PIRAMIDA Vol. IX No. 1 : 34- 43

ISSN : 1907-3275

KEBERDAYAAN INDUSTRI KERAJINAN RUMAH TANGGA UNTUK PENGENTASAN KEMISKINAN DI PROVINSI BALI (Ditinjau dari Aspek Modal Sosial dan Peran Lembaga Adat).

Ni Nyoman Yuliarmi, A.A.I.N Marhaeni,

I. A. N. Saskara, Sudarsana Arka, Ni L. P. Wiagustini

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

Email: [email protected]

ABSTRACT

The aims of this research determine : 1) the effect of social capital on the level ofempowerment of the householdhandicraft industryin the province ofBali, 2) the effect of social capital on social, cultural and custom financial institutions roles to empower householdhandicraft industryin the province ofBali,3) the effect oftraditionalviews ofthe role ofinstitutionsof social, cultural, and financialempowermentforhouseholdhandicraft industryin the province ofBali.

Locationswere selected5 districtsby the numberof poor families(Keluarga Sejahtera Satu) (BKKBN 2012)has the mosthouseholdhandicraftindustrial unitsnamely:Karangasem, Bangli, Klungkung, TabananandGianyar regency. The number ofsamplestakenas many as 100units. Datawere collectedby interview, using alist of questionsprepared. The analysis techniqueused isStructural Equation Modeling(SEM) approachPartialLeast Square(PLS).

The research results showed that: 1) Social capital is not proven able to affect household handicraft industryin the province ofBali 2) Social capital positively affect the role of social, cultural and custom financial institutions to empower household handicraft industryin the province ofBali 3) The role of social, cultural and custom financial institutions positively affect household handicraft industry empowerment in the province ofBali.

Keywords: traditional institutions, social capital,empowerment, poverty

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Program pengentasan kemiskinan dewasa ini telah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui peran instansi terkait, namun jumlah masyarakat miskin belum dapat dihapuskan seratus persen. Hal ini ditunjukkan bahwa jumlah masyarakat yang masih tergolong kurang mampu tetap ada pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Bali. Upaya-upaya peningkatan peran masyarakat yang kurang mampu ke depan dapat lebih difokuskan ke arah pengembangan aset ekonomi produktif bagi kaum miskin. Untuk meningkatkan pengembangan asset ekonomi produktif tersebut dapat dilakukan dengan cara memberi bantuan kepada masyarakat miskin yang memiliki usaha kerajinan dengan semangat kewirausahaan tinggi. Bantuan tersebut dapat diupayakan dengan memberi modal dalam bentuk modal secara fisik, modal manusia dalam bentuk keterampilan dan pelatihan untuk berusaha, maupun meningkatkan peran modal sosial untuk menghasilkan barang kerajinan.

Hasil produksi industri kecil dan menengah termasuk industri kerajian rumah tangga di Provinsi Bali belum sepenuhnya mampu meningkatkan daya saing. Ini terbukti dari perkembangan produktivitas rata-rata selama lima

tahun sangat berfluktuasi dan cenderung menurun. Data 2003-2007 menunjukkan perkembangan produktivitas yang menurun, dengan tingkat penurunan rata-rata sebesar 2,03 persen per tahun. Walaupun periode tiga tahun berikutnya 2008-2010 berangsur-angsur telah terjadi peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 21,98 persen per tahun (Disperindag Provinsi Bali, 2010), namun belum bisa disimpulkan telah terjadi peningkatan kemandirian industri kerajinan di Provinsi Bali (Yuliarmi, 2011).

Di samping pentingnya meningkatkan peranan modal ekonomi/keuangan dan modal manusia sebagai faktor produksi untuk meningkatkan produktivitas usaha kerajinan yang dihasilkan, maka keberadaan modal sosial tidak kalah penting untuk diperhatikan. Ketersediaan sumber daya keuangan baik perbankan milik pemerintah, swasta maupun milik lemdaga adat sesungguhnya banyak dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri kecil rumah tangga di Provinsi Bali. Namun untuk mengakses semua fasilitas tersebut sangat susah dilakukan, oleh karena ketidakberdayaan dalam memenuhi segala persyararatan yang harus dipenuhi untuk mengakses sumber daya permodalan yang tersedia. Lemahnya keberdayaan masyarakat miskin dalam mengakses sumberdaya keuangan untuk meningkatkan usaha yang dilakukan juga

ditemukan pada penelitian Cristiawan dan Hidup (2010). Dalam pemenuhan permodalan dari aktivitas usaha yang dilakukan khususnya dalam upaya mendapatkan kredit usaha kecil bagi rumah tangga miskin masih sangat rendah. Hal ini berdampak pada kelemahan mereka untuk meningkatkan keberdayaan usaha yang dilakukan. Dengan melihat kelemahan pelaku usaha kecil bagi rumah tangga miskin ini diperlukan peran lebih riil dari pemerintah melalui institusi terkait yang dapat dilakukan dengan memberikan kredit tanpa agunan agar dapat meningkatkan keberdayaan usaha tersebut.

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai local genius milik desa pakraman memiliki peran yang sangat strategis dalam penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan fungsi sosialnya. Peningkatan fungsi sosial ini tidak saja dapat menguatkan tujuan LPD, yaitu peningkatan kesejahteraan anggota, tetapi juga meningkatkan komitmen dan kebersamaan para anggota terhadap LPD dan antar anggota (Murjana Yasa, 2009). Dengan kebersamaan yang dibangun diantara anggota masyarakat yang tergabung sebagai anggota LPD, maka akan mempercepat proses pemberdayaan masyarakat pada umumnya dan keberdayaan industri kerajinan rumah tangga pada khususnya yang berada pada lingkungan desa adat tersebut.

Perlu dilakukan suatu langkah-langkah kebijakan yang ditempuh, melalui peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan, salah satunya adalah dengan penguatan peran kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan serta pengembangan kemampuan dan kemandirian masyarakat perdesaan dalam pengelolaan pembangunan. Meningkatnya peran dan hubungan antar satu kelompok dengan lainya di lingkungan desa adat berdasarkan atas jalinan saling percaya dapat menciptakan munculnya modal sosial.

