PROFIL LANSIA DI BALI DAN KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN (Deskripsi berdasarkan hasil Supas 2005 dan Sakernas 2007)

Oleh

Nyoman Dayuh Rimbawan

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar

Abstract

Discussions about lansia have been increasingly important due to the increasing numbers of them. This is enabled by the improvement of economic and social condition of the society. Lansia is different from other group of people mainly in terms of health and needs aspects.

During 1990-2000, lansia has grown 1,8% averagely and during 2000-2005 the growth has increased to 2,4% to form more than 311.000 people (9,2 % of population).

Description of lansia in Bali is done based on data of Population Census, Supas, and Sakernas. The result shows that most of them are not cost of development, in fact, they are development assets. This can be seen from several indicators, like (1) more than 80% of lansia has “good” and “fair” health condition; (2) almost 80% of lansia do not need assistance in doing activities; (3) unemployment rate of lansia is very low (<1,0%). Sixty percent of working lansia are employed in agriculture sector, and the rest are in trading, hotel& restaurant, and manufacturing industry respectively.

Keywords: health, employment, unemployment, and underemployement.

Pendahuluan

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memperkirakan tahun 2025, lebih dari seperlima penduduk Indonesia tergolong lanjut usia (lansia), yaitu penduduk umur 60 tahun atau lebih. BPS memperkirakan hampir 60 persen lansia di Indonesia tergolong miskin, dan merupakan 27 persen dari total penduduk miskin. Di samping itu, rata-rata pendidikan lansia di Indonesia hanya Sekolah Dasar tanpa memiliki pekerjaan tetap. Jumlah lansia yang relatif banyak ini jangan sampai menjadi beban pembangunan tetapi hendaknya menjadi aset pembangunan.

Wakil presiden Jusuf Kala dalam satu kesempatan meminta agar Departemen

Sosial mengubah konsep program sosial untuk lansia dari pendekatan bantuan menjadi pendekatan penghormatan (TEMPO Interaktif: 21 Juni 2007). Selanjutnya, wapres mengatakan penduduk yang memasuki usia pensiun dibuatkan program agar mereka dapat menyalurkan pengalaman dan keahliannya. Program Sosial harus disesuaikan dengan budaya Indonesia yang menghormati orang tua dan senang berkumpul dengan keluarganya. Penduduk lansia harus disalurkan berdasarkan

potensinya. Lansia tidak boleh dianggap sebagai orang yang lemah dan harus dibantu.

Dalam usaha menjadikan lansia sebagai aset pembangunan, pemahaman yang mendalam dari berbagai aspek yang berkaitan dengan lansia menjadi sangat penting. Pemahaman ini diperlukan mengingat para lansia mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda dengan penduduk pada umumnya. Umumnya, lansia mengalami penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Kuntjoro: 2002). Keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Selanjutnya, Kuntjoro menyebutkan ada lima faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa lansia, yaitu (a) penurunan kondisi fisik, (b) penurunan fungsi dan potensi seksual, (c) perubahan aspek psikososial, (d) perubahan berkaitan dengan pekerjaan, dan (e) perubahan dalam peran sosial di masyarakat. Jika masalah-masalah ini tidak ditangani secara baik, lansia akan menjadi beban pembangunan, bukan aset pembangunan.

Tulisan berikut akan menguraikan profil sosial-demografi lansia di Bali. Pemahaman mengenai profil ini dapat dipakai sebagai salah satu indikator apakah para lansia di Bali cenderung sebagai aset atau beban pembangunan. Data statistik yang dipakai acuan adalah hasil Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional ), SP (Sensus Penduduk), dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus).

Perkembangan dan Karakteristik Lansia di Bali

Menurut hasil SP 1990, jumlah lansia di Bali mencapai lebih dari 230.000 orang atau 8,3 persen dari total penduduk Bali. Tahun 2000 meningkat menjadi lebih dari 275.000 orang (7,2% dari jumlah penduduk) dan tahun 2005 bertambah lagi menjadi hampir 312.000 orang (9,2% dari jumlah penduduk). Hal itu berarti bahwa selama periode 1990 – 2000 jumlah lansia di Bali tumbuh rata-rata 1,8% per tahun dan periode 2000 – 2005 pertumbuhannya meningkat menjadi rata-rata 2,4%. Kemudian, tahun 2015 jumlahnya diperkirakan meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 1990 sehingga menjadi lebih dari 432.000 orang (11,4 persen). Bertambahnya jumlah lansia seiring dengan makin membaiknya taraf social-ekonomi masyarakat sehingga bermuara pada meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Tahun 2000 usia

harapan hidup penduduk Bali adalah 68,1 tahun dan tahun 2006 meningkat menjadi sekitar 70,5 tahun. Angka ini jauh diatas angka nasional yaitu 66,2 tahun.

