REDEFINISI KECANTIKAN DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA PEREMPUAN BALI, DI KOTA DENPASAR
on
1
REDEFINISI KECANTIKAN DALAM MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS KERJA PEREMPUAN BALI, DI KOTA DENPASAR
Ni Made Wiasti
Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar email: [email protected]
Abstract
Beauty is not an independent entity. It deeply roots in the culture of a particular community. Such a culture is influenced by environmental conditions where the community lives. On that account, beauty poses a social construction created by human beings. It changes all the times in accordance with the tastes and interests of the community because it is indeed constructed by the community itself. In the Balinese community, it is constructed that woman is considered beautiful if she has physical beauty and charming personality (inner beauty).
Furthermore, since the modernity engulfs the world, the concept of beauty is more referring to the construction of market and capitalistic ideology. The presence of advertisement and market does not only offer body care and beauty products, but at the same time they also offer the concept of ideal woman image. Today, a woman considered beautiful if she has white skin, slim body and symmetrical face. Having passed through a series of battles between capitalism and local values, the concept of beauty puts more emphasis on physical beauty than any other consideration. Mass media, advertisement, fitness centers and beauty salons become important agents of change. The presence of capitalism has resulted in revitalization of Balinese culture, including the beauty of women coming into view not only in the religious and customary moment but also in day-to-day life. Even, beauty is used as a means to achieve an objective in the occupation or career.
Keywords: redefinition of beauty, women productivity
Pendahuluan
Pengaruh globalisasi telah menyentuh semua aspek kehidupan manusia, termasuk tubuh/diri (body) atau penampilan diri juga mengalami estetisasi melalui proses konstruksi. Pada sisi lain kehadiran media, tidak dapat diabaikan dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh perempuan. Konstruksi kecantikan pada perempuan yang dibangun oleh media adalah kecantikan dengan kriteria seperti kulit putih, tinggi, wajah simetris, pinggul ramping dan payudara penuh berisi. Idealisme pada kulit putih ini dapat dilihat
dari berbagai iklan produk pemutih di majalah dan televisi, mulai dari pemain sinetron, model dan artis-artis lain yang mayoritas berkulit putih.
Kehadiran media juga mampu mengubah konsep dalam memandang kecantikan perempuan dalam masyarakat Bali yaitu dari kecantikan bersifat realitas menjadi hiperrealitas. Tidak jarang yang terjadi saat ini, demi mengejar obsesinya, perempuan tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap tubuhnya, dengan cara mentato, melukis (body paintings), mengkeriting dan meluruskan (rebonding), mencukur dengan berbagai model/bentuk, mengecat berwarna-warni rambutnya, mencabut bulu kaki, suntik pemutih, hingga sedot lemak. Oleh karena itu, hal yang paling ditakuti oleh perempuan adalah pekembangan dalam tubuhnya ketika ia menghitam, menggemuk atau menua. Perempuan selalu menderita ketika ingin menjadi sosok yang cantik, karena semakin kuat posisi ideal perempuan, sebenarnya semakin berat upaya yang dilakukan untuk membangun kecantikan (Melliana, 2006).
Kehadiran pasar dan iklan yang memberikan janji-janji disertai berbagai produk kecantikan, pada akhirnya membuat perempuan menjadi tidak berdaya dan selalu ingin mengkonsumsi benda atau jasa demi sebuah kecantikan. Berbagai jenis produk kecantikan, mulai dari harga yang paling murah sampai dengan yang termahal, semuanya menjanjikan pembentukan dan perawatan tubuh perempuan menjadi cantik (Ibrahim, 2004:115). Dalam konteks ini tubuh dijadikan sebagai sebuah arena pertarungan untuk kecantikan. Kehadiran pasar dan iklan dengan mode yang berubah-ubah, menandakan bahwa betapa tubuh dan kecantikan mempunyai arti penting dalam kaitan dengan perubahan sosial budaya yang terjadi (Abdullah, 2001: 38).
Dalam pergaulan di masyarakat, penampilan fisik perempuan menjadi standar ideal untuk menilai seorang perempuan. Kecantikan juga berhubungan erat dengan bagaimana cara berpakaian yang baik, berperilaku yang baik, dan semua yang berkaitan dengan cara memperlakukan tubuh dengan baik juga disebut dengan tindakan moralitas. Karena itu, perempuan berperilaku baik, berpenampilan sesuai nilai dan norma, dikatakan sebagai perempuan yang dapat menjaga moral.
Akhir-akhir ini masalah kecantikan memang banyak mendapat perhatian dan sering diperbincangkan di dalam berbagai kesempatan. Hal ini terbukti semakin banyak bermunculan berbagai tempat mempercantik dan perawatan tubuh, seperti salon, spa,
sauna, fitness, body treatmen, body massage, dan klinik kecantikan. Makna kecantikan juga sudah mengalami pergeseran, dari yang bersifat pribadi (domestik), tetapi sekarang menjadi sangat umum dan dipertontonkan. Kecantikan, bahkan menjadi ajang pertarungan melalui berbagai festival atau kontes, layaknya seperti bentuk-bentuk kesenian lainnya, misalnya ajang pemilihan puteri Indonesia, miss universe, puteri sunsilk, dan pemilihan puteri-puteri lainnya. Bahkan pasaran kerja pun tidak jarang menerapkan model pengetesan berdasarkan atas kriteria kecantikan atau keindahan penampilan seorang perempuan. Semuanya yang mempertaruhkan keindahan dan kemolekan tubuh perempuan, merupakan contoh bagaimana tubuh dikelola dalam suatu sistem sosial, politik dan kultural.
Berdasarkan atas kenyataan tersebut tulisan ini mengkaji tentang definisi kecantikan terutama di kalangan perempuan karir atau yang bekerja di bidang ekonomi. Pengkajian difocuskan pada perempuan Bali yang berkarir di berbagai bidang, baik yang bersifat formal, maupun informal. Untuk itu tulisan ini akan dibagi menjadi dua bidang pengkajian. Pertama, perkembangan definisi kecantikan terkait dengan definisi kecantikan tradisional/klasik, kecantikan moderen, dan kecantikan kontemporer/postmodern. Kedua, konstrksi kecantikan, terutama pada perempuan karir saat ini lebih mengarah kepada sebagai pencitraan, dan kecantikan sebagai gaya hidup.
Perkembangan Definisi Kecantikan
Memberi pengertian tentang kecantikan bukanlah perkara mudah, karena menurut Ashad Kusuma Djaya, (2007: x), bahwa kecantikan adalah total, mencakup ukuran-ukuran tubuh (fisik), dan mental atau kepribadian (inner beauty) dengan ukuran standar pula, sehingga secara keseluruhan melahirkan kecantikan sejati. Kondisi ini sudah menyangkut estetika yang mengandung unsur obyektif dan subyektif. Kecantikan juga merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138).
