PIRAMIDA Vol. VIII No. 2 : 93 - 102

ISSN : 1907-3275

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIAS GENDER PENGGUNAAN KONTRASEPSI PADA PASANGAN USIA SUBUR DI DESA DAWAN KALER KECAMATAN DAWAN KLUNGKUNG

Dewa Nyoman Dalem Perwakilan BKKBN Provinsi Bali Email : [email protected]

ABSTRACT

Inequality of contraceptive uses and the wives has become a problem, not only at the local, but also in and even global levels. This imbalance has occurred since the inception of family planning (Keluarga Berencana) program in the 1970’s in which the target users of contraception has been always the women (wives). The low participation of husbands in contraceptive use in the family occurred to date. If this issue does not get immediate attention, then it is tantamount to depriving,women of their reproductive health rights, and allowing gender inequality to grow in the husband-wife relationship. This motivates the study concerning gender bias in the use of contraceptives among couples of childbearing-age, taking the location of Dawan Kaler village, Dawan district of Klungkung regency.

This study examines one principle issue, namely: The factors influencing gender bias in contraceptive use among couples of childbearing-age in Dawan Kaler village, Dawan District of Klungkung regency. To uncover the problem above, this study uses qualitative methods employing data collection techniques by means of observation, in-depth interviews, documented study as well as focused group discussion (FGD). In analyzing the problems, the theories of hegemony and socialist feminism are used.

The result of the study shows that the factors influencing the gender bias in the use of contraceptives among couples of childbearing-age in Dawan Kaler village include the patriarchal culture, traditions, the wives concerns over the use of contraceptives by the husbands, gender ideology, and the husband egotistical attitude that is difficult to change.

Keywords: gender bias, contraception, and couples (husband and wife).

PENDAHULUAN

Berbicara masalah gender maka tidak bisa terlepas dengan konstruksi sosial. Penggunaan konsep gender yang sekaligus merupakan pendekatan cenderung memperhatikan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi. Menurut Abdullah (2001: 24) dalam kenyataanya hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa terlepas dari adanya dominasi, konflik dan hegemoni. Dalam konteks hubungan gender, dan tanpa mengabaikan kemajuan yang sudah tercapai, maka harus diakui bahwa kultur patriarkhis belum sepenuhnya hilang dari masyarakat postmodern saat ini. Beberapa ahli menyebutkan bahwa hegemoni laki-laki dalam masyarakat merupakan fenomena universal dalam sejarah peradaban manusia di masyarakat manapun di dunia. Secara tradisional manusia di berbagai belahan dunia tertata dalam hubungan masyarakat patriarkhis, dimana laki-laki diposisikan superior terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan.

Hegemoni laki-laki atas perempuan memperoleh legitimasi dari nilai sosial, agama, hukum, negara dan tersosialisasi secara turun temurun sebagai sesuatu yang diterima apa adanya (taken for granted). Negara Indonesia sendiri menganut hukum hegemoni patriarki, yaitu yang

berkuasa dalam keluarga adalah bapak. Tidak berhenti sampai disitu, dominasi laki-laki berlanjut pada semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Ideologi patriarkhi yang teraktualisasi melalui struktur sosial tersebut, yakni laki-laki mendominasi perempuan dengan berbagai cara, menurut Atdmaja (2005: 109) bisa dianalisis dari makna kata suami itu sendiri. Dalam konsep Hindu, kata suami berasal dari bahasa Sansekerta, yakni svami yang berarti pelindung, bapak yang dihormati dalam keluarga (ideologi familialisme). Karena itu, suami adalah pemimpin yang memegang policy dalam keluarga, sedangkan istri dan anaknya adalah anak buah.

Bila dilihat sejarahnya, relasi laki-laki dan perempuan mulai berkembang timpang (bias) sejak adanya peradaban berburu. Setiap proses berburu selalu menyingkirkan perempuan, sekalipun ada perempuan, ia pun tidak “dianggap”. Dari sinilah tonggak awal kaum lelaki membangun legitimasi kelelakiannya. Demikian selanjutnya pada peradaban pertanian yang diwarnai dengan adanya pembagian kekuasaan laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki menjadi pemilik kekayaan utama, sementara perempuan menjadi sub-ordinasinya. Kondisi ini terjadi pada kelompok tuan tanah di Eropa kuno. Arus ketimpangan semakin menjadi-jadi ketika munculnya peradaban industri abad ke-17. Industri tekstil

yang memerlukan otot kaum lelaki, menjadikan lelaki sebagai sumber daya manusia yang pokok. Sementara kaum perempuan tinggal di rumah untuk menyediakan sumber daya bagi laki-laki yang hendak bekerja ke pabrik (Nugroho. 2008: 22-25).

Adanya peran jenis sebagaimana disebutkan di atas, selanjutnya akan menimbulkan stereotif jenis. Menurut Murniati (2004: 62) stereotif terhadap jenis, telah membakukan pandangan tentang bagaimana perempuan ”seharusnya”, dan bagaimana ”laki-laki” seharusnya. Keduanya tanpa memberi kesempatan untuk keluar dari ciri atau konstruksi yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Pandangan seperti inilah yang membuat seorang pribadi perempuan merasa bersalah, apabila ia melakukan tindakan dan ciri kelelakian, atau sebaliknya.

Dalam situasi tersebut, menurut Fakih (2008: 14), perempuan menjadi salah satu bentuk pemiskinan dari salah satu jenis kelamin, yang disebabkan oleh gender. Sebagai akibatnya, terjadi ketimpangan kesempatan, partisipasi, pengambilan keputusan, pemeliharaan kesehatan, maupun akses lainnya, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Kuatnya dominasi laki-laki sebagai suami telah terkonstruksi secara sosio-kultural. Sukeni (2010: 143) menyebutkan, penderitaan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang dialami perempuan, disebut sebagai posisi hegemoni budaya patrilineal.

Anggapan bahwa perempuan sudah menjadi kodratnya untuk merawat anak, mengurus pendidikan anak, bahkan sampai pada tahap pemilihan dan penggunaan alat kontrasepsi, merupakan beberapa contoh stereotype yang bias gender dan harus didekonstruksi kebenarannya. Dalam hal ini masyarakat awam sering menyalahartikan antara konstruksi sosial dengan kodrat (takdir). Hingga saat ini perempuan masih menjadi sasaran dalam program kependudukan. Lebih banyak alat kontrasepsi yang ditujukan kepada perempuan daripada laki-laki, di samping sebagai pemilik alat reproduksi (hamil dan melahirkan), perempuan juga selalu menjadi sasaran penggunaan kontrasepsi. Menurut Hendarso (2008: 72), dalam kondisi seperti itu, perempuan memikul beban ganda dibandingkan dengan laki-laki, yakni peran produktif dan reproduktif. Keadaan inilah yang menimbulkan komplektisitas permasalahan perempuan yang terkait dengan fungsi reproduksinya, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun sosial.