Modal sosial, di samping modal ekonomi/keuangan, dan modal manusia, juga sangat penting untuk meningkatkan produktivitas. Norma melalui tradisi sejarah yang terbangun dari tata cara dan perilaku seseorang atau suatu kelompok masyarakat akan muncul modal sosial yang kuat dan dapat mengatur kepentingan pribadi maupun kelompok. Norma-norma ini secara informal dapat mengatur hubungan antar satu individu dengan individu lainnya atau kelompok sehingga menimbulkan kepercayaan diantara sesamanya. Secara kriteria ekonomis atas dasar kepercayaan maka suatu kegiatan ekonomi dapat berlangsung secara produktif, efisien dan ekonomis. Coleman (1998) menyebutkan bahwa modal sosial sebagai faktor produksi memainkan peran yang sangat penting, oleh karena keberadaannya mampu meningkatkan produktivitas usaha dan efisiensi.

Kemiskinan di perdesaan terindikasi dari kurang berdayanya masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih layak, rendahnya kemampuan untuk mengakses modal usaha, dan masih rendahnya tingkat produktivitas

usaha yang dilakukan. Ketidakberdayaan masyarakat miskin tidak saja ditunjuklan oleh indiksasi seperti itu, namun bisa saja terindikasi dari kurang berperannya modal sosial dan rendahnya peran kelembagaan. Zuhriah (2012), menyatakan bahwa rendahnya dukungan kelembagaan terhadap sektor usaha kecil dan industri rumah tangga tercermin dari keseriusan dukungan yang diberikan berbagai pihak untuk secara bersama-sama mengembangkan sektor usaha kecil sebagai sektor usaha riil yang mampu menggerakkan ekonomi rakyat diyakini mampu memberi manfaat kepada semua pihak dan mampu mengatasi berbagai masalah sosial ekonomi yang terus menggelayuti masyarakat selama ini yakni kemiskinan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan pada fakta yang telah diuraikan pada latar belakang tersebut dimunculkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap tingkat keberdayaan industri kerajinan rumah tangga di Provinsi Bali? 2) Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap peran lembaga adat untuk keberdayaan industri kerajinan rumah tangga di Provinsi Bali? 3) Bagaimana pengaruh lembaga adat dilihat dari peran sosial, budaya, dan keuangan terhadap keberdayaan industri kerajinan rumah tangga di Provinsi Bali?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada uraian tersebut, maka tujuan penelitian sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan adalah untuk mengetahui dan menganalisis: 1) pengaruh modal sosial terhadap tingkat keberdayaan industri kerajinan rumah tangga di Provinsi Bali. 2) pengaruh modal sosial terhadap peran lembaga adat untuk keberdayaan industri kerajinan rumah tangga di Provinsi Bali. 3) pengaruh lembaga adat dilihat dari peran sosial, budaya, dan keuangan terhadap keberdayaan industri kerajinan rumah tangga di Provinsi Bali.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang teori kelembagaan khususnya tentang modal sosial, maupun peran lembaga tradisional atau lembaga sosial kemasyarakatan (lembaga adat) terhadap keberdayaan dari industri kerajinan rumah tangga khusnya di Provinsi Bali. Modal sosial yang kuat dapat mencerminkan tingkat kepercayan suatu kelompok apabila melakukan suatu transaksi dengan kelompok lain. Modal sosial yang kuat dapat dijadikan sebagai suatu dasar kepercayaan untuk melakukan suatu transaksi yang berkelanjutan. Modal sosial yang kuat dan realisasi dari peran lembaga adat dapat meningkatkan proses pembangunan suatu daerah.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep kelembagaan

Kelahiran Ekonomi Kelembagaan ditujukan untuk mengoreksi madzhab neoklasik yang selalu mengesampingkan masalah kelembagaan atau institusi dalam analisisnya. Institusi mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan, namun pengertian dari institusi itu sendiri sebenarnya masih belum jelas. Menurut Yustika (2008), pendefinisian dapat dipandang sebagai suatu proses dan tujuan. Sebagai suatu proses, maka kelembagaan merujuk pada upaya untuk mendesain pola interaksi antar pelaku ekonomi sehingga mereka mampu melakukan kegiatan transaksi. Jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagaan berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasarkan struktur kekuatan ekonomi, politik, dan sosial antar pelakunya.

Kelembagaan (institutions) didefinisikan secara umum sebagai suatu perangkat formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan sebagainya) dan informal (norma, tradisi, kebiasaan, sistem nilai, agama, kecenderungan sosiologis, dan sebagainya), serta kaidah-kaidah tata-krama yang memfasilitasi koordinasi atau pengaturan relasi antar individu atau kelompok. Lembaga-lembaga yang dimaksud lebih memberi kepastian di dalam interaksi manusia, dan memiliki pengaruh pada perilaku dan karenanya pada keluaran-keluaran seperti kinerja ekonomi, efisiensi, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi (Kherallah & Kirsten, 2001: 3-4 dalam Mit Witjaksono (2010: 268).

Berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) North (1990) dalam Aceng (2012), membagi kelembagaan menjadi dua: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatn yang berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal.

North, Schmid (1972) dalam Aceng (2012) mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.Mayoritas dari studi kualitatif dan kuantitatif terkait dengan peranan kelembagaan/institusi dalam proses pembangunan menemukan sebuah korelasi positif kuat antara kualitas dengan kinerja institusi pada satu sisi dan hasil pembangunan pada sisi yang lain.

Konsep Budaya dan Fenomena Ekonomi

Budaya adalah sebuah konsep dinamis yang dipahami hampir setiap orang pada beberapa level. Seluruh penulis setuju bahwa budaya harus ada sebagai fungsi dari alat-alat kognitif. Ini menunjukkan bahwa ada elemen-elemen budaya ideal, di mana bermacam-macam dari elemen tersebut menunjukkan nilai, sikap, kepercayaan atau kadang-kadang merupakan suatu norma (Hale 2000, Zohar 1980 dalam Brooks, 2008). Budaya memiliki banyak makna, namun secara sederhana budaya dapat dikatakan sebagai pandangan hidup masyarakat, atau sebagai system simbul dan nilai yang berlaku di masyarakat. Meskipun budaya merupakan bagian dari institusi tetapi para ekonom kelembagaan sering mengesampingkan persoalan budaya, termasuk new institutional economics, sekalipun. Memang bagi ekonom pada umumnya apapun alirannya, sangat tidak tertarik untuk membahas peranan budaya dalam ekonomi. Mereka mengasumsikan budaya sebagai variable yang konstan. Dalam realitas banyak kebijakan yang gagal diwujudkan karena diadopsi dari tempat lain yang berbeda budayanya (Ismail, 2003).

