PIRAMIDA Vol. X No. 2 : 86 - 93

ISSN : 1907-3275

PENGARUH KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA DESA DAN KOTA TERHADAP ALOKASI WAKTU ANAK UNTUK BEKERJA DI INDONESIA

Putu Ayu Pramitha Purwanti

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

Email: pramitha_pur@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dari karakteristik rumha tangga terhadap kegiatan anak untuk bekerja dan sekolah. Kecenderungan untuk bekerja dan sekolah diestimasi dengan model OLS (Ordinary Least Square) dan model logit menggunakan data IFLS (Indonesia Family Life Survey) tahun 2000 dan 2007. Hasil estimasi membuktikan bahwa keputusan anak untuk bekerja atau sekolah adalah berbeda. Kedua kegiatan ini juga dipengaruhi oleh gender kepala rumah tangga, pendidikan, dan pendapatan orang tua. Lokasi tempat tinggal hanya berpengaruh pada intensitas anak bekerja dan bukan pada pendidikan anak.

Kata kunci: karakteristik rumah tangga, bekerja, sekolah

ABSTRACT

The aim of this study to analyze the effect of household characteristics in Indonesia on child activities to work and school. Tendency to work and school are estimated by OLS and logit models using IFLS data 2000 and 2007. The estimation results prove that there is difference between boys and girls on child’s decision to work or school. These two activities are also influenced by gender of household head, parental education and income. Location of residence only affect the intensity of working children and not children’s education.

Keyword: household characteristics, work, school

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Fenomena kemiskinan merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan bagi negara sedang berkembang maupun negara maju. Salah satu dari bentuk kemiskinan yang jelas terlihat adalah bertambahnya anak-anak usia sekolah yang bekerja baik untuk memperoleh upah ataupun sebagai pekerja dalam rumah tangga tanpa bayaran. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang rumah tangga yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasar anggotanya sehingga harus melibatkan anak sebagai pekerja yang bisa membantu sumber penghidupan rumah tangga. Kemiskinan memang sering dikatakan sebagai penyebab utamanya namun kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap keputusan anak bekerja, masih terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap hal tersebut.

Keputusan anak untuk bekerja maupun aktivitas lainnya seperti sekolah merupakan keputusan alokasi waktu anak yang bersifat gabungan (joint decision) dimana sering terjadi trade off antara keduanya. Psacharopoulos (1997) dan Ersado (2003) menemukan bahwa anak yang bekerja akan menurunkan probabilitas sekolah dan

menurunkan capaian pendidikannya dibandingkan anak yang tidak bekerja. Adanya trade off antara alokasi waktu anak untuk bekerja dan sekolah memberikan signal bagi pemerintah bahwa salah satu cara untuk mengurangi pekerja anak adalah dengan meningkatkan anggaran pendidikan. Ini pula yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Selama periode 2005-2008, anggaran pendidikan nasional mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu mencapai 23,1 persen. Harapannya, semakin banyak anak usia sekolah terutama dari rumah tangga miskin bisa menempuh pendidikan dengan biaya yang lebih murah dan di sisi lain dapat mengurangi jumlah pekerja anak. Tidak seperti yang diharapkan, jumlah pekerja anak tetap mengalami peningkatan. Hasil Survey Pekerja Anak yang dilaksanakan oleh BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan jumlah pekerja anak di Indonesia yakni sebesar 22,5 persen selama periode 2004-2009. Dengan demikian, peningkatan anggaran pendidikan yang signifikan tidak efektif mengurangi jumlah pekerja anak di Indonesia. Ini berarti terdapat faktor lain di luar biaya pendidikan yang berpengaruh terhadap keputusan alokasi waktu anak untuk bekerja ataupun sekolah.

Edmonds (2007) menyatakan bahwa terdapat

berbagai faktor yang mempengaruhi alokasi waktu aktivitas anak di luar biaya sekolah, diantaranya utilitas marjinal dari pendapatan (income), penilaian orang tua terhadap masa depan anak, pola pendidikan dan bermain anak, produktivitas anak dalam aktivitas keluarga, dan kesempatan untuk mendapat penghasilan bagi anak. Berbagai bukti empiris mengaitkan faktor-faktor tersebut dengan karakteristik yang dimiliki oleh rumah tangga. Studi ini akan mengkaji karakteristik tersebut, diantaranya karakteristik anak (gender dan usia anak), karakteristik orang tua (pendidikan dan pendapatan), dan karakteristik lokasi tempat tinggal (desa atau kota).

