TATALAKSANA INSOMNIA DENGAN FARMAKOLOGI ATAU NON-FARMAKOLOGI

Muammar Ghaddafi

Bagian SMF Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Insomnia merupakan suatu gejala yang sering berkembang menyebabkan ketidaknyaman dan ketidakpuasan serta bisa mengurangi produktivitas seseorang penderita. Insomnia bisamerupakan kondisi primer,dan terjadi bersamaan dengan gangguan yang lain atausebagai kondisi sekunder dari gangguan tersebut, mekanisma terjadinya hal demikian belum dapat dijelaskan. Sebagai tambahan, hubungan antara insomnia dan kondisi penyakit lain tidak selalunya jelas karena tidak mungkin untuk mencari hubungan penyebab dan akibat antara gangguan tersebut.Menangani insomnia, pendekatan secara farmakologi ataupun non-farmakologi bisa diterapkan tergantung dari berat ringan insomnia mempengaruhi kualitas hidup penderita. Penanganan dengan medikamentosa harus memprtimbangkan efektifitas dan juga efek samping yang terlibat, tetapi pendekatan secara non-farmakologi bisa sangat membantu tanpa menimbulkan efek samping dan mempunyai efektifitas yang sama maupun lebih.

Kata kunci : Insomnia, tatalaksana

MANAGEMENT OF INSOMNIA USING PHARMOCOLOGY OR NON

PHARMACOLOGY

ASTRACT

Insomnia is a symptom rather than a diagnosis that may lead to irritability, dissatisfaction and decrease individual productivity. Insomnia can be divided into primary and secondary symptom which cause by other condition, but the mechanism on how this happened still unclear. In addition, relation between insomnia and other clinical problem is always undefined because it is impossible to find out the relation between causes and consequences of this symptom. Practitioner can choose either pharmacotherapy or non-pharmacotherapy in management of insomnia patient. Side effects and efficacy of pharmacotherapy must be considered before we prescribe a medicine to de patient. We also can Choose non-pharmacotherapy which is without side effects, but can be same effective as pharmacotherapy and even more.

Keyword: Insomnia, managemen

PENDAHULUAN

Tidur adalah suatu kebutuhan dalam hidup manusia yang sangat penting dan bisa mempengaruhi kualitas hidup seseorang.Setiap orang mempunyai kebutuhan atau jumlah tidur yang berbeda tergantung dari umur, kelamin, beban kerja sehari-hari dan lain-lain.Dimana, pada secara relatif, jumlah waktu tidur berkurang seiring dengan meningkat umur seseorang.Apabila siklus tidur yang normal terganggu yang menyebabkan gangguan pada aktivitas sehari-hari, ini disebut sebagai insomnia.

Definisi insomnia adalah keluhan gangguan tidur, sama ada kesulitan dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur, dan/atau awal bangun dari tidur. Banyak sumber juga mengatakan adanya gangguan di siang hari yang terkait seperti kelelahan, cepat marah, penurunan memori dan konsentrasi dan lesu yang mengganggu banyak aspek fungsi di siang hari.Insomnia lebih sering menyerang perempuan daripada laki-laki, serta sering terjadi pada usia lanjut.

Insomnia bisa diklasifikasikan kepada primer, yaitu insomnia yang terjadi tanpa disertai penyakit lain, dan juga sekunder, dimana insomnia tipe ini terjadi disebakan oleh penyakit lain, masalah psikis, lingkungan, perilaku atau efek samping dari obat-obatan.Insomnia juga bisa diklasifikasikan sebagai insomnia akut (kurang dari 1 bulan) ataupun kronis, yaitu 1-6 bulan.Insomnia lebih tepat disebut sebagai suatu gejala, dan bukan meupakan suatu diagnosis.Walaupun begitu, tidak ada standar baku yang digunakan untuk menegakkan diagnosis insomnia. Terdapat tiga kriteria yang terpisah yang sering digunakan untuk menegakkan insomnia yaitu :TheDiagnostic and Statistical Manual ofMental Disorders (DSM); The InternationalClassification of Sleep Disorders; and TheICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorder.

Penatalaksaan dan penanganan penderita insomnia, secara garis besar bisa dibagi menjadi dua, yaitu penanganan dengan farmakologikal atau dengan

caranon-farmakologikal. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang harus dipertimbangkan.

