FAKTOR-FAKTOR PENDORONG TERJADINYA HEGEMONI NEGARA TERHADAP PEREMPUAN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA ( Studi Kasus di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng Bali)
on
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG TERJADINYA HEGEMONI NEGARA TERHADAP PEREMPUAN
DALAM PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA ( Studi Kasus di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng Bali)
Ni Nyoman Sukeni
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
ABSTRACTS
Family planning program has been designated to be gender awareness, but in practice there are state hegemony against women happened, makes women participated higher than men in according to reach program target. This is happened pushed by several factor such as ideology factor, contraception devices supply, economy factor, location of program socialization factor, and state policy factor. To avoid women from state hegemony hereby can be advised to provided a balance suplly of contraception devices between women and men, and also on their socialization.
Keywords : State, Women, and Family Planning Pogram
PENDAHULUAN
Pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dimulai sejak tahun 1957, diawali dengan berdirinya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang dipelopori oleh dr. Kun Martiono seorang ahli kandungan. Cara yang diperkenalkan pertama kalinya adalah dengan menggunakan sepotong kain kasa yang ujungnya dijahit sehelai benang. Kain tersebut dicelupkan ke dalam minyak kelapa, kemudian dimasukkan ke vagina sedalam-dalamnya sebelum mengadakan hubungan. Keesokan harinya benang tersebut ditarik. Cara ini kemudian berkembang menjadi alat kontrasepsi yang disebut spiral/IUD yang diciptakan khususnya untuk perempuan.
Pelaksanaan KB pada saat itu agak tersendat-sendat kerena Presiden Soekarno menghalangi KB yang mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Oleh karena menurut beliau, Indonesia masih mampu menghidupi 250 juta penduduk. Beliau menyetujui KB hanya untuk
kesehatan ibu dan anak. Beliau tidak memperkirakan bahwa penduduk Indonesia akhirnya jauh melampaui jumlah 250 juta jiwa walaupun program KB sudah sukses (Singarimbun, 1996).
Untuk mengatasi hal tersebut PKBI mengadakan kongres pertama tanggal 22 Februari 1967. Kongres tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat termasuk golongan agama dan pemerintah. Akhirnya, pada tanggal 23 Februari 1967 resmi berdiri Proyek Keluarga Berencana DKI Jaya yang pertama kali dilaksanakan pemerintah. Sebagai tindak lanjut dalam upaya memperluas jangkauan program KB pada bulan November 1968 pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang dalam menjalankan tugasnya diawasi dan dibimbing oleh Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat. Pada tahun 1968 program KB dimasukkan dalam Pelita I yang merupakan bagian dari program pembangunan nasional. Kemudian pada tahun 1970 didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menggantikan LKBN. Dalam menjalankan tugasnya BKKBN mempunyai struktur yang menguntungkan, karena badan tersebut berkoordinasi dalam berbagai kegiatan yang menyangkut berbagai departemen seperti: Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Penerangan, Departemen Agama, Departemen Transmigrasi dan Departemen Pertanian. Struktur tersebut memungkinkan BKKBN melepaskan diri dari pendekatan klinis yang kaku dan lebih menekankan pendekatan kemasyarakatan.
Pada Pelita I yang dimulai tahun 1969, program KB dilaksanakan di Pulau Jawa dan Bali yang padat penduduknya, yakni meliputi 6 (enam) propinsi dengan target tiga juta akseptor dengan harapan dapat mencegah 600.000 sampai 700.000 kelahiran. Harapan tersebut mencapai kesuksesan. Selanjutnya pada Pelita II diperluas menjadi 16 (enam belas) propinsi. Pada Pelita III diperluas ke luar Bali dan Jawa dan berhasil mencapai 18 (delapan belas) juta akseptor diseluruh pelosok tanah air. Kesuksesan program KB disebabkan oleh besarnya keterlibatan pemerintah dan masyarakat dengan komunikasi dan informasi (KEI) yang penting. Para pejabat dari Presiden sampai Kepala Desa menunjukkan keterlibatannya dengan caranya sendiri-sendiri. Begitu pula para alim ulama, seniman, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Penyebab lainnya adalah adanya akseptor teladan, cerdas tangkas dengan hadiahnya dan film yang dapat mengikis rintangan sosial budaya dan meningkatkan motivasi untuk melaksanakan KB.
Dalam pelaksanaan program KB, perekrutan akseptor di tingkat kecamatan dipercayakan kepada Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan diawasi oleh Pengawas Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) yang berkedudukan di tingkat kabupaten. Dalam hal ini PLKB bertugas mendidik kelompok akseptor dan mempromosikan serta membagikan alat kontrasepsi seperti pil dan kondom. Untuk metode alat kontrasepsi seperti IUD, steril, implant dan suntikan mereka bekerja sama dengan staf kesehatan di tingkat kecamatan yakni Puskesmas. Untuk kelancaran program KB, PLKB bertugas merekrut calon akseptor baru dan Dinas Kesehatan memberikan pelayanan pemasangan alat kontrasepsi, mangadakan penyuluhan dan melayani efek samping dari alat kontrasepsi. Perekrutan calon akseptor dilakukan di Posyandu serta Balai Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) (Sciortino, 1999).