Budaya yang menghargai tinggi bekerja dan menghargai rendah menganggur, selalu menghasilkan semangat kerja yang sangat tinggi sehingga orang itu memiliki keunggulan lebih dibandingkan orang lain. Orang juga bisa memiliki sifat jujur dan dapat dipercaya. Jujur serta menghargai tinggi bekerja bukan aspek ekonomi, tetapi persoalan yang terkait dengan pandangan hidup. Jadi pandangan hidup yang dimiliki seseorang melahirkan nilai ekonomi yang bisa digunakan sebagai modal untuk melakukan kegiatan ekonomi (Leksono, 2009). Bekerja bila dikaitkan dengan suatu keyakinan dari agama yang dianut masyarakat dapat mencerminkan suatu korban suci yang tulus iklas, wajib dilakukan tanpa memperhitungkan pamerih atau hasil yang akan diperoleh. Bila bekerja didasarkan pada ketulusan hati bagi mereka yang malakukan maka dapat meningkatkan kepuasan batin dari pelakunya oleh karena dilaksanakan dengan tulus iklas. Perilaku masyarakat seperti ini dapat meningkatkan semangat untuk bekerja dengan giat yang pada akhirnya akan mendapatkan nilai ekonomi lebih tinggi (Yuliarmi, 2011). Walaupun bekerja dimaknai sebagai suatu aktivitas yang dilakukan tanpa pamerih, namun pada akhinya kegiatan bekerja itu pasti akan mendapatkan hasil. Konsep bekerja seperti ini dapat melahirkan budaya kerja yang menjunjung tinggi norma, kejujuran, rajin, dan iklas.

Budaya lokal dianggap sebagai penghambat besar pertumbuhan ekonomi karena nilainya bertentangan dengan rasionalitas ekonomi kapitalis. Namun demikian, dari sisi yang lain budaya dapat menjadi kunci keberhasilan sebuah organisasi ekonomi. Kasus ini terjadi pada lembaga keuangan tradisional di Bali. Penelitian Wibisana dkk sebagaimana yang dijelaskan Ismail (2003), membuktikan dengan tegas ada perbedaan kinerja keuangan antara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) modern dengan BPR

tradisional. Dilihat dari indikator manapun, LPD (BPR tradisional) memiliki kinerja keuangan yang jauh lebih baik dari pada BPR modern. Walaupun hal ini merupakan suatu fenomena yang berlaku tidak umum, namun temuan penelitian itu merupakan hasil yang sangat mengagetkan yaitu lembaga keuangan tradisional memiliki kinerja yang jauh lebih baik.

Konsep Organisasi Sosial Masyarakat

Organisasi sosial masyarakat pada umumnya mengacu kepada masyarakat geografis lokal, umumnya tetangga. Seperti didefinisikan oleh Sampson (1999)dalam Voydanoff (2001), bahwa organisasi sosial masyarakat mengacu kepada ‘kemampuan struktur masyarakat untuk merealisasikan nilai umum dari penduduknya dan mempertahankan kontrol sosial yang efektif’. Ini membutuhkan aplikasi kumpulan sumber daya masyarakat untuk merealisasikan keunggulan kolektif melalui aktivitas interlocking dari sekumpulan jaringan formal dan informal, institusi, dan organisasi secara lokal. Konseptualisasi dan penggunaan organisasi sosial masyarakat dapat dibandingkan dengan organisasi sosial dalam keluarga dan pekerjaan. Organisasi sosial mengacu kepada pola dan fungsi interaksi di antara individual dan kelompok serta hubungan struktural di antara individual dan kelompok dalam posisi berbeda.

Peran Lembaga Keuangan Mikro

Peranan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sampai saat ini dirasakan sangat bermanfaat dalam upaya pertahanan diri khususnya bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dalam upaya untuk menyediakan sumber daya finansial disaat perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya. Lembaga keuangan mikro dirasakan sudah lama berperan sebagai sarana yang efektif dalam upaya untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil (Syahyuti, 2002).

Nilai-nilai keanggotaan LKM memberikan manfaat bagi para anggotanya dalam menjalani suatu kehidupan yang memungkinkan terciptanya kerjasama. Keberhasilan LKM tentunya tidak terlepas dari konsep pemberdayaan kelompok, melalui suatu sistem kelembagaan yang efektif, sehingga terjalin suatu nilai solidaritas yang tinggi dari tiap unsur yang terlibat dalam kelembagaan tersebut. Solidaritas kelompok terbukti berhasil membangun ikatan kerjasama usaha yang memberikan nilai tambah bagi semua anggotanya. Di tempat-tempat kehidupan masyarakat miskin saling terkait satu sama lain, disinilah akan terbangun sinergi sosial capital (Slamet Subandi, 2007).

Konsep Modal Sosial

Coleman (1988), mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya. Modal sosial merupakan entitas majemuk yang mencakup beberapa aspek dari struktur

sosial, dan memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku baik individu maupun perusahaan di dalam struktur tersebut. Dari perspektif ini sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yaitu membuat pencapaian tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis. Sama seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak sepenuhnya dapat dijelaskan tetapi spesifik pada aktivitas tertentu. Modal sosial terdiri dari beragam kewajiban, harapan, norma dan kepercayaan yang terdapat dalam hubungan antara anggota masyarakat. Kalau modal fisik bisa dianggap sebagai peralatan dan pelatihan yang bisa meningkatkan produktivitas perorangan, namun modal sosial merupakan suatu kelembagaan masyarakat seperti jaringan kerja, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama bagi kepentingan bersama.

Modal sosial adalah informasi, kepercayaan, dan norma dari timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial (Woolcock 1998, dalam Voydanoff 2001). Modal sosial mengacu kepada ciri-ciri organisasi sosial seperti jaringan, norma, dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan. Modal sosial juga menambahkan elemen-elemen subyektif, proses budaya seperti kepercayaan dan norma dari timbal balik yang memfasilitasi aksi sosial.

Keberadaan modal sosial tidak saja berkontribusi dan terbangun pada suatu kelompok sosial kemasyarakat secara tradisional dari suatu lingkungan masyarakat perdesaan akan tetapi dapat juga berperan pada suatu industri modern. Seperti penelitian Mit Witjaksono (2010), dengan menggunakan proksi MBCA (Mutually Beneficial Collective Action) (Uphoff, 1999) keberadaan dan peran modal sosial semakin produktif dalam fase SILOW (Sentra Industri Logam Waru) Sinergi I dan II. Dengan demikian, secara umum keberadaan dan peran modal sosial dalam konteks dinamika perkembangan SILOW selama ini sudah memberi sumbangan signifikan, baik dalam perspektif komunitas SILOW, perspektif masing-masing perusahaan pelopor, maupun perpektif ASPILOW (Asosiasi Pengusaha Industri Logam Waru).