Namun demikian, masing-masing budaya memiliki kekhasan (tipikal) kecantikan yang ditunjukkan melalui ciri-ciri fisik dan nonfisik, yang bersifat komulatif, mencakup ukuran-ukuran tubuh tertentu yang ideal, misalnya kulit putih, rambut hitam, badan kurus, pinggang ramping, serta kepribadian (inner beauty) yang baik. Ciri-ciri atau indikator semacam ini pada akhirnya melahirkan tipologi, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1199), tipologi diartikan sebagai bagian manusia di golongan-golongan menurut corak masing-masing. Dalam konteks ini tipologi kecantikan lebih merupakan penggolongan-penggolongan berdasarkan ciri-ciri atau corak khas yang bersifat fisik atau nonfisik yang dianggap ideal oleh suatu masyarakat.
Konsep kecantikan perempuan, dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, mulai dari yang bersifat seksual semata, sampai ke politis, sehingga disebut dengan istilah dialektika konstruksi kecantikan. Dialektika konstruksi kecantikan yang selalu berubah dapat dilihat dari definisi kecantikan yang berbeda dari masa ke masa. Misalnya, pada masa Yunani kuno, makna cantik itu adalah perempuan telanjang. Pada masa Renaissance (abad pertengahan) definisi cantik berhubungan dengan ketuhanan atau religiusitas, abad ke 19, yang dikatakan cantik adalah perempuan aristokrat, dan pada abad 20, konsepsi kecantikan perempuan, didasarkan pada, latar belakang etnis dan ras, serta harus feminin. Sedangkan, konstruksi kecantikan tubuh pada dekade ini adalah mengacu pada referensi kesegaran, mengarah pada sesuatu yang halus, rapi, yang semuanya bergeser ke arah segar (Abdullah, 2006b:138).
Konsep kecantikan juga bisa dibedakan antara yang klasik, modern, dan postmodern. Kecantikan klasik lebih mengarah pada ukuran-ukuran tubuh yang proporsional sesuai dengan konsepsi ideal yang digariskan oleh budaya, dan perpaduan antara kecantikan fisik dan mental (inner buauty), serta menekankan pada keselarasan hubungan dengan alam. Konsep kecantikan tradisional pada dasarnya berpijak kepada prinsip harmoni yang terkait secara struktural antar bagian tubuh sebagai efek alamiah dari anatomi dan fisiologis tubuh manusia. Di Bali pun kecantikan tubuh terkait dengan ukuran tubuh ideal, yang tidak lepas dari perumpamaan dan ungkapan. Misalnya, preraine sekadi bulan purnama (wajahnya seperti bulan purnama), kulitne gading (kulitnya kuning), alisne medon intaran (seperti daun intaran) (Sudiarta, 2006: 56). Kecantikan tradisional banyak mengambil perumpamaan dari keindahan alam.
Kecantikan modern, lebih mengarah pada keseragaman atau universalitas, seperti kulit putih, dan ukuran-ukuran tubuh yang proporsional, dan semuanya mengarah pada hal-hal yang modern. Sedangkan kecantikan postmodern, adalah kecantikan yang mengacu pada makna pluralitas, heterogenitas dan bersifat sangat subyektif. Kecantikan perempuan Bali yang dimaksud mencakup ketiga konsepsi tersebut yakni klasik, moderen dan posmodern. Ketiganya masih memperlihatkan saling keterkaitan, yakni unsur-unsur atau ide-ide kecantikan klasik (tradisional) yang masih ada dan diacu dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh perempuan, baik modern maupun posmodern.
Kecantikan sesungguhnya juga merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138). Namun, masing-masing budaya memiliki kekhasan (tipikal) kecantikan yang ditunjukkan melalui ciri-ciri fisik dan nonfisik, yang bersifat komulatif, mencakup ukuran-ukuran tubuh tertentu yang ideal, misalnya kulit putih, rambut hitam, badan kurus, pinggang ramping, serta kepribadian (inner beauty) yang baik. Ciri-ciri atau indikator semacam ini pada akhirnya melahirkan tipologi, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1199), tipologi diartikan sebagai bagian manusia di golongan-golongan menurut corak masing-masing. Dalam konteks ini tipologi kecantikan lebih merupakan penggolongan-penggolongan berdasarkan ciri-ciri atau corak khas yang bersifat fisik atau nonfisik yang dianggap ideal oleh suatu masyarakat. Pada masyarakat Bali kecantikan adalah total yang menyangkut keindahan fisik (biologis), kecantikan dari dalam (inner beauty) yang kemudian melahirkan yang namanya tipologi kecantikan. Ciri-ciri atau indikator semacam ini pada akhirnya melahirkan tipologi, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1199), tipologi diartikan sebagai bagian manusia di golongan-golongan menurut corak masing-masing. Dalam konteks ini tipologi kecantikan lebih merupakan penggolongan-penggolongan berdasarkan ciri-ciri atau corak khas yang bersifat fisik atau nonfisik yang dianggap ideal oleh suatu masyarakat.
Kecantikan Fisik/Biologis
Kecantikan tidak bisa dilepaskan dengan keindahan fisik atau tubuh. Bentuk tubuh yang ideal adalah langsing, tidak kelebihan lemak pada bagian-bagian tubuh atau proporsional, perut datar, payudara kencang, pinggang berlekuk, dan pantat sintal, itulah yang dikatakan cantik (Melliana, 2006: 4). Sementara itu, Yulianto (2007: 36), mengatakan bahwa idealisme kecantikan perempuan kini diidentikkan dengan kulit putih atau wajah Indo. Dengan kata lain, hanya ada satu standar warna kulit bagi kecantikan perempuan, yaitu kulit putih. Kulit putih dan cantik dianggap sebagai ras superior, karena itu dinormalkan dan diidealkan, bahkan, putih dan keputih-putihan adalah hal yang signifikan, bukan saja dalam katagori sebagai ras, melainkan juga dalam definisi dan konstruksi femininitas, seksualitas, dan domestisitas perempuan (Aquarini, 2003: 100).
