Fungsi dan Makna Paon bagi Masyarakat Banjar Cekeng di Desa Sulahan, Bangli
on
DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2022.v6.i02.p06
p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749
Fungsi dan Makna Paon bagi Masyarakat Banjar Cekeng di Desa Sulahan, Bangli
Ida Bagus Putu Adhi Purnama*, I Gusti Putu Sudiarna, I Ketut Kaler Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [adhipurnama180@gmail.com] [putu_sudiarna@unud.ac.id] [ketut_kaler@unud.ac.id] Denpasar, Bali, Indonesia
*Corresponding Author
Abstract
The Bajar Cekeng community, Sulahan Village, Bangli District has a Paon building or kitchen that is different from the Paon layout in general. Every traditional house in Banjar Cekeng, Sulahan Village has a Paon which is located to the right of the sanggah or place of worship as its uniqueness. This study aims to determine the function of Paon in the traditional house of Banjar Cekeng, Sulahan, Susut, Bangli. This study uses qualitative methods emphasizing descriptive and interpretative, using functional and interpretive theory. Paon for the people of Banjar Cekeng serves as a place to cook rice, water, snacks and other foods, and can be used as a bed if you don't have a building to sleep in, usually those who sleep in Paon are pelingsir (elders). Paon is interpreted as unifying energy with each other as well as a reflection of family life.
Keywords: Paon, Traditional House, Function, Meaning
Abstrak
Masyarakat Bajar Cekeng, Desa Sulahan, Kabupaten Bangli memiliki bangunan Paon atau dapur yang berbeda dari tata letak Paon pada umumnya. Setiap rumah tradisional di Banjar Cekeng, Desa Sulahan memiliki Paon yang terletak di sebelah kanan sanggah atau tempat pemujaan sebagai keunikannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi dan makna Paon dalam rumah tradisional Banjar Cekeng, Sulahan, Susut, Bangli. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif menekankan pada deskriptif interpretatif, menggunakan teori fungsional dan interpretatif. Paon bagi masyarakat Banjar Cekeng berfungsi sebagai tempat untuk memasak nasi, air, jajan serta makanan lainnya, serta bisa difungsikan sebagai tempat tidur jika tidak memiliki bangunan untuk tidur, biasanya yang tidur di Paon adalah pelingsir (tetua) Paon dimaknai sebagai pemersatu energi satu sama lain juga sebagai cerminan kehidupan keluarga.
Kata kunci: Paon, Rumah Tradisional, Makna
Sunari Penjor : Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
PENDAHULUAN
Perumahan tradisional adalah tempat tinggal yang memiliki model tradisional dengan sokongan elemen lingkungan serta mengusung normal dan nilai tradisional (Gelebet, 1986). Tipe rumah tradisional di Bali terdapat dua gaya yaitu gaya Bali Aga, yaitu gaya bangunan tradisional Bali asli yang sedikit mengalami sentuhan kerajaan Hindu yang berasal dari pulau Jawa. Gaya lainnya adalah gaya Bali Dataran, yang mana perumahan masyarakat terdampak pengaruh kerajaan Hindu dari Jawa. Kedua gaya bangunan perumahan tradisional di Bali memiliki atau mengusung konsep-konsep pembagian ruang sesuai dukungan lingkungan tempat rumah adat yang dibangun.
Konsep pembagian ruang terdapat konsep “kaja - kelod” dimana kaja berarti utara yang dianggap suci karena di Bali utara adalah letak gunung sedangkan kelod ditujukan kepada laut yang berada pada bagian selatan (Bagus, 2010). Konsep “Tri Mandala” adalah pembagian wilayah dengan tiga pembagian wilayah umumnya konsep ini digunakan pada wilayah pura (Conardy, 2007). Selain konsep-konsep tersebut pembagian pada pola-pola bangunan di bali seperti bangunan sakapat, bangunan sakanem, bangunan sakasatus, dan bangunan saka roras. Bangunan-bangunan tersebut banyak terdapat pada pola bangunan rumah tradisional di Bali, salah satunya terdapat di rumah tradisional Banjar Cekeng.
Banjar Cekeng di Desa Sulahan memiliki penataan letak bangunan yang cukup berlainan terhadap penduduk Bali dataran umumnya. Tata letak bangunan di Banjar Cekeng meliputi sanggah terletak di posisi kaja kangin (timur laut) kemudian Paon yg terletak di sebelah kanan sanggah lalu posisi kelod ada bale saka 6 lalu bale loji yang terletak di
sebelah barat bale saka 6 dan ada jineng terletak di sebelah barat bale dauh.
Bangunan dapur di Banjar Cekeng berwujud limas dimana atap bangunan paon berbahan dasar bambu, anyaman bambu digunakan sebagai dinding bangunan (bedeg), basis bangunan menggunakan bahan dari batu paras (padas), tiangnya dari kayu dan tanah digunakan sebagai ubin konstruksi bangunan. Perbedaan yang paling mencolok terdapat pada letak dapur yang berada di sebelah utara (kaja) walau memiliki fungsi yang sama seperti dapur pada umumnya. Dapur di Banjar Cekeng juga memiliki fungsi sebagai tempat untuk melakukan prosesi meyasa (inisiasi sebelum menjadi jero kubayan). Dapur atau Paon dapat dikatakan sebagai bangunan yang mencolok bagi masyarakat Banjar Cekeng sehingga fungsi-fungsinya berkaitan dengan keberlangsungan pola kehidupan masyarakat Banjar Cekeng di Desa Sulahan juga dianggap fenomena kultur yang menuangkan makna dan fungsi yang ingin disampaikan, sehingga fenomena komunikasi menganggap dapur dan tata ruang dapat ditentukan pesan yang ingin disampaikan oleh pelaku budaya.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari studi ini, sebagai berikut: 1) mengetahui gambaran Paon bagi masyarakat Banjar Cekeng di Desa Sulahan, 2) mengetahui fungsi dari Paon bagi masyarakat Banjar Cekeng, dan 3) mengetahui fungsi Paon bagi masyarakat Banjar Cekeng.
METODE
Penelitian kualitatif dipilih dalam studi ini, menurut (Geertz, 1973) yang menggambarkan sebuah pertanda sosial budaya yang hendaknya memahami tentang sebuah sudut pandang dari empunya secara khusus mengkategorikan pada deskriptif dengan adanya
interpretasi. Wawancara dan observasi adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam studi ini. Penelitian kualitatif dipilih karena penelitian kualitatif bertujuan untuk mengembangkan pemahaman fenomena budaya nyata, khususnya mengenai fungsi dan makna Paon bagi masyarakat Banjar Cekeng di Desa Sulahan.
Teknik pengumpulan data dikerjakan dengan menentukan narasumber atau informan. Selain menggunakan informan, pengumpulan data menggunakan Teknik observasi yang mana pengamatan dilakukan dengan cara menyeluruh dengan grand tour observation sebagai setting penelitian, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi dan kategori data yang terfokus atau dikategorikan ke dalam mini-tour observation terhadap fenomena sosial budaya yang terjadi di masyarakat. In-dept interview atau wawancara mendalam dipilih dalam Teknik wawancara yang digunakan untuk mendapatkan kedalaman makna kepada informan (Spradley, 1979). Selain penggunaan Teknik-teknik yang disebutkan, peneliti juga menggunakan kepustakaan serta analisis data sehingga didapatkan informasi yang substansial terkait fenomena fenomena sosial-budaya pada suatu masyarakat.
Tinjauan Pustaka dalam studi ini menggunakan buku karya (Acwin, 2010) yang berjudul “Arsitektur Rumah Tradisional Bali”, dimana dalam buku tersebut banyak mengulas tentang pemilikan pekarangan, halaman, hingga hiasan atau ornamen yang hendaknya dipasang di bangunan tradisional Bali. Dalam bukunya, Acwin menambahkan pedoman membangun bangunan tradisional Bali yaitu “Asta Kosala Kosali”, yaitu sebuah aturan terkait ukuran sebuah bangunan serta nilai atau value yang dipakai dalam membangun bangunan rumah tradisional Bali secara umum. Buku ini memaparkan bagaimana
bentuk, manfaat, serta layout (tata letak) sebuah bangunan tradisional Bali.
Penggunaan tinjauan pustaka kedua adalah artikel jurnal karya (Damayanthi & Suarsana, 2020) dengan judul “Rumah Adat Bandung Rangki di Desa Pedawa” yang membahas tentang bentuk serta dinamika rumah adat Bandung Rangki desa Pedawa. Jurnal ini memuat tentang bentuk rumah adat serta dampak dari globalisasi terhadap pembangunan rumah adat. Bentuk rumah adat di desa Pedawa terlihat sederhana tetapi memiliki kompleksitas serta bangunan yang kukuh. Pada jurnal ini rumah adat di desa Pedawa menggunakan sistem “hulu-teben” yang mana berarti sistem dari atas ke bawah, dari tinggi hingga rendah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Paon di Banjar Cekeng
Pangasih & Asvitasari (2017) menyebutkan “Rumah dalam arsitektur tradisional Bali, adalah satu kompleks rumah yang terdiri dari beberapa bangunan, oleh tembok yang disebut tembok dikelilingi penyengker”. Paon atau dulunya disebut juga bale bali merupakan bangunan saka kutus (delapan) yang berbentuk persegi menghadap ke selatan berhadapan dengan bale sakanem. Berdinding anyaman bambu atau sering disebut bedeg, tiang atau saka serta lambang bangunan Paon menggunakan kayu sedangkan atap atau raab bangunan Paon berbentuk prisma segitiga, atap bangunan Paon terbuat dari bilah-bilah bambu yang dibentuk seperti segitiga kemudian disusun seirama menyesuaikan struktur atap dan bangunan. Namun seiring perkembangan teknologi dan informasi, beberapa bangunan Paon masyarakat Banjar Cekeng mengubah bahan dasar bangunan seperti kayu dan bambu dengan menggunakan bahan-bahan lainnya yang dianggap lebih tahan lama dan mudah perawatannya misalkan atap
digantikan genteng atau seng sedangkan tembok serta saka diganti menggunakan beton.
Gambar 1. Pola Rumah di Banjar Cekeng Sumber: Dokumen Pribadi, 2021
Setiap rumah tradisional di Banjar Cekeng, Desa Sulahan memiliki Paon yang terletak di sebelah kanan sanggah atau tempat pemujaan. Secara keseluruhan areal rumah, dapur rumah tradisional Banjar Cekeng tertetak di utara, yang cukup berbeda dari bangunan Paon di Bali dataran. Posisi Paon di Bali dataran diposisikan di Barat Daya dari bangunan utama, posisi ini terlihat berada di hilir yang sesuai dengan konsep Asta Kosala Kosali Asta Bumi yakni skala Brahma. Pada umumnya Paon di Bali dibangun di samping pintu masuk rumah atau Angkul-Angkul, Paon konstan bersampingan dengan toilet dan gudang, konsep Asta Kosala Kosali Asta Bumi menempatkan Ludra sebagai patokan dikarenakan tempat pembangunannya terdapat di hilir pada pekarangan rumah (Yasa, 2021). Paon di Desa Pengotan juga berbeda dengan Desa Cekeng yang merupakan desa Bali Aga. Paon Desa Pengotan berada di dekat bangunan Uma Meten yang langsung sebagai tempat pembuatan persembahan, Maka dari itu sangatlah cocok di dalam bangunan Uma Meten terdapat Paon (Demokrat dkk, 2019).
Gambar2. Bangunan Paon
Sumber: Dokumen Pribadi, 2021
Jenis bambu yang digunakan untuk bahan pembuatan rumah di Banjar Cekeng adalah bambu tali. Masyarakat biasanya mencari bambu di dekat Pura Beji atau sungai yang menjadi batas antara Banjar Cekeng dengan Desa Alis Bintang yang terletak di bagian Barat Banjar Cekeng, sehingga masyarakat dengan mudah mendapatkan berbagai macam bambu untuk keperluan bangunan atau kebutuhan lainya seperti kebutuhan upacara.
Waktu menebang atau memotong bambu yang digunakan untuk membangun Paon ditentukan berdasarkan Dewasa Ayu atau hari baik yang ditentukan pada kalender Bali. Memotong bambu saat Shri serta hari minggu adalah waktu yang sangat dihindari, karena memotong bambu pada saat Shri dipercaya bambu-bambu tersebut akan cepat rusak dan hancur serta akan terkena sial. Penjelasan mengenai hal ini dituturkan oleh Bapak Wayan, selaku Kelihan Adat Banjar Cekeng sebagai berikut:
“Bale ini kan pakai bambu bahan pembuatannya. Tidak sembarangan untuk memotong bambu ini. Harus ditentukan melalui hitungan hari baik Dewasa Ayu kalender Bali. Yang harus dihindari itu Shri, kalau memotong bambu bertepatan dengan Shri itu bisa cepat rusak bambunya, cepat hancur. Seperti atap itu kan berbentuk begitu, lampeng gitu
namanya, sebelumnya kan memakai bambu. Tapi sekarang kan udah banyak yang ganti pake genteng, seng, atau asbes” (Wawancara, 06 Maret 2021).
Ruang dalam bangunan Paon terdapat bale yang terbuat dari kayu. Bale yang berada di dalam tersebut memiliki tiang atau saka yang berjumlah 4. Pada bagian tiang menggunakan kayu nangka. Lalu pada bagian selain tiang atau bagian rangka atap (lambang) dan iga-iga menggunakan kayu seseh (kelapa) atau kayu-kayu yang biasa dijual di toko bangunan. Kayu-kayu biasa yang dibeli secara bebas tersebut tetap diperhatikan ketika memasang dan menyusun menjadi sebuah susunan kerangka atap. Sangat diperhatikan letak atas dan bawah pada setiap batang kayu yang akan dirangkai agar terlihat rapi. Seperti yang dikatakan oleh Jero Slamet, sebagai berikut:
“Untuk menentukan jumlah iga-iga berdasarkan Asta Kosala-Kosali yaitu Shri, Werdhi, Naga, Hyang, Mas, Perak. Nah yang kita pake untuk iga-iga jatuhnya di werdhi, yang berarti subur dan agar tidak bertengkar antar penghuni rumah. Sedangkan cara untuk menghitungnya yaitu mengulangi dari shri – perak kemudian diakhiri oleh Werdhi, atau dikalikan 6 kemudian ditambah 2. Kebetulan di bangunan Paon disini biasanya digunakan 62 iga-iga” (Wawancara, 06 Maret 2021).
Tempat memasak bagi keluarga disebut dengan Paon atau dapur yang terletak di bagian utara serta Gebeh di Kelod Kauh. Dapur di Bali dibangun dengan memisahkan diri dari bangunan lain seperti bangunan tempat tinggal, sehingga menjadikan bangunan dapur menempati tempat khusus pada bangunan rumah tradisional di Bali. Fungsi Paon atau dapur bangunan di Bali digunakan untuk memasak layaknya dapur secara general, namun Bungut Paon atau tunggu wajib adanya di bangunan rumah tradisional Bali. Bungut Paon ini berguna
sebagai representatif dari kompor serta digunakan sebagai ciri, bisa saja tidak gunakan sesuai fungsi awalnya. Paon identik dengan kayu bakar dikarenakan dapur tradisional masih umum menggunakan kayu bakar, hasil limbah dari bakaran tersebut menghasilkan abu sisa pembakaran kayu yang terjadi di Paon sebagai tempatnya yang menjadikan pa abuan sebagai cikal bakal nama Paon.
Fungsi Paon bagi Masyarakat Banjar Cekeng
Fungsi sebuah bangunan akan terlihat atau dapat dianalisis dengan melihat bentuk fisik dari sebuah bangunan sehingga sebuah bentuk dari bangunan diciptakan dari wujud yang dipikul. Tiap-tiap bangunan membawa tugas atau fungsi masing-masing contohnya bangunan yang digunakan tempat pemujaan memiliki bentuknya tersendiri juga bangunan tempat tinggal memiliki fungsi tersendiri juga fungsi umum (Gelebet & Arinton, 1986). Berkaitan dengan pendapat tersebut setiap ruangan yang ada di rumah tradisional masyarakat Banjar Cekeng memiliki fungsinya masing-masing. Landmark rumah tinggal orang Bali berupa tanah yang dibangunkan bangunan tempat tinggal, bangunan tempat suci untuk pemujaan, Pengijeng Karang sebagai manifestasi roh penjaga wilayah rumah dan landmark rumah tersebut diitari oleh tembok sebagai batasan dari wilayah masing-masing rumah (Parwata, 2011).
Paon bagi masyarakat Banjar Cekeng berfungsi sebagai tempat untuk memasak nasi, air, jajan serta makanan lainnya, serta bisa difungsikan sebagai tempat tidur jika tidak memiliki bale untuk tidur, biasanya yang tidur di Paon adalah pelingsir (tetua) seperti yang dikatakan oleh Pak Wayan selaku Kelian Adat Banjar Cekeng sebagai berikut:
“Kalau yang tidur di dapur penglingsir, karena biar anget, yang muda boleh, tapi umumnya penglingsir yang tidur di Paon”. (Wawancara, 06 Maret 2021)
Fungsi Paon sesuai dengan hasil wawancara di atas, Paon dapat difungsikan sebagai tempat tinggal di luar dari fungsi Paon secara umum, fungsi tersebut terdapat pada konsep Tri Hita Karana, khususnya pada bagian Pawongan, yaitu hubungan manusia dengan manusia, penerapan Pawongan dalam fungsi Paon dilihat dari digunakannya Paon sebagai tempat tinggal para tetua serta Tri Hita Karana dalam rumah tradisional Banjar Cekeng terdapat dalam Paon rumah tersebut sebagai implementasi dari Pawongan sebagai tempat yang sering dituju.
Fungsi-fungsi yang hendaknya dikonservasi dengan adanya kepercayaan masyarakat mengacu pada fungsi ruang khususnya yang bersifat seremonial hendaknya dipertahankan (Damayanthi & Suarsana, 2020). Paon di Banjar Cekeng juga berfungsi sebagai tempat untuk membuat serta menyiapkan sesajen mulai dari sesajen sehari-hari sampai berupa Yadnya Sesa, berserta upacara berskala besar Manusa Yadnya yakni upacara pernikahan serta upacara Dewa Yadnya dengan adanya persiapan Odalan lainya. Pelaksanaan sesajen harian berupa Banten Jotan atau Yadnya Sesa dipersembahkan di tungku atau Bungut Paon sebagai ucapan rasa terima kasih karena digunakan sebagai tempat menanak nasi serta membuat lauk pauk harian. Penggunaan Bungut Paon secara harian memerlukan bahan bakar berupa kayu bakar atau Saang yang ditampung di Langgatan yang berupakan tempat menyimpan kayu bakar yang siap pakai. Selain itu Paon juga berfungsi sebagai tempat untuk membuat makanan babi (jika pemilik rumah memelihara babi) dikarenakan pembuatan pakan babi akan
lebih mudah jika dilakukan dimana kegiatan memasak dilakukan setiap harinya. Upacara Manusa Yadnya yaitu Pawiwahan (upacara perkawinan) juga menggunakan Paon sebagai tempat atau prosesi makan bersama sebagai ajang inisiasi atau pengenalan rumah.
Makna Paon bagi Masyarakat Banjar Cekeng
Rumah tradisional di Banjar Cekeng bagi masyarakatnya memiliki makna yang begitu mendalam. Setiap kebudayaan memiliki konsep-konsepnya tersendiri dan memiliki ruang lingkup luas dalam penggunaannya baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun keseharian, mengingat permasalahan yang hendaknya diutamakan yang menjadikan sebuah acuan kehidupan masyarakat Banjar Cekeng. Adapun makna setiap ruang yang ada di dalam rumah tradisional Banjar Cekeng, yaitu:
Setiap ruangan di dalam rumah tradisional Banjar Cekeng dimaknai sebagai pemersatu energi satu sama lain. Energi setiap anggota keluarga maupun energi niskala para leluhur, juga setiap komponen yang ada pada area rumah tradisional. Setiap ruangan memiliki dampak yang signifikan bagi proses terikatnya energi-energi tersebut. Kemudian konsep penempatan tata ruang dari rumah satu dan rumah lainnya selalu berhadapan dan tidak membelakangi di mana hal ini menunjukkan filosofi kesejajaran dan kesetaraan antar masyarakat di Banjar Cekeng. Paon atau disebut juga bale bali merupakan bangunan yang paling penting bagi masyarakat Banjar Cekeng seperti yang dikatakan oleh Jero Bayan Selamet berikut:
“Kalau hendak membangun rumah yang pertama harus di buat adalah Paon baru setelah itu sanggah, habis itu baru bale sakanem baru setelah itu yang lain (wawancara 01 Maret 2021)”.
Tidak hanya berakhir disana di dalam bangunan Paon juga terdapat ruang untuk meletakan beberapa hal seperti bungut paon atau tungku yang terletak di bagian ulu kemudian gebeh atau kendi penyimpanan air yang terletak di teben.
“Itu menurut almarhum pekak (kakek) saya bilang kalau Paon itu kayak gunung makanya tempatnya di bedaje atau di luan gitu juga di gebeh yang tongosnya (tempatnya) di bedelod atau teben soalnya dia kan tongos ngejang yeh ibarat kayak sungai yang mengalir dari gunung ke sungai kemudian ke laut, mungkin itu juga yang jadi alasan kenapa Paon di sini tempatnya di bedaje dik” (Wawancara, 21 Maret 2021).
Dari wawancara di atas menurut Pak Wayan Suparta selaku tukang, Paon atau bale bali adalah salah satu bangunan yang penting bagi masyarakat Banjar Cekeng dikarenakan hampir seluruh kegiatan dilaksanakan di Paon mulai dari bangun sampai tidur lagi. Selain itu aktivitas di Paon mencerminkan pola kehidupan sebuah keluarga misalnya, mereka sangat sederhana dan praktis dalam melakukan kegiatan apapun, seperti mau memasak mereka mengambil Saang (kayu bakar) yang ditaruh di bawah tempat tidur yang ada di Paon, kemudian mengambil air di sebelah belakang bagian kiri. Kepraktisan dan kefleksibelan tadi dilakukan juga dalam proses pemilihan Dulu Desa atau Kanca Roras, semisal jika si anak pertama tidak bersedia atau berhalangan bisa digantikan oleh saudaranya yang penting ada yang menggantikan, begitu juga berlaku saat proses ngayah untuk mempersiapkan prasarana upacara yang dilakukan di pura atau di rumah. Paon terletak di sebelah Utara sedangkan Gebeh di kelod kauh dikarenakan untuk memudahkan saat mengambil air, seperti yang dikatakan oleh Jero Bayan Selamet, sebagai berikut:
“Kalau dulu disini gebeh ditaruh di sebelah sana agar pada saat makan menghadap ke Utara sambil ngidu tangan kiri lebih mudah untuk mengambil air. Kalau Betara yang melinggih di dapur ya Betara Brahma. Tapi kalau ketika kekurangan kayu bakar tinggal ambil kepetan (Saang atau kayu bakar), di bawah plangkan” (Wawancara, 01 Maret 2021).
SIMPULAN
Paon merupakan tempat memasak bagi keluarga yang terletak di sebelah utara serta gebeh di barat daya Paon bagi masyarakat Banjar Cekeng berfungsi sebagai tempat untuk memasak nasi, air, jajan serta makanan lainnya, serta bisa difungsikan sebagai tempat tidur jika tidak atau kurang memiliki kamar tidur, biasanya yang tidur di Paon adalah pelingsir (tetua). Setiap ruangan di dalam rumah tradisional Banjar Cekeng dimaknai sebagai pemersatu energi satu sama lain. Konsep penempatan tata ruang dari rumah satu dan rumah lainnya selalu berhadapan dan tidak saling
membelakangi di mana penempatan tata ruang tersebut menunjukkan filosofi kesetaraan antar masyarakat di Banjar Cekeng.
REFERENSI
Acwin, N.K. (2010). Arsitektur Tradisional Daerah Bali.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagus, A.A.G. (2010). Desa Cekeng: Perspektif Arkeologis. Balai Arkeologi.
Conardy, R. (2007). Trends and Issues in Global Tourism. Springer.D.A.
Damayanthi, T.N.K., & Suarsana, I.N.
(2020). “Rumah Adat Bandung Rangki di Desa Pedawa,
Kecamatan Banjar, Buleleng”.
Humanis, 24(1), pp. 92-99.
https://doi.org/10.24843/JH.2020.v 24.i01.p12
Demokat, P.S., Suarsana, I.N., & Wiasti, N.M. (2019). “Tata Ruang Rumah Tradisional Desa Pengotan”. Sunari Penjor: Journal of Anthropology, 3(1), pp. 24–32.
https://doi.org/10.24843/SP.2019.v 3.i01.p04
Geertz, C. (1973). The Interpretation Of Cultures. Basic Books.
Gelebet, I.N., & Arinton, P.I. (1986). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pangasih, F., & Asvitasari, A. (2017). “PERGESERAN KONSEP
MORFOLOGI PADA DESA BALI AGA, Studi Kasus: Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran”.
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI,
10(1), pp. 111-125.
https://doi.org/10.24002/jars.v11i3. 1184
Parwata, I.W. (2011). “Rumah Tinggal Tradisional Bali dari Aspek Budaya dan Antropometri”. MUDRA,
26(1), pp. 95-106.
https://doi.org/10.31091/mudra.v26 i1.1593
Spradley, J.P. (1979). The ethnographic interview. Waveland Press.
Yasa, I.N.K. (2021). “Tata Letak
Bangunan Rumah Tradisional Bali (Perpektif Teologi)”. Jurnal Nirwasita, 2(1), pp. 51-56.
Discussion and feedback