Dalam pelaksanaan program KB, alat kontrasepsi yang disediakan pertama adalah alat yang dapat digunakan oleh perempuan seperti spiral/IUD, pil, suntikan, kemudian disusul alat kontrasepsi kondom yang digunakan oleh laki-laki. Dalam menyukseskan program KB dalam pengertian efektif mencegah kehamilan diadakan penekanan pada penggunaan alat kontrasepsi IUD yang mempunyai kemanjuran tinggi. Selain mempunyai kemanjuran tinggi, IUD sekali pasang dapat berfungsi mencegah kehamilan selama bertahun-tahun dan suplai baru tidak diperlukan, berbeda dengan alat kontrasepsi lainnya seperti pil dan kondom, yang senantiasa memerlukan suplai baru. Namun, apabila dilihat dari ketepatan dan keteraturan memakainya, pil mempunyai kemanjuran maksimal sampai 100%. Demikian juga kondom, tetapi memerlukan motivasi, pengetahuan para pemakai, disiplin dan mutu pelayanan.
Berdasarkan hasil survai Demografi dan Kesehatan tahun 1994, pemakai IUD yang tertinggi adalah Bali (41,1 %) disusul Yogyakarta dan Sulawesi Utara. Pemakai pil tertinggi Kalimantan Selatan (33,9 %), sedangkan kondom secara nasional relatif rendah yakni 0,9 % (Singarimbun, 1996). Rendahnya partisipasi laki-laki dalam pelaksannan program KB karena tidak ditekankan pemakaian kondom dan tidak diprioritaskan, karena tercela sejak dahulu, yakni dikaitkan dengan pelacuran dan dianggap menghalalkan atau melegalisasi pelacuran. Kondom juga tidak termasuk ke dalam metode kontrasepsi yang selektif terpilih (MKET), walaupun sebenarnya kondom dapat digunakan untuk mencegah HIV/IIDS. Oleh karena itu
partisipasi perempuan sangat tinggi dalam penggunaan alat kontrasepsi dalam menyukseskan program KB.
Secara nasional program KB menargetkan capaian akseptor pada tahun 1985 sebesar 60 %. Bali sebagai bagian wilayah Indonesia juga melaksanakan program KB secara resmi sejak tahun 1970. Pada tahun 1985 telah tercapai 75 % melebihi target nasional yakni 60% (Stratfield, 1986). Keberhasilan program KB tercermin dari makin menurunnya laju pertumbuhan penduduk di Bali yakni 1,77 % selama periode 1961-1971, 1,69 % selama perode 1971-1980, dan 1,18 % selama periode 1980-1990. Secara nasional laju pertumbuhan penduduk periode 1980-1985 sebesar 2,15 %. Hal ini memberikan petunjuk bahwa pada periode yang sama pertumbuhan penduduk Bali tetap lebih kecil dari skala nasional (Mamas, 1988). Bahkan Bali diprediksi dalam tahun 2005 mencapai NRR = 1 atau keadaan replacement level fertility yang berarti angka kelahiran, kematian dan migrasi yang tidak berubah dalam jangka waktu lama yakni 70 tahun kemudian, jumlah penduduk akan mencapai angka pertumbuhan nol dan stabil (Wardana, 1993).
Keberhasilan program KB di Bali juga didukung oleh ada slogan “dua anak cukup, laki-perempuan sama saja” menggiring calon akseptor dalam membentuk rumah tangga kecil untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia melalui program KB dapat diterima oleh masyarakat Bali, karena hal ini sesuai dengan konsep suputra, yang mengutamakan kualitas anak bukan jumlah anak. Oleh karena itu jumlah anak yang sedikit memungkinkan meningkatkan pendidikan yang sangat diperlukan dalam perkembangan zaman dan perubahan sistem mata pencaharian penduduk Bali dari pertanian yang memerlukan tenaga banyak untuk mengolah sawah sudah bergeser ke industri pariwisata yang memerlukan kualitas anak bukan kuantitas untuk memenuhi tuntutan profesi (Astiti, 1994).
Keberhasilan program KB secara nasional menunjukkan adanya kesamaan yakni adanya ketimpangan gender di mana jumlah perempuan yang mnenggunakan alat kontrasepsi jauh lebih tinggi. Keadaan ini dapat diamati dari data Kanwil BKKBN Bali tahun 2000 yang menunjukkan partisipasi laki-laki dengan metode kondom hanya 18 %, sedangkan perempuan dengan segala metode mencapai 82 %. Hal ini didorong oleh lebih banyaknya jenis alat kontrasepsi yang cocok digunakan oleh perempuan seperti : IUD, MOP, MOW, Inplant, Suntikan, pil, sedangkan untuk laki-laki hanya kondom. Lebih banyaknya jenis alat
kontrasepsi yang dapat digunakan oleh perempuan, menggiring perempuan secara halus untuk menggunakan alat kontrasepi (Gandhi, 2001). Upaya pemerintah menggiring perempuan untuk menggunakan alat kontrasepsi dengan kepemimpinan moral inteletual dalam hal ini menciptakan idologi dua anak cukup laki perempuan sama saja untuk mencapai kesejahteraan keluarga menurut Gramsi disebut teori hegemoni (Wibowo, 2000). Lebih tingginya perempuan menggunakan alat kontrasepsi, konsekuensinya yakni perempuan lebih banyak mengalami penderitaan efek samping dari alat tersebut secara fisik dan psikis ( Gandhi, 2001). Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong hegemoni negara terhadap perempuan dalam pelaksanaan program KB di Bali akan diuraikan pada pembahasan .