Tampil cantik secara fisik menjadi bagian paling penting bagi perempuan modern. Pernyataan itu sering kali didengar dalam berbagai tempat dan kesempatan, oleh perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan, kecantikan merupakan anugerah terindah yang dipercaya bisa menambah keyakinan, percaya diri, dan energi kehidupan. Konsep cantik itu memang relatif, karena cantik bagi satu orang belum tentu cantik bagi orang lain. Demikian juga sebaliknya, tidak cantik bagi seseorang, belum tentu tidak cantik bagi orang lain. Menilai tubuh seseorang itu cantik atau tidak, masing-masing orang mempunyai standar yang berbeda. Penampilan fisik artis cantik dan seksi Inneke Kusherawati misalnya, yang sebelumnya tidak mengenakan pakaian muslim dan berjilbab, dikenal dengan sebutan bom seks, tetapi begitu dia mengubah penampilannya dengan busana muslim yang modis dan pemilihan warna yang serasi, banyak orang berpendapat Inneke lebih cantik dan indah dibanding sebelumnya. Begitu pula dengan penampilan artis kondang Siti Nurhaliza dari Malaysia yang sopan, lembut dan murah senyum, dan selalu menggunakan busana tertutup, tetap disenangi dan digandrungi banyak orang tua maupun muda.
Di saat yang bersamaan, orang masih sangat kagum dengan sensualitas Julia Perez yang begitu menonjolkan lekak-lekuk tubuh. Sorotan tajam mata laki-laki begitu fokus dan secara lirih berdecak kagum dengan berkata “wow seksinya”, dengan mata melotot. Di lain sisi tidak sedikit pula yang mengatakan tidak suka dan risih melihat
penampilan seorang perempuan seperti itu. Dengan demikian, mendefinisikan cantik bukan persoalan mudah dan sederhana, melalui standar-standar yang normatif.
Oleh karena itu, cantik memiliki sifat sangat relatif dan kontekstual, dan tidak mengenal kelas. Bahkan bisa dikatakan cantik itu sendiri tak ada, ketika hendak dijelaskan dengan sebuah definisi pasti yang bersifat universal. Perempuan pekerja buruh pun memiliki konstruk kecantikannya sendiri. Jika perempuan berkelas menggunakan Pond’s sebagai alat pemutih, maka para gadis penjaga toko cukup dengan Lulur Purbasari yang harganya di bawah Rp 10 ribu. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Kusuma Jaya (2007: 14), bahwa kecantikan itu pada hakikatnya adalah kemampuan tampil menarik secara keseluruhan, bukan bagian per bagian. Untuk itu, tidak bisa dilepaskan dengan kriteria-kriteria fisik yang dianggap ideal. Pada budaya Bali, seorang perempuan dikatakan cantik jika mereka memilki kriteria-kriteria fisik yang indah.
Satu hal yang selalu dilakukan perempuan untuk tampil cantik adalah memberi perhatian pada masalah kulit. Tidak sedikit perempuan yang menjadi takut karena kulitnya semakin keriput. Serangkaian upaya selalu dilakukan untuk menjaga keindahan kulit. Kulit dengan sendirinya menjadi satu simbol penting dalam merepresentasikan kecantikan. Pada budaya Bali, warna kulit yang dianggap ideal sering dinyatakan dengan ungkapan. Ada banyak ungkapan yang digunakan untuk menyatakan keindahan warna kulit, antara lain, “pemulane gading nyalang kadi emas mesangling”, artinya kulitnya berwarna gading bersih bersinar bagaikan emas yang sudah digosok, “pemulane nyandat gading”, artinya kulitnya berwarna bagaikan bunga sandat berwarna gading, “pemulane kadi langsat”, artinya kulitnya seperti buah langsat, dan “kulitne sekadi salak klumadin”, artinya kulitnya seperti daging buah salak yang dihilangkan kulit arinya. Dari ungkapan-ungkapan tersebut, jelas menyiratkan warna kulit merupakan elemen penting untuk idealisme kecantikan seorang perempuan. Pada dasarnya warna kulit yang indah adalah gading atau kekuning-kuningan, tampak bersih dan segar, bukan putih.
Idealisasi kulit gading atau kuning langsat sebetulnya memiliki masa cukup panjang. Hal ini ditandai pula oleh kehadiran iklan-iklan kosmetik. Iklan kosmetik adalah yang mempunyai sihir paling kuat bagi kaum perempuan. Di era tahun 1970-an misalnya, ada suatu industri kosmetik yang begitu “membumi”, yaitu Viva Cosmetics. Produk ini tidak menawarkan putih itu cantik, tetapi hanya menawarkan cantik dan segar. Sihir Viva
Cosmetik memang sangat sesuai untuk daerah tropis, karena slogan ini menjadi sihir kuat untuk menarik perempuan yang tinggal di daerah tropis. Pada saat itu, image putih adalah cantik “belum begitu dipedulikan”. Yang penting adalah cantik.
Hegemoni Viva Cosmetics mulai tergeser ketika industri kosmetik Mustika Ratu dan Sari Ayu merambah dunia perempuan. Sebagai raksasa kosmetik pada saat itu, keduanya menawarkan nuansa kuning langsat bak putri keraton. Dan ajaib, hampir seluruh perempuan di Indonesia tersihir dengan nuansa kuning langsat ini. Betapa kaum perempuan mengkuningkan kulitnya dengan mulai memakai produk mustika ratu atau sari ayu, dari pembersih muka, bedak tabur, sampai lulur agar tubuh menjadi kuning langsat. Sampai di situ, dua raksasa kosmetik ini belum menawarkan putih itu cantik, tetapi masih cantik adalah kuning langsat bak putri keraton.
Pergeseran makna cantik adalah kuning langsat menjadi cantik itu putih dimulai pada era 1985-an. Mustika ratu dan sari ayu tidak lagi memerkan kuning langsat-nya, melainkan berubah haluan memproduksi kosmetik yang ada whitening-nya. Kedua raksasa ini diversifikasi usaha dengan membuat produk anakan perusahaan di bawah lisensi mereka. Mustika ratu memproduksi biocell yang lebih beraroma modern dan barat, sementara sari ayu memproduksi biokos dan caring. Produk-produk terakhir ini tidak lagi menawarkan kuning langsat sebagai trade mark dan image seperti dilakukan induknya selama ini, tetapi menawrkan pemutih dan aman untuk kulit Indonesia.
Tak hanya sampai di situ. Produk-produk kecantikan yang mengusung rona putih yang identik dengan barat dan cantik juga melanda lulur mandi. Kalau dahulu produk lulur mandi menawarkan kulit yang halus mulus dan menjadi kuning langsat, sekarang semua sudah berubah. Kini semua mengusung whitening dan manfaat buah-buahan serta manfaat susu yang bisa menjadikan kulit tubuh lebih halus, mulus, lembut dan putih. Kini sudah tidak terhitung lagi, bahkan tidak satu pun produk-produk kosmetik yang tidak menawarkan unsur whitening.