Solidaritas kelompok dan modal sosial merupakan modal awal untuk membangun kelompok miskin. Solidaritas dan modal sosial dapat dibentuk dari perasaan senasib, yang dapat dibangkitkan dengan pembentukan kelompok anggota, yang mempunyai kesamaan kemampuan usaha, latar belakang pendidikan dan tempat tinggal. Solidaritas kelompok karena adanya saling dukung, simpul mereka, membebaskan para peminjam dari hubungan ketergatungan dan tekanan kelompok itu sendiri kemudian menjadi dasar untuk membangun jaringan kerja yang lebih luas (Slamet Subandi, 2007).

Konsep Pemberdayaan

Konsep pemberdayaan (empowerment) muncul karena dua premis mayor, yakni kegagalan dan harapan.

Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menaggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sementara itu, harapan muncul karena adanya alternatif-alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Kegagalan dan harapan bukanlah alat ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu sosial, melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normatif dan moral. Kegagalan dan harapan akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Pada tingkat yang lebih luas, yang dirasakan adalah gejala kegagalan dan harapan. Dengan demikian, “pemberdayaan masyarakat”, pada hakekatnya adalah nilai kolektif pemberdayaan individual. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat tidak sebatas ekonomi, namun juga secara politis sehingga pada akhirnya masyarakat akan mempunyai posisi tawar baik secara nasional maupun internasional (Friedmann, 1992 dalam Cristiawan dan Hidup, 2010).

Konsep Kemiskinan

BPS menggunakan ukuran kemiskinan dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dalam pendekatan ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Hal ini sesuai dengan indikator kemiskinan absolut yang dijelaskan sebelumnya.

Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga ke dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang perbulan. Definisi menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan- pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan.

Menurut Todaro (2003), bahwa variasi kemiskinan di negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan

derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan ke lembagaan dalam negeri.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada industri kerajinan rumah rangga keluarga miskin yang tergolong Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) untuk mengentaskan kemiskinan di Provinsi Bali. Terpilihnya industri kerajinan sebagai objek penelitian karena industri kerajinan rumah tangga ini mampu menyerap tenaga kerja relatif besar. Di samping itu hasil produksi kerajinan rumah tangga ini merupakan produk yang digunakan untuk kepentingan adat, budaya, agama, dan juga digunakan sebagai penunjang pariwisata yang sebagian besar berorientasi ekspor.

Lokasi penelitian akan dipilih 5 kabupaten dengan jumlah KS 1 yang paling banyak(BKKBN, 2012). Berdasarkan pada pertimbangan tertentu maka dipilih 5 kabupaten yang memilki unit kerajinan rumah tangga yang paling banyakyaitu: Kabupaten Karangasem, Bangli, Klungkung, Tabanan, dan Gianyar.

Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah KS 1 yang ada pada kabupaten/kota di Provinsi Bali. Untuk menentukan kabupaten yang terpilih digunakan metode Purposive Sampling berdasarkan pada jumlah KS 1 terbanyak dari masing-masing kabupaten. Jumlah unit sampel yang akan dipilih mewakili populasi ini pada masing-masing kecamatan pada kabupaten terpilih dengan proporsi yang sama. Untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus Slo-vin (Simamora dalam Husain, 2008). Berdasarkan pada data jumlah KS 1 tahun 2012 berjumlah 100.074 orang, maka jumlah unit sampel sebanyak 100. Metode yang digunakan untuk menentukan sampel dari pengrajin KS 1 yang diwawancarai adalah acidental sampling.

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kombinasi beberapa metode (Jogiyanto, 2004) yaitu:metode wawancara baik terstruktur maupun secara mendalam. Wawancara terstruktur digunakan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara mendalam (indepth interview), yang digunakan untuk memperoleh data primer dari wakil beberapa responden pengrajin yang menjadi unit sampel.Penelitian ini menggunakan analisis statistik deskriptif, dan analisis Structural Equation Modeling, metode alternatif dengan pendekatan Partial Least Square (PLS) (Ghozali, 2008 dan Hair, 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

  • 1)    Persepsi Pengrajin Terhadap Peran Lembaga Adat

Persepsi pengrajin terhadap peran lembaga adat didekati dengan tiga Indikator dari peran sosial, budaya, dan keuangan. Setiap indikator tersebut diturunkan ke

dalam beberapa item pernyataan untuk melihat persepsi pengrajin terhadap pernyataan yang diajukan. Pengrajin mempersepsikan pernyataan yang diajukan dengan memilih salah satu pernyataan, dari skor sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju. Untuk memudahkan memaknai nilai skor yang dipilh oleh pengrajin maka skor dikelompokkan menjadi dua yaitu sangat tidak setuju sampai tidak setuju (skor < 3) kelompok 1, dan skor cukup setuju sampai sangat setuju (skor ≥ 3) kelompok 2. Distribusi frekuensi skor indikator variabel laten peran lembaga adat ditunjukkan seperti pada Tabel 1.

Persepsi pengrajin terhadap peran sosial lembaga adat terkait dengan aktivitas usaha yang dilakukan cukup baik, oleh karena sebagian besar pengrajin memberikan jawaban dengan skor ≥ 3, yaitu sekitar 83 persen, hanya sekitar 17 persen yang merespon kurang. Pengrajin merasakan peran LPD terkait dengan informasi tersebut sangat kurang. Persepsi pengrajin seperti ini dapat juga disebabkan oleh karena pengrajin selama berusaha tidak pernah berinteraksi dengan LPD, sehingga pengrajin tidak mengetahui ada tidaknya peran tersebut.

Sebagian besar pengrajin merasakan bahwa lembaga adat berperanan dalam upaya untuk mempertahankan dan melestarikan adat dan budaya melalui barang kerajinan yang dihasilkan. Sekitar 93 persen pengrajin mempersepsikan cukup setuju sampai dengan setuju (rerata 3,65), terhadap peran lembaga adat untuk tetap mempertahankan budaya Bali.

