PIRAMIDA Vol. IX No. 1 : 50- 56

ISSN : 1907-3275

MENGGALAKKAN PROGRAM TRANSMIGRASI

MELALUI PENINGKATAN PEMBANGUNAN DAERAH

I Gde Nitiyasa, I Ketut Sudibia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana email: [email protected]

ABSTRACT

During the Dutch colonial government, migration activity which was known as colonization was done since 1905. This program had been continued up towards the World War II, then also during independence era which is then called transmigration. Although transmigration has been carried out for a long time, its objective to relocate population from Java to the other part of Indonesia is still relatively low. Java Island which covers an area of 7 percent of Indonesia’s land is populated by about 57 percent of total Indonesia’s population (Population Census 2010).

In the past, transmigration policy tended to be demographic centric, which migrated people from densely to sparsely populated areas. To eliminate demographic centric image, it is necessary to reorient the transmigration policy to be more regional development based. There are four targets of regional development: (a) to develop new villages by building integrated transmigration settlement in one development area; (b) to develop a hinterland of existing growth centers; (c) to improve less developed villages by increasing population and developing the infrastructures; and (d) to develop transmigration society and local people through improving society self-supporting skills.

During the decentralization era, there are at least three policy steps that should be done, including (1) to control inflow of migrants in terms of number of social economic characters and potential conflicts with local people; (2) to group integrated migrants from various ethnic and prepare skilled migrants in each group and location; and (3) to plan infrastructure development, such as roads, bridges, irrigation, clinic, sport centers, and other facilities which are not seem to be exclusive for certain location.

Keywords: transmigration, reorientation, decentralization, regional development.

PENDAHULUAN

Program transmigrasi atau perpindahan penduduk sebetulnya telah dikenal pada masa pemerintahan kolonial Belanda; dan lebih dikenal dengan istilah kolonisasi. Titik tolak pelaksanaan program kolonisasi adalah pada tahun 1905 dengan daerah tujuan pertama kali adalah Gedong Tataan, di Keresidenan Lampung. Dasar pertimbangan pemindahan penduduk pada waktu itu adalah tingginya kepadatan penduduk di Pulau Jawa, sementara di luar Jawa penduduknya kurang padat. Pelaksanaan program kolonisasi tersebut dibagi menjadi beberapa periode, yaitu (1) 1905-1911 merupakan fase eksperimen; (2) 1911-1929 periode Bank Kredit Kredit Lampung; dan (3) 1930-1941, periode depresi hingga Perang Dunia II (Heeren, 1979). Setelah Masa Kemerdekaan program kolonisasi tersebut dilanjutkan kembali, akan tetapi istilah kolonisasi diganti dengan transmigrasi.

Meskipun dilihat dari segi periode pelaksaanan program kolonisasi relatif lama, namun jumlah penduduk yang dapat dipindahkan tidak banyak. Hal ini disebabkan oleh kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah pada waktu itu. Menurut Swasono (1986), selama 80 tahun program pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa melalui program kolonisasi dan transmigrasi hanya

mencapai 3,65 juta jiwa, padahal pertambahan penduduk Pulau Jawa setiap tahunnya berjumlah 2 juta jiwa.

Masih berkaitan dengan kecilnya jumlah penduduk yang dipindahkan dari Jawa ke luar Jawa juga disoroti oleh Yudohusodo (1997), yang menyebutkan bahwa pada tahun 1990 persentase penduduk yang tinggal di Pulau Jawa adalah sekitar 60 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Kondisi ini menunjukkan keadaan yang tidak jauh berbeda dengan persentase penduduk Pulau Jawa tahun 1930 sebesar 68,7 persen. Itu berarti dalam kurun waktu 60 tahun persentase penduduk yang tinggal di Pulau Jawa hanya turun 8,7 persen. Atau dalam kurun waktu 75 tahun (1930-2005), persentase penduduk yang tinggal di Pulau Jawa berkurang 10,1 persen (58,60 – 68,70 persen) (Tabel 1).

Bertolak dari angka pencapaian di atas selanjutnya Swasono (1986) menekankan perlunya mengubah orientasi transmigrasi tidak semata-mata demografis sentris, yang berarti mengurangi kepadatan penduduk bukanlah tujuan transmigrasi, melainkan merupakan hasil atau akibat transmigrasi. Perubahan orientasi transmigrasi tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan program transmigrasi secara integratif dalam pembangunan nasional. Usulan tersebut tampaknya telah merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru dalam Repelita


Keenam (Buku III, Repelita VI 1994/1995 – 1998/1999); yang menyebutkan bahwa transmigrasi merupakan bagian dari proses pembangunan wilayah untuk meningkatkan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia di seluruh Wilayah Indonesia.

