RESISTENSI DAERAH TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA
on
PIRAMIDA Vol. XIV No. 1 : 1 - 15
ISSN : 1907-3275
RESISTENSI DAERAH TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA
Helmuth Y. Bunu
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah, e-mail: [email protected]
ABSTRACK
The objective of this study is to describe: 1) the forms of resistance to family planning, 2) underlying factors-factors of resistance, 3) resistance impact, and 4) the strategy to overcome the resistance. The study used a descriptive explanatory. This study was conducted In Midle Kalimantan at March-may 2016. Data were collected using participatory observation, interview, and documentation. Research objects are: persons, concept, place, and activities. Verification of data was done by credibility, transferability, dependability, and comfirmability criteria Data were analyzed using four qualitative research phases of Miles and Hubermann, namely data collection, data reduction, data classification, and making conclusions. Based on the research results, in general it can be concluded that: 1) the forms of resistance area to family planning begins with budget restrictions, 2) underlying factors-factors of resistance is due to the regional autonomy that gives authority to the regions to create development priorities, 3) resistance impact is increasing the population growth figures significantly, and 4)the strategy to overcome the resistance area that it needs to have intense coordination between central and local. family planning programs received maximum support from the region.
Keywords: resistance, local governance, family planning.
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan: 1) bentuk-bentuk resistensi terhadap program KB, 2) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi, 3) dampak resistensi, dan 4) strategi mengatasi resistensi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif explanatory. Penelitian dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah pada bulan Maret—Mei 2016. Data dikumpulkan dengan observasi partisipatif, wawancara dan dokumentasi. Objek penelitian adalah pelaku, konsep, tempat, dan kegiatan. Keabsahan data dilakukan dengan kriteria kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan komfirmabilitas. Data dianalisis dengan menggunakan empat tahap penelitian kualitatif dari Miles dan Hubermann, yaitu pengumpulan data, reduksi data, klasifikasi data, dan penarikan simpulan. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat disimpulkan bahwa: 1) bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap program KB diawali dengan pembatasan anggaran, 2) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi yaitu karena adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat skala prioritas pembangunan, 3) dampak resistensinya adalah kenaikan angka pertambahan penduduk secara signifikan, dan 4) se\trategi mengatasi resistensi daerah perlu adanya koordinasi yang inten antara pusat dan daerah agar program Keluarga Berencana mendapat dukungan yang maksimal dari daerah.
Kata kunci: Resistensi, pemerindah daerah, keluarga berencana
PENDAHULUAN
Berbagai permasalahan di daerah berkaitan dengan pelaksanaan program keluarga berencana (KB) bersifat sangat komplek, karena permasalahan itu tidak hanya menyangkut rendahnya partisipasi masyarakat terhadap program KB, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya perhatian pemerintah daerah terhadap program nasional (program KB) yang dibuktikan dengan rendahnya
anggaran di daerah yang dialokasikan untuk pelaksanaan program KB, minimnya kegiatan sosialisasi, layanan sosial dan kampanye program KB, rendahnya kehadiran pemerintah daerah dalam mengurangi tingginya angka kelahiran, seditinya sumber daya daerah yang dikhususkan untuk program KB, terbatasnya jumlah sumber daya manusia terampil yang secara khusus ditugaskan untuk menangani program KB, dan rendahnya partisipasi
masyarakat terhadap program KB.
Seluruh permasalahan itu dapat ditipologikan menjadi delapan klasifikasi besar yaitu: 1) rendahnya alokasi anggaran yang secara khusus diprioritaskan untuk mendukung pelaksanaan program KB, yang dibuktikan dengan belum adanya kebijakan alokasi anggaran untuk pengendalian jumlah perkembangan penduduk yang tinggi, 2) Pola hubugan yang tidak seimbang antar-elemen pemerindah daerah, yang dibuktikan oleh rendahnya keberpihakan pemerintah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) terhadap pelaksanaan program KB, 3) rendahnya keterlibatan atau kepedulian lembaga non-pemerintah/organisasi sosial kemasyarakatan (LSM, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, darmawanita) terhadap pelaksaan program KB, 4) rendahnya motivasi advokasi pelaksanaan program KB oleh lembaga pemerintah, 5) penolakan halus terhadap pelaksanaan program KB baik yang diprakarsai oleh lembaga pemerintah (BKKBN) maupun yang diprakarsai oleh lembaga nonpemerintah (LSM di bidang kependudukan, Posyandu, Pos pemberdayaan keluarga/Posdaya, PKK dan lainnya), 6) rendahnya jumlah penyuluh KB, yang tidak diikuti dengan penerimaan atau perekrutan kader penyuluh KB, termasuk rendahnya sumber daya manusia di bidang KB, 7) rendahnya minat para peneliti di bidang multi ilmu/ disiplin untuk melakukan penelitian dan pencegahan terhadap tingginya angka kematian ibu dan anak, dan 8) rendahnya sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi terhadap pelaksanaan program KB sehingga masyarakat kurang sadar untuk mengikuti program KB secara mandiri, tanpa harus menunggu uluran tangan dari pemerintah.
Dengan membaca kedelapan permasalah di atas, lingkungan politik mempunyai dampak langsung dan tidak langsung terhadap proses pelaksanaan program KB. Bahkan hal ini sering kali dijadikan sebagai instrumen politik oleh para aktor politik maupun pemerintah daerah untuk menerima atau menolak program politik kependudukan yang diagendakan pemerintah pusat.
Myron Weiner mengenalkan istilah “pilitical demography” sebagai sebuah pendekatan untuk melihat bagaimana ukuran, komposisi dan distribusi penduduk terkait dengan pemerintah dan politik. Faktor-faktor demografi, seperti besarnya penduduk, komposisi dan distribusi penduduk dapat mempengaruhi pemerintah dan politik, seperti kinerja pemerintah atau distribusi kekuasaan. Sebaliknya, politik atau kebijakan yang dibuat oleh negara dapat juga menjadi determinan dari perubahan-perubahan kependudukan, seperti besarnya penduduk, komposisi penduduk dan distribusi penduduk.
Riwanto Tirtosudarmo3 menjelaskan bahwa kekuatan pimpinan era penjajahan Belanda saat melakukan pemerataan penduduk melalui program kolonialisasi/ transmigrasi yang sesungguhnya program tersebut sangat berorientasi industrialisasi, dapat mengarahkan kebijakan program transmigrasi, yang menurut perhitungan rasional tidak terlalu menguntungkan dan tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan penduduk Jawa. Program ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru. Di sini, demografi politik diperlihatkan. Meski kebijakan transmigrasi tidak rasional secara ekonomis, tetapi tetap dijalankan karena penguasa negeri lebih mengutamakannya untuk menuju Indonesia yang terintegrasi, terasimilasi, dan terkoneksi antarsuku. Ini yang disebut penulis sebagai kebijakan ideologis (ideological policy). Namun, kebijakan ini juga tidak dapat menunjukkan keberhasilan. Di era penguasa militer, transmigrasi diisukan sebagai alat untuk menjaga keamanan, terutama daerah terpencil dan perbatasan.
Demikian juga saat zaman Orde Baru yang otoriter, ketika Soeharto berketetapan hati untuk mengadopsi kesepakatan global menurunkan laju pertumbuhan penduduk dunia melalui penyelenggaraan program keluarga berencana nasional secara intensif, termasuk menerapkan pendekatan intensif dan disinsentif, pemerintah tidak mengalami kendala apa-apa, karena tidak ada perlawanan yang muncul ke permukaan. Angka fertilitas 2,6 tidak beranjak selama 5 tahun terakhir era Orde Baru.4
Di sisi lain, Indonesia sejak 1998 telah berubah dari negara otoriter yang sentralis ke negara demokratis yang desentralis. Perubahann tata politik dan tata-pemerintahan ini mempunyai implikasi terhadap perubahan arah atau orientasi dalam dinamika kependudukan baik di pusat maupun di daerah. Banyaknya penolakan dari daerah terhadap program kependudukan yang dijadikan prioritas pemerintah pusat tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah daerah, baik dalam membuat kebijakan/regulasi maupun pada tataran 5
praktik operasional pelaksanaan program KB.
Permasalahan di atas menuntun peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan “resistensi pemerintah terhadap program KB. Resistensi tersebut dapat dimaknai dari berbagai segi, mulai penentuan kebijakan atau politik anggaran, hingga sampai pada implikasi pelaksanaan program KB di tingkat pemerintah daerah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah: 1) bagaimanakah bentuk-bentuk
resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana? 2) faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana? 3) bagaimanakah dampak resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana? 4) bagaimanakah cara mengatasi resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana?
LANDASAN TEORI
Isu kependudukan kini kembali menjadi prioritas pemerintah. Sebagaimana diketahui, setelah reformasi isu kependudukan seperti kehilangan gaungnya. Pertumbuhan penduduk pasca reformasi diyakini lebih tinggi dibandingkan era Orde Baru. Hal ini tentu akan berdampak pada berbagai sektor. Oleh karena itu, politik demografi harus menjadi isu strategis yang dilakukan pemerintah dan ha6rus mendapatkan sambutan dari pemerintah daerah.
Isu kependudukan tentu harus dimaknai bersama sebagai isu yang penting sehingga perlu kembali diangkat dan menjadi prioritas utama di setiap daerah. Isu kependudukan yang jarang dibahas dan didiskusikan antara pemerintah dan pemerintah daerah akan berdampak pada menurunnya minat pemerintah daerah dalam mendukung program pemerintah tersebut.
Saat ini, perkembangan politik semakin oligarkis dan kebijakan pemerintah semakin dididikte oleh kekuatan pemerintah pusat. Terbukti, kebijakan pemerintah telah menimbulkan berbagai ketidakharmonisan antara pemerintah pusat dan daerah, yang apabila kebijakan itu menyangkut kependudukan, akan langsung berdampak pada menurunkan kualitas hidup penduduk Indonesia.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar keempat di dunia dan memiliki keragaman sosial-budaya yang tinggi memang seharusnya menjadi pertanyaan kita bersama bagaimanakah bangun politik kependudukan yang seharusnya dikembangkan di masa depan agar dinamika demografis di satu sisi dan keragaman budaya di sisi lain dapat diselaraskan agar tercipta masyarakat adil dan makmur.7
Politik Kependudukan yang berbasis keragaman dan keindonesiaan sangat terkait dengan realitas sosial-kebudayaan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk. Indonesia sebagai negara kesatuan republik Indonesia merupakan sebuah format hubungan antara pusat dan daerah serta antara daerah-daerah yang memungkinkan ter-ejawantahkannya motto Negara Republik Indonesia
yaitu Bhineka Tunggal Ika (Tirtosudarmo, 2014).
Adalah Cliffod Geertz dalam salah satu tulisannya mengatakan: “Archipelagic in geography, eclectic in civilization, and heterogonous in culture, Indonesia flourishes when it accepts and capitalizes on its divers8ity and disintegrates when it denies and suppresses it..
Sedikitnya ada dua karakteristik utama dari demografi Indonesia: Pertama, selain jumlahnya yang besar dan tetap bertumbuh, memiliki penyebaran yang tidak merata secara geografis. Kontur Indonesia yang berbentuk kepulauan mengakibatkan ketidakmerataan penyebaran penduduk selalu terkait dengan keberadaan pulau-pulau. Adalah sebuah fenomena yang menarik bahwa pulau Jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari luas Indonesia selama kurang lebih 200 tahun lamanya tetap menjadi pulau terpadat di mana sekitar 60 persen penduduk Indonesia tetap berada di pulau Jawa. Meskipun di negara manapun ketidakmerataan penduduk merupakan sesuatu yang hampir selalu terjadi, dalam kasus Indonesia ketidakmerataan ini lebih banyak terkait dengan kegagalan paradigma pembangunan dan secara lebih khusus politik kependudukan yang dianut. Paradigma pembangunan yang menyerahkan dinamika ekonomi pada pasar (fumdamentalisme pasar) dan strategi ekonomi yang beriorientasi ke darat (land based. economic strategy) padahal realitas geografis Indonesia seharusnya mendorong dikembangkannya strategi yang berorientasi ke laut (maritime based economic strategy) merupakan penyebab mengapa konsentrasi penduduk terpusat di Jawa.9
Kedua, jika pada masa lalu politik kependudukan yang dianut berbasis pada dominasi negara terhadap warganegara, sehingga yang terjadi adalah strategi dan program yang berisi rekayasa-rekayasa demografi (demographic engineering) yang mengandaikan pasifnya warganegara; di masa depan politik kependudukan harus dibangun dengan asumsi bahwa pemerintah daerah dan penduduk yang ada di dalamnya adalah warganegara yang aktif berpartisipasi dalam strategi dan program kependudukan. Secara retorik, perubahan dalam paradigma politik kependudukan harus dilakukan, dari “rekayasa demografi” oleh pemerintah pusat men1ja0di politik demografi yang berbasis pemerintah daerah.
Secara lebih kongkrit strategi dan progam kependudukan yang berbasis keragaman dan keindonesiaan di tingkat pemerintah daerah, perlu dikedepankan oleh pemangku kepentingan di pusat dan daerah, sehingga ada gayung bersambut, antara kebijakan kependudukan dari pemerintah pusat yang diaminkan oleh pemerintah daerah, baik pada tataran kebijakan, penyiapan sumber pendanaan, dan pelaksanaan program baik yang bersifat nasional yang harus dilaksanakan
oleh daerah, maupun program pemerintah yang harus didukung oleh pemerintah daerah.
Haynes berusaha memahami gerakan politik Negara bagian. Heynes mendapatkan pemahaman bahwa gerakan di Negara bagian lebih disebabkan oleh ketat dan kakunya pengendalian politik dan ekonomi dari negara. Negera telah memarginalisasikan peran Negara bagian dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan proses menikmati atas pelaksanaan pembangunan oleh Negara.
Ledakan gerakan politik melaui usaha kolektif di Negara bagian yang semuanya didalangi oleh kelompok aksi, berusaha untuk menyuarakan dan mengejar apa yang menjadi tujuan mereka, yaitu memperoleh perubahan yang menguntungkan bagi kepentingan kolektif. Gerakan mereka didasari oleh pemahaman mereka tentang apa yang menguntungkan dan tidak menguntungkan bagi Negara bagiannya.
Menurut Haynes, perlawanan administratif yang sangat signifikan dalam mempengaruhi kebijakan ke depan. Negara tidak akan lagi secara sesuka hati atau sekehendaknya melakukan program pembangunan yang sifatnya top down.
Haynes mempunyai keyakinan di mana perlawanan pemerintah daerah (Negara bagian) hadir dengan sejumlah yang terus bertambah besar, maka ada potensi yang lebih besar bagi perubahan politik kebijakan pembangunan daripada yang tidak ada gejolak aksinya.
Eckstein 3 dalam buku Power and Popular Protes, mengemukan faktor-faktor yang mendorong pemerintah daerah melakukan perlawanan adalah karena rendahnya distribusi kekuasaan, perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan yang menimbulkan perbedaan kepentingan di antara pemerintah daerah yang berbeda dalam negara.
Scott berpendapat bahwa pemerintah daerah melakukan perlawanan terhadap dominasi yang menekan mereka adalah merupakan suatu gerakan menolak hegemoni. 4 Selanjutnya, Scott melihat pemerintah daerah dalam melakukan perlawanan terhadap hegemoni negara selalu menggunakan senjata yang mereka miliki. Meskipun Negara dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah, tetapi pemerintah pusat tidak dapat menguasai pikiran dan kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah
-
11 Muhammad Busro. “Politik Kependudukan di Indonesia.” Makalah, (Serang: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten, 2016) hal 2
-
12 Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil Di Dunia Ketiga: Upaya Memahami Gerakan Politik Kaum Terpinggir (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) hal 20-21.
-
13 Hotman M. Siahaan, “Pembangkangan Terselubung …hal 33
-
14 Hotman M. Siahaan, “’Anarki’ Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi di Pedesaan, makalah yang disampaikan dalam Seminar “Anarkhi, Represi, dan Demokrasi” yang diadakan dalam rangka Dies Fisipol UGM, 19 September 1998. hal 19-46
daerah. 5 Dalam hal ini, Scott menjelaskan bahwa dalam perlawanan ada yang be1r6sifat sungguh-sungguh dan ada yang bersifat insidental. Scott juga menjelaskan bahwa resistence adalah semua tindakan oleh para pemerintah daerah itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan pemerintah. 7
Eric Hoffer penolakan oleh pemeritah daerah terhadap program18hegemoni dicirikan oleh kecenderugan untuk beraksi. Hal itu terjadi karena mereka tersingkir dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan. Olson yang mengatakan bahwa, aksi pemerintah daerah dalam menolak hegemoni pemerintah pusat sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat bagi pemerintah daerah. 9
Gurr mengembangkan suatu teori umum mengenai gerakan politik yang didasarkan atas teori psikologi yang didefinisikan sebagai, semua serangan dalam suatu komunitas politik terhadap rezim politik, maupun para pejabat atau kebijakan-kebijakannya. Menurut asumsi Gurr semua fenomena di atas termasuk aksi menolak kebijakan pemerintah pusat bersar dari pikiran para pejabat di daerah. Ketidakpuasan pemerintah daerah yaitu ketidaksesuaian antara hara2pan dan kemampan.
Sementara itu, menurut Salert 3 jangan meremehkan teori psikologi dan jangan terlalu melebihkan teori pilihan rasional dalam memandang aksi penolakan terhadap program pemerintah pusat.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang akan digunakan adalah jenis penelitian deskriptif explanatory yaitu penelitian yang menjelaskan atau mendeskripsikan konsep atau gabungan antara beberapa konsep secara mendetail. 4 Sedangkan menurut Faisal 5 explanatory research ditujukan untuk menemukan dan mengembangkan teori sehingga hasilnya dapat menjelaskan terjadi sesuatu gejala atau kenyataan sosial tertentu.
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan
15 James C. Scott, Weapons of the Weak …hal 305
16 James C. Scott, Weapons of the Weak …hal 305.
17 James C. Scott, Weapons of the Weak... hal 302
18 Eric Hoffer, Gerakan Massa, Terj. Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988) lihat juga Kata Pengatarnya Yap Thiam Hiem.
19 Theda Skockpol, Negara …hal 7, atau Hotman M. Siahaan, Perlawanan … hal.41.
20 Theda Skocpol, Negara dan Revolusi Sosial: Suatu Analisis Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan Cina. (Terj. Kelompok Mitos (Jakarta: Penerbit Er-langga, 1979) hal 7 atau bisa juga dibaca pada Hotman M. Siahaan, Perlawanan… hal 40
21 Lihat Ted Robert Gurr, Why Man Rebel, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1970) hal 3-5
22 Lihat Mohtar Mas’oed, Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu (P3PK UGM, Yogyakarta. 2000) hal 7
23 Barbara Salert, Four Theories Revolutions and Revolutionaries, (New York/ Oxford/Amsterdam: Elsevier, 1976) hal 3-5
-
24 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survei. (Jakarta: Salemba Empat, 1989) hal 32
-
25 Faisal, Sanapiah. Peneliti Kualitatif: Dasar- Dasar dan Aplikasi, (Malang: UM Press. 1992) hal 64
Tengah. Lokasi penelitian yaitu di Kantor Gubernuran, sekretaris daerah Provinsi, BPS Provinsi, dan DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Waktu penelitian antara bulan Maret hingga Juni 2016.
Dalam penelitian ini jenis data yang diperlukan adalah: 1) Data documenter yaitu dokumen organisasi yang terkait dengan tema penelitian ini, seperti data dari BKKBN pusat, data dari BKKBN Kalimantan Tengah, dan dinas kependudukan.
Informan kunci di luar pemerintah untuk memperoleh experts judgment Dr. Dr. Muhammad Busro (ahli Sosiologi Antropologi).
Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data yang sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian ini maka teknik yang digunakan adalah telaah dokumentasi dan kepustakaan dengan cara mengkaji buku-buku bacaan, dokumen-dokumen, peraturaan–peraturaan dan ketentuan undang-undang, serta kebijaksanaan– kebijaksanaan yang berkaitan program KB.
Metode analisis yang digunakan adalah: (1) analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan secara jelas karakteristik data penelitian dan (2) analisis kualitatif, dengan empat tahap kegiatan, mulai dari pengumpulan data, reduksi atau penya26ringan data, klasifikasi data, dan penarikan kesimpulan.
HASIL PENELITIAN
Secara umum, jumlah kelahiran, laju pertumbuhan penduduk, angka kematian ibu, angka kematian bayi, Jumlah akseptor aktif, Jumlah akseptor baru, jumlah anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Sub Bidang Keluarga Berencana, dan pagu dana bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) di Kalimantan Tengah secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa jumlah kelahiran di Kalimantan Tengah dapat dirinci pada Tabel 1.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pada jumlah kelahiran selama empat tahun (2010-2013) realtif stabil bergerak di antara angka 33 ribu hingga 34 ribu tetapi ada kecenderungan mengalami penurunan. jumlah kelahiran tertinggi pada tahun 2013 yaitu di Kabupaten barito Timur, dan jumlah kelahiran terendah pada tahun 2013 yaitu di Kabupaten Seruyan.
Laju pertumbuhan penduduk (LPP)di Kalimantan Tengah juga mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Angka Kelahiran di Kalimantan tengah Menurut Kabupaten/Kota
Kabupaten/kota |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
Kotawaringin Barat |
2,168 |
2,525 |
2,662 |
2,409 |
Kotawaringin Timur |
2,259 |
2,153 |
2,378 |
2,275 |
Kapuas |
2,707 |
2,497 |
2,286 |
2,253 |
Barito Selatan |
2,673 |
2,508 |
2,390 |
2,129 |
Barito Utara |
2,366 |
2,215 |
2,489 |
2,769 |
Sukamara |
2,820 |
2,367 |
2,612 |
2,499 |
Lamandau |
2,436 |
2,435 |
2,799 |
2,440 |
Seruyan |
2,234 |
2,097 |
1,983 |
1,971 |
Katingan |
2,388 |
2,283 |
2,681 |
2,621 |
Pulang Pisau |
2,553 |
2,464 |
2,268 |
2,163 |
Gunung Mas |
2,571 |
1,963 |
2,870 |
2,430 |
Barito Timur |
2,388 |
2,895 |
2,676 |
2,841 |
Murung Raya |
2,632 |
2,506 |
2,242 |
2,821 |
Palangka Raya |
2,509 |
2,282 |
2,072 |
2,029 |
Kalimantan Tengah |
34,702 |
33,189 |
34,409 |
33,651 |
Sumber: Susenas | ||||
Tabel 2. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) di kalimantan Tengah | ||||
Kabupaten/kota |
2011-2012 2012-2013 |
2013-2014 | ||
Kotawaringin Barat |
3,31 |
3,24 |
3,21 | |
Kotawaringin Timur |
2,54 |
2,53 |
2,57 | |
Kapuas |
1,14 |
1,04 |
0,99 | |
Barito Selatan |
1,27 |
1,17 |
1,08 | |
Barito Utara |
0,97 |
0,88 |
0,85 | |
Sukamara |
4,25 |
4,07 |
4,07 | |
Lamandau |
3,21 |
3,11 |
3 | |
Seruyan |
4,49 |
4,49 |
4,39 | |
Katingan |
1,8 |
1,77 |
1,66 | |
Pulang Pisau |
0,91 |
0,74 |
0,6 | |
Gunung Mas |
2,5 |
2,44 |
2,41 | |
Barito Timur |
3,07 |
3,07 |
2,92 | |
Murung Raya |
2,71 |
2,54 |
2,51 | |
Palangka Raya |
3,23 |
3,25 |
3,13 | |
Kalimantan Tengah |
2,4 |
2,36 |
2,31 |
Sumber: Kalimantan Tengah dalam Angka
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa laju pertumbuhan penduduk di Kalimantan tengah dalam tiga tahun (2011-2014) selalu mengalami penurunan tiap tahunnya. Pada tahun 2010/2011 laju pertumbuhan penduduk hanya 2,4 sementara pada tahun 2012-1013 mengalami penurunan menjadi 2,36 dan pada tahun 2013/2014 turun lagi menjadi 2,31. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi pada tahun 2013/2014 yaitu Kabupaten Seruan dan laju pertumbuhan penduduk terendah pada tahun 2013/2014 yaitu Kabupaten Pulang Pisau yang hanya 0.6.
Angka kematian ibu di Kalimantan Tengah Relatif tinggi dan selama tiga tahun terakhir 2012-2014 bahkan ada kecenderungan naik. Secara lebih rinci angka kematian ibu per kabupaten/Kota dapat dilihat pada Tabel 3.
26 Matthew B. Miles,, A. Michael Huberman, dan Johnny Saldaña. Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. Edisi 3. (Los Angeles: Sage Publication, . 2008) 76.
Tabel 3 Angka Kematian Ibu di Kalimantan Tengah
Kabupaten/kota |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
Kotawaringin Barat |
9 |
6 |
10 |
5 |
10 |
Kotawaringin Timur |
16 |
12 |
16 |
13 |
11 |
Kapuas |
11 |
10 |
7 |
10 |
20 |
Barito Selatan |
6 |
3 |
1 |
8 |
2 |
Barito Utara |
2 |
10 |
3 |
3 |
5 |
Sukamara |
0 |
1 |
1 |
1 |
2 |
Lamandau |
2 |
1 |
1 |
0 |
4 |
Seruyan |
4 |
7 |
5 |
6 |
8 |
Katingan |
4 |
4 |
4 |
8 |
16 |
Pulang Pisau |
4 |
4 |
5 |
4 |
5 |
Gunung Mas |
4 |
2 |
2 |
3 |
5 |
Barito Timur |
3 |
3 |
4 |
6 |
2 |
Murung Raya |
4 |
7 |
3 |
3 |
7 |
Palangka Raya |
11 |
3 |
0 |
3 |
4 |
Kalimantan Tengah |
80 |
73 |
62 |
73 |
101 |
Sumber : Kalimantan Tengah Dalam Angka
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa angka kematian ibu di Kalimantan Tengah dalam tiga tahun (2012-2014) selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 2012 angka kematian ibu hanya 62 orang, tahun 2013 naik menjadi 73 orag, dan pada tahun 2014 naik menjadi 101 orang. Angka kematian ibu tertinggi pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Kapuas yaitu 20 orang dan angka kematian ibu terendah pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Barito Timur yang hanya 2 orang.
Angka kematian bayi di Kalimantan Tengah Relatif tinggi dan selama tiga tahun terakhir 2012-2014 bahkan ada kecenderungan turun. Secara lebih rinci angka kematian bayi per kabupaten/Kota dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4 Angka Kematian bayi di Kalimantan Tengah
Kabupaten/kota |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
Kotawaringin Barat |
19 |
21 |
63 |
103 |
17 |
Kotawaringin Timur |
16 |
4 |
151 |
100 |
40 |
Kapuas |
26 |
29 |
80 |
48 |
50 |
Barito Selatan |
29 |
10 |
40 |
13 |
16 |
Barito Utara |
18 |
7 |
25 |
15 |
14 |
Sukamara |
21 |
20 |
36 |
12 |
13 |
Lamandau |
17 |
9 |
19 |
22 |
10 |
Seruyan |
12 |
18 |
39 |
20 |
14 |
Katingan |
8 |
12 |
39 |
31 |
34 |
Pulang Pisau |
4 |
7 |
16 |
9 |
7 |
Gunung Mas |
14 |
22 |
26 |
14 |
21 |
Barito Timur |
29 |
9 |
21 |
13 |
14 |
Murung Raya |
13 |
44 |
60 |
15 |
49 |
Palangka Raya |
7 |
10 |
5 |
78 |
14 |
Kalimantan Tengah |
233 |
222 |
620 |
493 |
313 |
Sumber : Kalimantan Tengah Dalam Angka
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa angka kematian bayi di Kalimantan Tengah dalam tiga tahun (2012-2014) selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 2012 angka kematian bayi hanya 602 anak, tahun 2013 naik menjadi 493 anak, dan pada tahun 2014
naik menjadi 313 anak. Angka kematian bayi tertinggi pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Kapuas yaitu 50 anak dan angka kematian bayi terendah pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Palang Pisau yang hanya 7 anak.
Jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah dari tahun ke tahun relatif tetap, hal ini menunjukkan pasangan usia subur yang baru relatif tidak menjadi akseptor aktif. Hal ini dapat di lihat pada tabel berikut.
Tabel 5 Jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah
Kabupaten/kota |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
Kotawaringin Barat |
33579 |
36133 |
35924 |
24693 |
33481 |
Kotawaringin Timur |
52636 |
57014 |
61294 |
55941 |
58781 |
Kapuas |
54894 |
56141 |
59044 |
65844 |
65388 |
Barito Selatan |
19211 |
20214 |
23683 |
22753 |
21153 |
Barito Utara |
20087 |
19364 |
18497 |
25723 |
19681 |
Sukamara |
8610 |
10867 |
8984 |
10477 |
8589 |
Lamandau |
11283 |
13585 |
9660 |
9651 |
10094 |
Seruyan |
19301 |
16822 |
18016 |
17822 |
18631 |
Katingan |
23079 |
18933 |
27323 |
24493 |
26743 |
Pulang Pisau |
14942 |
17941 |
8971 |
12231 |
14369 |
Gunung Mas |
14621 |
18816 |
16571 |
16727 |
16966 |
Barito Timur |
15372 |
16012 |
18716 |
16512 |
17219 |
Murung Raya |
16910 |
12013 |
13332 |
16093 |
12766 |
Palangka Raya |
26308 |
27025 |
35388 |
36536 |
29461 |
Kalimantan Tengah |
330833 |
340880 |
355403 |
355496 |
353322 |
Sumber : Kalimantan Tengah Dalam Angka
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah dalam lima tahun (2010-2014) selalu stagnan, yaitu berkisar 330 ribu s.d. 350 ribu. Pada tahun 2014 jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah sebanyak 353.322 orang. Jumlah akseptor aktif yang paling tinggi yaitu di Kabupaten kapuas, yaitu sebanyak 65.388 pasangan usia subur, dan jumlah akseptor aktif yang paling rendah yaitu di Kabupaten Sukamara yaitu sebanyak 8.589 pasangan usia subur.