KAJIAN PUSTAKA
Hegemoni Negara terhadap Perempuan
Secara teoretis dikenal ada tiga bentuk hubungan, yaitu dominasi, hegemoni, dan kooptasi. Dominasi adalah dicirikan oleh adanya pihak yang didominasi dan yang mendominasi. Hegemoni adalah hubungan dengan basis intelektual dan etika yang dapat diterima oleh rakyat yang diperintah. Sementara itu, kooptasi merupakan suatu proses peneriman unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi yang merupakan salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan (Foulcult, 2002). Hegemoni tidak saja terjadi antara negara namun dapat juga tejadi antara kelompok di dalam suatu negara.
Negara sama artinya dengan staat dalam bahasa Jerman, state dalam bahasa Inggris yang mempunyai dua arti, yaitu (1) masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis : (2) lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis, dengan demikian ia yang menata dan menguasai wilayah tersebut (Magnis Suseno, 1998). Namun, dalam penggunaan bahasa sehari-hari, istilah “negara” sering digunakan untuk menjelaskan “pemerintahan” dan sebaliknya. “Negara” dan “pemerintahan” adalah dua kata yang berbeda, tetapi sering digunakan untuk saling menggantikan. Negara adalah sebuah konsep inklusif yang meliputi semua aspek pembuatan kebijaksanaan dalam pelaksanaan sanksi hukumnya, sedangkan pemerintah hanya sekedar agen yang melaksanakan kebijakan negara dalam sebuah masyarakat politik (Lawson, 1991).
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus daripada penindasan dengan menggunakan instansi yang ada (Gramsci, 1976). Negara dan masyarakat selalu berintegrasi. Negara mengeluarkan kebijakan dan peraturan. Agar peraturan itu dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat, negara menggunakan dua cara, yaitu pertama dengan dominasi atau paksaan/koersif, dan kedua melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Kepemimpinan moral dan inteletual ini oleh Gramsci disebut Teori Hegemoni (Wibowo, 2000).
Perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perempuan yang berstatus kawin yang merupakan Pasangan Usia Subur (PUS) yang berdomisili di Kecamatan Tejakula dan beragama Hindu. Berdasarkan uraian di atas, maka hegemoni negara terhadap perempuan dimana negara sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan dengan membuat peraturan dalam program KB melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 yang berisikan hal-hal yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan negara yakni mengatur kelahiran dengan menggunakan alat kontrasepsi yang disediakan pemerintah dalam upaya menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Agar peraturan tersebut ditaati dan dilaksanakan, pemerintah menggunakan pendekatan hegemoni terhadap Pasangan Usia Subur (perempuan) dengan mengadakan pendekatan terstruktur yakni melibatkan elit pemerintah dari kepala desa sampai presiden melalui beberapa departemen seperti, Departemen Agama, Departemen Kesehatan, Departemen Penerangan, Departemen Tranmigrasi dan lainnya. Elit lainnya adalah elit tradisional seperti Desa dan Banjar. Pendekatan ini dilakukan secara terus-menerus terhadap PUS khususnya perempuan dalam upaya mencapai konsensus antara petugas program KB dan calon akseptor. Pendekatan dengan moral dan intelektual dalam program KB adalah dengan menciptakan slogan dua anak cukup laki-perempuan sama saja. Slogan ini adalah mengharapkan PUS (perempuan) membentuk keluarga kecil. Dengan keluarga kecil dapat membentuk keluarga bahagia dan memberikan kesempatan kerja bagi kaum ibu untuk bekerja dalam menunjang ekonomi keluarga karena tidak dibebani mengasuh anak terlalu lama. Ide ini menggiring perempuan untuk membentuk keluarga kecil dengan menggunakan alat kontrasepsi yang dianjurkan program KB.
Program KB
Program KB adalah program yang dirancang oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menurunkan pertumbuhan penduduk secara bertahap dengan mengendalikan fertilitas PUS baik dengan mengatur jarak kelahiran anak, mencegah kehamilan bagi yang menderita sakit dan menyetop kelahiran bagi yang sudah mempunyai dua atau tiga anak. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Program KB mempunyai empat dimensi, yakni : pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, peningkatan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai program KB, dapat dikatakan program mempunyai makna yang luas bagi kehidupan secara individu, keluarga dan bangsa.
Teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini yakni : (1) Teori Hegemoni Gramsci dalam membahas sistem yang digunakan dalam menyosialisaikan program dan faktor-faktor pendorong terjadi hegemoni negara terhadap perempuan dalam pelaksanaan program KB, (2) Teori Feminisme yang menyatakan bahwa perempuan ditempatkan lebih rendah.dalam hubungan yang hegemonik. Hubungan yang hegemonik, kemudian memunculkan apa yang disebut dominasi dan subordinasi (Gandhi, 2001).