Dampak dari fenomena ini sangat terasa dan kelihatan. Hampir semua informan, yang sebagain besar memiliki pendidikan dan jabatan cukup tinggi, sehingga tingkat keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan komprehensip. Mereka umumnya mengkonsumsi pemutih kulit yang resmi beredar di pasaran. Begitu juga
orang-orang kecil yang banyak dijumpai di tempat-tempat umum, seperti para penjaga stand di super market atau mal, juga di salon-salon kecantikan.
Rambut sebagai salah satu penunjang dari penampilan perempuan saat ini mengalami masalah, seperti berketombe, rambut rontok dan bercabang, sehingga mendapat perhatian khusus agar sehat. Rambut yang disebut mahkota perempuan, dan rambut indah sering diumpamakan bagai “mayang mengurai”, yakni seperti bunga kelapa yang berbentuk seperti gelombang kecil. Bagi perempuan Bali yang memiliki rambut ikal bergelombang adalah gambaran rambut indah. Rambut indah dinyatakan dengan ungkapan rambutne inggel ngredep kadi bulun jangkrik”, artinya rambutnya ikal/bergelombang mengkilap bagaikan bulu jangkrik. Hal ini menunjuk pada rambut hitam kecoklatan, dan bercahaya seperti warna bulu jangkrik, dan ikal yang dimaksud adalah bergelombang, bukan keriting.
Kini dengan kemunculan iklan sampo yang secara terus menerus di televisi dan media cetak lainnya membawa konsep baru tentang rambut indah, yakni rambut lurus, hitam, dan berkilau. Sejalan dengan itu muncul pula pelayanan salon yang menyediakan teknik pengeritingan dan pelurusan rambut (rebounding), diikuti oleh model potongan rambut yang beraneka ragam. Belakang muncul lagi trend mode pewarnaan rambut pirang, merah, abu-abu, dan ungu. Pengakuan Made, seorang penyanyi Café di Kuta, yang seringkali mewarnai rambut sesuai dengan pakaian yang digunakan ketika dia tampil menyanyi. Meskipun cara-cara ini dianggap merusak rambut, Made tidak pernah mempedulikannya.
Cantik juga menjadi standar yang diikuti, ketika ia hadir dalam bentuk ikon. Ikon inilah yang kemudian seolah menjadi pantulan diri di cermin bagi orang-orang yang mengikuti standar cantik yang direpresentasikan ikon tersebut. Gaya rambut Lady Diana, bisa jadi tak akan mendunia jika bukan ada pada seorang Lady Diana yang dipersunting Sang Pangeran, begitu pula dengan standar-standar kecantikan lain. Orang berlomba-lomba untuk teralienasi dari dirinya sendiri dan menjadi pantulan bayangan di cermin yang sejatinya bukan dirinya.
Tidak sedikit perempuan Bali kemudian melakukan berbagai perawatan dan bahkan pengubahan rambut. Cat rambut warna pirang merupakan warna yang paling banyak disukai. Di sebuah salon Jalan Diponegoro Denpasar, mengaku setiap minggunya
lebih dari 15 perempuan mengubah warna rambutnya menjadi pirang. Bahkan kalau libur sekolah jumlah ini meningkat tajam. Remaja SMA dan mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan, ketika libur panjang banyak yang mengubah warna rambut menjadi pirang. Perempuan tengah baya biasanya tidak mengecat secara total, tapi ada warna gradasi antara hitam dengan pirang. Hal ini dilakukan agar tidak terlalu mencolok.
Mengubah warna rambut, bukan merupakan persoalan imitasi, atau ingin menjadi ras berambut pirang. Mengubah warna rambut ‘hanya’ menjadi sebuah persoalan tren semata. Karena tidak mungkinlah seseorang mengubah warna rambut biar dianggap orang bule. Umumnya lebih untuk suka-suka dan ikut-ikutan, karena memang sedang menjadi model. Bahkan beberapa perempuan yang rambutnya mulai tumbuh uban, mereka mengecatnya dengan warna hitam. Bukan hanya karena ingin lebih tampak muda dari usia yang sebenarnya, karena menurut beberapa ahli rambut, seringkali meski pun masih muda, uban pun mulai tumbuh.
Tidak hanya kulit, bagian wajah, atau rambut tetapi, bagian-bagian tubuh, seperti payudara, pinggang, kaki sampai kuku pun tidak luput sebagai tipologi kecantikan yang banyak diburu oleh perempuan Bali. Namun pada bagian-bagian ini, hanya perempuan yang berkelas ekonomi tinggi yang mampu merawatnya melalui berbagai treatment di salon-salon kecantikan kelas atas. Meski bagian ini sama sekali tidak berkaitan dengan wajah, harmonisasi payudara dengan bentuk tubuh merupakan hal yang banyak dikejar perempuan-perempuan Bali. Keindahan payudara dinyatakan dalam bentuk ungkapan, “susune nyangkih kadi nyuh gading kembar”, artinya payudaranya seperti kelapa gading kembar. Payudara yang kencang seperti kelapa gading muda, secara natural hanya bisa dimiliki oleh seorang gadis muda pada usia 14 tahun ke atas (Sudiarta, 2006: 104).
Terkait dengan keindahan fisik perempuan, akhirnya, muncul pujian terhadap postur tubuh yang bagus atau ideal dinyatakan dengan ungkapan “pengadeg nyane langsing lanjar”. Artinya postur tubuhnya tinggi dan langsing/proporsional. Bentuk tubuh yang ideal adalah yang proporsional tanpa kelebihan lemak di sana sini. Meski belum ada standar tentang tinggi dan berat badan yang ideal yang dikenal dalam budaya Bali, tetapi berdasarkan pengamatan serta wacana yang berkembang dalam pasaran kerja perempuan misalnya, diperkirakan tinggi dan berat badan yang diidealkan berkisar antara 50-55 kg untuk berat badan, dan 160 cm – 165 cm untuk tinggi badan.
Hal ini dapat dilihat dalam sebuah iklan rekruitmen tenaga kerja dari sebuah perusahaan swasta, seperti uraian berikut ini.
“…dicari, tenaga kerja perempuan, dengan syarat-syarat: umur maximal 25 tahun, berat badan 55 kg., tinggi badan minimal 160 cm., berpenampilan menarik, diutamakan yang belum berkeluarga…” (Bali Post, 22 Nopember 2007).
“…andakah yang kami cari? Syarat & kriteria: usia 18-24 tahun, pendidikan minimal SMA/Kejuruan, tinggi badan minimal 160 cm, dan berat badan proprsional, sertakan 1 lembar foto seluruh badan, dan 2 lembar foto 3x4 cm…” (Bali Post, 22 Nopember 2007).