Distribusi frekuensi persepsi pengrajin terhadap skor indikator peran keuangan lembaga adat, sebagian besar pengrajin merespon dengan cukup baik, yaitu sekitar 71 persen (rerata 3,07). Hanya sebagian kecil saja, sekitar 29 persen, yang merespon kurang berperan terhadap usaha kerajinan yang dilakukan. Hal ini dapat disebabkan oleh karena pengrajin tidak pernah berinteraksi dengan LPD.

Tabel 1 Persepsi Pengrajin terhadap Peran Lembaga Adat

Indikator

Peran Lembaga Adat

Skor

Rerata

< 3

≥ 3

Peran sosial

17%

83%

3,14

Peran budaya

5%

95%

3,65

Peran Keuangan

29%

71%

3,07

Sumber: Data Hasil Pengolahan, 2012

  • 2)    Persepsi Pengrajin Terhadap Modal Sosial

Indikator variabel laten modal sosial dalam penelitian ini ada dua yaitu: norma dan kepercayaan. Masing-masing indikator didekati dengan masing-masing item pernyataan. Item pernyataan yang diajukan pada masing-masing indikator diharapkan mencerminkan variabel laten modal sosial yang diukur.

Persepsi pengrajin terhadap pernyataan yang diajukan dalam hal ini juga dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok 1 dengan skor < 3 dan kelompok 2 dengan skor ≥ 3. Distribusi frekuensi pengrajin terhadap norma, sebagai indikator variabel laten modal sosial didekati

dengan empat item pernyataan. Setelah dihitung ternyata seluruh pengajin (100%) memberikan respon cukup baik sampai dengan sangat baik dengan rerata 4,19 terhadap indikator tersebut. Peran modal sosial dari indikator norma yang dimiliki pengrajin mencerminkan perilaku yang baik. Pengrajin berkeyakinan bahwa kerja keras, kejujuran, perbuatan (karma) yang baik, dan lebih mengutamakan bahwa bekerja adalah proses dibandingkan dengan hasil dapat meningkatkan usaha kerajinan yang dilakukan.

Skor indikator kepercayaan, diukur dengan menggunakan empat item pernyataan. Dari keempat item pernyataan yang diajukan juga direspon baik oleh pengrajin dengan rerata 4,19. Pengrajin percaya bahwa menjunjung tinggi kepercayaan terhadap konsumen akan barang kerajinan yang dihasilkan yaitu menjaga kualitas, ketepan waktu dalam menyelesaikan barang dan tidak melanggar terhadap kesepakatan tersebut akan dapat menjaga kesinambungan dari usaha kerajinan yang dihasilkan. Distribusi frekuensi pengrajin terhadap indikator peran modal sosial ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Persepsi Pengrajin terhadap Aspek Modal Sosial

Indikator Variabel Laten Modal Sosial

Skor

Rerata

< 3

≥ 3

Norma (X1.1)

0%

100%

4,19

Kepercayaan (X1.2)

0%

100%

4,19

Sumber: DataHasil Pengolahan, 2012

  • 3)    Persepsi Pengrajin Terhadap Keberdayaan Industri Kerajinan Rumah Tangga (IKRT)

Berdasarkan Tabel 3, ternyata pengajin merasa bahwa tingkat peghasilan yang diterimanya relatif rendah, ini ditunjukkan oleh sekitar 40 persen responden menjawab bahwa penghasilan yang diterima sebagai pengrajin adalah kurang. Hanya sekitar 23 persen merasakan bahwa penghasilan yang diterimanya dengan sangat memadai, ditunjukkan oleh nilai skor ≥ 4. Sedangkan untuk indikator lainnya sebagian besar pengrajin merespon cukup baik sampai dengan sangat baik. Sebagian besar pengrajin menyatakan bahwa berkecukupan untuk mendapatkan bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan brang kerajinan. Sebagian besar pengrajin menjawab bahwa bahan baku yang digunakan berasal dari lingkungan desanya yaitu sekitar 72 persen, dan sebagian kecil yaitu sekitar 28 persen menyatakan bahwa bahan baku yang digunakan diperoleh di kecamatan/kapupayrn lainnya.

Tabel 3 Persepsi Pengrajin terhadap KeberdayaanIKRT

Indikator Keberdayaan

Skor

Rerata

< 3

3

≥ 4

Cukup untuk mendapat Panghasilan (Y2.1)

40%

37%

23%

2,84

Cukup memperoleh bahan baku (Y2.2)

15%

50%

35%

3,21

Cukup untuk mengembangkan usaha (Y2.3)

8%

50%

42%

3,36

Cukup mampu untuk mengontrol usaha (Y2.4)

2%

40%

58%

3,62

Sumber: Data Hasil Pengolahan, 2012

  • 4)    Pengaruh Modal Sosial Terhadap Keberdayaan IKRT di Provinsi Bali

Menjawab tujuan penelitian yang pertama yaitu untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh modal sosial terhadap tingkat keberdayaan industri kerajinan rumah tangga di Provinsi Bali, dapat dilakukan dengan melihat hasil analisis path seperti pada Tabel 4. Modal sosial ternyata tidak berpengaruh signifikam terhadap keberdayaan IKRT. Hasil analisis menunjukkan bahwa, koefesien regresi sebesar 0,1488 mempunyai besaran t hitung 0,9526. Dengan menggunakan level of significant α = 5 persen maka t hitung jauh lebih kecil dari t tabel kritis 1,96. Walapun tandanya positif namun secara statistik tidak signifikan, artinya modal sosial berpengaruh tidak signifikan terhadap keberdayaan IKRT. Modal sosial sangat penting bagi pengrajin. Namun untuk dapat berdaya dalam melakukan kegiatan usaha yang dilakukan masih sangat memerlukan peran variabel lainnya.

Hubungan positif antara modal sosial dengan keberdayaan IKRTberarti ada kaitan yang saling mendukung antara persepsi terhadap indikator modal sosial dengan persepsi terhadap keberdayaan IKRT. Semakin tinggi persepsi yang diberikan untuk menilai indikator modal sosial maka semakin tinggi juga penilaian yang diberikan untuk menilai indikator keberdayaan IKRT, yang artinya semakin tinggi modal sosial pengrajin semakin tinggi keinginan mereka untuk mandiri. Modal sosial yang mengacu kepada ciri-ciri organisasi sosial yang meliputi, norma dan kepercayaan dapat memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan.