Kondisi tempat tinggal sebagai suatu ruang cenderung tidak diperhitungkan pada studi-studi sebelumnya. Ruang tempat tinggal anak dalam satu negara diasumsikan sama sehingga kondisi tempat tinggal cenderung digeneralisasi padahal kondisi tempat tinggal (wilayah) yang satu dengan yang lain belum tentu sama. Untuk melihat perbedaan wilayah tersebut, maka pada studi ini karakteristik wilayah spasial lokasi tempat tinggal yaitu wilayah desa dan kota dimasukkan dalam model estimasi. Dengan demikian, kajian studi bukan suatu generalisasi untuk semua wilayah di Indonesia yang memiliki karaktertistik berbeda-beda. Rumah tangga di pedesaan mayoritas beraktivitas di sektor primer yaitu pertanian sedangkan rumah tangga di perkotaan mayoritas di sektor sekunder maupun tersier. Karakteristik lokasi memperkaya gambaran mengenai fenomena pekerja anak, karena belum banyak penelitian di Indonesia yang mengaitkan fenomena tersebut dengan kondisi spasial tempat tinggal anak.

Kajian studi secara keseluruhan akan memberikan analisis yang menyeluruh mengenai karakteristik rumah tangga terkait dengan alokasi waktu anak untuk bekerja ataupun sekolah. Analisis mengidentifikasi karakteristik-karakteristik rumah tangga yang mampu mengurangi kecenderungan dan intensitas anak untuk bekerja maupun karakteristik yang mampu meningkatkan kecenderungan anak untuk sekolah. Kajian akan berimplikasi terhadap desain perencanaan kebijakan yang berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan utamanya mengenai pekerja dan pendidikan anak.

Rumusan Masalah Penelitian

Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini diantaranya pertama, bagaimana pengaruh karakteristik anak dan orang tua terhadap alokasi waktu anak untuk bekerja dan sekolah. Kedua, bagaimana peranan lokasi tempat tinggal terhadap alokasi waktu anak untuk bekerja dan sekolah.

Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik anak seperti usia dan gender serta karakteristik orang tua seperti pendidikan dan pendapatan terhadap

alokasi waktu anak untuk bekerja dan sekolah. Analisis dilanjutkan dengan mengkaji peranan lokasi tempat tinggal rumah tangga.

Manfaat

Pemahaman mengenai latar belakang alokasi waktu anak untuk bekerja dan sekolah dapat dijadikan sebagai bahan referensi yang terkait dengan pekerja dan pendidikan anak. Jika temuan menunjukkan karakteristik-karakteristik secara signifikan mempengaruhi alokasi waktu anak untuk bekerja maupun sekolah, maka desain perencanaan program kebijakan hendaknya lebih menyentuh karakteristik-karakteristik tersebut sehingga anak-anak dengan kesempatan minoritas untuk sekolah dapat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengenyam pendidikan ataupun anak-anak yang cenderung bekerja dapat mengurangi intensitasnya untuk bekerja. Dengan demikian program kebijakan yang terkait dengan pekerja anak maupun pendidikan anak akan lebih tepat sasaran dan lebih efisien. Kajian studi juga diharapkan bisa menjadi studi awal dalam mengidentifikasi kondisi pekerja anak di Indoneisa sehingga dapat memperkaya studi empiris sejenis.

KAJIAN PUSTAKA

Teori Alokasi Waktu

Rumah tangga memiliki keterbatasan sumberdaya dalam usaha meningkatkan kesejahteraannya. Keterbatasan tersebut mengharuskan anggota keluarga untuk memilih aktivitas-aktivitasnya sehingga mereka mampu mencapai utilitas yang mereka inginkan. Hal ini terkait dengan alokasi sumberdaya baik itu sumber materi maupun non materi seperti waktu. Becker (1965) mempublikasikan sebuah model teori alokasi waktu mengenai pengambilan keputusan sebagai alokasi sumberdaya dalam rumah tangga terkait dengan pilihan antara bekerja (labor) dan aktivitas alternatif lainnya termasuk di dalamnya memanfaatkan waktu luang maupun produksi rumah tangga. Berdasarkan teori ini, rumah tangga diasumsikan sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen. Ketika rumah tangga sebagai produsen, maka rumah tangga memproduksi komoditas dengan mengkombinasikan input dan waktu dengan minimisasi biaya produksi. Komoditas diproduksi dalam kuantitas yang ditentukan oleh fungsi utilitas rumah tangga yang dibatasi oleh sumberdaya rumah tangga baik anggaran maupun waktu. Model Becker (1965) adalah sebagai berikut.

Fungsi utilitas dari rumah tangga dalam bentuk :

U = U(y1, y2, …, yn) (1)

subject to batas anggaran :

Σpi’yi = I = W + V ) (2)

dan batasan waktu:

T = Tc + Tw (3)

dimana yi adalah barang yang dibeli di pasar, pi’ adalah harga barang-barang tersebut, I adalah money income, W adalah penghasilan, V adalah pendapatan lainnya, T adalah total waktu yang tersedia, Tc adalah total waktu untuk konsumsi dan Tw adalah total waktu untuk bekerja.