Iklan semacam ini hampir setiap hari menghiasi halaman surat kabar lokal dan nasional. Perempuan dengan berat dan tinggi badan seperti itu dianggap memiliki tubuh proporsional dan penampilan indah dan menarik. Kenyataan tersebut juga menegaskan bahwa kecantikan perempun sangat ditentukan oleh kekuatan besar yakni kapitalisme dengan ideology pasarnya.\
Kecantikan dari Dalam (inner beauty)
Dalam cara pandang orang Bali, tubuh manusia mengandung tiga aspek penting, yakni yang disebut satyam ( kebenaran), siwam ( kesucian), dan sundaram (keindahan). Kecantikan sebagai suatu keindahan, termasuk dalam aspek sundaram, sangat terkait dengan dua aspek tadi satyam (kebenaran), siwam ( kesucian). Hal ini diartikan dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh perempuan harus terkandung unsur kebenaran dan kesucian. Karena itu kecantikan yang dimaksud bukan hanya menyangkut fisik (lahiriah) saja, tetapi merupakan gabungan komponen, yaitu pisik, mental atau spiritual. Aspek inilah kemudian membentuk kekuatan dan pesona dahsyat pada diri perempuan yang sering disebut dengan istilah kecantikan luar (fisik) dan kecantikan dalam (inner beauty) (Mahendra, 2006: 2).
Cantik dan langsing, dua kata yang juga sangat umum diucapkan orang untuk menggambarkan sosok perempuan yang bisa dianggap menarik. Namun, di sisi lain, tidak dapat disangkal bahwa penampilan fisik dan keluhuran budi atau inner beauty perempuan cukup mendapat penekanan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Akibatnya, Perempuan dalam banyak hal selalu digambarkan dengan satu imajinasi sosok yang lembut, penuh ketabahan, santun dan penuh kasih (Munaroh dan Aning S, 2004:
54). Untuk itu semenjak usia dini perempuan diajarkan untuk menganggap penampilan fisik dan keluhuran budinya sebagai salah satu faktor penting dalam menumbuhkan rasa kebanggaan dan rasa percaya diri. Hal ini misalnya dapat dilihat melalui dongeng fairy tale semacam cinderrella atau sleeping beauty, yang memberi pesan kepada anak-anak perempuan bahwa mereka harus cantik agar disukai. Mereka belajar bahwa hanya putri-putri cantik dan luhurlah yang bisa mendapat pangeran tampan dan kaya. Sebaliknya jika tidak cantik dan bersikap manis, mereka tidak bisa mendapatkan pasangan yang baik. Dongeng I Bawang & I Kesuna yang ada di Bali, atau Bawang Merah dan Bawang Putih, di Jawa secara baik menjelaskan dua kutub, antara baik-jahat, cantik-buruk diilustrasikan dengan lengkap.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa keterkaitan kecantikan fisik dan keluhuran budi, terutama sifat-sifat feminin amat penting. Dipercaya bahwa kecantikan fisik dan psikis tidak terhindarkan akan menurun dan pudar seiring dengan bertambahnya umur dan proses penuaan yang berjalan secara alamiah. Apa pun usaha dan bagaimana pun cara yang dilakukan oleh seorang perempuan, proses penuaan ini akan tetap terjadi, yang ditandai antara lain kulit kusam dan wajah keriput. Manusia hanya mampu untuk memperlambat proses itu, tetapi tidak untuk menghentikannya, dan pada saat seperti inilah sangat disadari bahwa kecantikan dari dalam (inner buauty), yang juga disebut kecantikan sejati, amat bermakna. Orang-orang yang memiliki kecantikan dalam, tidak akan pernah merasa takut, karena mereka mempunyai kecantikan hati yang selalu menyertainya sampai dia meninggal dunia, bahkan setelah mereka tiadapun kebaikan hatinya akan selalu menjadi kenangan bagi keluarga maupun orang lain.
Untuk memperoleh kecantikan hati/inner beauty, menurut budaya Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu, bisa didapatkan melalui pemahaman secara benar terhadap dharma (kebenaran), dan agama. Menurut filsafat Hindu, yang dibahas oleh Putra Aryana (tt: 7), ada tiga hal yang bersifat mendasar diyakini mampu memunculkan dharma (kebaikan), yang dalam kitab windhu tattwa menjadi faktor utama untuk memunculkan kecantikan rohani (inner buauty). Ketiga aspek tersebut dimuat dalam konsepsi Tri Kaya Parisudha, yakni tiga jalan untuk menuju kebaikan hidup, yang terdiri dari manacika (pikiran yang benar), wacika (perkataan yang benar), dan kayika (perbuatan atau tindakan
yang benar) dalam berbagai aspek kehidupan. Ketiga aspek dasar dari dharma ini dalam praktiknya tidak bersifat parsial, tetapi simultan dan seimbang.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam konteks berpikir (manacika), perempuan Bali harus dapat menghargai pendapat orang lain dan selalu berpikiran positif memandang segala sesuatu. Dalam lingkungan keluarga misalnya, sosok perempuan hendaknya mampu menghargai pendapat suami dan anak-anak, selain bersedia menerima nasihat-nasihat suami. Dalam konteks berkata (wacika), perempuan Hindu diharapkan memiliki satya wecana dan mampu memfungsikan bibir untuk berkata yang baik. Bukan sebaliknya, membicarakan keburukan orang lain, mencaci maki dan bahkan memfitnah. Dalam kaitan ini, perempuan Hindu sudah mulai mampu menyuarakan kebenaran. Mampu memberdayakan kaum perempuan dan memperjuangkan dalam berbagai kegiatan. Beberapa hal membuktikan itu, seperti dalam arena sosial, dan bahkan politik. Pada konteks berbuat (kayika), perempuan Hindu harus mampu berbuat sesuai dengan ajaran agama. Kendati pengaruh global mengalir deras, perempuan Hindu diharapkan tidak meninggalkan dan atau kehilangan jati diri. Itu sebabnya, di kalangan perempuan Bali, meski memiliki dampak arus wisata global dan gempuran nilai-nilai Barat, perempuan Bali masih tetap setia dengan seluruh ritual agamanya.
Karakteristik lain yang dapat menunjukkan seseorang itu adalah perempuan Hindu adalah tata cara kehidupannya. Dalam hal ini, cara hidup orang Hindu sangat berbeda dengan pola hidup dari perempuan agama lain. Perempuan Hindu diharuskan dapat melakukan kegiatan yang berbentuk ritual seperti mabanten tiap hari. Ciri ini pula yang bisa membedakan keberadaan perempuan Hindu di masyarakat. Dengan adanya pola seperti itu, mau tidak mau perempuan Hindu harus mampu membuat sarana yang dipakai untuk upacara tersebut. Paling tidak membuat canang, perempuan Hindu pasti bisa. Jika seorang perempuan mampu memahami dan mempraktikkan konsepsi Tri kaya Parisudha ini secara benar di dalam kehidupannya, diyakini mereka akan memperoleh kebahagian secara sekala dan niskala, yakni kebahagiaan di dalam dunia nyata dan setelah meninggal akan masuk sorga. Untuk perempuan yang memiliki kecantikan rohani/dalam (inner buauty), disebut dengan sebutan luh luih/daity sampad (perempuan utama), yakni perempuan yang mempunyai wajah cantik dan keluhuran budi, sebaliknya
luh luu-luu/asuri sampad, adalah julukan untuk perempuan yang tidak berwajah cantik serta perilaku kurang terpuji, dan perempuan seperti itu juga dikatakan dengan sebutan jele gobe jele ati (buruk rupa buruk hati).