METODE PENELITIAN
Penelitian dirancang dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng, dengan pertimbangan, bahwa dari seluruh kabupaten di Bali, kabupaten Buleleng yang mengalami efek samping terbanyak dari penggunaan alat kontrasepsi. Sedangkan dalam tingkat kecamatan, kecamatan Tejakulala yang paling banyak menderita efek samping. Penelitian ini bersifat studi kasus (case study), karena penelitian ini tidaklah bermaksud untuk menghasilkan suatu generalisasi atau simpulan yang secara umum (Geertz dalam Astiti, 1994). Untuk memperoleh penjelasan adanya hegemoni negara dalam pelaksanaan program KB digunakan pendekatan life story (riwayat hidup), karena ingin mengetahui pandangan, yakni melalui reaksi, tanggapan, interpretasi dan pengalaman dari responden mengenai program KB.
Jenis data yang digunakan adalah data primer bersumber dari lapangan berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan responden. Data lainnya adalah kepustakaan/sekunder yang bersumber dari kepustakaan berupa buku-buku literatur dan dokumen berupa data
akseptor. Teknik penentuan sampel ditentukan secara purposive sampling dengan pertimbangan tertentu dalam penelitian ini seperti penentuan pengambilan Puskesmas untuk mengambil data akseptor ditetapkan berdasarkan kelengkapan data akseptor ditetapkan berdasarkan data yang paling lengkap mengenai identitas akseptor. Dalam menetapkan informan didasarkan pada pengetahuan informan tentang program KB, seperti dokter, bidan, Kepala Dusun, dan Camat. Sedangkan dalam menetapkan responden yakni dilakukan dengan sistem undian dari jumlah akseptor sebagai populasi penelitian ini karena sifatnya homogen dalam arti setiap akseptor dapat mewakili. Dalam penelitian ini diwawancarai sebanyak 30 PUS yang diambil secara merata jumlahnya dari semua desa yang ada. Selain itu juga diambil secara proposional berdasarkan alat kontrasepsi yang digunakan. Pada mulanya diwawancarai sebanyak 15 akseptor untuk menggali riwayat hidup menggunakan alat kontrasepsi. Pada kesempatan berikutnya diwawancarai lagi sejumlah responden sebagai akseptor dengan tujuan untuk lebih dapat menjelaskan atau pengecekan keasbsahan data (triangulasi). Hal ini dilakukan karena menurut Bertaux (dalam Astiti, 1994) bahwa pengambilan lima belas kasus saja sudah memadai apabila telah diketahui pola-pola hubungan sosio-kulturalnya, seperti kelembagaan yang ada, hubungan antar jenis kelamin (suami istri) dan dominasi kekuasaan. Dengan menambah riwayat hidup responden sebagai akseptor yang ke 16 s/d 25 akan dapat lebih menjelaskan hubungan sosial tersebut. Jika sampai tiga puluh riwayat hidup, maka riwayat hidup ke 26 s/d 30 akan memberikan penegasan pengertian dan telah terjadi kejenuhan.
Teknik pengumpulann data primer digunakan teknik wawancara dengan menggunakan instrumen pedoman wawancara yang berisi pokok-pokok saja yang dikembangkan pada saat wawancara. Wawancara dilakukan secara mendalam untuk mengetahui faktor–faktor apa yang mendorong responden khususnya perempuan dalam menggunakan alat kontrasepsi sehingga mereka terhegemoni. Sedangkan analisis dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif baik terhadap data primer maupun data sekunder. Hasil analisis disajikan secara deskriptif analitis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa sebagai pisau analisis dalam mengetahui faktor-faktor pendorong terjadinya hegemoni negara terhadap perempuan dalam pelaksanaan
program KB adalah Teori Hegemoni Gramsci. Menurutnya faktor terpenting sebagai pendorong terjadinya hegemoni adalah faktor ideologi dan politik yang diciptakan penguasa dalam mempengaruhi, mengarahkan, dan membentuk pola pikir masyarakat. Faktor lainnya adalah pertama paksaan yang dialami masyarakat, sanksi yang diterapkan penguasa, hukuman yang menakutkan, kedua kebiasaan masyarakat dalam mengikuti suatu hal yang baru dan ketiga kesadaran dan persetujuan dengan unsure-unsur dalam masyarakat (Hendarto, 1993).
Faktor ideologi dalam penelitian ini adalah ide membentuk keluarga kecil dipandang menguntungkan dan dapat mempengaruhi PUS khususnya perempuan dalam mengikuti program KB yang dapat membentuk keluarga bahagia. Sedangkan faktor politik dalam hal ini program KB merupakan kebijakan penguasa dalam mengurangi jumlah penduduk, yang dengan mengatur pertumbuhan penduduk dengan menggunakan alat kontrasepsi. Sedangkan yang mempengaruhi perempuan untuk menggunakan alat kontrasepsi dalam hubungannya dengan suami yakni digunakan teori feminisme, bahwa dalam hubungan yang bersifat hegemonik perempuan tersubordinasi.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh faktor-faktor pendorong terjadinya hegemoni negara terhadap perempuan dalam pelaksanaan program KB adalah sebagai berikut.