Teori Altruism

Model alokasi waktu konsisten dengan model altruism yang pertama kali juga diperkenalkan oleh Becker pada tahun 1976 (Grossbard, 2010). Model ini mengasumsikan bahwa alokasi sumberdaya ditentukan oleh fungsi utilitas serta batas anggaran (budget constraint) yang dimiliki oleh rumah tangga tersebut. Fungsi utilitas dilihat sebagai ukuran selera orang tua terhadap adanya ketidaksamaan pendistribusian sumberdaya dalam anggota rumah tangganya sedangkan batas anggaran memperlihatkan besarnya sumberdaya yang dimiliki oleh rumah tangga tersebut. Orang tua akan memaksimalkan utilitas rumah tangga, salah satunya dengan berinvestasi pada anak-anak. Orang tua mengalokasikan sumberdaya kepada anak-anak yang mampu memberikan tingkat pengembalian marjinal yang lebih tinggi dari investasi sumberdaya tersebut (Becker, 1991). Keputusan alokasi ini akan berdampak pada ketersediaan akan kesempatan seperti kesempatan untuk bekerja atau sekolah bagi anak.

Model Pekerja Anak

Terkait dengan keputusan alokasi waktu anak untuk bekerja, Cigno dan Rosati (2005) dalam Edmonds (2007), menggambarkan model child labor dimana diasumsikan adanya sepasang orang tua, seorang anak dengan dua periode waktu yaitu periode anak masih berusia muda ketika orang tua memutuskan alokasi waktu anak serta periode masa depan anak. Orang tua tidak memiliki periode masa depan. Penawaran tenaga kerja orang tua bersifat tidak elastis sehingga pendapatannya eksogen. Utilitas preferensi orang tua:

u(S, Vk) ..................................................................(4)

S adalah preferensi orang tua terhadap standar hidup sekarang, Vk adalah kesejahteraan masa depan anak. Bekerja di dalam rumah dapat berupa produksi barang ataupun memberikan jasa yang bisa dijual kembali di pasar kerja atau domestic work sehingga

E + P + M + H = 1 ................................................(5)

E adalah waktu anak dialokasikan untuk pendidikan, P adalah waktu luang dan bermain, M adalah bekerja di luar rumah dan H adalah bekerja di dalam rumah. Standard of living dibentuk dengan fungsi produksi yang homogen linear dan tergantung pada pembelian input (c) dan input waktu anak (H) sehingga

S = F(c,H) (6)

Masa depan anak tergantung pada fungsi produksi produk marjinal:

Vk = R(E,P) .(7)

Biaya oportunitas pendidikan sudah masuk ke dalam batas waktu (time constraint) sehingga biaya langsung yang diperlukan untuk pendidikan sebesar e. Biaya ini diasumsikan meningkat seiring dengan banyaknya waktu yang digunakan untuk pendidikan. Biaya langsung yang diperlukan untuk pendidikan sebagai konsumsi yang tidak bisa dinikmati sekarang disebut sebagai eE.

Upah bagi yang bekerja di luar rumah bersifat eksogen. Pendapatan ini dikombinasikan dengan pendapatan bukan dari anak/non-child income (Y) untuk membeli input yang digunakan dalam mencapai standard of living:

c = Y + wM – eE(8)

Parent’s problem menjadi:

maxE,P,M,H u(F(Y + wM – eE,H), R(E,P)) (9)

subject to:

E + P + M + H = 1, E0, P0, M0, H0(10)

Tambahkan persamaan sebelum persamaan E=0.

Jika anak tidak sekolah, u⅛ τ+⅛ ^F e, maka utilitas marjinal keluarga dari konsumsi hilang karena adanya biaya sekolah dan utilitas marjinal dari waktu (λ) paling tidak sama dengan utilitas marjinal keluarga yang memberikan tambahan pendidikan bagi anaknya untuk memperbaiki masa depan mereka. Utilitas marjinal waktu tergantung pada bagaimana keluarga menilai kontribusi waktu anak untuk bermain terhadap kesejahteraan anak dan bagaimana waktu yang digunakan untuk bekerja di pasar kerja maupun produksi dalam rumah tangga yang berdampak terhadap standard of living.

Oleh karena itu, anak akan bekerja dan tidak sekolah jika (Edmonds, 2007):

∂u R      Su SF

^sE τ + SS Sc(w+e)  ..................................(11)

Utilitas marjinal dari kontribusi anak terhadap standard of living melalui upah dan pengurangan biaya sekolah paling tidak sama dengan utilitas marjinal dari pengembalian pendidikan (return on education).

Berbagai faktor dapat berpengaruh terhadap alokasi waktu anak untuk aktivitas-aktivitas tersebut, seperti faktor sosial ekonomi (usia, urutan kelahiran dan struktur anak, gender, ukuran keluarga, latar belakang pendidikan orang tua, income keluarga, kondisi rumah, kesehatan, budaya patriarki dan sebagainya) serta lokasi tempat tinggal keluarga (desa, kota, pesisir dan non pesisir).