Tabel 1 Distribusi Persentase Luas Daratan, Persentase Penduduk dan Kepadatan Pendudukan Menurut Propinsi 2000-2007

Propinsi

Prosentase

Luas Daratan

Persentase Penduduk

Kepadatan penduduk Per Km2

2000

2005

2007

2000

2005

2007

1

2

3

4

5

6

7

8

NAD

3,03

1.92

1.86

1.87

70

72

75

Sumut

3,82

5,68

5.65

5.69

161

171

177

Sumbar

2,20

2.07

2.08

2.08

101

108

111

Riau

4,05

2.41

2.20

2.25

56

55

58

Jambi

2,62

1.17

1.21

1.22

53

58

60

Sumsel

4,79

3.03

3.10

3.11

103

113

116

Bengkulu

1,04

0,71

0,71

0,72

74

79

82

Lampung

1,81

3,28

3,22

3.23

178

188

193

Babel

0,86

0,44

0,49

0.49

55

65

67

Kepriau

0,43

-

0,58

0.62

-

158

172

Sumatera

25,16

20,71

21,10

21,27

95

104

107

DKI Jakarta

0,03

4.08

4.04

4.02

294

12.012

12.245

Jawa Barat

1,85

17,42

17,81

17.87

967

1.060

1.092

Jawa Tengah

1,72

15,22

14.50

14,35

952

972

987

DI Yogyakarta

0,16

1,52

1,53

1,52

996

1.074

1.098

Jawa Timur

2,50

16,96

16.59

16,35

745

781

790

Banten

0,51

3,95

4,13

4,18

898

1.006

1045

Jawa

6,77

59,13

58,60

58,29

938

996

1017

Bali

0,30

1.54

1.55

1.54

559

600

639

NTB

0,97

1.95

1.89

1.90

203

211

218

NTT

2,55

1.86

1.95

1.97

83

93

96

Bali Nusra

3,82

5.35

5.38

5,42

154

166

171

Kalbar

7,71

1.96

1.84

1,85

33

34

35

Kalteng

8,04

0.90

0.90

0.90

12

13

13

Kalsel

2.03

1.45

1.50

1.51

77

85

87

Kaltim

10,70

1.20

1.31

1.34

13

15

16

Kalimantan

28,48

5.51

5.54

5.60

22

24

25

Sulut

0,72

0.98

0.98

0,97

144

154

157

Sulteng

3,24

1.05

1.07

1.06

32

34

35

Sulsel

2.44

3.92

3,41

3,41

175

162

167

Sulatra

1,99

0.89

0,88

0.90

50

53

55

Gorantalo

0,59

0.41

0,43

0,43

69

77

79

Sulbar

0,88

-

0,45

0.45

-

59

61

Sulawesi

9,87

7,25

7.19

7,22

77

82

84

Maluku

2,46

0.57

058

0.58

25

27

27

Maluku Utara

1,67

040

042

0.42

20

23

24

Papua Barat

5,08

-

0.31

0.32

-

6

6

Papua

16,70

1.08

0.88

0.89

7

6

7

Maluku dan

Papua

25,90

2.05

2,18

2.21

8

9

10

Indonesia

100.00

100,00

100.00

100.00

110

118

121

Sumber : BPS Pusat, 2008

Berkaitan dengan uraian di atas tampaknya memang perlu dilakukan perubahan orientasi dalam meningkatkan program transmigrasi yaitu melalui peningkatan pembangunan daerah khususnya daerah-daerah di luar Jawa-Bali, sehingga kesan bahwa transmigrasi berorientasi demografis sentris dapat dikurangi atau bahkan dihapus. Melalui pembangunan daerah akan terbangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, yang akan memberikan

imbas terhadap pembangunan daerah sekitarnya, dan pada akhirnya akan mempercepat pembangunan ekonomi di luar Jawa-Bali. Di sisi lain, dengan terbangunnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa-Bali akan dapat menarik tenaga-tenaga kerja untuk bekerja di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebut. Sumber-sumber tenaga kerja dapat berasal dari daerah setempat, daerah lainnya di luar Jawa-Bali, atau daerah-daerah di Jawa-Bali. Kebutuhan tenaga kerja pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebut dapat diintegrasikan melalui program transmigrasi,