DEFINISI

Tidur memenuhisepertiga dari kehidupan manusia, sehingga kini penyelidikan keilmuan di bidang ini terbatas dibandingkan dengan aspek neurosains yang lain. Sebagai tambahan, studi mendapatkan bahwa kurang tidur menyebabkan masalah kesehatan.Studi epidemiologi menunjukkan pola tidur yang abnormal menandakan rendahnya harapan hidup, dan insomnia sering terjadi bersamaan dengan gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dankomorbiditasfisik dan psikologis yang lain.1Walaubagaimanapun, kajian mengenai hubungan antara temuan ini sangat kurang.

Definisi insomnia adalah keluhan gangguan tidur, sama ada kesulitan dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur, dan/atau awal bangun dari tidur.1,2,3,4,5 Banyak sumber juga mengatakan adanya gangguan di siang hari yang terkait seperti kelelahan, cepat marah, penurunan memori dan konsentrasi dan lesuyang mengganggu banyak aspek fungsi di siang hari.1,2Walaupun semua definisi insomnia didasarkan pada presentasi gelaja, definisi diagnosis standar tidak ada. Tiga teks terpisah menyatakan kriteria diagnosis insomnia: TheDiagnostic and Statistical Manual ofMental Disorders (DSM); The InternationalClassification of Sleep Disorders; and TheICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorder.1Beberapa definisi hanya didasarkan pada laporan gangguan tidur malam hari, sementara yang lain termasuk ciri-ciri seperti gangguan siang hari yang terkait (misalnya, kelelahan, lekas marah, atau penurunan memori atau konsentrasi),pengakuan ketidakpuasan tidur,1,2 atau kriteria lainnya.

KLASIFIKASI

Banyak usaha telah dilakukan untuk membagitipe insomnia. Salah satu metode adalah berdasarkan pada durasi gejala, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu insomnia dan akut.1,4National Institutes of Health (NIH)State-of-the-Science 2005menyatakan bahwa periode jangka waktu yang berbeda telah digunakan untuk mendefinisikan insomnia kronis, mulai dari 30 hari hingga 6 bulan.

  • 1,5B erbeda dengan insomnia akut/transien, insomnia transien selalunya

disebabkanlingkungan yang spesifik atau peristiwa sosial, seperti kerja shift, kematian orang yang dicintai, perjalanan lewat udara, kebisingan dan mungkin lebih tepat ditangani dengan menangani stres ini dan menangani insomnia secara langsung (dan sering sebagai profilaksis). Di sisi lain, insomnia kronis mungkin lebih sering dikaitkan dengan gangguan tidur intrinsik, insomnia primer atau kondisi medis dan psikiatris yang kronis dan mungkin membutuhkan evaluasi lebih lanjut (termasuk penilaian kondisi komorbiditas) untuk menentukan pengobatan yang tepat. Namun, perlu ditekankan bahwa hubungan antara durasi tidur, etiologi, dan implikasi dari evaluasi belum juga diselidiki.

Insomnia dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu subtipe primer dan sekunder.1,2,3 Istilah primer menandakan bahwa insomnia yang tidak disebabkan oleh kondisi fisik atau mental yang diketahui tetapi ditandai oleh satu kumpulan gejala yang konsisten, perjalanan penyakit yang pasti dan respon umum terhadap pengobatan, meskipun etiologi insomnia primer belum diklarifikasi, penelitian terbaru mengaitkan endokrin, neurologi, dan faktor-faktor perilaku sebagai penyumbangterhadap pathogenesisnya. Diperkirakan bahwa diantara pasien yang didiagnosis dengan insomnia,25% sampai 30% menderita insomnia primer.

  • 1,2S ebaliknya, insomnia sekunder didefinisikan secara historis sebagai insomnia yang disebabkan oleh penyakit medis dan psikiatris lainnya, penggunaan obat-obatan atau gangguan tidur primer lainnya.1,3Bagaimanapun, NIH State-of-the-Science statement 2005, telah menyarankan penggunaan istilah komorbid insomnia, daripada insomnia sekunder, yang berdasarkan pada terbatasnya tingkat pemahaman mengenai hubungan kausal yang terjadi antara insomnia dan gangguan penyerta. Insomnia primer dapat terjadi secara independen dalam konteks gangguan lain.

EPIDEMIOLOGI DAN PERJALANAN ALAMIAH INSOMNIA

Perkiraan prevalensi insomnia bervariasi karena definisi dan kriteria diagnostik untuk insomnia adalah tidak konsisten. Selain itu, penggunaan penilaian awal dan kontrol untuk membuktikan insiden dan tingkat remisi dapat menimbulkan masalah karena spektrum durasi insomnia yang luas (misalnya, pada awalnya ditemukan positif insomnia dan pada saat kontrol 1 tahunberikutnya menunjukkan insomnia kronis atau 2 episode insomnia transien) .1 Dengan keterbatasan ini,

secara umumnya diyakinkan bahwa 10% hingga 15% orang dewasa menderita insomnia kronis, biasanya dianggap sebagai insomnia persisten selama lebih dari 1 bulan durasi, dan tambahan sepertiga memiliki insomnia transien atau sementara.1,8

Orang usia lanjut khususnya mengalami insomnia, dengan prevalensi diperkirakan antara 13% hingga 47%.9,10Tiga tahun studi longitudinal oleh National Institute on Aging’s Established Populations for Epidemiologic Studies of the Elderly (EPESE) menunjukkan bahwa 42% dari komunitas yang lanjut usia yang berpartisipasi dalam survei mengalami kesulitan memulai dan mempertahankan tidur.9 Kesulitan tidur lebih sering di kalangan orang usia lanjut dengan cacat pada fisik, depresi, gejala pernapasan dan mereka yang sedang mendapatkan pengobatan anticemas dan barbiturat. Kontrol3 tahun oleh EPESE, Foley et al memperkirakan insiden dan tingkat remisi untuk insomnia adalah lebih dari 6000 peserta dari survei asalnya.11Antara 4956 peserta yang tidak memiliki gejala insomnia pada awal, hampir 15% melaporkan gejala pada kontrol3 tahun berikutnya , mengusulkan kejadian tahunan adalah 5%.

Dalam studi yang sama, sekitar 15% peserta, mengalami pengurangan gejala insomnia setiap tahunnya. Ekstrapolasi hasil ini ke populasi umum, penulis memperkirakan bahwa 8 juta orang usia lanjut di seluruh negara menderita insomnia pada setiap hari tertentu, lebih dari satu juta kasus baru insomnia berkembang setiap tahun, dan gejala-gejala insomnia hilang pada hampir 1,3 juta orang usia lanjut setiap tahun.11Gangguan tidur juga berhubungan dengan gangguan memori dan konsentrasi dan dapat disalahartikan sebagai tanda-tanda demensia di kalangan orang usia lanjut.

Meskipun kebanyakan studi epidemiologi menunjukkan bahwa wanita lebih cenderung memiliki kesulitan tidur daripada laki-laki,1,4,5studi EPESE melaporkan angka yang sebanding pada kedua jenis kelamin. Pengecualian untuk persamaan ini terjadi pada pasien 85 tahun atau lebih, di mana prevalensi lebih tinggi bagi laki-laki.11studi EPESE juga menunjukkan bahwa wanita rendahkemungkinannya untuk mencapai remisi (46% pada wanita berbanding 52% pada laki-laki), prevalensi yang lebih tinggi pada wanita dilaporkan dalam studi epidemiologi lain

yang menunjukkan sedikit remisi pada wanita. Hipotesis ini didukung oleh temuan Cardiovascular Health Study 2005 yang melaporkan bahwa remisi kurang berlaku pada wanita berbanding laki-laki.

Selain studi EPESE pasien usia lanjut, beberapa studi longitudinal lainnya telah membantu untuk mengklarifikasi perjalanan alamiah insomnia kronis. Breslau et al melakukan penilaian awal dan kontrol 3,5 tahun berikutnya pada 1200 orang dewasa muda (21-30 tahun) yang diambil secara acak dari data organisasi pemeliharaan kesehatan. Prevalensi insomnia pada populasi ini adalah 24, 6%, dan sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki (26,7% berbanding 21,4%). Insiden insomnia baru pada 3,5 tahun pada peserta yang pada awalnya tidak mengalami insomnia, adalah 14,8% untuk wanita dan 10,6% untuk laki-laki, sedikit kurang dibandingkan tingkat kejadian dilaporkan oleh studi EPESE.1

Dalam sebuah studi pada 521 wanita sehat usia pertengahan yang akan menopause yang dilakukan di klinik, Owens dan Matthews menemukan prevalensi paling tinggi (42%) melaporkan kesulitan tidur. Di antara laporan masalah tidur, keluhan yang paling sering adalah terbangun di malam hari (dilaporkan oleh 92%), diikuti oleh bangun lebih awal (59%) dan sulit memulai tidur (49%). Analisis cross-sectionalgagal dalam mengidentifikasi hubungan yang signifikan antara status pra-menopaus, peri-menopaus, dan pascamenopause dengan keluhan tidur yang umum atau spesifik. Namun, di antara subset dari wanita premenopause pada awalnya dan pascamenopause dan tidak menggunakan terapi penggantian hormon pada saat kontrol, dilaporkan kesulitan tidur pada pascamenopause memiliki proporsi yang lebih tinggi berbanding premenapouse.12

Hohagen et al. melakukan studi terhadap 2512 pasien yang berusia dari 18 sampai 65 tahun yang datang ke klinik perawatan primer di Jerman. penilaian awal diidentifikasi sebanyak 18,7% dengan insomnia berat (kriteria DSM-III-R), 12,2% dengan insomnia sedang ( kriteria DSM-III-R, tanpa perubahan fungsi di siang hari) dan 15% dengan insomnia ringan (kesulitan sesekali dalam memulai dan mempertahankan tidur). Evaluasi kontrol pada pasien yang melaporkan insomnia padaawalnyadilakukan pada 4 bulan dan 2 tahun berikutnya. Pada awal, insomnia

ringan lebih sering di antara laki-laki, namun insomnia berat adalah lebih umum di kalangan wanita dengan batas 2:1 (65% berbanding 35%). Lebih dari dua pertiga pasien dengan insomnia yang berat pada awalnya melaporkan durasi penyakit adalah 1 tahun atau lebih.

Pada pemantauan selama 4 bulan, 75% dari mereka yang melaporkan insomnia berat di awalnya masih dilaporkan insomnia berat atau sedang, dengan sisanya melaporkan gejala-gejala ringan atau tanpa gejala. Pada evaluasi2 tahun berikutnya, penetapan insomnia berat atau sedang adalah 52% di antara mereka dengan insomnia berat pada awal; 42% dari pasien ini dilaporkan insomnia berat pada tiga kali kunjungan.Meskipun mereka dengan insomnia berat melaporkan keluhan sulit tidur secara terus-menerus, sebuah studi lanjutan menunjukkan bahwa presentasi gejala berubah secara signifikan dari waktu ke waktu. Misalnya, antara mereka yang melaporkan kesulitan memulai tidur pada awalnya, hanya setengah darinya yang masih mengalami kesulitan memulai tidur pada 4 bulan berikutnya, dan keluhan mempertahankan tidur dan bangun pagi bahkan lebih rendah. Perubahan gejala ini membuatkeraguan untuk mengklasifikasi insomnia berdasarkan waktu pada malam hari, setidaknya pada pasien dengan insomnia berat.

ASPEK KLINIS INSOMNIA

Studi longitudinal yang dijelaskan di atas insomnia juga memberikan informasi tentang kondisi klinis biasanya terkait dengan insomnia. Antara orang dewasa muda, insomnia sering dikaitkan dengan major depressive disorder (MDD), dengan odds ratio (OR) presentasi MDD pada 16,6subyek dengan insomnia dibandingkan dengan mereka yang tanpa insomnia; OR bahkan lebih tinggi (41.8) antara subyek dengan insomnia dan hipersomnia. Antara kondisi psikiatri lainnya, termasuk gangguan cemas (OR :2.4-7.0), gangguan penyalahgunaan zat (OR, ~2 untuk alkohol dan obatan terlarang) dan ketergantungan nikotin (OR 2,8) juga sangat terkait dengan insomnia.

Sehubungan dengan pola temporal, sejarah insomnia pada awal adalah sangat terkait dengan kejadian gangguan psikiatri , termasuk MDD, gangguan cemas, penyalahgunaan zat, dan ketergantungan nikotin. Hubungan dengan MDD

berikutnya adalah berkurang apabila adanya gejala depresi lain pada awalnya. Peran kausal potensial untuk insomnia dalam pengembangan MDD telah dibuktikan oleh beberapa penyelidik. Sama ada insomnia pelopor MDD, sebuah ciri klinis awal MDD atau hasil dari faktor-faktor etiologi umum untuk MDD masih harus diklarifikasi.

Hohagen et al melaporkan bahwa insomnia sedang atau berat, tetapi bukan insomnia ringan terkait dengan gangguan somatik kronis (tidak spesifik). Apabila dilakukan untuk menilai status kesehatan umum, pasien dengan insomnia berat memiliki tingkat kesehatan yang "sedang" (60%) atau "buruk" (25%) lebih sering daripada mereka yang tanpa insomnia (41% dan 4 %, masing-masing).

Penelitian yang sama juga menunjukkan korelasi yang kuat antara tingkat keparahan insomnia dan komorbiditas psikiatri. Antara orang-orang dengan insomnia berat, prevalensi bagi keseluruhan gangguan psikiatri adalah 37,4%, dan prevalensi depresi adalah 21,7%, dibandingkan dengan tingkat prevalensi 9,9% dan 3,7% masing-masing, bagi mereka yang tidak mengalami kesulitan tidur.

Selain korelasi kuat antara insomnia dan komorbiditas psikiatri, prevalensi insomnia meningkat dibandingkan dengan kontrol yang sehat dalam konteks beberapa kondisi medis kronis, termasuk osteoarthritis; rheumatoid arthritispenyakit arteri koroner, end-stage renal disease, diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2, dan gangguan neurologis seperti restless legs syndrome, penyakit Parkinson, dan penyakit Alzheimer.

PENILAIAN KLINIS

Meskipun studi lebih lanjut diperlukan, bukti menunjukkan bahwa insomnia dapat terjadi bersamaan dengan penyakit psikologis dan fisik, dan tanpa pengobatan, bisa menjadikondisi kronis, terutama pada wanita. Oleh karena itu, intervensi awal dan manajemen, dapat bermanfaat. Namun, proporsi pasien dengan insomnia yang melaporkan insomnia kepada dokter mereka cukup kecil dan para dokter tidak mengevaluasinya dengan benar. Baik pasien dan dokter mungkin tidak mengenali dampak dari sulit tidur dalam fungsi sehari-hari dan resiko kecelakaan serius dan berkembangnnya gangguan psikologis. Pedoman praktikal yang dikembangkan oleh Standards of Practice Committee of the

American Academy of Sleep Medicine merekomendasikanskrinning klinis secara rutin gejala insomnia saat pemeriksaan kesehatan supaya dapat pengobatan dapat diintegrasikan pada perawatan keseluruhan pasien.

Landasan evaluasi untuk insomnia dimulai dengan riwayat menyeluruh dan skrinning komorbiditas, seperti gangguan depresi dan cemas, gangguan pernafasan dan penggunaan zat, dan lainnya. Penggalian riwayat tidur yang mendalam adalah penting untuk mengidentifikasi penyebab insomnia dan harus mencakup hasil dari pengobatan sebelumnya.Berbagai alat-alat yang berguna dalam mengevaluasi insomnia adalah kuesioner subjektif. Lainnya termasuk log tidur, daftar gejala, tes skrinning psikologis dan wawancara teman tidur. Pittsburgh Sleep Quality Indexadalah kuesioner mengenai tidur yang dapat memberikan informasi yang berguna tentang kualitas tidur, jadwal, dan durasi.Insomnia Severity Index adalah alat yang sah dan dapat diandalkan untuk mengukur keparahan insomnia, termasuk akibatpada hari berikutnya. Nocturnal polysomnographydan daytime multiple sleep latency test tidak dianjurkan untuk evaluasi rutin insomnia kecuali gangguan tidur oleh penyebab lain dijangkakan seperti tidur yang berkaitan dengan gangguan pernafasan atau gangguan pergerakan anggota badan berkala.

TERAPI PENDERITA INSOMNIA

Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis, maka terapi yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala, namun gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan produktivias penderita, terutama penderita dengan usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan farmakologi atau non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu sendiri.1,2,5,6,7

Farmakologi

Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan tingkat keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia jangka pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan dalam memberikan pengobatan insomnia : 1) memiliki

efek samping yang minimal; 2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur; dan 3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur hanya digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu.4,5 Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-benzodiazepine dan miscellaneous sleep promoting agent.

  • 1.    Benzodiazepine3,4,5

Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani penderita insomnia karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat golongan ini sudah mulai ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran dan menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang menggunakannya.3 Selain itu, munculnya obat baru yang lebih aman yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini.

Kerja obat ini adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post-synaptic, dimana obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot. Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah : triazolam, temazepam, dan lorazepam.4

Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan dengan teliti. Efek samping yang paling sering adalah, merasa pusing, hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu, obat ini harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis seperti penyakit paru obstrutif kronis (PPOK).4,5 Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan dengan fraktur akibat jatuh pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang lama maupun kerja singkat.

  • 2.    Non-benzodiazepine3,5

Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip dengan benzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan. Efek

samping seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensi ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan.

Zolpidemmerupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang banyak digunakan untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit GABAAreseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical trial yang dilakukan, obat ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa menimbulkan efek rebound dan ketergantungan pada penderita.3,5

Zaleplonadalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu kerja yang cepat dan sangat pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu pada reseptor subunit α-1 GABAAreseptor.2,3 Efektivitasnya sangat mirip dengan zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior berbanding zolpidem. Sering menjadi pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena masa kerja obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.

Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti eszopiclone dan Ramelteon dimana mempunyai efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon.2

  • 3.    Miscellaneous sleep promoting agent2

Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat onset tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur. Namun keterangan ini masih belum mempunyai dibuktikan secara signifikan.

Melatonin tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural. Melatonin secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh kelenjar pineal. Melalui penyelidikan, sekresi melatonin meningkat sewaktu onset tidur dimulai dan mulai menurun saat bangun tidur.2 Ada penelitian yang menyebut, sekresi melatonin ini juga terkait intesnsitas cahaya, dimana

produksinya meningkat saat hari mulai gelap dan berkurang saat hari mulai cerah, sesuai siklus tidur manusia. Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan signal bangun tidur pada suprakiasmatik pada hipotamalamus. Oleh itu, ada juga studi yang menyatakan pemberian melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi. Farmakokinetik dari melatonin belum dapat ditemukan secara pasti karena sangat tergantung pada dosis, penyerapan oleh tubuh, waktu adminitrasi dan juga bentuk sediaan. Belum ada penelitian tentang efek samping melatonin, namun dinyatakan pada beberapa penelitian, melatonin menimbulkan pusing, sakit kepala, lemas dan ketidaknyamanan pada penderita. Dengan pemberian megadose (300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat fungsi ovary.2 Oleh itu hindari pemberian melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang dalam proses menyusui.

Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. dephenydramine citrate, diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga derivate yang telah mendapat persetujuan dari FDA.2 Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan mengantuk di siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi obat ini. Efikasi dari obat ini dalam penanganan insomnia belum dapat dipastikan dengan signifikan karena penelitian keterkaitan anti-histamine dengan penanganan insomnia belum menemukan bukti yang kuat.

Alkohol sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi kesulitan tidur. Data terkumpul menyatakan 13.3% penderita dari usia 18-45 tahun mengkonsumsi alkohol untuk mengatasi gangguan tidur, namun ini tidak mempunyai bukti yang nyata. Alkohol mempunyai efek yang bervariasi terhadap siklus tidur. Alkohol diduga dapat menyebabkan tidur yang terganggu diengah-tengah siklus tidur dan memperpendek fase REM. Selain tiu, alkohol dapat menyebabkan ketergantungan, toleran dan penggunaan yang berlebihan.1,2

Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline, doxepine, dan mitrazapine sering digunakan pada penderita insomnia

tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas penggunaan antidepresan pada penderita insomnia sangat tidak mencukupi. Namun, obat ini bisa diberikan karena tidak memberikan efek samping dan harga obat ini yang sangat murah.2

Kava-kava, suatu pengobatan alternative yang diesktrak dari akar pohon Polynesian, Piper methysticum sp.Ekstrak ini dipercayai mengandungi zat aktif yang mengeksitasi tingkat selular yang bisa menimulkan efek anxiolitik dan sedatif. Zat ini mempunyai onset yang cepat dan efek mengantuk di siang hari yang minimal. Namun begitu, zat ini dilarang di Eropah karena bersifat hepatotoksik.2

Valerian berasal dari Valeriana officinalis yang bisa memberi efek sedatif, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti. Dipercayai, zat ini bereaksi pada reseptor GABA. Ia mempunyai onset kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan pada penderita insomnia akut. Efek samping yang ditimbulkan tidak jelas dan efektifitas zat ini belum dapat dibuktikan secara pasti.2

Aromaterapimembantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun belum ada data yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.2