Pada studi ini akan ditekankan pada aktivitas anak bekerja dan aktivitas anak belajar di sekolah dengan melihat usia dan gender sebagai faktor penentunya selain pendidikan dan pendapatan orang tua. Studi juga mengkaji pilihan anak terkait dengan lokasi tempat tinggal yaitu apakah tinggal di lingkungan pedesaan ataupun perkotaan. Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya perbedaan hubungan antara faktor-faktor di atas dengan alokasi waktu aktivitas anak untuk

bekerja, sekolah ataupun mengerjakan pekerjaan rumah dimana secara keseluruhan tergantung pada konteksnya masing-masing.

Penelitian Terdahulu

Menurut Edmons (2007), alasan anak bekerja yang pertama adalah kemiskinan. Kemiskinan dikatakan mempengaruhi penilaian keluarga terhadap waktu anak untuk produksi dalam rumah tangga, pasar tenaga kerja formal dan juga terhadap kesejahteraan masa depan anak. Kondisi yang miskin kemungkinan besar akan mengarahkan alokasi waktu anak untuk bekerja sehingga dapat membantu meringankan beban orang tua. Bantuan ini bisa berupa upah yang diterima anak jika bekerja di pasar kerja (oriented market) maupun bantuan tenaga yang diberikan untuk aktivitas dalam rumah tangga yang tidak dibayar (domestic work). Alasan yang kedua, nilai relatif pengembalian (return) dari waktu anak untuk sekolah. Anak akan bekerja jika manfaat tambahan yang diberikan anak tersebut dari bekerja minimal sama dengan atau lebih besar dari manfaat tambahan yang diperoleh jika anak tersebut sekolah. Terakhir, preferensi orang tua dalam membuat keputusan alokasi waktu anak. Preferensi akan mempengaruhi penilaian orang tua terhadap waktu anak untuk bekerja atau tidak bekerja.

Penelitian empiris membuktikan bahwa berbagai faktor sosial berpengaruh terhadap keputusan anak untuk bekerja atau belajar di sekolah. Psacharopoulos (1997) menemukan bahwa keputusan anak untuk bekerja dan belajar bersifat trade off dimana bekerja menyebabkan pengurangan waktu sekolah anak di Amerika Latin. Namun di Indonesia, Hsin (2005) menggunakan data Worker Iron Status Evaluation (WISE) di Jawa Tengah menemukan bahwa tidak adanya hubungan antara waktu anak bersekolah dengan bekerja. Hal ini didukung oleh preferensi orang tua yang ada yaitu orang tua tetap menginginkan anaknya untuk tetap sekolah seandainya pun harus bekerja. Jadi orang tua tidak akan meminta waktu sekolah anaknya dikorbankan untuk bekerja.

Terkait dengan gender dan komposisi anak, sebagian besar menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gender antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal waktu untuk bekerja dan bersekolah. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Pitriyan (2006), Ejrnaes dan Portner (2002), Garg dan Morduch (1998), de Haan (2005), Emerson dan Souza (2008), serta Dammert (2010) menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki kesempatan lebih besar untuk sekolah dibandingkan dengan anak perempuan dan urutan kelahiran (birth order) memiliki dampak yang negatif terhadap kemungkinan anak bekerja. Adapun birth order yang dimaksud adalah urutan kelahiran anak dimana semakin besar urutan menunjukkan anak semakin muda usianya. Anak yang lebih tua akan cenderung untuk bekerja membantu meringankan beban orang tua baik dengan

bekerja di pasar kerja maupun mengasuh adik-adiknya. Penambahan anak akan memperbesar kemungkinan anak laki-laki yang lebih tua untuk masuk ke pasar kerja dan menambah jam kerja domestik bagi anak perempuan yang lebih tua. Anak yang lebih muda kemungkinan besar akan memiliki waktu untuk sekolah lebih banyak dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Jadi penambahan jumlah anggota keluarga memperbesar kemungkinan anak untuk bekerja. Selain itu, faktor latar belakang pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap pendidikan anak yang akan mengurangi kemungkinan anak untuk bekerja (Namoro dan Roushdy, 2008). Semakin tinggi pendidikan orang tua akan meningkatkan kemungkinan anak untuk bersekolah yang dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa anak dengan pendidikan tinggi akan memiliki return yang lebih tinggi pula sehingga kesejahteraannya di masa depan akan semakin baik.

Mayoritas penelitian tentang pekerja anak dilakukan di negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri tidak terlalu banyak literatur yang mengangkat permasalahan pekerja anak terkait dengan faktor sosial masyarakat. Mayoritas penelitian dilakukan secara umum tanpa membedakan wilayah spasial yang memberi gambaran kondisi geografis, akses maupun infrastruktur. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan anak untuk bekerja ataupun sekolah tidak saja melihat karakteristik rumah tangga tapi juga faktor wilayah spasial yang dibedakan berdasarkan kota dan desa. Kontribusi dari studi diharapkan dapat melengkapi literatur sejenis yang telah ada dengan mengeksplor pengaruh gender dan usiaanak serta pendidikan dan pendapatan orang tua pada rumah tangga desa dan kota di Indonesia terhadap alokasi waktu anak untuk bekerja atau sekolah. Dengan demikian dapat memberikan gambaran berbagai implikasi yang timbul serta memunculkan alternatif-alternatif penanganan pekerja anak di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Data dan Variabel

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) yang juga dikenal dengan nama Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) tahun 2000 (wave III) dan tahun 2007 (wave IV). Sampel diambil dari unit rumah tangga yang memiliki anak usia sekolah pendidikan dasar yaitu 7 sampai dengan 14 tahun.