Dalam Undang Undang No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, pada bab VI pasal 24 ayat (1) dinyatakan bahwa :

“pelayanan kontrasepsi diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya guna dan berhasil guna serta diterima dan dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh pasangan suami istri dengan pilihan dan mempertimbangkan kondisi kesehatan suami dan istri”.

Dari isi Undang Undang tersebut, tersurat bahwa suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan kontrasepsi untuk pengaturan kelahiran. Maknanya sangat jelas bahwa, pelaksanaan program KB haruslah berorientasi pada keadilan dan kesetaraan gender. Akan tetapi, selama ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa, bila dilihat dari aspek kesetaraan ber-KB pada umumnya dan di Bali pada khususnya, didominasi oleh partisipasi aktif kaum perempuan.

Sebelum munculnya Undang-Undang No 52 Tahun 2009 tersebut, lebih dahulu terdapat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Dalam pembukaan undang-undang tersebut dicantumkan bahwa diperlukan perubahan pada peranan tradisional kaum pria maupun peranan kaum wanita dalam masyarakat dan keluarga, untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara pria dan wanita. Ini berarti bahwa, harus terjadi kesetaraan peranan antara pria dan wanita, termasuk didalamnya peranan dalam keluarga berencana.

Kebijakan lain di samping Undang-Undang tersebut adalah kongres tentang kesehatan perempuan di Brasilia, yang membahas tentang dampak pemakaian kontrasepsi terhadap perempuan. Dalam kongres itu disadari bahwa kemajuan dalam teknologi mencegah kehamilan ternyata menimbulkan berbagai dampak (side effect) terhadap kesehatan perempuan. Bukan hanya terhadap proses ovulasi dan menstruasi saja, tetapi juga kesehatan perempuan tersebut secara luas termasuk psikologis, yang kemudian disebut sebagai kesehatan reproduksi. Maka dalam Kongres tersebut disepakati, agar masalah kesehatan reproduksi tidak hanya menjadi masalah perempuan, tetapi juga masalah laki-laki. Karena dampak kontrasepsi terhadap kesehatan terutama hanya terjadi pada kaum perempuan (Kartono, 2007: 8-9). Hal ini mengindikasikan peran serta suami dalam program KB harus dan sangat diperlukan.

Sejak program Keluarga Berencana (KB) Nasional diperkenalkan tahun 1970-an, sampai dengan sekarang, yang menjadi peserta KB masih didominasi oleh kaum perempuan (istri). Padahal dari dulu alat kontrasepsi untuk suami (kaum laki-laki) sudah ada. Kenyataannya, sampai hari ini pun masih sangat sedikit para suami yang mau memakai alat kontrasepsi (ber-KB).

Secara Nasional kesetaraan KB pria di Indonesia memang masih sangat rendah baru mencapai 1,1 %, bila dibandingkan dengan negara-negara Islam seperti Pakistan (5,2 %), Bangladesh (13,9 %), Malaysia (16,8 %) (BKKBN. 2008). Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003, peserta KB laki-laki sebanyak 1,3 % dari 60,3 %. Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) terakhir yakni tahun 2007, menunjukkan peserta KB laki-laki sebanyak 1,5 % dari

keseluruhan peserta yang berjumlah 61,4 %. Ini berarti bahwa selama empat tahun kebelakang hanya terjadi peningkatan sebesar 0,2 %. Sungguh merupakan jumlah yang jauh dari yang diharapkan.

Dilihat pada tingkat daerah, maka berdasarkan data perkembangan program KB nasional BKKBN Provinsi Bali, pencapaian peserta KB pria di Provinsi Bali sampai dengan Bulan Mei 2011 hanya mencapai 18.962 akseptor (3,33 %) dari keseluruhan peserta/akseptor KB di Provinsi Bali yang berjumlah 568.849 akseptor. Sisanya adalah peserta KB perempuan yang berjumlah 549.887 akseptor (96,67 %). Untuk tingkat Kabupaten/Kota ketidakseimbangan penggunaan kontrasepsi antara laki-laki dan perempuan tersebut, paling menonjol ditunjukkan oleh Kabupaten Klungkung, khususnya Kecamatan Dawan, Desa Dawan Kaler. Kabupaten Klungkung yang berdasarkan data penggunaan kontrasepsi pada PUS tingkat Kabupaten sampai dengan Bulan Mei 2011, memiliki jumlah akseptor KB secara keselurahan sebanyak 26.906 akseptor, dengan peserta KB pria hanya sebanyak 374 akseptor (1,39 %), dan peserta KB perempuan sebanyak 26.532 akseptor (98,61%).

Dari jumlah akseptor KB yang terdapat di Kabupaten Klungkung tersebut, maka ketidakseimbangan penggunaan kontrasepsi antara laki-laki dan perempuan juga ditunjukkan di tingkat Kecamatan, bahkan hingga di tingkat desa. Berdasarkan laporan C/I/Kec-Dal/04 Kecamatan Dawan sampai dengan bulan Mei 2011, jumlah penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur di Kecamatan Dawan adalah 5.211 akseptor. Dari jumlah tersebut kesertaan kaum pria dalam menggunakan kontrasepsi baru sebesar 128 akseptor (2,46 %) dan sisanya 5.083 akseptor (97,54 %) adalah akseptor perempuan. Dari data tersebut, Desa Dawan Kaler memiliki kesertaan KB pria paling kecil dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Dawan, yakni hanya 1 akseptor pria (0,30 %) dari keseluruhan akseptor yang berjumlah 328 orang. Sisanya adalah akseptor perempuan yang berjumlah 327 akseptor (99,70 %).

Data tersebut memberi indikasi bahwa penggunaan kontrasepsi di kalangan pasangan suami istri, terutama di Desa Dawan Kaler masih sangat bias gender. Dominasi penggunaan kontrasepsi oleh kaum perempuan seperti ditunjukkan pada data di atas, mengakibatkan posisi perempuan seolah-olah berada pada posisi terhegemoni, baik oleh negara, suami, dan budaya yang menggiringnya untuk menggunakan kontrasepsi. Dengan melihat berbagai permasalahan di atas, maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur di Desa Dawan Kaler, Kecamatan Dawan Klungkung, yang lebih lanjut akan diuraikan pada pembahasan.