Non-farmakologi

Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe primer maupun sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa medikamentosa pada penderita insomnia karena tidak memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan penderita untuk menerapkan terapi sesuai keadaan penderita.5,6 Terapi tipe ini sangat memerlukan kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala nasehat yang diberikan oleh dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa diterapkan seperti yang dibahas di bawah ini :

  • 1.    Stimulus Conrol4,5,6

Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset

tidur dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat dipercepat. Malah dalam suatu studi menyatakan bahwa jumlah tidur pada penderita insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri dalam menjalankan metode ini, seperti :

Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu tidur

Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual. Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur

Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali

Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi

Hindari tidur di siang hari

  • 2.    Sleep Restriction3,6

Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur hanya waktu tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan ini dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur. Metode ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk diterapkan pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol sleep restriction seperti di bawah :

Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan jumlah tidur yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu

Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur

Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan

rumus (jumlah jam tidur/jumlah waktu di tempat tidur x 100)

Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit jika < 80%, atau pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90%

Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan

Jangan tidur kurang dari 5 jam

Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam

Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur kurang dari 75%

  • 3.    Sleep Hygiene4,5,6

Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur penderita itu sendiri.

Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan, seseorang dengan kualitas buruk biasanya mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk. Penelitian lain menyatakan, seseorang dengan sleep hygiene yang baik, bangun di pagi hari dalam suasana yang lebih bersemangat dan ceria. Terkadang, penderita sering memikirkan dan membawa masalah-masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain ke tempat tidur, sehingga mengganggu tidur mereka. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti dibawah :

Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur

Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin atau panas

Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik

Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita

Hindarimakanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur

Elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur

Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas yang berat sebelum tidur

  • 4.    Cognitive Therapy3,5,6

Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah pola pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk status insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive therapy dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya menyatakan, metode ini sangat bermanfaat pada penderita insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yang sama dengan pengobatan dengan medikamentosa.

RINGKASAN

Banyak pertanyaan mengenai insomnia masih belum mendapatkan jawabannya. Penelitian masa mendatang harus mengklarifikasi bahwa ada sifat dari hubungan antara insomnia dan komorbiditas psikologis dan fisiologis. Tanpa pengetahuan yang komprehensif, strategi pengobatan yang efektif, yaitu dengan farmakologi ataupun non-farmakologi sulit diaplikasikan. Berdasarkan penelitian, terapi non-farmakologi menjadi pilihan karena biaya yang lebih murah dan lebih efektif bedibandingkanrbanding dengan pemberian medikamentosa. Efek samping dari obat dan kemungkinan terjadinya kekambuhan setelah pengobatan dihentikan harus diperhatikan secara seksama supaya tidak memperburuk kondisi penderita.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Karl D. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ. 2006 ;12 : 14-220

  • 2.    Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland Clinic Journal of Medicine. April : 2007; Vol 74 : 251-265

  • 3.    L Petit. N Azad. Anna B. Non-pharmacological Management of Primary and Secondary Insomnia Among Older People. British geriatric Society. 2003 ; 32 : 19-25

  • 4.    Anne MMHH, Renee C. Anna L. The Diagnosis and Management of Insomnia in Clinical Practice. CMAJ. 2000 ; 162 : 216-220

  • 5.    Erika N. Susan L. John ED. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June : 2004 ; 17 : 212-218

  • 6.    R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management on Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700

  • 7.    RAretoula F. Sleep Disorder Insomnia. Silva Method Research Proper. 2005 : 2-8

  • 8.    National Heart, Lung, and Blood Institute Working Group on Insomnia. Insomnia: assessment and management in primary care. Am Fam Physician. 1999;59: 3029-3038

  • 9.    Foley DJ, Monjan AA, Brown SL, Simonsick EM, Wallace RB, Blazer DG. Sleep complaints among elderly persons: an epidemiologic study of three communities. Sleep. 1995; 18:425-432

  • 10.    Ancoli-Israel S. Insomnia in the elderly: a review for the primary care practitioner. Sleep. 2000;23(suppl 1):S23-S30; discussion S36-S38

  • 11.    Foley DJ, Monjan A, Simonsick EM, Wallace RB, Blazer DG. Incidence and remission of insomnia among elderly adults: an epidemiologic study of 6,800 persons over three years. Sleep. 1999;22(suppl 2):S366-S372

  • 12.    Breslau N, Roth T, Rosenthal L, Andreski P. Sleep disturbance and psychiatric disorders: a longitudinal epidemiological study of young adults. BiolPsychiatry.1996;39:411-418

17