PIRAMIDA Vol. X No. 2 : 94 - 99

ISSN : 1907-3275

MISI BUDAYA MIGRAN UNSKILL JAWA DI KOTA DENPASAR

Emiliana Mariyah dan Novena Ade Fredyarin

Program Studi (S2) Magister Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana email : e.mariyah@yahoo.co.id

ABSTRAK

Reproduksi budaya dapat mempengaruhi strategi adaptasi dan pembentukan identitas. Pada proses ini terlihat adanya dominasi dan subordinasi budaya, dan pada tatanan sosial dapat diamati proses resistensi untuk mempertahankan identitas sebagai suatu etnis. Di satu sisi, proses reproduksi budaya menyangkut bagaimana kebudayaan asal direpresentasikan dalam lingkungan baru, dilain pihak identitas asal yang telah menjadi bagian sejarah kehidupan seseorang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, bahkan kebudayan asal cenderung menjadi pedoman dalam kehidupan di tempat baru (misi budaya). Prinsip misi budaya etnis Jawa ‘membangun istana/omah’ di tempat asal, sedangkan tempat tujuan menjadi korban kekumuhan. Akibat hidup sederhana apa adanya dari etnis Jawa (migran unskill) di Kota Denpasar akibatnya bermunculan pemukiman kumuh sehingga Kota Denpasar sebagai daerah pariwisata terhegemoni oleh 35 lokasi pemukiman kumuh. Atas dasar alasan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mengkaji strategi adaptasi migran unskill Jawa; 2) Menganalisis implikasi misi budaya migran unskill Jawa.

Proses pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi lapangan, wawancara mendalam dengan 15 orang informan dari kalangan migran, serta FGD dan studi dokumen dengan menelaah bacaan dan browsing internet. Dalam membedah masalah adaptasi migran unskill Jawa Kota Denpasar ini digunakan teori-teori Hirarki Kebutuhan Maslow dan teori Konfigurasi Budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, dalam menjalani kehidupan di tempat yang baru (Kota Denpasar), migran unskill Jawa mampu beradaptasi secara sosial dengan penduduk lokal (orang Bali) secara harmonis dan menjalankan misi budayanya, yakni tetap mempertahankan tradisi budayanya. Kedua, misi budaya migran unskill jawa di Kota Denpasar memiliki implikasi (dampak), yakni menguatnya identitas etnik Jawa, bergesernya pola konsumsi dan gaya hidup serta adanya komitmen mereka dalam menjaga keberlanjutan budaya yang melahirkannya. Disarankan agar toleransi dan kerjasama yang harmonis antara migran dan penduduk asli (orang Bali) yang telah terjalin di lingkungan komunitas pemukiman kumuh di Kota Denpasar perlu dipupuk dan dipertahankan untuk memantapkan kehidupan masyarakat yang multikultural.

Kata kunci: misi budaya, migran unskill Jawa, Kota Denpasar.

ABSTRACT

Reproduction of culture can influence adaptation strategies and identity building. In this process there is domination and subordination of culture, and in the social order it can be observed the process of resistance to maintain identity, as an ethnicity. On the one hand, the process of cultural reproduction involves how the culture of origin are represented in this new environment, on the other hand, the identity of the origin of which has become part of a person’s life history can not be abandoned, even the culture of origin tends to be a guide in life in a new place (cultural mission). The principle mission of Javanese culture: ‘building castles /omah’ in the place of origin, while making slums in the areas of migration. Due to the simple life of Javanese (the unskilled migrants) in Denpasar consequently it creates slums, so that Denpasar as tourism area is hegemonized by 35 locations of slums. On the basis of these reasons, the paper analyzed 1) What are the unskilled Javanese migrants’ adaptation strategies?; 2) What are the implications of the unskilled Javanese migrants’ cultural mission?

