KAJIAN AKTIVITAS EKONOMI PELAKU SEKTOR INFORMAL DI KOTA DENPASAR (Studi Kasus Wanita Pedagang Canang Sari)
on
KAJIAN AKTIVITAS EKONOMI PELAKU SEKTOR INFORMAL DI KOTA DENPASAR
(Studi Kasus Wanita Pedagang Canang Sari)
Desak Putu Eka Nilakusmawati
Fakultas MIPA Universitas Udayana, Denpasar Email: [email protected]
Abstract
In a difficult economics condition, many woman have to take a part in to overcome economic problems which they face. One of its alternative is involved into labour market, and trade is one of its choice. Because of the existence of opportunity in Denpasar City, many women overcome their economic problems and try to give contribution to their household income by selling canang.
The aims of this research were: 1) to study about economics activity of woman as canang sellers in Denpasar City; and 2) to analyse how far woman’s contribution as canang sellers in improving their household economics resilience.
Approach which is utilized in this research is survey method and depth interview method. Research area elected by using purposeive method, that is in Denpasar City. While responder in this research is woman as canang sellers, and total responder to be taken 150 person. Datas collected by observation and interview to responder by using interview technique used questionnaire according to wanted of data. Data collected in field represent research variables: 1) Economic Activity of Responder; and 2) Contribution in Economics of Household. Data analyse technique used descriptive qualitative to obtained data from result of interview and observation, while quantitative data analysis used analysis of statistics, that is descriptive statistics and inferential.
Result of the research showed that mean of work duration of responder is 11,5 year, there are 17,3% responder representing new comer, because duration their involvement as new canang seller just one until two year. Most responder have work duration ≤ 10 year, that is equal to 51,3%. Mean of work hours per week is 70 hour. Responder without assisted by family labour, predominated by 51,3%, constructively one person labour from family, there are counted 39,3%. From 77 responder without family labour, there are 62 person do by themselves without existence of family labour. Omzet per day from selling canang relatively high, that is Rp. 103.000. Mean of capital required per day is Rp. 72.900,-, and mean of netto earning per day obtained by responder is Rp. 25.400. Mean percentage of contribution of canang seller in this research is 35,79%. Ranged from 4,2% until 98,33%. Analysis of responder’s answer regarding the reason of them to involve as seller of canang, there are 86,0% responder which replying because reason of compulsion to work, reason of self actualization answered by 11,3% responder, while other reason answered by 2,7%.
Keywords: Canang sari seller, woman contribution, economics activity, informal sector
PENDAHULUAN
Krisis yang terjadi secara mendadak dan di luar perkiraan pada akhir dekade 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi kebanyakan orang, dampak krisis yang terparah dan langsung dirasakan, diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah karena pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan (UNDP Indonesia, 2001).
Dampak krisis terhadap wanita dan anak-anak tampaknya jauh lebih buruk. Bagi kebanyakan keluarga, sebelum krisis laki-laki dan perempuan samasama bekerja, kini perempuan terpaksa memperpanjang jam kerjanya karena kaum laki-laki telah kehilangan pekerjaan. Penurunan pendapatan keluarga juga berdampak menurunkan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pelayanan dasar lainnya serta terjadinya peningkatan kasus kekerasan di dalam rumah tangga yang disebabkan oleh tekanan ekonomi akibat krisis, juga merupakan salah satu dampaknya.
Permasalahan yang ada adalah bahwa perluasan kesempatan kerja di kota dengan adanya pembangunan di berbagai sektor tidak selamanya mampu menyerap seluruh tenaga kerja yang semakin bertambah besar jumlahnya. Pertumbuhan pasar tenaga kerja formal serta meningkatnya proporsi pekerja formal telah mengangkat isu-isu baru berkaitan dengan perlindungan sosial. Tanpa adanya jaminan bagi para penganggur, orang-orang yang kehilangan pekerjaan harus beralih ke sektor informal atau pertanian.
Adanya pembagian peran, di sektor publik untuk lelaki dan di sektor domestik untuk wanita, terutama terlihat jelas di lingkungan keluarga ekonomi menengah ke atas, sedangkan pada keluarga ekonomi rendah, dikotomi pembagian peran kerja berdasarkan sistem patriarkal mengalami perubahan.
Kesulitan ekonomi memaksa kaum wanita dari kelas ekonomi rendah untuk ikut berperan dalam meningkatkan pendapatan keluarganya dengan bekerja di luar sektor domestik. Keterlibatan wanita dalam pasar tenaga kerja didorong oleh pengaruh faktor keterdesakan/kesulitan ekonomi keluarga, selain adanya faktor kesempatan kerja.
Kualitas angkatan kerja laki-laki dan perempuan pada tahun 2003, persentase angkatan kerja perempuan berpendidikan SD jauh lebih banyak (61%) dibandingkan angkatan kerja laki-laki yang hanya sebesar 51%. Demikian pula persentase angkatan kerja perempuan yang berpendidikan SMTP dan SMTA hanya mencapai 17 persen dibandingkan angkatan kerja laki-laki dengan jenjang pendidikan yang sama. Walaupun demikian persentase angkatan kerja perempuan yang berpendidikan tinggi yakni Diploma dan Universitas sudah mencapai 2 dan 3 persen (Sakernas, 2003).
Rendahnya kualitas angkatan kerja seperti diuraikan di atas berdampak terhadap terbatasnya status pekerjaan perempuan. Dengan kata lain, angkatan kerja perempuan hanya dapat bekerja sebagai tenaga yang berketerampilan rendah. Berdasarkan hasil Sakernas Tahun 2003, ditunjukkan bahwa jumlah pekerja perempuan yang tidak dibayar (41%) jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja laki-laki tidak dibayar (8%). Padahal tidak dibayar berarti tidak menerima upah dan tidak memperoleh balas jasa dalam proses melakukan proses kegiatan memproduksi barang dan jasa. Sedangkan perempuan yang berusaha dengan buruh tetap hanya sebanyak 1%, laki-laki yang berusaha dengan buruh tetap sebesar 4%. Sehingga perempuan bekerja yang membuka usaha sendiri, sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat mencakup 13 persen dari seluruh jumlah yang bekerja, sedangkan yang berusaha dengan buruh tetap baru mencapai 1 persen.
Banyaknya perempuan yang bekerja tidak dibayar, secara ekonomis, jasa perempuan dianggap usaha tersebut berbasis keluarga namun sangat menjanjikan dalam pengembangan perekonomian di masa yang akan datang. Di satu sisi, peran ekonomi perempuan: hal ini menyebabkan kurangnya pengakuan tentang kontribusi perempuan pada suatu negara (Titien Supenti, 2007). Banyaknya proporsi perempuan yang bekerja sebagai pekerja mandiri dengan
dibantu anggota keluarga menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja. Besarnya jumlah wanita yang bekerja pada sektor informal, menunjukkan bahwa peranan wanita pelaku sektor informal sangat besar kontribusinya dalam mempertahankan ekonomi rumah tangga.
