FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI PENYEBAB TERJADINYA KASUS PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK DI KOTA DENPASAR
on
PIRAMIDA Vol. XIII No. 1 : 9 - 17
ISSN : 1907-3275
FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI PENYEBAB TERJADINYA KASUS PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK DI KOTA DENPASAR
I Gusti Agung Ayu Karishma Maharani Raijaya1,
I Ketut Sudibia2
-
1,2Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana e-mail: [email protected]/ telp: +6281236763394
ABSTRAK
Kota Denpasar memiliki jumlah catatan kasus pelecehan seksual pada anak paling tinggi diantara kasus-kasus yang lain berdasarkan data yang dirilis oleh dinas Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polresta Denpasar juga mendapat pengaduan dari pihak anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif interpretatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan faktor ekonomi dan sosial, yaitu kemiskinan, tingkat pendidikan, media sosial, dan kondisi keluarga yang berperan terhadap terjadinya pelecehan seksual pada anak yang berumur di bawah 18 tahun.Penelitian ini memperoleh hasil bahwa kasus pelecehan seksual pada anak terjadi pada kalangan masyarakat menengah kebawah, tingkat pendidikan pelaku hanya sebatas sekolah menengah atas, peran media sosial sangat mempengaruhi terjadinya kasus ini karena dapat membentuk kepribadian seseorang, dan kondisi keluarga dari korban sebagian besar adalah keluarga dengan orang tua bercerai. Kondisi keluarga dari pelaku adalah banyak yang tinggal sendiri atau terpisah dengan keluarga.
Katakunci: pelecehan seksual pada anak, kemiskinan, tingkat pendidikan, media sosial, kondisi keluarga.
ABSTRACT
Denpasar, had a record number of child sexual abuse cases is highest among the other cases based on the data released by the department Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Denpasar Police, also received complaints from children as a victims, the cases of child sexual abuse have also recorded cases is highest among other cases relating to the child. This research is using qualitative research is descriptive interpretative.The purpose of this research was to describe the economic factors are poverty, low education levels, the role of social media, and family conditions of the occurrence of sexual abuse cases in children under 18 years.The results of this research are that cases of child sexual abuse occurred in the middle-lower community, education level actors was limited to high school, the role of social media greatly influence the occurrence of these cases because it can shape one’s personality, and family circumstances of the victims are mostly families with divorced parents. Family circumstances of the perpetrator are many actors who live alone or with a family apart.
Keywords: child sexual abuse, poverty, education level, social media, family conditions.
PENDAHULUAN
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2015 menyatakan bahwa kekerasan pada anak terjadi peningkatan. Dari 2.898 kasus yang terlapor, terdapat 62 persen adalah kekerasan seksual. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2014 yaitu sebanyak 2.737 laporan kasus dan tidak jarang banyak kasus-kasus yang tidak atau belum terlaporkan (Teja, 2016).
Dampak yang dapat ditimbulkan dari adanya pelecehan seksual pada anak dapat berupa terganggunya kondisi fisik, psikologis, maupun sosial.
-
1) Dampak secara fisik yaitu berupa luka atau robekan pada selaput dara.
-
2) Dampak psikologis berupa trauma atau gangguan mental, rasa takut yang mendalam, perasaan malu dan kecewa terhadap diri sendiri.
-
3) Dampak secara sosial adalah berupa perlakuan tidak wajar dan sinis dari masyarakat yang berada sekelilingnya, rasa takut untuk terlibat dalam pergaulan sehari-hari terutama dalam lingkungan sepermainannya, takut bertemu dengan orang baru, kecendrungan korban menutup diri dan sebagainya (Orange dan Brodwin dalam Paramastri, dkk, 2010).
Tabel 2 Jumlah Kasus Terkait dengan Anak Tahun 2011- Juni2016
No
Unit Pelayanan Terpadu
Jenis Kasus
Tahun
Jumlah (Kasus)
2011 (Kasus)
2012 (Kasus)
2013 (Kasus)
2014 (Kasus)
2015 (Kasus)
2016 (Januari - Juni) (Kasus)
1
UPPA Polresta
Pelecehan Seksual
13
15
13
25
29
26
102
Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH)
18
2
13
8
19
15
63
Penelantaran
0
0
12
4
5
4
25
Kekerasan Terhadap Anak (KTA)
15
10
22
17
8
4
76
Pencurian
0
2
0
0
1
3
6
Sumber: Ketua Harian P2TP2A Kota Denpasar, diolah, 2016.
terhadap terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak.
-
2) Untuk mendeskripsikan pengaruh tingkat pendidikan terhadap terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak.
-
3) Untuk mendeskripsikan peran media sosial mempengaruhi terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak.
-
4) Untuk mendeskripsikan pengaruh kondisi keluarga terhadap terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak.
Manfaat Praktis untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pemicu anak menjadi korban dari kasus pelecehan seksual. Manfaat lain dari penelitian ini adalah untuk mengingatkan orang tua dan keluarga agar lebih menjaga anak mereka agar anak-anak mereka tidak menjadi korban selanjutnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus pelecehan seksual dalam penelitian ini adalah faktor perekonomian dalam hal ini adalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, peran media sosial dan kondisi keluarga.Kerangka konseptual dalam penelitian ini digambarkan dalam Gambar 1, sebagai berikut.
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Teja (2016), kekerasan seksual tersebut sebagian besar terjadi di sekitar masyarakat yang secara sosial ekonomi miskin. Penelitian lain yang dilakukan oleh Syaiful, dkk (2015) menyatakan sebagian besar korban pelecehan seksual adalah anak dan remaja perempuan yang berusia di bawah 18 tahun, masih berstatus sebagai pelajar, dengan status sosial ekonomi keluarga dalam kalangan menengah ke bawah. Sedangkan pelakunya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda baik dari segi usia, pendidikan, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan tempat tinggal. Pelaku tindakan pelecehan seksual tidak mengenal perbedaan status, pangkat, jabatan, dan sebagainya, dan semua pelaku berjenis kelamin laki-laki.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Teja (2016), banyak anak yang tingkat pendidikannya masih rendah. Anak-anak yang menjadi korban sebagian besar hanya sampai sekolah dasar atau sampai sekolah menengah pertama.
Media sangat cepat mempengaruhi penggunanya.
Gambar 1. Kerangka Konseptual
Sejauh mana peran media sosial mempengaruhi terjadinya kasus ini dapat diteliti apakah pelaku sebelum bertindak, berpikir kemudian terangsang dikarenakan pikiran pelaku dipengaruhi oleh situs-situs negatif yang dilihat dari media sosial yang berupa foto atau video porno.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Teja (2016), melalui keluarga, anak mempelajari banyak hal, yaitu cara berinteraksi dengan orang lain, menyatakan keinginan dan perasaan, menyampaikan pendapatnya, bertutur kata, bersikap, berperilaku, hingga bagaimana menganut nilai-nilai tertentu sebagai prinsip hidupnya.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif interpretatif. Pendekatan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif interpretatif merupakan penelitian berbentuk kata, kalimat, dan gambar (Sugiyono, 2010: 23).
Lokasi dan Ruang Lingkup Wilayah Penelitian
Lokasi dan ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah di Kota Denpasar.Pemilihan lokasi di Kota Denpasar ini karena maraknya kasus yang terjadi dan pada setiap tahunnya mengalami peningkatan kasus pelecehan seksual pada anak.Pemilihan lokasi juga ditentukan karena tingginya dinamika penduduk yang terjadi di Denpasar mengingat Denpasar merupakan daerah perkotaan baik dalam segi sosial maupun ekonomi.
Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini difokuskan pada:
-
1) Korban dari kasus-kasus pelecehan seksual pada
anak yang berumur dibawah 18 tahun yang pernah terjadi di Kota Denpasar dengan berbagai macam motif dan kasus.
-
2) Orang-orang yang menjadi pelaku atau tersangka yang terlibat dalam kasus ini yaitu sebanyak 19 orang.
Jenis dan Sumber Data
Jenis Data
Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif. Data Kualitatif adalah data yang tidak berbentuk hitungan atau angka-angka, hanya berupa penjelasan dalam berbentuk gambar, kata atau kalimat gambar, dan tidak dapat diukur dengan satuan hitung (Sugiyono, 2012:14).
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber yaitu sumber sekunder dan primer. Sumber sekunder yaitu sumber dimana peneliti mendapatkan data melalui sumber yang sudah ada dan peneliti tidak secara langsung mendata masalah dan jumlah kasus yang terjadi.Peneliti mencari sumber data yang berasal dari referensi yang relevan dan terkait. Sumber primer yaitu peneliti secara langsung turun ke lapangan untuk mencari informasi yang lebih mendalam dan lebih terperinci berdasarkan data sekunder yang telah di dapat dari dinas terkait.
Instrumen Penelitian
Menurut Nasution 1988 (dalam Sugiyono, 2008) tidak terdapat pilihan lain selain menjadikan peneliti atau manusia itu sendiri sebagai intrumen penelitian utama dalam penelitian kualitatif. Alasan utamanya adalah, karena segala sesuatu dalam penelitian tersebut, baik itu pola, bentuk, dan fokus penelitian masih belum memiliki kepastian atau kejelasan.Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, bahkan hasil yang diharapkan tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya, dan sepanjang penelitian tersebut berlangsung, segala sesuatunya masih dapat dikembangkan.
Teknik Pengumpulan Data
Terdapat berbagai macam teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Macam-macam teknik pengumpulan data akan dijelaskan menggunakan Gambar 2.
Observasi
Macam-macam teknik pengumpulan data
Wawancara
Dokumentasi Triangulasi / Gabungan
Gambar 2. Macam-macam Teknik Pengumpulan Data Sumber: Sugiyono, 2008: 309
Penjelasan dari macam-macam teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:
-
1) Teknik pengumpulan data dengan observasi Observasi dilakukan untuk melihat kenyataan yang terjadi di lapangan.Observasi dilakukan secara berkali-kali dan tidak terjadwal dengan harapan hasil penelitian yang objektif untuk memperbanyak wawasan penulis sehingga data hasil observasi yang diperoleh dapat dikaji oleh peneliti.
-
2) Teknik pengumpulan data dengan wawancara Teknik pengumpulan data dengan wawancara dilakukan dengan narasumber atau responden yang dianggap mengetahui kejadian atau peristiwa pasti yang diteliti.
-
3) Teknik pengumpulan data dengan dokumen Dokumen merupakan caratan dari kejadian-kejadian di masa lalu yang dapat berbentuk foto, biografi, catatan harian, ataupun sejarah kehidupan seseorang. Teknik observasi dan teknik wawancara akan jauh lebih sempurna jika didukung oleh dokumen-dokumen yang mendukung penelitian.
-
4) Teknik pengumpulan data dengan triangulasi Triangulasi merupakan penggabungan dari beberapa teknik pengumpulan data sebelumnya, yaitu observasi, wawancara, dan dokumen untuk sumber data yang sama dan secara serempak atau yang sering disebut pendekatan multimetode.
Teknik Analisis Data
Miles dan Hiberman (1992), berpendapat bahwa saat kegiatan analisis data kualitatif dilaksanakan, kegiatan ini berlangsung secara interaktif dan secara terus menerus sampai tuntas atau data dianggap kredibel.
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik gabungan antara teknik penyajian informal dan formal. Teknik penyajian informal adalah penyajian hasil analisis dengan cara naratif.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kota Denpasar merupakan Ibu kota Provinsi Bali dengan luas wilayah 127,78 km2 atau 2,27 persen dari seluruh luas daratan Provinsi Bali. Kota Denpasar dibagi menjadi 4 Kecamatan, yakni Denpasar Selatan memiliki 10 Kelurahan atau Desa, Denpasar Barat memiliki 11 Kelurahan atau Desa, Denpasar Timur memiliki 11 Kelurahan atau Desa, dan Denpasar Utara memiliki 11 Kelurahan atau Desa.
Pekerjaan Korban dan Pelaku
Hasil wawancara menunjukkan terdapat pelaku yang
bekerja sebagai montir yang mendapat upah sebesar Rp 900.000 sampai dengan Rp 1.200.000 perbulan dan penjual jasa antar jemput anak yang sekali mengantar mendapat upah sebesar Rp 15.000. Seorang pelaku mengatakan, bahwa:
“Saya kerjanya serabutan, Mbak.Jika saya mendapat tawaran pekerjaan, baru saya bekerja.Biasanya sih saya nganter-nganter anak sekolah, anak-anak pergi les, atau mengaji.Sudah lama sih saya bekerja tidak tetap, tetapi saya nggak ada pilihan. Nyari kerjaan kan susah apalagi sekarang ini”.
Pekerjaan yang tidak tetap tersebut membuat pelaku tidak memiliki pendapatan yang tidak tetap dan minim. Pendapatan yang tidak tetap dan minim tersebut hanya mencukupi kebutuhan pokok pelaku sehari-hari kurang lebih Rp 900.000 sampai dengan Rp 1.500.000 perbulan. Pekerjaan yang tidak tetap, upah yang minim, dan tanggungan keluarga tersebut yang memicu munculnya kemiskinan.
Pendidikan Keluarga Korban dan Pelaku
Secara keseluruhan, korban dari kasus-kasus pelecehan seksual sama-sama masih bersekolah, tetapi latar belakang pendidikan pelaku yang berbeda-beda dikarenakan usia pelaku yang berbeda pula. Pelaku yang cenderung berpendidikan yang rendah, akan lebih berpotensi melakukan prilaku menyimpang atau kurang dapat berpikir dengan baik mana tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Hasil penelitian yang dilakukan, terdapat salah satu kasus yaitu kronologi kejadian berawal dari awal bulan November 2015, pelaku berumur 19 tahun berpacaran dengan korban yang berumur 17 tahun.Pelaku mengirimkan pesan di BlackBerry Messenger yang isinya mengajak korban berhubungan badan. Korban sempat menolak pelaku dan korban mengatakan tidak mau, kemudian pelaku mengatakan,
“Katanya kamu sayang sama aku. Kalau sayang kok gak mau?”.
Korban akhirnya bersedia dan sepakat dengan pelaku untuk berhubungan badan.Masih pada bulan November 2015, sekitar pukul 09.00 WITA, pelaku datang ke kost korban yang pada saat itu situasi di kost korban sedang sepi dan pelaku langsung masuk ke dalam kamar kost korban. Sebelumnya pelaku juga sudah pernah datang ke kost korban dan pelaku sudah mengetahui bagaimana kondisi di sana. Awalnya korban dan pelaku melakukannya atas dasar suka sama suka. Sampai akhirnya pada bulan Mei 2016, kejadian tersebut diketahui oleh orang tua korban yang secara tidak sengaja memergoki korban dan pelaku.
Melalui hasil wawancara yang dilakukan dengan pelaku, pelaku mengatakan jika memang kedua orang tua pelaku memiliki kesibukan sendiri-sendiri dan
interaksi yang dilakukan oleh orang tua kepada pelaku juga kurang. Pelaku mengatakan,
“Paling kalau saya belum pulang jam 1 atau jam 2 pagi baru bapak saya nelpon. Paling cuma ditanya lagi dimana, gitu aja habistu disuru pulang. Tapi kalau lagi asik sama temen-temen ya aku ngga pulang. Tak iya-iyain aja bapak saya ”.
Hasil penelitian yang sama juga diungkapkan oleh Teja (2016), menyatakan bahwa rendahnya kualitas diri dari pelaku tindak kekerasan seksual pada anak menunjukkan bahwa keluarga yang diharapkan memberikan dasar pembangunan kepribadian anak tidak menjalankan fungsinya dengan benar, termasuk juga fungsi kontrol keluarga, dan lingkungan keluarga tidak berjalan dengan baik.
Pendidikan formal dan informal perlu ditunjang dengan pendidikan agama agar terjadinya keseimbangan pikiran, akhlak, dan nurani.Nainggolan (2008), menyatakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi merosotnya moral seseorang dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan agama.Agama merupakan unsur pokok dalam kehidupan manusia yang merupakan kebutuhan spiritual, kebutuhan pikiran, dan kebutuhan naluri serta kedamaian hati.
Pekerjaan dan Kondisi Ekonomi Keluarga Korban dan Pelaku
Melalui kasus yang diteliti, pelaku dari tindak pelecehan seksual pada anak tidak memiliki pendapatan yang tetap, contohnya bekerja sebagai tukang jemput anak, bekerja serabutan di bengkel kecil-kecilan, bahkan terdapat pelaku yang mengandalkan hidupnya dari berjudi.Terdapat orang tua korban yang mampu dan memiliki pekerjaan yang tetap, bahkan terdapat keluarga dari korban yang hanya mampu mencukupi kebutuhan pokok anggota keluarganya saja.Melalui pekerjaan dan pendapatan yang tidak tetap tersebut, maka munculah kemiskinan.
Permasalahan yang timbul jika orang tua sibuk bekerja mengingat masyarakat miskin akan menambah jam bekerjanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, adalah anak menjadi terlantar atau kurangnya perhatian dari orang tua. Kesibukan kedua orang tua untuk bekerja untuk menambah penghasilan sangat mengurangi waktu untuk memperhatikan anak-anak mereka. Akibatnya, anak akan mencari perhatian kepada orang lain yang dianggap dapat menjadi tempat berlindung bagi anak.
Salah satu kasus yang terjadi adalah seorang Ibu yang meminta seseorang (pelaku) untuk menjemput anaknya yang akan pergi mengaji. Sebelumnya Ibu korban memang sudah mengenal pelaku dan sudah sering meminta pelaku untuk mengantar jemput anaknya. Kesempatan itulah yang digunakan oleh pelaku untuk menjalankan aksinya. Ibu korban mengakatan,
“Saya mikir kan udah kenal sama S dari lama Mbak apalagi saya satu kampung sama dia, saya mikirnya ya ngga mungkin lah dia macem-macem sama anak saya. Sudah sering kok saya mintak tolong buat anter jemput sekolah atau ngaji sama dia Mbak. Saya kerja, Bapaknya ini kerja, jadi nggak ada yang anterin dia ngaji itu siang-siang, soalnya saya sama Bapaknya belum pulang kerja.”
Singkatnya, saat sesampainya pelaku di rumah korban yang pada saat itu hanya ada korban dan tidak ada orang lain, kemudian pelaku langsung masuk ke rumah korban untuk menjemput korban.Korban yang pada saat itu tidak memakai pakaian yang lengkap, hanya baju kaos dan celana dalam saja.Pelaku meraba kaki mulai dari bawah tungkai hingga ke paha korban, kemudian memegang area kemaluan korban secara sepintas. Korban yang saat itu sedang sendiri di rumah, menangis dan berteriak memanggil Ibunya, kemudian pelaku pergi dari rumah korban sebentar dan kembali lagi untuk memberikan korban uang sebesar Rp 5.000,- agar korban tidak bercerita kepada orang tuanya. Penjelasan dari pelaku saat pelaku di wawancara, mengatakan kepada korban sambil mengusap-usap air mata korban,
“Udah-udah, jangan nangis lagi, jangan bilang sama Ibuk nanti ya, ini Om kasi uang Lima Ribu ntar pake beli es krim yaa. Sekarang om anterin ngaji. Sudah jangan nangis. Yuk berangkat ngaji sama Om jangan nangis lagi.”
Keadaan ekonomi yang sulit akan secara langsung membuat seseorang melupakan tanggung jawabnya untuk menjaga anak. Terbukti melalui penutura orang tua korban karena jika hanya salah satu dari mereka saja yang bekerja, pendapatan yang diterima belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Pendapatan dari ayah korban berkisar Rp 1.900.000, menurut keterangan ibu korban jumlah tersebut belum mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari, maka dari itu ibu korban memutuskan untuk bekerja. Ibu korban mengakatan,
“Kerjaan Bapaknya ngga seberapa.Ya kalo ngandelin gaji Bapaknya aja ya ngga cukup Mbak.Gajinya nggak seberapa. Sekarang apa-apa kan serba mahal. Belum lagi biaya sekolah anak-anak saya.Saya mikirnya kalo saya kerja kan adalah tambahan lah dikit-dikit itu loh Mbak buat pake uang dapur.”
Hasil observasi lapangan yang dilakukan mengenai kondisi tempat tinggal korban dan pelaku, dan rata-rata pekerjaan orang tua korban dan pelaku untuk lebih menjelaskan bagaimana kondisi lingkungan dan keluarga baik korban maupun pelaku, terungkap bahwa:
-
1) Kondisi tempat tinggal. Tempat tinggal korban dan pelaku sangat beragam, mulai dari tempat tinggal atau rumah milik pribadi, rumah kontrakan, menyewa salah satu kamar kost, dan terdapat korban yang tinggal di yayasan anak yatim piatu.
Kondisi yang terlihat terdapat beberapa kasus yang terjadi di kamar kost korban ataupun pelaku. Keterbatasan biaya yang dialami salah satu keluarga korban mencirikan bahwa lingkungan keluarga korban berada di dalam katagori kondisi keluarga menengah ke bawah. Tidak hanya korban dalam kasus tersebut, tetapi masih terdapat kasus lain yang terjadi di lingkungan kost-kostan maupun rumah kontrakan.
-
2) Pekerjaan korban dan pelaku. Korban yang tercatat melalui 19 kasus yang terjadi, secara keseluruhan korbannya masih bersekolah edangkan latar belakang pekerjaan pelaku yang beragam, mulai dari guru mengaji, montir, dan bahkan ada yang tidak bekerja karena hanya mengandalkan pendapatan istri pelaku.
Kondisi Keluarga Korban dan Pelaku
Kondisi keluarga sangat mempengaruhi karakter seseorang.Salah satu kasus yang terjadi dikarenakan kondisi keluarga yang tidak harmonis yaitu pelaku yang bercerai dengan istrinya, kemudian anak kandung pelaku diasuh oleh neneknya.Awalnya korban tinggal bersama sang nenek di Lombok Timur setelah perceraian kedua orang tuanya, sedangkan pelaku sendiri yaitu AS berdomisili di daerah Ubung.
Awalnya pelaku mengatakan bahwa korban akan di ajak ke Mataram, tetapi ternyata korban di bawa ke rumah kontrakan pelaku di Denpasar, Bali tanpa sepengetahuan keluarga korban di Lombok Timur. Pelaku menyetubuhi anak kandungnya secara berulang kali sampai hamil. Setelah mengetahui jika korban hamil pelaku memaksa korban untuk mengaborsi kandungannya dengan cara meminumkan ramuan penggugur kandungan secara paksa kepada korban.
Setelah korban sehat, kemudian pelaku menjual korban kepada laki-laki hidung belang.Uang yang dihasilkan digunakan pelaku untuk berjudi.Korban mengalami kondisi ini berbulan-bulan lamanya sampai akhirnya korban berani melarikan diri ke Lombok, dan melaporkan kejadian tersebut ke Polisi di Lombok Timur. Setelah Polisi di Lombok Timur melakukan penyelidikan, ternyata kasus ini terjadi di Denpasar Bali.Kasus tersebut dilimpahkan ke Polda Bali. Hasil putusan sidang, pelaku terancam dihukum dengan tiga pasal berlapis diantaranya UU Nomor 35 Tahun 2014 mengenai kekerasan seksual terhadap anak, UU Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 2 mengenai perdagangan manusia, dan Pasal 347 KUHP megenai aborsi..
Peran Media Sosial dalam Terjadinya Kasus Pe-lecahan Seksual
Peran media sosial yang dimaksud adalah segala macam bentuk media tempat orang bersosialisasi secara maya baik itu dalam bentuk situs, jejaring sosial, konten,
film, maupun gambar, dan apapun yang berhubungan dengan dunia internet atau dunia maya.Media sosial sangat cepat mempengaruhi prilaku dari penggunanya dan sangat membuat seseorang merasa ketergantungan untuk mengaksesnya.
Terdapat salah satu kasus yaitupelaku datang ke rumah korban saat korban sendiri dan rumah dalam keadaan sepi.Awalnya korban dan pelaku menonton salah satu film dalam DVD di ruang keluarga korban, karena terbawa suasana pelaku melancarkan aksinya dengan menarik tangan korban ke salah satu kamar, kemudian mendorong korban hingga berbaring di atas kasur.Pelaku menindih korban sehingga korban tidak berdaya kemudian menyetubuhi korban.
Pertanyaan wawancara yang ditujukan kepada korban, mengapa korban tidak melawan atau menolak keinginan pelaku. Korban menjawab:
“Aku sih sebenernya nggak mau, kak.Pertamanya juga takut.Udah nolak-nolak. Udah ngasi pengertian sama di kalo aku sayang cuman ngga gitu juga caranya. Cuma ya dia ngerayu-rayu aku terus ka.yaudah dia kan pacarku yaudah aku mau aja.”
Melalui keterangan korban, selanjutnya melalukan korscek dan menanyakan kepada pelaku darimana pelaku mendapatkan video-video porno yang ditontonnya bersama korban. Pelaku menjawab:
“Dapet dari temen.Temenku penjaga warnet jadi dia gampang download-download yang gini-gini.”
Melalui hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan pelaku, terdapat beberapa kasus yang pelakunya masih berumur diantara 13 sampai 20 tahun.Mereka mengaku rata-rata memang sering menonton film-film porno melalui youtube, melihat-lihat gambar atau foto-foto porno melalui instagram, facebook, twitter, bahkan berbagi gambar atau video porno singkat melalui salah satu media sosial.
Kaitan Faktor Kemiskinan Terhadap Terjadinya Kasus Pelecehan Seksual pada Anak
Penelitian yang dilakukan oleh Syaiful (2015), menyatakan sebagian besar korban pelecehan seksual adalah anakdan remaja perempuan yang berusia di bawah 18 tahun, masih berstatus sebagai pelajar, dengan status sosial ekonomi keluarga dalam kalangan menengah ke bawah. Sedangkan pelakunya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda baik dari segi usia, pendidikan, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan tempat tinggal. Pelaku tindakan pelecehan seksual tidak mengenal perbedaan status, pangkat, jabatan, dan sebagainya, dan seluruh pelaku berjenis kelamin laki-laki.
Hasil penelitian serupa juga ditemukan dalam kasus yang terjadi di Kota Denpasar pada tahun 2016 dengan jumlah 19 kasus pelecehan seksual pada anak yang
berumur 18 tahun kebawah. Rata-rata korban yang mengalami peristiwa tersebut memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah seperti yang telah di paparkan sebelumnya.
Kaitan Faktor Tingkat Pendidikan Terhadap Terjadinya Kasus Pelecehan Seksual pada Anak
Moral bukan sesuatu yang tidak bisa berubah, melainkan ada pasang surutnya, baik dalam diri individu maupun masyarakat.Timbulnya kasus-kasus pelecehan seksual disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah. Dari kasus-kasus tersebut banyak diantaranya terjadi, korbannya bukanlah orang asing lagi baginya bahkan anak kandung, saudara, ataupun orang terdekat lainnya.
Nainggolan (2008), menyatakan bahwa satu hal yang mempengaruhi merosotnya moral seseorang dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan agama. Agama merupakan unsur pokok dalam kehidupan manusia yang merupakan kebutuhan spiritual yang sama. Norma-norma yang terdapat di dalamnya mempunyai nilai yang tertinggi dalam hidup manusia. Sebab norma-norma tersebut adalah norma-norma ketuhanan dan segala sesuatu yang digariskan oleh agama adalah baik dan membimbing ke arah yang jalan yang baik dan benar, sehingga bila manusia benar-benar mendalami dan mengerti isi agama, pastilah ia akan menjadi manusia yang baik dan tidak akan berbuat hal-hal yang merugikan atau kejahatan walaupun menghadapi banyak godaan.
Pernyataan Nainggolan (2008) tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kota Denpasar.Salah satu kasus yang terjadi pelakunya adalah guru mengaji. Guru mengaji sudah pasti memiliki pendidikan agama yang tinggi, tetapi kenyataannya terdapat salah satu guru mengaji memiliki tata prilaku yang buruk. Kasus ini terjai di Denpasar Barat, kronologi kasusnya adalah bermula saat pelaku mengajar mengaji pada tingkat anak-anak pada sore hari.Anak-anak yang ingin berguru kepada pelaku, biasanya datang setiap hari Selasa, Rabu, dan Jumat pada pukul 16.00 WITA ke rumah pelaku.Pelaku memiliki murid ngaji kurang lebih 10 orang. Pelaku selalu memberi jam tambahan kepada NH. Pelaku beralasan bahwa kemampuan mengaji dari korban sangat kurang dan ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan teman-temannya.
Pukul 17.30, pelaku memulangkan murid-murid ngajinya kecuali NH. NH harus mengikuti jam tambahan agar mampu mengejar teman-temannya. Kesempatan inilah yang digunakan oleh pelaku untuk menjalankan aksinya.Pelaku mulai memeluk korban sambil mengajari korban mengaji, kemudian pelaku mulai memegang alat vital korban, kemudian melakukan hubungan badan terhadap korban.
Pendidikan agama yang tinggi tidak membuat keseimbangan antara pikiran, akhlak, dan nurani pelaku. Pelaku tetap tega melakukan perbuatan tersebut kepada
korban atau muid mengajinya.Tidak seluruhnya guru mengaji seperti itu, tetapi kasus ini memang benar terjadi dan pelakunya adalah guru mengaji dari korban.
Kaitan Faktor Media Sosial Terhadap Terjadinya Kasus Pelecehan Seksual pada Anak
Teja (2016) menyatakan bahwa banyak kasus-kasus kekerasan seksual pada anak bersumber dari tontonan, gambar, dan bacaan pornografi. Contohya adalah pada kasus Y, para pelaku menonton film porno dan mengonsumsi miras sebelum memperkosa Y. Hampir 50 persen pelaku melakukan kekerasan seksual karena seringnya menonton film porno. Ini mengindikasikan masih bebasnya anak mengakses situs-situs dan film porno, baik melalui media sosial/internet maupun penjualan ilegal kaset video porno di pasaran.
Hasil penelitian serupa juga ditemukan dalam kasus-kasus yang terjadi di Kota Denpasar, bahwa media sosial sangat mempengaruhi prilaku dari penggunanya. Menurut keterangan dari beberapa pelaku, ia kerap atau sering menonton video-video porno melalui youtube. Melalui rangsangan tersebutlah seksualitas pelaku meningkat dan akhirnya melakukan perbuatan tersebut.
Kaitan Faktor Ekonomi Terhadap Terjadinya Kasus Pelecehan Seksual pada Anak
Indanah (2016), menyatakan bahwa tingginya pelecehan pada anak memperlihatkan bahwa persoalan kekerasan menjadi persoalan yang amat serius, apalagi kekerasan tersebut dilakukan oleh orang tua sendiri maupun orang yang dekat dengan anak.Orang tua seharusnya menjadi seorang yang paling bertanggung jawab atas tumbuh dan berkembangnya anak karena keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial.
Hasil penelitian lain yang dilakkan oleh Bahri (2015), menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual pada korban, antara lain adalah korban kurang mendapatkan pengawasan dan perlindungan dari keluarga terdekat, dan kurang kepedulian dari orangtua.
Hasil penelitian yang sama juga ditemukan dalam kasus-kasus yang terjadi di Kota Denpasar. Orang tua sibuk bekerja kurang memperhatiakan anaknya dan cenderung menitipkan anaknya kepada orang lain yang dianggap bisa dipercaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak anggota keluarga yang menjadi pelaku dari pelecehan seksual pada anak. Anggota keluarga yang dimaksud adalah Ayah kandung, Ayah tiri, dan saudara korban. Keluarga yang seharunya melindungi anak justru menjadi pelaku pelecehan seksual yang sangat mengancam anak.
Keempat faktor di atas merupakan satu-kesatuan yang saling terhubung. Pertama melalui kemiskinan, yang akan membuat seseorang tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi karena keterbatasan biaya, ditambah lagi kondisi
keluarga yang kurang memperhatikan anggota keluarga yang lain, kemudian seiring perkembangan zaman, media sosial dan internet terus berkembang dan sangat mempengaruhi prilaku dari penggunanya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
-
1. Pelaku dari kasus pelecehan seksual pada anak di Kota Denpasar sebagian besar tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan berasal dari kalangan seseorang atau keluarga dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Tidak terdapat pelaku yang berasal dari tingkat ekonomi yang tinggi atau orang kaya. Pendapatan pelaku berkisar antara Rp 900.000 sampai dengan Rp 1.500.000 perbulan. Pekerjaan yang tidak tetap berdampak pada rendahnya pendapatan yang diterima pelaku.
-
2. Tingkat pendidikan pelaku dari kasus pelecehan seksual pada anak di Kota Denpasar secara keseluruhan tidak terdapat pelaku yang melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Pendidikan pelaku hanya sebatas tamat SD, SMP, dan terdapat beberapa pelaku yang berhasil menamatkan pendidikan menengah atas. Semakin rendahnya tingkat pendidikan seseorang cenderung akan berprilaku menyimpang karena ketidaksempurnaan pemahaman norma dan moral sosial. Seperti halnya pelaku yang secara keseluruhan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, melakukan perbuatan menyimpang yaitu melakukan pelecehan seksual.
-
3. Media sosial sangat mempengaruhi prilaku seseorang, hal ini dapat dilihat melalui pelaku dari kasus pelecehan seksual pada anak di Kota Denpasar memanfaatkan media sosial untuk mencari situs-situs negatif. Melalui hasil tontonan tersebut pelaku merasa terangsang untuk melakukan hal tersebut.
-
4. Kondisi keluarga korban dan pelaku dari kasus pelecehan seksual pada anak di Kota Denpasar berasal dari kondisi keluarga yang berbeda-beda. Kondisi dari keluarga korban sebagian besar adalah keluarga broken home atau kondisi keluarga orang tua bercerai. Kondisi keluarga dari pelaku adalah banyak pelaku yang tinggal sendiri atau terpisah dengan keluarga baik orang tua, istri, dan anak-anak.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
-
1. Orang tua hendaknya lebih memperhatikan anak-anak dalam kesehariannya, yaitu dengan siapa anak bergaul, dan dengan siapa anak berpergian,
karena kasus pelecehan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Orang tua lebih memperhatikan perkembangan dan tempat pergaulan anak karena karakter anak juga dapat dipengaruhi oleh teman sepermainannya.
-
2. Adanya hukuman yang membuat efek jera kepada pelaku agar kasus pelecehan seksual pada anak di Kota Denpasar setiap tahunnya tidak mengalami peningkatan dan tidak terulang kembali kasus-kasus sebelumnya, atau tidak ada lagi kasus pelecehan seksual pada anak.
-
3. Pemerintah lebih berupaya dalam mengembangkan lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja dengan pendidikan yang rendah. Lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah diharapkan mampu untuk mengurangi intensitas waktu pelaku atau seseorang yang dapat menjadi pelaku agar tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual pada anak, dan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat agar kemiskinan di Kota Denpasar dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Ayun, Primada Qurrota. 2015. Fenomena Remaja Menggunakan Media Sosial dalam Membentuk Identitas. Jurnal Channel. 3(2), pp:1-16.
Bahri, Syaiful, Fajriani. 2015. Suatu Kajian Awal Terhadap Tingkat Pelecehan Seksual di Aceh. Jurnal Pencerahan. 9(1), pp:50-65.
Barth, J., Bermetz, L., Heim, E. 2013. The Current Prevalence of Child Sexual Abuse Worldwide: A Systematic Review and Meta-Analysis. International Journal of Public Health.58(3), pp:469–483.
Baswedan, Anies. 2014. Gawat Darurat Pendidikandi Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta.
Budi, Sabar. 2012. Evaluasi Trend Kualitas Pendidikan di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 2, pp: 298-319.
Collier, R. 1995. Combating Sexual Harassment in the Workplace. Open University Press, Buckingham.
Conte, John R., Shore, David A. 2014.Social Work and Child Sexual Abuse.Journal of Social Work and Human Sexuality, 1(1/2).
Eriyanto. 2011. Analisis Isi: Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu – Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta, pp: 47.
Fergusson, David M., McLeod, Geraldine F.H., Horwood, L. John. 2013. Childhood Sexual Abuse and Adult Developmental Outcomes: Findings From A 30-Year Longitudinal Study in New Zealand. Elsevier Journal, 37(9), pp: 664-674.
Fuadi, Anwar. 2011. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual:
Sebuah Studi Fenomenologi. Psikoislamika, Jurnal Psikologi Islam (JPI), 8(2), pp: 191-208.
Godbout, Natacha, John Bariere, Stephane Sabourin, Lussier Yvan. 2014. Child sexual abuse and subsequent relational and personal functioning: The role of parental support. Elsevier Journal, 38(2), pp:317-325.
Hidayati, Nur. 2014. Perlindungan Anak terhadap Kejahatan Kekerasan Seksual (Pedofilia). Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, 14(1), pp:68-73.
Indanah.2016. Pelecehan Sexual pada Anak. JIKK, 7(1), pp: 1623.
International Labour Organization. 2015. Sesi: 7 Pelecehan Seksual. Asian Decent Work Decade.
Irwan, Zoe’raini Djamal. 2014. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Kota, pp: 31-45.
Jones, D.J., Lewis, T., Litrownik, A. 2013.Linking Childhood Sexual Abuse and Early Adolescent Risk Behavior: The Intervening Role of Internalizing and Externalizing Problems. Journal of Abnormal Child Psychology, 41(1), pp:139–150.
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (KONASPESKA).2010. Memperkuat Hukum penanganan eksploitasi seksual anak Panduan Praktis. Restu Printing Indonesia, Sumatra Utara.
Undang-undang Republik Indonesia UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.http://www.komnasham. go.id/instrumen-ham-nasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham. Diakses pada tanggal 13-Maret-2016.
MacMillan, Harriet L., Tanaka, Masako.,Duku, Erick., Vaillancourt, Tracy., Michael H. Boyle. 2013. Child physical and sexual abuse in a community sample of young adults: Results from the Ontario Child Health Study. Elsevier Journal, 37(1), pp: 14-21.
Mamahit, Rendry. 2013. Tingkat Pendidikan, Pelatihan Dan Kepuasan Kerja Pengaruhnya terhadap Kinerja Pegawai di Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal EMBA, 1(4), pp: 936-945.
Meinck, Franziska, Cluver, Lucie D., Boyes, Mark E., Mhlongo, Elsinah L. 2014.Risk and Protective Factors for Physical and Sexual Abuse of Children and Adolescents in Africa A Review and Implications for Practice. Sage Crimonology and Criminal Justice Journal, 16(1), pp: 81-107.
Miles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tantang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
Mrazek, Patricia Beezley. 1987. Sexually Abused Children and Their Families. USA: Pergamon Press.
Nainggolan, Lukman H. 2008. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur.Jurnal Equality, 13(1), pp: 73-81.
Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact and Hendling. Sosio Informa, 01(1), pp: 13-28.
Pramastri, Ira., Supriyati, Priyanto, Mochammad A. 2010. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children.
Jurnal Psikologi, 37(1), pp: 1-12.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.
-------. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.
-------. 2012. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Sukoco, KW., Rozano, Dino., Utami, Tri S. 2016. Pengaruh Broken Home Terhadap Perilaku Agresif. Jurnal Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling, 2(1), pp: 38-42.
Sumera, Marcheyla. 2013. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan.Lex et Societatis, 1(2), pp: 39-49.
Suradi. 2013. Problema dan Solusi Strategis Kekerasan Terhadap Anak. Jurnal Informasi, 18(02).
Teja, Mohammad. 2016. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kekerasan Seksual Pada Anak. Peneliti Muda Sosiologi pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI, VIII(09/I/P3DI).
Tower, C.2002. Understanding Child Abuse and Neglect (5th ed). Boston: Allyn and Bacon, A Pearson Education Company.
Utami, Dian., Setyowati, Nanik. 2013. Perempuan Sebagai Pelaku Dan Korban Kekerasan Dalam Kehidupan Rumah Tangga. Jurnal Studi Perempuan Lentera, 9(1), pp: 88100.
Website Resmi Kota Denpasar. Denpasarkota.go.id. Diakses pada tanggal 07-Desember-2016
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication Theory. McGraw Hill. New York.
Volume XIII No. 1 Juli 2017
17
Discussion and feedback