KAJIAN PUSTAKA

Bias Gender

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2005: 146) disebutkan kata bias berarti simpangan, belokan arah dari garis tempuhan karena menembus benda bening. Sedangkan Kata gender di dalam kamus berarti jenis kelamin. Dalam kamus istilah Keluarga Berencana Nasional (2007: 23) kata Gender berarti pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.

Selanjutnya dalam kamus istilah Program Keluarga Berencana Nasional (2007: 13) bias gender berarti suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan pembangunan. Dalam penelitian ini, konsep bias gender lebih mengacu pada ketimpangan yang berwujud pada ketidakadilan dalam rumah tangga (keluarga), terutama dalam hal penggunaan kontrasepsi diantara Pasangan Usia Subur (PUS). Dimana istri selalu menjadi sasaran penggunaan kontrasepsi, dan sudah menjadi suatu keyakinan yang mentradisi sebagai sebuah ideologi dalam keluarga.

Penggunaan Kontrasepsi

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2005: 118) kata “penggunaan” berarti proses, cara, perbuatan menggunakan sesuatu. Sedangkan kontrasepsi berarti cara untuk mencegah kehamilan dengan menggunakan alat atau obat pencegah kehamilan seperti spiral, kondom, pil, anti hamil (2005: 592). Dalam kamus istilah Program Keluarga Berencana Nasional (2007: 45) memberikan definisi kontrasepsi yang berarti obat/alat untuk mencegah terjadinya konsepsi (kehamilan).

Dalam penelitian ini, penggunaan kontrasepsi yang dimaksud adalah : obat, alat, ataupun cara yang digunakan oleh suami dan istri untuk mencegah kehamilan, yang diakui dalam Program Keluarga Berencana. Kontrasepsi untuk wanita terdiri dari 5 jenis yaitu Pil, Suntikan, IUD, Implant, dan MOW. Sedangkan untuk pria terdiri dari 2 jenis yaitu : Kondom dan MOP. Jenis-jenis kontrasepsi tersebut selanjutnya akan diibandingkan tingkat penggunaannya untuk melihat tingkat bias (ketimpangannya). Namun demikian mengingat jenis kontrasepsi bagi kaum perempuan lebih banyak yakni berjumalah 5 jenis, sedangkan bagi laki-laki hanya 2 jenis, maka pembandingan untuk melihat keadilan/ keseimbangan gender-nya juga menggunakan perbandingan 5 : 2. Artinya ketika terdapat 5 orang perempuan (istri) menggunakan kontrasepsi, maka semestinya terdapat juga 2 orang pria (suami) yang menggunakan kontrasepsi. Dari perbandingan tersebut akan dilihat sejauh mana tingkat bias gender kontrasepsinya.

Pasangan Usia Subur

Pasangan Usia Subur atau sering disingkat PUS dalam kamus istilah Program Keluarga Berencana Nasional (2007: 66) diartikan sebagai pasangan suami istri yang istrinya berumur antara 15-49 tahun, dan secara operasional pula pasangan suami istri yang istrinya berumur kurang dari 15 tahun dan telah kawin atau istri berumur lebih dari 49 tahun tetapi belum monopause. Tidak jauh berbeda dengan arti di dalam kamus, Noya (2009: 11) memberikan definisi dari pasangan usia subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, yang istrinya berumur antara 15-49 tahun, dan secara operasional termasuk pula pasangan suami istri yang istrinya berumur kurang dari 15 tahun dan telah haid atau istri berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid. Dengan demikian, Pasangan Usia Subur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pasangan suami dan istri yang terikat dalam perkawinan dan telah membentuk keluarga.

Beberapa teori yang digunakan secara eklektik dalam penelitian ini antara lain (1) Teori hegemoni, (2) Teori Feminisme Sosialis. Pengertian hegemoni yang dikembangkan Gramsci merujuk pada kedudukan ideologis suatu kelas dalam suatu masyarakat. Menurut Gramsci, hegemoni akan melahirkan kepatuhan, yakni sebuah sikap yang menerima keadaan, tanpa mempertanyakan lebih lanjut secara kritis, karena mereka menelan mentah-mentah ideologi yang diekspos pihak penghegemoni (Suyanto. 2010: 22-23). Teori ini digunakan untuk menganalisis terjadinya bias gender penggunaan kontrasepsi, karena disinyalir terdapat proses hegemoni yang berlangsung dalam keluarga.

Sedangkan teori feminisme sosialis digunakan, karena teori ini berlatar belakang pemikiran bahwa, subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat, kebiasaan dan hambatan hukum yang membatasi perempuan. Oleh karena masyarakat memiliki keyakinan bahwa, perempuan secara alamiah tidak secerdas dan sekuat laki-laki, sehingga nantinya dapat diketahui apakah ada hubungan antara hambatan-hambatan sosial tersebut terhadap terjadinya bias gender penggunaan kontrasepsi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian dilaksanakan di Desa Dawan Kaler Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung Provinsi Bali, dengan pertimbangan bahwa partisipasi laki-laki (suami) dalam penggunaan kontrasepsi di wilayah ini sangatlah rendah, sebagaimana data pada latar belakang. Hal ini berdasarkan data sebaran penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur sampai dengan Bulan Mei 2011, yakni hanya 1 orang akseptor laki-laki (0,30 %) dari total akseptor KB di Desa Dawan Kaler yang berjumlah 328 orang akseptor. Sementara sisanya adalah akseptor

perempuan yang berjumlah 327 akseptor (99,70 %).

Jenis data yang digunakan adalah data primer yang bersumber dari informan dan hasil observasi di lapangan. Data lainnya yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari dokumen seperti monografi atau profil desa, data laporan sebaran penggunaan kontrasepsi (radalgram) BKKBN Provinsi yang dilakukan rutin setiap bulan, dan data sebaran penggunaan kontrasepsi di Desa Dawan Kaler maupun di Kecamatan Dawa, Klungkung.