Kaitan antara transmigrasi dan pembangunan daerah secara eksplisit telah dimuat dalam Undang-undang RI No. 15 tahun 1997, yaitu Pasal 1 danr dan Pasal 3. Pada Pasal 1 ayat (4) dengan tegas dikemukakan bahwa Wilayah Pengembangan Transmigrasi adalah wilayah potensial yang ditujukan sebagai pengembangan pemukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berikutnya pada Pasal 1 ayat (5) dijelaskan bahwa Lokasi Pemukiman Transmigrasi adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai pemukiman transmigrasi untuk mendukung pusat perkembangan wilayah yang sudah ada atau yang sedang berkembang sesuai dengan RTRW. Kemudian pada Pasal 3 dikemukakan pula bahwa penyelenggaraan transmigrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk mendukung tujuan yang diterapkan pada pasal 3, maka sasaran penyelenggaraan transmigrasi adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian dan mewujudkan integrasi di pemukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.

Pentingnya pembangunan daerah tampaknya juga menjadi pusat perhatian dari Suparno (2007), yaitu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (2004-2009). Disebutkannya, bahwa tujuan dari program pengembangan wilayah adalah meningkatkan dan memeratakan pembangunan daerah di seluruh wilayah Tanah Air. Melalui pembangunan daerah akan dapat dimanfaatkan potensi dan sumber daya wilayah, wilayah tertinggal, dan wilayah perbatasan menjadi permukiman transmigrasi yang layak huni, layak usaha, layak berkembang, dan layak lingkungan. Pola pembangunan seperti ini diharapkan dapat mengurangi berbagai kesenjangan dalam pembangunan nasional, dengan cara mendistribusikan berbagai sumber daya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

PEMBAHASAN

Laju Pertumbuhan Penduduk dan Perkembangan Jumlah Transmigran Asal Bali

Jumlah penduduk Provinsi Bali senantiasa bertambah dari waktu ke waktu, yaitu sebesar 2120.091 jiwa tahun 1971, kemudian meningkat menjadi 2.469.724 jiwa pada tahun 1980, bertambah lagi menjadi 2.777.356 jiwa tahun 1990, menurut hasil Sensus Penduduk (SP) 2000 jumlahnya mencapai 3.146.999 jiwa, dan masih naik lagi menjadi 3.378.092 jiwa pada SUPAS 2005. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kepadatannya per kilometer persegi juga terus bertambah dari 376 orang pada tahun 1971, menjadi 438 orang pada tahun 1980, menjadi 493 orang pada tahun 1990, meningkat lagi menjadi 559 orang tahun 2000, dan 600 orang pada tahun 2005.

Gambaran di atas hanya memberikan informasi tentang perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk pada tingkat provinsi dan belum memperhatikan variasi laju pertambahan penduduk menurut kabupaten/kota. Informasi tentang laju pertumbuhan penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Bali dapat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Bali Pada Periode 19801990, 1990-2000, 2000,2005 Menurut hasil SP 1980,1990, 2000 dan SUPAS 2005 (dalam persen)

Kabupaten /Kota

Laju Pertumbuhan Penduduk

1980-1990

1990-2000

200-2005

1. Jembrana

0,60

0,63

1,32

2. Tabanan

0,19

0,73

1,19

3. Badung

1,23

2,33

2,47

4. Gianyar

0,96

1,56

1,42

5. Klungkung

0,12

0,31

1,03

6.Bangli

0,88

0,94

1,52

7. Karangasem

0,89

0,49

0,90

8. Buleleng

1,04

0,33

1,49

9. Denpasar

4,05

3,20

1,58

Bali

1,18

1,26

1,43

Sumber : BPS, 1983, 1992 , 2001 dan 2007.

Sebelum era reformasi laju pertumbuhan Penduduk Provinsi Bali telah turun dari 1,71 persen periode 1971 – 1980 menjadi 1,18 persen pada periode 1980 -1990. Di satu sisi penurunan ini disebabkan oleh keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) dalam pengendalian fertilitas dan di sisi lain dipengaruhi oleh Program Transmigrasi.

Selanjutnya jika diperhatikan keadaan sesudah era reformasi laju pertumbuhan penduduk justru semakin meningkat, yaitu 1,26 persen periode 1990 -2000 dan 1,43 persen pada periode 2000- 2005. Bahkan pada menurut hasil Sensus Penduduk 2010 laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali meningkat lebih tajam lagi menjadi 2,14 persen per tahun selama periode 2000-2010 (Sudibia dkk, 2012). Jelas kelihatan bahwa angka ini jauh melebihi laju pertumbuhan penduduk pada periode-periode sensus

sebelumnya di Provunsi Bali. Demikian pula jika dikaitkan dengan angka nasional, ternyata laju pertumbuhan Provinsi Bali jauh lebih tinggi daripada angka nasional, yang pada periode yang sama mencapai 1,49 persen per tahun.

Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk pada era reformasi sangat dipengaruhi oleh krisis multidimensional yang pada gilirannya berdampak pada kegiatan Program KB dan Transmigrasi. Khusus untuk program transmigrasi ini disebabkan oleh banyaknya daerah tujuan yang rawan konflik, sehingga terjadi penundaan-penundaan dalam pengiriman transmigrasi dari Bali ke luar Bali. Hal ini dapat dilihat dengan jelas melalui migrasi risen neto negatif untuk daerah-daerah tujuan yang rawan konflik seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku.

Menurunnya kegiatan program transmigrasi ternyata diimbangi oleh migrasi risen masuk dari luar Bali seperti digambarkan pada Tabel 3. Perubahan dalam kurun waktu 1985-1990 dan 1995-2000 menunjukkan peningkatan jumlah migran risen masuk dari 65.997 orang menjadi 87.225 orang. Sementara itu jumlah migran risen keluar turun dari 56.157 orang menjadi 47.353 orang pada kurun waktu yang sama. Migran risen neto positif yang paling menonjol adalah dari Pulau Jawa. Hal ini sangat dimungkinkan karena jarak yang paling mudah dijangkau, di samping tersedianya berbagai peluang kerja seperti kegiatan di sektor informal, atau pekerjaan-pekerjaan panen padi di sektor pertanian yang mulai ditinggalkan oleh penduduk setempat (Sudibia, 2012).

Tabel 3. Migran Risen yang Masuk dan Keluar Provinsi Bali Menurut Hasil SP 1990 dan SP 2000

Wilayah/Provinsi

Migran Masuk (%) Migran Keluar (%)

Migran Neto (orang)

SP 1990

SP 2000

SP 1990

SP 2000

SP 1990

SP 2000

1. Sumatra

4,1

4,3

6,2

8,1

-776

-167

2. Jawa

73,0

73,8

42,3

33,1

24.424

48.671

3. NTB

7,0

7,0

11,3

25,9

- 1.726

-6.145

4. NTT

3,1

5,3

4,0

4,9

-200

2.333

5. Timor-Timur

1,6

-

3,8

-

-1.078

-

6. Kalimantan

3,0

2,1

8,0

6,8

-2.512

-1.364

7. Sulawesi

5,7

3,5

23,5

17,4

-9.435

-5.194

8. Maluku

0,5

1,0

0,1

2,6

272

-355

9. Irian Jaya

0,3

0,6

0,8

1,2

-251

-12

10. Luar Negeri

1,7

2,4

-

-

1.122

2.105

Jumlah : (%) Orang

100,0

100,0

100,0

100,0

-

-

65.997

87.225

56,157

47.353

9.840

39.872

Sumber : Penduduk Bali. Hasil SP 1990 dan SP 2000 (data diolah).

Tren Perkembangan Target dan Realisasi Trasn-migrasi Asal Bali sejak Masa Pra Pelita sampai dengan Tahun Keempat Pelita VI

Selanjutnya jika diperhatikan besarnya jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan melalui program transmigrasi, nampak bahwa pengalaman yang terjadi di Pulau Jawa dialami oleh Provinsi Bali. Artinya, bahwa jumlah penduduk yang dapat dipindahkan masih relatif sedikit. Setelah masa Kemerdekaan, yaitu mulai masa

Pra Pelita (1953-1968) sampai dengan tahun keempat pelaksanaan Pelita VI, jumlah keluarga yang berhasil dipindahkan mencapai 55.028 kepala keluarga atau 216.781 jiwa (Tabel 4).

Tabel 4. Target dan Jumlah Penempatan Trasnmigrasi Asal Bali Sejak Masa Pra Pelita sampai dengan Tahun Keempat Pelita VI.