Variabel yang digunakan dalam analisis dibedakan menjadi variabel terikat dan variabel bebas termasuk di dalamnya variabel bebas utama (interest variables) dan variabel kontrol.Variabel terikat terdiri dari tiga variabel yaitu status bekerja anak, jam kerja anak dan status sekolah anak. Status bekerja ataupun status

sekolah anak mengindikasikan besarnya kecenderungan anak untuk bekerja atau sekolah sedangkan jam kerja menggambarkan intensitas bekerja anak.

Variabel bebas secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga vektor utama yaitu pertama, karakteristik anak yang terdiri dari gender anak serta usia anak. Kedua, karakteristik orang tua yang terdiri dari gender kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga dan pendapatan kepala rumah tangga. Ketiga, karakteristik lokasi tempat tinggal yang dibedakan berdasarkan desa dan kota.

Model

Model utama yang digunakan mengacu pada penelitian serupa sebelumnya yang dilakukan oleh Patrinos dan Psacharopoulos (1997) sebagai berikut:

SCH = a1 + X1b1 + X2b2 + X3b3 + ε1 ...................(7)

dimana SCH adalah status anak sedangkan X1, X2, dan X3 adalah karakteristik individu, rumah tangga dan demografi. Dari model di atas dimodifikasi sesuai dengan tujuan penelitian. Estimasi dilakukan dengan dua model yang berbeda yaitu model logit untuk menguji karakteristik rumah tangga terhadap kecenderungan anak bekerja ataupun sekolah dan model OLS (ordinary least square) untuk menguji karakteristik rumah tangga terhadap jam kerja anak.

Model Logit:

= Ci—l~n = βo + βι female + β2childage

1 — ‘i

+ β3femchildage +β4urban + β5 femurban + β6highheadeduc ΛCΛ ()

+ β7 femalehead + βaheadearn + ε^

Model logit digunakan karena variabel dependen yang digunakan salah satunya adalah variabel binary (dummy) yang tidak berdistribusi normal (Gujarati, 2003).Dengan model logit diharapkan lebih tepat dan tidak terjadi over estimate ataupun under estimate terhadap hasil yang diberikan.

Model OLS:

Li = C1—T= /^0 + βι female + β2childage

1 — ‘i

+ β3femchildage +β4urban + β5 femurban + /^highheadeduc + β7 femalehead + βaheadearn + ε^

Ket :

Li             = logit variabel terikat yaitu status bekerja/

sekolah anak (anak bekerja= 1, 0 = lainnya; anak sekolah =1, 0 = lainnya)

Workh       = jam kerja anak dalam seminggu

Female = gender anak (perempuan = 1, 0 = laki-laki) Childage = usia anak 7-14 tahun

Urban        = lokasi tempat tinggal (kota= 1, desa= 0)

Highheadeduc = pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga. Pendidikan rendah jika tidak sekolah sampai dengan sekolah menengah pertama atau setingkatnya dan pendidikan tinggi jika lebih dari SMP atau setingkatnya (Pendidikan tinggi=1,

Femalehead

Headearn

Femchildage Femurban

βi


pendidikan rendah=0).

= gender kepala rumah tangga (perempuan=1, laki-laki=0)

= pendapatan bersih yang diterima oleh kepala rumah tangga setiap bulannya.

= interaksi gender anak dengan usia anak

= interaksi gender anak dengan lokasi tempat tinggal

= konstanta dan koefisien masing-masing variabel bebas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rumah tangga di Indonesia yang memiliki anak usia 7-14 tahun didominasi oleh rumah tangga yang bertempat tinggal di pedesaan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas rumah tangga memiliki aktivitas utama yang berkaitan dengan sektor primer seperti pertanian. Peranan laki-laki sebagai kepala rumah tangga masih tergambar pada rumah tangga di Indonesia dimana lebih dari setengah rumah tangga tersebut memiliki kepala rumah tangga laki-laki. Persentase anak perempuan usia 7-14 tahun hampir seimbang dengan anak laki-laki dalam kelompok usia yang sama dan mayoritas anak-anak tersebut masih sekolah. Namun demikian, tidak sedikit anak yang bekerja untuk membantu meringankan beban rumah tangga baik dengan bekerja untuk upah ataupun membantu dalam pekerjaan rumah tangga. Hasil estimasi dari pengaruh karakteristik rumah tangga terhadap alokasi waktu anak untuk bekerja dapat dlihat pada Tabel 1.