Dalam upaya pemerintah/negara memikat hati PUS khususnya perempuan untuk mencapai konsensus dalam menggunakan alat kontrasepsi, program menciptakan ide pembentukan keluarga kecil. Dengan keluarga kecil para ibu akan mempunyai waktu untuk bekerja dalam membantu ekonomi keluarga karena tidak dibebani mengasuh anak terlalu lama. Dengan keluarga kecil ibu-ibu jarang hamil sehingga akan dapat meningkatkan kesehatan ibu dan bayi. Di samping itu dengan keluarga kecil akan tercapai tujuan program KB yakni membentuk keluarga sejahtera dan bahagia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Dalam pasal 16 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) merupakan suatu nilai yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang membudaya dalam diri pribadi, keluarga, dan masyarakat
yang berorientasi kepada kehidupan sejahtera dengan jumlah anak ideal, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
Dalam Bab II Pasal 3 Ayat 2 UNDANG-UNDANG No. 10 1992 dinyatakan bahwa pembangunan keluarga diarahkan pada pengembangan kualitas keluarga melalui upaya KB dalam rangka membudayakan norma keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Dalam Pasal 8 Ayat 1 disebutkan bahwa pengaturan jumlah keluarga ideal, pendidikan, dan pengembangan kualitas lingkungan pemukiman merupakan kebutuhan dalam upaya pengembangan kualitas penduduk. Berdasarkan hal-hal di atas, maka membentuk keluarga kecil merupakan suatu kewajiban yang tidak terpisahkan dalam pengembangan kualitas penduduk dalam segala matranya. Peningkatan kualitas penduduk dapat diupayakan dalam peningkatan pengetahuan, perubahan sikap, dan perilaku penduduk. Jadi dengan keluarga kecil akan dapat memberik jenjang pendidikan yang lebih tinggi, meningkatkan kualitas SDM sehingga akan tercapai keluarga sejahtera yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Berdasarkan data lapangan, yakni hasil wawancara dengan responden di antaranya Ketut M, dari Dusun Gretek, Desa Sambirenteng umur 30 tahun, tamatan SD, bekerja sebagai petani, dinyatakan bahwa dia menggunakan alat kontrasepsi IUD setelah mempunyai dua orang anak dengan tujuan untuk menyetop kelahiran. Dia menggunakan alat kontrasepsi IUD sesuai anjuran bidan untuk digunakan agar permanen, karena ingin menyetop kelahiran dan membentuk keluarga kecil. Keinginan membentuk keluarga kecil ini mendapat persetujuan dari suaminya. Dia menyetop kelahiran karena ingin bekerja membantu suami sebagai petani. Dengan sedikit anak dan jarang hamil ada kesempatan untuk bekerja meningkatkan ekonomi keluarga. Dengan dua anak dia memberikan pendidikan lebih tinggi darinya yang hanya tamatan SD. Hal ini telah dapat diwujudkan karena anaknya sudah SMP dan SMA. Dengan harapan anak-anak mereka akan bisa hidup lebih baik dan mendapatkan pekerjan yang layak untuk menuju hidup bahagia sejahtera. Responden lainnya yakni Komang A, berasal dari Dusun Tegal Semaga Desa Tejakula umur 25 tahun tamatan SD bekerja sebagai ibu rumah tangga, menyatakan dia tetap menggunakan alat kontrasepsi IUD walaupun menderita efek samping berupa sakit perut bagian bawah karena alat kontrasepsinya hilang setelah diperiksa di Rumah Sakit Umum Singaraja Dia menggunakan alat kontrasepsi sejak lahir anak pertama dengan tujuan menjarangkan kelahiran. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah alat kontrasepsi suntik. Setelah anaknya berumur empat
tahun dia berhenti menggunakan alat kontrasepsi karena ingin menambah anak. Setelah lahir anak kedua dia menggunakan alat kontrasepsi IUD untuk menyetop kelahiran, karena suami bekerja sebagai tukang bangunan yang hasilnya tidak menentu. Hal ini dilakukan karena ingin membentuk keluarga kecil. Dengan keluarga kecil dia berharap dapat menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera demi masa depan anak mereka. Dia tidak berani menganjurkan suami menggunakan alat kontrasepsi walaupun dia menderita efek samping karena di desanya tidak ada suami yang menggunakian alat kontrasepsi. Faktor ideologi sebagai pendorong terjadinya hegemoni negara ini mencapai 33 persen dari responden yang diwawancarai, karena perempuan ingin jarang hamil dan melahirkan serta ingin bekerja untuk kesejahteraan keluarga juga disebabkan oleh lingkungan sosial. Oleh karena itu perempuanlah yangterhegemoni dalam menggunakan alat kontrasepsi.