Penentuan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2003:78). Pertimbangan tertentu yang dimaksudkan adalah informan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan topik penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka informan yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah mereka yang tergolong pasangan usia subur (PUS). Selain itu, dalam penelitian ini juga akan ditetapkan informan yang berasal dari unsur desa (kepala desa, klian banjar, dan kader), tenaga lapangan keluarga berencana (PKB dan PLKB), serta petugas kesehatan (Bidan Puskesmas Pembantu dan Bidan Praktek Swasta) di tingkat desa. Jumlah keseluruhan informan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 26 orang.

Instrumen penelitian yang digunakan berupa pedoman wawancara mendalam Pedoman wawancara yang disusun dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara terbuka atau tidak terstruktur. (FGD) dan pedoman observasi, seperti alat-alat tulis untuk mencatat jawaban-jawaban dari informan, dan kamera. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) observasi, (2) wawancara mendalam (3) studi dokumen, dan (4) Focus Group Discussion (FGD). Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap 8 PUS, sedangkan FGD dilakukan kepada informan yang berasal dari unsur triangulasi, yakni unsur desa (kepala desa, klian banjar, dan kader), unsur petugas lapangan keluarga berencana (PKB dan PLKB), dan unsur petugas kesehatan (bidan puskesmas dan BPS) dengan jumlah keseluruhan sebanyak 10 orang. Sedangkan analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitik (deskriptif interpretatif).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bias gender penggunaan kontrasepsi pada PUS, akan digunakan teori Hegemoni Gramsci. Dalam hegemoni sebagaimana disebutkan oleh Gramsci di dalamnya terdapat dua kata kunci pendorong munculnya hegemoni, yakni ideologi dan politik. Ideologi merupakan sebuah gagasan, cara pandang, doktrin, serta visi yang komprehensif sebagai cara untuk memandang sesuatu yang diterapkan sehingga akan melahirkan kepatuhan yakni sebuah sikap yang menerima keadaan tanpa menanyakan lebih lanjut secara kritis. Dalam hal

penggunaan kontrasepsi misalnya, kaum perempuan (istri) menyambut dengan lapang dada penggunaan kontrasepsi yang danjurkan oleh pemerintah tanpa mengkritisi siapa yang semestinya juga menggunakan kontrasepsi. Hal ini muncul karena dalam pola pikirnya sudah tertanam ide untuk mengendalikan fertilitas tentu harus menggunakan kontrasepsi.

Selanjutnya, kata kunci yang kedua dari hegemoni adalah politik. Politik dalam hal ini dapat diartikan sebagai muatan politis, atau sebagai sebuah pembenar yang dilanggengkan oleh satu pihak ke pihak yang lainnya dengan cara mengikuti tradisi-tradisi atau kebiasaan-kebiasaan pendahulunya yang bersifat given. Dalam hal ini misalnya, suami secara tidak langsung menolak penggunaan kontrasepsi untuk kaumnya, karena dalam sejarah kehidupannya mereka melihat dan menganggap bahwa kontrasepsi adalah urusan kaum perempuan sebagaimana pendahulunya. Muatan politis inilah yang selanjutnya disebut sebagai budaya patriarkhi, yang akan menjadi salah satu faktor terbesar yang memengaruhi bias gender pengguna kontrasepsi di Desa Dawan Kaler, karena tidak saja berimbas terhadap pola pikir kaum laki-laki tetapi juga terhadap kaum perempuan (istri). Sebagai contoh misalnya, ketakutan istri ketika suami yang harus menggunakan kontrasepsi.

Teori lain yang juga digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi bias gender penggunana kontrasasepsi di Desa Dawan Kaler adalah teori feminisme sosialis dari Engels. Teori feminis sosialis menyatakan bahwa laki-laki memiliki peranan-peranan penting dalam keluarga dibandingkan dengan perempuan. Akumulasi kekayaan yang lebih besar dari perempuan, menyebabkan posisi laki-laki dalam keluarga menjadi lebih penting dan pada gilirannya mendorong laki-laki untuk mengeksploitasi posisinya dengan menguasai perempuan dan menjamin warisan bagi anak-anaknya (Suwarko. 2010: 289-290). Dalam kaitannya dengan bias gender penggunaan kontrasepsi di Desa Dawan, posisi laki-laki dalam keluarga dengan status purusa nampaknya juga menjadi pendorong kaum laki-laki (suami) tidak menggunakan kontrasepsi. Untuk lebih jelasnya mengenai faktor-faktor yang memengaruhi bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur di Desa Dawan Kaler, berdasarkan hasil penelitian adalah sebagi berikut.

  • 1.    Faktor Budaya Patriarki

Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan. Budaya patriarki merupakan budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Laki-laki sebagai pemimpin atau kepala keluarga memiliki

otoritas yang meliputi kontrol terhadap sumber daya ekonomi, dan suatu pembagian kerja secara seksual dalam keluarga. Hal ini menyebabkan wanita memiliki akses yang lebih sedikit di sektor publik dibandingkan lelaki.

Tidak hanya dalam hal pembagian kerja, budaya patriarki juga telah memberikan efek negatif terhadap keadilan penggunaan kontrasepsi sebagaimana di Desa Dawan Kaler. Penduduk Desa Dawan Kaler yang termasuk ke dalam golongan penduduk penganut budaya patriarki, nampaknya kurang mendukung kaum laki-laki sebagai kaum yang diutamakan dalam paham patriarki, untuk menggunakan kontrasepsi. Salah satu kharakteristik budaya patriarkhi yang menonjol di Desa Dawan Kaler adalah para suami menolak untuk menggunakan kontrasepsi karena menganggap kontrasepsi diperuntukkan untuk perempuan (istri).

Ketimpangan penggunaan kontrasepsi ini tidak hanya didukung oleh kaum laki-laki (suami) sebagai subjek utama terlaksananya budaya patriarki, tetapi justeru didukung pula oleh kaum perempuan (istri). Hal ini nampak dari penuturan Ibu Nengah Natrini 30 tahun sebagai pedagang, saat diwawancara tentang alasannya menggunakan kontrasepsi (mengapa bukan suaminya), adalah sebagai berikut :

“…tiang ngangge KB duaning kurenan tiange ngalih gae untuk keluarga, dadosne sampun kewajiban tiange ngangge KB. Kenten taler kurenan tiange sampun kewajibane ngalih gae…”. (“saya menggunakan kontrasepsi dikarenakan suami saya mencari nafkah untuk keluarga, jadi sudah menjadi kewajiban saya untuk menggunakan kontrasepsi. Begitu pula suami saya, sudah menjadi kewajibannya mencari nafkah keluarga…”).