Tingginya modal sosial yang diaktualisasikan dengan elemen subyektif yang merupakan proses budaya seperti kepercayaan dan norma dapat meningkatkan aksi sosial yang diwujudkan dalam perilaku saling menghargai antar individu maupun kelompok dalam ikatan kegiatan usaha yang ada pada kelompok usahanya. Walaupun ikatan kekeluargaan yang mencerminkan perilaku saling menghargai dan menghormati antara sesama pengrajin telah terjalin dalam hubungan tersebut ternyata secara langsung belum mampu meningkatkan keberdayaan usaha yang dilakukan, oleh karena diperlukan ikatan sumber daya yang berasal dari pihak lain. Modal sosial dalam suatu masyarakat dapat diperkuat oleh sumber daya tertentu yang berasal dari luar. Modal sosial yang diukur dari indikator norma dan kepercayaan secara otomatis belum mampu meningkatkan keberdayaan IKRT di Provinsi Bali, karena masih sangat memerlukan dukungan sumber daya lain.

  • 5)    Pengaruh Modal Sosial terhadap Peran Lembaga Adat untuk

Keberdayaan IKRT

Menjawab tujuan penelitian nomor dua yaitu untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh modal sosial terhadap peran lembaga adat di Provinsi Bali dapat

ditunjukkan seperti Tabel 4. Ternyata secara statistik modal sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peran lembaga adat. Dengan melihat koefesien regresi sebesar 0,4500, dan besaran t hitung 5,2970, maka secara statistik sangat signifikan pada tingkat signifikansi 5 persen, oleh kareana nilai thitung berada di atas nilai t table kritis 1,96. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa modal sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peran lembaga adat di Provinsi Bali.

Norma sebagai indikator modal sosial mencerminkan perilaku yang baik secara normatif dari masyarakat pengrajin IKRTdi lingkungan usaha yang mendukung serta menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan kebenaran. Masyarakat mentaati dan mengikuti aturan adat yang tertuang dalam awig-awig desa adat, dengan berperilaku yang tidak bertentangan dengan kebiasan yang berlaku. Tidak berani untuk melanggar aturan yang telah disepakati bersama, karena terjadi pelanggaran dapat menimbulkan konflik terhadap kepentingan pribadi maupun kelompok atau keluarga.

Kepercayaan masyarakat terhadap pemuka adat pada lingkungan desa adat dalam mengemban tugas adat untuk mengayomi masyarakat agar mempertahankan kegiatan usaha kerajinan yang dilakukan, disamping untuk mempertahankan adat dan budaya juga dilakukan agar masyarakat menghargai hasil karya yang dihasilkan oleh kelompok pengrajin tersebut. Menghargai hasil seni adalah ketulusan seseorang secara iklas dapat mencerminkan tingginya modal sosial. Semakin tinggi perilaku yang santun maka semakin tinggi keinginan berkegiatan sosial untuk mendukung peran lembaga adat. Semakin tinggi modal sosial maka semakin tinggi keterlibatan pengrajin dalam proses pembangunan, oleh karena semakin tinggi kepercayaan terhadap LPD. Masyarakat pengrajin sangat menyadari bahwa bila ada keuntungan dari LPD yang ada di desa adat tersebut sebagian akan kembali ke masyarakat untuk meningkatkan pembangunan sehingga beban iuran pembangunan yang seharusnya merupakan beban masyarakat terasa semakin ringan.

Terjalinnya hubungan antar pengrajin pada lingkungan desa adat adalah cerminan dari modal sosial yang terjalin di antara pengrajin akan menguntungkan mereka dalam jangka panjang. Untuk masa depan semestinya terpelihara ikatan yang kuat antar pengrajin maupun dengan pihak lain. Ikatan secara kekeluargaan yang terjalin dengan baik secara berkesinambungan mencerminkan modal sosial yang kuat terjalin di antara mereka. Kuatnya modal sosial akan berdampak pada mampunya mereka mempertahankan adat dan budaya, tentu saja secara ekonomi menguntungkan keberlangsungan aktivitas usaha pengrajin.

Kepercayaan yang diberikan oleh pengelola LPD terhadap pengrajin IKRT yang telah melakukan transaksi keuangan secara berulang adalah tingginya modal sosial yang mempengaruhi peran keuangan lembaga adat

untuk meningkatkan keberdayaan IKRT. Lembaga adat merupakan kearifan lokal yang mempunyai hubungan historis sangat dekat dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada pengampu adat ini merupakan cerminan tingginya modal sosial yang diyakini mampu mempengaruhi peran lembaga adat untuk meningkatkan keberdayaan usaha yang ditekuni.

Saling percaya diantara para pengrajin, pembeli maupun pemasok bahan baku, dan dengan pengelola LPD sebagai penyedia layanan pendanaan dari lembaga adat, secara tradisional dilakukan berulang-ulang mengikuti kepercayaan tertentu juga mencerminkan tingginya modal sosial suatu kelompok atau individu. Walaupun tidak ada perjanjian tertulis sekalipun dalam melakukan transaksi yang dilakukan dan hanya berdasarkan pada kepercayaan, namun perjanjian diyakini tidak akan diingkari oleh masing-masing pihak, karena kepercayaan adanya hukum karma menurut keyakinan agama yang dianutnya. Ini dapat juga mencerminkan tingginya modal sosial.

  • 6)    Pengaruh Peran Lembaga Adat terhadap Keberdayaan IKRT

Manjawab tujuan penelitian nomor tiga yaitu untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh peran lembaga adat terhadap keberdayaan IKRT di Provinsi Bali yang ditunjukkan pada Tabel 4 juga menunjukkan nilai yang signifikan. Besar nilai koefesien regresi 0,4623 dengan nilai t hitung 3,9023, berada di atas nilai t hitung kritis 1,96 pada tingkat signifikansi 5 persen. Ini juga dapat dikatakan bahwa peran lembaga adat berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberdayaan IKRT di Provinsi Bali.

Peran sosial lembaga adat yang dimaknai sebagai suatu aktivitas sosial dapat menjiwai perilaku masyarakat pada umumnya dan pengrajin pada khususnya dalam melakukan aktivitas usaha. Apabila bekerja dengan tenang dalam lingkungan usaha pada desa adat yang menerapkan aturan dan keketatan awig-awig yang harus dipatuhi dapat menghindari terjadinya konflik. Keketatan awig-awig tidak dirasakan oleh pengrajin menghambat usaha yang dilakukan. Ketatnya awig-awig memang sewajarnya diterapkan karena dapat menjaga desa adat.