Para maharesi Hindu jaman dulu menganjurkan yoga dan meditasi untuk menemukan kecantikan jiwa ini, atau pengejawantahan diri (self-realisation). Mudah diadaptasi dalam gaya hidup modern, manusia harus mempelajari hal ini dari seorang guru yang memenuhi syarat. Biasanya orang dapat memulainya dengan latihan pernafasan sederhana dan hal ini bertujuan membantu mendiamkan pikiran dan membawa ketenangan.
Di beberapa kota besar, termasuk juga di Denpasar, inner beauty dapat dipelajari melalui berbagai pendidikan kepribadian. John Robert Power dengan motto make to happen, make your dreams come true atau sekolah public Inke Maris merupakan konsultan yang mampu menggali dan mengembangkan kepribadian seseorang sehingga muncul kekuatan inner beauty-nya, terutama untuk profesi-profesi marketing, public relation, atau perbankan.
Hal ini menggambarkan bahwa kecantikan dari dalam mutlak perlu, untuk melengkapi kecantikan fisik, sehingga bisa tampil menawan. Kenyataan ini juga menegaskan bahwa penampilan seseorang merupakan perilaku yang bisa dipelajari. Karenanya, seseorang menjadi cantik karena akibat dari dalam diri, bahkan kekuatan religius mampu menambah daya tarik perempuan. Menurut Kusuma Djaya (2007: 129), inner beauty, membuat perempuan bukan saja kelihatan menawan, tetapi juga membuatnya hidup positif dan produktif. Banyak para artis mengakui manfaat yang dirasakan, baik untuk kecantikan maupun kesehatan tubuh Masalah ini tampaknya juga mendapat respons positif dari kalangan masyarakat. Dalam kontes-kontes keputrian, seperti putri Indonesia, miss univerce, atau bagus-jegeg Kota Denpasar, dan bagus-jegeg Bali misalnya, selalu saja didengung-dengungkan konsep B three, yaitu brain, beauty, behavior, yang harus dimiliki oleh setiap kontestan. Tidak heran kemudian banyak bermunculan sekolah-sekolah atau tempat-tempat kursus kepribadian, seperti London Shcool, John Robert Power, yang sudah sejak lama buka cabang di Kota Denpasar.
Masyarakat Bali, khusunya perempuan yang tinggal di Kota Denpasar pun banyak yang sudah mempraktikkan hal ini, dan mereka juga memngakui manfaat positif yang dirasakan. Belakangan ini banyak muncul salon dengan label salon aura yang mengaku memiliki kemampuan membuka aura para konsumen, sehingga memunculkan kepribadian menarik, meningkatkan rasa percaya diri sehingga pada akhirnya berhasil memperoleh kesuksesan.
Uraian tersebut menegaskan bahwa sesungguhnya tubuh tidak lagi menjadi entitas yang solid, melainkan sudah terpecah-pecah dalam kendali politik komoditas. Goenawan menyatakan bahwa tubuh bukan saja kecil dan rapuh, tapi muncul dalam representasi yang tidak lagi stabil dan kekal (Mohamad, 2000: 5). Tubuh tidak lagi utuh dan padu seperti yang dilihat sepintas, ia rapuh dan tidak berdaya di hadapan kuasa modal. Tubuh, di satu sisi adalah entitas yang dialami dan dirasakan dari dalam. Di lain sisi, tubuh juga merupakan hasil bentukan dari luar, baik itu melalui sistem budaya, ekonomi, maupun visualisasi media.
Konstruksi Kecantikan Perempuan Karir
Keterlibatan perempuan Bali dalam berbagai lapangan pekerjaan menuntut mereka untuk selalu tampil cantik. Tidak sedikit jenis pekerjaan bahkan secara mutlak menentukan keindahan penampilan pisik sebagai suatu persyaratan. Jenis-jenis pekerjaan yang banyak digeluti perempuan Bali, seperti pramuniaga di counter-counter berbagai produk di super market dan mal yang bertebaran di Kota Denpasar, sales promotion girl, marketing bank dan berbagai perusahaan asuransi atau waitres di restoran. Pekerjaan-pekerjaan tersebut selain menuntut skill sesuai bidang pekerjaan, juga menentukan penampilan pisik sebagai bagian kompetisi kerja. Beberapa iklan dalam harian lokal bahkan secara eksplisit menyebutkan “penampilan menarik” sebagai salah satu persyaratan bagi pelamar kerja.
Hal ini dapat dilihat dalam sebuah iklan rekruitmen tenaga kerja dari sebuah perusahaan swasta, seperti uraian berikut ini.
“…dicari, tenaga kerja perempuan, dengan syarat-syarat: umur maximal 25 tahun, berat badan 55 kg., tinggi badan minimal 160 cm., berpenampilan menarik, diutamakan yang belum berkeluarga…” (Bali Post, 22 Nopember 2007).
“…andakah yang kami cari? Syarat & kriteria: usia 18-24 tahun, pendidikan minimal SMA/Kejuruan, tinggi badan minimal 160 cm, dan berat badan proprsional, sertakan 1 lembar foto seluruh badan, dan 2 lembar foto 3x4 cm…” (Bali Post, 22 Nopember 2007).
Iklan semacam ini hampir setiap hari menghiasi halaman surat kabar lokal dan nasional. Perempuan dengan berat dan tinggi badan seperti itu dianggap memiliki tubuh proporsional dan penampilan indah dan menarik. Kenyataan tersebut juga menegaskan bahwa kecantikan perempun sangat ditentukan oleh kekuatan besar yakni kapitalisme dengan ideologi pasarnya.