Kecenderungan anak bekerja terlihat pada kolom (2) dimana hasil estimasi menunjukkan bahwa karakteristik anak baik gender maupun usia anak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap status bekerja anak. Justru karakteristik orang tua yaitu pendapatan orang tua dan gender kepala rumah tangga yang secara signifikan berperan dalam keputusan anak untuk bekerja. Kedua variabel ini memiliki hubungan positif dengan probabilitas anak untuk bekerja. Jika kepala rumah tangga adalah seorang perempuan, maka probabilitas anak untuk bekerja lebih besar 67,4 persen dibandingkan jika kepala rumah tangganya adalah laki-laki. Besarnya peranan orang tua terhadap keputusan anak untuk bekerja menunjukkan bahwa usia 7-14 tahun merupakan usia yang belum matang sehingga belum mampu mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri. Kondisi tersebut mendorong orang tua untuk melakukan intervensi dalam memutuskan alokasi waktu aktivitas anak sehingga keputusan anak bekerja didominasi oleh karakteristik orang tua.

Hubungan variabel lainnya bervariasi walaupun tidak signifikan.Usia anak dan lokasi tempat tingggal walaupun tidak signifikan memiliki hubungan yang negatif dengan keputusan anak untuk bekerja. Hubungan negatif mengindikasikan semakin bertambahnya usia

Tabel 1. Estimasi Status Anak Bekerja, Status Anak Sekolah dan Jam Kerja Anak

Independent

Dependent Variable

Work

School

Work Hours

Marginal effect

Marginal effect

OLS

(1)

(2)

(3)

(4)

Female

0.0416514

-0.754225**

-4.219783**

(.93318)

(.21715)

(.93939226)

Childage

-0.0328832

-.0156944

0.0796718

(.0563)

(.01457)

(.0619528)

Femchildage

0.0241640

0.0548063**

0.3929851**

(.08215)

(.01958)

(.084478)

Urban

-0.3291908

0.0383303

-1.959639**

(.27585)

(.06899)

(.292585)

Femurban

0.1311133

0.1098875

0.4822717

(.39474)

(.09211)

(.3948971)

Highheadeduc

0.3616147

0.2454066**

-1.494954**

(.48433)

(.07052)

(.291774)

Headfemale

0.6740210*

0.4798899**

0.228391

(.30939)

(.09025)

(.3526015)

Headearn

4.44E-08*

3.36E-10

-1.02E-08*

(2.11e-8)

(1.08e-09)

(4.22e-09)

_cons

7.224735

-

-

(.6798589)

N

2,387

10,042

10,131

Sumber: IFLS 2000 & IFLS 2007, diolah Ket:      *) signifikan pada 5persen

**) signifikan pada 1persen

( ) standar error

anak semakin kecil probabilitasnya untuk bekerja. Anak yang lebih tua cenderung tidak bekerja dan kemungkinan melakukan aktivitas lain seperti sekolah dengan harapan akan memberikan return dari pendidikan yang lebih besar jika dibandingkan anak yang lebih muda di sekolah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Cigno dan Rosati (2005).1

Di sisi lain, anak usia yang lebih muda akan cenderung untuk bekerja menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, menjaga saudara yang lebih muda dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Secara statistik, tidak ada perbedaan antara status bekerja anak yang tinggal di desa ataupun kota. Namun jika dilihat korelasi yang negatif menunjukkan anak di desa lebih besar kemungkinannya untuk bekerja. Berdasarkan gender anak, tidak ada pembedaan antara anak laki-laki dan perempuan untuk bekerja pada usia kelompok tersebut meskipun secara nilai menunjukkan bahwa anak perempuan kemungkinan untuk bekerja lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki.

Intensitas bekerja anak dilihat dari besarnya alokasi waktu yang digunakan untuk aktivitas bekerja dalam satu minggu. Kolom (4) menunjukkan variabel-variabel gender anak (female), interaksi gender anak dengan usia anak, lokasi tempat tinggal, pendidikan, dan pendapatan orang tua berpengaruh signifikan terhadap jam kerja anak.

Variabel gender yang signifikan berarti adanya perbedaan jam kerja antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki 4,2 jam bekerja lebih lama dibandingkan anak perempuan dalam waktu satu minggu. Latar belakang sosial budaya seperti sistem sosial patriarki dimana sistem ini mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia tetap menempatkan nilai anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan, demikian juga dalam hal tanggung jawab. Jika anak tetap harus bekerja, maka anak laki-laki akan bertanggung jawab untuk bekerja dengan orientasi pasar (bekerja untuk memperoleh upah) sedangkan anak perempuan akan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik. Semakin tua usia anak perempuan semakin panjang jam kerjanya dalam satu minggu yang berarti semakin tinggi intensitasnya untuk bekerja.