Untuk menjarangkan jarak dan menyetop kelahiran anak, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan alat kontrasepsi yang disediakan oleh program KB. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tenaga medis, dr. An, Puskesmas Tejakula I ternyata di tempat prakteknya tidak disediakan alat kontrasepsi untuk laki-laki, karena tidak ada yang memintanya. Alat kontrasepsi untuk laki-laki tidak disediakan karena takut rugi, karena modal untuk itu atas biaya sendiri. Selama ini dia hanya menyediakan alat kontrasepsi yang dapat digunakan perempuan seperti : pil, suntikan dan IUD. Hal senada dikemukan oleh bidan Desa Les, Luh In, yang menyatakan, bahwa selama ini dia tidak pernah menyediakan alat kontrasepsi untuk laki-laki khususnya kondom, karena tidak ada permintaan dari calon akseptor. Di samping itu, calon akseptor yang datang ke tempat prakteknya umumnya perempuan. Alat kontrasepsi yang disediakan pil, IUD dan suntikan. Hasil wawancara dari aksptor yang bernama Luh W, berasal dari Desa Tejakula umur 30 tahun tamatan SD bekerja sebagai pedagang menyatakan, dia mengganti beberapa kali alat kontrasepsi karena ada efek samping. Walaupun demikian dia tetap menggunakan alat kontrasepsi karena dia tidak tahu bahwa ada alat kontrasepsi yang dapat digunakan oleh laki-laki. Dengan kondisi ini, maka perempuanlah yang menggunakan alat kontrasepsi atau perempuan terhegemoni untuk menggunakan alat kontrasepsi. Kondisi di atas menunjukkan pemerintah diskriminatif dalam menyediakan alat kontrasepsi antara yang digunakan
perempuan dan laki-laki. Keadaan ini seharusnya tidak perlu terjadi, karena secara normatif tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan untuk berperan dalam pembangunan yang seyogyanya diwujudkan dalam segala aspek kehidupan. Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, sebagai landasan operasional bangsa Indonesia, memberikan persamaan kedudukan, hak, kawajiban, kesempatan terhadap laki-laki dan perempuan. Demikian juga dalam menikmati hasil dari pembangunan. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, juga memberikan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri. Diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di Indonesia juga tidak boleh terjadi, karena telah menandatangani Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai konsekunsinya Indonesia wajib mengapus kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek lainnya yang berdasarkan pandangan inferior dan superior satu jenis kelamin. CEDAW juga menekankan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan permpuan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bernama Ni Ketut S, berasal dari dusun Benben Desa Sambirenteng, tamatan SMP, umur 28 tahun, bekerja sebagai pedagang kecil (warung). Dia menggunakan alat kontrasepsi sejak anak pertamanya berumur 42 hari didorong oleh faktor ekonomi. Walaupun dia menderita efek samping berupa sakit perut bagian bawah karena menggunakan alat kontrasepsi IUD. Untuk mengatasi efek samping tersebut dia mengganti dengan alat kontrasepsi suntik. Dia terus menggunakan alat kontrasepsi karena takut punya anak banyak dengan pengasilan suami sebagai petani kering untuk menekan biaya hidup sebagai keluarga kurang mampu.
Pernyataan lainnya datang dari Nyoman S, umur 32 tahun, tamatan SMA, bekerja sebagai ibu rumah tangga, istri seorang PNS (guru). Dia menggunakan alat kontrasepsi IUD untuk menyetop kelahiran setelah lahir anak ketiga. Hal ini dilakukan agar dapat menyeimbangkan penghasilan suami sebagai PNS menanggung tiga anak khususnya biaya sekolah. Hal ini dilakukan karena anak yang ditanggung pemerintah sampai tiga. Setelah menggunakan alat kontrasepsi selama dua tahun dia menderita efek samping perut bagian bawah. Untuk mengatasinya dia mengganti alat kontrasepsi dengan suntikan.
Sosialisasi Program KB di Indonesia menggunakan sistem klinik. Untuk di Bali , selain sistem klinik juga menggunakan sistem banjar. Penggunaan pendekatan dua sistem ini sesuai dengan pendapat (Calwell, 1976) yang menyatakan bahwa, dalam usaha pengembangan program KB cara yang perlu dilakukan adalah pendekatan rasional dan sosiokultural. Pendekatan rasional yakni penyediaan pelayanan yang akan dikunjungi oleh PUS. Oleh karena itu perlu memperbanyak klinik, petugas dan penyediaan alat kontrasepsi. Pendekatan sosio-kultural, menyangkut aspek-aspek motivasi yang didasari atas asumsi bahwa penduduk harus diberikan motivasi sebelum mereka bersedia memanfaatkan pelayanan yang tersedia. Hal ini telah dilakukan di daerah penelitian terbukti dari tersedianya pelayanan sampai ke tingkat desa seperti bidan desa yang melayani masalah KB selain tugasnya melayani kesehatan masyarakat secara umum. Motivasi juga telah dilakukan melalui banjar di mana Kelian Banjar sebagai motivator dalam rapat bersama Pelaksana Lapangan Keluarga Berencana Desa (PLKBD) sekaligus bertanggung jawab atas keberhasilan program. Mereka mendatangi rumah-PUS yang belum menggunakan alat kontrasepsi sesuai dengan data di banjar, namun sudah memiliki anak 2-3 untuk dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini dilakukan secara terus-menerus sampai berhasil dalam hal mengantisipasi meledaknya pertambahan penduduk dan berhasil mencapai target yang ditetapkan.
Tempat yang digunakan memotivasi perempuan untuk menggunakan alat kontrasepsi adalah di klinik/Puskesmas pada saat melahirkan atau memeriksakan kandungan. Walaupun diantar suami, namun tidak pernah dilibatkan dalam menggunakan alat kontrasepsi ditambah tidak tersedianya alat kontrasepsi yang dapat digunakan oleh laki-laki/suami. Demikian juga halnya pada praktek dokter dan bidan-desa. Banjar yang digunakan memotivasi menggunakan alat kontrasepsi dilakukan oleh tenaga medis dan Petugas Lapangan Program Keluarga Berencana (PLKB) diteruskan kepada istri. Informasi tentang program KB yang diterima istri di rumah tentang efek samping dan alat kontrasepsi yang disediakan dan cara menggunakan umumnya tidak lengkap. Berdasarkan keadaan tersebut perempuan tergiring menggunakan alat kontrasepsi atau terhegemoni menggunakan alat kontrasepsi dan secara halus petugas dapat mempengaruhi calon akseptor untuk menerima dan melaksanakan program KB.
Hal tersebut dapat disimak dari penuturan responden sebagai akseptor bernama Ni Ketut N, dari Dusun Penyumbahan Desa Les, tamatan SD bekerja sebagai pedagang. Dia mengetahui alat kontrasepsi dari suaminya yang didengar pada saat ada rapat banjar yang diisi dengan penyuluhan tentang alat kontrasepsi yang diberikan oleh bidan dan PLKB. Berdasarkan informasi dari suami dia datang ke bidan desa untuk memasang alat kontrasepsi. Alat kontrasepsi disediakan di bidan desa, Puskesmas dan praktek dokter termasuk pemasangannya. Tentang alat kontrasepsi untuk laki-laki tidak diberitahukan kepadanya, sehingga dia yang harus menggunakan alat kontrasepsi dalam mencegah dan menyetop kelahiran. Dia menggunakan alat kontrasepsi atas inisiatifnya sendiri. Bidan hanya menyediakan alat kontrasepsi IUD, Pil dan Suntik. Oleh karena itu dia memilih IUD agar permanen sesuai dengan anjuran bidan. Setelah menggunakan alat kontrasepsi selama tiga tahun dia menderita efek samping tidak pernah menstruasi. Untuk mengatasinya dia menggunakan alat kontrasepsi suntik. Walaupun menggunakan alat kontrasepsi suntik dia juga mengalami efek samping berupa telat menstruasi. Walaupun demikian dia tetap menggunakan alat kontrasepsi untuk menyetop kelahiran karena tidak tahu ada alat kontrasepsi untuk laki-laki untuk menghindari penggunaan alat kontrasepsi pada dirinya, karena tidak diberitahu baik oleh suami maupun bidan.
Untuk memperjelas keterangan di atas,dapat disimak dari penuturan seorang informan sebagai Kelian Dusun Desa Les I Gede Artha, umur 60 tahun, bekerja sebagai petani. Dia menyatakan, bahwa dalam sosialisasi program KB di banjar/dusun kondom jarang dibicarakan. Alat kontrasepsi yang dibicarakan seperti pil, suntik dan IUD. Sosialisasi dilakukan oleh dokter Puskesmas setiap tanggal 10 setiap bulan. Yang mengadiri sosialisasi hanya suami. Perempuan/istri tidak dilibatkan. Sehingga pengetahuan istri terhadap program KB diterima dari suami.
Berdasarkan paparan di atas, istri tidak mendengarkan secara langsung sosialisasi tentang KB di banjar. Sedangkan di Puskesmas, bidan dan dokter praktek juga tidak melibatkan suami walaupun suami ikut namun hanya sebagai pengantar saja. Oleh karena itu perempuan terhegemoni karena lokasi sosialisasi program KB yang memberikan peluang.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah/negara umumnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, masyarakat dan bangsa. Program diterapkan mulai
dari tingkat keluarga, karena keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, dan bangsa. Apabila kesejahteraan sudah dinikmati oleh setiap keluarga, maka secara otomatis kesejahteraan juga akan dicapai oleh bangsa. Oleh karena itu pengendalian pertumbuhan penduduk juga dimulai dari tingkat keluarga dengan mengeluarkan kebijakan pengendalian penduduk melalui program KB yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Program merupakan produk pemerintah dilaksanakan oleh aparat pemerintah yang ditunjuk dan melibatkan masyarakat desa serta pemukanya. Hal ini menambah keyakinan dan kepercayaan dan legalnya suatu program dalam arti masyarakat akan menaati dan melaksanakannya karena mereka menganggap hal yang wajib dilaksanakan serta menunjukkan diri sebagai warga yang baik. Ketaat terhadap program berkaitan juga taat terhadap pemerintah. Ketaatan terhadap pemerintah di Bali ada kaitannya dengan ajaran Catur Guru yang dipercaya dalam agama Hindu di mana pemerintah merupakan Guru Wisesa. Sehubungan dengan penelitian ini masyarakat mentaati program sebagai mentaati Guru Wisesa yang mendatangkan pahala yang baik. Bahkan apabila tidak taat kepada guru wisesa adalah suatu perbuatan tercela yang disebut alpaka guru.
Berkaitan dengan hal di atas, dapat disimak dari penuturan dari responden Luh P, dari Dusun Kanginan Desa Les, umur 35 tahun, tamatan SMP, bekerja sebagai petani. Dia mengatakan dia ikut program KB di samping untuk menyetop kelahiran juga untuk hormat dan berbakti kepada pemerintah dengan jalan menaati program atau kebijakannya untuk mencapai tujuan bersama. Pernyataan tentang ketaatan dalam menjalankan program KB juga datang dari Camat Tejakula, bahwa petugas sangat antusias melaksanakan program KB dan memantau scara terus menerus, sebagai rasa bakti dan tanggung jawab terhadap program KB sebagai kebijakan pemerintah yang bertujuan baik yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terbukti di Kecamatan Tejakula program sistem banjar masih lancar dan program berhasil meningkatkan kesejahteraan. Dewasa ini rata-rata dalam keluarga 2-3 anak dan tingkat pendidikan rata-tata SMP meningkat dari orang tuanya yang tidak tamat SD.
SIMPULAN
Faktor-faktor pendorong terjadinya hegemoni negara terhadap perempuan dalam pelaksanaan program KB adalah faktor-faktor sebagai berikut.
Faktor ideologi yakni dengan diciptakan slogan “dua anak cukup laki perempuan sama” secara ekonomis menguntungkan sehingga perempuan terdorong untuk mengikuti program, karena dapat meringankan beban mengasuh anak dan jarang hamil.
Faktor penyediaan alat kontrasepsi dimana dalam pelaksanaan program KB sejak awal alat kontrasepsi dibuat yang dapat digunakan oleh perempuan. Demikian juga dalam penyediaan alat kontrasepsi di pratek bidan, dokter dan Puskesmas hanya menyediakan alat kontrasepsi untuk perempuan. Faktor ekonomi dapat dikatakan bahwa perempuan menggunakan alat kontrasepsi karena ketidakmampuannya menanggung biaya hidup rumah tangga dengan banyak anak khususnya di bidang pendidikan.
Faktor lokasi sosialisasi program, bahwa program disosialisasikan di klinik.Puskesmas bidan desa dan praktek dokter pada saat calon akseptor periksa kehamilan dan pada saat melahirkkan diberikan arahan oleh tenaga medis agar menggunakan alat kontrasepsi setelah bayi berumur 42 hari bagi yang ingin menjarangkan kelahiran dan untuk menyetop kehamilan bagi yang sudah mempunyai 2-3 anak. Selain itu program disosialisasikan di banjar yang dihadiri oleh suami sebagi anggota banjar tanpa melibatkan istri. Dengan demikian istri mendapat informasi dari suami yang tidak utuh.
Faktor kebijaksanaan pemerintah dianggap wajib untuk dilaksanakan dan ditaati sebagai warga negara yang baik, sehingga perempuan malaksanakan program KB di samping untuk mengatur kelahiran juga melaksanakan bakti kepada negara dengan melaksanakan kebijaksanaan untuk mencapai kesuksesan.
SARAN
Berdasarkan simpulan di atas, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut.
Program KB adalah program yang berwawasan gender, artinya program telah memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam berpartisipasi dalam program yang diwujudkan dengan menyediakan alat kontrasepsi yang dapat digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam menggunakan alat kontrasepsi hendaknya dalam pelaksanaan progam KB hendaknya penyediaan alat kontrasepsi disediakan baik yang dapat digunakan oleh laki-laki dan perempuan baik jenis dan jumlah juga sosialisasi dilaksanakan secara setara agar ada pilihan
dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga dan menghindarkan perempuan dari hegemoni negara.
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra. 1994. Pengaruh Hukum Adat dan Program Keluarga Berencana Terhadap Nilai Anak Laki-Laki dan Perempuan Pada Masyarakat Bali yang Berubah ( Studi kasus di Desa Marga, kecamatan Baturiti, Tabanan, Bali ), Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bandung.
Calwell, John. 1987. Beban Ekonomi Anak. DavidLucas dkk (ed) : “Pengantar Kependudukan”, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Foulcult, Michel. 2003. Power/Knowledge. ( Terjemahan ). Yogyakarta : Bentang Budaya.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial Upaya Merntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta : Qolam.
Gramsci, Antonio. 1976. Selection From The Note Hoare and Nowell Smith (ed). New York : International Publishers.
Hendarto, Heru. 1993. “Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci”, Tim Redaksi Dwiyakara (ed). Dircus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Lawson, Stehanie. 1991. Same Conseptual and Empiricalssues in the Studyof Regime Change. Canberra : Departement of Political and Social Change, The Australian National University.
Magnis Suseno, Franz. 1988. Etika Politik : Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta : P.T. Gramedia.
Mamas. 1988. “Penurunan Tingkat Kelahiran di Indonesia dan KEcenderungannya di Masa Datang”. Prisma, Nomor 3 Tahun XVII, tahun 1988.
Sciortino, Rosalia. 1999. Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Singarimbun, Masri. 1996. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES (Lembaga Penelitian Kependudukan dan Penerangan Ekonomi Sosial).
Stratfield, Kim. 1986. Fertilita Decline Traditional Society. Canberra : The Australian National.
Wardana. 1993. Fertilitas & Kontraspsidi Jawa dan Bali Serta Struktur Rumah Tangga di Indonesia. Bali : Balai DiklatKBN Propinsi Bali.
17
Discussion and feedback