Seperti disebutkan sebelumnya lansia secara umum mempunyai karakteristik yang berbeda dengan penduduk yang lainnya, terutama dilihat dari aspek kesehatan. Dengan demikian, dengan makin banyaknya jumlah lansia menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan pelayanan kesehatan khusus yang berkaitan dengan kesehatan lansia. Umumnya lansia mengalami penurunan kondisi fisik psikologis maupun social yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal ini berpotensi meninmbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus kepada lansia. Seberapa jauh hal ini berimplikasi pada lansia di Bali, sangat tergantung pada karakteristik social-demografis mereka. Beberapa karakteristik penting yang berpengaruh atau berkaitan dengan kesehatan lansia adalah status perkawinan, status kegiatan, sumber pendapatan dan perlu tidaknya bantuan dalam berkegiatan.

Karakteristik Demografis Lansia

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia di Bali tinggal di daerah pedesaan. Akan tetapi, jika dilihat menurut jenis kelamin, jumlah lansia perempuan sedikit lebih banyak dibandingkan dengan yang laki-laki. Perbedaannya relatif kecil yaitu hanya 2,5 persen poin. Tabel yang sama juga menunjukkan bahwa status perkawinan lansia baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan polanya relatif sama. Lebih dari 65% lansia masih berstatus kawin, kemudian proporsi besar kedua yaitu sekitar 27% berstatus cerai mati, kemudian disusul oleh yang belum kawin (sedikit diatas 4%) dan cerai hidup (hampir 2%). Jika status perkawinan lansia dilihat dari jenis kelamin ternyata polanya berbeda. Lansia yang berstatus kawin lebih banyak pada laki-laki, sedangkan untuk status yang lain terjadi keadaan sebaliknya. Perbedaan yang menonjol terjadi pada status cerai mati, dimana selisih angkanya mencapai 25,4 persen point. Ini menunjukkan bahwa pasangan suami istri yang lebih awal meninggal adalah yang laki-laki. Padahal secara umum dalam satu rumah tangga yang bertindak sebagai kepala keluarga dan sekaligus juga sebagai penopang ekonomi keluarga adalah pihak suami. Kondisi seperti ini dapat

mempercepat munculnya masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa khususnya bagi lansia perempuan cerai mati.

Tabel 1. Distribusi persentase lansia menurut status perkawinan, Bali, Supas 2005.

Status perkawinan

Tempat tinggal

Jenis kelamin

JUMLAH

Perkotaan

Pedesaan

Laki-laki

Perempuan

Belum kawin

4,02

4,41

2,60

5,81

4,24

Kawin

67,13

67,18

82,47

52,58

67,16

Cerai hidup

1,74

1,95

1,18

2,50

1,86

Cerai mati

27,09

26,44

13,73

39,09

26,73

%

TOTAL

Orang

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

132.514 (42,55%)

178.920 (57,45%)

151.892 (48,77%)

159.542 (51,23%)

311.434 (100,00)

Karakteristik demografi kedua lansia adalah satatusnya dalam rumah tangga. Status ini sangat penting dalam kaitan pengakuan terhadap lansia itu sendiri paling tidak oleh keluarga dekatnya. Pengakuan status adalah merupakan salah satu penghargaan terhadap lansia. Dengan menghargai lansia berarti mereka merasa masih diperlukan, sehingga hidupnya dirasakan menjadi lebih berarti. Kondisi ini dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan lansia itu sendiri sehingga dapat mencegah/mengurangi kemungkinan menurunnya gangguan kesehatan fisik ataupun jiwa mereka. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, hampir 40% lansia masih berstatus sebagai kepala keluarga. Yang berstatus hanya sebagai orang tua/ mertua proporsinya menempati urutan besar kedua, yaitu sekitar 36 %. Berarti kelompok yang terakhir ini adalah lansia yang hidup bersama dengan anak atau menantunya. Jadi yang bertindak sebagai kepala keluarga adalah anak atau menantunya. Dengan posisi seperti ini jelas peran lansia dalam pengelolaan rumah tangga relative kecil dan malahan tidak tertutup kemungkinan terjadi friksi dengan anak dan atau menantunya. Jika hal ini yang terjadi dapat mengakibatkan lansia akan tertekan dan dalam jangka panjang dapat menurunkan kesehatan jiwa mereka. Status lansia dalam hubungannya dengan kepala rumah tangga berbeda antara daerah pedesaan dengan perkotaan. Diperkotaan lansia yang statusnya hanya sebagai orang tua/mertua lebih banyak dibandingkan dengan sebagai kepala rumah tangga. Sedangkan di pedesaan menunjukkan keadaan sebaliknya. Hal itu berarti ada