Demikian pula dengan anak di desa, dimana intensitas anak bekerja di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tinggal di perkotaan.Anak di desa bekerja 2 jam lebih lama dibandingkan anak di perkotaan. Seperti diketahui, mayoritas masyarakat pedesaan bergerak di sektor pertanian. Sudah menjadi hal yang umum dimana anak diperbantukan sebagai tenaga kerja rumah tangga untuk bekerja di sawah. Anak-anak biasanya tetap membantu orang tua mereka untuk bekerja di lahan pertanian mereka walaupun mereka bersekolah.

Tidak hanya karakteristik anak yang memiliki hubungan negatif dengan intensitas anak bekerja, karakteristik orang tua juga menunjukkan hal yang sama. Pendapatan dan tingkat pendidikan orang tua berpengaruh signifikan terhadap intensitas anak bekerja. Anak dengan orang tua berpendidikan tinggi memilik jam kerja 1,5 jam lebih sedikit dibandingkan anak dengan orang tua berpendidikan rendah. Orang tua berpendidikan tinggi menilai waktu anak di luar bekerja seperti waktu untuk sekolah akan memberikan return yang lebih tinggi dibandingkan jika anak bekerja sehingga mereka cenderung mengurangi intensitas anak mereka untuk bekerja. Pendapatan orang tua juga berpengaruh negatif terhadap intensitas bekerja anak. Semakin tinggi pendapatan orang tua, semakin sedikit waktu anak untuk bekerja. Kemampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya semakin besar seiring dengan peningkatan pendapatan sehingga anak-anak tidak lagi perlu masuk ke pasar tenaga kerja.

Keputusan anak untuk bersekolah, agak sedikit berbeda dengan hasil estimasi keputusan anak untuk bekerja.2 Keputusan anak untuk sekolah tidak saja dipengaruhi oleh karakteristik orang tua tapi juga karakteristik anak. Gender anak, interaksi gender anak dengan usia anak, pendidikan orangtua serta gender kepala rumah tangga adalah karakteristik-karakteristik yang berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan anak untuk sekolah. Berdasarkan gender anak terlihat

2 Lihat Tabel 1kolom (2)



bahwa terdapat perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan terhadap status mereka untuk mengenyam pendidikan. Anak perempuan kecenderungannya lebih kecil untuk sekolah dibandingkan anak laki-laki. Sistem sosial masyarakat masih menilai anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Masyarakat masih beranggapan bahwa anak laki-laki akan memikul tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan sehingga berinvestasi berupa pendidikan pada anak laki-laki diharapkan akan memberikan return yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Jika terdapat kesempatan anak untuk bersekolah, maka orang tua akan mendahulukan untuk menyekolahkan anak laki-lakinya dibandingkan anak perempuan. Namun kesempatan anak perempuan semakin besar untuk sekolah ketika usianya semakin bertambah. Anak perempuan yang lebih tua kemungkinan besar untuk berada di sekolah dibandingkan dengan saudara mereka yang lebih muda. Ini ditunjukkan oleh variabel interaksi antara gender anak dengan usia anak.

Variabel signifikan lainnya adalah karakteristik orang tua. Pendidikan orang tua berpengaruh positif terhadap probabilitas anak untuk sekolah. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin besar kesempatan anak untuk bersekolah. Besarnya kesempatan tersebut mencapai 24,5 persen lebih besar dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Demikian pula halnya dengan gender kepala rumah tangga. Jika kepala rumah tangga adalah seorang perempuan, maka kesempatan anak untuk sekolah jauh lebih besar dibandingkan jika kepala keluarga adalah laki-laki. Rumah tangga yang dikepalai oleh seorang perempuan akan memberikan kesempatan anaknya untuk bersekolah 48 persen lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga dengan kepala rumah tangga laki-laki.

Variabel lokasi tempat tinggal, seperti halnya terhadap status bekerja anak, tidak berpengaruh signifikan terhadap status anak sekolah. Namun demikian hubungan positif dari lokasi tempat tinggal terhadap status anak sekolah bisa mengindikasikan beberapa hal. Pertama, perkotaan yang identik dengan kehidupan pada sektor sekunder dan tersier kecenderungannya memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan pedesaan yang mayoritas berlatar belakang aktivitas primer (pertanian). Ini akan erat kaitannya dengan kesempatan anak untuk belajar secara formal di sekolah ataukah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ersado (2003) menemukan bahwa faktor kemiskinan di pedesaan dengan kondisi infrastruktur pendidikan yang tidak mendukung, mengarahkan anak untuk memilih sebagai pekerja dibandingkan bersekolah. Kedua, akses terhadap fasilitas pendidikan di perkotaan cukup memberikan anak-anak kesempatan yang lebih besar untuk belajar di sekolah dibandingkan anak-anak di pedesaan.