Periode

Target (KK)

Realisasi Transmigrasi

Jumlah

Umum

Swakarsa

KK

Jiwa

KK

Jiwa

KK

Jiwa

Pra Pelita

-

8.190

34.694

2.040

7.740

10.230

42.434

Pelita I

5.509

2.450

11.336

2.949

12.454

5.399

23.790

Pelita II

4.460

2.743

13.004

2.225

9.177

4.968

22.181

Pelita III

14.100

12.195

52.731

1.028

3.620

13.223

56.351

Pelita IV

9.929

3.426

12.535

3.466

10.358

6.892

22.893

Pelita V

7565

3.946

13.999

3.331

11.228

7.277

25.227

Pelita VI s.d Tahun Keempat

7.502

4.457

15.502

2.582

8.403

7.039

23.905

Jumlah

49.065

37.407 153.801

17.621

62.980

55.028 216.781

Sumber : Laporan Tahunan Kanwil Departemen Trasmigrasi dan PPH Provinsi Bali, 1998.

Jika diperhatikan jangka waktu yang digunakan ternyata telah memakan waktu 44 tahun untuk mencapai jumlah transmigram 216.781 jiwa. Dengan demikian, banyaknya transmigran tiap tahun adalah sebesar 4.927 jiwa. Bila angka ini dibandingkan dengan rata-rata pertambahan penduduk tiap tahun selama periode 1990 – 1995 ternyata mencapai 23.659 jiwa. Jadi besarnya jumlah penduduk yang dapat dipindahkan jauh di bawah jumlah pertambahan penduduk tiap tahunnya.

Di samping rendahnya jumlah penduduk yang dapat dipindahkan ternyata secara umum tampak bahwa proporsi transmigran umum masih lebih dominan daripada transmigran swakarsa. Trasmigrasi umum adalah perpindahan penduduk yang disponsori ole pemerintah, dan transmigrasi swakarsa adalah perpindahan penduduk yang biayanya ditanggung sendiri oleh transmigran yang bersangkutan. Memperhatikan kondisi tersebut, dapat diketahui bahwa pelaksanaan tranmigrasi di Provinsi Bali sebagian besar masih tergantung kepada anggaran yang disediakan oleh pemerintah.

Sisi lain yang juga menarik untuk disoroti adalah tren atau kecenderungan dari realisasi transmigrasi dari satu periode ke periode berikutnya. Data menunjukkan bahwa terjadi pasang surut jumlah penduduk yang ditransmigrasikan, dan akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan menurun. Menurunnya realisasi transmigrasi ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

  • 1.    Kurangnya informasi tentang daerah, termasuk keberhasilan transmigran.

  • 2.    Semakin berkembangnya kesempatan kerja di daerah Bali sebagai akibat perkembangan sektor pariwisata.

  • 3.    Keterikatan di daerah asal seperti keterikatan sosial budaya setempat.

  • 4.    Kemampuan atau sumber daya manusia calon transmigran rendah.

  • 5.    Belum adanya sanak saudara di daerah tujuan dan rendahnya keterbukaan terhadap etnis lain.

  • 6.    Rendahnya mobilitas pekerjaan.

Terlepas dari berbagai hambatan yang dikemukakan di atas, Provinsi Bali memiliki peluang yang sangat besar untuk melaksanakan program transmigrasi, mengingat masih banyaknya rumah tangga miskin (RTM) yang belum terentaskan (Tabel 5). Kriteria RTM penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) mencakup 14 indikator, yaitu (1) luas lantai bangunan tempat tinggal < 8 m2 per orang; (2) lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/ kayu murahan; (3) jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester; (4) tidak mempunyai fasilitas buang air/ bersama-sama dengan RT lain; (5) penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik ; (6) sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan; (7) bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; (8) hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam satu minggu; (9) hanya membeli satu stel pakaian dalam satu tahun; (10) hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari; (11 tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik; (12) sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani lahan <0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp.600.000,- per bulan; (13) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; dan (14) tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp.500.000,- seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Tabel 5. Proporsi Rumah Tangga Miskin (dengan memakai 14 indikator) per kabupaten/ kota, hasil pendataan yang dilaksanakan oleh BPS tahun 2006 dalam rangka penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Kabupaten /Kota

Jumlah Rumah

Tangga (RT)

Jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM)

Persentase RTM

1. Jembrana

67.738

6.998

10,33

2. Tabanan

114.122

11.672

10,23

3. Badung

86.130

5.201

6,04

4. Gianyar

91.827

7.629

8,31

5. Klungkung

41.407

8.460

20,43

6.Bangli

56.541

13.191

23,33

7. Karangasem

101.058

41.826

41,39

8. Buleleng

162.234

47.908

29,53

9. Denpasar

100.256

4.159

4,15

Bali

821.313

147.044

17,90

Sumber : BPS Propinsi Bali 2006.