Apa yang diungkapkan oleh Nengah Natrini tersebut menunjukkan bahwa dalam keluarga masih terdapat pembagian kerja yang telah terkotak-kotak sehingga seolah-olah antara suami dan istri memiliki tangung jawab masing-masing dalam keluarga. Bagi Ibu Nengah Natrini, menggunakan kontrasepsi adalah sebuah tanggung jawab dan kewajiban istri sebagaimana tanggung jawab dan kewajiban suami dalam mencari nafkah untuk keluarganya.

Pendapat lain berkaitan dengan budaya patriarki juga diperoleh dari pendapat Petugas Lapangan Keluarga Brencana dalam focus group discussion. Menurut Bapak Suma Kasiana dan Muhamad Kholis selaku Petugas Lapangan Keluarga Berencana, dan Petugas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana di Desa Dawan Kaler, rendahnya partisipasi suami dalam menggunakan kontrasepsi di Desa Dawan Kaler diakibatkan oleh kebiasaan masyarakatnya yang masih mengikuti pola lama, bahwa ber-KB hanya dilakoni oleh perempuan (istri). Dari catatan sejarah perkembangan program KB di Desa Dawan Kaler, terutama dalam hal penggunaan kontrasepsinya, menurut Bapak Suma Kasiana memang belum ditemui ada laki-laki yang menggunakan kontrasepsi, terutama

kontrasepsi mantap atau vasektomi. Kalaupun ada data tentang penggunaan kontrasepsi tersebut di Desa Dawan Kaler, menurut Bapak Suma Kasiana adalah rekayasa hanya untuk mengejar pencapaian KKP (Kontrak Kinerja Program).

Pernyataan yang disampaikan oleh informan dan Petugas Lapangan Keluarga Berencana tersebut mengindikasikan bahwa kuatnya faktor lingkungan, kekuasaan laki-laki, kebiasaan pendahulunya, yang selanjutnya terkemas menjadi budaya patriarki, telah mendorong laki-laki (suami) di Desa Dawan kaler untuk tidak menggunakan kontrasepsi, sehingga berujung kepada bias gender penggunaan kontrasepsi antara suami dan istri.

  • 2.    Faktor Tradisi

Dalam situs Wikipedia, tradisi yang dalam bahasa latin disebut tradere atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana dapat diartikan sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu kelompok, wilayah, kebudayaan, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun yang cenderung lisan.

Pada mulanya istilah trader/tradition digunakan dalam hukum Roma (Roman Law) yang mengacu pada hukum warisan. Menurut Giddens, tradisi merupakan sesuatu yang bersifat ritual dan dilakukan berulang-ulang. Tradisi adalah asset kelompok masyarakat yang mencirikan suatu kebudayaan dan tata perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Lebih Lanjut, Hobsbawm dan Ranger dalam (Giddens. 2002: 40) menyatakan bahwa sejarah dan tradisi adalah sesuatu yang sengaja dibuat oleh lingkungan Emperor yang berkuasa untuk melegitimasi role atau otoritas yang mereka buat.

Berkaitan dengan penelitian tantang bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur di Desa Dawan Kaler, maka faktor tradisi turut serta menjadi andil dalam memengaruhi terjadinya bias gender penggunaan kontrasepsi antara suami dan istri di Desa Dawan Kaler. Dikatakan demikian sebab, sebagaimana tradisi pada masyarakat Bali-Hindu di Bali pada umumnya yang mengenal tradisi Purusa dan pradana, maka di Desa Dawan kaler juga sangat kental dengan istilah purusa dan pradana. Hanya saja sedikit berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya di Bali, Desa Dawan Kaler lebih mengutamakan purusa (sistem kekeluargaan patrilineal) bahkan mengabaikan sistem pradana. Dalam sistem tradisi purusa mengutamakan garis laki-laki atau bapak (suami) untuk menjadi ahli waris dalam suatu keluarga, sebagai akibatnya tentu laki-laki (suami) dalam keluarga memiliki posisi yang sangat istimewa. Bagi mereka, tradisi yang mereka kenal sejak dahulu kala tersebut, merupakan tradisi yang sakral dan harus diteruskan secara turun

temurun.

Kaitannya dengan terjadinya bias gender penggunaan kontrasepsi antara suami dan istri di Desa Dawan Kaler adalah, para suami di Desa Dawan Kaler menolak menggunakan kontrasepsi untuk pria, terutama metode kontrasepsi mantap atau yang dikenal dengan istilah vasektomi (MOP). Hal ini secara tegas diungkapkan oleh Kepala Desa Dawan Kaler I Kadek Sudarmawa, ketika berdiskusi tentang faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya penggunaan kontrasepsi oleh laki-laki di Desa Dawan Kaler, adalah sebagai berikut :

“…salah satu faktor yang paling utama menyebabkan rendahnya penggunaan KB pria di Desa Kami adalah karena kami menganut sistem purusa. Sebagaimana diketahui bahwa sistem purusa menghendaki dan mengutamakan keturunan laki-laki dalam keluarga yang akan menjadi penerus bapaknya. Sehingga apabila laki-laki dioperasi untuk vasektomi, maka bagaimana jika selanjutnya keluarga tersebut bercerai ? Seperti pengalaman saya sendiri, sekarang yang menjadi single parent, dan punya keinginan untuk menikah lagi. Untungnya saya tidak divasektomi, kalau seandainya divasektomi, tentu saya tidak bisa memiliki keturunan lagi, apalagi memilki anak laki-laki sebagai penerus, menghamili saja sudah tidak bisa…”

Argumen yang disampaikan oleh Kepala Desa Dawan Kaler, Bapak Kadek Sudarmawa tersebut, memang cukup beralasan dan sekaligus menjadi salah satu kelemahan dari metode kontrasepsi vasektomi dimaksud. Secara sederhana dapat diartikan bahwa, vasektomi yang bersifat kontrasepsi permanen bagi laki-laki sejauh ini belum bisa menjamin tetap berlangsungnya sistem tradisi purusa sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Desa Dawan Kaler. Sebab dalam perjalanan berkeluarga bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ditengah-tengah keluarga dimaksud. Salah satunya adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Desa Dawan Kaler, yakni terjadinya perceraian. Bagi keluarga yang sudah dianugerahi anak laki-laki dalam perkawinan pertamanya, tentu bukan merupakan masalah dalam perkawinan selanjutnya. Namun berbeda halnya dengan keluarga yang pada pernikahan pertamanya belum dianugerahi laki-laki, dan kemudian bercerai maka tentu akan menajadi persoalan yang pelik dalam pernikahan berikutnya.