Karakteristik-karakteristik anak, orang tua maupun lokasi tempat tinggal memiliki peranan penting dalam menentukan alokasi waktu aktivitas anak baik untuk bekerja ataupun sekolah. Peranan masing-masing karakteristik bervariasi sehingga ketika melakukan intervensi terkait dengan penanganan keberadaan anak yang bekerja diharapkan memperhatikan peranan masing-masing karakteristik tersebut. Dengan demikian program intervensi dapat mencapai sasaran secara efisien.

SIMPULAN DAN SARAN

Alokasi waktu anak untuk bekerja atau sekolah tidak saja dipengaruhi oleh karakteristik anak itu sendiri tapi juga karakteristik orang tua dan lokasi tempat tinggal. Masing-masing karakteristik memiliki peranan yang berbeda-beda. Peranan orang tua masih mendominasi dalam alokasi waktu aktivitas anak. Hal ini dilatarbelakangi oleh usia anak yang belum mampu mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri sehingga intervensi orang tua sangatlah penting. Secara umum ini berimplikasi pada intervensi program kebijakan yang berkaitan dengan pekerja anak ataupun pendidikan anak. Program yang bertujuan untuk mengurangi keberadaan pekerja anak dapat diberikan kepada rumah tangga dalam hal ini orang tua anak karena peningkatan pendapatan orang tua mampu mengurangi intensitas bekerja anak. Ini menjadi signal bahwa program-program kebijakan yang bersifat injeksi pendapatan terhadap rumah tangga seperti transfer tunai akan lebih efisien mengurangi keberadaan pekerja anak.

Anak perempuan mendapatkan kesempatan yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki untuk mengenyam pendidikan. Perbedaan gender ini berimplikasi pada desain kebijakan yang mengarah pada pemerataan pendidikan khususnya bagi anak perempuan sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan anak laki-laki. Demikian pula halnya dengan anak-anak yang tinggal di pedesaan yang memiliki intensitas bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak di kota. Peningkatan infrastruktur terutama fasilitas pendidikan akan mempermudah akses anak di desa terhadap pendidikan sehingga anak akan lebih intensif di sekolah dan mengurangi waktu bekerjanya.

Dengan demikian, pola-pola kebijakan dalam jangka pendek akan lebih efisien bila diberikan kepada orang tua yang berpengaruh langsung terhadap alokasi waktu aktivitas anak. Namun dalam jangka panjang, program sebaiknya menyasar kepada anak dengan memberikan pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik sehingga nantinya ketika dewasa, anak-anak tersebut memiliki pola pikir bahwa pendidikan penting untuk masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Becker, Gary S., 1965, A Theory of The Allocation of Time, The Economic Journal, Vol. 75, No. 299, 493-517

Dammert, Ana C., 2010, Siblings, Child Labor and Schooling in Nicaragua and Guatemala, Journal ofPopulation Economics, Vol 23, 1999-224

De Haan, Monique, 2005, Birth Order, Family Size and Educational Attainment, Tinbergen Institute Discussion paper, 1-40

Edmonds, Eric V., 2007, Child Labor, NBER Working Paper Series 12926.

Emerson, Patrick M., dan Souza, Andre Portela., 2008, Birth Order, Child Labor and School Attendance in Brrazil, World Development, Vol. 36, No. 9 pp 1647-1664.

Ersado, Lire, 2003, Child Labor and Schooling Decisions in Urban and Rural Areas: Cross-Country Evidence, Paperprepared for presentation at the America Agricultural Economics Association Annual Meeting, 1-42

Garg, Ashish dan Morduch, Jonathan., 1998, Sibling Rivalry anf the Gender Gap: Evidence from Child Health Outcomes in Ghana, Journal of Poppulation Economics, Vol 11, 471493

Grossbard, Shoshana, 2010, Independent Individual DecisionMakers in Household Models and The New Home Economics, IZADiscussion Paper No.5138

Gujarati, Damodar N., 2003, Basic Econometrics, Fourth Ed. McGraw Hill.

Hsin, Amy, 2005, Children’s Time use, Labor Division, and Schooling in Indonesia, On-line Working Paper Series, California Center for Population Research.

Namoro, Soiliou dan Roushdy, Rania., 2008, Intrahousehold Resources Allocation in Egypt: Women Empowerment and Investment in Children, Middle East Development Journal, Demo Issue, 31-47.

Patrinos, Harry Anthony dan Psacharopoulus,George., 1997, Family Size, Schooling and Child Labor in Peru-An Empirical Analysis, Journal of Population Economics, Vol.19, 387-405.

Pitriyan, Pipit, 2006, The Impact of Child Labor on Child’s Education: The Case of Indonesia, Working Paper in Economic and Development Penelitianes, Universitas Padjajaran, Bandung

Psacharopoulos, George, 1997, Child Labor Versus Educational Attainment Some Evidence From Latin America, Journal of Population economics, Vol 10, 377-386

Rjrnaes, Mette, Claus CHr. Portner, 2002, Birth and Intrahousehold Allocation of Time Education, Paper, Denmark

Volume X No. 2 Desember 2014

93