Berdasarkan hasil pendataan tersebut ditemukan bahwa proporsi RTM yang paling banyak dijumpai di Kabupaten Karangasem, disusul oleh Buleleng di tempat kedua, Bangli di tempat ketiga, dan Klungkung menduduki tempat keempat. Tingginya proporsi RTM di daerah-

daerah yang dikemukakan di atas, terutama disebabkan oleh sebagian wilayahnya tergolong daerah yang kritis tandus, sehingga sulit diusahakan sebagai daerah pertanian. Daerah-daerah yang disebutkan di atas secara potensial dapat dijadikan sebagai sumber transmigran. Apabila mereka berasal dari petani kemudian dikirim menjadi transmigran petani tentu saja tidak memerlukan banyak penyesuaian. Akan tetapi jika yang diminta adalah tenaga yang memiliki keahlian di bidang industri, tentu saja diperlukan pelatihan agar mereka betul-betul ahli dan familiar dalam mengoperasikan alat-alat industri.

Namun demikian, menurut Ananta (1986), segigih atau seterampil apa pun calon transmigran tersebut, mereka tidak akan mampu membuka daerah baru tanpa bantuan pemerintah. Tugas pemerintah adalah membangun prasarana yang memadai termasuk angkutan umum, kesehatan, dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Juga termasuk kemungkinan menjual hasil pertanian mereka bila hasilnya melampaui kebutuhan subsisten. Hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat seseorang tidak akan puas hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten saja, apalagi mereka tahu bahwa penduduk yang dipindah itu bermutu tinggi. Mereka akan dapat mendorong pembangunan di daerah baru, jika mereka berhasil menjual hasil pertanian mereka. Dalam kaitannya dengan sarana penjualan, pemerintah dapat memberikan beberapa kemudahan pada swasta untuk membuka jaringan perdagangan di daerah transmigrasi.

Transmigrasi dan Pembangunan Daerah

Reorientasi transmigrasi dalam pembangunan berbasis wilayah sebetulnya memposisikan kembali hakekat daripada pembangunan transmigrasi adalah pembangunan daerah melalui pembangunan pedesaan baru. Menurut Yudohusodo (1998) ada empat sasaran utama pembangunan pemukiman transmigrasi, yaitu :

Pertama : Membangun desa-desa baru melalui pembangunan unit-unit pemukiman transmigrasi yang terintegrasi dalam satuan kawasan pembangunan (SKP) dan wilayah Pengembangan Parsial (WPP).

Kedua : Membangun hinterland dari pusat-pusat pertumbuhan yang ada melalui pembangunan unitunit permukiman transmigrasi dengan pusat-pusat pertumbuhan tersebut.

Ketiga : Mendorong pertumbuhan desa-desa yang kurang berkembang melalui penambahan penduduk dan pembangunan prasarana, yang disebut Transmigrasi Swakarsa Pemgembangan Desa Potensial (Transabangdep)

Keempat : Membangun masyarakat transmigrasi dan penduduk di sekitarnya melalui pemgembangan keswasembadaan masyarakat, agar pada saat pembinaan UPT diserahkan kepada pemerintah daerah, masyarakat telah mandiri.

Yudohusodo (1998) juga mengakui bahwa penyelenggaraan program transmigrasi menghadapi

banyak kendala yang berpotensi menimbulkan baik masalah baru maupun yang dapat menimbulkan kerawanan dan kegagalan yang dapat mendatangkan risiko tidak kecil. Selanjutnya disebutkan pula bahwa ada tiga kendala utama dalam penyelenggaraan program transmigrasi, yaitu (1) kendala struktural, berupa lemahnya organisasi, sumber daya aparat; dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan integrasi dan sinkronisasi, baik dengan program-program sektor lain, maupun dengan instansi lain yang terkait; (2) kendala substansial yang berkaitan dengan kebutuhan agar pembangunan transmigrasi ikut memantapkan pembangunan nasional meskipun anggarannya terbatas; dan (3) kendala teknis operasional, yang disebabkan oleh kompleksnya masalah pembangunan transmigrasi. Kompleksitas masalah teknis operasional memunculkan permasalahan baru, antara lain: kekurangtepatan pemilihan lokasi, ketidaktepatan dalam studi kelayakan, kekurangsesuaian penataan ruang dan pola usaha, kekurangterpaduan program antar sektor dan antar kegiatan pembangunan.