Meningkatnya aktivitas masyarakat Kota Denpasar dalam kesibukan sehari-hari, baik dalam bidang ekonomi maupun perkantoran sehingga mengakibatkan masyarakat tidak sempat lagi untuk membuat banten atau canang. Untuk mencari jalan gampangnya masyarakat kini cenderung membeli canang/banten yang sudah jadi. Disamping lebih praktis juga lebih hemat dari segi waktu. Tak pelak fenomena ini dimanfaatkan para pedagang canang yang memanfaatkan situasi untuk menengguk rejeki (Breaking News, 2007). Kesempatan ini digunakan tidak hanya oleh orang Bali yang sebagian besar beragama Hindu, tetapi juga oleh para pendatang yang berasal dari luar Bali, karena adanya prospek yang menjanjikan dan dapat menambah penghasilan keluarga.
Dalam kondisi ekonomi yang serba sulit ini, banyak wanita harus berperan dalam mengatasi kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Salah satu alternatifnya adalah dengan terlibat ke dalam pasar kerja, dan berdagang adalah salah satu pilihannya. Melihat adanya kesempatan yang dipaparkan di atas banyak dari para wanita mengatasi kesulitan ekonomi mereka dan berusaha memberikan kontribusi pada pendapatan rumah tangga dengan berdagang canang.
Makin maraknya pedagang canang yang bertebaran di sepanjang jalan-jalan di Kota Denpasar, memperlihatkan begitu besarnya peranan sektor informal ini dalam mempertahankan maupun meningkatkan ekonomi rumah tangga. Dengan kondisi tersebut di atas, penting untuk diteliti aktivitas ekonomi wanita pedagang canang sari, serta sejauh mana kontribusinya dalam perekonomian rumah tangga mereka. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan pada latar belakang masalah, maka masalah yang diteliti dapat dirumuskan: 1) Bagaimanakah aktivitas ekonomi wanita pedagang canang di Kota Denpasar? dan 2) Seberapa besar kontribusi wanita pedagang canang tersebut dalam perekonomian rumah tangga mereka?.
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui aktivitas ekonomi wanita pedagang canang di Kota Denpasar, dan 2) Mengetahui sejauh mana kontribusi wanita pedagang canang tersebut dalam meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga mereka.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi: 1) Lembaga-lembaga kajian wanita mengenai partisipasi wanita dalam dunia kerja diluar sektor formal; 2) Pengambil kebijakan untuk melakukan pembenahan dalam hal penanganan wanita yang bekerja di sektor informal sebagai suatu potensi ekonomi yang tinggi bagi kesejahteraan keluarga khususnya, serta kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah pada umumnya, yang sebagian besar bergerak di sektor informal dalam mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga mereka, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini; 3) Peneliti-peneliti selanjutnya, yang tertarik untuk mengkaji mengenai sektor informal sebagai strategi untuk meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga.
KAJIAN PUSTAKA
Wanita Pedagang Canang Sari
Satu hal yang sering dilihat di Bali adalah sesajen berupa canang yang terdapat di pinggir jalan, depan rumah orang, toko-toko, bahkan sampai dalam mobil. Canang adalah satu bentuk sesajen yang berupa janur dibuat segi empat dengan dihiasi bunga. Dalam kitab Bhagawadgita, saat Khrisna (avatar Wisnu) memberikan wejangan kepada Arjuna, ada disebutkan permintaan Tuhan kepada manusia, yang kutipannya “Kepada mereka yang mempersembahkan daun, bunga, buah, dan air kepada-Ku secara tulus ikhlas, maka Aku akan menerimanya dan memberikan kebahagiaan kepada mereka”. Secara logis bisa dihubungkan ucapan Khrisna ini dengan kondisi masyarakat Hindu Bali yang mempercayai persembahan berupa sesajen yang terdiri dari unsur daun, bunga, buah, dan air dengan tulus adalah bukti bakti umat kepada Tuhan.
Canang sebagai sesajen adalah bagian dari persembahan ini. Unsur pembentuk canang berupa janur sebagai lambang daun atau disebut juga sampian. Ada juga potongan buah pisang dan kapur putih dalam lipatan daun atau porosan. Yang paling jelas adalah berbagai jenis bunga. Karena itu, persembahan setiap hari berupa canang adalah upaya untuk menyenangkan hati Tuhan dengan harapan Beliau menganugrahkan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian kepada umat manusia. Dengan kata lain canang adalah simbolisasi dari bunga hati yang dipersembahkan kepada Tuhan. Umat Hindu Bali meyakini segala aktivitas yang kita lakukan dalam hidup ini didedikasikan kepada Tuhan, dan pasti ada reward dari-Nya (Bali Guide, Tradisi dan Budaya Orang Bali: 2007).
Di kalangan masyarakat Hindu di Bali, persembahyangan adalah sesuatu yang sangat sakral, sehingga dulu bahan-bahan sesaji harus dibuat sendiri oleh kaum ibu atau anggota keluarga. Akan tetapi, belakangan tradisi itu mulai hilang, karena tidak sedikit masyarakat Hindu yang kini hanya membeli canang di pasar. Canang tidak lagi dibuat sendiri seperti di kebanyakan daerah pedesaan di Bali, di perkotaan di setiap jengkal trotoar di sepanjang jalan, baik di Kota Denpasar maupun di kota-kota kecil lainnya di Bali banyak ditemui pedagang yang menjual canang, hampir sepanjang hari dengan menggunakan meja kecil sebagai tempat berjualan. Saat ini terdapat kecenderungan bahwa pedagang canang bukan lagi hanya orang Bali tetapi banyak pula dilakoni oleh orang luar Bali yang merupakan pendatang. Harga canang rata-rata untuk 25 buah canang harganya Rp. 6.000,- yang dikemas dalam kantong plastik berwarna putih atau kuning, ada pula yang dikemas dalam kemasan Rp. 1.000,- , Rp. 2.000,- maupun 4.000,- sesuai kebutuhan konsumen.
Canang Sari pada orang Bali biasa disingkat dengan kata canang saja, merupakan persembahan sebagai tanda bakti dan rasa syukur umat hindu kepada Sang Hyang Widi Wasa. Canang sari menggunakan janur yang dibentuk sedemikian rupa, dan dihiasi dengan beberapa macam bunga seperti kenanga, cempaka, pacar, kemitir, teratai dan jenis lainnya. Penggunaan warna bunga tidak mutlak harus berwarna-warna, kalau tidak ada satu warnapun cukup. Biasanya yang menghaturkan canang/mebanten di lakukan oleh para pedagang, kantor-
kantor dan juga perhotelan pada saat sebelum memulai aktivitas kerjanya, bagi rumah tangga biasanya dilakukan pada waktu sore hari. Kalau untuk selesai memasak biasanya cukup setengah sedok makan nasi dan lauk/sayur di atas daun pisang (me-sayeban).