Pada perusahaan-perusahaan tertentu, terutama yang menjual produk atau jasa, seperti bank misalnya, biasanya sejak awal sudah menetapkan model pengetesan yang bukan saja menyangkut standar pendidikan tertentu, tetapi juga menyangkut keindahan pisik, seperti tinggi dan berat badan, penampilan menarik, dan belum menikah. Setelah lulus tes dan diterima di bagian pemasaran (marketing), mereka diwajibkan mematuhi aturan terkait penampilan, mulai dari seragam, sepatu, tata rias wajah dan rambut, sampai parfum, menjadi bagian yang mendapat penilaian dari atasannya. Ini dilakukan untuk menjaring karyawan dengan penampilan yang sempurna. Selain kemampuan intelektual, kecantikan tubuh merupakan modal utama dalam menarik konsumen, untuk membeli atau menggunakan produknya, karenanya tubuh harus dijaga, dirawat. agar tetap standar, dan enak dilihat.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kapitalisme yang merupakan wujud dari globalisasi membangun masyarakat global di atas iklim persaingan yang tinggi (Pilliang, 2004: 274-275). Persaingan yang ketat antar perusahaan mendorong strategi untuk menciptakan persaingan dalam gaya hidup antar klas, antar golongan, antar tetangga, antar umur. Muncul sikap mental berorientasi ke atas dalam gaya hidup, yang tampak dalam penampakan. Kehidupan sosial dikonstruksi atas dasar budaya perubahan dengan penampilan, gaya hidup yang selalu dapat berubah dengan tempo yang semakin tinggi. Diciptakan kegandrungan terhadap citra (image) ketimbang fungsi dan substansi. Begitu pula konsumsi yang tidak berkaitan dengan kebutuahn fungsional dalam pengertian yang
sempit, kini adalah pemenuhan material sekaligus simbolik. Tubuh tampaknya dijadikan citraan-citraan dalam rangka menjual komoditas, seperti model, cover girl, atau artis. Tubuh juga dijadikan komoditas untuk membujuk konsumen supaya tertarik membeli produknya. Produsen menggunakan sisi kelemahan perempuan tersebut untuk memasarkan dan meningkatkan nilai penjualan produknya. Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu, semua terobsesi dengan citra.
Pencitraan tubuh perempuan dapat dijumpai di berbagai media yang cukup tua, seperti Kartini, Femina, atau Gadis, kemudian disusul dengan serangkaian tabloid yang muncul belakangan, seperti Cantiq, Aura, Genie, C & R, dan yang lainnya. Media ini selalu menampilkan citra perempuan ideal, kemudian mempengaruhi pola pikir, cara pandang dan konsep masyarakat tentang sesuatu kecantikan.
Melalui iklan, kecantikan dimunculkan citra-citra kecantikan, seperti kulit putih, badan langsing, rambut lurus, dan citraan-citraan lainnya. Citra ini dikembangkan habis-habisan seperti layaknya sebuah proyek, untuk selalu dikonstruksi ulang dan terus menerus oleh pengusaha-pengusaha penghasil produk kecantikan. Pengusaha berusaha menciptakan relasi antara produk kosmetik dan media melalui iklan sebagai pemikat konsumen atas produk tersebut melalui penciptaan simbol status sosial kelas menengah-atas yang lekat dengan keharusan untuk selalu tampil cantik sebagai bagian dari gaya hidup.
Kehadiran pusat-pusat perawatan tubuh, seperti salon-salon dan klinik kecantikan, seringkali dianggap bisa menjembatani pencitraan tubuh ideal oleh media dengan tubuh nyata. Karenanya, pusat-pusat perawatan kecantikan tubuh ini, seperti salon, spa dan klinik-klinik kecantikan kemudian menjadi pilihan kaum perempuan. Macam-macam dan jenis perawatan yang ditawarkan pun sangat lengkap, mencakup perawatan dari ujung rambut sampai ujung kaki, seperti perawatan rambut, wajah, pelangsingan tubuh, menangani kasus kegemukan (obesitas), pembentukan lekuk tubuh ((body reshaping treatment), pengencangan tubuh, penghilangan selulit (stretchmark), penghilangan kerut dan keriput tubuh. Dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi mutakhir yang didatangkan langsung dari Eropa dan Amerika, dengan teknik penghancuran lemak (lipolisis) dan pembentukan lekuk tubuh (body reshaping
treatment). Selain itu, ditunjang juga dengan perawatan-perawatan lainnya, seperti perawatan payudara (bust lift-up treatment), dan perawatan peremajaan wajah (skin regeneration and rejuvenation facial), sangat efektif untuk menjaga agar wajah tetap segar dan cerah, tidak kusam, kencang, bebas flek, kerut, dan jerawat. Biaya perawatan yang ditawarkan biasanya dalam bentuk paket, dan sangat berubah-ubah, bahkan dalam hitungan bulan. Yang menarik adalah mereka yang datang umumnya perempuan, hampir semua sudah berkeluarga dengan umur berkisar 30 sampai 50 tahunan yang bekerja. Motivasi mereka sangat jelas adalah untuk memperoleh cantik sehat, sehingga dapat menunjang penampilan dalam pekerjaan dan meningkatkan rasa percaya diri.
Konsep dan defenisi cantik diredusir oleh masyarakat karena pengaruh iklan kecantikan. Kecantikan menjadi bersifat obyektif, meskipun sejatinya tidak bebas dari kepentingan dan tidak bebas dari isu rasial dan kelas karena menggiring ke bentuk yang uniform seperti gambaran perempuan Barat yang putih. Bersamaan dengan itu muncul produk-produk mempercantik diri, mulai dari sabun mandi, lulur, hand and body lotion, cream wajah, sampai cream untuk lipatan-lipatan (ketiak, paha), semuanya menjanjikan efek putih, telah mampu mengubah konsep cantik di masyarakat. Untuk mencapai itu, perempuan Bali yang pada umumnya memiliki kulit kecoklatan akan membeli kosmetik whitening. Meski menurut hasil penyelidikan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Denpasar, tidak sedikit dari produk kosmetik tersebut yang mengandung racun membahayakan. Perempuan, dari klas mana saja, ibu rumah tangga, pedagang, maupun perempuan karir lainnya mengalami ketidaksadaran karena terseret arus pencitraan yang mampu menggiring mereka tidak peka dalam penggunaan kosmetik beracun tersebut.
Perilaku kaum perempuan tersebut di atas, jelas menunjukkan rasa ketidakpuasan terhadap tubuhnya terkait dengan citra tubuh (body image). Ketidakpuasan berarti ketidaksukaan individu terhadap tubuhnya atau bagian-bagian tubuh tertentu. Hal ini bisa dilihat bagaimana kaum perempuan melakukan berbagai perawatan pelangsingan tubuh, yang dilakukan di berbagai klinik kecantikan yang bertebaran di kota Denpasar serta kota-kota lain baik yang ada di Bali, maupun di luar Bali. Mulai dari minum suplemen sampai menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi atau injeksi obat-obatan pengahancur lemakpun dijalani demi untuk mengejar tubuh langsing yang dicitrakan sebagai tubuh ideal saat ini.
Begitu juga ketika media menampilkan tubuh yang cantik dan disukai secara universal adalah kulit putih, iklan-iklan produk kecantikanpun bermunculan menggunakan fantasi bahwa semua produk untuk mempercantik diri mulai dari sabun mandi, lulur, hand and body lotion, cream wajah, sampai cream untuk lipatan-lipatan (ketiak, paha), menjanjikan efek putih. Tidak hanya salon kecantikan, dunia medis juga merespon hal ini, yaitu dengan menyediakan obat-obatan yang bisa memutihkan kulit. Meski banyak perempuan yang takut melakukan ini, tetapi tidak sedikit pula yang dengan santai dan telah berkali-kali melakukannya, seperti ibu-ibu yang ditemui di salon Adibi. Menurut ibu-ibu itu karena pengerjaannya sudah dilakukan oleh tenaga ahli (seorang dokter) dan obat-obat yang digunakan juga hanya berupa vitamin, maka mereka sangat yakin akan keamanannya. Kehadiran produk-produk kecantikan dan salon-salon serta klinik kecantikan, ternyata telah memunculkan objektivasi kecantikan yang mampu mengubah konstruksi kecantikan di masyarakat dari yang tidak diinginkan menjadi yang diinginkan, dari hitam menjadi putih.
Penutup
Sesungguhnya kecantikan bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri. Dia memiliki akar dalam budaya suatu masyarakat. Kebudayaan suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat komunitas masyarakat itu berada. Oleh karena itu, kecantikan merupakan suatu konstruksi sosial yang dibentuk oleh manusia. Dia selalu berubah sesuai dengan selera dan kepentingan masyarakat, karena memang masyarakat yang mengkonstruksinya. Pada awalnya, yakni yang dimulai oleh jaman klasik atau tradisional, ukuran tubuh dan kecantikan perempuan seringkali memang dianalogikan dengan sesuatu yang ada pada alam. Citra kecantikan dikonstruksi dalam bentuk perumpamaan-perumpamaan dengan meminjam citra kebendaan alam yang telah dimuliakan oleh mitos dan kebahasaan.
Selanjutnya, sejak modernitas melanda dunia, konsep kecantikan lebih mengacu kepada konstruksi ideologi pasar dan kapitalis. Kehadiran iklan dan pasar, bukan saja menawarkan produk-produk perawatan tubuh dan kecantikan, tetapi sekaligus menawarkan konsep citra perempuan ideal Perempuan yang dianggap cantik pada saat
ini adalah berkulit putih, langsing, wajah simetris. Bersamaan dengan itu, maka muncul berbagai pusat perawatan tubuh dan kecantikan, seperti salon, spa, dan klinik kecantikan, serta pusat kebugaran (fitness), yang semuanya bertujuan untuk membentuk tubuh ideal.
Pada masyarakat Bali juga dikonstruksi bahwa perempuan yang dikatagorikan cantik adalah yang memiliki keindahan fisik dan kepribadian yang menarik. Kecantikan akan berkurang artinya jika perempuan tidak memiliki kecantikan dari dalam hati, yaitu yang disebut inner beauty. Kehadiran tipologi kecantikan perempuan dalam budaya Bali yang termuat dalam teks-teks ideal yang telah disebutkan di atas bukan tanpa makna. Saat ini kondisi budaya Bali yang sarat akan nuansa modern dan global, tidak dipungkiri telah mengalami pergeseran-pergeseran dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Peran media-media tradisional, seperti berbagai bentuk kesenian, tradisi mendongeng, yang dulunya sangat intensif mensosialisasikan konsep-konsep kecantikan rohani, kini mulai tergeser oleh kehadiran televisi dengan sinetron beserta bintang-bintang sinetron yang cantik, iklan, serta media cetak lainnya, yang semuanya menawarkan konsep kecantikan. Melalui serangkaian pertempuran antara kapitalisme dan nilai lokal, maka konsep kecantikan lebih menekankan keindahan fisik dibanding pertimbangan lainnya. Media massa, iklan, tempat-tempat kebugaran dan salon, menjadi agen penting dari perubahan itu. Diakui bahwa kehadiran kapitalisme telah mengakibatkan terjadi revitalisasi kebudayaan Bali, termasuk kecantikan perempuan yang muncul bukan hanya pada momen keagamaan dan keadatan tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Kecantikan bahkan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam bidang bidang pekerjaan atau karir.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, 2006a. Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Tici Press.
______________ 2006b. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atmadja, Nengah Bawa, 2010. Komodifikasi Tubuh Joged Ngebor Bali. Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya bekerja sama dengan Pustaka Larasan.
Barnard, Malcolm, 1996. Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta: Jalasutra.
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.
Darma Putra, I Nyoman, 2007. Wanita Bali Tempoe Doeloe: Perspektif Masa Kini. Denpasar: Pustaka Larasan.
Dibia, I Wayan, 2003. “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam I.B.G Yudha Tri Guna (ed.) Estetika Hindu dan Pembangungan Bali. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia bekeja sama dengan Penerbit Widya Dharma. Halaman 91-110.
Ibrahim, Idi Subandy, Ed., 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman xiii.
Ibrahim, Idi Subandi, 2006. “Imaji Perempuan di Media: Representasi dan Idealisasi di Balik Wacana Tubuh”, dalam Alfathri Adlin (Ed.) Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta: Jalasutra.Halaman 265280.
Mohammad, Goenawan, 2000. “Tubuh, Melankoli, Proyek”, Jurnal kebudayaan Kalam, edisi 15 tahun 2000, hal 5-25.
Melliana, Annastasia, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan Dan Mitos Kecantikan.
Yogyakarta: LKIS.
Pilliang, Amir Yasraf, 1999. Hiper – Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS
__________2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2004. Becoming White: Reperesentasi Ras, Klas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Jala Sutra.
Subali P., Ida Bagus, 2008. Wanita Mulia Istana Dewa. Surabaya: Paramita.
Sudiarta, I Wayan, 2006. “Rekonstruksi Visual Konsep-konsep Kecantikan Tradisional Wanita Bali dan Manifestasinya di dalam Kehidupan Masyarakat Bali Masa Kini”. Tesis S2, Program Studi Kajian Budaya, Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Suryani, Luh Ketut, 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar: Bali Post.
Wiasti, Ni Made, 1998. “Konstruksi Gender pada Mayarakat Bali: Kasus Wanita Pekerja Kerajinan Bambu di Desa Blahbatuh, Gianyar”. Tesis S2, Program Studi Antropologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Yulianto, Vissa Ita, 2007. Pesona Barat: Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran. Warna Kulit Indonesia. Yogyakarta: Jala Sutra.
Discussion and feedback