Hasil penelitian Dwiyanto dkk (2003) menemukan bahwa penyelenggaraan transmigrasi pada era otonomi daerah telah menimbulkan berbagai macam konflik; seperti konflik antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah, konflik antarmasyarakat, dan konflik antardaerah. Latar belakang munculnya konflik di atas antara lain karena (1) persoalan sosial seperti perselisihan antarwarga; (2) persoalan politik, konflik antara kepala daerah dengan DPRD konflik antarinstansi; konflik antarpendukung partai politik; dan (3) persoalan ekonomi, seperti sengketa tanah, perselisihan pengelolaan sumber daya alam, dan konflik perburuhan.

Apabila ditelusuri kembali temuan-temuan di atas, sebagian besar konflik terjadi karena persoalan ekonomi, sebab secara umum penyebab terjadinya perpindahan penduduk adalah karena persoalan ekonomi, seperti terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah. Penduduk akan berpindah dari wilayah yang memiliki kefaedahan ekonomi lebih rendah menuju daerah dengan kefaedahan ekonomi lebih tinggi. Selain persoalan ekonomi, konflik juga sering terjadi antara warga pendatang dengan penduduk asli. Konflik dilatarbelakangi kesenjangan ekonomi, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial yang mengarah pada konflik antaretnis, seperti yang terjadi di Sampit.

Untuk mengatasi munculnya berbagai kemungkinan konflik seperti dipaparkan di atas maka dalam pelaksanaan transmigrasi yang mendahulukan pencermatan atas kondisi obyektif daerah tujuan, yaitu pola yang berorientasi pada pembangunan daerah (kepentingan daerah), yang disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan (demand) dari daerah tujuan yang akan dibangun. Dengan demikian sejak awal perencanaan sudah dimulai dengan pendekatan dari bawah (bottom-up), yaitu pendekatan berdasarkan demand di daerah tujuan, kemudian baru mencari

calon transmigran dengan karakter yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.

Kebijakan transmigrasi yang berorientasi pada pembangunan daerah pada hakekatnya akan menempatkan kepentingan-kepentingan nasional di dalam perspektif dan kepentingan-kepentingan daerah, yang dengan otonomi kuat pada daerah maka beberapa langkah kebijakan bermuara pada terbentuknya situasi yang kondusif bagi hubungan transmigran dengan penduduk lokal dapat segera dilakukan pemerintah daerah.

Pertama: mengontrol arus masuk transmigran dalam jumlah karakter sosial ekonomi budayanya, sebab arus masuk yang melampaui batas ambang daya dukung sosial daerah akan menjadi potensi konflik terhadap hubungan transmigran dengan penduduk setempat. Jumlah yang besar akan mengancam dominasi penduduk setempat di berbagai sektor kehidupan, sehingga akan mengundang reaksi negatif terhadap proses integrasi. Dengan demikian, kontrol terhadap arus migrasi masuk adalah berdasarkan preferensi kebutuhan-kebutuhan obyektif di pasar kerja untuk pengembangan daerah.

Kedua: Bmelakukan pengelompokan-pengelompokan transmigran yang terpadu dari berbagai kelompok etnis serta mempersiapkan sejumlah transmigran terampil fungsional dalam setiap kelompok atau lokasi transmigrasi. Di samping untuk mendorong proses diferensiasi, sistem pengelompokan yang terpadu ini dimaksudkan untuk memperkecil timbulnya entitas etnik di lokasi transmigrasi dan mendorong mereka untuk beradaptasi dengan penduduk setempat sebagai mayoritas. Dalam konteks ini, keterpaduan etnik di lokasi perlu melibatkan etnik penduduk setempat sebagai transmigran lokal dalam proporsi yang lebih besar (sekitar 30%), di samping memperbesar dorongan beradaptasi juga untuk mengurangi rasa kecemburuan penduduk lokal terhadap pelaksanaan transmigransi yang terbukti ikut membentuk situasi sosial yang kondusif.

Ketiga: merencanakan pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, selokan, irigasi, puskesmas, lapangan olah raga, dan lain-lain) yang berdimensi pembangunan daerah, tidak eksklusif untuk lokasi transmigrasi tertentu. Di samping untuk mengurangi kecemburuan dari penduduk lokal, pembangunan infrastruktur yang menjauhi eksklusifitas bertujuan agar setiap sarana dan prasarana yang dibangun dapat berperan sebagai media integrasi antara transmigran dengan penduduk setempat

PENUTUP

Bertolak dari uraian pada bagian pembahasan dapat dikemukakan beberapa hal penting sebagai berikut:

  • 1.    Program transmigrasi yang ada sekarang ini sebetulnya sudah dimulai pada tahun 1905 oleh pemerintahan kolonial Belanda, dan lebih dikenal dengan sebutan kolonisasi.