Kebutuhan akan canang yang begitu besar bagi masyarakat Bali, berdampak positif pula bagi petani pedagang bunga, janur, dan buah. Berbagai macam bunga yang dipakai sebagai perlengkapan pembuatan canang mempunyai mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
Wanita Berdagang
Perempuan berdagang merupakan suatu upaya menjadi subjek. Peran perempuan dalam ekonomi dapat merupakan jalan bagi mereka untuk merebut ruang eksistensi. Berdagang telah merupakan ranah kekuasaan yang memberikan perempuan ruang untuk manuver, paling tidak untuk keluar dari ranah yang terdominasi oleh laki-laki, yakni rumah dan pertanian tempat perempuan desa pada umumnya dalam menghabiskan sebagian besar waktunya. Hal tersebut penting untuk diungkapkan, mengingat aktualisasi diri bagi perempuan bekerja biasanya hanya dibicarakan dalam konteks perempuan dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Sementara wacana perempuan bekerja pada strata ekonomi bawah umumnya hanya menyentuh keterpaksaan perempuan untuk menjalani peran ganda, bekerja pada sektor publik dan domestik sekaligus karena desakan kebutuhan ekonomi. Kebutuhan aktualisasi diri dan berhubungan dengan dunia luar adalah faktor yang lebih penting yang menyebabkan perempuan bakul menikmati pekerjaannya meski dengan penghasilan yang tak seberapa.
Dengan memiliki kekuatan ekonomi, karena mendapat uang secara teratur setiap hari, perempuan memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga dan kepentingannya sendiri. Pembagian kerja dalam rumah tangga perempuan bakul mengalami pergeseran. Dengan ikut andilnya perempuan dalam ekonomi keluarga, urusan domestik seperti pekerjaan rumah tangga dan pengurusan anak juga mulai dilakukan bergantian dengan suami mereka meski dalam kenyataannya perempuan masih melakukan peran ganda yaitu berdagang,
mengurus rumah tangga, membantu kegiatan pertanian dengan jam kerja yang sangat panjang (Abdullah Irwan, 2001: 142). Dengan berdagang perempuan memiliki kebanggan dan kepercayaan diri yang tinggi. Wanita berdagang tidak hanya memperoleh pemenuhan dalam kebutuhan finansial dan membantu dalam mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga, tetapi disamping itu merupakan aktualisasi diri dalam kehidupan sosial.
Penelitian Irwan Abdullah (2001: 11), mengungkapkan bagaimana perempuan bakul memiliki kebanggaan dan kepercayaan diri yang tinggi. Berdagang ternyata dapat meningkatkan status perempuan, sebab dengan begitu mereka memiliki kemampuan secara ekonomi, memiliki kepercayaan diri karena meningkatnya andil mereka dalam ekonomi rumah tangga, dan memiliki kepuasan pribadi dengan menjalin relasi sosial dengan teman-teman sesama bakul. Imbalan ekonomi dari kegiatan berdagang kecil-kecilan itu memang tidak memberikan penghasilan yang besar. Namun, berada di luar rumah dan di luar pertanian dalam beberapa jam sehari telah memberikan kepuasan lain bagi perempuan. Dengan berdagang perempuan menemukan jaringan dan kelompok yang memberikan ruang ekspresi.
Wanita di Sektor Informal
Kondisi perempuan yang tersubordinatif dalam mengakses kehidupan ekonomi menjadikan perempuan sebagai kelompok yang rentan. Hal itu terlihat jelas pada perempuan yang bekerja di sektor informal. Oleh karena itu, penanganan perempuan yang bekerja di sektor informal akan menjadikan suatu potensi ekonomi yang tinggi bagi kesejahteraan keluarga. Usaha-usaha sektor informal itu tidak bisa lepas dari peran perempuan dalam sektor domestik. Daya tahan terhadap usaha disebabkan oleh tingkat kemandirian perempuan yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan penanganan dengan kebijakan yang berkelanjutan dan memberikan akses lebih besar terhadap sumber permodalan formal (Adi, Pidekso: 2003).
Mendefinisikan kerja bagi perempuan sampai saat ini memang cukup sulit. Kita bisa melihat seorang perempuan dalam keluarga yang melakukan pekerjaan
rumahnya seperti memasak makanan, mencuci pakaian dan menyapu rumah. Bahkan kadang ia juga menjahitkan pakaian untuk suami dan anak-anaknya. Tetapi saat dia ditanya apa pekerjaan ibu?, pasti jawaban yang akan kita dengar adalah menganggur atau hanya ibu rumah tangga. Atau contoh lain adalah saat melihat ibu-ibu menjahit sepatu setengah jadi yang akan disetorkan ke pabrik, yang akan ditukar dengan uang berdasarkan banyaknya jumlah yang dikerjakan. Saat ditanya apa pekerjaan ibu?, jawaban yang muncul akanlah sama “saya menganggur di rumah saja. Ini hanya untuk mengisi kekosongan”. Padahal secara faktual upah yang didapat terkadang lebih besar dari yang didapat suami yang hanya sebagai tukang ojek di kampungnya. Tapi tetap ini tidak dianggap sebagai pekerjaan.
Hasil survei oleh M. Chamie, Labour Force Participation of Lebanese Women (1985) yang mewawancarai para suami dengan pertanyaan, apakah istri mereka bekerja?. Kontan sebagian besar mereka menjawab, “Tidak”. Namun, ketika pertanyaan yang sama di-paraphrase (diungkap dalam bahasa lain), “Jika istri Anda tidak membantu Anda, apakah Anda terbebani untuk menyewa pengganti dia?” Sebagian mereka kemudian menjawab “Ya.” Dari perdebatan di atas, tampak terlihat bahwa ternyata batasan definisi bekerja belum sepenuhnya dapat dipahami. Jika merujuk pada kenyataan sehari-hari di masyarakat, perempuan masih dibebankan dua peran; produksi dan reproduksi. Keadaan seperti ini kemudian diperparah juga dengan pemahaman keagamaan yang semakin membakukan wilayah perempuan sebagai orang yang bertanggung- jawab untuk urusan domestik.
Ketika perempuan masuk dalam wilayah kerja, secara umum biasanya terdorong untuk mencari nafkah karena tuntutan ekonomi keluarga. Saat penghasilan suami belum dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang terus meningkat, dan tidak seimbang dengan pendapatan riil yang tidak ikut meningkat. Hal ini lebih banyak terjadi pada lapisan masyarakat bawah. Bisa dilihat bahwa kontribusi perempuan terhadap penghasilan keluarga dalam masyarakat lapisan bawah sangat tinggi (Asyiek, et.al, 1994). Hal ini diperkuat oleh pandangan Ware (1981) dalam Ken Suratiyah, et.al (1996) yang mengatakan
bahwa ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan dalam pasar kerja. Pertama, adalah keharusan, sebagai refleksi dari kondisi ekonomi rumah tangga yang rendah, sehingga bekerja untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga adalah sesuatu yang penting. Kedua, “memilih” untuk bekerja, sebagai refleksi dari kondisi sosial ekonomi pada tingkat menengah ke atas. Bekerja bukan semata-mata diorientasikan untuk mencari tambahan dana untuk ekonomi keluarga tapi merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri, mencari afiliasi diri dan wadah untuk sosialisasi.
Gambaran di atas paling tidak telah menunjukkan bahwa sesungguhnya masuknya perempuan dalam kegiatan ekonomi merupakan kenyataan bahwa perempuan adalah sumber daya yang produktif pula.
Berkaitan dengan masalah perempuan bekerja produksi yaitu dengan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, sesungguhnya sudah lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi perempuan Indonesia, terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan. Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan.
Keterlibatan perempuan di sektor mana pun selalu tampak dicirikan oleh “skala bawah” dari pekerjaan perempuan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu, dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha kecil seperti berdagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha warung, adalah jenis-jenis pekerjaan sektor informal lainnya yang lazim ditekuni perempuan. Bagi perempuan dari golongan ekonomi menengah ke bawah, dalam situasi krisis ekonomi, banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama keluarga atau bersama-sama suami memberikan kontribusi finansial hingga 50% dari total penghasilan keluarga, atau bahkan lebih.
Sektor Informal: Konsep dan Pengertian
Pengertian sektor informal menurut Hart (dalam Manning dan Effendi, 1996), memiliki ciri-ciri mudah keluar masuk pekerjaan, mengusahakan bahan baku lokal tanpa berdasarkan hukum formal, unit usaha merupakan keluarga, jangkauan operasionalnya sempit, kegiatannya bersifat padat karya dengan menggunakan teknologi yang masih sederhana (tradisional), pekerja yang terlibat di dalamnya memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah serta keahlian yang kurang memadai, kondisi pasar sangat bersaing karena menyangkut hubungan antara penjual dan pembeli yang bersifat personal dan keadaanya tidak teratur. Prakarsa dari Hart ini kemudian diteruskan oleh ILO (International Labour Organization) dalam berbagai studinya di negara-negara sedang berkembang (Sjahrir, 1985: 77).
Untuk memberikan gambaran pengertian sektor informal di Indonesia, Hidayat (1978) dalam Effendi (1998: 5) mengemukakan ciri-cirinya sebagai berikut. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha yang timbul tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal. Pada umumnya, unit usaha tidak mempunyai izin usaha. Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Pada umumnya, kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub sektor ke lain sub sektor. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil; tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Pada umumnya, usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi kota atau desa yang berpenghasilan rendah, tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.
Berdasarkan konsep yang telah ada sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi saat ini dan pertimbangan-pertimbangan kemajuan pembangunan yang
telah dicapai maka yang digolongkan ke dalam sektor informal: Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, pemodalan, maupun penerimaannya. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian; Tidak mempunyai keterkaitan (linkage) dengan usaha lain yang besar; Lokasi usaha ada yang menetap dan ada yang berpindah-pindah. Tidak membutuhkan tingkat pendidikan tinggi; Merupakan usaha kegiatan perorangan ataupun unit usaha kecil yang memperkerjakan tenaga kerja yang sedikit (kurang dari 10) dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan metode wawancara mendalam. Metode survei adalah metode penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, M. dan Sofian Effendi, 1999: 3). Dalam penelitian survei ini informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner dan unit analisis dalam penelitian survei adalah individu, walaupun dalam penerapannya unit analisis mencakup rumah tangga sebagai suatu keseluruhan, tetapi wawancara untuk kuesioner tetap ditujukan pada satu orang.
Pemilihan daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan metode purposive, yaitu di Kota Denpasar. Purposive sampling dalam pemilihan wilayah penelitian dipergunakan mengingat dari tujuan penelitian adalah bukan untuk generalisasi. Tipe sampling ini dipakai dalam ilmu sosial berdasarkan penelitian subyektif dari peneliti yang menganggap bahwa sampel tertentu adalah representatif untuk mewakili suatu populasi (Vredenbregh, J, 1978: 133). Sedangkan responden dalam penelitian ini adalah wanita pedagang canang, yang dipilih secara purposive pula sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan survei awal pada lokasi penelitian dan pertimbangan adanya homogenitas dari keadaan responden maka ditetapkan jumlah total responden yang akan diambil sebanyak
150 orang responden. Keseluruhan jumlah tersebut sudah merupakan jumlah dalam suatu wilayah penelitian, dan sudah dianggap representatif untuk mewakili keadaan populasi yang akan diteliti.
Sebagai bahan analisis sesuai dengan tujuan dan hipotesis penelitian dikumpulkan dua macam data yaitu data yang bersifat kuantitatif dan data yang bersifat kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari sumber yang bersifat primer, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan cara wawancara mendalam. Data kualitatif ini dimaksudkan untuk memperoleh klarifikasi dari masalah yang akan diteliti.
Data primer dikumpulkan dengan dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan interview terhadap responden yang merupakan wanita pedagang canang dengan menggunakan teknik wawancara menggunakan kuesioner terstruktur, yang memuat daftar pertanyaan sesuai dengan data yang diinginkan. Data yang dikumpulkan di lapangan merupakan variable penelitian: 1) Aktivitas Ekonomi Responden, meliputi: Alasan bekerja sebagai pedagang canang; Lamanya bekerja sebagai pedagang canang; Curahan jam kerja; Jumlah modal usaha; Jumlah tenaga kerja keluarga yang membantu; Pendapatan/omset per hari dari berdagang canang; Pengeluaran per hari untuk biaya produksi dan pengeluaran biaya lain-lain (retribusi, ongkos tenaga kerja di luar tenaga kerja keluarga dan biaya-biaya lain); dan 2) Kontribusi dalam Perekonomian Rumah Tangga, meliputi: Persentase sumbangan pendapatan dari berdagang canang terhadap pendapatan total rumah tangga.
Teknik analisis data yang digunakan untuk mengolah data-data yang diperoleh di lapangan, adalah deskritif kualitatif terhadap data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, sedangkan analisis data kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan analisis statistika, yaitu statistik deskriptif dan inferensial. Statistik deskriptif dipergunakan untuk melihat sebaran data/kecenderungan semua variable penelitian, sedangkan statistik inferensial dipergunakan untuk melihat keterkaitan antar satu variabel dengan variabel lainnya. Data-data yang diperoleh di lapangan diolah dengan memanfaatkan software komputer statistik SPSS versi 12.0 for window. Analisis kuantitatif
dilakukan dengan Tabel Kontingensi, Uji dua arah. Hipotesis penelitian diuji dengan menggunakan statistik uji khi kuadrat. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Kontribusi wanita pedagang canang dalam meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga memberikan kontribusi finansial lebih dari 50% dari total pendapatan rumah tangga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Ekonomi Responden
Hasil analisis terhadap jawaban 150 orang responden penelitian mengenai alasan bekerja sebagai dagang canang sari, terlihat bahwa 86,0% (129 orang) responden menjawab karena keharusan bekerja untuk membantu mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga. Alasan aktualisasi diri, mencari afiliasi diri dan wadah untuk sosialisasi merupakan alasan yang dijawab oleh 11,3% (17 orang) responden. Sedangkan alasan lainnya hanya 2,7% saja.
Adanya tuntutan tanggung jawab ekonomi terhadap kelangsungan ekonomi rumah tangga responden, menyebabkan mereka harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan sebagai penyokong ekonomi rumah tangga. Sehingga bekerja adalah merupakan keharusan, dijawab oleh sebagian besar responden penelitian. Hasil wawancara terhadap empat orang informan incidental secara garis besar menunjukkan bahwa alasan mereka bekerja sebagai dagang canang didasarkan pada alasan keharusan untuk membantu mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga, dalam pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Pendapatan rumah tangga responden diprioritaskan alokasinya untuk pemenuhan kebutuhan makanan, pendidikan, dan kebutuhan lain (listrik, air, iuran desa). Pemenuhan kebutuhan pakaian tidak menjadi prioritas bagi mereka.
Jawaban responden mengenai alasan bekerja untuk aktualisasi diri, mencari afiliasi diri, dan wadah untuk sosialisasi, didukung oleh penuturan salah seorang informan yang mengungkapkan alasannya bekerja.
“….Dari dulu saya menyukai pekerjaan ini, dan sudah saya anggap sebagai jalan hidup saya. Dengan berdagang saya bisa memegang uang setiap hari, walaupun pada saat bahan untuk berjualan sudah menipis, saya harus membelanjakan kembali uang itu, tapi sedikit tidaknya saya bisa menggunakan uang tersebut sewaktu-waktu jika ada keperluan mendadak. Disamping itu bekerja seperti ini memberikan kepuasan pada diri saya, karena tidak ada yang nyuruh-nyuruh (tidak ada yang memerintah) dan saya bisa bekerja kapanpun saya ingin bekerja, kalau ingin bekerja ya bekerja, kalau ingin diam, ya diam, dan saya bisa mengenal banyak orang…”
Ibu Nym, 38 tahun
Hal di atas didukung pula oleh penelitian Irwan Abdullah (2001: 11), mengungkapkan bagaimana perempuan bakul memiliki kebanggaan dan kepercayaan diri yang tinggi. Berdagang ternyata dapat meningkatkan status perempuan, sebab dengan begitu mereka memiliki kemampuan secara ekonomi, memiliki kepercayaan diri karena meningkatnya andil mereka dalam ekonomi rumah tangga, dan memiliki kepuasan pribadi dengan menjalin relasi sosial dengan teman-teman sesama bakul. Imbalan ekonomi dari kegiatan berdagang kecil-kecilan itu memang tidak memberikan penghasilan yang besar. Namun, berada di luar rumah dan di luar pertanian dalam beberapa jam sehari telah memberikan kepuasan lain bagi perempuan. Dengan berdagang perempuan menemukan jaringan dan kelompok yang memberikan ruang ekspresi.
Hal lain yang penting untuk dikaji adalah lama usaha di sektor informal, dalam hal ini lamanya menekuni pekerjaan sebagai dagang canang sari. Lama usaha merupakan hal penting. (1) Lama usaha dapat menunjukkan seberapa banyak tenaga kerja yang baru masuk ke sektor informal dan siapa saja yang sudah menekuni sektor informal ini dalam waktu yang relative lama. (2) Adanya pendapat bahwa lama usaha akan mempunyai pengaruh terhadap ketrampilan berusaha dan berdampak pada pendapatan.
Hasil analisis data terhadap 150 orang responden menunjukkan bahwa rata-rata lama bekerja responden adalah 11,5 tahun, terdapat 17,3% responden yang merupakan pendatang baru, karena lama menekuni pekerjaan sebagai dagang canang baru satu sampai dua tahun. Distribusi frekuensi lama kerja responden, memperlihatkan bahwa sebagian besar responden mempunyai lama
kerja ≤ 10 tahun, yaitu sebesar 51,3%, lama kerja > 10 – 20 tahun sebesar 38,7%, sedangkan sisanya 10%, mempunyai lama kerja lebih dari 20 tahun.
Data mengenai distribusi responden yang bekerja sebagai dagang canang, menunjukkan terdapat 10% responden yang telah terlibat sebagai dagang canang lebih dari 20 tahun. Secara umum penjelasan dari hal tersebut adalah: 1) kemungkinan mereka terpaksa bekerja di sektor informal ini, dalam hal ini sebagai dagang canang karena tidak ada pilihan pekerjaan lainnya; 2) kemungkinan karena pekerjaan ini ternyata memberikan jaminan ekonomi yang cukup baik sehingga mereka tidak mau keluar dari pekerjaan ini. Hal ini cukup beralasan jika dilihat dari pendapatan mereka per hari serta kontribusinya terhadap ekonomi rumah tangga mereka.
Jika dilakukan analisis tabulasi silang antara lama menekuni pekerjaan sebagai dagang canang dengan pekerjaan sampingan yang dimiliki responden (table 2), menunjukkan bahwa responden dengan lama bekerja lebih dari 20 tahun, seluruhnya tidak mempunyai pekerjaan sampingan lainnya, atau dengan kata lain hanya mempunyai pekerjaan utama sebagai dagang canang saja. Hal tersebut menunjukkan bahwa bagi responden, pekerjaan sebagai dagang canang merupakan sumber nafkah utama. Keterlibatan mereka di sektor ini lebih berkaitan dengan alasan yang pertama, yaitu tidak ada alternatif lain bagi mereka untuk mencari nafkah tambahan bagi keluarga selain dari berdagang canang sari.
Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Lamanya Bekerja Sebagai Dagang Canang dan Jenis Pekerjaan Sampingan
Lama Bekerja |
Jenis Pekerjaan Sampingan |
Jumlah | ||||
Tidak Punya Kerja Sampingan |
Berdagang/ Warung |
Beternak |
Lainnya (Jasa, laundy, dll) |
N |
% | |
≤ 10 |
49 (63,6%) |
7 (9,1%) |
10 (13,0%) |
11 (14,3%) |
77 |
51,3 |
> 10 - 20 |
54 (93,1%) |
4 (6,9%) |
0 (0,0%) |
0 (0,0%) |
58 |
38,7 |
> 20 |
15 (100,0%) |
0 (0,0%) |
0 (0,0%) |
0 (0,0%) |
15 |
10,0 |
Total (N) |
118 |
11 |
10 |
11 |
150 |
100,0 |
% |
78,7 |
7,3 |
6,7 |
7,3 |
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2009
Selain bekerja sebagai dagang canang, terdapat 21,3% (32 orang) responden yang mempunyai pekerjaan sampingan, dan 78,7% (118 orang) yang tidak
mempunyai pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan yang mereka kerjakan diantaranya pada jenis pekerjaan berdagang, beternak, dan jenis pekerjaan lainnya seperti jasa laundry. Jenis pekerjaan sampingan berdagang meliputi kegiatan membuka warung kecil-kecilan, berdagang alat-alat sembahyang, janur dan sarana pendukung persembahyangan lainnya, yang merupakan pelengkap dari kegiatan utama mereka.
Data hasil analisis yang cukup menarik untuk dilihat adalah mengenai waktu kerja, terdapat sebagian dari pedagang canang bekerja di malam hari. Bagi responden dengan curahan jam kerja per hari 7 sampai 8 jam, waktu kerjanya adalah dari jam 3 - 4 sore sampai jam 10 – 11 malam. Sedangkan bagi responden dengan curahan jam kerja > 8 jam per hari, biasanya memulai usahanya dari jam 4 pagi sampai jam 10 malam. Mereka yang termasuk golongan yang terakhir ini biasanya mempunyai lokasi usaha di pasar atau mereka dengan tempat kerja yang mereka sewa per bulan, sehingga dalam menjalankan usahanya mereka lebih leluasa. Bagi pedagang canang yang lokasi usahanya tinggal menempati saja, seperti mempergunakan meja dan berjualan di trotoar jalan, dari hasil observasi terlihat kecenderungan mempunyai jam kerja kurang dari 8 jam, dan mempunyai waktu usaha di malam hari.
Curahan jam kerja dalam penelitian ini adalah sejumlah waktu dalam satuan jam yang dicurahkan atau dihabiskan untuk melakukan pekerjaan berdagang canang dalam seminggu. Rata-rata curahan jam kerja responden penelitian adalah 70 jam, dengan rentangan dari 24 jam per minggu sampai 133 jam per minggu. Distribusi responden menurut curahan jam kerja, diperoleh bahwa sebagian besar responden 60,7% (91 orang) mempunyai curahan jam kerja > 50 jam per minggu, 29,3% (44 orang) dengan jam kerja 35 – 50 jam per minggu, sisanya 10,0% (15 orang) dengan jam kerja < 35 jam per minggu.
Salah satu ciri sektor informal menurut Wirosardjono (1985), bahwa sector ini umumnya mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluaraga, kenalan atau daerah yang sama. Hasil analisis data mengenai jumlah tenaga kerja keluarga yang membantu kegiatan usaha dagang canang ini, terlihat bahwa responden dengan tanpa dibantu tenaga kerja keluarga, didominasi oleh 51,3% (77 orang). Sedangkan mereka dengan bantuan satu orang tenaga kerja keluarga, terdapat sebanyak 39,3% (59 orang), dengan bantuan dua orang dan lebih dari dua orang tenaga kerja keluarga, terdapat sebanyak 9,3%. (14 orang).
Dari 77 orang responden dengan tanpa bantuan tenaga kerja keluarga tersebut di atas, terdapat 62 orang mengerjakan sendiri usahanya tanpa adanya bantuan dari tenaga kerja keluarga, dan sisanya sebanyak 15 orang dengan dibantu oleh satu orang tenaga kerja di luar tenaga kerja keluarga (tenaga kerja yang diupah). Upah tenaga kerja luar keluarga tersebut berkisar antara Rp. 200.000 sampai Rp. 250.000 per bulan.
Secara keseluruhan dari uraian di atas menjelaskan bahwa banyaknya proporsi perempuan yang bekerja sebagai pekerja mandiri dengan dibantu anggota keluarga, menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja. Besarnya jumlah wanita yang bekerja pada sektor informal, menunjukkan bahwa peranan wanita pelaku sektor informal sangat besar kontribusinya dalam mempertahankan ekonomi rumah tangga.
Secara umum dapat dikatakan bahwa omzet per hari dari berdagang canang relatif tinggi, yaitu Rp. 103.000. Namun jika dilihat rentangan omzet antara responden yang satu dengan yang lainnya, terlihat rentangan yang begitu tajam, terdapat satu orang dengan omzet Rp. 15.000 per hari, sebaliknya terdapat responden lainnya dengan omzet sampai Rp. 250.000,- per hari.
Distribusi responden menurut omzet per hari, terdapat 24,7% (37 orang) responden dengan omzet ≤ Rp. 50.000, 28,0% (42 orang) responden dengan omzet > Rp. 50.000 – Rp. 100.000. Proporsi yang terbesar yaitu 36,0% (54 orang) dengan
omzet > Rp. 100.000 – Rp. 150.000 per hari, selebihnya 8,0% (12 orang) dengan omzet > Rp. 150.000 – Rp. 200.000, hanya 3,3% (5 orang) dengan omzet > Rp. 200.000 per hari.
Hasil analisis data terhadap 150 orang responden penelitian, diperoleh bahwa rata-rata modal yang dibutuhkan per hari pada jenis usaha ini adalah Rp. 72.900,-, dengan rentangan yang sangat besar yaitu Rp. 6.700,- sampai dengan Rp. 200.000. Responden dengan jumlah modal per hari ≤ Rp. 50.000,- sebanyak 44,7% (67 orang), dengan modal > Rp. 50.000 – Rp. 100.000 sebanyak 45,3% (68 orang), sedangkan hanya 10% (15 orang) responden menggunakan modal per hari lebih dari Rp. 100.000. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan incidental, menjelaskan bahwa sebagian besar responden mendapatkan modal dari usaha sendiri/sumber keuangan sendiri ataupun dari tabungan, selebihnya modal berasal dari rumah tangga atau pinjaman.
Variasi pendapatan/omzet berkaitan dengan banyak faktor, salah satunya adalah modal usaha. Jika dilakukan analisis korelasi antara modal usaha dengan omzet per hari, menunjukkan adanya korelasi yang signifikan, yaitu sebesar r = 0,970, dengan signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara modal usaha dengan omzet per hari dari kegiatan di sector informal ini, semakin besar modal yang dipergunakan untuk usaha maka semakin besar omzet harian yang diperoleh. Modal usaha dalam penelitian ini merupakan variable yang baik untuk menjelaskan adanya perbedaan omzet dari berdagang canang. Tetapi ada beberapa kasus yang tidak begitu sesuai dengan hal di atas, sebagaimana diukapkan oleh salah seorang informan berdasarkan hasil wawancara mendalam:
“…….kalau hari rahinan/hari raya saya membutuhkan modal lebih banyak, karena harga bahan-bahan untuk canang seperti janur dan bunga menjadi sangat mahal, hasil berjualan juga kelihatan besar, namun jika dihitung-hitung keuntungannya sangat tipis, kembali modal saja saya sudah bersyukur…….”
Ibu Made, 43 tahun
Penjelasan informan tersebut, menunjukkan bahwa dengan modal yang besar, akan menghasilkan omzet yang besar pula, namun jika dihitung
pendapatan bersih yang diperoleh, tidak selalu memberikan keuntungan yang besar pula.
Analisis deskriptif mengenai pendapat bersih per hari yang diperoleh responden adalah Rp. 25.400. Dengan variasi pendapatan bersih yang sangat besar, yaitu Rp. 1.700 sampai Rp. 50.000. Distribusi responden menurut pendapatan bersih per hari, sebanyak 33,3% (50 orang) dengan pendapatan ≤ Rp. 15.000, 38,0% (57 orang) dengan pendapatan bersih lebih dari Rp. 15.000 sampai Rp. 30.000. Sisanya sebanyak 28,7% (43 orang) dengan pendapatan lebih dari Rp. 30.000 sampai Rp. 50.000 per hari.
Banyak penelitian mengenai sektor informal menyebutkan bahwa sektor ini biasanya berlokasi di tempat-tempat strategis. Berdasarkan hasil observasi di di lapangan, sebagain besar pedagang canang cenderung berkonsentari di pusat kota yang memeiliki aktifitas ekonomi yang tinggi, dengan waktu kerja siang maupun malam hari. Banyak dari responden penelitian, untuk lokasi usaha memanfaatkan trotoar jalan untuk berjualan, khususnya bagi responden yang berjualan dari sore hari sampai malam hari. Sedangkan responden dengan waktu usaha dari pagi hari sampai malam hari cenderung mempunyai lokasi usaha yang relatif permanen ataupun dengan menyewa.
Distribusi responden yang mendapatkan lokasi usaha dengan cara menyewa, didominasi oleh 59,3% (89 orang ) responden, sebanyak 35,3% (53 orang) mendapatkan lokasi usaha yang tinggal ditempati, sisanya sebanyak 5,4% (8 orang) mendapatkan lokasi usaha dari warisan, pinjaman, dan cara lainnya. Tinggal ditempati dalam penelitian ini adalah mereka yang hanya tinggal menempati lokasi tersebut, tanpa ada kewajiban untuk membayar sewa bulanan maupun harian. Mereka terdiri dari responden yang memanfaatkan trotoar sebagai tempat usaha, mereka hanya perlu membawa meja untuk menjajakan dagangannya. Dari 89 orang responden yang mempunyai tempat usaha dengan menyewa, sebanyak 42,69% (38 orang) mengalokasikan uangnya untuk biaya sewa Rp. 150.000 – Rp. 225.000 per bulan, 37,8% (33 orang) membayar ongkos
sewa per bulan Rp. 75.000 – Rp. 150.000, 8,9% (8 orang) membayar ongko sewa kurang dari sama dengan Rp. 75.000, sisanya membayar ongkos sewa lebih dari Rp. 225.000.
Pengeluaran lain-lain yang per hari seperti biaya retribusi serta biaya listrik untuk mereka yang berjualan di malam hari, dari hasil analisis diperoleh sebanyak 70,7% (106) responden menyatakan tidak mengeluarkan biaya lain-lain, sisanya sebanyak 13,3% (20 orang) responden mengeluarkan biaya lain-lain (retribusi, listrik, dan lainnya) sebesar kurang dari sama dengan Rp. 30.000. Sebanyak 20 responden (13,3%) mengeluarkan biaya antara Rp 30.000 – Rp. 60.000, dan selebihnya dengan biaya lebih dari Rp. 60,000.
Kontribusi Pedagang Canang dalam Perekonomian Rumah Tangga
Kontribusi pedagang canang dalam penelitian ini dihitung dengan persentase pendapatan yang diperoleh dari berdagang canang sari terhadap pendapatan total rumah tangga. Hasil analisis terhadap data penelitian menunjukkan bahwa rata-rata persentase kontribusi dari pedagang canang dalam penelitian ini adalah 35,79%. Dengan rentangan yang sangat besar, yaitu dari 4,2% sampai 98,33%. Hal ini menunjukkan bahwa satu orang dapat memberikan kontribusi sebanyak 4,2%, di sisi lain responden lainnya dapat memberikan kontribusi sebesar 98,33% terhadap pendapatan rumah tangga mereka. Hasil analisis deskriptif di atas menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi responden sebesar 35,79%, menyebabkan hipotesis 1 penelitian, yang menyatakan bahwa Kontribusi wanita pedagang canang dalam meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga memberikan kontribusi finansial lebih dari 50% dari total pendapatan rumah tangga, tidak terbukti.
Distribusi responden menurut kontribusi pendapatan dari berdagang canang terhadap pendapatan rumah tangga, terdapat 50% (75 orang) responden yang memberikan kontribusi sebesar > 30% – 60%, 42% (63 orang) dengan kontribusi ≤ 30%, sedangkan hanya 8% (12 orang) responden yang dapat memberikan kontribusi lebih dari 60%.
Jika data kontribusi dari responden dipilah kedalam dua kategori, yaitu mereka dengan kontribusi ≤ 50%, dan mereka dengan kontribusi > 50%, maka hanya diperoleh 18,0% (27 orang) yang memiliki kontribusi lebih dari 50%, sisanya sebanyak 82,0% (123 orang) mempunyai kontribusi ≤ 50%. Hal ini disebabkan oleh sifat usaha di sector informal, yaitu skala perputaran usaha relatif kecil, modal harian yang kecil dengan omzet yang kecil pula.
Hasil analisis tabulasi silang antara kontribusi dengan modal per hari, menunjukkan bahwa responden yang memberikan kontribusi ≤ 50, sebagian besar memanfaatkan modal harian ≤ 50.000 dan > 50.000 - 100.000, sedangkan mereka dengan kontribusi > 50% sebagian besar dengan modal usaha > 50.000 -100.000.
Tabel 2. Uji Chi-Square Antara Modal Usaha dengan Kontribusi
Value |
df |
Asymp. Sig. (2sided) | ||
Pearson Chi-Square |
46,304(a) |
2 |
,000 | |
Likelihood Ratio |
47,947 |
2 |
,000 | |
Linear-by-Linear Association |
39,289 |
1 |
,000 | |
N of Valid Cases |
150 |
a 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,74.
Sumber: Data diolah, 2009
Untuk menunjukkan kejelasan hubungan antara modal usaha per hari dengan kontribusi dari pedagang canang terhadap pendapatan rumah tangga, dilakukan uji Chi-Square (tabel 3). Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai Pearson ChiSquare sebesar 46,304 dengan probabilitas 0,000. Karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak, berarti terdapat hubungan yang signifikan antara modal usaha harian yang dipergunakan dengan kontribusi dari berdagang canang sari terhadap pendapatan total rumah tangga responden.
Secara garis besar hasil wawancara tentang aktivitas ekonomi dari informan mengungkapkan bahwa modal usaha yang mereka gunakan untuk perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala kegiatan usaha juga menjadi relatif kecil. Dalam hal tenaga kerja, informan sendiri yang mengerjakan usahanya, dengan dibantu pekerja keluarga, sumber dana modal usaha berasal dari
tabungan sendiri. Hasil produksi dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan menengah yang merupakan masyarakat di lingkungan sekitar lokasi usaha ini. Salah seorang informan mengungkapkan mengenai aktivitas ekonomi mereka sebagai pedagang canang:
“….Saya sudah bekerja sebagai pedagang canang dari tahun 2002, dibantu oleh salah satu anak saya yang kebetulan tidak mempunyai pekerjaan. Rata-rata modal yang saya pergunakan untuk bikin canang 30.000 sampai 40.000 per hari dengan penghasilan lebih kurang 60.000 perhari. Kalau dihitung-hitung, kami terbantu dengan penghasilan tambahan kurang lebih 600.000 sampai 700.000 per bulan. Lumayan untuk tambahan biaya makan dan pendidikan anak saya yang paling kecil. Biasanya canang saya dibeli oleh orang-orang pengendara sepeda motor atau mobil yang kebetulan lewat di depan lokasi saya berjualan, kadangkala jika ada hari raya (rahinan) saya mendapatkan pesanan dari tetangga sekitar saya. Kalau saya pikir-pikir keuntungan yang saya peroleh tidak menentu, tergantung harga bahan. Jika kebetulan rahinan harga janur dan bunga jadi melonjak…”
(Made Skt, 45 tahun, Pedagang Canang)
Dari penuturan informan di atas, dapat diketahui bahwa adanya kontribusi dari pendapatan sebagai dagang canang terhadap pendapatan rumah tangga. Dari hasil penelitian ini, walaupun rata-rata kontribusi yang diberikan masih berkisar 35,79%, namun tambahan penghasilan ini merupakan sokongan bagi ketahanan ekonomi rumah tangga pelaku sektor informal tersebut. Juga dipaparkan bahwa pendapatan yang diperoleh diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu makanan dan pendidikan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka simpulan dari penelitian ini adalah, sebagai berikut.
-
1) Alasan bekerja sebagai dagang canang sari, terdapat 86,0% responden menjawab karena keharusan bekerja untuk membantu mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga. Alasan aktualisasi diri, mencari afiliasi diri dan wadah untuk sosialisasi merupakan alasan yang dijawab oleh 11,3% responden. Sedangkan alasan lainnya hanya 2,7% saja.
-
2) Hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata lama bekerja responden adalah 11,5 tahun, terdapat 17,3% responden yang merupakan pendatang
baru, karena lama menekuni pekerjaan sebagai dagang canang baru satu sampai dua tahun. Sebagian besar responden mempunyai lama kerja ≤ 10 tahun, yaitu sebesar 51,3%, lama kerja > 10–20 tahun sebesar 38,7%, sedangkan sisanya mempunyai lama kerja lebih dari 20 tahun.
-
3) Selain bekerja sebagai dagang canang, terdapat 21,3% (32 orang) responden yang mempunyai pekerjaan sampingan, dan 78,7% (118 orang) yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan.
-
4) Rata-rata curahan jam kerja per minggu adalah 70 jam, dengan rentangan dari 24 jam per minggu sampai 133 jam per minggu. Cara mendapatkan lokasi usaha dengan menyewa didominasi oleh 59,3% responden, 35,3% mendapatkan lokasi usaha yang tinggal ditempati, sisanya 5,4% mendapatkan lokasi usaha dari warisan, pinjaman, dan cara lainnya.
-
5) Responden dengan tanpa dibantu tenaga kerja keluarga, didominasi oleh 51,3%, dengan bantuan satu orang tenaga kerja keluarga terdapat sebanyak 39,3%, dengan bantuan dua orang dan lebih dari dua orang tenaga kerja keluarga, terdapat sebanyak 9,3%. Dari 77 orang responden dengan tanpa bantuan tenaga kerja keluarga, terdapat 62 orang mengerjakan sendiri usahanya tanpa adanya bantuan dari tenaga kerja keluarga, dan sisanya sebanyak 15 orang dengan dibantu oleh satu orang tenaga kerja di luar tenaga kerja keluarga, dengan upah berkisar antara Rp. 200.000 sampai Rp. 250.000 per bulan.
-
6) Omzet per hari dari berdagang canang relatif tinggi, yaitu Rp. 103.000., dengan rentangan yang begitu tajam, terdapat satu orang dengan omzet Rp. 15.000 per hari, sebaliknya terdapat responden lainnya dengan omzet sampai Rp. 250.000,- per hari.
-
7) Rata-rata modal yang dibutuhkan per hari pada jenis usaha ini adalah Rp. 72.900,-, dengan rentangan yang sangat besar yaitu Rp. 6.700,- sampai dengan Rp. 200.000. Responden dengan jumlah modal per hari ≤ Rp. 50.000,- sebanyak 44,7%, dengan modal > Rp. 50.000 – Rp. 100.000 sebanyak 45,3%, sedangkan hanya 10% responden menggunakan modal per hari lebih dari Rp. 100.000.
-
8) Rata-rata pendapatan bersih per hari yang diperoleh responden adalah Rp. 25.400. Dengan variasi pendapatan bersih yang sangat besar, yaitu Rp. 1.700 sampai Rp. 50.000. Distribusi responden menurut pendapatn bersih per hari, sebanyak 33,3% (50 orang) dengan pendapatan ≤ Rp. 15.000, 38,0% (57 orang) dengan pendapatan bersih lebih dari Rp. 15.000 samapai Rp. 30.000. Sisanya sebanyak 28,7% (43 orang) dengan pendapatan lebih dari Rp. 30.000 sampai Rp. 50.000 per hari.
-
9) Rata-rata persentase kontribusi dari pedagang canang dalam penelitian ini adalah 35,79%. Dengan rentangan yang sangat besar, yaitu dari 4,2% sampai 98,33%. Hasil analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi responden sebesar 35,79%, menyebabkan hipotesis 1 penelitian, yang menyatakan bahwa kontribusi wanita pedagang canang dalam meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga memberikan kontribusi finansial lebih dari 50% dari total pendapatan rumah tangga, tidak terbukti.
Saran
Melihat relatif cukup besarnya kontribusi yang diberikan oleh pelaku sector informal, dalam penelitian ini pedagang canang dengan kontribusi rata-rata sebesar 35,79% terhadap pendapatan rumah tangga. Hasil penelitian juga mengindikasikan kemandirian dari sifat usaha ini, sehingga dianggap perlu untuk mengemukakan saran berikut:
-
1) Perlunya penanganan yang lebih baik terhadap perempuan yang bekerja di sektor informal, sehingga akan menjadikan suatu potensi ekonomi yang tinggi bagi kesejahteraan keluarga.
-
2) Diperlukan penanganan dengan kebijakan yang berkelanjutan dan memberikan akses lebih besar terhadap sumber permodalan formal.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Pidekso. 2003. Profil Upaya Perempuan dalam Pemberdayaan Usaha Ekonomis-Produktif Sektor Informal pada Konteks Nilai Pemberdayaan Diri dalam Jurnal Pendidikan Nilai. Kajian Teori, Praktik, dan Pengajarannya. Tahun 9, Nomor 1, November 2003, Universitas Negeri Malang (UM) dalam http://www.malang.ac.id/jurnal/lain/nilai/2003a.htm.
Bali Guiede. Blog Archive. Professional Bali Driver and Tour Guiding Service. Canang Persembahan Bunga Hati Kepada Dewa dalam http://baliguide.biz/?cat=22
Blog Archive. Bali Setiap Hari, Canang Sari. 2006.
http://didats.warplet.com/2006/08/01/canang-sari/
Breaking News. 2007. WHDI Gelar Pelatihan Pedagang dalam http://www.denpasar.go.id/main.php?act=news&kd=2676&PHPSESSID =45bc58d8494043ee0c24441bb45459e2
Effendi, Tadjuddin Noer. 1998. Kesempatan Kerja Sektor Informal di daerah Perkotaan, Indonesia (Analisis Pertumbuhan dan Peranannya, dalam Majalah Geografi Indonesia. Th. 1, No. 2, September 1988, hal 1 – 10.
Irwan Abdullah. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang Press
Ken Suratiyah et al. 1996. Dilema Wanita, antara Industri Rumah Tangga dan Aktivitas Domestik. Yogyakarta: Aditya Media
Manning, Chris dan Effendi, Tadjuddin Noer. 1996. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Manning, Chris., Effendi, Tadjuddin Noer dan Tukiran. 2001. Struktur Pekerjaan, Sektor Informal dan Kemiskinan di Kota. Cetakan kelima. Yogyakarta: PPK UGM.
Sjahrir, Kartini. 1985. Sektor Informal: Beberapa Catatan Kritis. Prisma, No. 6, tahun. XIV, hal. 74 – 83.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1999. Metode Penelitian Survei (eds). Jakarta: LP3ES.
Supenti, Titin. 2007. Data dan Analisis. Rendahnya Posisi Wanita di Pasar Kerja. dalam Warta Ketenagakerjaan. Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan. Dalam
http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/warta_naker/edisi_8/dat a_posisi_perempuan.php
UNDP, 2007. Indonesia. Laporan Pembangunan Manusia 2001: Menuju Konsensus Baru: Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia. Ringkasan Eksekutif http://www.undp.or.id/pubs/ihdr2001/ringkasan_eksekutif.asp
Vredenbregt, J. 1978. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
27
Discussion and feedback