Memahami awig-awig atau aturan adat dan mempunyai perasaan takut untuk melanggar, sangat kental dirasakan krama, karena akan kena sangsi adat. Apabila peraturan yang telah disepakati bersama berjalan dengan baik akan menghindari adanya perselisihan antar krama, menghindari hubungan yang kurang baik sehingga lingkungan menjadi kondusif. Lingkungan yang kondusif ini tentu saja akan mengurangi stres dari pekerjaan.

Pengrajin menghasilkan barang kerajinan terkait dengan kegiatan adat dan budaya, maupun untuk kegiatan keagamaan. Dalam suatu bentuk fisik barang kerajinan yang dihasilkan selalu dikaitkan dengan upaya-upaya yang

dilakukan secara fisik untuk mempertahankan budaya. Oleh karena barang kerajinan yang dihasilkan berkaitan dengan kegiatan adat dan budaya, maka dengan mempertahankan kegiatan usaha untuk menghasilkan barang kerajinan tersebut berarti pengrajin telah melakukan aktivitas usaha untuk mempertahankan budaya. Lembaga desa pakraman, keberadaannya sangat mendukung dan mengayomi aktivitas krama di lingkungan adat, termasuk aktivitas pengrajin dalam menghasilkan barang kerajinan.

Keterlibatan pengrajin untuk menjalin hubungan dengan LPD karena adanya saling keterikatan, pengrajin memerlukan jasa layanan LPD, merupakan sinergi antara kepedulian lembaga adat terhadap krama maupun keterikatan krama dengan lembaga adat. Keuntungan yang diperoleh lembaga keuangan milik desa adat ini, sebagian akan kembali ke krama dalam bentuk bantuan fisik pembangunan maupun kegiatan keagamaan lainnya, tentu saja ini akan meringankan beban krama dalam pembangunan maupun aktivitas keagamaan. Oleh karena beban yang ditanggung oleh krama tersebut sebagian ditanggung oleh lembaga keuangan milik desa adat.

Konsep pemberdayaan, untuk meningkatkan harkat dan martabat, rasa percaya diri, memelihara tatanan nilai budaya pada lingkungan desa adat disamping mengembangkan dan menggali potensi usaha kecil dan menengah,juga terpeliharanya tatanan nilai budaya pada lingkungan desa adat. Semakin tinggi peran lembaga adat terhadap pelestarian budaya melalui barang hasil kerajinan maka semakin tinggi harkat dan martabat serta semakin percaya diri mempertahankan nilai budaya, dengan demikian masyarakat menjadi berdaya. Semakin tinggi peran sosial lembaga adat yang direspon dengan semakin tingginya perilaku sosial masyarakat sebagai pengrajin IKRT akan semakin berdaya menjaga lingkungan adat. Semakin tinggi peran budaya pengrajin maka akan semakin tinggi nilai tambah ekonomi, maka akan semakin berdaya mempertahankan kelangsungan hidup usaha kerajinannya.

Keterlibatan lembaga adat serta melibatkan masyarakat desa sebagai krama desa adat dalam proses pembangunan merupakan perwujudan nyata, betapa pentingnya memperhatikan potensi yang ada serta mempertahankan lingkungan adat dan budaya secara harmonis, karena merupakan kearifan lokal yang harus tetap dipertahankan. Ini mendukung penelitian yang telah dilakukan Imron et al. (2002), bahwa berperannya institusi lokal tradisional akan memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh institusi formal yang ada, yaitu berupa kedekatan dengan masyarakat tingkat bawah maka kepekaan terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat dirasakan, sehingga keberadaannya diyakini sangat menentukan keberhasilan sebuah pembangunan.

Tabel 4 Pengaruh Antar Variabel Laten

Pengaruh Antar Variabel

Original Sample (O)

Standard Deviation (STDEV)

Standard Error (STERR)

T Statistics (|O/STERR|)

LA -> Keberdayaan

0.462297

0.118467

0.118467

3.902337

MS -> Keberdayaan

0.148854

0.156256

0.156256

0.952630

MS -> LA

0.450001

0.084954

0.084954

5.296994

Sumber:Data Hasil Pengolahan, 2012

Keterangan: LA = Lembaga Adat, MS = Modal Sosial

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.1) Modal sosial belum dapat secara langsung memperkuat keberdayaan IKRT di Provinsi Bali. Tingginya modal sosial secara langsung belum dapat mengakibatkan tingginya keberdayaan IKRT. Jadi, modal sosial yang tinggi belum secara otomatis meningkatkan keberdayaan IKRT. Pengrajin untuk bisa berdaya ternyata tidak cukup hanya berbekal keyakinan tinggi dari modal sosial, tetapi tetap memerlukan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. Tingginya modal sosial pengrajin ternyata harus diperkuat oleh kemampuan secara terus-menerus dalam jangka panjang untuk melakukan interaksi dengan sumber modal lainnya sehingga dapat memperkuat kemandirian usaha kerajinan yang dilakukan. 2) Modal sosial dapat memperkuat peran peran sosial, budaya, dan keuangan dari lembaga adat untuk meningkatkan keberdayaan IKRT di Provinsi Bali. Kuatnya norma dan kepercayaan, yang merupakan indikator modal sosial, ternyata dapat memperkuat peran lembaga adat. Norma mencerminkan perilaku yang mendukung serta menjunjung tinggi nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Semakin tinggi tingkat kepercayaan pengrajin dengan setiap orang atau kelompok yang diajak berinteraksi dan saling mempercayai juga cerminan dari semakin tingginya modal sosial yang dapat mempengaruhi peran lembaga adat. Kepercayaan tinggi diberikan kepada pemuka adat dalam mengemban tugas adat mencerminkan tingginya modal sosial.3) Peran lembaga adat dilihat dari peran sosial, budaya, dan keuangan dapat meningkatkan keberdayaan IKRT di Provinsi Bali.Semakin berperannya lembaga adat dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang adat dan budaya, maka menunjukkan semakin berdayanya pelaku IKRT untuk menghasilkan barang kerajinan. Lembaga desa pakraman, keberadaannya sangat mendukung aktivitas krama di lingkungan adat, dalam menghasilkan barang kerajinan,oleh karena sebagian besar pengrajin menghasilkan barang kerajinan untuk kepentingan adat dan budaya serta untuk kegiatan keagamaan sekaligus sebagai penunjang sektor pariwisata.