Pendapat lain yang berkaitan dengan faktor tradisi juga diperoleh dari hasil diskusi kelompok (focus group discussion). Berdasarkan pendapat dari beberapa unsure yang hadir dalam FGD tersebut menyebutkan, terdapat nilai yang sangat penting akan kehadiran anak laki-laki dalam suatu keluarga pada penganut sistem purusa. Anak laki-laki dalam sistem tradisi purusa sebagaimana dianut oleh masyarakat Desa Dawan Kaler, berarti sama halnya dengan berbicara persoalan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan dengan

sesama), maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu). Artinya dalam tradisi sistem purusa terdapat suatu konsekuensi yakni, hanya keturunan yang berstatus kapurusa sajalah yang memiliki swadikara (hak) terhadap harta warisan (harta gono gini), sementara keturunan yang berstatus pradana (perempuan), tidak mungkin dapat meneruskan swadharma, sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton), dan oleh karena itu, dianggap tidak berhak atas harta warisan dalam keluarga.

Mengingat adanya keterkaitan yang erat antara purusa dengan swadikara (hak) yang selanjutnya berimbas kepada swadharma (tanggung jawab) seorang anak laki-laki di kemudian hari terhadap orang tua, maka kehadiran anak laki-laki dalam keluarga di Desa Dawan Kaler menjadi sangat penting. Keadaan ini secara tidak langsung telah mendorong penolakan kaum suami untuk menggunakan kontrasepsi terutama vasektomi.

  • 3.    Faktor Kekhawatiran Istri Jika Suami Menggunakan Kontrasepsi

Faktor berikutnya yang menjadi salah faktor cukup unik dalam memengaruhi terjadinya bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan suami dan istri di Desa Dawan Kaler adalah kekhawatiran atau ketakutan istri apabila suami menggunakan kontrasepsi. Hal ini hampir diuangkapkan oleh seluruh informan perempuan, termasuk juga informan laki-laki yang diwawancara dalam penelitian ini. Secara umum kekhawatiran istri terhadap suami jika menggunakan kontrasepsi dapat dibedakan menjadi tiga kategori alasan. Pertama dikarenakan suami dikhawatirkan akan bebas melakukan hubungan badan dengan perempuan lain (selingkuh), mengingat dirinya (suami) sudah tidak bisa menghamili lagi. Kedua adalah, ketakutan istri bila suaminya divasektomi maka dikhawatirkan akan impoten (gairah seks suami menurun) sebagamana isu yang mereka dengar di masyarakat. Alasan ketiga adalah, ketidaknyamanan istri apabila suami menggunakan kondom karena dianggap mengganggu dan mengurangi kenikmatan, sebab tidak ada persentuhan langsung.

Adapun hasil wawancara dengan beberapa informan akan diuraikan sebagai berikut. Salah satu informan Ibu Nanik Budiani 34 tahun bekerja sebagai ibu rumah tangga yang berasal dari Banjar Pasekan Desa Dawan Kaler, ketika ditanya alasan mengapa ibu yang menggunakan kontrasepsi bukan suaminya, alasannya adalah sebagai berikut :

“…lebih baik tiang sendiri yang menggunakan KB, daripada suami tiang. Sebab KB nika kan memang tanggung jawab nak luh. Yen nak muani ngange KB takutin tiang ye ke kafe sai-sai atau selingkuh, sebab dia kan bebas wireh sampun tidak bisa menghamili lagi. Maka dari itu, cukup tiang sendiri saja sane ngange KB, toh juga aman-aman kemanten

sejauh niki…”. (“…lebih baik saya sendiri yang menggunakan kontrasepsi, daripada suami saya. Sebab kontrasepsi itu kan memang tanggung jawab perempuan. Kalau suami menggunakan kontrasepsi, saya khawatir dia sering-sering ke kafe atau bebas selingkuh, sebab dia kan sudah bebas tidak bisa menghamili lagi. Maka dari itu, cukup saya saja yang menggunakan kontrasepsi, toh juga aman-aman saja sejauh ini…”).

Penuturan Ibu Nanik Budiani tersebut sangat jelas menunjukkan betapa terjadi kekhawatiran istri terhadap suami bila suaminya menggunakan kontrasepsi. sehingga dirinya rela untuk menggunakan kontrasepsi dibandingkan ditujukan kepada suaminya. Apalagi selama menggunakan kontrasepi, menurutnya belum pernah mengalami komplikasi ataupun efek samping.

Selanjutnya alasan lainnya berkaitan dengan kekhawatiran istri terhadap suami jika suami menggunakan kontrasepsi adalah dari hasil wawancara dengan Ibu Ni Komang Wedri 38 tahun, yang bekerja sebagai petani gula, ketika diwawancara alasannya menggunakan kontrasepsi, bukan suaminya, adalah sebagai berikut :

“…tiang menggunakan KB karena memang tiang sendiri yang pingin, daripada kurenan tiang memakai KB tiang kurang setuju. Apalagi KB sane berisi operasi nike, vasektomi napi adane, tiang dingeh-dingeh pada bagian ‘itu’ akan diteres sehingga menyebabkan impoten. Daripada harus diteres seperti nike, lebih baik tiang saja yang menggunakan KB, atau sekalian gak usah menggunakan kontrasepsi jika tiang mengalami efek samping…”. (“…saya menggunakan kontrasepsi karena memang dari kemauan sendiri, daripada suami saya yang menggunakan kontrasepsi, saya kurang setuju. Apalagi kontrasepsi yang berisi tindakan operasi, vasektomi apa namanya itu. Saya denger-denger isu, pada bagian testis akan dikebiri, sehingga menyebabkan impoten. Daripada harus dikebiri seperti itu, lebih baik saya saja yang menggunakan kontrasepsi, atau sekalian tidak usah saja, seandainya saya mengalami efek samping…”).

Sedikit berbeda jawabannya dengan informan yang pertama, menurut penuturan Ibu Ni Komang Wedri justru kekhawatirannya jika suami menggunakan kontrasepsi terutama kontrasepsi vasektomi adalah terjadinya hipoten atau suami kurang perkasa lagi. Keadaan ini terjadi sebab menurut Ibu Ni Komang Wedri tindakan operasi yang dilakukan akan menghilangkan buah zakar suaminya (meteres), sehingga menurutnya lebih baik tidak menggunakan kontrasepsi apabila diharuskan suami menggunakan kontrasepsi. Pernyataan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ni Komang Wedri tersebut, lebih banyak dijawab oleh informan perempuan lainnya.