The process of data collection was conducted by using field observations, in-depth interviews with 15 informants from migrants, as well as focus group discussions and studies examining documents with reading and browsing the internet. In dissecting the Javanese unskilled migrants’ adaptation problems in Denpasar, it was used the theories of Maslow’s needs hierarchy theory and cultural configurations. The results showed that, first, to live a life in a new place (the city of Denpasar), the unskilled Javanese migrants are able to adapt socially with the local population (the Balinese people) in harmony and to carry out their cultural mission, which still retains their cultural traditions. Second, the mission of the cultural mission of the unskilled Javanese migrants in Denpasar have implications (impacts), namely the strengthening of ethnic identity of Java, shifting consumption patterns and lifestyles as well as their commitment to sustaining their own culture. It is suggested that tolerance and harmonious cooperation

between migrants and natives (the Balinese people) that has existed in the slums communities in Denpasar need to be maintained to establish the life of a multicultural society.

Key words: cultural mission, the unskilled Javanese migrants, the City of Denpasar.

PENDAHULUAN

Dewasa ini, Denpasar telah berkembang menjadi wilayah kota yang pluralistik dan multikultural. Ciri utama masyarakat plural (plural society) adalah kehidupan masyarakat berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka terpisah-pisah karena perbedaan status sosial dan tidak tergabung dalam satu unit politik. Masyarakat majemuk tersebut biasanya terpisah-pisah dalam pengelompokan yang didasarkan pada ras, etnis, ekonomi dan agama (Pelly, 1993:1).

Perkembangan masyarakat Kota Denpasar yang plural terjadi karena adanya penduduk pendatang (migran). Keberadaan penduduk migran menjadi faktor dominan bagi pertumbuhan penduduk Denpasar (3,20 persen), di samping faktor pertumbuhan penduduk alami (natural increase), yang hanya 0,82 persen (BPS Kota Denpasar, 2012). Migran yang hadir di Kota Denpasar membawa misi budaya, yakni membawa dan mempertahankan identitas budaya untuk menegaskan budaya asalnya (Abdullah, 2006). Mereka juga mencari modal finansial untuk membangun kehidupannya di kampung halaman. Untuk mencapai misi-budayanya, mereka berupaya melakukan proses adaptasi sosio-kultural di tempatnya yang baru.

Penduduk migran yang memiliki keahlian akan mampu mendorong pembangunan perkotaan, tetapi sebaliknya penduduk migran unskill menjadi beban dan menimbulkan berbagai gejolak sosial seperti meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan kesemrawutan tata ruang perkotaan. Penduduk migran yang berkeahlian telah tertampung dalam sektor formal perkotaan, sedangkan penduduk migran yang unskill hanya tertampung dalam sektor informal. Sektor formal merupakan sektor yang membutuhkan persyaratan dan keahlian khusus untuk memasukinya, seperti pendidikan, keterampilan, modal, dan teknologi. Sektor informal bersifat terbuka, fleksibel, dan dapat dimasuki oleh siapa pun tanpa persyaratan apa pun (Manning dan Effendi, 1985:78, 138). Selain itu, migran yang tidak terdidik juga sering menimbulkan kekacauan dan ketertiban di kota yang ditempatinya, sedangkan mereka yang terdidik akan menimbulkan kecemburuan sosial. Banyak kasus bagaimana penduduk asli melakukan tindakan inkonstitusi hanya karena cemburu dengan keadaan sosial ekonomi para pendatang (Bali Post, 16 Desember 1997).

Laju pertumbuhan penduduk Kota Denpasar akibat tingkat urbanisasi yang tinggi menimbulkan berbagai dampak pada proses pembangunan kota, khususnya pada proses pemenuhan kebutuhan dasar kota, termasuk

kebutuhan akan sandang, tempat hunian, dan lapangan pekerjaan meningkat, yang bila tidak terpenuhi akan memicu timbulnya golongan masyarakat miskin dengan penghasilan dan daya beli rendah, yang tinggal di kawasan kumuh. Sampai tahun 2012, di wilayah Denpasar terdapat 35 lokasi kawasan kumuh, yakni kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya. Untuk itu, lingkungan pemukiman kumuh perlu memperoleh perhatian dan penanganan yang semestinya karena dapat menimbulkan masalah lingkungan, kesehatan, dan masalah sosial seperti kriminalitas. Sebagian kawasan pemukiman kumuh ini di Kota Denpasar dihuni oleh penduduk migran dari Jawa dan luar Bali lainnya yang tidak memiliki keterampilan (unskill) yang memadai. Penelitian ini khusus mengkaji dua masalah pokok, yaitu (1) Bagaimana strategi adaptasi migran unskill Jawa di Kota Denpasar?; (2) Bagaimana implikasi misi budaya migran unskill Jawa di Kota Denpasar?

METODE PENELITIAN

Penelitian tentang migran unskill Jawa di Kota Denpasar merupakan penelitian kualitatif yang berperspektif kajian budaya. Proses pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi lapangan, wawancara mendalam dengan 15 orang informan dari kalangan migran, serta FGD dan studi dokumen dengan menelaah bacaan dan browsing internet. Dalam membedah masalah adaptasi migran unskill Jawa Kota Denpasar ini digunakan teori-teori Hirarki Kebutuhan Maslow dan teori Konfigurasi Budaya.

PEMBAHASAN

Adaptasi Migran Unskill Jawa di Kota Denpasar

Dari penelusuran lapangan diketahui bahwa umumnya migran unskill Jawa yang datang mengadu nasib di Kota Denpasar berasal dari pedesaan. Kehadiran mereka di Kota Denpasar dipengaruhi berbagai faktor, baik faktor pendorong maupun faktor penarik. Faktor pedorongnya antara lain adalah semakin menyempitnya lahan pertanian di tempat asal mereka. Semakin menyempitnya lahan pertanian di Pulau Jawa telah berdampak pada meningkatnya keluarga (inti) pemilik lahan sempit di desa (Geertz, 1971). Berkurangnya sumber produksi (tanah pertanian) ini mendorong penduduk desa untuk melakukan migrasi ke kota. Selain itu, minimnya kesempatan pekerjaan di pedesaan di Pulau Jawa juga

Tabel 1. Adaptasi Migran Menurut Tempat Tinggal

No

Tahap adaptasi

Tempat tinggal

Keterangan

I

Tahap awal

  •    Numpang di tempat teman atau famili                     Tata ruangan yang berjubel dan kurang sehat (kumuh)

  •    Menempati kos-kosan dengan kamar seadanya

II

Tahap merintis

  •    Mengontrak tempat tinggal yang lebih memadai (satu kamar lengkap dengan kamar mandi sendiri, dapur dan ruangan depan), atau                                                

  •    Mengontrak sebuah rumah agar lebih nyaman

Migran pada kelompok ini adalah mereka yang baru berkeluarga yang ingin mandiri

Mereka siap menerima kedatangan famili atau teman migran dari Jawa

III

Tahap mandiri

  •    Menyewa tanah dan membangun rumah sendiri semi       

permanen

  •    Membangun rumah di tempat asal                       

  •    Membeli rumah BTN/membangun rumah sendiri di atas tanah yang dibeli sendiri di rantau

Tanah biasanya di sewa dalam jangka waktu 5 – 10 tahun ke atas

Sebagai wujud keberhasilannya di rantau orang

Sumber : Hasil Penelitian


mendorong migran unskill untuk melakukan urbanisasi ke Kota Denpasar.

Selanjutnya faktor penariknya adalah di Kota Denpasar tersedia lapangan pekerjaan yang mereka yakini mampu mengubah nasib mereka. Selain itu, kedatangan penduduk migran di Kota Denpasar karena alasan faktor keamanan tinggal di Bali dibandingkan dengan daerah lain (Pemda Kota Denpasar, 2012).

Dalam menjalani kehidupan di tempat yang baru (Kota Denpasar), migran unskill Jawa menjalani beberapa proses adaptasi, yakni adaptasi di tempat tinggal yang baru, adaptasi dalam memilih dan menjalankan pekerjaan, serta adaptasi sosial migran terhadap sesamanya, maupun terhadap penduduk asli (orang Bali) setempat.

Adaptasi di tempat tinggal

Kebutuhan mendasar hidup manusia adalah sandang (pakaian) dan papan (perumahan). Untuk itu, kebutuhan akan perumahan menjadi penting. Tentu saja, migran unskill Jawa yang merantau di Kota Denpasar – pada tahap awal di tempat tujuan tidak memiliki tempat tinggal yang memadai. Tempat tinggal mereka amat sederhana, di tempat kumuh dengan penghuni yang cukup padat. Secara umum, adaptasi tempat tinggal migran unskill Jawa di Kota Denpasar berproses melalui tiga tahapan, yaitu tahap awal, tahap merintis dan tahap mandiri (Tabel 1).

Sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 1, biasanya migran yang baru datang akan numpang di tempat teman atau familinya. Ia tinggal dalam ruangan yang berjubel, pengab dan kurang sehat. Salah seorang informan bertutur: “Semula saya numpang teman, terus kos dikontrakan yang sesak. Trus saya kontrak tanah dan mbangun gubuk sendiri seperti ini” (Halim, 67 tahun). Itulah penuturan informan yang pernah tinggal di tempat kos kumuh, yang kini menempati rumah sederhana di atas tanah yang disewanya. Walaupun lebih dari 15 tahun, ia tetap bertahan hidup di tempat rantauan, salah satu titik wilayah kumuh di Denpasar Barat. Sebagian besar kawasan padat dan kumuh yang teridentifikasi di Kota Denpasar merupakan tanah yang disewa oleh para migran. Seseorang mengontrak sebidang tanah

yang relatif luas dengan masa kontrak yang relatif lama (lima bahkan sampai puluhan tahun). Di lahan tersebut kemudian dibangun bedeng-bedeng dengan luas yang terbatas dari bahan bangunan yang seadanya, atau lahan dikavling dalam ukuran tertentu.

Selanjutnya petak-petak bangunan tersebut disewakan lagi kepada pendatang lain yang membutuhkan tempat tinggal. Secara fisik pemukiman padat dan kumuh memiliki ciri bangunan terbuat dari bahan seadanya seperti kayu, gedek, triplek, dan seng bekas bahkan ada yang berdinding kardus. Pemukiman kumuh ini menjadi tidak sehat karena belum dilengkapi sarana air bersih, MCK serta pengelolaan sampah yang semestinya. Karena tidak punya pilihan lain, para migran bisa tinggal dalam lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat ini.Selanjutnya tahap merintis ditandai dengan, sang migran mengontrak tempat tinggal yang lebih memadai (set kamar lengkap dengan kamar mandi sendiri, dapur dan ruangan depan). Mereka ini biasanya migran yang baru berkeluarga yang ingin mandiri. Terakhir, tahap mandiri, yakni migran yang mampu mengontrak sebuah rumah untuk keluarganya. Mereka biasanya siap menerima kedatangan famili atau temannya dari Jawa. Migran yang mandiri ini, ada yang mengontrak sebidang tanah (1 are) dan membangun rumah sendiri semi permanen. Lazimnya, tanah yang dibangun rumah itu disewa dalam jangka waktu 5 – 10 tahun ke atas. Di samping membangun rumah semi permanen, migran yang mandiri ini ada yang membangun / memperbaiki tempat tinggalnya di kampung halaman. Selain itu, migran yang mandiri memang sengaja tinggal di Denpasar dan membeli BTN untuk kehidupannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, karena para sesepuh (orang tua) mereka di Jawa sudah meninggal, atau saudara-saudara batih mereka juga bermigrasi ke tempat/pulau lain.

Dari wawancara mendalam dipahami bahwa sebenarnya para migran masih mengangap bahwa rumah yang sebenarnya adalah rumah yang ada di kampung halaman di Jawa. Rumah (omah) di kampung halaman merupakan tempat tinggal, tempat sebagian besar kegiatan domestik dilakukan dan keberadaan diri terefleksikan, dalam kehidupan orang Jawa (Santoso,

2000: 3), sedangkan rumah di perantauan (Denpasar) tidak dapat menggantikannya. Untuk itu, para migran sengaja membangun rumah sederhana, asal dapat di tempati dan dapat berlindung dari panas dan hujan. Rumah yang ditempatinya kini dibangun seadanya, karena didirikan di tanah orang. Salah seorang informan menyatakan sebagai berikut.

“Merantau, cari uang agar bisa sukses dan pulang kembali ke kampung halaman adalah cita-cita kita pada mulanya. Tapi, orang tua kami di Jawa sudah tiada, keluarga lain juga merantau. Biarlah saya tinggal di sini dengan tempat sederhana ini. Bila punya uang, sebenarnya saya ingin beli BTN atau mendirikan rumah di atas tanah sendiri (Sujak, 55 tahun)’.