kemungkinan lansia di perkotaan lebih banyak yang berpotensi mengalami tekanan kejiwaan/depresi.

Tabel 2. Distribusi persentase lansia menurut hubungannya dengan kepala rumah tangga, Bali, Supas 2005

Hubungan dengan kepala rumah tangga

Tempat tinggal

Jumlah

Perkotaan

Pedesaan

Kepala rumah tangga

36,50

42,25

38,84

Istri/Suami

15,19

18,60

17,15

Anak

0,23

0,05

0,13

Menantu

0,00

0,00

0,00

Cucu

0,00

0,00

0,00

Orang tua/mertua

39,86

33,50

36,21

Famili lain

7,88

6,69

7,20

Pembantu rumah tangga

0,11

0,00

0,04

Lainnya

0,24

0,58

0,43

%

TOTAL

Orang

100,00

100,0

100,00

132.514

178.920

311.434

Kondisi Kesehatan Lansia

Dalam Supas, kondisi kesehatan lansia digolongkan menjadi tiga, yaitu (a) baik, (b) cukup, dan (c) kurang. Ukuran dari ketiga kriteria tersebut sepenuhnya menurut perasaan/persepsi lansia pada saat wawancara dilakukan. Kondisi kesehatan lansia di Bali disajikan pada Tabel 3. Dari tabel itu terlihat bahwa kondisi kesehatan lansia laki-laki dan perempuan yang tergolong “kurang” proporsinya relative sama yaitu hanya sekitar 16%. Akan tetapi, yang tergolong “baik” dan “sedang” sedikit berbeda. Kondisi kesehatan lansia laki-laki yang tergolong “baik” proporsinya lebih banyak dibandingkan yang perempuan. Sedangkan untuk katagori kesehatan “sedang” menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Hal itu berarti bahwa kondisi kesehatan lansia laki-laki relatif lebih baik dibandingkan dengan rekannya yang perempuan.

Tabel 3 juga menunjukkan variasi kesehatan lansia antar kabupaten/kota di Bali. Lansia laki-laki yang kondisi kesehatannya tergolong “kurang” proporsinya relatif tinggi terdapat di Kabupaten Gianyar dan Karangasem. Sedangkan untuk lansia perempuan juga terdapat di dua kabupaten yaitu Buleleng dan Gianyar. Kabupaten/kota tempat jumlah lansia laki-laki ataupun perempuan dengan kondisi

kesehatan “kurang” proporsinya relatif kecil terjadi di tiga daerah yaitu Tabanan, Badung dan Denpasar. Kondisi kesehatan lansia tampaknya tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan pendapatan per kapita penduduk setempat. Seperti diketahui tiga daerah tersebut tahun 2005 misalnya, tingkat pendapatan per kapitanya menempati urutan besar pertama dan kedua, kecuali Tabanan berada pada rangking enam dari sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali. Hal itu berarti kondisi kesehatan khususnya lansia tidak semata-mata berkaitan dengan aspek ekonomi (pendapatan per kapita). Masih banyak kiranya faktor lain seperti status perkawinan, status kegiatan, posisi dalam rumah tangga, perasaan merasa dihargai dan lain-lainnya yang berhubungan dengan kesehatan lansia.

Tabel 3. Distribusi persentase lansia menurut kondisi kesehatan per kabupaten/kota, Bali, Supas 2005

Kabupaten/Kota

Laki-Laki

Jumlah

Perempuan

Jumlah

Baik

Cukup

Kurang

%

Orang

Baik

Cukup

Kurang

%

Orang

Jemberana

39,6

44,0

16,3

100,0

9.199

35,8

53,5

10,7

100,0

12.050

Tabanan

38,4

50,7

11,0

100,0

26.044

24,5

67,4

8,0

100,0

26.451

Badung

60,2

27,4

12,4

100,0

14.133

59,8

36,7

3,4

100,0

13.947

Gianyar

46,9

28,5

24,5

100,0

20.400

30,6

48,2

21,2

100,0

21.991

Klungkung

42,4

43,0

14,6

100,0

7.957

33,5

49,2

17,2

100,0

9.783

Bangli

47,8

34,5

17,6

100,0

11.156

34,7

46,6

18,7

100,0

10.567

Karangasem

45,1

41,4

22,7

100,0

18.786

51,0

35,6

13,4

100,0

17.572

Buleleng

33,2

47,8

18,9

100,0

32.026

35,0

37,1

27,9

100,0

32.601

Denpasar

63,2

23,3

13,4

100,0

12.191

47,5

39,7

12,8

100,0

14.580

BALI

44,3

39,6

16,1

100,0

151.892

37,7

46,3

16,0

100,0

159.542

Seperti yg disajikan pada Tabel 3, lebih dari 80% lansia baik laki-laki ataupun perempuan kondisi kesehatannya tergolong “baik” dan “cukup”. Kondisi seperti ini berimplikasi positif pada kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas rutin sehari-hari. Data pada Tabel 4 menunjukkan lebih dari 77% lansia tidak memerlukan bantuan dalam melakukan aktivitasnya. Ini berarti yang masih memerlukan bantuan sekitar 23%. Jenis bantuan dikelompokkan menjadi lima yaitu: (a) pada saat lansia berpakaian, (b) buang air besar/kecil, (c) Mandi, (d) Makan/minum, dan (e) menyiapkan makan. Dari lima jenis bantuan tsb proporsi terbesar (sekitar 10%) diperlukan pada saat lansia menyiapkan makanan. Untuk empat bantuan yang lain proporsinya masing-masing

kurang dari empat persen. Jika dilihat menurut kabupaten polanya berbeda. Kabupaten dimana lansianya relative banyak memerlukan bantuan terjadi di Jembrana dan Gianyar (masing-masing lebih dari 30%). Bantuan yang paling banyak diperlukan sama diantara kabupaten/kota yaitu dalam hal menyiapkan makan. Proporsinya bervariasi antara 5-17%.

Tabel 4. Distribusi persentase lansia laki-laki dan perempuan menurut memerlukan bantuan orang lain dalam berkegiatan, Bali, Supas 2005

KABUPATEN/ KOTA

Tidak perlu bantuan

MEMERLUKAN BANTUAN DALAM:

JUMLAH (%)

Berpakaian

Buang air besar/ Kecil

Mandi

Makan/ Minum

Menyiapkan makan

Jemberana

69,8

3,0

2,7

3,5

4,0

16,9

100,0

Tabanan

79,0

2,3

2,3

2,6

3,0

10,8

100,0

Badung

82,2

2,3

2,3

3,3

2,4

7,5

100,0

Gianyar

69,2

4,5

4,8

5,7

5,1

10,6

100,0

Klungkung

75,2

1,9

2,3

3,0

3,3

14,3

100,0

Bangli

73,5

3,9

2,9

3,5

4,0

12,2

100,0

Karangasem

87,9

1,2

1,2

2,1

2,0

5,6

100,0

Buleleng

76,5

3,2

3,0

3,2

3,4

10,5

100,0

Denpasar

86,2

1,7

1,1

1,1

3,5

6,4

100,0

BALI

77,6

2,8

2,7

3,2

3,4

10,2

100,0

Secara keseluruhan data pada Tabel 3 dan 4 cukup konsisten. Artinya proporsi antara lansia dengan kondisi kesehatan “baik” dan “cukup” proporsinya hampir berimbang dengan lansia yang dalam kesehariannya tidak memerlukan bantuan dalam melakukan aktivitas rutin. Ini berarti lansia yang masih perlu dibantu umumnya adalah mereka yang kondisi kesehatannya tergolong “kurang”. Seperti diketahui kelompok yang terakhir ini jumlanya hanya sekitar 16% dari semua lansia. Dilihat dari sisi kondisi kesehatan dan bantuan dalam berkegiatan, mayoritas lansia di Bali tidak merupakan beban pembangunan. Untuk lebih memperjelas hal ini perlu dilihat lebih jauh status kegiatan lansia itu sendiri. Status kegiatan yang dimaksud berkaitan dengan apakah lansia tersebut bekerja atau tidak bekerja.

Status Kegiatan Lansia

Menurut hasil Sakernas 2007 jumlah lansia di Bali sekitar 336.000 orang. Pada tahun yang sama jumlah penduduk usia kerja (umur 15 tahun atau lebih) lebih dari 2,5 juta orang. Hal itu berarti bawa jumlah lansia adalah 12,6% dari penduduk usia kerja. Selanjutnya, penduduk usia kerja dapat dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Kemudian angkatan kerja ada yang berstatus bekerja dan tidak bekerja (menganggur). Sedangkan kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari mereka yang hanya mengurus rumah tangga, sekolah , dan penduduk yg sudah tidak bisa melakukan kegiatan karena sakit, usia lanjut, cacat jasmani ataupun cacat mental.

Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran angkatan kerja lansia sangat rendah yaitu hanya 0,27%. Tetapi ini tidak berarti mencerminkan rendahnya beban (dependency ratio) para lansia yang berstatus bekerja. Hal ini disebabkan karena lansia ada yang berstatus sebagai angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, perbandingan antara lansia angkatan kerja dan bukan angkatan kerja adalah 56% berbanding 54%. Jadi jumlah yang 54% (setara dengan 146.315 orang) adalah lansia yang bukan tergolong angkatan kerja sehingga otomatis yang bersangkutan bukan sebagai pekerja yang bertujuan untuk memperoleh pendapatan. Sehingga kelompok lansia yang terakhir ini tetap menjadi beban baik bagi pekerja lansia ataupun non-lansia.

Tabel 5. Jumlah lansia dilihat dari beberapa aspek ketenagakerjaan, Bali, Sakernas 2007

KETENAGAKERJAAN

JUMLAH

KOTA + DESA

PERKOTAAN

PEDESAAN

1. Jumlah lansia (orang):

123.368

212.635

336.003

a. Bukan angkatan kerja lansia (orang)

60.298

86.017

146.315

b. Angkatan kerja lansia (orang)

63.070

126.618

189.688

2. Angkatan kerja lansia bekerja (orang):

62.957

126.211

189.168

3. Angkatan kerja lansia menganggur

113

407

520

(orang)

4. Tingkat pengangguran lansia (%)

0,18

0,32

0,27

Lansia yang berstatus bekerja terserap pada berbagai lapangan pekerjaan.

Proporsi terbesar yaitu hampir 68% berada pada Lapangan Usaha Pertanian. Kemudian disusul berturut-turut pada Lapangan Usaha Perdagangan, Hotel&Restoran

dan Industri Pengolahan masing-masing 15,2% dan 9,2% (Tabel 6). Jika dilihat menurut desa-kota tiga lapangan usaha diatas tetap perannya sebagai tiga besar dalam penyerapan pekerja lansia. Tetapi perbedaannya di pedesaan lebih banyak pekerja lansia yang terserap pada Lapangan Usaha Pertanian. Sedangkan di perkotaan pekerja lansia lebih banyak terserap pada Lapangan Usaha Industri Pengolahan dan Perdagangan, Hotel & Restoran. Ini berarti terjadi perbedaan pola lapangan pekerjaan antara lansia yang tinggal di perkotaan dan di pedesaan. Di pedesaan cendrung orientasinya pada Sektor Primer, sedangkan di perkotaan pada Sektor Skunder dan Tertier. Umumnya tringkat penghsailan pekerja di Sektor Primer lebih rendah dibandingkan dua sector yang lainnya. Mengingat jumlah pekerja lansia yang tinggal di pedesaan dua kali lipat dari yang tinggal di perkotaan, ini berarti dari semua pekerja lansia lebih banyak dari mereka berpenghasilan relative rendah. Faktor lain yang diperkirakan berpengaruh terhadap relative rendahnya pendapatan sebagian besar pekerja lansia adalah lamanya jam kerja mereka. Hampir 45% pekerja lansia tergolong under-employeed, yaitu mereka yang bekerja kurang dari jam kerja normal (kurang dari35 jam per minggu). Biasanya lama jam kerja berbanding lurus dengan penghasilan yang diterima. Artinya makin panjang jam kerja seseorang, makin banyak penghasilan yang diterimanya. Demikian pula sebaliknya Jika jam kerjanya makin pendek, makin rendah penghasilan yang diperolehnya.

Tabel 6. Distribusi persentase lansia menurut lapangan pekerjaan utama, Bali, Sakernas 2007

LAPANGAN USAHA

JUMLAH (%)

KOTA + DESA

PERKOTAAN

PEDESAAN

Pertanian (dalam arti luas)

46,8

78,4

67,9

Industri pengolahan

13,5

7,0

9,2

Perdagangan, Hotel & restoran

25,5

10,1

15,2

Jasa kemasyarakatan

7,9

2,2

4,1

Lainnya (Pertambangan, galian, gas&air, Bangunan, Angkutan, Keuangan dll)

6,3

2,3

3,6

TOTAL    %

orang

100,0

100,0

100,0

62.957

126.211

189.168

Faktor ketiga yang berkaitan dengan relative rendahnya penghasilan pekerja

lansia adalah tingkat pendidikan mereka. Sekitar 84% pekerja lansia hanya

berpendidikan tamat SD atau di bawahnya. Sisanya proporsinya makin rendah untuk jenjang pendidikan yang semakin tinggi. Malahan yang berpendidikan tinggi (Diploma dan sarjana) kurang dari 1%.

Penutup

Meningkatnya angka harapan hidup penduduk merupakan satu indikator makro berhasilnya pembangunan dibidang kesehatan. Dalam kurun waktu 2000 – 2006, angka harapan hidup penduduk Bali meningkat dari 68,1 tahun menjadi 70,5 tahun. Meningkatnya angka harapan hidup ini identik dengan makin banyaknya penduduk yang tergolong lansia. Seperti diketahui penduduk lansia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan penduduk umumnya. Ada kesan bahwa lansia tidak produktif dan menjadi beban masyarakat. Stigma (kesan buruk) seperti tersebut diatas untuk lansia di Bali nampaknya tidak sepenuhnya tepat.

Dari aspek kesehatan hanya sekitar 16% lansia di Bali kesehatannya tergolong “kurang”. Selebihnya termasuk “baik” atau “cukup”. Kondisi ini berimplikasi pada kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas rutinnya. Hampir 80% lansia tidak memerlukan bantuan dalam mereka berkegiatan. Bagi mereka yang memerlukan bantuan, bantuan yang banyak diperlukan lansia adalah menyiapkan makanan.

Dari status kegiatan, hampir semua angkatan kerja lansia berstatus bekerja dan yang menganggur hanya 0,27%. Justru yang relative banyak adalah pekerja lansia yang tergolong under-employeed. Jumlahnya mencapai 45% (setara 84.094 orang). Tetapi dari jumlah ini yang tergolong sebagai setengah pengangguran sukarela (parttime worker) sebanyak 85%. Sisanya adalah setengah pengangguran terpaksa, yaitu lansia yang bekerja dibawah jam kerja normal (<35 jam per minggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan.

Melihat beberapa karakteristik social ekonomi lansia seperti disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa lansia di Bali lebih banyak berfungsi sebagai asset pembangunan. Kebanyakan diantara mereka mempunyai pekerjaan dengan kondisi kesehatan tergolong baik dan cukup. Tahun 2005 memang tercatat jumlah lansia yang berumur 75 tahun keatas sebanyak 65.579 orang (sekitar 22% dari total lansia). Kelompok ini tampaknya perlu mendapat perhatian khusus, karena diperkirakan mereka sudah mengalami penurunan kesehatan yang cukup berarti.Lebih-lebih bagi

mereka yang tidak lagi mempunyai sanak keluarga , maka peran dari Panti Werdha menjadi sangat penting.

Daftar Pustaka

-----------------------------------, 2008, Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Bali, Agustus 2005, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

-----------------------------------, 2006, Penduduk ProvinsiBali, Series: S1.17, Hasil Survei Antar Sensus 2005, Badan Pusat Statisti, Jakarta.

-----------------------------------, 1992, Penduduk Bali, Hasil Sensus Penduduk 1990, Biro Pusat Statistik, Jakarta.

-----------------------------------, 2002, Penduduk Bali, Hasil Sensus Penduduk 2000, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

----------------------------------, 2007, Indeks Pembanguan Manusia (IPM), Gini Ratio dan Distribusi Pendapatan Bali 2006, Bappeda Provinsi Bali kerjasama dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Denpasar.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/11/12/brk,20071112-111401.id.html

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/06/21/brk,20070621-102345,id.html

http://www.menkokesra.go.id/content/view/2933/98/

http://www.e-psikologi.com/usia/020402.htm

http://www.e-psikologi.com/usia/160402.htm

11