Dari hasil uraian di atas menunjukkan bahwa, bias gender penggunaan kontrasepsi diantara pasangan suami dan istri di Desa Dawan Kaler, tidak saja diakibatkan oleh faktor rendahnya minat maupun suami untuk ikut

menggunakan kontrasepsi, tetapi diakibatkan pula oleh kurangnya dukungan dari istri terhadap suami, jika suami menggunakan kontrsepsi.

  • 4.    Faktor Ideologi Gender

Faktor lainnya yang juga mendorong terjadinya bias gender penggunaan kontrasepsi antara suami dan istri di Desa Dawan Kaler adalah faktor ideologi gender. Secara definitif ideologi gender dapat diartikan sebagai segala aturan, nilai, stereotip yang mengatur hubungan perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin, yang menjadi struktur dan sifat manusia, dimana ciri-ciri dasar dan sifat itu dibentuk sejak masa kanak-kanak awal, sehingga selalu konservatif dan ketinggalan di belakang perubahan (Widanti. 2005: 32).

Di Desa Dawan Kaler, ideologi gender yang memengaruhi suami terhadap rendahnya penggunaan kontrasepsi terwujud dalam pola pikir yang mengangap bahwa penggunaan kontrasepsi oleh perempuan adalah “kodrat”. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh peserta focus group discussion yang menyebutkan bahwa, masyarakat di Desa Dawan Kaler menganggap istri sangat kental dengan sifat-sifat : melayani, penurut, dan ketergantungan. Oleh karenanya penggunaan kontrasepsi sangat cocok ditujukan kepada istri. Sebaliknya menurut Kepala Desa Dawan Kaler, laki-laki memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan perempuan yakni, egois, pembrontak, dan ingin bebas (tidak ketergantungan), sehingga menyebabkan laki-laki (suami) kurang cocok dalam penggunaan kontrasepsi. Karena hal tersebut akan menyebakan resistensi atau perlawanan oleh suami ketika dibujuk menggunakan kontrasepsi.

Hasil focus group discussion dengan beberapa unsur masyarakat tersebut, juga ditemukan beberapa point penting yang bisa dikategorikan ke dalam faktor ideologi gender. Beberapa diantaranya termanifestasi dalam anggapan-angapan maupun pernyataan dari informan dalam diskusi dimaksud antara lain (1) adanya perbedaan organ tubuh yang terdapat pada perempuan dengan laki-laki, sehingga menyebabkan beberapa kontrasepsi hanya bisa digunakan untuk perempuan saja. Contohnya adalah Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD), dan Susuk (Implant). (2) Perempuan memiliki hormon yang berbeda dengan laki-laki, karenanya dalam penanggulangan kelahiran hormon perempuan bisa dinetralkan dengan suntikan KB, namun tidak demikian halnya dengan hormon laki-laki. Hal ini terbukti dari tidak adanya suntik KB untuk kaum laki-laki sampai saat ini. (3) Dalam aktivitas pekerjaan, terutama di sektor pertanian laki-laki selalu mendominasi dibandingkan dengan perempuan, baik dari sisi tenaga, kuantitas kerja, hingga hasil yang diperoleh. Karenanya kontrasepsi kurang tepat ditujukan kepada laki-laki yang memiliki aktivitas tinggi. (4) Adanya anggapan bahwa bila laki-laki menggunakan

kontrasepsi, cenderung dibilang takut terhadap istri atau diistilahkan paid bangkung (penurut kepada istri). (5) Adanya kebiasaan yang diturunkan oleh orang tua kepada perempuan sebelum menuju jenjang pernikahan. Kebiasaan yang dimaksud adalah berupa pembekalan peran gender seperti petuah atau wejangan-wejangan dari orang tua kepada anak perempuannya. Misalnya tugas istri dalam suatu rumah tangga adalah melayani suami, penurut dan tidak boleh melawan. Hal ini telah terjadi secara turun temurun di Desa Dawan Kaler terhadap anak perempuan yang menginjak dewasa, sehingga secara tidak langsung telah mendoktrinnya untuk selalu bersikap altruistik (berkorban untuk kesenangan orang lain).

Dari beberapa point penting yang diperoleh dari hasil focus group discussion di atas, point terakhir menjadi point yang paling banyak memperoleh sorotan dan dukungan peserta dalam diskusi tersebut. Keadaan ini juga banyak ditemukan dari hasil-hasil wawancara dengan informan di lapangan.

  • 5.    Faktor Sikap Egoisik Suami yang Sulit Diubah

Faktor selanjutnya yang juga berpengaruh terhadap terjadinya bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur (PUS) di Desa Dawan Kaler adalah sikap egoistik dari suami. Sikap egoistik memang dimiliki oleh suami maupun istri, namun dalam hal penggunaan kontrasepsi sikap egoistik dari suami jauh lebih menonjol dibandingkan dengan perempuan. Munculnya sikap egoistik berawal dari adanya budaya kuasa dari laki-laki atau dalam hal ini adalah suami dalam hubungannya dengan perempuan (istri). Sebagai akibatnya laki-laki (suami) memiliki keistimewaan tersendiri jika dibandingkan dengan perempuan (istri), sehingga bebas melakukan sesuatu yang dianggap sebagai wajar dalam masyarakat. Dalam perjalanan hubungan suami dan istri dalam suatu rumah tangga, sikap egoisme ini melahirkan kesenjangan dalam pengambilan keputusan, kekuasaan untuk memerintah, hingga pada penolakan dalam melakukan sesuatu yang tidak menjadi kehendak laki-laki (suami) dalam rumah tangga.

Sebagaimana halnya di Desa Dawan Kaler misalnya, budaya kuasa yang dilabelkan kepada suami telah berdampak negatif pada istri dalam rumah tangga. Salah satu wujud nyata ialah suami memiliki kuasa untuk tidak menggunakan kontrasepsi, dan menyerahkan urusan kontrasepsi dengan memerintah atau menunjuk sang istri untuk menggunakan kontrasepi. Hal ini terjadi karena sikap egoistik sumi yang mengangap kontrasepsi adalah urusan perempuan. Beberapa sikap egoistik tersebut yang dapat diamati dari hasil penelitian di Desa Dawan Kaler misalnya, suami menyatakan rasa yang kurang nyaman bila menggunakan kontrasepsi kondom, suami menolak untuk menggunakan kontrasepsi mantap (vasektomi) karena disinyalir memiliki efek samping yang tinggi, berbahaya dan beresiko terhadap hipoten, hingga pada

penolakannya untuk menggunakan kontrasepsi dan menyerahkan sepenuhnya kontrasepsi kepada istri.