Sebagaimana ungkapan migran asal Madura di atas, secara ideal migran unskill jawa di Kota Denpasar bercita-cita membangun rumah di kampung halaman, tetapi karena para sesepuh (bapa, ibu, orang yang dituakan) mereka sudah tiada, maka mereka merasa tidak keberatan kalau membangun rumah di rantau. Sebagian migran ingin memiliki rumah dan menetap di Pulau Bali. Sebagai mana yang dinyatakan Pelly (1994: 295) migran yang relatif berhasil di rantau orang akan menetap di tempatnya yang baru. Mereka tergolong sebagai pelaku migrasi ekspansionis. Biasanya mereka memiliki jaringan sosial dan relasi bisnis yang cukup mapan untuk menjamin eksistensinya.

Adaptasi dalam Memilih Pekerjaan

Di tempat yang baru, migran bekerja sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Bagi migran unskill jawa pekerjaan itu dapat dipilah menjadi tiga kelompok umum, yakni pekerjaan yang tanpa skill, pekerjaan yang membutuhkan keterampilan khusus, dan pekerjaan wirausaha. Pertama, pekerjaan yang relatif tanpa keterampilan meliputi: buruh bangunan, kuli angkut barang, pembantu rumah tangga, pemulung, tukang kebon, cleaning service, penjaga toko dan pekerja kasar lainnya. Kedua, jenis pekerjaan dengan keterampilan khusus meliputi: tukang kaca, tukang jahit pakaian, tukang bunga, lebur perak/emas, sol sepatu, bengkel speda/motor. Ketiga, pekerjaan wirausaha, termasuk dagang nasi bungkus, dagang pelembungan, jual bakso, jualan di kaki lima, jual sayur, jual sate dan sebagainya.

Mayoritas, migran unskill Jawa yang ada di Denpasar bekerja tanpa memiliki keterampilan, dan hanya sebagian kecil saja yang memiliki pekerjaan yang membutuhkan keterampilan khusus dan yang terjun menekuni wirausaha. Berikut penuturan seorang informan:

“Anak saya perempuan jadi pembantu rumah tangga, suaminya buruh bangunan, saya cukup “njahit kecil-kecilan”. Dulu, saat pertama kali saya datang ke Denpasar (th 70-an) kerja sebagai cleaning service di sebuah penginapan. Pagi sampai siang kerja, sorenya ikut kursus njahit. Nah, setelah

bosan jadi cleaning service, saya wirausaha saja, njahit pakaian anak sekolah sampai sekarang (Basiran, 60 tahun)”.

Sesuai dengan tingkatan kebutuhan hidup di atas, migran unskill di Kota Denpasar juga terus berupaya memenuhi kehidupannya. Di samping kebutuhan dasar, papan dan sandang, mereka juga ingin membuktikan diri dan menunjukan eksistensinya. Hal ini sesuai dengan teori Abraham Maslow bahwa manusia ingin memenuhi: (1) basic psychological needs, yaitu kebutuhan dasar seperti, makan, minum, istirahat, dan sebagainya; (2) safety and secutirty needs, yaitu kebutuhan akan keamanan dan keselamatan seperti memiliki pekerjaan, bisa menabung; (3) belonging and sosial needs, yaitu kebutuhan sosial bisa bekerjasama dan hidup dengan sesamanya; (4) esteem and status, yaitu kebutuhan untuk dihargai atau dihormati; (5) self actualization and fullfillment, yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri untuk menjadi orang yang terbaik, termasuk mengembangkan untuk mengaktualisasikan potensinya (Alwisol, 2005: 257).

Adaptasi Sosial

Menurut Teori Konfigurasi Budaya, proses perubahan adaptasi suatu etnis di tempat yang baru setidaknya mengalami tiga proses sosial. Pertama, terjadi pengelompokan baru dengan orang yang berbeda. Pengelompokan ini merupakan proses penting dalam hubungannya dengan proses adaptasi mendatang, yang ini berarti pembentukan hubungan sosial baru. Kedua, terjadi redefinisi sejarah kehidupan seseorang karena ada fase kehidupan baru yang terbentuk, fase ini dapat memiliki arti yang berbeda bagi seseorang karena setting sosial yang berbeda dengan setting dimana mereka menjadi bagian sebelumnya. Ketiga,terjadi proses pemberian makna baru bagi diri seseorang ,yang menyebabkan ia mendefinisikan kembali identitas kultural dirinya dan asal usulnya. Reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang,yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya (Abdullah, 2006: 44). Ketika hidup di rantauan, migran menjaga keselarasan hubungan dengan lingkungan sosialnya. Mereka berupaya menjalani hidup berdampingan dan bekerjasama dengan sesama migran lainnya, baik migran asal Bali maupun luar Bali. Mereka juga beradaptasi dan bekerjasama dengan penduduk lokal, terutama tuan rumah di mana mereka tinggal.

Jalinan antara migran dengan tuan rumah (yang mempunyai kos kosan atau tanah) umumnya cukup harmonis dengan prinsip simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Sang pemilik tempat tinggal merasa terbantu karena memperoleh pemasukan ekonomi dari migran yang menempati rumahnya, sebaliknya para migran merasa tertolong oleh tuan rumah termasuk dalam kepengurusan identitas diri, yakni Kartu Identitas

Penduduk Musiman (KIPEM) dan Kartu Penduduk (KTP). Salah seorang migran yang tinggal di kawasan kumuh Bongkol Manis, desa Pemecutan Kaja mengungkapkan pengalamannya. “Tuan rumah baik sekali sudah mbantu ngurus KTP saya di sini, tuan rumah juga tak masalah jika saya telat bayar sewa tanah untuk bangunan ini. Tuan rumah maklum atas keadaan warga yang tinggal di sini (Yono, 35 tahun)”.

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa migran memperoleh sambutan dan penerimaan yang manusiawi dari tuan rumah. Mereka mampu beradaptasi dengan baik di tempat barunya. Hal ini bisa terjadi karena adanya sikap toleransi dari kedua belah pihak. Toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan (Taum, 2006: 6).

Umumnya migran unskill Jawa mampu berpartisipasi dengan lingkungan banjar setempat. Mereka terlibat rajin melakukan gotong royong kerja bakti tiap bulan di lingkungan banjar setempat. Mereka juga berpartisipasi memberikan sedikit bantuan bagi sekee teruna teruni (STT) setempat untuk membuat ogoh-ogoh sebelum hari raya nyepi. Secara umum migran unskill Jawa mampu beradaptasi secara baik, harmonis. Mereka telah melakukan reproduksi budaya, yaini proses aktif yang menegaskan keberadaanya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Abdullah, 2006: 41).

Implikasi Misi Budaya Migran Unskill Jawa di Kota Denpasar

Usman Pelly (1994) menyatakan bahwa adaptasi seseorang sangat dipengaruhi oleh misi budaya. Budaya rantau yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok etnik akan mempengaruhi cara-cara mereka melakukan kegiatan bisnis dan melakukan strategi adaptasi di daerah baru (perantauan). Misi budaya terjadi suatu strategi adaptasi secara terus menerus, termasuk melalui akulturasi budaya dan reproduksi budaya, yakni proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh para pendatang untuk menegaskan budaya asalnya (Abdullah, 2006). Misi budaya migran unskill Jawa di Kota Denpasar memiliki beberapa implikasi (dampak), antara lain (1) terjadinya penguatan identitas etnik jawa, dan (2) bergesernya pola konsumsi dan gaya hidup serta (3) kontribusi ekonomi mereka bagi keluarga di tempat asal sebagai bentuk komitmen mereka demi keberlanjutan budaya yang melahirkannya.

Penguatan Identitas Etnik

Secara umum migran Jawa dapat mempertahankan identias etnik mereka. Mereka dapat melakukan adaptasi sosial-kultural tanpa menghilangkan jati diri dan identitas etnik Jawa mereka. Hal sesuai dengan pendapat Barker (2005) bahwa identitas diri bertalian dengan konsepsi yang diyakini tentang diri kita, sementara harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Baik warga Jawa maupun etnis lain di perantauan memiliki kedudukan dan martabat yang sama seperti penegasan Lacan (dalam Sarup, 2008; 11-22) bahwa berkat identitas, setiap orang tetap sama, selalu identik dengan dirinya sendiri, dan sekaligus berbeda dengan orang lain. Walaupun para migran sudah lama tinggal di rantauan, tetapi mereka tetap menunjukkan orang Jawa. Mereka tetap berupaya menjaga nilai budaya yang melahirkannya. Nilai-nilai budaya yang dibawa dari kampung tetap dipertahankan sebagai pedoman hidup. Dalam rangka menjaga kesinambungan budayanya, mereka memelihara kebiasaan atau tradisi yang dipahaminya.

Pertama, para migran masih memegang teguh tradisi budayanya, termasuk mempertahankan ritual upacara daur hidup (life cycle rites) seperti upacara kelahiran, upacara tujuh bulanan, upacara turun tanah 3 bulan setelah kelahiran, upacara sunatan, dan kematian. Mereka tetap menjaga tradisi agama (Islam) dan budaya (Jawa) ini bersama komunitas muslim di tempatnya yang baru.

Kedua, bergabung dalam kelompok-kelompok pengajian di komunitas muslim setempat. Di samping menambah teman serantauan, migran yang tergabung dalam pengajian ini juga mendapatkan kemudahan-kemudahan terkait dengan kehidupan mereka selaku umat beragama. Mereka dapat melaksanakan hajatan / upacara keagamaan. Mereka juga mendapatkan pelayanan jasa dalam kepengurusan kematian apabila keluarganya tertimpa musibah kematian. Dukungan moral dan finansial akan mereka peroleh apabila tergabung dalam kelompok pengajian.

Ketiga, sebagian migran unskill Jawa menjalin persaudaraan dengan sesama migran sedaerah dalam organisasi paguyuban. Di samping untuk silaturahmi, wahana kegiatan arisan, paguyuban telah menjadi wahana yang efektif untuk menjaga solidaritas sosial antarmigran.

Pola Konsumsi dan Gaya Hidup

Sesuai dengan tingkat keberhasilan ekonomi yang dicapai, pola konsumsi dan gaya hidup migran sedikit men-galamai pergeseran. Apabila di tempat asal sebelumnya, pola konsumsi dan gaya hidup migran relatif sederhana. Artinya, mereka hidup sederhana, menerima apa adanya, maka setelah sedikit sukses di kota, mereka mulai meru-bah penampilan diri dan berupaya menenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping kebutuhan primer seperti pakaian, mereka sudah berupaya membeli barang-barang kebutuhan sekunder. Salah seorang informan menyatakan sbb:

“Kalau di kampung kita seadanya saja, beli baju cukup 1 tahun sekali saat akan hari raya (Idul Fitri). Tapi di sini, ya kalau punya uang beli aja baju yang kita inginkan. Tidak harus pada hari raya. Alhamdulillah, saya juga bisa beli HP dan TV berwarna walaupun berukuran kecil (14 inchi). Saya juga sudah nyicil (kredit) motor sendiri” (Suroso, 33 tahun). Penuturan di atas menggambarkan bahwa nilai budaya dan perilaku migran juga mengalami pergeseran. Apabila di tempat asal, di lingkungan petani pedesaan mereka cenderung selaras dengan alam, hidup seadanya dan untuk hari ini, maka di tempat rantauan, mereka didorong untuk lebih survive, siap bersaing. Mereka semakin sadar akan pentingnya menghargai waktu, berupaya bekerja dengan tekun dan rajin agar mampu beradaptasi dengan tantangan hidup kota yang keras. Salah seorang informan menyatakan: “Siapa yang nolong kita, kalau tidak usaha sendiri. Kesempatan yang ada harus kita raih dan manfaatkan sebaik-baiknya (Yono, 35 tahun)”. Itulah kata seorang migran yang menekuni usaha jual sepatu bekas. Ia berupaya menghidupi keluarganya dan berupaya menyisihkan penghasilannya untuk di tabung, untuk keberlanjutan hidup keluarganya.

Komitmen untuk Mendukung Pelestarian Budaya Asal

Pada umumnya, migran unskill Jawa di Kota Denpasar masih memiliki hubungan (emosional, sosial, dan kultural) yang kuat dengan kampung halamannya. Hal ini dibuktikan antara lain dengan adanya budaya mudik lebaran tiap Idul fitri. Budaya mudik saat lebaran merupakan bukti bahwa migran amat mencintai kampung halamannya. Mereka rela mencari uang, kerja keras di rantau orang selama satu tahun agar bisa berhari raya bersama keluarganya di rumah. Seringkali para migran itu, merasa bangga dan puas apabila bisa mencari uang dan menyumbangkan hasil kerjanya itu untuk mendukung kebutuhan keluarganya di Jawa, termasuk untuk memenuhi kebutuhan lebaran. Seorang migran, tukang sate yang mangkal di Desa Pemecutan Kaja menyatakan sbb: “Ya pak, saya kerja itu untuk apa, kan untuk keluarga. Kita cari dan ngumpulkan uang agar bisa berhari raya (Idul Fitri) di rumah bersama keluarga” (Nadir, 37 tahun).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa migran amat mencintai budaya kampung halamannya. Di antara mereka sudah memiliki kesadaran menabung dari hasil kerjanya. Apabila mereka memiliki cukup penghasilan, mereka juga mengirimkan bantuan finansial untuk keluarganya di kampung, termasuk membantu kebutuhan pendidikan dan kesehatan anggota keluarganya di kampung. Pada umumnya penduduk migran di Denpasar rela menjalani hidup dengan sederhana agar mampu berkontribusi secara ekonomi untuk keluarga di tempat asal sebagai bentuk komitmen mereka demi keberlanjutan budaya yang melahirkannya. Mereka dapat berhemat

dan menjalani hidup tanpa foya-foya dengan harapan agar dapat membantu secara finansial keluarganya yang ditinggalkan sementara di kampung halaman.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dalam menjalani kehidupan di tempat yang baru (Kota Denpasar), migran unskill Jawa mampu beradaptasi sosial dengan penduduk lokal (orang Bali) secara harmonis dan menjalankan misi budayanya, yakni tetap mempertahankan tradisi budayanya.

Misi budaya migran unskill Jawa di Kota Denpasar memiliki implikasi (dampak), yakni menguatanya identitas etnik Jawa, bergesernya pola konsumsi dan gaya hidup serta adanya komitmen mereka dalam menjaga keberlanjutan budaya yang melahirkannya.

Saran

  • a.    Tolerasi dan kerjasama yang harmonis antara migran dan penduduk asli (orang Bali) yang telah terjalin di lingkungan komunitas pemukiman kumuh di Kota Denpasar perlu dipupuk dan dipertahankan untuk memantapkan kehidupan masyarakat yang multikultural.

  • b.    Kesadaran menabung di kalangan komunitas migran dapat terus dipupuk, agar mereka secara mandiri mampu memecahkan persoalan kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alwisol. 2005. “Holisme dan Humanisme (Abraham Maslow)”, dalam Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Barker, C. 2005. Cultural Studies, Teori dan Proktik. Yogyakarta : PT Bentang.

BPS Kota Denpasar. 2012. Data Kependudukan Kota Denpasar.

Geertz,C. 1971. Agricultural Involution. LA and London: University of California Press.

Keputusan Walikota Denpasar No.188.45/509/HK/2012 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Pemukiman Kumuh di Kota Denpasar.

Manning, Chris dan TN Effendi. 1985. Urbanisasi Pengangguran dan Sektor Informal di Kota Jakarta. Jakarta: Gramedia

Taum, Yoseph Yapi. 1994. Masalah-Masalah Sosial Dalam Masyarakat Multietnik. Makalah Lepas. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Pelly. 1993. “Pengukuran Intensitas Potensi Konflik dalam Masyarakat Majemuk” dalam Analisis CSIS (Central For Strategis and Internasional Studies) Th.XXII. No. 3 Mei-Juni 1993

Sarup, M. 2008. Panduan Pengantar Postrukturalisme dan Posmodernisme. Penerjemah. Medhy Aginta Hidayat. Yogjakarta: Jalasutra

Santoso, Revianto Budi. 2000. Omah, Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: CV Adipura.

Wijaya, Nyoman. 2007. Urbanisasi, Rahmat Atau Kutuk?; Bali Post, 16 Desember 1997.

Volume X No. 2 Desember 2014

99