  • 2.    Setelah Pulau Jawa, Provinsi Bali juga dikenal

sebagai daerah pengirim calon transmigran sejak tahun 1950-an, dan sampai kini pun masih tetap merupakan sumber transmigran potensial, mengingat masih banyaknya jumlah RTM seperti dijumpai di Kabupaten Karangasem, Buleleng, Bangli, dan Klungkung.

  • 3.    Untuk menghapus kesan bahwa program transmigrasi bersifat demografis sentris, maka program transmigrasi bukan sekedar memindahkan penduduk dari daerah yang padat menuju daerah yang jarang penduduk; melainkan lebih ditekankan pada perannya dalam pembangunan daerah.

  • 4.    Kaitan antara program transmigrasi dengan pembangunan daerah secara eksplisit dimuat dalam Undang-Undang RI No.15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian, khususnya pada Pasal 1, Pasal 3, dan Pasal 4.

  • 5.    Orientasi program transmigrasi ke dalam pembangunan daerah memiliki empat sasaran yaitu (a) membangun desa-desa baru melalui pembangunan unit-unit permukiman transmigrasi yang terintegrasi dalam satu kawasan pembangunan; (b) membangun hinterland dari pusat-pusat pertumbuhan yang ada melalui pembangunan unit-unit permukiman transmigrasi dengan pusat-pusat pertumbuhan tersebut; (c) mendorong pertumbuhan desa-desa yang kurang berkembang melalui penambahan penduduk dan pembangunan prasarana; dan (d) membangun masyarakat transmigrasi dan penduduk di sekitarnya melalui pengembangan keswasembadaan masyarakat.

  • 6.    Kebijakan transmigrasi yang berorientasi pada pembangunan daerah pada hakekatnya akan menempatkan kepentingan-kepentingan nasional di dalam perspektif dan kepentingan-kepentingan daerah dengan otonomi yang kuat di daerah, maka ada tiga langkah kebijakan yang harus dikerjakan, yaitu (1) mengontrol arus masuk transmigran dalam jumlah karakter sosial ekonomi dan budayanya, agar tidak melampaui ambang batas daya dukung sosial yang dapat menjadi potensi konflik antara tansmigran dengan pendududuk setempat; (2) melakukan pengelompokan-pengelompokan transmigran yang terpadu dari berbagai kelompok etnis serta mempersiapkan sejumlah transmigran terampil fungsional dalam setiap kelompok dan lokasi transmigrasi, serta mendorong mereka untuk beradaptasi dengan penduduk setempat; dan (3) merencanakan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, irigasi, puskesmas, lapangan olah raga, dan lain-lain yang tidak terkesan eksklusif uutuk lokasi transmigrasi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Ananta, Aris. 1986. ”Transmigrasi: Suatu Analisis Ekonomi”, dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (Editor), Transmigrasi di Indonesia 1905-1985: 254-264.

Dwiyanto, Agus; Riza Noer Arfani; Agus Heruanto Hadna; Beva-ola Kusumasari; Amelia Maika; Mohammad Nuh; Setiadi; Sukamdi; Bambang Wicaksono; dan Mohammad Yusuf. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Heeren, H.J. 1979. Transmigrasi di Indonesia (terjemahan oleh Hans Daeng dan Willie Koen). Jakarta: PT Gramedia.

Sudibia, I Ketut. 2012. Pekerja Migran Nonpermanen di Sektor Pertanian di Kabupaten Tabanan, Bali. Denpasar: Udayana University Press.

Sudibia, I Ketut; I Nyoman Dayuh Rimbawan; Ida Bagus Ad-nyana. 2012. Laporan Penelitian Pola Migrasi dan Karakteristik Migran Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 di Provinsi Bali. Kerjasama BKKBN Pusat Jakarta dengan Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Universitas Udayana Denpasar.

Suparno, Erman. 2007. Paradigma Baru Transmigrasi Menuju Kemakmuran Rakyat. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Swasono, Sri-Edi. 1986. ”Reorientasi dalam Transmigrasi: Merencanakan Keunggulan Komparatif”, dalam Sri-Edi Swa-sono dan Masri Singarimbun (Editor), Transmigrasi di Indonesia 1905-1985: 362-369.

Yudohusodo, Siswono. 1998. Transmigrasi: Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: PT Jurnalindo Aksara Grafika.

56

PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia