)

.0076522** (.0034256)

age_father

-.004508 (.002977)

-.0044091 (.0029823)

-.0052351* (.002848)

-.0051081* (.0028525)

kandung

.0432907 (.0908782)

.043692 (.0908865)

.0377713 (.0869185)

.0382863 (.086931)

order

-.0759955*** (.0228599)

-.0945463** (.0378023)

-.0772092*** (.0218639)

-.1010133** (.0361571)

usia

-.1517084*** (.005626)

-.153727*** (.0065106)

.0112126** (.0053809)

.0086224 (.0062273)

laki

-.1764887*** (.0278914)

-.1767223*** (.0278958)

-.1679368*** (.0266762)

-.1682366*** (.0266818)

jawa

.0363182 (.0336333)

.0338114 (.0338806)

.0392941 (.0321679)

.0360774 (.0324061)

sunda

.0079564 (.0455816)

.0071159 (.0456049)

.0221339 (.0435955)

.0210554 (.0436202)

minang

-.2289913*** (.0629334)

-.2280254*** (.062957)

-.2122351*** (.0601913)

-.2109956*** (.0602171)

bali

-.0841802 (.0653507)

-.0845841 (.0653583)

-.0648225 (.0625033)

-.0653407 (.0625138)

bugis

.0883145 (.0735206)

.0899052 (.0735707)

.1056439 (.0703173)

.1076851 (.0703689)

makasar

.0232576 (.1135222)

.0229016 (.1135311)

.0125072 (.1085759)

.0120504 (.1085901)

_cons

-1.426556*** (.1355324)

-1.399096*** (.1426791)

-.5031917*** (.1296271)

-.4679565*** (.1364695)

F-Test

d_fatther = d_mother

0.33

0.34

educ_father = educ_mother

123.28***

136.29***

income_father = income_mother

0.1459

2.22

Keterangan: educ_diff adalah perbedaan pencapaian sekolah anak dibandingkan dengan rata-rata cohort sesuai standar nasional; educ_diff1 adalah perbedaan pencapaian sekolah anak dibandingkan dengan rata-rata cohort dalam sampel; standard error dalam kurung. Tanda * berarti sig. pada α=10%, ** sig. pada α=5%, dan *** sig. pada α=1%,


dimiliki oleh pihak laki-laki (suami) akan meningkat sesuai usianya, dan menurun apabila pendapatan yang dihasilkan oleh pihak perempuan (istri) semakin meningkat. Domain adat yang bersifat matrilineal tidak menjamin pengambilan keputusan kemudian didominasi oleh pihak perempuan, terlihat dari keluarga yang berasal dari Minang dan Sunda. Di sisi lain, power yang dimiliki oleh pihak perempuan juga akan meningkat sesuai usia dan akan lebih kecil bila pendidikan pihak laki-laki semakin tinggi. Namun, adat matrilineal juga tidak menjamin besarnya power perempuan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga.

Hasil pengujian distribusi power dengan domain adat memberikan indikasi bahwa adat dan budaya tidak lagi dapat mempengaruhi sistem pengelolaan rumah tangga sekuat dulu. Adat yang dikenal memiliki sistem patrilineal yang kuat, seperti Bali, Bugis, dan Makasar. Rumah tangga yang kesehariannya didominasi oleh adat Bali bahkan tidak menunjukkan signifikansi pengaruhnya, baik terhadap power laki-laki maupun perempuan. Keluarga Bugis mungkin masih menganut kuat adatnya, namun seperti halnya Bali, keluarga yang beradat Makasar juga tidak konklusif menyimpulkan siapa yang memegang peranan dominan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki adat Sunda, Jawa dan Minang juga menunjukkan bahwa sistem matrilineal tidak menjamin perempuan memiliki power lebih dominan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga.

Pengujian dengan memasang asumsi unitary model

selanjutnya dilakukan untuk melihat efek dari distribusi power tersebut, dengan mengontrol berbagai variabel karakteristik orang tua dan karakteristik anak yang diduga berkorelasi dengan distribusi power serta berpengaruh terhadap outcome. Pengujian awal ini menggunakan OLS serta IV guna melihat robustness hasil yang diperoleh. Apabila nilai koefisien distribusi power untuk masing-masing pihak signifikan, maka pengujian akan dilanjutkan pada tahapan berikutnya dengan asumsi adanya collective model yang pareto efficient. Namun bila nilai koefisien tidak signifikan, maka dapat dikatakan terjadinya unitary approch dalam pengalokasikan sumber daya dalam rumah tangga. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Hasil estimasi dengan model OLS dan IV sama-sama menunjukkan bahwa distribusi power yang dimiliki oleh salah satu pihak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perbedaan tingkat pencapaian pendidikan anak dengan rata-rata cohort. Hal ini berarti hasil pengujian tidak dapat menolak asumsi adanya unitary approach dalam pengalokasian sumber daya dalam rumah tangga di Indonesia. Kesimpulan untuk mengatakan bahwa model yang berlaku dalam pengambilan keputusan di rumah tangga di Indonesia adalah unitary approach juga harus diuji dengan test of equality (F-test) dimana hipotesis yang diajukan adalah bahwa distribusi power suami dan istri adalah sama. Hasil pengujian menunjukkan bahwa distribusi power yang dimiliki oleh pihak suami dan istri dalam rumah tangga menunjukkan kesetaraan. Demikian juga dengan pendapatan suami dan istri, sehingga dapatlah

dikatakan bahwa keduanya tidak memiliki perbedaan secara signifikan. Perbedaan hanya terjadi di tingkat pendidikan masing-masing pihak.

Kesetaraan power yang dimiliki oleh suami dan istri menjadikan tidak adanya pengaruh power salah satu pihak terhadap pendidikan anak. Sekalipun pendapatan diantara keduanya, namun seperti yang diprediksi oleh unitary model, rumah tangga melakukan income pooling sebelum memutuskan pengalokasiannya secara bersama-sama. Sekalipun bisa jadi ada anggota keluarga yang egois, namun mereka tetap memperhatikan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan dalam preferensi utama mereka, bukan karena adanya “diktator”.

Dari beberapa karakteristik yang dimiliki orang tua, pendidikan kedua orang tua dan pendapatan suami adalah yang secara konsisten berpengaruh signifikan terhadap perbedaan pencapaian sekolah anak dari rata-rata cohort. Semakin tinggi pendidikan kedua orang tua, semakin tinggi pula pencapaian sekolah anak dibandingkan dengan cohort, baik dalam ukuran standar nasional maupun dari rata-rata sampel. Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan cenderung menganggap pendidikan anak adalah investasi untuk masa depan anak dan bukan sebagai sumber pendapatan yang untuk mendukung perekonomian keluarga. Walaupun pendidikan keduanya memberikan efek yang signifikan terhadap pencapaian pendidikan anak, namun koefisien yang diberikan oleh pendidikan istri relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan suami. Hal ini berarti ibu yang lebih berpendidikan akan memberikan pencapaian pendidikan yang lebih tinggi untuk anak dibandingkan dengan ayah yang berpendidikan. Artinya, peran ibu masih lebih besar dalam memberikan pendidikan yang lebih baik dibandingkan ayah.

Walaupun perbedaan karakteristik orang tua tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendidikan anak, namun jelas terlihat adanya ketidaksetaraan alokasi antar anak. Menggunakan variabel anak tunggal sebagai instrumental variable (IV) untuk birth order dirasa cukup tepat. Hal ini terlihat dari uji IV pada tahap pertama, dimana variabel tersebut memberikan tingkat signifikansi pada α = 1%, sehingga memenuhi kriteria sebagai variabel penjelas yang baik. Variabel ini juga dipastikan tidak berkorelasi dengan error dari persamaan utama karena sifatnya yang eksogen pada anak. Seperti yang diprediksi sebelumnya, birth order memiliki efek negatif terhadap pendidikan anak. Hal ini berarti anak dengan order yang lebih besar (semakin kecil) akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Hasil yang signifikan mengindikasikan bahwa terjadi ketimpangan diantara saudara sekandung. Hal ini dikuatkan dengan perbedaan pencapaian sekolah yang relatif lebih rendah daripada standar nasional saat usia semakin besar. Fenomena ini dapat dibaca adanya kecenderungan anak untuk berhenti sekolah dengan

semakin bertambahnya usia, terutama ketika menginjak remaja dan kemudian masuk ke pasar kerja. Fakta menunjukkan bahwa partisipasi sekolah anak pada tingkat SMP dan SMA jauh lebih rendah dibandingkan dengan partisipasi pada pendidikan dasar (BPS, 2010). Sekalipun lebih rendah dari standar nasional, namun pencapaian anak masih lebih tinggi daripada rata-rata sampel.

Bias gender juga terjadi disini, dimana pencapaian pendidikan anak laki-laki lebih rendah daripada anak perempuan. Hasil ini sedikit mengejutkan karena yang biasanya terjadi adalah anak perempuan seringkali tidak mendapatkan alokasi pendidikan yang sama besarnya dengan anak laki-laki. Saat terjadi shocks, maka yang pertama dikorbankan adalah anak perempuan. Namun, sepertinya kondisi tersebut cenderung mulai berubah dengan semakin meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender serta kemampuan perempuan untuk bekerja dan mulai bisa menduduki posisi penting di pasar kerja maupun dalam masyarakat.

Pengujian selanjutnya dilakukan untuk melihat pengaruh distribusi power suami dan istri, dengan mengontrol karakterisktik orang tua dan anak, terhadap status kerja anak. Karena variabel dependen merupakan variabel binary ( d= 1, bila bekerja), maka model pengujian menggunakan linier probability model (LPM). Disadari ada beberapa kelemahan dalam penggunaan LPM, dengan menyamakannya seperti estimasi OLS biasa, diantaranya non-normality of the disturbance dan heteroskedastisitas. Namun, rileksasi dari beberapa asumsi tersebut tidak akan menyebabkan bias dalam pengujian, sehingga masih mungkin untuk digunakan. Hasilnya seperti disajikan pada Tabel 4.

Hasil estimasi distribusi power suami dan istri juga menunjukkan hasil yang signifikan, artinya power yang dimiliki oleh salah satu pihak tidak berpengaruh bagi probabilitas anak bekerja. Pengujian asumsi juga mengindikasikan adanya unitary approch dalam penentuan status kerja anak. Pendidikan ibu dan ayah memberikan signifikansi yang sangat kuat untuk mengurangi kemungkinan anak bekerja, baik itu untuk mendapatkan penghasilan maupun pekerjaan domestik yang tidak dibayar. Berbeda dengan pendidikan anak, pendidikan ayah memberikan efek yang relatif lebih besar untuk menurunkan probabilitas status kerja anak dibandingkan dengan pendidikan ibu. Selanjutnya, dari berbagai karakteristik anak yang dimasukkan untuk mengontrol kemungkinan adanya status kerja antar anak, terlihat hanya usia yang menunjukkan hasil yang signifikan. Hasil ini menguatkan adanya pekerja anak berusia remaja yang masuk pasar kerja ataupun sebagai pekerja rumah tangga karena putus sekolah. Gender sendiri tidak menunjukkan hasil yang signifikan, artinya tidak ada bias gender dalam keputusan apakah anak bekerja atau tidak. Terlihat adanya kesamaan preferensi masing-masing pihak orang tua dalam memutuskan apakah anak bekerja atau tidak antar sibling dan gender.

Tabel 4 Pengaruh Distribusi Power terhadap Status Kerja Anak

Variables

Status Kerja Anak

OLS

IV

d_father

.0039994 (.0046306)

.003986

(.0046336)

d_mother

.0065313 (.0048058)

.0061901

(.0048122)

educ_mother

-.0014897*** (.0005977)

-.0013891**

(.0006003)

educ_father

-.0015223*** (.0005465)

-2.67e-11***

(1.88e-10)

income_mother

-3.29e-11

(1.88e-10)

-2.67e-11

(1.88e-10)

income_father

8.51e-12

(1.04e-10)

-6.69e-13

(1.04e-10)

age_mother

-.0005402 (.0004181)

-.0007092*

(.0004273)

age_father

.0006662* (.000355)

.0006289*

(.0003557)

kandung

.0102255 (.0108365)

.0100739

(.0108439)

order

-.003024 (.0027259)

.0039743

(.0045105)

usia

.0057734*** (.0006707) .0065349

*** (.0007767)

laki

.0017285 (.0033255)

.0018167

(.003328)

jawa

-.0035205 (.0040099)

-.0025751

(.0040418)

sunda

-.0031277 (.0054353)

-.0028107

(.0054412)

minang

-.0080884 (.0075043)

-.0084529

(.0075115)

bali

-.0021941 (.0077926)

-.0020417

(.0077981)

bugis

.0110097 (.0087668)

.0104096

(.0087779)

makasar

.0174106 (.0135367)

.0175448

(.0135457)

_cons

-.0321331** (.0161612)

-.0424923**

(.0170235)

F-Test

d_fatther = d_mother

1.65

educ_father = educ_mother

19.09***

income_father = income

_mother

0.01

Keterangan: standard error dalam kurung. Tanda * berarti sig. pada α=10%,

** sig. pada α=5%, dan *** sig. pada α=1%,

KESIMPULAN

Perbandingan hasil pada dua variabel outcome di atas menunjukkan adanya trade off dalam pemilihan alokasi dalam rumah tangga. Pilihan orang tua berada pada pilihan apakah membiarkan anaknya berada di bangku sekolah untuk investasi masa depan, ataukah membiarkan mereka bekerja sebagai sumber pendapatan. Hasil yang paling nyata terlihat adalah signifikannya pengaruh pendidikan orang tua terhadap pilihan alokasi tersebut. Semakin tinggi pendidikan orang tua, maka semakin tinggi pula pencapaian pendidikan anak serta semakin menurunnya probabilitas anak untuk bekerja. Pada pendidikan anak, peran ibu relatif lebih besar dibandingkan ayah. Namun, dalam status bekerja, peran ayah relatif lebih besar dibandingkan ibu.

Implikasi hasil pengujian ini menjadi sangat penting bagi pemerintah ketika mengembangkan sebuah kebijakan,

terutama yang sekarang sedang giat dilakukan dengan memberikan alokasi dana besar di bidang pendidikan serta upaya mengurangi jumlah pekerja anak. Memperhatikan sistem pengalokasian sumber daya dalam rumah tangga menjadi penting dalam penargetan program-program pendidikan dan pengurangan pekerja anak, karena keputusan itu murni berasal dari rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Alderman, Harold et al. 1995. Unitary versus Collective Models of the Household: Is It Time to Shift the Burden of Proof? The World Bank Research Observer, Vol. 10 (1), pp. 1-19

Apps, Patricia F and Rees, Ray. 1997. Collective Labor Supply and Household Production. The Journal of Political Economy, Vol. 105(1), pp. 178-190

Browning, Martin et al. 1994. Income and Outcomes: A Structural Model of Intrahousehold Allocation. Journal of Political Economy, Vol. 102 (6), pp. 1067-1096

Chiappori, Pierre-André. 1992. Collective Labor Supply and Welfare. Journal of Political Economy, Vol. 100(3), pp. 437-467

Duflo, Esther. 2000. Grandmothers and Grandaughters: Old Age Pension and Intra-Household Allocation in South Africa. Unpublished manuscript National Bureau of Economic Research

Fuwa, Nobuhiko et al. 2006. Introduction to A Study of Intrahousehold Resource Allocation and Gender Discrimination in Rural Andhra Pradesh, India. Forthcoming in The Developing Economies, Volume 44 (4)

Guyer, Jane I. Endowments and Assets: The Anthropology of Wealth and the Economics of Intrahousehold Allocation. Intrahousehold Resource Allocation in Developing Countries: Models, Methods, and Policy, pp. 112- 128. The International Food Policy Research Institute: The Johns Hopkins University Press

Hallman, Kelly K. 2000. Mother-Father Resource Control, Marriage Payments, and Girl-Boy Health in Rural Bangladesh. FCND Discussion Paper No. 93. International Food Policy Research Institute

Hazarika, Gautam and Sarangi, Sudipta. 2005. Household Access to Microcredit and Child Work in Rural Malawi. IZA DP No. 1567

Hopkins, Jane; Levin, Carol; Haddad, Lawrence. 1994. Women’s Income and Household Expenditure Patterns: Gender or Flow? Evidence from Niger. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 76 (5), pp. 1219-1225

Islam, Asadul and Choe, Chongwoo. 2009. Child Labour and Schooling Responses to Access to Microcredit in Rural-Bangladesh. MPRA Paper No. 16842

International Labour Organization. 2010. Breaking the Rural Poverty Cycle: Getting Boys and Girls Out Of Work and Into School. Gender and Rural Employment Policy Brief # 7

International Labour Organization. 2010. ILO – BPS Keluarkan Data Nasional Mengenai Pekerja Anak di Indonesia. Press release - 09 February 2010

Kurosaki et al. 2006. Child Labor and School Enrollment in Rural India: Whose Education Matters? Forthcoming in The Development Economics, Vol 44 (4),

Koolwal, Gayatri and Ray, Ranjan. 2002. Estimating the Endogenously Determined Intra Household Balance of Power and its Impact on Expenditure Pattern: Evidence from Nepal. Unpublished manuscript, Department of Economics, Cornell University

Lundberg, Shelly J., Pollak, Robert A., Wales, Terence J. 1997. Do Husbands and Wives Pool Their Resources? Evidence from the United Kingdom Child Benefit. The Journal of

Human Resources, Vol 32(3), pp. 463-480

Song, Lina.2008. In Search of Gender Bias in Household Resource Allocation in Rural China. IZA DP No. 3464

Thomas, Duncan. 1990. Intra-Household Resource Allocation: An Inferential Approach. The Journal of Human Resources, Vol. 25(4), pp. 635-664

Thomas, Duncan. 1994. Like Father, like Son; Like Mother, like Daughter: Parental Resources and Child Height. The Journal of Human Resources, Vol. 29 (4), pp. 950-988

Thomas, Duncan; Contreras, Dante; Frankenberg, Elizabeth. 1999. Distribution of Power Within the Household and Child Health. Unpublised manuscript, download at www. rand.org

Quisumbing, Agnes R. and Maluccio, John A. 1999. Intrahousehold Allocation and Gender Relations: New Empirical Evidence. The World Bank, Development Research Group, Working Paper Series, No. 2 Policy Research Report on Gender and Development

Roushdy, Rania and Namoro, Soiliou Daw. 2007. Intrahousehold Resource Allocation in Egypt: Effect of Distribution of Power Within Household on Child Work and Schooling. Unpublished manuscript of Population Council Cairo and University of Pittsburgh

Zeyu, Xu. 2007. A Survey on Intra-Household Models and Evidence. MPRA Paper No. 3763

I Volume IX No. 2 Desember 2013

71