Jumlah akseptor baru di Kalimantan Tengah dari tahun ke tahun relatif tetap. Hal ini dapat di lihat pada Tabel 6.
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa jumlah akseptor baru di Kalimantan Tengah dalam lima tahun (2010-2014) selalu fluktuatif. Pada tahun 2014 jumlah akseptor baru di Kalimantan Tengah sebanyak 69.531 pasangan. Jumlah akseptor baru yang paling tinggi yaitu di Kabupaten Kapuas, yaitu sebanyak 12.870 pasangan usia subur, dan jumlah akseptor baru yang paling rendah yaitu di Kabupaten Sukamara yaitu sebanyak 1.851 pasangan usia subur.
Berkaitan dengan besar pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) Sub Bidang Keluarga Berencana di Kalimantan Tengah pada tahun 2016 relatif sangat kecil, karena dari 14 kabupaten kota, hanya ada dua kab yang mendapat alokasi anggaran di atas satu milyar yaitu kabu Barito Utara sebesar Rp2.087.100.000,00 dan Kab Pulang
Tabel 6 Jumlah Akseptor Baru Kalimantan Tengah | |||||
Kabupaten/kota |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
Kotawaringin Barat |
8275 |
9273 |
9124 |
7870 |
6137 |
Kotawaringin Timur |
13227 |
13697 |
13706 |
13485 |
11281 |
Kapuas |
13449 |
18715 |
19417 |
16410 |
12870 |
Barito Selatan |
3932 |
4847 |
4888 |
3819 |
1984 |
Barito Utara |
2797 |
3369 |
4114 |
4307 |
2855 |
Sukamara |
2321 |
2330 |
2188 |
2446 |
1851 |
Lamandau |
1697 |
2506 |
4091 |
3479 |
2137 |
Seruyan |
5326 |
5775 |
5371 |
5290 |
2795 |
Katingan |
5124 |
6230 |
6391 |
10029 |
4402 |
Pulang Pisau |
5634 |
3593 |
4516 |
3270 |
2526 |
Gunung Mas |
4723 |
7652 |
7910 |
7556 |
4748 |
Barito Timur |
3139 |
3941 |
3506 |
2986 |
2867 |
Murung Raya |
4251 |
3929 |
3685 |
4660 |
4311 |
Palangka Raya |
5814 |
6881 |
8596 |
8512 |
8767 |
Kalimantan Tengah |
79709 |
92738 |
97503 |
94119 |
69531 |
Sumber : Kalimantan Tengah Dalam Angka
Tabel 8 Pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) Sub Bidang Keluarga Berencana
Kabupaten/kota |
2016 |
Kotawaringin Barat |
108.000.000 |
Kotawaringin Timur |
334.350.000 |
Kapuas |
279.750.000 |
Barito Selatan |
151.800.000 |
Barito Utara |
88.050.000 |
Sukamara |
304.650.000 |
Lamandau |
242.850.000 |
Seruyan |
538.200.000 |
Katingan |
316.200.000 |
Pulang Pisau |
303.600.000 |
Gunung Mas |
250.200.000 |
Barito Timur |
352.800.000 |
Murung Raya |
69.150.000 |
Palangka Raya |
284.340.000 |
Kalimantan Tengah |
3.623.940.000 |
Sumber: Juknis BKKBN Pusat
Pisau yaitu sebesar Rp1.253.040.000,00. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) Sub Bidang Keluarga Berencana
Kabupaten/kota |
2016 |
Kotawaringin Barat |
247.190.000 |
Kotawaringin Timur |
231.560.000 |
Kapuas |
448.310.000 |
Barito Selatan |
839.960.000 |
Barito Utara |
2.087.100.000 |
Sukamara |
408.320.000 |
Lamandau |
452.830.000 |
Seruyan |
231.560.000 |
Katingan |
908.990.000 |
Pulang Pisau |
1.253.040.000 |
Gunung Mas |
401.790.000 |
Barito Timur |
868.630.000 |
Murung Raya |
231.560.000 |
Palangka Raya |
531.160.000 |
Kalimantan Tengah |
9.142.000.000 |
Sumber: Juknis BKKBN Pusat
Secara total, jumlah besar pagu di Kalimantan Tengah hanya Rp9.142.000,00. Kabupaten yang mendapat alokasi dana terbesar yaitu Kabpaten Barito Utara sebesar Rp2.087.100.000,00 dan Kabupaten yang mendapat alokasi dana terkecil yaitu kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Murung Raya yaitu masing-masing sebesar 231.560.000,00.
Berkaitan dengan besar pagu dana bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) di Kalimantan Tengah pada tahun 2016 relatif sangat kecil, karena hanya sebesar Rp3.623.940.000,00. Secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut.
Kabupaten yang mendapat alokasi dana dana bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) pada tahun 2016 yang terbesar yaitu Kabpaten Seruyan sebesar Rp538.200.000,00 dan Kabupaten yang mendapat
alokasi dana terkecil yaitu kabupaten Murung Raya yaitu sebesar Rp69.150.000,00.
Bebagai bentuk sosialisasi, internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam mendorong program KB sudah sangat variatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 9 Jenis-jenis sosialisasi, internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam mendorong program KB
No Uraian
-
1 Pemetaan Urusan Bidang KKBPK di Kab/Kota (UU.23 thn 2014)
-
2 Fasilitasi P2D PKB/PLKB (UU.23 thn 2014)
-
3 Review Pemetaan Urusan Bidang KKBPK dan P2D PKB/PLKB (UU.23 thn 2014)
-
4 Pengembangan Model-model Program KKBPK melalui Orientasi Program KKBPK di Kampung KB
-
5 Penyusunan analisis parameter dan profil penduduk kewilayahan Tk. Kab/Kota
-
6 Sarasehan Pengendalian Penduduk bagi Pengelola dan Pelaksana Program KKBPK
-
7 Peningkatan Peran Mitra ( LSOM,SOM DAN PT )
-
8 Penyediaan data kependudukan melalui Digital Signale
-
9 Forum/Pertemuan Penyerasian Kebijakan Pengendalian Penduduk bersama Mitra Kerja
-
10 Penyusunan Grand Design Kependudukan tingkat Kabupaten/Kota
-
11 Kerjasama Pendidikan Kependudukan melalui KKN Tematik
-
12 Pembinaan Kesertaan KB melalui Bhakti Sosial TNI/POLRI Tk. Provinsi
-
13 Pembinaan Kesertaan KB melalui Bhakti Sosial KB-KES-PKK Tk. Provinsi
-
14 Pembinaan Program KB
-
15 Sosialisasi Standarisasi Pelayanan KB (UU 23 thn 2014)
-
16 Peningkatan Pelayanan KB di Kampung KB
-
17 Sosialisasi kebijakan strategi pembinaan ketahanan keluarga (BKB, BKR, BKL dan PEK/UPPKS Tingkat Prov dan Kab/Kota)
-
18 Sosialisasi materi dan informasi pembinaan ketahanan keluarga (BKB, BKR, BKL, dan PEK/UPPKS Tingkat Prov dan Kab/Kota)
-
19 Orientasi Ketahanan Keluarga bagi kader BKB, BKR, BKL dan UPPKS Tk Kab./Kota
-
20 Sosialisasi menjadi Orang tua hebat bagi Pengelola dan Mitra Kerja
-
21 Sosialisasi Mnjadi Orang tua hebat bagi Kader/Anggota Posyandu, BKB di Provinsi
-
22 GenRe Ceria melalui Seni Budaya Tradisional bagi Remaja Tk.Provinsi
No Uraian
-
23 Fasilitasi pembentukan PPKS Tk Kab/Kota (1 Kecamatan Percontohan di setiap Kabupaten/Kota)
-
24 Sosialisasi Optimalisasi Fungsi Balai Penyuluhan dalam Pengembangan dan Pembinaan PPKS
-
25 Sosialisasi BKB Holistik Integratif
-
26 Dukungan Operasioal Pembinaan Kelompok BKB Holistik Integratif
-
27 Penguatan dan Pembinaan BKB melalui Peringatan Hari Keluarga Nasional
-
28 Ajang Kreatifitas Remaja Tk Provinsi
-
29 GenRe Ceria melalui Seni Budaya bagi Remaja/Generasi Muda Tk Prov.
-
30 Sosialisasi Program GenRe bagi Remaja/Mahasiswa
-
31 Sosialisasi GenRe bagi Pengurus PIK R/M
-
32 Sosialisasi 8 Fungsi Keluarga
-
33 Pembinaan Program Lansia Tangguh
-
34 Advetorial Program KKBPK di Media
-
35 Cetakan untuk Pendudkung Program KKBPK
-
36 Peliputan Pers Program KKBPK
-
37 Sosialisasi dan intensifikasi MKJP Leaflet/Booklet/media adv. below the line tentang seluruh KKBPK
-
38 Advokasi dan KIE Pembangunan KKB kepada SKPD KB dan Mitra Kerja melalui berbagai media
-
39 Sosialisasi Advokasi dan KIE melalui Sewa Tempat Baliho dan Banner
-
40 Pengembangan Adv dan KIE below the Line” tentang keseluruhan Program KKBPK (Seluruh Bidang) di Prov. dan Kab./Kota
-
41 Penayangan Informasi KIE Program KKBPK Melalui Media Cetak dan Elektronik
-
42 Pengembangan KIE Kreatif Berbasis Komunitas dan Seni dan Budaya/ Tradisional
-
43 Promosi Program KKBPK melalui Cetak Roll Banner dan Stiker
-
44 Promosi Program KKBPK melalui Cetak Umbul - umbul
-
45 advokasi dan KIE KKB melalui Mupen
-
46 Pertemuan lengkap IMP Tk. Desa/Kelurahan (Pertemuan PPKBD dan Sub PPKBD)
-
47 Fasilitasi Penggerakan Program KKBPK bagi penyuluh KB/Tim Operasional Tk. Desa (TKBK)
-
48 Pembinaan KKBPK bagi masyarakat oleh PPKBD/Kader Tk. Desa
-
49 Pertemuan Kemitraan KKBPK Tingkat Kecamatan (Rakor Kecamatan)
-
50 Pertemuan Kemitraan KKBP Tingkat Desa/Kelurahan (rakor Desa)
-
51 Promosi Program KKB melalui Harganas Tingkat Nasional
-
52 Sosialisasi Pembentukan Kampung KB Tk. Provinsi (Pilot Project Percontohan setiap kab/Kota)
-
53 Pembentukan Kampung KB Tk. Kab/Kota
-
54 Peningkatan Kapasitas Mitra Kerja dan Stakeholder Tk. Kab/Kota dalam Implementasi program KKBPK Lini lapangan
-
55 Sosialisasi Penguatan Program KKBPK melalui Kelembagaan, Program Sarana Prasarana, dan SDM di PRov dan Kab/Kota
Sumber: BKKBN Provinsi Kalimanatan Tengah
Bebagai bentuk sosialisasi, internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam mendorong program KB meskipun variasi sudah sangat banyak, akan tetapi karena jumlah dana yang tersedia untuk masing-masing program relatif kecil, maka jumlah khalayak sasaran dalam setiap program menjadi relatif terbatas. Oleh karena itu, dampak ikutannya bagi peningkatan peserta akseptor aktif maupun akseptor baru belum signifikan.
-
2. Bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap
program Keluarga Berencana
Berdasaarkan hasil wawancara dengan pejabat pemerintah daerah, pejabat BPKKBN provinsi, DPRD Provinsi, dan narasumber dapat dipahami bahwa setiap upaya hegemoni yang dilakukan oleh negara, termasuk hegemoni dalam penyusunan program KB, akan mendapat “penolakan” 7 dari pemerintah daerah. Penolakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, bukan bertujuan untuk membangkang terhadap program nasional tersebut, akan tetapi, hanya karena pemerintah daerah punya program lain yang lebih urgen harus diselesaikan dibandingkan program KB yang sudah “ditangani” langsung oleh pemerintah pusat. Jadi menurut narasumber (informan kunci), pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk program pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, pendidikan, pembangunan infrastruktur, peningkata2n8 kesejahteraan pegawai, dan program propoor lainnya.
Menurut informan kunci lainnya, bentuk penolakan pemerintah daerah terhadap program KB diwujudkan dalam bentuk yang sangat halus seperti penganggaran program KB yang sangat minim, hanya sekitar 1% dari keseluruhan APBD. Hal ini tentu tidak sebanding dengan banyak kegiatan yang harus dilakukan dalam mendukung mega-program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, sehingga tentu, jumlah anggaran yang hanya 1% tersebut tidak mencukupi ketika harus melakukan perencanan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring program KB. 9
Proses penolakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah diawali oleh politik kebijakan anggaran yang disetujui oleh DPRD dalam penyusunan APBD di daerah, sehingga beruntun dengan minimnya jenis kegiatan yang bisa digunakan untuk mendukung program pemerintah pusat.
Perubahann tata politik dan tata-pemerintahan ini mempunyai implikasi terhadap perubahan arah atau orientasi dalam dinamika kependudukan di daerah. Banyaknya penolakan yang dilakukan daerah terhadap program KB, meskipun program tersebut sebagai prioritas pemerintah pusat. Program tersebut tidak didukung oleh pemerintah daerah secara maksimal. Akibatnya kebijakan/regulasi yang disusun oleh pemerintah pusat era desentralisasi dengan gaya pemerintah Orde baru ternyata gagal dalam mempengaruhi pemerintah daerah.
Pemerintah daerah dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat atau hegemoni negara selalu menggunakan senjata yang mereka miliki. Senjata di sini tidak berupa senapan, mriyam, atau bom,
27 Penolakan, sebagai istilah khusus dari para pejabat, karena mereka risih dengan kata perlawanan atau resistensi. Mereka menganggap kata perlawanan tabu diucapkan oleh aparatur sipil Negara (ASN).
28 Hasil wawancara dengan pejabat pemerintah daerah, DPRD Provinsi, pejabat BKBN, nara sumber ahli sosiologi antropologi Dr. Usop Sidik, M.Si. dan Dr.Dr. Muhammad Busro tanggal 15-20 April 2016.
29 Hasil wawancara dengan Dr. Usop Sidik, M.Si. dan Dr.Dr. Muhammad Busro tanggal 21-22 April 2016
akan tetapi senjata yang mereka gunakan merupakan kebijakan politik yang sebelumnya tidak pernah diduga oleh pemerintah pusat sebagai bentuk perlawanan, seperti tidak menghiraukan himbauan pemerintah pusat, menghambat program dalam bentuk minimnya dukungan anggaran dari APBD, berpura-pura menurut, berpura-pura tidak tahu, dan sebagainya. Bentuk-bentuk perlawanan dari pemerintah daerah seperti itu tidak banyak memerlukan koordinasi, bahkan sebagai bentuk menghindari konfrontasi.
Meskipun Negara dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah, tetapi pemerintah pusat tidak dapat menguasai pikiran dan kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah daerah. Di balik apa yang tampak terdapat banyak sekaliDtindakan-tindakan perlawanan yang bersifat politis. ominasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dilawan dengan penyusunan kebijakan yang tidak sejalan dengan pemerintah pusat meskipun secara terang-terangan tidak melakukan penolakan. Bentuknya, dapat berupa penyusunan kebijakan yang tidak memprioritaskan gerakan nasional program KB, dan bentuk lainnya.
Fenomena perlawanan dari pemerintah daerah seringkali terlepas dari pengamatan pemerintah pusat, karena perhatian pemerintah pusat secara berlebihan selalu diarahkan kepada perlawanan dalam bentuk idiologi, sementara itu, perlawanan dalam skala anggaran, dalam bentuk politik anggaran dalam lingkup lokal dianggap tidak lebih serius dibandingkan dengan perlawanan idiologis.
Perlawanan ada yang bersifat sungguh-sungguh dan ada yang bersifat insidental. Perlawanan yang sungguh-sunguh mempunyai ciri-ciri: terorganisasi, sistematis dan kooperatif; beridiologis; mempunyai akibat-akibat revolusioner; dan mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi. Adapun ciri-ciri perlawanan insidental adalah: tidak terorganisasi, tidak sistematis atau individual; bersifat untung-untungan dan berpamrih; tidak mempunyai akibat revolusioner; mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada.
Cara perlawanan pemerintah daerah yang bersifat insidental ini mempunyai beberapa segi keuntungan. Pertama, cara ini bersifat nonkonfrontatif meskipun formal. Kedua, cara ini tidak memerlukan koordinasi yang berbelit-belit Ketiga, tidak harus bersinggungan langsung dengan kekuasaan. Dengan cara ini, Scott mempunyai keyakinan bahwa cara itu akan sangat efektif dalam perjuangan jangka panjang bagi pemerintah daerah melindungi diri dari kesewenang-wenangan penguasa. Cara ini juga aman karena tidak menimbulkan kecurigaan pemerintah pusat daripada mengikuti cara-cara yang terbuka, revolusioner, dan fulgar.
Gerakan penolakan oleh pemeritah daerah terhadap program hegemoni pemerintah pusat sebagai gerakan
yang dicirikan oleh: kecenderugan untuk beraksi secara kompak; dimilikinya etnisitas dan fanatisme, kebencian terhadap pemerintah pusat, intoleransi, kesetiaan semu terhadap pemerintah pusat. Anggota gerakan itu diidentifikasi sebagai pemerintah daerah yang tidak puas dan kecewa terhadap hegemoni pemerintah pusat, yaitu mereka yang tersingkir dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan.
Aksi pemerintah daerah dalam menolak hegemoni pemerintah pusat sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat bagi pemerintah daerah, meskipun tidak selalu bersifat ekonomi. Tujuan dan manfaat yang dijadikan pertimbangan oleh pemerintah daerah menggambarkan bekerjanya variabel ‘pilihan rasional’ yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menentukan prioritas pembangunan yang akan dilakukan selama lima tahun ke depan.
Perlawanan yang dilakuan oleh pemerintah daerah menggambarkan adanya seperangkat peristiwa, penerapan kebijakan atau penggunaan aksi penolakan terhadap kebijakan pusat.
Perlawanan politik terjadi ketika banyak pemerintah daerah menjadi marah, khususnya jika kondisi praktis dan kondisi budaya yang ada merangsang terjadinya penolakan terhadap kebijakan politik pemerintah pusat. Pemerinah daerah akan menolak bila terdapat jurang pemisah antara kebijakan pusat yang belum tentu sesuai dengan kebijakan di daerah.
Aksi menolak kebijakan pemerintah pusat berdasarkan dari pikiran para pejabat di daerah. Atas dasar asumsi itu, upaya menemukan akar gerakan penolakan kebijakan pemerintah pusat oleh pemerintah daerah dipusatkan pada faktor psikologis para penguasa di daerah. Ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap program pemerintah pusat itu terutama dalam wujud relative deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value expectation pemerintah daerah dan value capability yaitu kondisi yang mungkin diperoleh oleh pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil penelitian dan perenungan yang mendalam, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi, dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pola hubugan yang tidak seimbang antar elemen pemerindah daerah dalam hal pelaksanaan program keluarga berencana yang mengakibatkan banyak hal, antara lain: 1) alokasi dana yang diajukan oleh pemerintah daerah tidak disetujui oleh DPRD, 2) dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan program keluarga Berencana menjadi minim, 3) banyak kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program KB tidak mendapat alokasi dana yang mencukupi, 4) Sumber daya (sarana dan prasarana) yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program KB menjadi minim, 5) SDM yang
ahli di bidang KB menjadi minim.
Dengan kata lain, kebijakan alokasi anggaran untuk pengendalian jumlah perkembangan penduduk tidak berpihak kepada program pemerintah pusat yang hendak menggelorakan gerakan nasional pelaksanaan program KB. Selama ini, alokasi anggaran untuk pengendalian jumlah perkembangan penduduk tidak lebih dari 1% dari total APBD. Hal ini tentu jauh dari mencukupi. Akibatnya, pelaksaan program KB mejadi tidak maskimal, terkesan setengah hati, dan kurang menjadi prioritas pembangunan.
Kedua, telah terjadi pola hubugan yang tidak seimbang antar-elemen pemerindah daerah, yang dibutikan oleh rendahnya koordinasi antar pemangku kepentingan kebijakan kependudukan. Masalah kependudukan seolah-olah hanya menjadi tanggungjawab dan monopoli BKKBN semata. Ketika peran lembaga-lembaga non pemerintahan, seperti DPRD, dan partai politik, menjadi semakin besar, mau tidak mau peran dan orientasi lembaga pemerintah harus mengikutsertakan mereka dalam setiap membuat kebijakan, termasuk kebijakan di bidang kependudukan (Faturochman dan Agus Dwiyanto, 2015). Sayangnya, keberpihakan pemerintah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) di dalamnya termasuk partai politik terhadap pelaksanaan program KB.
Penyebab terjadinya resistensi daerah terhadap program KB pada dasarnya juga dilatarbelakangi oleh sejarah politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga hari ini sesungguhnya terus berlangsungnya ketegangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antara penekanan terhadap Negara kesatuan yang menekankan sentralisme dan konsep persatuan yang menekankan desentralisme. Sentralisme sebagai paham yang dianut oleh era Orde-baru dan desentralisme adalah paham yang dianut pasca-Orde Baru.
Penyebab terjadinya resistensi daerah terhadap program KB lebih banyak terkait dengan kegagalan paradigma pembangunan dan secara lebih khusus politik kependudukan yang dianut.
Dengan kata lain, keberpihakan pemerintah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) terhadap pelaksanaan program KB sangat rendah, hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dalam melihat urgensi pelaksaan program KB. Pada saat yang sama, pemerintah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) terkesan tidak perduli terhadap pelaksanaan program KB, terbukti setiap melakukan rapat anggaran selalu terjadi tarik ulur antara pemeringah dan DPRD. Akibanya, selalu terjadi dinstabilitas politik anggaran yang mengakibatkan anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan program KB menjadi sangat rendah, jauh dari kata memadai/men-cukupi.
Resistensi pemerintah daerah di Kalimantan Tengah terhadap program nasional gerakan KB juga tidak bisa lepas dari nihilnya peran Negara dalam
mengaktualisasikan kontribusi pemerintah daerah dalam mendukung programm KB tersebut. Pemerintah daerah menganggap bahwa program nasional itu adalah program Negara, sehingga seluruh anggaran sudah ditanggung oleh pemerintah pusat. Anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah daerah tidak perlu dialokasikan untuk gerakan nasional itu. Anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah dapat digunakan di sektor lain yang menjadi prioritas pembangunan sebagaimana telah dikampanyekan pada waktu pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Seluruh penyiapan sarana dan prasarana, sumber daya manusia, kebijakan/regulasi, seluruhnya telah diatur oleh pusat, oleh karena itu, pemerintah dan DPRD merasa tidak perlu lagi menyusun kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan program nasional tersebut. Akibatnya program nasional yang didengung-dengungkan olah pemerintah pusat menjadi angin lalu yang tidak disambut dengan tangan terbuka oleh pemerintah daerah
Ketiga, keterlibatan atau kepedulian organisasi sosial kemasyarakatan non-pemerintah (LSM, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, darmawanita) terhadap pelaksanaaan program KB yang rendah. Mayoritas organisasi tersebut lebih lebih tertarik pada aspek lain yang lebih mendatangkan uang dibandingkan harus mengurusi aspek kependudukan yang notabene kering atau minim dalam hal pendanaan. Organisasi-organisasi sosial tersebut lebih memilih mengagendakan dan melaksanakan program-program yang mudah untuk mendapatkan sponsor baik dari perusahaan rokok, minuman, atau makanan, dibandingkan harus mengadakan kegiatan yang kering/tidak “basah”.
Keempat, rendahnya motivasi advokasi pelaksanaan program KB oleh lembaga pemerintah. Advokasi pelaksanaan program KB yang dilakukan oleh lembaga pemerintah relatif jarang, kalau tidak boleh mengatakan tidak pernah. Advokasi hanya dilaksanakan oleh RT, RW, dan ketua PKK tingkat desa, dalam hal ini isteri kepala desa. Biasanya istri kepala desa setelah mengikuti perkumpulan (latihan advokasi KB) di tingkat kecamatan, ia akan melakukan advokasi di desanya, sehingga apa yang dilakukan hanya bersifat sepotong-sepotong, tidak utuh, dan hanya sekedar melaksanakan tugas, tanpa pernah dievaluasi oleh pihak yang terkait, sehingga makna advokasi bagi masyarakat desa menjadi sangat rendah.
Kelima, penolakan halus terhadap pelaksanaan program KB baik yang diprakarsai oleh lembaga pemerintah maupun yang diprakarsai oleh lembaga non pemerintah (Posyandu, Pos pemberdayaan keluarga/ Posdaya, PKK). Mereka menganggap urusan pelaksanaan KB diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Mereka mengganggap masyarakat sudah dewasa, sudah cerdas, dan sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana
yang buruk. Sifat acuh tak acuh yang diperankan oleh lembaga pemerintah dan jajarannya merupakan bukti bahwa mereka tidak peduli terhadap program KB.
Keenam, rendahnya jumlah penyuluh KB, yang tidak diikuti dengan penerimaan atau perekrutan kader penyuluh KB, termasuk rendahnya mutu sumber daya manusia di bidang KB. Secara kuantitas jumlah mereka sangat kurang, sementara secara kapabilitas mayoritas para penyuluh masih sangat rendah. Sekali lagi, rendahnya mutu para penyuluh lebih banyak disebabkan oleh rendahnya dukungan lembaga pemerintah dan DPRD dalam menyiapkan regulasi pelaksanaan program KB.
Ketujuh, rendahnya minat peneliti multi disiplin untuk melakukan penelitian di bidang KB, mengingat anggaran yang dialokasikan untuk penelitian dan pengembangan model penurunan tingginya angka kematian ibu dan anak sangat kecil. Rendahnya kontribusi BKKBN dan dinas kesehatan dalam mengalokasikan anggaran untuk penelitian dan pengembangan model penurunan tingginya angka kematian ibu dan anak telah menyebabkan berbagai kasus kematian ibu dan anak belum bisa diturunkan.
Kedelapan, rendahnya sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi pelaksanaan program KB sehingga tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan KB secara mandiri menjadi sangat rendah. Inisiasi mengikuti program KB selama ini mayoritas berasal dari masyarakat itu sendiri. Hal itu terjadi karena, frekuensi sosialisasi, publikasi, dan internalisasi yang dilakukan oleh pemerintah beserta jajarannya sangat rendah. Ketidakhadiran Negara dalam program sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi pelaksanaan program KB telah menyebabkan masyarakat menjadi semakin jauh terhadap program KB. Oleh karena itu, ke depan pemerintah hendaknya selalu melaksanakan program sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi pelaksanaan program KB agar kesadaran masyarakat ber-KB menjadi meningkat kembali.
Dampak resistensinya adalah kenaikan angka pertambahan penduduk secara signifikan. Akibat langsung atas resistensi tersebut, seluruh program KB, hanya mengandalkan dana dari pusat, sementara itu dana penyertaan dari daerah sangat minim. Seluruh rangkaian kebijakan/politik anggaran tersebut menyebabkan mandegnya program pemerintah di bidang kependudukan.
Realitas adanya instabilitas politik anggaran yang diwujudkan dalam konflik politik anggaran, telah menyebabkan dampak yang sangat luas terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan program KB, mulai dari: 1) penyuluhan program KB, 2) pelatihan tim penyuluh KB, 3) pengadaan sarana dan prasaran KB, 4) pengadaan bahan
habis pakai, 5) perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta tindak lanjut pelaksanaan program KB seluruhnya akan berjalan ditempat.
Rendahnya dukungan lembaga pemerintah dan DPRD dalam menyiapkan: 1) regulasi pelaksanaan program KB berdampak pada rendahnya anggaran yang bisa digunakan untuk pelaksanaan program KB, 2) kontribusi BKKBN dan dinas kesehatan dalam mengalokasikan anggaran untuk penelitian dan pengembangan model penurunan tingginya angka kematian ibu dan anak juga sangat terbatas, 3) rendahnya sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi pelaksanaan program KB.
Dampak di atas, berdampak lagi pada: 1) rendahnya kuantitas dan kapabilitas penyuluh KB di lapangan, 2) rendahnya inisiatif masyarakat untuk mengikuti program KB secara mandiri.
Dampak tersebut berimplikasi pada dampak berikutnya yaitu: 1) masyarakat menjadi semakin jauh terhadap program KB, 2) tingginya angka kematian ibu dan anak. Dengan kata lain, berbagai kasus kematian ibu dan anak belum bisa diturunkan.
Strategi mengatasi resistensi daerah dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, perlu adanya koordinasi yang inten antara pusat dan daerah program Keluarga Berencana mendapat dukungan yang maksimal dari daerah.
Kedua, politik demografi harus menjadi isu strategis yang harus dilakukan pemerintah pusat dan sedapat mungkin mendapatkan sambutan dari pemerintah daerah. Hal ini sejalan0dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh IPADI3 bahwa politik demografi harus menjadi isu strategis yang dilakukan pemerintah dan harus mendapatkan sambutan dari pemerintah daerah.
Ketiga, Isu kependudukan tentu harus dimaknai bersama sebagai isu yang penting sehingga perlu kembali diangkat dan menjadi prioritas utama di setiap daerah. Isu kependudukan yang jarang dibahas dan didiskusikan antara pemerintah dan pemerintah daerah akan berdampak pada menurunnya minat pemerintah daerah dalam mendukung program pemerintah tersebut.
Keempat, bangun politik kependudukan yang seharusnya dikembangkan di masa depan agar dinamika demografis di satu sisi dan keragaman budaya di sisi lain dapat diselaraskan agar tercipta masyarakat adil dan makmur.
Kelima, ketatnya pengendalian politik dalam bentuk regulasi oleh pemerintah pusat menyebabkan partisipasi pemerintah daerah terhadap program itu menjadi melemah. Cara mengatasinya, dalam setiap tahapan mulai
30 Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (Ipadi). 2013. Manipulasi Data
Penduduk Marak di Daerah. Diunduh dari http://ugm.ac.id/id/berita/8560 tanggal 1 April 2016
dari perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, monitoring dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil seluruhnya melibatkan pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah merasa dilibatkan dan diikutsertakan dalam seluruh rangkaian program pemerintah tersebut.
PEMBAHASAN
Pertama, berkaitan dengan bentuk-bentuk perlawanan pemerintah daerah terhadap program KB, dapat dikatakan bahwa setelah masa reformasi, ideologi hegemonik telah semakin ditinggalkan apalagi dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999, akan tetapi praktek hegemoni yang dilakukan oleh penguasa belum hilang seluruhnya, karena proses itu membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit.
Pemerintah daerah melakukan perlawanan merupakan akibat hegemoni. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Scott bahwa pemerintah daerah melakukan perlawanan terhadap dominasi yang menekan mereka adalah merupakan suatu gerakan menolak hegemoni, meskipun Scott sendiri tidak sepenuhnya menolak hegemoninya Gramsci.3
Pemerintah daerah yang tidak menghiraukan himbauan pemerintah pusat, menghambat program dalam bentuk minimnya dukungan anggaran dari APBD, berpura-pura menurut, berpura-pura tidak tahu, dan sebagainya pada dasarnya juga sesuai dengan tem3 uan Scott dalam melihat senjatanya kaum yang lemah.3
Bentuk-bentuk perlawanan dari pemerintah daerah tersebut bila dikaikan dengan temuan Scott sangat sesuai karena, bentuk perlawanan yang halus tersebut tidak banyak memerlukan koordinasi, bahkan sebagai bentuk menghindari konfrontasi. Dengan demikian temuan ini mendukung temuan Scott bahwa negara dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah, tetapi pemerintah pusat tidak dapat menguasai pikiran dan kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah daerah. Di balik apa yang tampak terdapat banyak sekali tindakan-tindakan perlawanan yang bersifat politis.33
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan temuan Gramsci bahwa ‘hegemoni’, oleh pemerintah daerah dilawan dengan penyusunan kebijakan yang tidak sejalan dengan pemerintah pusat meskipun secara terang-terangan tidak melakukan penolakan. Bentuknya, dapat berupa penyusunan kebijakan yang tidak memprioritaskan gerakan nasional program KB, dan bentuk lainnya.
Fenomena perlawanan dari pemerintah daerah seringkali terlepas dari pengamatan pemerintah pusat, karena perhatian pemerintah pusat secara berlebihan
selalu diarahkan kepada perlawanan dalam bentuk idiologi. Hal ini sejalan dengan temuan Scott yang menjelaskan bahwa dalam perlawanan ada yang ber3s4ifat sungguh-sungguh dan ada yang bersifat insidental.34
Bentuk perlawanan pemerintah daerah terhadap program KB pada dasarnya sesuai dengan temuan Eric Hoffer yang mengidentifikasikan gerakan penolakan oleh pemeritah daerah terhadap program hegemoni pemerintah pusat sebagai gerakan yang dicirikan oleh: kecenderugan untuk beraksi secara kompak; dimilikinya etnisitas dan fanatisme, kebencian terhadap pemerintah pusat, intoleransi, kesetiaan semu terhadap pemerintah pusat.35
Perlawanan pemerintah daerah Kalimantan Tengah juga sesuai dengan temuan Olson (1969) yang mengatakan bahwa, aksi pemerintah daerah dalam menolak hegemoni pemerintah pusat sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat bagi pemerintah daerah, meskipun tidak selalu bersifat ekonomi.
Hal ini juga sesuai dengan Gurr yang menyatakan bahwa perlawanan dapat berupa semua serangan dalam suatu komunitas politik terhadap rezim pol6itik, maupun para pejabat atau kebijakan-kebijakannya.3 Perlawanan politik terjadi ketika banyak pemerintah daerah menjadi marah karena terdapat jurang pemisah antara kebijakan pusat yang belum tentu sesuai dengan kebijakan di daerah.37 Ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap program pemerintah pusat itu terutama dalam wujud relative deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value expectation pemerintah daerah dan value capability yaitu kondisi yang mungkin diperoleh oleh pemerintah daerah.38
Kedua, faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi daerah terhadap KB pada adasarnya adalah reformasi pemerintahan dari negara sentralisasi di bawah otoritarianisme birokrasi orde baru menuju negara demokratis yang desentralis dengan penguatan pemerintah daerah otonom kabupaten kota dan provinsi.
Perubahann tata politik dan tata-pemerintahan ini mempunyai implikasi terhadap perubahan arah atau orientasi dalam dinamika kependudukan di daerah. Banyaknya penolakan yang dilakukan daerah terhadap program KB, meskipun program tersebut sebagai prioritas pemerintah pusat. Program tersebut tidak didukung oleh pemerintah daerah secara maksimal. Akibatnya kebijakan/regulasi yang disusun oleh pemerintah pusat
era desentralisasi dengan gaya pemerintah Orde baru ternyata gagal dalam mempengaruhi pemerintah daerah.
Pemerintah pusat, seolah-olah lupa kalau saat ini sudah era otonomi daerah, sementara gaya pemerintah masih bersifat top-down, mendekte pemerintah daerah, dan selalu membuat program secara sentralistik tanpa memperhatikan program prioritas pembangunan pemerintah daerah.
Hal ini sesuai dengan temuan Tirtosudarmo39 bahwa indonesia sejak 1998 telah berubah dari negara otoriter yang sentralis ke negara demokratis yang desentralis. Perubahann tata politik dan tata-pemerintahan ini mempunyai implikasi terhadap perubahan arah atau orientasi dalam dinamika kependudukan baik di pusat maupun di daerah. Banyaknya penolakan dari daerah terhadap program kependudukan yang dijadikan prioritas pemerintah pusat tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah daerah, baik dalam membuat kebijakan/ regulasi maupun pada tataran praktik operasional pelaksanaan program KB.
Penyebab terjadinya resistensi daerah terhadap program KB pada dasarnya juga sesuai dengan temuan Cliffort Geertz yang menyatakan bahwa sejarah politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga hari ini sesungguhnya terus berlangsungnya ketegangan antara “pusat’ dan “daerah” dan antara penekanan terhadap “kesatuan” yang menekankan sentralisme dan “persatuan”. yang menekankan desentralisme. Dalam konteks sejarah politik pasca 1965 sentralisme adalah paham yang dianut oleh rejim Orde-baru dan desentralisme adalah paham yang dianut oleh rejim pemerintahan pasca-Orde Baru.4
Penyebab terjadinya resistensi daerah terhadap program KB lebih banyak terkait dengan kegagalan paradigma pembangunan dan secara lebih khusus politik kependudukan yang dianut. Hal ini sesusi dengan temuan Riwanto bahwa paradigma pembangunan yang dilakukan oleh politik pembangunan di Indonesia adalah menyerahkan sepenuhnya dinamika ekonomi pada fumdamentalisme pasar dan strategi ekonomi yang beriorientasi ke land based.economic strategy yang seharusnya dikembangkannya strategi yang berorientasi ke maritime based economic strategy.4
Seluruh penyiapan sarana dan prasarana, sumber daya manusia, kebijakan/regulasi, seluruhnya telah diatur oleh pusat, oleh karena itu, pemerintah dan DPRD merasa tidak perlu lagi menyusun kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan program nasional tersebut. Akibatnya program nasional yang didengung-dengungkan olah pemerintah pusat menjadi angin lalu yang tidak disambut dengan tangan terbuka oleh pemerintah daerah.4
Ketatnya pengendalian politik dalam bentuk regulasi
oleh pemerintah pusat menyebabkan partisipasi pemerintah daerah terhadap program itu menjadi melemah.
Surat edaran, himbauan, dan ajakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat agar pemerintah daerah mendukung sepenuhnya gerakan nasional program KB kepada pemerintah daerah, dalam erea otonomi daerah ini terasa tidak mendapat apresiasi yang berarti dari pemerintah daerah. Belum ada gayung bersambut secara maksimal dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah telah mempunyai program prioritas pembangunan yang sudah ditentukan dalam rencana strategis lima tahunan (Renstra Pemda), yang besar sekali kemungkinannya tidak menyangkut program nasional tersebut.
Kondisi di atas terjadi karena, dalam setiap tahapan penyusunan regulasi tentang gerakan nasional program KB tidak dikomunikasikan secara maksimal ke daerah. Dengan kata lain, gerakan nasional program KB merupakan program top down yang tidak harus dijadikan program prioritas pembangunan di daerah. Luas wilayah yang sangat lebar, jumlah penduduk di daerah yang masih sangat sedikit, kepadatan penduduk di wilayah masih sangat jarang, jumlah etnis daerah (etnis lokal) dengan agama ‘lokal’ yang masih dangat sedikit dibandingkan etnis pendatang dan agama ‘pendatang’ juga merupakan alasan tersendiri, mengapa program KB belum menjadi prioritas di daerah. Dengan kata lain, jumlah penduduk berdasarkan kesamaan etnis, bahasa dan lokalitas menjadi suatu yang mutlak, termasuk dalam berpolitik di daerah. Semua penolakan terhadap kebijakan pemerintah pusat dinilai berdasarkan primpordial. Hal itu, tentu sangat memprihatinkan. Sebab, tujuan awal otonomi daerah untuk menciptakan kesejahteraan penduduk makin tidak tercapai karena dari sisi demografi.43
Kekuasaan pemerintah pusat yang mencakup ide (perencanaan) maupun sumber daya material selama ini akan melakukan intervensi kepada daerah untuk mendukung program yang telah digariskan oleh pusat. Pemerintah daerah yang merasa tidak terlibat dan belum mengetahui keuntungan financial dan nonfinansial dari program tersebut akan berusaha menghindar, menolak, atau bahkan melawan untuk tidak melakukan kebijakan itu. Pemerintah daerah mengadakan perlawanan bukan karena keinginan untuk membuat kerusuhan, melainkan karena terbatasnya pemahaman akan manfaat besar program itu bagi daerah, terbatasnya sarana alternatif yang dimiliki daerah, dan ketidaksukaan terhadap tekanan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Ketiga, dampak adanya instabilitas politik anggaran yang diwujudkan dalam konflik politik anggaran pada dasarnya sesuai dengan temuan Busro yang menyaakan bahwa dampak negative dengan rendahnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah terahdap
43 Muhammad Busro....hal 24
program KB akan bersifat yang sangat luas dan berdampak jangka pendek, menengah, dan panjang. Dampak jangka pendeknya yaitu penyuluhan program KB mandeg, tidak ada lagi pengangkatan dan pelatihan tim penyuluh KB, tidak ada lagi kegiatan pengadaan sarana dan prasaran KB, tidak ada lagi pengadaan bahan habis pakai yang berkaitan dengan KB. Jangka penengahnya, berdampak pada tidak adanya perencanaan tahunan dan lima tahunan, tidak ada lagi pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta tindak lanjut pelaksanaan program KB. Dampak panjangnya, jumlah generasi muda jauh lebih banyak dibandingkan generasi tua, terjadi ledakan jumlah penduduk, sumber ekonomi menjadi terbatas, dan permasalahan sosial lainnya menjadi semakin komplek.
Rendahnya dukungan lembaga pemerintah dan DPRD juga sesuai dengan temuan Supangat bahwa ketiadaan regulasi pelaksanaan program KB di daerah akan berdampak pada rendah dan minimnya anggaran yang mampu menjadikan pemerintah daerah berbuat banyak terhadap program KB. Dengan kata lain, kontribusi semua pihak mulai dari pemerintah daerah, BKKBN, dinas kesehatan, penyuluh, LSM menjadi lesu bahkan mati suri, tidak ada kegiatan yang berdampak langsung, apalagi kegiatan yang tidak berdampak langsung seperti penelitian. Kegiatan penelitian dan pengembangan program KB menjadi nihil. Begitu juga kegiatan sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi pelaksanaan program KB kepada halayak luas menjadi dangkal, hampa, tanpa makna, dan tidak mampu menyentuh kesadaran terdalam hati masyarakat untuk ber-KB.44
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan temuan Rohani, bahwa dengan tidak adanya political will pada tataran pemerintah daerah terhadap program sepihak yang digarikan secara sangat tebal oleh pemerintah pusat, telah menipiskan upaya pemerintah daerah dalam niatan untuk mendukung program otoriter sentralistik tersebut. dampak negative yang tidak perlu diperpanjang dan diperluas adalah rendahnya kuantitas dan kapabilitas penyuluh KB di lapangan. Dampak ini harus segera diputus, sehingga tidak merembet pada dampak ikutan berikutnya yang sangat membahayakan bagi penyiapan sumber daya, pendidikan, dan lapangan kerja pada waktu yang akan datang. Rendahnya inisiatif masyarakat untuk mengikuti program KB secara mandiri yang seharusnya didorong oleh pemerintah daerah, karena mampu mengurangi anggaran pemerintah daerah, justru tidak diperhatikan. Hal ini tentu akan berimplikasi pada rendahnya tingkat kesehatan ibu dan anak, menurunnya jumlah pasangan subur yang berpartisipasi, dan semakin tidak terkontrolnya tingkat laju pertumbuhan penduduk 45 dalam jangka waktu pendek, menengah, dan panjang.
Keempat, berkaitan dengan cara mengatasi agar perlawanan pemerintah daerah terhadap program K4B6 bisa berkurang pada dasarnya sejalan dengan Riwanto4 yang menyatakan bahwa bangun politik kependudukan yang seharusnya dikembangkan di masa depan agar dinamika demografis di satu sisi dan keragaman budaya di sisi lain dapat diselaraskan agar tercipta masyarakat adil dan makmur.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan temuan Busro, bahwa dalam setiap tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, monitoring dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil seluruhnya melibatkan pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah merasa dilibatkan dan diikutsertakan dalam seluruh rangkaian program pemerintah tersebut.47
Program nasional gerakan KB hendaknya dimaknai oleh pemerintah daerah sebagai gerakan nasional milik pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah tidak perlu lagi membuat regulasi turunan, menyiapkan dana, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, dan sarana pendukung lainnya.
Seharunya, dalam setiap tahapan mulai daari perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, monitoring dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil seluruhnya melihbatkan pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah merasa dilibatkan dan diikutsertakan d8alam seluruh rangkaian program pemerintah tersebut.4
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disipulkan bahwa:
-
1. Bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap program KB diawali dengan pembatasan anggaran
-
2. Faktor-Faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi yaitu karena adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat skala prioritas pembangunan,
-
3. Dampak resistensinya adalah kenaikan angka pertambahan penduduk secara signifikan, dan
-
4. Strategi mengatasi resistensi daerah perlu adanya koordinasi yang inten antara pusat dan daerah program Keluarga Berencana mendapat dukungan yang maksimal dari daerah.
Saran
Berdasarka simpulan di atas diharapkan:
-
1. Ke depan pemerintah hendaknya selalu melaksanakan program sosialisasi, publikasi,
dan internasilisasi pelaksanaan program KB agar kesadaran masyarakat ber-KB menjadi meningkat kembali,
-
2. Pemerintah pusat, BKKBN Pusat, Pemerintah daerah, BKKBN Daerah, tim penyuluh KB dalam melaksanakan program kependudukan atau program KB mampu meminimalisasi resistensi program KB, dan
-
3. Untuk meningkatkan jumlah dana yang diperlukan untuk tiap-tiap kegiatan KB yang bersifat massal bisa bekerja sama dengan sponsor atau pihak ketiga, atau melalui penggalian dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan yang ada di Kalimantan Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kalimantan Tengah. 2014. Kalimantan Tengah dalam Angka. Palangkaraya: PBS Kalteng
Busro, Muhammad. 2016. “Politik Kependudukan di Indonesia.” Makalah, Serang: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten
Faisal, Sanapiah. 1992. Peneliti Kualitatif: Dasar- Dasar dan Aplikasi, Malang: UM Press.
Faturochman dan Agus Dwiyanto, 2015. Menggagas kependudukan baru, dalam buku, Reorientasi Kebijakan Kependudukan, diunduh dari http://fatur.staff.ugm. ac.id/file/BUKU tanggal 30 Maret 2016
Gurr, Ted Robert. 1970. Why Man Rebel, (Princeton, NJ: Princeton University Press
Haynes, Jeff. 2000. Demokrasi dan Masyarakat Sipil Di Dunia Ketiga: Upaya Memahami Gerakan Politik Kaum Terpinggir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Hoffer, Eric. 1988. Gerakan Massa, Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (Ipadi). 2013. Manipulasi Data Penduduk Marak di Daerah. Diunduh dari http://ugm.ac.id/id/berita/8560 tanggal 1 April 2016.
Miles, Matthew B., A. Michael Huberman, dan Johnny Saldaña. 2008. Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. Edisi 3. Los Angeles: Sage Publication.
Mas’oed, Mohtar. 2000. Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta: P3PK UGM
Rohani, 2015. Dampak Rendahnya Partisipasi Masyarakat ber-KB Mandiri, Makalah, Lokhsumawe: Program Pascasarjan Universitas Malikussaleh (Unimal)
Salert, Barbara. 1976. Four Theories Revolutions and Revolutionaries, New York/Oxford/Amsterdam: Elsevier
Scott, James C. 1987. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press
Siahaan, Hotman M. 1996. “Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi”, Disertasi tidak Diterbitkan, Surabaya: Pascasarjana Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga.
Siahaan, Hotman M. 1998. ‘Anarki’ Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi di Pedesaan, makalah yang disampaikan dalam Seminar “Anarkhi, Represi, dan Demokrasi” yang diadakan dalam rangka Dies Fisipol UGM, 19 September 1998.
Singarimbun, Masri; Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Salemba Empat
Skocpol, Theda. 1979. Negara dan Revolusi Sosial: Suatu Analisis Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan Cina. (Terj. Kelompok Mitos. Jakarta: Penerbit Erlangga
Supangat, 2015. “Melihat Sisi Gelap Progam KB Pascareformasi,” Makalah, Banten: STIE Banten
Tirtosudarmo, Riwanto. 2013. From Colonization to NationState: the Political Demography of Indonesia. Jakarta: LIPI Press
Tirtosudarmo, Riwanto. 2014. Menuju Politik Kependudukan yang Berbasis Kewarganegaraan dan Keindonesiaan. Diunduh dari http://kependudukan.lipi.go.id/id/ tanggal 1 April 2016
Weiner, Myron. 1971. Crises and sequences in political development. Princeton, NJ: Princeton Univ. Press
Volume XIV No. 1 Juli 2018
Discussion and feedback