Saran-Saran

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya maka disusunbeberapa saran sebagai berikut. 1) Pemerintah

melalui instansi terkait hendaknya memprioritaskan, memfasilitasi,dan memotivasi kelompok pengrajin yang masih kurang mampu untuk memberi pelatihan serta pendampingan dalam melaksanakan aktivitas usaha. 2) Hubungan baik antar pengrajin yang telah terjalin selama ini dapat dijadikan sebagai modal untuk medapatkan pembinaan secara berkesinambungan, mendapatkan informasi tentang adanya kredit tanpa anggunan untuk meningkatkan modal usaha bagi penggrajin yang memerlukan. 3) Mempertahankan hubungan baik dengan pengelola LPD agar diberikan keringan bunga atau perpanjangan pengembalian kredit apabila mendapatkan permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Aceng Hidayat, 2007. Modul Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Kelembagaan.DepartemenEkonomi Sumberdaya Dan LingkunganFakultas Ekonomi Dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB).

Bali dalam angka 2012. BPS Provinsi Bali.2012.

Brooks, Benjamin. 2008. The natural selection of organizational and safety culture within a small to medium sized enterprise (SME). Journal of Safety Research, volume 39, pp: 73-85.

Cahyat, Ade. 2004.“Bagaimana Kemiskinan Diukur? Beberapa Model Penghitungan Kemiskinan di Indonesia” Governance Brief, CIFOR, No. 2, Nop.

Christiawan Hendratmoko dan Hidup Marsudi. 2010. Analisis Tingkat Keberdayaan Sosial Ekonomi Nelayan Tangkap Di Kabupaten Cilacap. Dinamika Sosial Ekonomi Volume 6 Nomor 1 Edisi Mei 2010, PP: 1-17.

Coleman, James S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology, Vol.94, Supplement: Organizations and Institution: Sociological and Economic Approaches to the Analysis of Social Structure, pp. S95-S120.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. 2002.Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002 – 2004. Buku I Kebijakan dan Strategi Umum Pengembangan Industri Kecil Menengah.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali. 2009. Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah (PIKM) Bali. Laporan Kegiatan Akhir Tahun 2008.

Ghozali, Imam. 2008. Structural Equation Modeling: Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS), Badan Penerbit Undip, Edisi 2.Semarang,

Hair, J. F, William C Black, Barry J. Babin, Rolph E. Anderson. 2010. Multivariate Data Analysis, Seventh Edition. New Jersey. Person Prentice Hall.

Husain, Umar 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Gramedika Pustaka Jakarta.

Imron M Ali, H.R Riyadi Soeprapto, Suwondo. 2002. Peraran Institusi Lokal Dalam Pembangunan Desa (Studi Kajian Tentang Peran Lembaga Tahlil Dalam Pembangunan Desa di Desa Simorejo Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro), Publikasi Ilmiah, Program Studi Ilmu Administrasi Negara Kekhususan Administrasi Pembangunan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. http:// www. google.com.

Ismail, Munawar. 2003. Emansipasi Nilai Lokal, Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan, Banyumedia Publishing, Malang.

Jogiyanto, H,M. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah Dan Pengalaman-Pengalaman. BPFE Yogyakarta.


Khan, Nisar A and Saghir Ahmad Ansari. 2008. Application of New Institutional Economics to the Problems of Development: A Survey, Abstracts Journal of Social and Economic Developmen Vol 10 No 1, pp. 1-32.

Leksono, S. 2009. Runtuhnya Modal Sosial Pasar Tradisional. Perspektif Emic Kualitatif. Penerbit Percetakan CV Citra Malang.

Lembaga Adat. 2009. Desa Adat Kabupaten Gianyar. Bertenaga by KerSip Open Source. http:// www.google.com.

Menard, Claude and Mary M Shirly. 2005. Editor. Handbook of New Institutional Economics. Springer the Netherlands.

Mit Witjaksono. 2010. Modal Sosial Dalam Dinamika Perkembangan Sentra Industri Logam Waru Sidoarjo. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 11, No. 2, hlm.266-291.

Mulya, Eddy IGN. 2008. Inovasi Layanan LPD Desa Pekraman Denpasar. http:// www.google.com.

Murjana Yasa, IGW. 2009. Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Partisipasi Masyarakat di Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi dan Sosial (INPUT) FE Unud.

North, Douglass. C. 1998. Understanding Institutions. Editor by Menard Claude. 2000. Edward Eigar Publishing Limited.

Portes,Alejandro. 1998.Social Capital: Its Origins and Applications in Modern Sociology, Annu. Rev. Sociol. 1998. 24:1.24. Department of Sociology, Princeton University, Princeton, New Jersey 08540.

Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Provinsi Bali. 2012. Profil Pendataan Keluarga Tahun 2011 Provinsi Bali. Denpasar.

Setiawan, Hari Harjanto. 2007. Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Program SCOR dalam Mencegah Penyebaran HIV/ AIDS. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial12 (03): 23-32.

Sippola, Aulikki. 2007. Developing culturally diverse organizations- a participative and empowerment-based method.

Journal of Women in Management Review, volume 22 No. 4, pp: 253-273.

Slamet Subandi. 2007. Keberhasilan Dan Prospek Replikasi Konsep Grammen Bank Sebagai Lembaga Kredit Mikro. Disampaikan dalam acara diskusi pemberdayaan Koperasi dan UKM pada Kalangan Penelti, pejabat struktural di lingkungan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dan Instansi terkait pada hari Jumat tanggal 3 Agustus 2007. www.smecda.com/deputi7/file_makalah/01_10_Sla-met-LP1.pdf. Diunduh tanggal 10 Desember 2012.

Syahyuti. 2002. Berbagai Pola Penanggulang Kemiskinan di Indonesia. Sarasehan Nasional”Micro Finance dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan” IPB Bogor.http:// www. google.com.

Todaro, Michael P, Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. (Jilid 1 dan 2, Terjemahan Haris Munandar). Jakarta: Erlangga.

Voydanoff, Patricia. 2001. Conceptualizing community in the context of work and family. Community, Work and Family, volume 4, no. 2.

Yuliarmi, Ni Nyoman. Peran Pemerintah, Lembaga Adat Dan Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Industri Kecil Dan Menengah (Studi Pada Industri Kerajinan Di Provinsi Bali). Disertasi. Program Doktor Ilmu Ekonomi Pascasarjana, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan, Definisi, Teori dan Strategi. Banyumedia Publishing, Malang.

Zuhriah. 2012. Model Penciptaan Lapangan Kerja Bagi Msyara-kat Miskin melalui Pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal - local economic development - di kota Samarinda. JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, 2001– 2181. http://www.kary-ailmiah.polnes.ac.id. 15 Desember, 2012.

Volume IX No. 1 Juli 2013

43