Pernyataan lain yang berkaitan dengan sikap egoistik suami terhadap penggunaan kontrasepsi juga diperoleh dari hasil wawancara dengan informan I Komang Sujana 40 tahun, yang bekerja sebagai petani, ketika ditanya tentang alasannya tidak menggunakan kontrasepsi. Adapun alasannya adalah selama ini kontrasepsi yang disediakan oleh pemerintah tidak memiliki aspek keadilan. Kontrasepsi yang disediakan untuk laki-laki hanya dua jenis saja, itupun juga kurang memiliki kenyamanan dalam penggunannya. Sebenarnya dia mau menggunakan kontrasepsi, jika saja kontrasepsi yang ada mudah dan nyaman seperti kontrasepsi untuk kaum perempuan, misalnya pil atau suntikan. Sehingga tidak menggangu kenyamanan dalam hubungan suami dan istri, maupun kenyamanan dalam beraktivitas. Tetapi menurutnya kontrasepsi untuk laki-laki sejauh ini belum bisa menyentuh aspek tersebut. Dia pernah menggunakan kontrasepsi kondom, tetapi kurang memiliki kepuasan dalam berhubungan suami istri. Akhirnya dia menyarankan agar istri yang menggunakan kontrasepsi,

Dari pernyataan informan tersebut, baik yang diperoleh dari hasil focus group discussion maupun hasil wawancara mendalam dengan informan dapat ditarik kesimpulan bahwa suami memiliki sikap egois yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Sebab kontrasepsi untuk perempuan memiliki resiko dan efek samping samping yang jauh lebih tinggi daripada kontrasepsi laki-laki.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan beberapa hal telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur (PUS) di Desa Dawan Kaler, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain, (1) faktor budaya patriarki, (2) faktor tradisi masyarakat, (3) faktor kekhawatiran istri jika suami menggunakan kontrasepsi, (4) faktor ideologi gender, dan (5) faktor sikap egoistik suami yang sulit diubah. Faktor-faktor yang dikemukakan di atas merupakan generalisasi dari hasil penelitian bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan suami istri (PUS) yang hanya berlaku di di Desa Dawan Kaler.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian tentang bias gender penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur (PUS) di Desa Dawan Kaler, maka dapat dirumuskan beberapa saran sebagai berikut.

  • 1.    Perlu dilakukan sosialisasi secara holistik dan kontinyu tentang penggunaan kontrasepsi yang berwawasan gender, dengan mengutamakan daerah-daerah

terpencil sebagaimana halnya di Desa Dawan Kaler. Hal ini dikarenakan, masih banyak PUS yang ternyata tidak mengetahui kontrasepsi untuk laki-laki terutama vasektomi.

  • 2.    Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Provinsi Bali agar segera mensosialisasikan rumusan-rumusan kebijakan yang telah diputuskan hingga, menyentuh tingkat bawah (banjar), terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab (swadharma) dan perolehan hak (swadikara) dalam sistem kapurusa di Bali. Hal ini dikarenakan, terdapat pengaruh yang kuat tentang sistem kapurusa yang mengutamakan anak laki-laki, dengan penolakan kaum laki-laki untuk menggunakan kontrasepsi, sebagaimana hasil penelitian di Desa Dawan Kaler.

  • 3.    Perlu dilakukan sosialisasi KB pria terutama vasektomi dengan berbasis teknologi dan dilakukan oleh ahli dibidangnya, sehingga tidak menimbulkan rumor maupun isu negatif di masyarakat tentang vasektomi itu sendiri

  • 4.    Bila memungkinkan agar dirumuskan pendidikan usia dini yang berwawasan gender. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan penerapan idieologi gender pada usia dini, yang berakibat kepada kesalahpahaman dalam memahami kodrat maupun peran gender. Disamping pula diharapkan untuk menghilangkan stereotif negatif yang dilabelkan pada perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press.

Atmadja, Nengah Bawa. 2005. ”Dekonstruksi Alasan Maknawi Wanita Bali Menjadi guru dan Implikasinya terhadap Kesetaraan Gender ”. (dalam Jurnal Kajian Budaya Vol. 2 No.

3). Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.

BKKBN. 2011. LapranC/I/KEC-DAL/04 Kecamatan Dawan (Tentang Sebaran Penggunaan Kontrasepsi pada PUS di Kecamatan Dawan sampai dengan Bulan Mei 2011.

-----------. 2009. Undang Undang Republik Indonesia No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Jakarta: Biro Hukum Organisasi dan Tatalaksana

-----------. 2004. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2003. Jakarta : Badan Pusat Statistik

----------. 2007. Kamus Istilah Program Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: Direktorat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi.

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress.

Giddens, Anthony. 2002. Tradition dalam Runaway World:How Globalization is Reshaping Our Lives. London: Profile Books.

Hendarso Susanti, Emy. 2008. Ketimpangan Gender dan Ketidakberdayaan Perempuan Miskin Perkotaan. Surabaya : Insan Cendekia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 2005. Jakarta: Balai Pustaka.

Kartono, Mohamad. 2007. Kesehatan Reproduksi Sebagai Hak. Jurnal Perempuan 53, Kesehatan Reproduksi Andai Pe-

rempuan Bisa Memilih. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.

Murniati, A.N. 2004. Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politi, Ekonomi, Hukum dan HAM). Magelang : Indonesiatera.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Administrasi Publik: Studi tentang Kualitas Kesetaraan dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV. Alfa-beta

Sukeni, Ni Nyoman. 2010. Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan dalam Pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Bali. Denpasar : Udayana University Press.

Suwarko, Andi. 2010. Feminisme dan Subordinasi Perempuan. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta : Aditya Media Publishing.

Suyanto, Bagong. 2010. Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta : Aditya Media Publishing.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentag Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Serta Penjelasannya. 1993. Jakarta : Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita.

Widanti, Agnes. 2005. Hukum Berkeadilan Gender : Aksi-In-teraksi Kelompok Buruh Perempuan Dalam Perubahan Sosial. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.

102

PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia