PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO SEBAGAI WILAYAH PINGGIRAN KOTA METROPOLITAN SURABAYA DAN MOBILITAS PENDUDUK
on
PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO SEBAGAI WILAYAH PINGGIRAN KOTA METROPOLITAN SURABAYA DAN MOBILITAS PENDUDUK
I Nyoman Adika
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya
Abstract
The physical and functional development restructuring program in Surabaya due to space limitation has caused a development overflowing beyond the city toward Surabaya-Malang corridor. One of regions in that corridor is Sidoarjo Regency. The increase of economic activities due to the development overflowing to Sidoarjo comes together with the raise of labor mobility to the region.
Related to the problem mentioned before, this research aims to (1) analyze physical and functional development growth and its distribution in Sidoarjo Regency during the last decade as the impact of internal restructuring program in Surabaya; (2) analyze the role of Sidoarjo Regency in endeavoring to stabilize environment of Surabaya City; (3) analyze the impact of physical and functional development in Sidoarjo Regency on the inflow of formal and informal sectors labors and to identify their origins; and (4) identify factors causing informal sector labor migrant tend to choose Sidoarjo Regency as a place to earn living as well as the mobility pattern, and to what extent Sidoarjo Regency can serve as a stepping stone for them to initiate their businesses.
The results show that (1) the pro natal population policy held by Old Order Government has increased birth numbers and pushed population growth dramatically; (2) capital investment during the New Order that tend to be concentrated in big cities, like Jakarta and Surabaya has caused huge people mobility to the cities. This inflow of low skilled and educated migrant to big cities would create new problems, not only that of related to physical, but also to the social capacity; and (3) area limitation in cities causes the development goes beyond neighborhood areas. The development overflowing from Surabaya to Sidoarjo could decrease population growth of Surabaya, and on the other hand, the population growth of Sidoarjo increases considerably. The process of “kotadesasi” in Sidoarjo Regency has soundly occurred because the farmers there have involved in agricultural industry since long time, like shrimp crackers, handicraft, case and bags industries. Based on the results, two recommendations can be oferred, (1) each city growth will reach a full period, therefore a counterpart area will be necessary to receive the overflowing from a fully developed city; and (2) development program must be decentralized in order to distribute people mobility.
Keywords : development overflowing, pro-natal, people mobility, decentralization
PENDAHULUAN :
Latar Belakang
Lebih dari 200 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1798, Thomas Robert Malthus seorang pendeta yang berkebangsaan Inggris mengatakan bahwa kalau tidak diadakan pembatasan, laju pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan makanan. Pada suatu waktu, manusia akan kekurangan bahan makanan. Pendapat di atas ditentang oleh para ilmuwan pada zaman itu karena menurut mereka dunia ketiga (misalnya Afrika, Australia, dan Asia) dengan sumber alamnya yang melimpah relatif masih kosong dengan manusia. Tentunya, sumber alam ini tidak mungkin dapat dihabiskan oleh manusia.
Pada permulaan abad ke-20 apa yang diramalkan oleh Malthus menjadi kenyataan. Dunia sudah tidak mampu untuk menampung jumlah penduduk yang terus bertambah. Di mana-mana mulai timbul kelaparan, kemiskinan, dan angka kematian meningkat dengan cepat. Untuk dapat memenuhi kehidupannya, penduduk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Hutan-hutan ditebang, di daerah resapan air dibangun perumahan, dan lain-lain, akibatnya pada waktu musim hujan di beberapa wilayah terjadi banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya. Alam semakin rusak akibat ulah manusia dalam usaha mempertahankan hidupnya.
Sejak 1930 hingga sekarang merupakan periode ledakan penduduk dunia yang cukup besar terutama setelah Perang Dunia II. Kecuali perang itu sendiri, hampir sudah tidak ada lagi penyebab pembunuhan manusia yang berarti. Pelayanan kesehatan semakin meningkat, terutama dengan penemuan berbagai jenis obat antibiotika. Penemuan-penemuan teknologi modern semakin mendorong peningkatan kualitas hidup. Di satu pihak, keadaan tersebut justru semakin menyukseskan usaha pengendalian penduduk di negara-negara maju. Namun, sebaliknya Negara-negara yang belum maju terutama pada awal-awal periode ini, justru mendorong pertumbuhan penduduk yang cukup besar.
Timbul pertanyaan, bagaimana laju pertumbuhan penduduk di Iindonesia? Ada empat peristiwa besar yang berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk. Pertama, pada tahun 1942-1945 pada saat Perang Dunia II berkecamuk, Indonesia diduduki oleh bala tentara Kerajaan Jepang. Keadaan ekonomi merosot dengan tajam, bahan pangan mulai berkurang, banyak pemuda – pemuda dikirim ke negara lain sebagai romusha (pekerja
paksa). Angka kematian meningkat dengan tajam. Setelah Perang Dunia II berakhir, disusul oleh perang kemerdekaan. Tentara Belanda dengan membonceng tentara Inggris datang kembali ke Indonesia dan ingin kembali menjajah bekas jajahannya.
Kedatangan mereka dihadang oleh patriot-patriot bangsa Indonesia dengan senjata yang sangat sederhana diantaranya bambu runcing, sedangkan di pihak Belanda persenjataannya lengkap dan modern. Pada masa itu keadaan ekonomi semakin morat-marit, akibatnya angka kematian meningkat dengan tajam. Angka kelahiran sangat rendah, sehingga laju petumbuhan penduduk alami sangat rendah.
Kedua, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1950, keadaan di Indonesia mulai aman, para pekerja dapat mulai bekerja, bahan makanan dapat dialirkan ke daerah yang kekurangan bahan pangan sehingga angkat kematian mulai menurun. Dibalik menurunnya angka kematian, angka kelahiran mulai meningkat. Bayi-bayi yang lahir pada waktu perang tidak ada salurannya. Muda-mudi takut melangsungkan pernikahan di waktu perang. Yang telah berkeluarga pada waktu itu tidak ingin menambah jumlah anak.
Dengan tingginya angka kelahiran pada tahun 1950-an, dan menurunnya angka kematian, angka pertumbuhan penduduk mulai meningkat. Pada tahun 1940-1950 laju pertumbuhan di Indonesia sekitar 1,0 persen, tahun 1950-1961 dan 1961-1971 meningkat masing-masing menjadi 1,5 persen dan 2,1 pesen, dan tahun 1971-1980 meningkat lagi menjadi 2,32 persen.
Ketiga, pada waktu pemerintahan Orde Lama, bidang kependudukan menerapkan kebijakan “pro natalis” yaitu setuju dengan angka kelahiran yang tinggi karena menurut perkiraan mereka Negara Indonesia mampu menampung 250 juta penduduk, sedangkan pada tahun 1961 jumlah penduduk Indonesia baru sebesar 97 juta orang. Jadi masih banyak dibutuhkan tenaga kerja untuk mengolah sumbe daya alam yang melimpah.
Keempat, sejak tahun 1967 pemerintah Orde Baru melancarkan program Keluarga Berencana karena menganggap jumlah penduduk yang ada sudah terlalu banyak (pada tahun 1971 sebesar 119,2 juta orang). Pada tahun 1970 dengan resmi didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) yang mengkoordinasikan kelompok-kelompok Keluarga Berencaca yang sudah ada sebelumnya.
Dampak dari program ini pada periode tahun 1980-1990 laju petumbuhan penduduk mulai menurun menjadi 1,97 persen per tahun. Walaupun secara relatif laju pertumbuhan penduduk telah menurun, tetapi secara absolut pertumbuhan penduduk masih tinggi. Kalau pada tahun 1961 jumlah penduduk 97 juta orang, 39 tahun kemudian yaitu pada tahun 2000 jumlah penduduk menjadi 203,5 juta orang. Jadi, ada kenaikan sebesar 109,9 persen.
PERMASALAHAN
Sekitar 80 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dengan mata pencaharian pokok di bidang petanian. Walaupun proporsi penduduk yang tinggal di pedesaan mulai menurun, tetapi tergolong masih tinggi karena lebih dari 60 persen dibandingkan dengan laju petumbuhan pada tahun 2000 (BPS, 2001)
Seperti yang telah diramalkan oleh Thomas Robert Malthus,walaupun telah dilancarkan program Keluarga Berencana tetapi karena terlalu banyak jumlah pasangan usia subur sebagai akibat kebijaksanaan “pro natalis” pada zaman Orde Lama, laju pertumbuhan penduduk terus meningkat.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, umumnya aktivitas penduduk di bidang pertanian meningkat yang mengakibatkanluas lahan pertanian perlu ditingkatkan. Tetapi kenyataannya adalah sebaliknya, banyak lahan pertanian digunakan untuk keperluan nonpertanian, sehingga kebutuhan lahan pertanian semakin lama semakin tidak mencukupi.
Sumarwoto (1985) ahli lingkungan hidup Universitas Padjadjaran Bandung menghitung Tekanan Penduduk (TK) terhadap lahan pertanian dengan memperhatikan kualitas lahan pertanian. Dengan mempergunakan Cutting Point sama dengan satu pada tahun 1987, nilai TKt untuk Pulau Jawa dan Bali rata-rata di atas dua.
Kalau aktvitas penduduk masih tetap dalam bidang pertanian berarti nilai TKt (tekanan penduduk terhadap lahan pertanian) semakin lama semakin besar. Satu-satunya kemungkinan untuk memecahkan persoalan ini, proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor nonpertanian perlu ditingkatkan.
Orientasi pembangunan ekonomi pada Pemerintahan Orde Baru memilih “petumbuhan” (growth) dari “trilogy pembangunan” dengan harapan menciptakan pasaran kerja untuk penduduk yang keluar dari aktivitas sektor pertanian dengan demikian pengangguran dapat ditekan dan kesejahteraan rakyat dapat meningkat.
Yang mampu berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi adalah mereka yang mempunyai modal (kelompok konglomerat). Umumnya, mereka menjalin hubungan erat dengan pemerintah. Mereka ini termasuk kelompok dominan yang mempunyai kekuasaan/wewenang di berbagai bidang, misalnya sosial, politik, dan ekonomi, sedangkan penduduk merupakan kelompok yang subordinal belaka.
Menurut Mubyarto (2003) orientasi kelompok konglomerat adalah mengejar keuntungan yang besar tanpa memikirkan dampak negatif bagi keadaan lingkungan dan masyarakat umum. Kontradiksi antara “keajaiban” pembangunan ekonomi Indonesia dengan ketimpangan ekonomi dan sosial menjadi semakin tajam. Bank Dunia yang menerbitkan buku East Asian Miracle (1993) memasukkan Indonesia sebagai salah satu keajaiban ekonomi Asia Timur. Mereka mengingatkan bahaya berkembangannya keangkuhan ekonomi dan kecemburuan sosial akibat ketimpangan ekonomi akan sulit untuk dikendalikan.
Pada masa itu, pembangunan di segala bidang berlangsung dalam tempo yang cepat. Kelompok konglomerat cenderung menanamkan modal di kota-kota beasr seperti Jakarta dan Surabaya. Akibatya dari pembangunan itu terciptalah pasaran kerja baik di sektor formal maupun informal. Perbedaan tersedianya pasaran kerja daerah kota dan pedesaan semakint tajam.
Akibat dari perbedaan di atas, terjadilah aliran tenaga kerja dari desa menuju ke kota terutama ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Untuk DKI Jakarta pada tahun 1971-1990 laju pertumbuhan penduduknya sebesar 4,36 persen dan untuk Kota Surabaya sebesar 3,04 persen. Pada 1980-1990 laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta sebesar 3,19 persen dan Surabaya besarnya 2,05 persen (Keban, et.al, 1988 dan BPS, 1962, 1972, dan 2001). Tingginya laju pertumbuhan penduduk di kedua kota ini sangat dipengaruhi oleh migran masuk.
Tetapi kenyataannya, di kota besar pun penduduk sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka yang beruntung kebanyakan bekerja pada sektor informal. Yang tidak, beruntung harus hidup menjadi pemulung, pengemis, menjual obat-obatan terlarang, dan tidak jarang menjadi pencuri, perampok, dan lain-lain. Hal tersebut sudah tentu mengganggu keamanan, ketertiban, dan keindahan kota.
Karena terlalu banyak migran yang datang ke DKI Jakarta dan Kota Surabaya, banyak dari mereka tinggal di gubuk-gubuk kumuh, di bantaran sungai, di tanah-tanah kosong tepi rel kereta api, dan lain-lain. Hal itu sudah tentu mengganggu rencana pembangunan yang telah disusun oleh pemerintah kota.
Untuk membebaskan lahan-lahan tersebut, akhirnya terjadilah pembongkaran dengan cara paksa. Para penghuni liar menentang dengan keras pembongkaran ini. Tetapi mungkin sesuai dengan pendapat Malthus, isak tangis mereka tidak perlu diperhatikan karena ini adalah kesalahan mereka sendiri yang tidak membatasi jumlah pertumbuhannya.
Penggusuran dan pembongkaran pemukiman liar di beberapa wilayah DKI Jakarta menimbulkan banyak “protes”, baik yang datang dari pihak LSM, mahasiswa, maupun dari beberapa organisasi massa lain. Mereka menganggap bahwa penggusuran itu tidak manusiawi. Untuk membatasi problem tersebut, arus migran yang menuju ke kota-kota besar harus dikurangi. Kota-kota tersebut sudah terlalu padar dan sudah melampaui daya tamping fisik dan sosial.
Berkaitan denagn tulisan di atas, daerah penelitian ini terdiri atas dua wilayah, yaitu wilayah Kota Surabaya dan wilayah Kabupaten Sidoarjo sebagai wilayah pinggiran kota. Dalam penelitian di kedua wilayah penelitian dibahas empat fase perkembangan pembangunan yaitu :
-
(1) fase saat mulai terjadi perkembangan pembangunan;
-
(2) fase perluasan wilayah Kota Surabaya karena derap pembangunan mulai meningkat;
-
(3) fase restrukturisasi pembangunan di Kota Surabaya akibat tidak memungkinkan lagi diadakan perluasan wilayah; dan
-
(4) fase peluberan pembangunan Kota Surabaya keluar batas wilayah kota.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
(1) Menganalisis perkembangan pembangunan fisik/fungsi beserta persebarannya di wilayah Kabupaten Sidoarjo pada dasa warsa terakhir sebagai dampak restrukturisasi internal Kota Surabaya;
-
(2) Menganalisis peran Kabupaten Sidoarjo dalam usaha menstabilkan keadaan lingkungan Kota Surabaya yang terus membangun dan berbenah diri;
-
(3) Menganalisis dampak pembangunan fisik/fungsi di Kabupaten Sidoarjo terhadap masuknya tenaga kerja di sektor formal dan informal serta mengidentifikasi daerah adal mereka, dan
-
(4) Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan migran tenaga kerja sektor informal cenderung memilih Kabupaten Sidoarjo sebagai tempat bekerja/berusaha serta pola mobilitasnya dan sejauhmana Kabupaten Sidoarjo dapat dijadikan lompatan pertama bagi mereka yang baru memulai usahanya.
KAJIAN PUSTAKA
Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang usaha-usaha mengurangi arus mobilitas penduduk menuju kota-kota besar, terlebih dahulu akan diuraikan determinan mobilitas penduduk.
Ada beberapa teori yang mengatakan mengapa seseorang mengambil keputusan untuk melakukan mobilitas. Alasan itu diantaranya adalah teori kebutuhan dan tekanan (need and strees). Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang perlu dipenuhi. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi, terjadilah tekanan atau stress. Tinggi rendahnya stress yang dialami oleh individu berbanding terbalik dengan proporsi pemenuhan kebutuhan tersebut.
Ada dua akibat dari stress di atas. Kalau stress seseorang tidak terlalu besar (masih dalam batas-batas normal), orang tersebut tidak akan pindah. Dia tetap tinggal di daerah asal dan menyesuaikan kebutuhannya dengan keadaan lingkungan yang ada. Apabila stress yang dialami seseorang di luar batas toleransinya, orang itu mulai memikirkan untuk pindah ke daerah lain agar kebutuhannya dapat terpenuhi. Atau dengan ungkapan lain, seseorang akan pindah dari daerah yang mempunyai nilai kefaedahan (place utility) lebih rendah menuju ke daerah yang mempunyai nilai kefaedahan lebih tinggi sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi.
Memperhatikan hal-hal tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa proses mobilitas terjadi apabila terjadi hal-hal berikut ini.
-
1. Seseorang mengalami tekanan (stress), baik ekonomi, sosial, maupun psikologis di tempat ia berada. Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda,
semakin heterogen struktur penduduk di suatu daerah maka semakin heterogen pula kebutuhan mereka. Hal itu berarti bahwa semakin heterogen stress yang mereka alami.
-
2. Terjadi perbedaan nilai kefaedahan wilayah antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Apabila tempat yang satu dengan tempat yang lain tidak ada perbedaan kefaedahan wilayah, tidak akan terjadi mobilitas penduduk 1.
Terjadinya mobilitas penduduk dapat dianalogikan dengan terjadinya angin (aliran udara). Angin itu berhembus apabila di dua tempat terjadi perbedaan tekanan udara. Kalau kedua tempat mempunyai tekanan udara yang sama, angin tidak akam berhembus. Secara umum dapat dikatakan bahwa mobilitas penduduk terjadi apabila terdapat perbedaan nilai kefaedahan antara dua wilayah. Pada dasarnya teori-teori migrasi didasarkan atas prinsip-prinsip di atas.
Kalau dianalogikan dengan semut, dimana ada gula ke sanalah semut-semut itu mengalir. Pada waktu Pemerintahan Orde Baru sebagian besar gula-gula itu ditanam di kota-kota besar sehingga semut-semut itu mengalir ke kota-kota tersebut.
Di negara-negara yang sedangmembangun, alasan utama seseorang melakukan mobilitas adalah alasan ekonomi. Jadi, arah arus mobilitas penduduk ke tempat yang terdapat pasaran kerja. Pola mobilitas horizontal dapat dibagi menjadi dua yaitu mobilitas penduduk permanen dan mobilitas penduduk nonpermanen. Mobilitas penduduk permanen adalah gerak penduduk dari daerah asal menuju ke daerah tujuan dengan ada niatan untuk menetap di daerah tujuan. Mobilitas penduduk nonpermanen adalah gerak penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan tidak ada niatan untuk menetap di daerah tujuan. Agar para migran mempunyai alternatif lain daerah tujuan, pembangunan harus dilaksanakan di beberapa wilayah (sistem desentralisasi), sehingga daerah tujuan migran menjadi terpencar.
Apabila jarak antara daerah asal dan daerah tujuan ada dalam batas-batas mobilitas harian (commuting) maka para migran tenaga kerja kembali ke daerah asalnya dalam hari yang sama. Sebaliknya, apabila jarak kota tempat bekerja diluar mobilitas harian, maka mereka mondok/nginep di wilayah tersebut.
Sifat dan perilaku migran nonpermanen seperi semut yaitu kerja keras, berusaha mendapatkan upah sebanyak-banyaknya untuk dikirim ke daerah asal. Mereka berusaha mengkonsumsi pendapatannya seminimalnya di daerah tujuan. Sebagai contoh, tukang becak tidak menyewa kamar untuk beristirahat di malam hari, mereka tidur di becak sendiri. Pekerja-pekerja lepas di pasar menyewa satu kamar untuk 15 orang. Mereka yang bekerja di siang hari berhak tidur di kamar sewaan pada waktu malam hari. Sebaliknya, mereka yang bekerja pada malam hari berhak tidur pada siang hari.
Ada juga migran yang membangun gubuk-gubuk darurat di tanah kosong pinggir sungai, atau pinggiran rel kereta api, atau di tempat yang lain. Sehingga kedatangan mereka dianggap mengganggu ketertiban, dan keamanan umum. Umumnya penduduk kota tidak menyenangi kedatangan mereka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uraian selanjutnya adalah paparan proses pembangunan fisik/fungsi di kedua daerah penelitian serta mobilitas penduduk. Berdasarkan hasil kerja tim peneliti hari jadi Kota Surabaya, ditetapkan 31 Mei 1293 sebagai hari berdirinya Kota Surabaya. Pada waktu itu, Pulau Jawa dikuasai oleh tentara Belanda, Surabaya berfungsi sebagai basis militer. Pada pertengahan abad ke-19 dibangun sebuah dermaga, sehingga Kota Surabaya berkembang menjadi pangkalan laut tentara kolonial Belanda.
Pelabuhan Tanjung Perak merupakan pelabuhan penting dan mempunyai kapasitas bongkar muat sangat tinggi yang beroperasi 24 jam sehari. Di samping Surabaya berkembang sebagai kota industri terutama industri logam dan kimia. Industri tersebut sebagian besar terletak di wilayah Tandes. Industri-industri lain berlokasi di sepanjang jalan raya Surabaya-Gresik dan wilayah Rungkut.
Untuk meemperlancar hubungan dengan daerah lain, di bidang transportasi darat dibangun highway dengan persimpangan-persimpangan yang menghubungkan koridor/regional dan radial/intrakota dengan jalur Malang Highway.
Disamping itu, banyak dibangun prasarana kota yang lain, dan masih banyak lagi akan dibangun. Derap pembangunan itu mengundang migran-migran tidak hanya dari burit (hinterland) di Jawa tetapi juga dari berbagai daerah pelosok tanah air.
Pada tahun 1971, jumlah penduduk kota Surabaya sebesar 1.549.212 orang, pada tahun 1980 berjumlah 2.027.910 orang, tahun 1990 dan 2000 meningkat masing-masing menjadi 2.483.871 orang dan 2.588.816 orang (Surabaya dalang angka 1971, dan BPS 2001). Jadi, dalam 10 tahun (1980-1990) penduduk Kota Surabaya berjumlah sebesar 22,5 persen dan selama 10 tahun terakhir (1990-2000) penduduknya bertambah hanya sebesar 4,2 persen.
Disamping itu kalau dibansingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pada tiga periode yaitu 1971-1980, 1980-1990, 1990-2000 terlihat adanya penurunan yaitu masing-masing sebesar 3,04 persen, 2,05 persen, dan 0,41 persen. Mengapa terjadi penurunan yang drastis pada dasa warsa terakhir? Hal itu akan dibicarakan di belakang.
Daerah Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah pinggiran Kota Surabaya ke arah selatan yang merupakan daerah pertanian yang subur karena terletak di Delta Sungai Berantas. Dahulu, andalan ekonomi daerah ini adalah komoditi pertanian misalnya tebu, padi, bandeng, dan udang. Dua komoditi yang terakhir merupakan primadona dan tergambar pada lambing Kabupaten Sidoarjo.
Luas wilayah Kabupaten Sidoarjo sebesar 63.438.543 ha atau 634,39 km2 dibagi dalam empat wuilayah pembantu bupati dengan 18 kecamatan dan 353 desa/kelurahan. Letak Kabupaten Sidoarjo yang berbatasan dengan Kota Surabaya merupakan pintu gerbang ke Kota Surabaya yang dihubungkan dengan jalan raya kelas I, merupakan peluan yang sangat strategis dalam upaya pengembangan ekonomi wilayah. Dikatakan sebagai pintu gerbang masuk ke Kota Surabaya karena kabupaten-kabupaten di sekitarnya, khususnya Kabupaten Mojokerto, Malang, dan Pasuruan apabila akan melakukan hubungan dengan Surabaya harus melewati Kabupaten Sidoarjo. Keadaan ini akan memberikan peluang besar bagi Kabupaten Sidoarjo untuk maju karena mampu menarik manfaat dengan mengadakan hubungan melalui peningkatan aksesbilitas yang didukung oleh sarana dan prasarana, transportasi, dan komunikasi. Disamping itu, manfaat lain yang menjadi peluang besar bagi Sidoarjo adalah dapat mengadakan kontak hubungan perdagangan denagn kabupaten/kota tersebut di samping kota besar Surabaya.
Kedudukan Kabupaten Sidoarjo yang sangat strategis itu apabila ditinjau dari sudut pandang ekonomi akan memberi peluang besar dalam upaya pengembangan ekonomi, terutama di bidang industry, perdaganan , dan jasa. Dibidang pedagangan Kabupaten
Sidoarjo yang merupakan produsen pertanian maupun industrimemerlukan jalinan hubungan antar kota guna memasarkan produksi pertanian maupun industrimanufaktur. Kabupaten Sidoarjo terus meningkatkan aksesbilitas kota di luar kabupaten maupun antar desa-kota di kabupaten itu sendiri, untuk mendukung pemasaran industry.
Dengan meningkatnya produksi pertanian termasuk perikanan, di Kabupaten Sidoarjo telajh lama dibangun sentra-sentra industripertanian. Misalnya, di Kecamatan Tanggulangin dibangun sentra industritas dam koper yang dirintis sejak 1913 dan produksinya sampai ke pasar luar negeri (Amerika, Kanada, Hongkong dan Korea). Di kecamatan Waru terdapat industrihandicraft. Disamping itu sejak lama terdapat industrikerupuk udang yang pemasarannya sampai ke luar negeri. Kabupaten sidoarjo memiliki enam kecamatan sentra industi pengolahan kerupuk udang.
Jadi Kabupaten Sidoarjo sejak lama memiliki sentra-sentra industriproduksi petanian. Penduduk sudah mulai diperkenalkan pada sektor manufaktur dan servis. Akibat perkembangan tersebut, mobilitas tenaga kerja yang menuku ke kabupaten ini dan daerah-daerah sekitar sudah mulai meningkat.
Kota Surabaya merupakan pusat perbelanjaan dan perdagangan dengan skala regional dan internasional, sehingga perlu diadakan perluasan pembangunan sesuai dengan fungsi kota. Fasilitas perdagangan dibangun di pusat perdagangan Kembang Jepun, fasilitas bongkar muat barang dibangun di kawasan Tandes dan Wonokromo. Di kawasan Wonokromo akan dibangun pasar induk dan di kawasan Rungkut dijadikan kawasan industri.
Dengan memperhatikan rencana derap pembangunan seperti di atas, dan memperhatikan luas lahan di Kota Surabaya sangat terbatas, dipandang perlu untuk memperluas batas wilayah Kota Surabaya. Mulai tahun 1963 diadakan perluasan batas wilayah Kota Surabaya ke arah barat, selatan, dan timur. Pada tahun 1960, luas wilayah Kota Surabaya sebesar 67,20 km2, pada tahun 1965 menjadi 224,58 km2, dan terakhir pada tahun 1990 diadakan perluasan lagi menjadi 290,443 km2, dan terakhir pada tahun 1995 diadakan perluasan lagi menjadi 326,370km2. Pada tahun 2001 Kota Surabaya berkembang menjadi 28 kecamatan dan 5 pembantu kecamatan dalam 5 pembantu walikota. Secara administratif Kota Surabaya berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara dan timur. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik dan di bagian selatan berbatasan dengan
Kabupaten Sidoarjo. Dengan diadakan perluasan wilayah maka terjadilah proses reklasifikasi, yaitu wilayah yang digabung yang dulu berstatus desa sekarang berstatus kota (urban). Jadi, jumlah penduduk kota pun akhirnya bertambah juga karena proses reklasifikasi tersebut.
Modal asing dan domestik mulai berdatangan untuk ditanamkan di Kota Surabaya. Pembangunan menghasilkan pasaran kerja baik di sektor formal maupun informal. Sejalan dengan meningkatnya pasaran kerja, arus mobilitas tenaga kerja mengalir ke Kota Surabaya. Mereka tidak hanya datang dari daerah sekitarnya melainkan ada yang datang dari luar Jawa.
Sebagai akibat dari tingginya arus mobilitas tenaga kerja yang menuju Kota Surabaya, ditambah lagi dengan adanya proses reklasifikasi, dari tahun 1961 hingga tahun 1980 laju pertumbuhan penduduk meningkat 3,0 persen, pada tahun 1971-1980 meningkat menjadi 3,04 persen, dan pada tahum 1980-1990 menurun menjadi 2,05 persen.
Di Kabupaten Sidoarjo industri produksi pertanian terus meningkat (kulit, handikraft, kerupuk udang, bandeng asap, petis, dan terasi). Banyak modal domestik mulai ditanam di Kabupaten Sidoarjo. Semua aktivitas menciptakan pasaran kerja, dan sebagai dampak pembangunan ini mobilitas tenaga kerja mulai berdatangan ke Kabupaten Sidoarjo. Menurut data statistik dari BPS tahun 1961, 1971, dan 2000, laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sidoarjo pada periode 1961-1971 sebesar 3,85 persen, pada periode 1971-1980 sedikit menurun menjadi 2,77 persen, dan pada periode tahun 1980-1990 terjadi kenaikan lagi menjadi sebesar 3,17 persen.
Fase III perkembangan pembangunan yaitu fase restrukturisasi tata ruang Kota Surabaya. Perkembangan kota besar Surabaya sangat dinamis. Beberapa prasarana kota seperti : pusat-pusat perbelanjaan, pelayanan, dan hotel-hotel bertaraf internasional perlu dibangun, sedangkan perluasan wilayah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan. Untuk itu, perlu strategi baru yaitu restrukturisasi tata ruang. Beberapa bangunan untuk kegiatan tertentu (misalnya rumah sakit) dipindah ke daerah lain karena dinilai di wilayah tersebut akan didirikan pusat perbelanjaan. Akibat dari pembangunanyang terus ditingkatkan, arus mobilitas penduduk ke arah Kota Surabaya terus bertambah.
Sementara itu, di Kabupaten Sidoarjo tidak terjadi perubahan-perubahan yang berarti. Dengan pengaruh modernisasi dari Kota Surabaya,satu- persatu desa-desa berubah
dari fenomena pedesaan menjadi fenomena perkotaan. Kepadatan penduduknya mulai meningkat dan sebagian aktivitas penduduk yang diluar bidang pertanian. Disamping itu, terdapat beberapa ciri-ciri perkotaan, misalnya ada Puskesmas, Wartel, Bank, SMP dan SMA, dan lain-lain. McGee (1992) mengatakan bahwa proses itu akibat terjadinya proses ”kotadesasi”
Perlu dijelaskan, industri produksi pertanian yang ada di Kabupaten Sidoarjo tersebar merata dan disokong dengan prasarana transportasi dan komunikasi yang memadai.
Setelah Kota Surabaya mengalami perubahan tata ruang, atau terjadi proses restrukturisasi pembangunan fisik dan fungsi, karena sudah tidak ada ruang lagi, terjadilah ”peluberan pembanguna” ke arah luar batas Kota Surabaya. Peluberan pembangunan ini terutama ke arah koridor Surabaya-Malang. Kabupaten Sidoarjo terletak sewilayah dengan koridor tersebut. Kini, kita memasuki fase IV.
Di samping itu, pembangunan meluber ke arah Kabupaten Sidoarjo, juga ke arah kabupaten-kabupaten pada pinggiran kota misalnya ke arah Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto, dan Lamongan. Akhirnya, wilayah tersebut yang Surabaya sebagai pusatnya menjadi daerah metropolitan. Jadi, pembentukan dan pengembangan wilayah ”Gerbangkertosusila” merupakan strategi yang keempat untuk mengatasi problem keterbatasan lahan di Kota Surabaya dalam rangka pembangunan fisik dan fungsi prasarana kota ke arah kota modern dan internasional.
Proses metropolitanisasi didasarkan pada teori klasik dari perkembangan fisik suatu kota ke arah luar seperti model zone konsentris dari Burgess, teori sektor dari Hoyt. Dari teori itu akan terjadi ”luberan” pembangunan fisik dan fungsi kearah luar batas administratif kota yang oleh McGee (1992) disebut dengan ”Extended Metropolitan Region” (EMR) yang kemudian populer dengan ”Mega Urban Region” (MUR). Jadi, proses metropolitanisasi perkembangan suatu kota menjadi wilayah metropolitan sebagai akibat dari tingginya laju pertumbuhan penduduk, perubahan fisik, dan fungsi ke luar batas wilayah administrasi Kota Surabaya.
Pembangunan fisik dan fungsi ke luar batas adminsitrasi berarti bahwa di wilayah luar kota terjadi juga proses restrukturisasi internal yang daerah persawahan beralih fungsi
sebagai daerah pemukiman, daerah industri dan lain-lain, seperti disebutkan oleh McGee (1992) dengan proses ”kotadesasi”.
Apabila dilihat dari perkembangan Kota Surabaya dengan wilayah di sekitarnya (daerah Gerbangkertosusila) didasarkan indikator laju pertumbuhan penduduknya dari tahun 1961 hingga tahun 2000, laju pertumbuhan penduduknya tidak jauh berbeda dengan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia kecuali tahun 1971-1980. Ttapi apabila dilihat per wilayah, pada dua dekade (1961-1971 dan 1971-1980) di Surabaya dan Sidoarjo laju pertumbuhan penduduknya tertinggi. Hal itu disebabkan pembangunan di bidang sosial ekonomi pada periode tersebut terjadi di kedua wilayah ini dan banyak migran tenaga kerja yang datang tidak hanya berasal dari Jawa dan luar Jawa tetapi juga berasal dari luar negeri.
Dua dekade terakhir (1980-1990 dan 1990-2000) mulai terjadi proses restrukturisasi sosial ekonomi di Surabaya, begitu pula daerah di luar batas administrasi Surabaya. Pembangunan mulai meluas dari kota Surabaya menuju wilayah Sidoarjo dan Gresik, mengakibatkan terjadi penurunan laju pertumbuhan penduduk di Kota Surabaya dan kenaikan laju pertumbuhan penduduk yang tidak sedikit di wilayah Grbangkertosusila. Hal itu berarti luberan pemabngunan ke arah pinggiran kota diikuti oleh meningkatnya ketersediaan pasaran kerja. Hal tersebut menyebabkan tujuan migran berbelok ke arah pinggiran kota.
Kota Surabaya melepaskan predikatnya sebagai kota industri. Pembangunan industri dilimpahkan ke Kabupaten Sidoarjo. Beberapa kantor lembaga pemerintah dan terminal bus ikut dipindahkan.
Kedudukan Kabuapten Sidoarjo yang sangat strategis itu akan memberi peluang besar dalam upaya pengembangan ekonomi terutama di bidang industri, perdagangan dan jasa. Disamping itu, letak Kabupaten Sidoarjo yang langsung berbatasan dengan Surabaya akan menerima luberan pengembangan ekonomi langsung dari Surabaya.
Dengan meningkatnya sektor industri, ada pergeseran yang tajam dari angkatan kerja sektor pertanian ke sektor nonpertanian dan jasa. Hal itu diakibatkan antara lain oleh transformasi struktur ekonomi terutama sektor pertanian akibat mekanisasi serta menurunnya keunggulan kompetitif sektor pertanian dibanding sektor pekerjaan yang lain dalam menyerap tenaga kerja yang sudah meningkat asprisasinya. Untuk memperkuat posisinya sebagai daerah industri, pemerintah Kabupaten Sidoarjo membangun kawasan
industri baru yang dikenal dengan istilah Siborian (Sidoarjo, Jabon, dan Krian) atau Siborian Growthpole Triangle. Di ketiga kecamatan inilah, para investor menanamkan modalnya. Berbagai sarana dan prasarana disiapkan seperti pembangunan akses jalan, air, listrik, dan telepon. Daerah ini dijadikan kawasan industri sedang dan besar.
Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu daerah konsentrasi persebaran PMA dan PMDN di Provinsi Jawa Timur. Hal itu memacu pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sidoarjo bertumpu pada sektor industri dan juga mendorong arus mobilitas masuk untuk mencari pekerjaan pada sektor industri. Seperti telah diuraikan di atas, telah dibangun kawasan industri besar Siborian dan kawasan industri kecil di Kecamatan Tanggulangin dan Ngingas Kecamatan Waru. Di sisi lain, peralihan penggunaan lahan dari pertanian ke bukan pertanian (lahan industri) banyak terjadi di daerah-daerah pinggiran kota seperti Kecamatan Taman, Kecamatan Gedangan, dan Kecamatan Krian, terutama ke arah utara dan barat Kota Sidoarjo, dan berlokasi di sepanjang arteri yang ada. Dengan melihat pola penggunaan lahan yang linier dan belum efektif serta efisien khususnya dalam pemakaian sarana dan prasarana perkotaan, perlu dipikirkan lebih lanjut upaya penatagunaan lahan.
Selama kurun waktu sepuluh tahun jumlah perusahaan industri di Kabupaten Sidoarjo mengalami peningkatan. Pada tahun 1990 terdapat 1.334 unit perusahaan dari berbagai jenis insustri, pada tahun 2000 meningkat menjadi 4.079 unit. Jenis industri yang banyak menampung tenaga kerja adalah jenis Aneka Industri dan Industri Kecil.
Sesuai dengan perubahan fisik/fungsi Kabupaten Sidoarjo, terjadi pula proses reklasifikasi, dari wilayah pertanian menjadi wilayah pertumbuhan baru yang oleh Norris disebut dengan wilayah kesempatan antara. Misalnya, Kabupaten Pasuruan merupakan daerah burit, dan Kabupaten Sidoarjo yang sedang berkembang yang terletak di antara kota Surabaya dan wilayah Kabupaten Pasuruan merupakan wilayah kesempatan antara (intervening opportunity) yang oleh McGee disebut dengan koridor, selanjutnya Norris (1972) menyatakan :
There are three factors related to the intervening opportunities concept. There are: (1) step-wise movers; (2) chronic movers; and (3) the distance-decay regularities in migration patterns.
Perkembangan pusat-pusat aktivitas baik sektor formal dan informal menarik mobilitas penduduk ke wilayah ini. Semakin intensif pelaksanaan pembangunan suatu
daerah, laju pertumbuhan penduduk di wilayah itu semakin meningkat. Dapat juga dikatakan sebaliknya, semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah semakin banyak tersedia pasaran kerja di wilayah tersebut. Dapat juga dikatakan tingginya arus mobilitas penduduk ke suatu wilayah merupakan indikator pesatnya pembangunan di wilayah tersebut.
Dari analisis migran risen (recent migrans), atau migran yang ke Kabupaten Sidoarjo pada lima tahun yang lalu (1995-2000) didapat migran risen sebesar 111.409 orang dan dari sejumlah ini sebesar 35.859 orang (32,29 persen) berasal dari Kota Surabaya dan yang lain berasal dari kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Tingginya migran risen yang masuk dari Kota Surabaya karena beberapa dari mereka mengikuti perusahaan, lembaga, dan kantor-kantor yang pindah ke Kabupaten Sidoarjo. Di samping itu, ada juga pekerja-pekerja baru yang berasal dari Kota Surabaya yang ingin bekerja di Kabupaten Sidoarjo. Mereka merasa bahwa di Kabupaten Sidoarjo belum terdapat persaingan yang ketat dalam mendapatkan pekerjaan seperti keadaan Surabaya.
Banyak tenaga kerja sektor informal (75,5 persen dari 71 orang responden) menyatakan bahwa dalam jangka panjang ingin membangun usaha yang mapan dan permanen pada kota yang lebih besar. Mereka memilih Kabupaten Sidoarjo sebagai tempat usaha karena di daerah ini persaingannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan kota-kota lain di Jawa. Sidoarjo digunakan sebagai wilayah lompatan pertama untuk berusaha. Di Sidoarjo, mereka mencari pengalaman sambil mengumpulkan modal, dan kalau sudah mapan baru akan melompat ke kota yang lebih besar sebagai tempat lompatan kedua dan begitu seterusnya. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Norris (1972) bahwa wilayah kesempatan antara (intervening opportunities) sebagai wilayah ”step-wise movers” atau perpindahan lompat katak (leaping frog) bagi tenaga kerja yang memulai usahanya.
SIMPULAN
Sebelum sampai pada simpulan akhir akan dikemukakan tiga hal sebagai berikut. Pertama, laju pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong tinggi. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah Orde Lama menganut kebijaksanaan kependudukan yang ”pro natalis” yaitu setuju dengan angka kelahiran tinggi karena wilayah Indonesia mampu menampung 250 juta penduduk,
sedangkan pada tahun 1961 jumlah penduduk berjumlah 97 juta orang. Jadi, pemerintah tidak setuju dengan pembatasan kelahiran.
Kebijaksanaan yang pro natalis itu bersamaan dengan pengakuarn kedaulatan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1950. Dalam situasi yang aman ini, angka kelahiran meningkat dengan tajam. Kedua hal di atas menyebabkan laju pertumbuhan penduduk tinggi.
Pada zaman Orde Baru, pemerintah menganut kebijaksanaan kependudukan berbeda dengan Pemerintah Orde Lama yang setuju dengan program Keluarga Berencana. Namun, angka kelahiran agak sulit untuk diturunkan karena telalu banyak jumlah pasangan usia subur. Kedua, pemerintah Orde Baru dalam kebijaksanaan ekonominya memilih aspek ”pertumbuhan” (growth) dari Trilogi Pembangunan. Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan tingkat ekonomi masyarakat bawah. Tetapi kenyataannya malah sebaliknya. Elite ekonomi yang mampu mengambil bagian dalam pembangunan ini berusaha untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan maupun kesejahteraan rakyat.
Mereka mengkonsentrasikan penanaman modal di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Dengan konsentrasi pembangunan di kota besar, terjadilah arus mobilitas penduduk menuju kota-kota besar. Para migran sangat bervariasi baik dari segi pendidikan maupun dari segi kualitas. Arus mobilitas penduduk menuju kota terus meningkat, sehingga beberapa masalah akibat kelebihan penduduk terjadi di kota-kota besar.
Ketiga, karena keterbatasan lahan di kota, pembangunan meluber ke wilayah sekitarnya. Peluberan pembangunan Kota Surabaya ke Kabupaten Sidoarjo dapat mengurangi laju pertumbuhan penduduk di Kota Surabaya. Sebaliknya laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sidoarjo meningkat. Proses ”kotadesasi” di Kabupaten Sidoarjo terjadi dengan baik karena para petani di Kabupaten Sidoarjo telah lama berkecimpung dalam industri pertanian seperti krupuk udang, handicraft, tas, dan koper.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
-
1. Tiap-tiap kota dalam proses pertumbuhannya akan sampai kemasa jenuh.
-
2. Sebelum mencapai masa jenuh, perlu mempersiapkan wilayah pendamping yang akan menerima luberan pembangunan dari kota yang memasuki stadim akhir.
-
3. Pembangunan perlu dipencar (desentralisasi) sehingga mobilitas penduduk terpencar pula.
DAFTAR PUSTAKA
Adika, I Nyoman. 2003. Perkembangan Wilayah Pinggiran Kota Metropolitan Surabaya dan Mobilitas Tenaga Kerja.Kasus Kabupaten Sidoarjo. Disertasi S-3 tidak diterbitkan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Bank Dunia. 2003. East Asian Miracle, dalam Mubyarto. 2003. Globalisasi, Agama, Ekonomika, Etik. Pidato Ilmiah Milad ke-43, 22 Desember, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Hal. 5.
Bappeda Sidoarjo. 1996. Rencana Induk Kota Sidoarjo, 1985/1986 – 2003/2004. Buku 3. Sidoarjo : Bappeda Kabupaten Sidoarjo.
Biro Pusat Statistik. 1990. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 1990. Jakarta: BPS
____________. 1991. Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka 1991. Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sidoarjo.
___________. 2000. Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka 1991. Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sidoarjo.
____________. 2000. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2000. Jakarta : BPS
____________. 2001a. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2000. Seri : L.2.2. Jakarat : BPS
____________. 2001b. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2000. Seri : L.2.14. Jakarat : BPS
Burgess, E.W. 1925. The Growth of City,. Dalam R.E. Park, E.W. Burgess and R.D. McKenzie (eds). The City. Chicago : University of Chichago Press.
Hoyt. 1925. The Structure and Growth of Residental Neighborhoods in American Cities. Unpublished Thesis.
Keban, Yeremias T. dan Ida Bagoes Mantra. 1988. Urbanisasi di Indonesia. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Uniersitas Gadjah Mada.
Mantra, Ida Bagoes. 1981. Population Movement in Wet Rice Communities. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
__________. 1984. Analisis Migrasi Indonesia Berdasarkan Data Sensus Penduduk 1971 dan 1980. Jakarta : BPS.
Mubyarto. 2003. Globalisasi, Agama, Ekonomika, Etik. Pidato ilmiah Milad ke-43, 22 Desember. Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta.
McGee,. T.G. 1992. Metrofitting the Emerging Mega Urban Regions of Asean : An Overfiew Pafor to be Prosented atau International Conference on Managing
Mega Urban Regions in Asean Countries : Policy Challenges and Responses. ATT Bangkok. Nov. 30-Des. 3.
Norris, Robert E. 1972. Migration as Spatial Interaction Journal of Geography. Volume LXXI. Number 5, May 1972
Sumarwoto. Otto. 1985. A Quantitive Model of Population Pressure and The Potensial Use In Development Planning, dalam Majalah Demografi Indonesia. No. 24, Jakarta.
Pemda Dati II Kodya Surabaya. 1990. Sejarah Perkembangan Kota Surabaya. Surabaya : Pemerintah Daereah Tingkat II Surabaya.
_________. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kotamadya Surabaya 2005. Surabaya : Bappeda Kotamadya Surabaya.
Pemda Tingkat I Jawa Timur. 1996. Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Satuan Pembangunan GERBANGKERTOSUSILA. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
19
Discussion and feedback